Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH :

KONSEP DASAR AKHLAK TASAWUF

PENGERTIAN AKHLAK TASAWUF KONSEP DASAR AKHLAK TASAWUF

DOSEN PENGAMPU :

KELOMOPOK I

MUHAMMAD HANIF HUSNYANH [0602223045]

ILHAM AJI MAULANA [0602223039]


KATA PENGANTAR

Puji syukur atas kehadirat allah SWT atas segala rahmat dan hidayah Nya, sehingga kelompok kami bisa
menyelesaikan makalah yang berjudul “Asas-Asas Pidana Islam dan Unsur-Unsur Tindak Pidana Islam”
Tak lupa shalawat serta salam di haturkan kepada nabi Muhammad SAW, semoga kita bisa
mendapatkan syafaat beliau di yaumul akhir nanti. Makalah ini tersusun untuk melengkapi tugas mata
kuliah Fiqh Jinayat, kami ucapkan terima kasih pada dosen pengampu Marhawati Dongoran, S.H., M.H.
Kami menyadari Makalah ini masih jauh dari kata sempurna, untuk itu kami harapkan kritik dan saran
untuk kesempurnaannya. Semoga makalah ini bisa bemanfaat bagi kita semua

Medan, 9 September 2022

Penyusun
DAFTAR ISI

COVER ……………………………………………………………………………………………….!

KATA PENGANTAR :……………………………………………………………………………!

DAFTAR ISI :…………………………………………………………………………………..…..!

I.SEJARAH TURUNNYA ALQURAN(PENULISAN,PENGUMPULAN,MODIFIKASI)…!

 SEJARAH PROSES TURUNNYA ALQURAN………………………………………………………..…..!

 ALQURAN PADA MASA KHULAFAURASYIDIN……………………………………………………..….!

 PENULISAN DAN KODIFIKASI ALQURAN

 PEMBERIAN TITIK BARIS ALQURAN

KESIMPULAN………………………………………………………………………………..……!

PENUTUP…………………………………………………………………………………………..!

DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………………………!
A.SEJARAH PROSES TURUNNYA ALQURAN

