Anda di halaman 1dari 43

BAB III

KAJIAN PENGEMBANGAN

A. Pertumbuhan dan Perkembangan Tafsir

Tradisi keilmuan Islam memiliki sejarah yang sangat panjang dan

berhubungan erat dengan bermacam situasi dan kondisi yang mewarnai

disekitarnya. Tafsir merupakan salah satu tradisi keilmuan Islam, yang

mana hal tersebut sudah ada pada masa Nabi SAW. Sudah menjadi

sunnatullah ketika mengutus seorang Rasul atau Nabi untuk

menyampaikan hukum-hukum atau aturan yang disesuaikan dengan

bahasa kaumnya. Hal tersebut sama juga dengan bahasa yang di pakai

didalam kitab al-Qur’an. Allah menurunkan al-Qur’an kepada Nabi

Muhammad dengan menggunakan bahasa arab, menyesuaikan dengan

masyarakat kaumnya yang berbahasa arab. Hal ini selaras dengan apa yang

telah di firmankan Allah SWT:

ٍ ‫وماَأرسلْناَمنَرس‬
ََۚ‫ولَإََّّلَبلسانَق ْومهَلي بنيَهل ْم‬ ْ ْ
“Kami tidak mengutus seorang rasul pun, kecuali dengan bahasa kaumnya,
agar dia dapat memberi penjelasan kepada mereka.” (QS. Ibrahim : 4).

Meskipun diturunkan dengan menggunakan bahasa arab, tidak

serta-merta dapat dimengerti dan ditangkap maknanya oleh semua

kalangan sahabat. Hal ini cukup menjadi bukti bahwa sebuah tulisan atau

perkataan walaupun dibuat sesuai dengan bahasa audiens-nya, namun

tidak berarti bahwa orang yang membaca atau mendengarnya (audiens)

mampu mengungkap makna dan kehendak dari tulisan atau perkataan itu.

Hal ini dikarenakan tingkatan daya tangkap (intelegensi) dan pengetahuan

68
terhadap kosa kata yang berbeda antara tiap-tiap individunya.91 Begitupun

halnya dengan al-Qur’an yang memiliki karakteristik yang jauh di atas

kata-kata dan bahasa yang diungkapkan oleh manusia.

1. Periodisasi Tafsir

Secara umumnya, periodisasi tafsir Al-Qur’an terbagi dalam tiga

zaman antara lain : klasik, pertengahan, dan kontemporer. Pemetaan tafsir

ke dalam tiga zaman ini untuk memudahkan penandaan meskipun

fenomena yang mengitari pada masing-masing zaman tidak sederhana.

Akan tetapi memudahkan karena sederhana dalam menggambarkan

pertumbuhan dan perkembangan tafsir meskipun sesungguhnya waktu dan

realitas tidak sesederhana pembagian awal, tengah, dan akhir atau

kontemporer.92

a.) Periode Klasik

Periode ini secara umum terbagi dalam kurun abad 1-2 H/7-8 M,

yang mana pada kurun ini terjadi di masa Nabi, para Sahabat, dan Tabi’in.

Pada kurun ini, tafsir Al-Qur’an masih bernuansa formatif (pembentukan)

dan secara epistemik bernuansa teosentris (al-‘aql al-lāhūtanil al-‘aql al-

bayānī), bernalar quasi-kritis yang mana masih ada ruang kritis tetapi

kebenarannya diikat pada otoritas tertentu, yaitu Nabi, Sahabat, dan

Tabi’in; seperti “seakan-akan kritis”. Periode klasik ini biasa dikenal

dengan istilah “generasi salaf.”

91
Ahmad Amin, Fajr al-Islam, (Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah, 2004), Hlm 191.
92
Syukron Affani, Tafsir Al-Qur’an Dalam Sejarah Perkembangannya, Edisi Pertama,
(Jakarta: Prenadamedia Group) 2019, Hlm 8-9.

69
Al-Quran yang masih mengandung hal-hal yang bersifat global

(mujmal), samar (mutasyâbih) dan lainnya, yang tidak semua sahabat

(pada masa turunnya al-Quran) mampu untuk mengungkapkan makna dan

mengetahui apa yang dikehendaki dari ayat-ayat al-Quran. Hal seperti ini

antara lain dilatarbelakangi oleh perbedaan pemahaman dan pengetahuan

kosa kata antar sahabat tidaklah sama. Terlebih pada saat itu, kedekatan

dengan Nabi SAW, Juga sangat mempengaruhi sahabat dalam memahami

maksud dari suatu ayat. Sehingga di antara para sahabat ada yang

mengetahui hal-hal atau sebab-sebab turunnya ayat dan ada pula yang

tidak mengetahuinya.

Para Sahabat dalam menafsirkan Al-Qur’an pada periode ini

berlandaskan pada:

1) Al-Qur’an, sebab apa yang dijelaskan secara global di suatu ayat, maka

biasanya dijelaskan secara terperinci diayat yang lainnya. Kemudian juga

ada sebuah ayat datang dalam bentuk mutlaq atau umum namun kemudian

disusul oleh ayat lain yang membatasi atau mengkhususkannya. Dan

konsep seperti inilah yang biasa disebut dengan sebutan “Tafsir Qur’an

dengan Qur’an“. Penafsiran seperti ini cukup banyak contohnya.

misalanya, kisah-kisah di dalam Al-Qur’an yang ditampilkan secara

ringkas di beberapa tempat, kemudian ditempat lain datang uraiannya

panjang lebar.

70
2) Nabi SAW, didalam menafsirkan ayat-ayat yang belum jelas maknanya,

sahabat bisa langsung meminta penjelasan kepada Nabi SAW. Untuk

menjelaskan makna dari ayat-ayat tersebut. Sebagai seorang utusan Allah

SWT, sudah seyogyanya Nabi SAW Menjelaskan dan menyampaikan hal-

hal yang dikehendaki oleh Allah SWT. Hal ini sudah di jelaskan dalam

firman-Nya QS. Al-Naḥl ayat 44 :

‫َّاسَماَن زلََإلْيه َْمَولعلَّه َْمَي ت ف َّكرَو َن‬


َ ‫كَالذ ْكرََلت بنيََللن‬
َ ‫ِبلْب يناتَوالزبرََۚوأنْزلْناَإلْي‬
“(Kami mengutus mereka) dengan (membawa) bukti-bukti yang jelas
(mukjizat) dan kitab-kitab. Kami turunkan aż-Żikr (Al-Qur’an) kepadamu
agar engkau menerangkan kepada manusia apa yang telah diturunkan
kepada mereka dan agar mereka memikirkan.”93

Nabi Muhammad SAW merupakan subjek yang otoritatif terhadap Al

Qur’an. Adapun tafsir dan ta’wil yang muncul belakangan sebagai istilah

yang umum digunakan untuk menjelaskan ayat Al Qur’an, terbatas pada

penjelasan yang relatif karena tidak memiliki mandat kebenaran otoritatif

sebagaimana otoritas bayan Rasulullah. Hanya saja, yang tetap umum

berlaku, penjelasan Rasulullah tersebut dengan istilah al-tafsir al-nabawi

yang diriwayatkan dalam literatur kitab-kitab hadis dan dikutip sebagai

dasar ma’tsur dalam tafsir-tafsir para ulama.94

Namun di dalam al-Qur’an tidak semua ayat dijelaskan oleh Nabi SAW.

Beliau hanya menafsirkan ayat-ayat yang makna dan maksudnya belum

diketahui oleh para sahabat pada masa itu. Ketika menafsirkan al-Quran,

Nabi SAW, tidak memakai bahasa yang berbelit-belit dan panjang lebar

93
Kemenag, Al-Qur’an dan Terjemahannya Edisi Penyempurnaan 2019, (Lajnah
Pentashihan Mushaf Al-Qur’an) Cet 1, 2019. Surat Al-Nahl ayat 44.
94
Lihat di dalam buku, Syukron Affani, Tafsir Al-Qur’an Dalam Sejarah
Perkembangannya, Edisi Pertama, (Jakarta: Prenadamedia Group) 2019, Hlm 8-9.

71
atau sehingga membuat rancu pembahasan. Beliau hanya menguraikan

hal-hal yang masih samar dan global yang masih membutuhkan penjelasan

lebih rinci, memerinci sesuatu yang masih bersifat umum dan menjelaskan

lafaz serta hal-hal yang berkaitan dengan penafsiran. Pada acuan

teknisnya, penafsiran yang dipakai Nabi SAW, selalu berdasarkan pada

sebuah ilham dari Allah SWT. dan biasanya Nabi SAW menafsirkan ayat

satu dengan ayat al-Quran yang lain bahkan juga berdasarkan ijtihad beliau

sendiri. Akan tetapi, hal tersebut tetap berlandaskan pada petunjuk dari

Allah SWT. Seperti ketika Nabi menafsirkan kata al-kalimât (‫ )الكلمات‬dalam

ayat:

‫يم‬
َ ‫الرح‬
َّ َ‫اب‬
َ ‫َّو‬ ٍ ‫ف ت لقَّىَآدمَمنَربهَكلم‬
َّ ‫اتَف تابَعلْيهََۚإنَّهََهوََالت‬ ْ َٰ
"Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya, Maka Allah
menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi
Maha Penyayang." (QS. al-Baqarah [02]: 37)
Nabi SAW. menafsirkannya dengan menggunakan ayat lain, yakni:95

َ‫َاخلاسرين‬
ْ ‫قاَّلَربَّناَظل ْمناَأنْفسناَوإ ْنَملَْت ْغف ْرَلناَوت ْرْحْناَلنكون َّنَمن‬
“Keduanya berkata, “Ya Tuhan kami, kami telah menzalimi diri kami
sendiri. Jika Engkau tidak mengampuni kami dan tidak merahmati kami,
niscaya kami termasuk orang-orang yang rugi.” (QS. Al-A’raf [07]:23).
Penjelasan Nabi SAW sedemikian rupa ini merupakan penafsiran atas

ayat-ayat yang ringkas dan yang masih global (mujmal) maksudnya

dengan menggunakan ayat yang jelas orientasinya (mubayyan), juga

penafsiran atas ayat yang masih bersifat umum (‘am) ditegaskan dengan

95
Ibn Katsir, Tafsir al-Qur’an al-Azhim, Vol.I, (Kairo: Maktabah Aulâd al-Syaikh li al-
Turâts, 2000), Hlm 370.

72
ayat yang bersifat khusus (khas), menafsiri ayat yang masih bersifat tak

terbatas (muthlaq) dengan ayat yang sudah dibatasi (muqayyad).96

3) Ijtihad, Jika para sahabat tidak memperoleh pemahaman makna tafsir Al

Qur’an dan tidak mendapatkan sesuatu yang berkaitan dengan hal itu dari

Rasulullah, maka mereka melakukan ijtihad dengan mengarahkan segala

kemampuan nalar. Sudah seyogyanya mereka berbuat seperti itu, yang

mana mereka merupakan orang-orang arab asli yang sangat menguasai

bahasa arab, memahaminya dengan baik dan mengetahui aspek-aspek

kebalagah-an yang ada di dalamnya.

Di zaman era para sahabat masih banyak yang menafsirkan Al-Qur’an,

yang terkenal banyak menafsirkan Qur’an ialah empat khalifah, Ibn

Mas’ud , Ibn Abbas , Ubai bin Ka’b , Zaid bin Sabit , Abu Musa al-

Asy’ari , Abdullah bin Zubair , Anas bin Malik , Abdullah bin Umar , Jabir

bin Abdullah , Abdullah bin ‘ Amr bin ‘ As dan Aisyah. Namun dari hal

ini, para sahabat memiliki tingkat perbedaan kemampuan dan daya nalar

antar sahabat atas pengetahuan terhadap kosa kata bahasa Arab, sejarah,

sebab- sebab turunnya ayat, ilmu syariat, hal ini di sebabkan oleh tingkat

intensitas kehadiran sahabat ketika dalam majelis Nabi SAW, sangat

berperan dalam penafsiran mereka.97

Periwayatan tafsir cukup banyak di nisbahkan kepada mereka dan kepada

sahabat yang lain di berbagai tempat tafsir bil- ma’sur yang tentu saja

berbeda-beda derajat ke - ṣaḥīḥ - an dan ke-daif-annya dilihat dari sudut

96
Muhammad Husain al-Dzahabi, Buhuts fi Ulum al-Tafsir, (Kairo: Dar al-Hadits,2005),
Hlm 390.
97
Fahd Ibn 'Abd al-Rahmân al-Rúmi, Bubûts fi Ushûl al-Tafsir wa Manâhijubu, ( t.tp :
Maktabah al-Taubah, t.th. ),Hlm 20 .

73
sanad (mata rantai periwayatan). Tidak diragukan lagi , bahwa periwayatan

tafsir bil - ma's|u>r yang berasal dari sahabat mempunyai nilai tersendiri.

Jumhur ulama berpendapat, penafsiran dari para sahabat ini mempunyai

kedudukan hukum yang s}ah}i>h (disandarkan kepada Rasulullah) bila

berkaitan dengan asbabun nuzul dan semua hal yang tidak mungkin

dimasuki ra'y. Sedang hal yang memungkinkan dimasuki ra'y maka

statusnya adalah mauquf (terhenti) pada sahabat selama tidak disandarkan

kepada Rasulullah.98

Pada masa sahabat diyakini tidak ada sedikit pun tafsir yang

dibukukan, sebab pembukuan baru muncul pada abad kedua. Pada masa

sahabat tafsir hanya sebatas cabang dari hadis, dan masih bersifat

periwayatan hadis saja. Kemudian hanya diriwayatkan secara bertebaran

mengikuti ayat-ayat yang berserakan, tidak tertib atau berurutan sesuai

sistematika ayat-ayat Al-Qur’an dan surat-suratnya serta belum mencakup

keseluruhannya. Di era tabi’in ketika penaklukan dan pengaruh Islam

semakin luas, para sahabat termotivasi berpindah ke daerah-daerah

taklukkan dan masing-masing dari mereka membawa ilmu. Dari hal inilah

para tabiin, murid mereka itu, belajar dan menimba ilmu, sehingga

selanjutnya tumbuhlah berbagai mazhab dan perguruan tafsir.

Di wilayah Mekkah, berdiri sebuah perguruan Ibn Abbas. Di antara

muridnya yang terkenal adalah Sa’id bin Jubair, Mujahid, ‘Ikrimah maula

Ibn Abba, Tawus bin Kisan al-Yamani dan ‘Ata bin Abi Rabah. Mereka ini

98
Al-Qattan, Manna’ Khalil, Studi Ilmu-ilmu Qur’an /Manna’Khalil al- Qattan;
diterjemahkan dari bahasa Arab oleh Mudzakir AS, Cet. 17, Litera Antar Nusa, Bogor,
2016.Hlm 477.

74
semuanya dari golongan maula (sahaya yang telah dibebaskan). Dalam hal

periwayatan tafsir dari Ibn Abbas, mereka tidaklah setingkat, ada yang

hanya sedikit, ada juga yang banyak ketika mengambil periwayatan, yang

mana dapat di tinjau dari penilaian para ulama, ketika berbeda pendapat

mengenai kadar “keterpercayaan“ dan kredibilitas mereka. Dan yang

mempunyai kelebihan di antara mereka, akan tetapi mendapat sorotan

adalah ‘Ikrimah. Para ulama berbeda pandangan di sekitar penilaian

terhadap kredibilitasnya meskipun mereka mengakui keilmuan dan

keutamaannya.

Di wilayah Madinah, Ubai bin Ka’b lebih terkenal di bidang tafsir

dari sahabat lainnya. Karena periwayatan argumen tentang tafsir banyak

dinukilkan generasi sesudahnya. Kebanyakan muridnya dari kalangan

tabiin, yang belajar kepadanya secara langsung atau tidak, yang terkenal

ialah Zaid bin Aslam, Abu ‘Aliyah dan Muhammad bin Ka’b al Qurazi.