Al-Qur′an merupakan kitab suci yang menjadi pedoman seluruh umat Islam sedunia.
Keberadaannya diyakini sebagai kitab yang bisa dijadikan rujukan untuk mencari jalan keluar
dalam setiap permasalahan serta bisa menyelesaikannya secara berkeadilan. Di dalam-Nya berisi
petunjuk kebenaran absolut dari Allah swt yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad saw.
melalui Malaikat Jibril as.Al-Qur′an yang terdiri dari 114 surat ini, pewahyuannya berlangsung
sekitar 22 tahun 2 bulan 22 hari. Ia diturunkan dengan memakai bahasa Arab dan tempat
diturunkannya pun berada di jazirah Arab. Pewahyuan al-Qur’an lebih sering kali terjadi di dua kota
terkenal di kawasan jazirah Arab ini, yakni Mekkah dan Madinah, meskipun selain dua tempat tersebut
al-Qur’an juga pernah turun (misalnya di Ta’if, Hudaybiyah dan lain sebagainya).Karena pewahyuan
al-Qur’an sering berlangsung di dua kota ini, maka secara garis besar ayat-ayat al-Qur’an dikenal
dengan istilah makkiyyah dan madaniyyah. Ketika al-Qur′an diturunkan di dua kota tersebut, bukan
berarti di sana merupakan tempat dengan ruang yang hampa. Namun, di dua kota tersebut sudah
berjalan aturan nilai dan keyakinan yang dianut oleh masyarakatnya. Bukti eksistensi nilai dalam
masyarakat tersebut bisa dilihat dengan budaya dan tradisi-tradisi serta bentuk peribadatannya.
Khusus di Mekkah, terdapat Ka′bah yang merupakan peninggalan agama Ibrahim, namun
setelah sekian lama ajaran tersebut mengalami kepudaran serta mengalami berbagai macam
penyimpangan. Sehingga lama jarak waktu dari masa Nabi Ibrahim as. sampai pada masa
Nabi Muhammad saw. tersebut, Ka′bah berubah menjadi pusat penyembahan berhala-
berhala.Penyikapan terhadap tata aturan nilai dan keyakinan dalam masyarakat Arab tersebut
merupakan salah satu penyebab pewahyuan al-Qur′an kepada Nabi Muhammad saw. tidak
diturunkan sekaligus, namun diturunkan secara bertahap hingga menghabiskan waktu sekitar 22
tahun 2 bulan 22 hari. Dengan rentang waktu tersebut maka pesan di dalam al-Qur′an yang terdiri
dari doktrin aqidah, norma syari′ah dan tuntunan moral (akhlak) tersampaikan secara bertahap.
bagaimana realitas sosial pada waktu itu. Dengan mengetahui hubungan pewahyuan ayat-ayat al-
Qur′an dengan realitas sosial tersebut juga akan diketahui bahwa al-Qur′an mempunyai
hubungan historisitas yang kuat dengan kondisi masyarakat tanpa menafikan dan mengurang nilai
wahyu ilahiyah-nya yang bersifat samawi.
Para ulama’ mempunyai perbedaan pendapat tentang turunnnya al-Qur’an dari al-lawh} al-
mahfuz. Dalam kitab al-Itqan karangan al-Suyut disebutkan bahwa perbedaan pendapat tentang
turunnya al-Qur’an terbagi dalam tiga hal. Perbedaan pendapat ulama’ ini terkait dengan proses
pentahapan pewahyuan al-Qur’an yang dibawa oleh Malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad
saw.Pertama, al-Qur’an diturunkan dari al-lawh al-mahfuz ke sama al-dunya pada lailat al-qadr secara
sekaligus. Kemudian dari sama al-dunya al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad saw.
secara berangsur-angsur selama masa kerasulan atau ba‘da al-bi‘that. Pendapat yang
demikian berpatokan pada riwayat yang disampaikan oleh Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa al-
Qur’an diturunkan sekaligus ke sama al-dunya pada lailat al-qadrkemudian diturunkan secara
bertahap selama masa kerasulan. Pendapat ini yang paling terkenal valid dan diterima oleh
kebanyakan para ulama’.Kedua, al-Qur’an diturunkan ke sama>’ al-dunya> selama dua puluh atau
dua puluh tiga kali setiap lailat al-qadr.Pada setiap lailat al-qadritu, Allah swt. menurunkan al-
Qur’an untuk stok selama satu tahun yang diturunkan secara berangsur-angsur.Ketiga, al-
Qur’an pertama kali diturunkan pada lailat al-qadr, kemudian diturunkan secara bertahap dalam
waktu yang berbeda. Pendapat ini mengatakan bahwa al-Qur’an tidak melalui transit ke sama>’
al-dunya> sebagaimana pendapat pertama dan kedua. Selama masa kerasulan Nabi Muhammad
saw. pewahyuan al-Qur’an tetap diturunkan dari al-lawh} al-mah}fu>Al-izzah}.Pentahapan turunnya
al-Qur’an ini berbeda dengan turunnya kitab-kitab suci sebelumnya. Kitab-kitab suci sebelum
al-Qur’an diturunkan sekaligus oleh Allah swt. kepada Nabi-Nya. Perbedaan cara pewahyuan al-
Qur’an secara bertahap ini bukan karena keterbatasan Allah swt tidak bisa menurunkannya secara
global (sekaligus). Namun, pewahyuan secara bertahap ini karena beberapa alasan
tertentu,3sehingga dengan metode ini kewajiban dakwah yang harus disampaikan oleh Nabi
Muhammad saw bisa diterima dengan baik oleh ummatnya.

Mengapa Al-Qur’an di turunkan secara berangsur-angsur


1).Untuk meneguhkan Hati Rasulullah

Rasulillah menyampaikan dakwah kepada semua orang. Kemudian beliau menghadapi sifat
kebencian, kezaliman dari mereka. Padahal, beliau begitu tulus ingin menyampaikan kebaikan
kepada mereka.
Untuk itu, wahyu turun kepada Rasulullah secara bertahap karena untuk meneguhkan
hati Rasul di atas kebenaran, mempertajam tekad beliau untuk terus melangkah di jalan dakwah
tanpa memedulikan gelapnya kebodohan yang beliau hadapi. Sebagaimana firman Allah Swt,

“Demikianlah, agar kami memperteguh hatinu (Muhammad) dengannya, dan kami


memebacakannya secara tartil (berangsur-angsur, perlahan dan benar).”

Adapun cara Allah meneguhkan hati Rasulullah dengan Al-Qur’an, antara lain:

Pertama, Al-Qur’an memerintah beliau untuk bersabar seperti kesabaran rasul-rasul terdahulu.
Kedua, Al-Qur’an menenangkan jiwa beliau karena Allah menjamin untuk melindungi
beliau dari urusan orang-orang yang mendustakan.
Ketiga, Al-Qur’an menuturkan kisah-kisah para Nabi terdahulu.
Keempat, Allah menyampaikan kabar gembira kepada beliau dengan
ayat-ayat yang berisi kekuatan, kemenangan, dan pertolongannya .