Di wilayah Irak berdiri perguruan Ibn Mas’ud yang di yakini oleh

para ulama sebagai awal mula mazhab ahli ra’y. Kebanyakan dari

kalangan tabi’in yang berasal dari Irak menjadi mufasir. Yang masyhur di

antara nya ialah ‘Alqamah bin Qais, Masruq, al-Aswad bin Yazid, Murrah

al-Hamazani, Amir asy-Sya’bi, Hasan al-Basri dan Qatadah bin Di’amah

as-Sadusi. Merekalah mufasir-mufasir terkenal dari kalangan tabi’in di

berbagai wilayah Islam, dan dari mereka pulalah ta>bi’ at-Ta>bi’i>n

75
(generasi setelah tabi’in) memperoleh pengetahuan Agama khususnya

tafsir. Mereka telah menciptakan untuk kita warisan ilmiah yang abadi.99

Penafsiran pada periode tabi’in ini, masih berbentuk riwayat hadis,

karena masih menjadi bagian dari ilmu hadis, belum lepas dan berdiri

sendiri sebagai suatu fan ilmu secara independen. Dan juga belum

dibukukan secara terpisah. Namun ada beberapa karya yang lahir pada

masa tabi’in yang berkaitan dengan al-Qur’an, meskipun masih dalam

ruang lingkup yang terbatas dan hanya berupa kumpulan hadis yang masih

belum tertata rapi.

b.) Periode Pertengahan

Pada periode ini masih terdapat silang pendapat oleh ahli sejarawan

kapan tepatnya periode ini dimulai, akan tetapi penulis mengira-ngirakan

bahwa periode ini dimulai dari pertengahan abad ke-3 H sampai abad ke-

13 H, yang berlangsung pasca generasi tabi,in atau periode ta>bi’ al-

Ta>bi’i>n saat tafsir mulai dibukukan secara khusus.100

Pada masa periode pertengahan ini dimulai pada akhir dinasti Bani

Umayyah dan di awal dinasti Abbasiyah. Dapat ditandai bahwa permulaan

periode ini berawal pada saat pemerintahan raja Umayyah yang saleh,

yakni ‘Umar bin ‘Abd al-Aziz, walaupun beliau tidak lama memerintah

yakni pada 99-101 H, hanya sekitar 3 tahun, akan tetapi masa beliau

tercatat sebagi perintis kodifikasi resmi hadis Nabi. Yang mana hadis

99
Al-Qattan, Manna’ Khalil, Studi Ilmu-ilmu Qur’an /Manna’Khalil al- Qattan;
diterjemahkan dari bahasa Arab oleh Mudzakir AS, Cet. 17, Litera Antar Nusa, Bogor,
2016.Hlm 482-483.
100
Lihat Syukron Affani, Tafsir Al-Qur’an Dalam Sejarah Perkembangannya, Edisi
Pertama, (Jakarta: Prenadamedia Group) 2019, Hlm 8-9.

76
mendapat perhatian utama dan pembukuannya meliputi berbagai bab,

sedang tafsir hanya merupakan salah satu bab dari sekian banyak bab yang

dicakupnya. Pada masa ini penafsiran belum dipisahkan secara khusus

yang hanya memuat tafsir al-Qur’an, surah demi surah dan ayat demi ayat,

dari awal al-Qur’an sampai akhir. Tafsir Al-Qur’an pada era ini, cenderung

masih bersifat afirmatif, konservatif, sektarian, dan ideologi.101

Segolongan ulama cukup memperhatikan terhadap periwayatan

tafsir yang dinisbahkan kepada Nabi, sahabat atau tabi’in sangat besar

yang mana perhatiannya di fokuskan terhadap pengumpulan hadis. Di

bidang ini terdapat tokoh yang ahli dan masyhur antara lain ialah Yazid bin

Harun as-Sulami (w. 117 H), Syu’bah bin al-Hajjaj (w. 160 H), Waki’ bin

Jarrah (w. 197 H), Sufyan bin ‘Uyainah (w. 198 H),Rauh bin ‘Ubadah al-

Basri (w. 205 H),Abdurrazzaq bin Hammam (w. 211 H),Adam bin Abi

Iyas (w. 220 H) dan ‘Abd bin Humaid (w. 249 H). Penafsiran pada

golongan ini sedikit pun tidak ada yang sampai kepada kita. Yang kita

terima hanyalah nukilan-nukilan yang dinisbahkan kepada mereka

sebagaimana termuat dalam kitab-kitab tafsir bil-ma’tsur.

Kemudian sesudah golongan ini datanglah generasi berikutnya

yang menafsirkan secara khusus dan independen serta menjadikannya

sebagai fan ilmu yang berdiri sendiri dan terpisah dari hadis. Mereka

menafsirkan Al-Qur’an secara sistematis sesuai dengan tertib mushaf.

Antara lain adalah Ibn Majah (w. 273 H), Ibn Jarir at}-T{abari (w. 310 H),

101
Lihat Syukron Affani, Tafsir Al-Qur’an Dalam Sejarah Perkembangannya, Edisi
Pertama, (Jakarta: Prenadamedia Group) 2019, Hlm 8-9.

77
Abu Bakr bin al-Munzir an-Naisaburi (w. 318 H), Ibn Abi Hatim (w. 327

H),Abusy-Syaikh bin Hibban (w. 369 H), al-Hakim (w. 405 H) dan Abu

Bakr bin Mardawaih (w. 410 H).

Periwayatan tafsir pada generasi ini disandarkan kepada

Rasulullah, sahabat, ta>bi’i>n dan ta>bi' al-Ta>bi’i>n, dan terkadang

disertai pentarjihan terhadap pendapat-pendapat yang diriwayat-kan dan

penyimpulan (istinbāt) sejumlah hukum serta penjelasan kedudukan kata

(i’rāb) jika diperlukan, sebagaimana dilakukan Ibn Jari>r at}-T{abari.

Selain riwayat dari Nabi ‫ ﷺ‬, sahabat dan tabi’in, mereka juga menukil

tafsir dari kitab-kitab generasi sebelumnya yang biasanya terdapat sanad

yang sampai kepada sang mufasir.

Kebijakan dinasti Abbasiyah sangat mendukung terjadinya

pelebaran wilayah, sehingga kajian tafsir pada periode ini yakni masa

dinasti Abbasiyah, perkembangan keilmuan Islam sangat pesat, sehingga

usaha-usaha penulisan dalam berbagai bidang keilmuan seperti ilmu

gramatikal Arab (nahwu-sharf), hadis, sejarah, ilmu kalam dan lainnya

menjadi perhatian yang cukup serius pada masa ini. Pada periode ini juga

hingga periode berikutnya, tafsir yang dulu hanya bersandar pada riwayat

hadis Nabi SAW, sahabat, dan tabi’in (naql, riwayat), mulai merebak serta

menjalar ke wilayah nalar-ijtihad (‘aqli). Penafsiran tidak lagi sekedar

hanya bersandarkan pada riwayat-riwayat dari para pendahulunya. Ayat-

ayat yang belum sempat di tafsiri oleh Nabi SAW maupun sahabat,

menjadi bagian ayat yang dijadikan sebagai ladang penafsiran dengan al-

ra’yi al-ijtihadi. Kemudian terdapat penafsiran-penafsiran pada hal yang

78
tidak begitu penting hubungannya dengan maksud ayat Al-Qur’an.

Kemudian pada masa ini, tafsir juga dijadikan sarana pembenaran bagi

sebagian golongan. Yang mana pada saat itu sedang maraknya fanatisme

bermazhab dalam bidang fikih, aliran-aliran ilmu kalam sampai bidang

gramatikal bahasa Arab. Penafsiran yang dilakukan sesuai dengan

golongan atau bidang yang mereka tekuni.102

Tafsir Al-Qur’an juga di gunakan oleh para ahli sejarah hanya

untuk mengumpulkan cerita-cerita dan sejarah masa lampau. Walaupun

memakai jalur periwayatan, mereka umumnya tidak memperdulikan

apakah didalam riwayat itu benar atau tidak, sehingga penafsiran-

penafsiran seperti ini terus berkembang dan berlanjut sampai membuahkan

beratus-ratus kitab tafsir dengan berbagai macam ragam.

C.) Periode Kontemporer

Ketika tentara Mongol melakukan penyerbuan secara besar-besaran

ke wilayah Islam seperti Samarkand, Bukhara, Khawarizm, Ray, Qum,

hingga Baghdad (1258 M). Penyerbuan besar-besaran ini tidak hanya

berimbas pada kekuatan Dinasti Islam yang berkuasa saat itu, tapi juga

dunia keilmuan Islam. Akibat penyerbuan tersebut banyak kota-kota yang

menjadi pusat peradaban Islam hancur, ribuan kitab dibakar, ratusan ulama

dibantai dan peninggalan-peninggalan bersejarah umat Islam pun tinggal

puing-puingnya saja. Sejak peristiwa penyerbuan yang sangat memilukan

tersebut, pergerakan keilmuan Islam (di wilayah timur) mengalami

102
Jalal al-Din al-Suyuthi, al-Itqan Fi Ulum al-Qur’an , vol II Beirut-Lebanon: Dar al-
Fikr, 2012, Hlm 190-191.

79
kemunduran. Para ulama yang hidup setelah kejadian tragis tersebut,

mereka hanya meringkas, mengomentari dan mengulang dari warisan-

warisan yang hampir punah tersebut. Tak terkecuali dalam bidang tafsir,

yang mengalami kemandekan paradigma sepeninggal Fakh al-Din al-Razi.

Sedangkan kitab-kitab tafsir pasca al-Razi dianggap hanyalah meringkas,

mengomentari dan menukil kitab-kitab sebelumnya.

Jadi periode ini diperkirakan oleh para sejarawan dimulai pada

akhir abad ke-19 M atau awal abad ke-20 M hingga sekarang ini. Para

mufasir pada periode ini menyadari akan kekurangan-kekurangan tertentu

dari tafsir periode sebelumnya yang dinilai tidak relevan dengan

kebutuhan dan perkembangan zaman. Di seberang lain, meskipun

mengusung bendera Syi’ah, Muhammad ‘Ali al-Syaukani (w. 1832 M).

Melalui kitab Tafsir Fath al-Qadir nya melanjutkan dan menyempurnakan

tradisi tafsir dikalangan Syi’ah pada geliat penafsiran mengalami

kemandegan di kalangan Sunni. Kehadiran tafsirnya al-Syaukani ini

seolah-olah menjadi suatu motivasi bagi ulama-ulama Sunni untuk keluar

dari kemandekan dalam bidang tafsir.

Selanjutnya setelah itu muncullah tafsir Ruh al-Ma’ani karangan

al-Alusi (w. 1270 H./ 1854 M). Dan disusul oleh Tantawi Jauhari (w. 1358

H) dengan tafsirnya yang bernama al-Jawhir, yang di dalamnya banyak

memuat tentang ilmu astronomi. Kemudian disusul oleh Rasyid Rida (w.

1354 H) lewat tafsirnya al-Manar yang kecenderungan bersumber pada

riwayat ma’tsur dan kemudian disaring dengan mazhab salaf nya yang

menyuarakan semangat pembaharuan Islam. Pergerakan tafsir selanjutnya

80
mulai merubah corak dan metode. Tafsir kemudian berlanjut ke arah

kajian-kajian maudhu’i (tematik) dari segala sisi al-Qur’an dan ilmu-

ilmunya. Dengan maraknya kajian-kajian tematik, banyak karya-karya

tafsir yang dihasilkan melalui pendekatan seperti ini. Pada masa ini para

mufasir menempuh langkah dan pola baru dengan memperhatikan

keindahan uslub dan kehalusan ungkapan serta dengan menitikberatkan

pada aspek-aspek sosial, pemikiran kontemporer dan aliran-aliran modern,

sehingga lahirlah tafsir bercorak “sastra-sosial.” Di antara mufassir

kelompok ini ialah Muhammad Abduh, Sayid Muhammad Rasyid Rida,

Muhammad Mustafa al-Maragi, Sayid Qutub dan Muhammad Ali as}-

S{a>buni, adapun mufassir kontemporer yang berasal Nusantara dewasa

ini diantaranya Buya Hamka, Quraish Shihab dan masih banyak lagi.103

2. Pemetaan Tafsir Konvensional sampai Era Kontemporer

Perjalanan panjang tafsir yang telah dilaluinya, menggambarkan

bagi pembacanya sejauh mana ulama menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an.

Rekaman sejarah tersebut juga memperlihatkan kecenderungan langkah

yang digunakan para ahli tafsir dalam menyikap dan mengeluarkan

makna-makna yang berada di balik al-Qur’an. Berjilid-jilid kitab yang

dihasilkan oleh para ahli tafsir diproduksi melalui cara dan bentuk yang

beragam. Mulai dari tafsir era klasik, seperti yang ditempuh at}-T{abari>,

yang banyak memanfaatkan sumber riwayat sampai era kontemporer yang

banyak menggunakan pendekatan melalui ilmu-ilmu pengetahuan umum,

kemanusiaan dan sosial-kemasyarakatan seperti yang dilakukan oleh

Tim Forum Karya Ilmiah Raden, Al-Qur’an Kita Studi Ilmu, Sejarah dan Tafsir
103

Kalmullah, Cet.1, Lirboyo Press MHM Lirboyo Kediri. 2011. Hlm 219.

81
Rasyid Rida dan Tantawi Jauhari. Usaha-usaha yang dilakukan para

mufasir dalam mendekati al-Qur’an melahirkan beragam metode dan jalan

yang digunakan dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dan masing-

masing tak lepas dari keistimewaan juga kelemahan. Dewasa ini, beberapa

tokoh Muslim Kontemporer yang berkecimpung dalam dunia tafsir

berusaha mengklasifikasi dan membagi tafsir yang ada, mulai dari era

klasik hingga era kontemporer.

Para mufasir klasik hanya menafsiri al-Qur’an melalui berbagai

perspektif dan bidang kajian, dan belum sampai menyinggung tentang

klasifikasi tafsir-tafsir yang beredar. Baru di era kontemporer ini muncul

kajian tentang klasifikasi tafsir-tafsir al-Qur’an. Hal ini jelas memberikan

sumbangan yang sangat besar bagi khazanah keilmuan Islam, khususnya

dalam kajian tafsir kedepannya. Akan tetapi, pembagian dan

pengelompokan tafsir yang dilakukan oleh beberapa tokoh Islam

kontemporer hanya berkisar pada metode penafsiran saja, tanpa melihat

pembagian tafsir dari sudut lainnya seperti sistematika, bentuk penyajian

tulisan tafsir dan sumber-sumber penafsiran.

Ulama era abad ke-9 hingga ke-13 memetakan metodologi tafsir

dalam tiga bentuk : tafsir al-ma’tsur, tafsir al-ra’yi, dan tafsir al-isyari.

Kemudian muncul ulama-ulama kontemporer yang berusaha merumuskan

kembali tafsir-tafsir yang ada. Husain al-Dzahabi membagi tafsir menjadi

lima bagian, yakni tafsir ma’tsur (riwayat), tafsir ra’yi atau aqli (nalar),

tafsir maudhu’i (tematik), tafsir isyari (intuisi) dan tafsir ilmi (sains/ilmu

82
pengetahuan). 104 Sedangkan ‘Abd al-Hayy al-Farmawi memetakan tafsir

menjadi empat kelompok, yaitu tahlili (analisis), ijmali (global), muqarran

(perbandingan), maudhu’i (tematik).105 Manna al-Qaththan membagi tafsir

ke dalam lima kelompok: ma’tsur (riwayat), ra’yi atau aqli (nalar), tafsir

isyari (intuisi), tafsir al-Shufiyyah (Sufisme), tafsir maudhu’i (tematik).106

Mayoritas ulama membagi tafsir berdasarkan metodologinya dan

tidak melihat aspek lain yang bisa memungkinkan untuk pembagian tafsir

yang lebih terperinci. Dari perbedaan pandangan tersebut, tampak antara

satu ulama dengan yang lainnya memiliki sudut pandang yang berbeda

dalam mengelompokkan tafsir.