2).Agar Al-Qur’an mudah di hapal

Ibnu Furok menjelaskan secara merinci, “Taurat diturunkan secara sekaligus karena Nabi
yang menerimanya dapat membaca dan menulis, yaitu Nabi Musa AS Adapun Al-Qur’an
diturunkan secara berangsur-angsur dan tidak dapat ditulis sekaligus, karena Nabi yang
menerimanya dan para umatnya adalah mereka orang-orang yang Ummi (tidak dapat baca
tulis.
Degan keadaan mereka yang Ummi, mereka tidak memiliki pengetahuan tentang baca-
tulis ataupun pembuatan buku; hingga mereka bisa menulis, membukukan kitab, lalu
menghafal dan memahaminya. Allah berfirman,

“Dialah yang mengutus seorang Rasul kepada kaum yang buta huruf dari kalangan mereka
sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayatnya, menyucikan (jiwa) mereka dan
mengajarkan kepada mereka Kitab dan Hikmah (Sunnah), meskipun sebelumnya, mereka
benar-benar dalam kesesatan yang nyata.” (QS. al-Jumu’ah: 2)

Andalan kebanyakan orang Arab adalah hafalan. Untuk itu, Al-Qur’an secara berangsur-
angsur sangat membantu umat yang Ummi itu untuk menghafal di dalam dada dan memahami
ayat-ayatnya.
Jumlah ayat-ayat Al-Qur’an yang diturunkan secara berangsur-angsur kurang
lebih lima ayat demi lima ayat. Diriwayatkan dari Abu Nadhrah, ia berkata,
“Abu Sa’id Al-Khudri mengajarkan lima ayat demi lima ayat Al-Qur’an kepada kami
di pagi hari, dan lima ayat di sore hari. Ia mengabarkan bahwa Jibril menurunkan Al-Qur’an
sebanyak lima ayat demi lima ayat.” (HR. Ibnu Asakir).
Maka dari itu, cara penurunan ayat secara berangsur-angsur dengan
jumlah lima ayat demi lima ayat memudahkan Rasulullah dan para Sahabat dalam
menghafalkan Al-Qur’an.

3).Sebagai tantangan dan mukzizat


Orang-orang musyrik terus menerus berada di dalam kesesatan, bersikap semena-mena,
mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang melemahkan dan menantang dengan maksud menguji
kenabian Rasulullah ‫ ﷺ‬.
Adapun orang-orang musyrik yang bertanya tentang hari Kiamat. Allah berfirman, “Mereka
menanyakan kepadamu tentang kiamat, bilalah terjadi?” (QS. al-A’raf: 187).

Sesungguhnya, pengingkaran mereka terhadap Al-Qur’an yang turun secara berangsur-


angsur, berbarengan dengan ketidakmampuan mereka membuat yang semisal dengan Al-Qur’an.
Sehingga, hal itu lebih membuat mereka tidak mampu dan kurang dalam berhujjah daripada jika
Al-Qur’an diturunkan sekaligus.

Dikatakan kepada mereka, “Buatlah seperti Al-Qur’an!” karena itulah, ayat ini elah kritikan
mereka, “Dan orang-orang kafir berkata, mengapa Al-Qur’an itu tidak diturunkan kepadanya
sekaligus?”

Maksudnya, tidaklah mereka meminta yang sesuatu yang aneh kepadamu, seperti permintaan
Al-Qur’an diturunkan sekaligus, melainkan kami memberimu kondisi-kondisi yang pantas kau
dapatkan manurut hikmah kami, dan kami juga memberimu sesuatu yang maknanya sangat jelas
untuk membuat mereka tidak berdaya, yaitu diturunkan Al-Qur’an secara berangsur-angsur.

4).Menjelaskan Alur-Alur kejadian serta tahapan-tahapan dalam rangka penetapan syariat

Hal ini terkait kebijaksanaan Allah untuk menurunkan ayat-ayat sesuai dengan kondisi
psikologis-sosiologis masyarakat pada masa itu, sehingga ajaran Al-Qur’an relatif mudah
diterima.

Misalnya adalah tahapan ayat yang menerangkan tentang larangan minum khamar dan berzina.
Di antara ayat-ayat itu, ada yang nasikh dan ada yang mansukh, sesuai dengan permasalahan pada
masa itu. Ini tidak dapat dilakukan sekiranya Al-Qur’an diturunkan sekaligus . Turunnya suatu
ayat sesuai dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi, akan lebih mengesankan dan lebih
berpengaruh di hati.

Dari penjelasan di atas, bahwa turunnya Al-Qur’an secara berangsur-angsur memiliki rahasia
yang sangat penting untuk keteguhan hati Rasulullah dalam berdakwah kepada orang-orang
musyrik. Juga memudahkan hafalan beliau, sebagai pembuktian bahwa Al-Qur’an adalah
mukjizat Rasulullah yang sangat benar, dan sebagai penetapan hukum-hukum syari’at Allah.
B.ALQUR’AN PADA MASA KHULFA’UR RASYIDIN

~Masa Khalifah Abu Bakar dan Umar bin Al-Khattab

Penyusunan Al-Qur’an sesudah rasulullah wafat,Ali yang oleh nabi dikukuhkan sebagai yang paling
tahu tentang Al-Qur’an diam di rumah nya untuk menghimpun Al-Qur’an dalam satu mushaf menurut
urutan-urutanya.