B. Biografi

1. Abu Ja’far Ibnu Jari>r at}-T{abari>

a.) Biografi

Tokoh mufassir at}-T{abari> yang terkenal dengan kitab tafsir

ma’tsur nya ini, mempunyai nama lengkap yakni Muhammad bin Jari>r

bin Yazid bin Khalid bin Kasir Abu Ja’far at}-T{abari>, beliau lahir di

Amul ibu kota Tabaristan, kota ini merupakan salah satu provinsi di Persia

dan terletak di sebelah utara gunung Alburz, selatan laut Qazwin. Pada

tahun 224/225H atau sekitar tahun 839-840, dan meninggal 310 H di

Baghdad.

104
Muhammad Husain al-Dzahabi, ilm al-Tafsir, (Kairo: Dar al-Ma’arif, t.th.), Hal 39.
105
‘Abd al-Hayy al-Farmawi, al-Bidayah Fi al-Tafsir al-Maudhu’i, (Kairo: al-Hadharah
al-‘Arabiyyah, 1997), Hal 23.
106
Manna’ al-Qaththan, Mabahits Fi Ulum al-Qur’an , (T, tp: Mansyurat al-Ashr al-
Hadits, 1973), Hal 342-357.

83
b.) Latar Belakang Pendidikan

At}-T{abari> hidup pada masa Islam berada dalam kemajuan dan

kesuksesan dalam bidang pemikiran. Iklim seperti ini secara ilmiah

mendorongnya mencintai ilmu semenjak kecil. At}-T{abari> juga hidup

dan berkembang dilingkungan keluarga yang memberikan perhatian besar

terhadap masalah pendidikan terutama bidang keagamaan. Menggeluti

dengan telatan baik menghafal maupun mengkaji Al Qur’an merupakan

suatu hal yang sudah menjadi tradisi mereka tak terkecuali dengan at}-

T{abari>. Semangatnya yang tinggi terhadap ilmu pengetahuan sudah

terlihat semenjak ia masih kanak-kanak. Salah satu prestasinya adalah ia

telah menghafal Al-Qur’ān pada usia tujuh tahun. Hal itu tentu saja

sesuatu hal yang sangat fenomenal, mengingat Imam Syafī’i menghafal

Al-Qur’ān pada usia sembilan tahun dan Ibnu Sina sekitar sepuluh

tahun.107

Beliau merupakan seorang ulama yang sulit dicari bandingannya,

banyak meriwayatkan hadis, luas pengetahuannya dalam bidang penukilan

dan pentarjihan (penyeleksian untuk memilih yang kuat) riwayat-riwayat,

serta mempunyai pengetahuan luas dalam bidang sejarah para tokoh dan

berita umat terdahulu. Abu Ja’far Ibnu Jari>r at}-T{abari> dianggap dan

dipandang sebagai salah satu tokoh pewaris terpenting dalam keilmuan

klasik islam dan juga mendapatkan julukan sebagai Syaikh al-Mufassiri>n,

yaitu gurunya para ulama’ tafsir. Hal tersebut tercermin dari dua maha

107
Muhammad Razi. 50 Ilmuwan Muslim Populer, ( Jakarta: Qultum Media, 2005).
Cetakan ke-I, 109.

84
karyanya, kitab Tari>kh al-Uma>m Wa al Mulk dan Jami’ al Baya>n Fi>

Tafsi>r al-Qur’a>n yang menjadi salah satu sumber referensi ilmiah utama

bagi para pemikir muslim pada masanya.

Kedua buku tersebut termasuk diantara sekian banyak rujukan

ilmiah penting. Bahkan buku tafsīrnya merupakan rujukan utama bagi para

mufassir yang menaruh perhatian terhadap tafsīr bi al-ma’tsūr, disamping

karya-karya lainnya yang berhasil ia tulis. Secara tepat belum ditemukan

data mengenai jumlah buku yang berhasil diproduksi dan terpublikasikan

yang pasti dari catatan sejarah membuktikan bahwa karya-karya at}-

T{abari> meliputi banyak bidang keilmuan diantaranya; Bidang Hukum,

Tafsīr, Hadis, Teologi, Etika Religius dan Sejarah. Meskipun pada

awalnya, beliau penganut mazhab Syafi’iyah hingga pada perkembangan

selanjutnya ketika keilmuannya memungkinkan untuk berijtihad sendiri,

beliau kemudian menelurkan pemikiran-pemikiran fikih sendiri. Karena

itu at}-T{abari> dinilai sebagai tokoh yang berada pada level mujtahid

mutlaq108.

c.) Karya-karya

Meskipun begitu At}-T{abari> begitu arif dan bijaksana, beliau

tidak memandang rendah orang lain meskipun Allah swt, memberikan

anugerah kelebihan dan kemampuan yang tidak lazim dimiliki oleh orang

kebanyakan. Dengan ilmunya yang tinggi, semakin mendekatkannya

kepada sang yang maha Kuasa, dan semakin bijaksana menyikapi

108
Lihat Syukron Affani, Tafsir Al-Qur’an Dalam Sejarah Perkembangannya, Edisi
Pertama, (Jakarta: Prenadamedia Group) 2019, Hlm 150.

85
persoalan-persoalan duniawi. Berikut ini karya-karya tulis dari at}-

T{abari>:

1. Jami’ al Baya>n Fi> Tafsi>r al-Qur’a>n,

2. Tari>kh al Uma>m Wa al Mulk,

3. Al-Adabul Hamidah wal Akhlaqun Nafi>sah,

4. Tari>khur Rijal,

5. Ikhtilaf al-Fuqaha,

6. Tahzib al-Asar,

7. Kita>bul Basil Fil Fiqh,

8. Al-Jami’ Fil Qira’at,

9. Kita>but Tabsi>r Fil Usul.

d.) Seputar Kitab Tafsir at}-T{abari>

Nama aslinya yakni Jami’ al Baya>n Fi> Tafsi>r al-Qur’a>n,

merupakan tafsir paling besar dan utama serta menjadi rujukan penting

bagi para mufassir yang bersumber dengan riwayat. Tafsīr at}-T{abari> ini

terdiri dari 30 jilid, masing-masing berukuran tebal Pada mulanya tafsīr ini

pernah hilang, namun kemudian Allah menakdirkan muncul kembali

ketika didapatkan satu naskah manuskrip tersimpan dalam penguasaan

seorang amir yang telah mengundurkan diri, Amir Hamud bin ‘Abdur

Rasyid, salah seorang penguasa Nejd. Tidak lama kemudian Kitab tersebut

diterbitkan dan beredar luas sampai ditangan kita, menjadi ensiklopedi

kaya tentang tafsīr bil ma’tsūr.

86
Tafsir at}-T{abari merupakan karya besar dalam pengertian yang

sesungguhnya, berjumlah 30 jilid, dengan jumlah total kurang lebih 10.000

lembar halaman. Beliau menyelesaikan tafsirnya secara intens dalam

kurun waktu 7 tahun dengan bantuan murid-muridnya yang mencatat

keterangan yang didektekan beliau.

Beliau memaparkan tafsir dengan menyandarkannya kepada

sahabat, tabi’in dan tabi’ at-tabiin. Beliau juga menampilkan berbagai

pendapat dan mentarjihkan sebagian atas yang lain. Yang membuat

istimewanya lagi di dalam kitab tafsirnya juga menampilkan istinbat} yang

unggul dan pemberian isyarat terhadap kata-kata yang samar i’rab nya.