Belum enam bulan semenjak wafatnya rasulullah,dia telah merampungkan penghimpunan itu dan
mengusungnya ke atas panggung unta.setahun sesudah rasulullah wafat,pecah perang Yamamah pada 12
Hijriah yang merenggut korban tujuh puluh orang qurra’syahid.

Waktu itu khalifah Abu Bakar atas usulan Umar bi al-Khattab membukukan surat-surat ayat-ayat Al-
Qur’an dalam satu mushaf,karena khawatir akan terjadi perang lagi serta khawatir akan punahnya para
qurra’dan hilang nya Al-Qur’an karena kematian mereka.

Khaliffa memerintahkan kepada sekelompok qurra’sahabat yang di pimpin Zaid bin Tsabit untuk
menghimpun Al-Qur’an,merka menghimpun dari papan-papan,pelpah-pelepah kurma,dan kulit-kulit
domba domba yang terdapat di rumah Nabi yang di tulis olehnpara penulis Al-Qur’an,dan tulisa-tulisan
pda sahabt yang lain hingga menjadi suatu mushaf.

Kemudian setelah Quran di susun menjadi satu,lalu di serahkan dan disimpan Abu Bakar sampai ia
wafat,setelah wafatnya Khalifah pertama,Al-Qur’an itu berpindah tangan ke Khalifah kedua yaitu Umar
bin Al-Khattab,kemudian disimpan oleh seorang putrinya yaitu Hafsah binti Umar bi Al-Khttab yang
merupakan istri nabi.

~Masa khalifah Usman bin Affan

Ketika terjadi perang Armenia dan Azarbeijan dengan penduduk Iraq,Abu Hudzaifah melihat banyak
cara perbedaan dalam membaca Al-Qur’an,sebagian bacaan bercampur dengan kesalahan.Tapi masing-
masing mempertahankan dan kukuh pada bacaanya,hingga mereka saling mengkafirkan.melihat kejadian
ini ia melapor kepada Khalifah Usman bin Affan untuk melaporkan pristiwa yang dilihatnya.

Ketika Khalifa Usman mengetahui bahwa Al-fuqan terancam perubahan dan penggantian akibat sikap
mempermudah menyalin dan memeliharannya,ia memerintahkan untuk mengambil mushaf yang
disimpan oleh ibunda Hafsah,yakni mushaf pertama kemudian memerintahkan kepada lima orang sahabt
yang di antaranya Zaid bin Tsabit,untuk menyalin mushaf tersebut.

Khalifah ketiga juga memerintahkan agar semua naskah yang terdapat di negeri-negeri islam di
kumpulkan dan di kirim kan ke Madinah,kemudian,dibakar.Mereka menulis lima mushaf Al-Qur’an.Satu
naskah di tinggal di Madinah dan empat lainya dibagikan ke mekkah,suriah,kufah,basrah,masing-masing
satu buah.
C.PENULISAN DAN KODIFIKASI AL-QUR’AN

Ketika diturunkan satu atau beberapa ayat, Rasulullah saw langsung menyuruh para sahabat untuk
menghafalkannya dan menuliskannya di hadapan beliau. Rasulullah mendiktekannya kepada para penulis
wahyu Para penulis wahyu menuliskannya ke dalam
lembaran-lembaran yang terbuat dari kulit, daun, kaghid, tulang yang pipih, pelepah kurma,
dan batu-batu tipis.
Mengenai lembaran-lembaran ini Allah SWT berfirman:
‫رسول من ﷲ یتلوا صحفا مطھرة‬
Artinya: (yaitu) seorang utusan Allah (yakni Muhammad) yang membacakan
lembaran-lembaran yang disucikan (al-Qur`an) (QS. Al-Bayyinah [98]: 2

Rasulullah saw mengizinkan kaum muslimin untuk menuliskan al-Qur`an


berdasarkan apa yang beliau diktekan kepada para penulis wahyu. Rasulullah saw bersabda:
“janganlah kalian menulis dari aku. Barangsiapa yang telah menulis dari aku selain al-
Qur`an hendaknya ia menghapusnya” (41HR. Muslim41T)
Rasulullah saw tidak khawatir dengan hilangnya ayat-ayat al-Qur`an karena Allah
telah menjamin untuk memeliharanya berdasarkan nash yang jelas:
‫إن نحن نزلنا الذكرى وإن لھ لحافظون‬
Artinya: Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan al-Qur`an dan sesungguhnya
Kami benar-benar memeliharanya. (QS. Al-Hijr [15]:9)

Rasulullah saw gembira dan ridha dengan al-Qur`an sebagai mukjizat terbesarnya
yang dapat digunakan sebagai hujjah terhadap orang-orang Arab maupun orang-orang di
seluruh dunia
Ketika Nabi saw wafat, al-Quran secara keseluruhan sudah tertulis pada lembaran-
lembaran, tulang-tulang, pelepah kurma, dan batu-batu tipis, dan di dalam hafalan para
sahabat ra.
Sebagian ahli tafsir berpendapat bahwa dalam sejarah penulisan Al-Qur’an terdapat
empat periode atau fase yaitu: pada periode Nabi Muhammad SAW, pada Periode Abu Bakar
Shiddiq, pada periode Usman bin Affan dan periode/fase Pemberian titik dan baris pada Al-
Qur’an.

 Pertama, Penulisan Al-Qur’an di masa Rasulullah saw.


Pada masa Rasulullah masih hidup Al-Qur’an dipelihara sedemikian rupa,
sehingga cara yang paling terkenal untuk memelihara Al-Qur’an adalah dengan
menghafal dan menulisnya. Rasulullah di masa hidupnya menyampaikan wahyu
kepada para sahabat dan memerintahkan agar sahabat menghafalnya dengan baik.
Apa yang diperintahkan oleh Rasulullah dapat dilaksanakan dengan baik pula oleh
para sahabat.
Al-Qur’an yang turun secara berangsur-angsur baik di Mekah maupun di
Madinah sangat memudahkan dokumentasi yang dilakukan para sahabat. Al-Qur’an
tidak turun sekaligus seperti proses pembelian di toko akan tetapi sesuai dengan
kondisi dan kebutuhan pada waktu itu.
Seperti yang diriwayatkan Ibnu Abbas : “Alquran diturunkan secara terpisah
(perayat atau beberapa ayat) tidak persurah, maka yang diturunkan di Mekah kami
tetapkan di Mekah walaupun penyempurnaannya di Madinah. Demikian juga yang
diturunkan di Madinah, bahwasanya Alquran itu dipisah antara satu surah dengan
surah yang lain, apabila turun Bismillahirrahmanirrahim maka mereka (para sahabat)
mengetahui bahwa surah yang pertama sudah selesai dan dimulai dengan surah yang
lain”.

Atas perintah Nabi SAW, Al-Qur’an ditulis oleh penulis-penulis wahyu di atas
pelepah kurma, kulit binatang, tulang dan batu. Semuanya ditulis teratur seperti yang
Allah wahyukan dan belum terhimpun dalam satu mushaf. Di samping itu ada
beberapa sahabat yang menulis sendiri beberapa juz dan surat yang mereka hafal dari
Rasulullah saw.

 Kedua: Penulisan Al-Qur’an di masa Abu Bakar As Shiddiq.


Di masa pemerintahan Khalifatur Rasul Abu Bakar ash-Shiddiq ra, terjadi
perang Yamamah yang mengakibatkan banyak sekali para qurra’/ para huffazh
(penghafal al-Qur`an) terbunuh. Akibat peristiwa tersebut, Umar bin Khaththab
merasa khawatir akan hilangnya sebagian besar ayat-ayat al-Qur`an akibat wafatnya
para huffazh. Maka beliau berpikir tentang pengumpulan al-Qur`an yang masih ada
di lembaran-lembaran.

Zaid bin Tsabit ra berkata: Abu Bakar telah mengirim berita kepadaku tentang
korban Perang Ahlul Yamamah. Saat itu Umar bin Khaththab berada di sisinya. Abu
Bakar ra berkata, bahwa Umar telah datang kepadanya lalu ia berkata:
“Sesungguhnya peperangan sengit terjadi di hari Yamamah dan menimpa para qurra’
(para huffazh). Dan aku merasa khawatir dengan sengitnya peperangan terhadap para
qurra (sehingga mereka banyak yang terbunuh) di negeri itu. Dengan demikian akan
hilanglah sebagian besar al-Qur`an. ”Abu Bakar berkata kepada Umar: “Bagaimana
mungkin aku melakukan sesuatu yang belum pernah dilakukan oleh Rasul saw.
”Umar menjawab: “Demi Allah ini adalah sesuatu yang baik. ”Umar selalu
mengulang-ulang kepada Abu Bakar hingga Allah memberikan kelapangan pada dada
Abu Bakar tentang perkara itu. Lalu Abu Bakar berpendapat seperti apa yang
dipandang oleh Umar. Zaid bin Tsabit melanjutkan kisahnya. Abu Bakar telah
mengatakan kepadaku, “Engkau laki-laki yang masih muda dan cerdas. Kami sekali-
kali tidak pernah memberikan tuduhan atas dirimu, dan engkau telah menulis wahyu
untuk Rasulullah saw sehingga engkau selalu mengikuti al-Qur`an, maka
kumpulkanlah ia. ”Demi Allah seandainya kalian membebaniku untuk memindahkan
gunung dari tempatnya, maka sungguh hal itu tidaklah lebih berat dari apa yang
diperintahkan kepadaku mengenai pengumpulan al-Qur`an. Aku bertanya:
“Bagaimana kalian melakukan perbuatan yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah
saw? ” Umar menjawab bahwa ini adalah sesuatu yang baik. Umar selalu mengulang-

ulang perkataaannya sampai Allah memberikan kelapangan pada dadaku seperti yang
telah diberikanNya kepada Umar dan Abu Bakar ra.