At}-T{abari> tidak begitu saja menafsirkan Al-Qur’ān tetapi di dasari

berbagai macam pengembaraan pengetahuan dari berbagai disiplin ilmu,

sehingga wajar saja jika hasil pikirannya dijadikan referensi oleh para

penafsir sesudahnya. Ibnu Jarir at}-T{abari> menguasai berbagai disiplin

ilmu teramsuk didalamnya fiqh, maka tidak diherankan jika dalam

menafsirkan ayat-ayat hukum beliau selalu mengungkap pendapat ulama

yang punya keterkaitan dengan masaalah yang dimaksud, lalu

mengemukakan pendapatnya.

Ibnu Jarir at}-T{abari> juga banyak menafsirkan Al- Qur’ān

dengan hadis, ia sangat teliti dalam mengemukakan jalan-jalan

periwayatan sampai kepada pemabawa berita pertama (al-rawi A’la).

Penafsirannya selalu diperkuat dengan riwayat-riwayat dan jika pada

penafsiran itu terdapat dua pendapat atau lebih maka ia memaparkan

semuanya, ia tidak semata-mata menyebutkan riwayat saja tetapi kadang

87
dijelaskan secara rinci dan pada gilirannya mentarjih riwayat-riwayat

tersebut. Ibnu Jarir at}-T{abari> dalam menyelesaikan persoalan fiqh,

maka beliau menjelaskan semua pendapat ulama tentang hal itu, kemudian

dikemukakan Pendapatnya mengenai masalah tersebut kemudian Ibnu

Jarir at}-T{abari> ketika menafsirkan maksud ayat di atas, beliau terlebih

dahulu menyebutkan pendapat semua ulama tentang hukum makan kuda,

kemudian mengemukakan pendapatnya sendiri bahwa ayat tersebut tidak

menunjukkan kepada pengharaman.

e.) Metodologi Tafsir at}-T{abari>

1. Sumber Penafsiraan

Di dalam kitab tafsir at}-T{abari sang mufassir menggunakan

sumber penafsiran bi al-Ma’tsûr adalah salah satu model tafsīr yang paling

utama dan tertinggi kedudukannya bila dibandingkan dengan model tafsīr

yang lain, karena dengan menafsirkan Al-Qur’ān menggunakan kalam

Allah sendiri, perkataan Rasulullah SAW dan periwayatan para sahabat.

Allah lebih mengetahui akan maksud dan ucapan-Nya, perkataan

Rasulullah adalah penjelasnya dan para sahabat adalah orang-orang yang

menyaksikan turunnya ayat-ayat Al-Qur’ān, dan hal ini biasa disebut

dengan tafsir bi al-Riwayah yang mana sumber tafsirnya dari Al-Qur’an

dengan Al Qur’an, Al Qur’an dengan hadis yang di kuatkan dengan atsar

para sahabat dan tabi'in.109

Tim Forum Karya Ilmiah Raden, Al-Qur’an Kita Studi Ilmu, Sejarah dan Tafsir
109

Kalmullah, Cet.1, Lirboyo Press MHM Lirboyo Kediri. 2011. Hlm 232-233.

88
Ibnu Jari>r at}-T{abari> dalam hal ini, memulai menafsirkan ayat

Al- Qur’ān dengan mencari tafsīran suatu ayat dari ayat Al-Qur’ān yang

lain, karena ia yakin bahwa ayat-ayat Al-Qur’ān adalah satu mata rantai

yang tak bisa dipisahkan, dan biasanya at}-T{abari> juga memberi

penafsirannya sendiri dengan cara mengunggulkan pendapat yang

dianggapnya kuat, atau yang biasa dikenal dengan metode istinbat}.

2. Metode Penafsiran

Metode penulisan penafsiran yang digunakan at}-T{abari> adalah

metode tahlili (analisis) merupakan suatu cara kerja menafsirkan ayat-ayat

Al-Qur’an sesuai dengan runtutan ayat dan surat yang terdapat dalam Al-

Qur’an, serta menjelaskan hal-hal yang berhubungan dengan setiap, baik

berupa makna, kosa kata, gramatika, sastra, hukum, sebab-sebab turunnya

ayat dan yang lainnya. Metode ini menitikberatkan pada uraian-uraian

penafsiran yang detail, mendalam, dan komprehensif, di mana beliau

menafsirkan ayat Al-Qur’ān secara keseluruhan berdasarkan susunan

mushaf, ia menjelaskan ayat demi ayat, dengan menjelaskan makna

mufradat-nya serta beberapa kandungan lainnya. Tafsir yang

menggunakan metode ini biasanya berbentuk tafsir ma’tsur (riwayat)

ataupun ra’yu (nalar-akal). Didalam menafsirkan Al-Qur’an at}-T{abari>

menempuh langkah-langkah sebagai berikut :

1. Mengawali penafsiran ayat dengan mengatakan : “ Pendapat tentang

takwil firman Allah, begini.’ Kemudian menafsirkan ayat dan

89
menguatkan pendapatnya dengan apa yang diriwayatkannya dengan

sanadnya sendiri dari para sahabat atau tabi’in.

2. Menyimpulkan pendapat umum dari nash al- Qur'an dengan bantuan

atsar - atsar yang diriwayatkannya.

3. Menyebutkan atsar-atsar yang berasal dari Rasulullah SAW, sahabat

dan tabi'in dengan menuturkan sanad-sanadnya, dimulai dari sanad

yang paling kuat dan paling shahih.

4. Menguatkan pendapat yang menurutnya kuat dengan menyebutkan

alasan-alasannya.

5. Melanjutkannya dengan menjelaskan pendapat ahli bahasa, seperti

bentuk kata dan maknanya, baik tunggal maupun gabungan serta

menjelaskan makna yang dimaksud dalam nash yang bersangkutan.

6. Melanjutkannya dengan menjelaskan qira’at-qira’atnya dengan

menunjukkan qira’at yang kuat dan mengingatkan akan qira’at yang

tidak benar.

7. Menyertakan banyak syair untuk menjelaskan dan mengukuhkan

makna nash.

8. Menuturkan i’ra>b dan pendapat para ahli nahwu untuk

menjelaskan makna sebagai akibat dari perbedaan i’rāb.

9. Memaparkan pendapat-pendapat fiqih ketika menjelaskan ayat-ayat

hukum, mendiskusikannya dan menguatkan pendapat yang

menurutnya benar. Kadang-kadang menuturkan pendapat para ahli

kalam dan menjuluki mereka dengan ahli jadal (ahli teologi

90
dialektis), mendiskusikannya, kemudian condong kepada pendapat

Ahli Sunnah wal Jama’ah.110

Metode yang di gunakan sang mufassir di kitab at}-T{abari> ini

merupakan metode yang klasik dan sebagian besar sumber penafsirannya

menggunakan Al-Qur’an dan periwayatan hadis, atsar, kisah-kisah

israilliyat yang berkaitan dengan ayat pembahasan. Contoh penafsiran at}-

T{abari>:

Menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an, seperti dalam QS. Al-

Nisa ayat 24:

ْ ‫وٱ لْم ْح ص نَٰ ت َم ن َٱلن س اَءَََإ ََّّل َم اَم ل ك‬


َ‫ت َأ َْي َٰن ك ْم‬
Diartikan dengan terjaga kemaluannya dari kekejian. Seperti

ُ‫ص َٰنَت‬
َ ‫ ٱ ْل ُم ْح‬kata yang dimaksud dalam QS.Al-Tahrim ayat 12:

ْ ‫وم ْرميَٱبْنتَع ْم َٰرنَٱلَّتَأ ْحصن‬


‫تَف ْرجها‬
Pada kata ahsanat farjaha kata ini diartikan dengan tercegahnya

dari keraguan dan tercegahnya dari kekejian.111

3. Corak Penafsiran

Corak Penafsiran adalah kecenderungan mufasir di dalam

menguraikan Al-Qur’an yang pemahamannya masih ijmal ( global). Jadi

ketika mufasir berusaha menerangkan Al-Qur’an, biasanya sang mufasir

110
M. Fatih Surya Dilaga, dkk, Metodologi Ilmu Tafsīr, (Yogyakarta: Teras, 2010), 41-42.
111
Basya>r 'Awa>d Ma’ruf, 'Is}a>m Fa>ris al-H{arsa>ni, Tafsi>r Jami’ al- Baya>n an
Ta’wil Ây al-Qur’a>n Karya Ibnu Jari>r at}-T{abari, Cet 1, Mu’assasah al-
Risalah, (Beirut-Lebanon), 1994 M. Hlm 10.