Pengumpulan al-Qur`an yang dilakukan Zaid bin Tsabit ini tidak berdasarkan
hafalan para huffazh saja, melainkan dikumpulkan terlebih dahulu apa yang tertulis di
hadapan Rasulullah saw. Lembaran-lembaran al-Qur`an tersebut tidak diterima,
kecuali setelah disaksikan dan dipaparkan di depan dua orang saksi yang
menyaksikan bahwa lembaran ini merupakan lembaran yang ditulis di hadapan
Rasulullah saw. Tidak selembar pun diambil kecuali memenuhi dua syarat: 1) Harus
diperoleh secara tertulis dari salah seorang sahabat. 2) Harus dihafal oleh salah
seorang dari kalangan sahabat.
Saking telitinya, hingga pengambilan akhir Surat at-Taubah sempat terhenti
karena tidak bisa dihadirkannya dua orang saksi yang menyaksikan bahwa akhir Surat
at-Taubah tersebut ditulis di hadapan Rasululllah saw, kecuali kesaksian Khuzaimah
saja. Para sahabat tidak berani menghimpun akhir ayat tersebut, sampai terbukti
bahwa Rasulullah telah berpegang pada kesaksian Khuzaimah, bahwa kesaksian
Khuzaimah sebanding dengan kesaksian dua orang muslim yang adil. Barulah mereka
menghimpun lembaran yang disaksikan oleh Khuzaimah tersebut.

Demikianlah, walaupun para sahabat telah hafal seluruh ayat al-Qur`an,


namun mereka tidak hanya mendasarkan pada hafalan mereka saja. Akhirnya,
rampung sudah tugas pengumpulan al-Qur`an yang sangat berat namun sangat mulia
ini. Perlu diketahui, bahwa pengumpulan ini bukan pengumpulan al-Qur`an untuk

ditulis dalam satu mushhaf, tetapi sekedar mengumpulkan lembaran-lembaran yang


telah ditulis di hadapan Rasulullah saw ke dalam satu tempat.
Lembaran-lembaran al-Qur`an ini tetap terjaga bersama Abu Bakar selama
hidupnya. Kemudian berada pada Umar bin al-Khaththab selama hidupnya.
Kemudian bersama Ummul Mu`minin Hafshah binti Umar ra sesuai wasiat Umar.
Maka Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu memerintahkan untuk mengumpulkan
Al-Qur’an agar tidak hilang. Dalam kitab Shahih Bukahri [2] disebutkan, bahwa
Umar Ibn Khaththab mengemukakan pandangan tersebut kepada Abu Bakar
Radhiyallahu ‘anhu setelah selesainya perang Yamamah. Abu Bakar tidak mau
melakukannya karena takut dosa, sehingga Umar terus-menerus mengemukakan
pandangannya sampai Allah Subhanahu wa Ta’ala membukakan pintu hati Abu Bakar
untuk hal itu, dia lalu memanggil Zaid Ibn Tsabit Radhiyallahu ‘anhu, di samping
Abu Bakar bediri Umar, Abu Bakar mengatakan kepada Zaid : “Sesunguhnya engkau
adalah seorang yang masih muda dan berakal cemrerlang, kami tidak meragukannmu,
engkau dulu pernah menulis wahyu untuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
maka sekarang carilah Al-Qur’an dan kumpulkanlah!”, Zaid berkata : “Maka akupun
mencari dan mengumpulkan Al-Qur’an dari pelepah kurma, permukaan batu cadas
dan dari hafalan orang-orang. Mushaf tersebut berada ditangan Abu Bakar hingga
beliau wafat, kemudian dipegang oleh umar hngga wafatnya, dan kemudian dipegang
oleh Hafsah Binti Umar bin khattab rahiyallahu ‘anhuma diriwayatkan oleh Bukhari
secara panjang lebar.
Kaum muslimin saat itu seluruhnya sepakat dengan apa yang dilakukan oleh
Abu Bakar, mereka menganggap perbuatannya itu sebagai nilai positif dan keutamaan
bagi Abu Bakar, sampai Ali Ibn Abi Thalib ra. mengatakan : “Orang yang paling
besar pahalanya pada mushaf Al-Qur’an adalah Abu Bakar, semoga Allah Subhanahu
wa Ta’ala memberi rahmat kepada Abu Bakar karena, dialah orang yang pertama kali
mengumpulkan Kitab Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Untuk pertama kali Al-Qur’an ditulis dalam satu mushaf. Penulisan ini
disesuaikan dengan tulisan aslinya yang terdapat pada Hafshah binti Umar. (hasil
usaha pengumpulan di masa Abu Bakar ra.).
Dalam penulisan ini sangat diperhatikan sekali perbedaan bacaan (untuk
menghindari perselisihan di antara umat). Usman ra. memberikan tanggung jawab
penulisan ini kepada Zaid Bin Tsabit, Abdullah Bin Zubair, Sa'id bin 'Ash dan Abdur-
Rahman bin Al Haris bin Hisyam. Mushaf tersebut ditulis tanpa titik dan baris. Hasil
penulisan tersebut satu disimpan Usm ra. dan sisanya disebar ke berbagai penjuru
negara Islam.
D.PEMBERIAN TITIK PADA AL-QUR’AN

Pemberian tanda titik pada huruf ini memang dilakukan belakangan dibanding pemberian harakat
Alquran. Pemberian tanda ini bertujuan untuk membedakan antara huruf-huruf yang memiliki bentuk
penulisan yang sama, namun pengucapannya berbeda, seperti pada huruf ba (‫)ب‬, ta (‫)ت‬, tsa (‫)ث‬.

Pada penulisan mushaf ‘Utsmani pertama, huruf-huruf ini ditulis tanpa menggunakan titik pembeda.
Salah satu hikmahnya adalah untuk mengakomodir ragam qira’at yang ada. Tapi seiring dengan
meningkatnya kuantitas interaksi muslimin Arab dengan bangsa non-Arab, kesalahan pembacaan jenis
huruf-huruf tersebut (al-‘ujmah) pun merebak. Ini kemudian mendorong penggunaan tanda ini.

Ada beberapa pendapat yang berbeda mengenai siapakah yang pertama kali menggagas
penggunaan tanda titik ini untuk mushaf Alquran. Namun pendapat yang paling kuat nampaknya
mengarah pada Nashr bin ‘Ashim dan Yahya bin Ya’mar.

Ini diawali ketika Khalifah Abdul Malik bin Marwan memerintahkan kepada al-Hajjaj bin Yusuf
al-Tsaqafy, gubernur Irak waktu itu (75-95 H), untuk memberikan solusi terhadap ‘wabah’
al-‘ujmah di tengah masyarakat. Al-Hajjaj pun memilih Nahsr bin ‘Ashim dan Yahya bin
Ya’mar untuk misi ini, sebab keduanya adalah yang paling ahli dalam bahasa dan qira’at.

Setelah melewati berbagai pertimbangan, keduanya lalu memutuskan untuk menghidupkan kembali
tradisi nuqath al-i’jam (pemberian titik untuk membedakan pelafalan huruf yang memiliki bentuk yang
sama). Muncullah metode al-ihmal dan al-i’jam. Penerapannya adalah sebagai berikut:

Untuk membedakan antara dal (‫ )د‬dan dzal (‫)ذ‬, ra’ (‫ )ر‬ dan zay (‫)ز‬, shad (‫ )ص‬dan dhad (‫)ض‬, tha’ (‫ )ط‬dan
zha’ (‫)ظ‬, serta ‘ain (‫ )ع‬dan ghain (‫)غ‬, maka huruf-huruf pertama dari setiap pasangan itu diabaikan tanpa
titik (al-ihmal), sedangkan huruf-huruf yang kedua diberikan satu titik di atasnya (al-i’jam).

Untuk pasangan sin (‫ )س‬dan syin (‫)ش‬, huruf pertama diabaikan tanpa titik satupun. Sedangkan huruf
kedua (syin) diberikan tiga titik. Ini disebabkan karena huruf ini memiliki tiga ‘gigi’, dan pemberian satu
titik saja diatasnya akan menyebabkan ia sama dengan huruf nun. Pertimbangan yang sama juga
menyebabkan pemberian titik berbeda pada huruf-huruf ba’ (‫)ب‬, ta (‫)ت‬, tsa (‫)ث‬, nun (‫)ن‬, dan ya’ (‫)ي‬.

Untuk rangkaian huruf jim (‫)ج‬, ha’ (‫)ح‬, dan kha’ (‫)خ‬, huruf pertama dan ketiga diberi titik, sedangkan
yang kedua diabaikan. Sedangkan pasangan fa’ (‫ )ف‬dan qaf (‫)ق‬, seharusnya jika mengikuti aturan
sebelumnya, maka yang pertama diabaikan dan yang kedua diberikan satu titik di atasnya.