91
menguraikan dengan ilmu yang dikuasainya atau mahir di dalam

bidangnya. Dalam hal ini dibagi dalam beberapa corak, antara lain: corak

sufi (tafsi>r al-s}ufi), corak hukum atau fikih (tafsi>r al-ah}ka>m), corak

filsafat (tafsi>r al-falsafi), corak ilmu pengetahuan atau sains (tafsi>r al-

ilmi), corak sosial kemasyarakatan (tafsi>r al-a>da>b al-ijtima>’i), dan

corak sastra (tafsi>r al-baya>ni).

Didalam Tafsi>r Jami’ al-Baya>n sang mufasir banyak sekali

mengungkapkan makna kata bahasa ataupun sastra (tafsi>r al-baya>n)

yang terkadang membuat pembahasan jadi bertele-tele sehingga pesan inti

Al-Qur’an menjadi sulit untuk dipahami.

2. Muhammad Ali al}-S}a>bu>ni>

a.) Biografi ‘Ali> al}-S}a>bu>ni>

Beliau merupakan seorang cendekiawan kontemporer yang begitu

produktif dalam menghasilkan karya tulis, khususnya di bidang tafsir al-

Qur’an (mufasir), beliau merupakan mufasir kekinian atau penafsir

kontemporer. Beliau merupakan profesor di bidang Syari’ah dan Dira>sah

Isla>miyah (Islamic Studies) di Universitas King Abdul Aziz Makkah al-

Mukarramah.112

Nama lengkap beliau adalah Muh}ammad ‘Ali> Ibn ‘Ali> Ibn

Jami>l al-S{a>bu>ni>, lahir di daerah H{alb atau yang terkenal dengan

Aleppo di Suriah pada tahun 1928 Masehi atau tahun 1347 Hijriah.

112
Al-Sayyid Muh}ammad ‘Ali> Iya>zi>, al-Mufassiru>n Haya>tuhum wa
Manhajuhum (Cet.I;Teheran : Wiza>rah al-S|aqa>fah wa al-Insya>q al-Isla>m, 1993), h.
470. Lihat juga, Muhammad Yusuf, Dkk., Studi Kitab Tafsir Kontemporer (Cet. I;
Yogyakarta : Teras, 2006), h. 49.

92
Namun, dari beberapa sumber lain ada yang mencatat bahwa al-

S{a>bu>ni> dilahirkan tahun 1930 Masehi, tepatnya pada tanggal 1

Januari. Kota Aleppo yang juga biasa dikenal dengan kota H{alb menjadi

kota terbesar kedua suriah, setelah Damaskus, ibukota Suriah. Kota

Aleppo bergabung dengan negara Suriah sejak tahun 1944.

Al-S{a>bu>ni> tumbuh dan perkembang di tengah-tengah

keluarga yang sangat menggeluti ilmu pengetahuan. Ayahnya bernama

Syaikh Jami>l adalah salah satu ulama senior di Aleppo. Beliau

mempelajari pendidikan dasar dan formal terkait bahasa Arab, ilmu waris,

dan ilmu-ilmu agama di bimbing langsung oleh ayahnya. Sejak usia

kanak-kanak, beliau sudah menampilkan kemahiran dan kecerdasan dalam

mengkaji berbagai ilmu agama. Di usianya yang masih tergolong anak-

anak, al-S{a>bu>ni> mampu menghafal al-Qur’an. Tidak heran bila

kemahirannya ini membuat banyak ulama di tempatnya menimba ilmu

sangat menyukai kepribadian al-S{a>bu>ni>.113 Syaikh Ali al-S{a>bu>ni>

pernah berkunjung ke Indonesia tepatnya di penghujung tahun 2012. Ia

berkunjung ke Pondok Pesantren Al-Anwar Sarang Rembang, Jawa

Tengah dan bertemu dengan KH Maimoen Zubair. Beliau wafat pada

tanggal 19 Maret 2021, dimakamkan di Yalova Turki, dengan usia 91

tahun.114

113
Muhammad Patri Arifin, Rawa>i’ al-Baya>n Tafsir Ayat al-Ahkam Min Al-Qur’an
Karya Muhammad Ali as}-S}a>buni (Suatu Kajian Metodologi). Tesis (UIN Alauddin
Makassar 2014). Hlm 56.
114
https://www.nu.or.id/amp/obituari/innalillah-mufassir-asal-suriah-syekh-ali-al-
shabuni-wafat-1B9ae

93
b.) Latar Belakang Pendidikan

Al-S{a>bu>ni> tidak hanya belajar kepada sang ayah saja, Akan

tetapi al-S{a>bu>ni> sering menghadiri majelis pengajian ulama lainnya

yang diadakan di berbagai masjid. Beliau memiliki banyak sekali guru di

antara gurunya adalah Syaikh Muh}ammad Naji>b Sira>j al-Di>n, Syaikh

Ah}mad al-S{ama, Syeikh Muh}ammad Sa’i>d Al-Idlibi>, Syaikh

Muh}ammad Ra>gib al-T{abba>kh dan Syeikh Muh}ammad Naji>b

Khayya>t}ah.

Setelah lulus pendidikan dasar, beliau melanjutkan studi formalnya

di sekolah yang berafiliasi dengan pemerintah, yaikni Madrasah al-

Tija>riyyah, ketika menimba ilmu di madrasah ini beliau hanya menjalani

studinya selama satu tahun. Kemudian,berpindah melanjutkan studinya di

sekolah khusus syariah, Khasrawiyya, yang berada di Aleppo. Saat

bersekolah di Khasrawiyya, Beliau disamping mempelajari bidang ilmu-

ilmu Islam, akan tetapi juga mempelajari di bidang ilmu-ilmu umum.

Beliau berhasil menamatkan pendidikan di Khasrawiyya dan lulus pada

Tahun 1949. Kemudian beliau memperoleh beasiswa pendidikan dari

Departemen Wakaf Suriah, beliau melanjutkan studinya di Universitas al-

Azhar, Mesir, sampai selesai strata satu dari Fakultas Syariah pada tahun

1952. Dua tahun kemudian, beliau memperoleh gelar magister pada bidang

studi Peradilan Syariah (Qud}ah al-Syar’iyyah) di Universitas yang sama.

Setelah dari Mesir, al-S{a>bu>ni> memutuskan kembali ke kota

kelahirannya, menjadi guru di berbagai sekolah menengah atas yang ada di

94
Aleppo. Pekerjaan sebagai guru sekolah menengah atas ini beliau jalani

selama delapan tahun, dari tahun 1955 hingga 1962.