Hanya saja kaum muslimin di wilayah Timur Islam lebih cenderung memberi satu titik atas untuk fa’ dan
dua titik atas untuk qaf. Berbeda dengan kaum muslimin yang berada di wilayah Barat Islam (Maghrib),
mereka memberikan satu titik di bawah untuk fa’, dan satu titik atas untuk qaf.

Nuqath al-I’jam atau tanda titik ini pada mulanya berbentuk lingkaran, lalu berkembang menjadi bentuk
kubus, lalu lingkaran yang berlobang bagian tengahnya. Tanda titik ini ditulis dengan warna yang sama
dengan huruf, agar tidak sama dan dapat dibedakan dengan tanda harakat (nuqath al-i’rab) yang
umumnya berwarna merah.

Dan tradisi ini terus berlangsung hingga akhir kekuasaan Khilafah Umawiyah dan berdirinya Khilafah
‘Abbasiyah pada tahun 132 H. Pada masa ini, banyak terjadi kreasi dalam penggunaan warna untuk
tanda-tanda baca dalam mushaf.
Di Madinah, mereka menggunakan tinta hitam untuk huruf dan nuqath al-i’jam, dan tinta merah untuk
harakat. Di Andalusia, mereka menggunakan empat warna: hitam untuk huruf, merah untuk harakat,
kuning untuk hamzah, dan hijau untuk hamzah al-washl.

Bahkan ada sebagian mushaf pribadi yang menggunakan warna berbeda untuk membedakan jenis i’rab
sebuah kata. Tetapi semuanya hampir sepakat untuk menggunakan tinta hitam untuk huruf dan nuqath al-
i’jam, meski berbeda untuk yang lainnya.

Akhirnya, naskah-naskah mushaf pun berwarna-warni. Tapi dari sini muncul lagi sebuah masalah.
Seperti telah dijelaskan, baik nuqath al-i’rab maupun nuqath al-i’jam, keduanya ditulis dalam bentuk
yang sama, yaitu melingkar. Hal ini rupanya menjadi sumber kebingungan baru dalam membedakan
antara satu huruf dengan huruf lainnya.

Di sinilah sejarah mencatat peran Khalil bin Ahmad al-Farahidy (w.170 H). Ia kemudian menetapkan
bentuk fathah dengan huruf alif kecil yang terlentang diletakkan di atas huruf, kasrah dengan bentuk
huruf ya’ kecil di bawahnya dan dhammah dengan bentuk huruf waw kecil diatasnya. Sedangkan tanwin
dibentuk dengan menggandakan penulisan masing-masing tanda tersebut, di samping ada beberapa tanda
lain.

Terkait dengan hal ini, ada suatu fakta sejarah yang unik, yaitu bahwa tanda titik (nuqath al-i’jam)
ternyata telah dikenal dalam tradisi bahasa Arab kuno pra Islam atau setidaknya pada masa awal Islam
sebelum mushaf ‘Utsmani ditulis.

Ada beberapa penemuan kuno yang menunjukkan hal tersebut, antara lain: Pertama, batu nisan Raqusy
(di Mada’in Shaleh), sebuah inskripsi Arab sebelum Islam yang tertua, diduga ditulis pada tahun 267 M.
Batu nisan ini mencatat adanya tanda titik di atas huruf dal, ra’ dan syin. Kedua, dokumentasi dalam dua
bahasa di atas kertas papyrus, tahun 22 H (sekarang disimpan di Perpustakaan Nasional Austria).
Dokumentasi ini menunjukkan penggunaan titik untuk huruf nun, kha, dzal, syin, dan zay.

Ditambah dengan beberapa temuan lainnya, setidaknya hingga tahun 58 H. Terdapat 10 karakter huruf
yang diberi tanda titik, yaitu: nun, kha, dzal, syin, zay, ya, ba, tsa, fa, dan ta. Sehingga tepatlah jika
disimpulkan bahwa apa yang dilakukan oleh Nashr bin ‘Ashim dan Yahya bin Ya’mar adalah sebuah
upaya menghidupkan kembali tradisi itu dengan beberapa inovasi baru yang disesuaikan dengan
kebutuhan.
KESIMPULAN

Kesimpulan yang dapat kami ambil dari sejarah di atas ialah bahwasanya Al-Qur’an itu tidak diturunkan
secara langsung seperti kitab kitab lainnya,AL-Qur’an di turunkan kepada Nabi Muhammad SAW secsrs
berangsur-angsur melalu pelafadzan,Al-Qur’an diturunkan sebagai penyejuk dan janji-janji bagi
rasulullah atas ujian yang datang kepadanya di saat sedang mendapatkan tekanan dari kaum kafir atas
dakwanya.

Dari yang sejarah di atas kita tahu bahwasan nya Al-Qur’an dari semenjak di turunkan pertama kali
tidak pernah sekalipun berubah hurufnya,angkanya bahkan 1 ayat sekalipun.

Anda mungkin juga menyukai