Kemudian beliau memperoleh tawaran untuk menjadi dosen di

Fakultas Syariah Universitas Umm al-Qura> dan Fakultas Ilmu

Pendidikan Islam di Universitas King Abdul Aziz. Kedua universitas ini

berada di Kota Makkah. Beliau mengisi waktu dengan kesibukannya

mengajar di dua perguruan tinggi ini selama 28 tahun. Karena prestasi

akademik dan keahliannya dalam menulis, ketika menjadi dosen di

Universitas Umm al-Qura>n, al-S{a>bu>ni> pernah mengisi jabatan

sebagai dekan Fakultas Syariah. Beliau juga diamanahi untuk menjadi

Kepala Pusat Kajian Akademik dan Pelestarian Warisan Islam (Centre for

Academic Research and Reviving the Islamic Heritage).

c.) Karya-karya

Syaikh Ali Al-Sa>bu>ni> memiliki karya cukuplah banyak, karena

beliau merupakan mufasir yang begitu produktif dalam menggali

penafsiran al-Qur'an, beliau menguraikan makna ayat dengan detail

kandungannya serta keindahan dalam tampilan uraiannya. Pujian seperti

ini memanglah pantas disematkan untuk beliau, sebab karya-karyanya

banyak bertebaran di dalam koran maupun majalah seperti karya tulis nya

yang mengulas tentang Naz}ara>t fi> Su>rah al-Zumar yang termuat

dalam The Moslem World (al-‘alam al-Isla>mi>) 9 Mei 1999/1420 H.

Selain terkenal sebagai pengajar, al-S{a>bu>ni> juga terkenal sebagai

pakar ilmu tafsir dan ilmu syari’ah, ditambah lagi dengan wawasannya

95
yang begitu luas sehingga menempatkannya sebagai salah satu tokoh

intelektual muslim yang sangat berpengaruh. Pemikirannya terabadikan di

dalam karya-karyanya yang cukup banyak. ‘Abd. al-Qa>dir Muh}ammad

S{a>lih} dalam al-Tafsi>r wa al-Mufassiru>n fi> ’As}r al-H{adi>s\

menyebutnya sebagai akademisi yang ilmiah dan banyak menghasilkan

karya-karya bermutu. Di antara karya-karyanya adalah :115

1. Al-Tibya>n fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n

2. Al-Tafsi>r al-Wa>d}ih al-Muyassar

3. Al-Qur’a>n al-Kari>m wa bi Ha>misyihi Durrah al-Tafa>sir

4. Mukhtas}ar Tafsi>r Ibn Kas\i>r

5. Al-Mawa>ris\ fi> al-Syari>’ah al-Isla>miyyah fi> Dau’ al-Kita>b

wa al-Sunnah

6. Al-Syubuha>t wa al-Ba>t}il H{aula Ta’addud Zauja>t al-Rasu>l

7. Al-Nubuwwah wa al-Anbiya>’

8. Al-Fiqh al-Syar’i> al-Muyassar fi> Dau’ al-Kita>b wa al-Sunnah

Fiqh al-Mu’a>malah

9. Al-Fiqh al-Syar’i> al-Muyassar fi> Dau’ al-Kita>b wa al-Sunnah

Fiqh al-‘Iba>dah

10. Hadiyyah al-Afrah} li al-‘Aru>syain al-Zawa>j al-Isla>mi> al-

Mubakkar : Sa’a>dah wa H{asanah

11. Mauqif al-Syari>’ah al-Gurrah min Nika>h} al-Mut}’ah

12. Min Kunu>z al-Sunnah Dira>sah Ada>biyyah wa Lugawiyyah min

al-H{adi>s\ Al-Syari>f

Abd. Al-Qa>dir Muh}ammad al-S{a>lih}, al-Tafsi>r wa al-Mufassiru>n fi> ‘As}r al-


115

H{adi>s\ (Cet.I;Beiru>t : Da>r al-Ma’rifah, 1424 H/2003 M), h.183 dan 36.

96
13. Al-Sunnah al-Nabawiyyah Qismun min al-Wahy al-Ila>hi> al-

Munazzal

14. Mawsu>’ah al-Fiqh al-Isla>mi> al-Muyassar

15. Mawqi>f al-Syari>’ah al-Gurra’ min Nika>h al-Mut}’ah

16. Harakah al-Ard} wa Daura>nuha H{aqi>qah ‘Ilmiyyah As\bataha

Al-Qur’a>n

17. Risa>lah fi> Hukm al-Tas}wi>r

18. Ma’a>n al-Qur’a>n al-Kari>m li Abi> Ja’far al-Nuh}a>s

19. Al-Muktat}afa>t min ‘Uyu>n al-Syi’ir

20. Mukhtas}ar Tafsi>r al-T{abari>

21. Tanwi>r al-Az\ha>n min Tafsi>r Ru>h al-Baya>n

22. Al-Syarh} al-Muyassar li S{ahi>h al-Bukha>ri>

23. Al-Ibda’ al-Baya>n

24. Al-Mahd wa Asyrat} al-Sa>’ah

25. Aqi>dah Ahl al-Sunnah fi> Mi>za>n al-Syar’i>

26. Risa>lah al-S{alah

27. Syarh} Riya>d} al-S{a>lihi>n

28. S{afh}at Musyriqah min H{aya>t al-Rasu>l wa S{aha>batih al

Kira>m.

29. I’ja>z al-Baya>n fi> Maqa>s}id S{uwar al-Qur’a>n

30. Al-Zau>j al-Isla>mi> al-Mubakkir

31. Jari>mah al-Riba>’ Akht}ar al-Jara>im al-Diniyyah wa al-

Ijtima>’iyyah

32. Al-Muntaqa> al-Mukhta>r min Kita>b al-Az\ka>r

97
33. Qabasun min Nu>r al-Qur’a>n

34. Fath} al-Rahma>n bi Kasyf ma> Yaltabis fi> al-Qur’a>n

35. S{afwah al-Tafa>si>r

36. Rawa>i’ al-Baya>n Tafsi>r A<ya>t al-Ah}ka>m min al-Qur’a>n.

d.) Seputar Tentang Tafsir Rawa>i’ al-Baya>n

1. Latar Belakang Penafsiran

Pada bagian sebelumnya di atas telah dijelaskan bahwa salah satu

karya monumental Muh}ammad ‘Ali> al-S{a>bu>ni> adalah kitab

Rawa>i’ al-Baya>n Tafsi>r A<ya>t al-Ah}ka>m min al-Qur’a>n, kitab ini

adalah salah satu kitab tafsir kontemporer yang terkenal dengan

penjabaran hukum syari’at, yang berusaha menafsirkan al-Qur’an disertai

dengan penjelasan-penjelasan yang komprehensif, bahasa yang sederhana,

dan metode sistematis.116

Dengan hadirnya kitab Tafsi>r Rawa>i’ al-Baya>n ini merupakan

salah satu bentuk respon balik atas permasalahan-permasalahan yang

dihadapi orang-orang, khususnya dalam permasalahan hukum Islam, yang

tentunya ujian dan problematika tersebut berbeda satu sama lain. Bahkan

perbedaan itu terkadang menjadi penghalang dalam kehidupan masyarakat

muslim sehingga mereka tidak mampu mengikuti laju perkembangan

116
Muh}ammad ‘Ali> al-S{a>bu>ni>, Rawa>i’ al-Baya>n Tafsi>r A<ya>t al-Ahka>m
min al-Qur’a>n, Jilid I (Jakarta : Da>r al-Kutub al-Isla>miyyah, 1422 H/2001 M), Hlm.
8.

98
zaman yang pada akhirnya menjadi salah satu penyebab ketertinggalan

mereka dibandingkan dengan masyarakat lainnya.117

Pada hal lain, tirai yang muncul dalam kehidupan masyarakat

muslim itu memunculkan pandangan negatif dari orang lain serta

mempertegas image yang tidak baik yang pada akhirnya berujung pada

aneka tuduhan yang menyakitkan. Yang mana tuduhan-tuduhan tersebut

diyakini sepenuhnya adalah tidak benar. Hanya saja masyarakat muslim

juga tidak boleh menutup diri bahwa secara tidak sadar sering kali mereka

mempunyai andil atas munculnya berbagai tuduhan dan pandangan negatif

tersebut.

Al-S{a>bu>ni> sebagai seorang mufasir kontemporer yang

berhadapan dengan kondisi seperti itu tertarik untuk mengkaji dan

menampilkan al-Qur’an sehingga kegelisahan masyarakat terhadap

problematika hukum Islam yang ada bisa terobati bahkan hati mereka

semakin tenang ketika membaca al-Qur’an. Ketertarikan al-S{a>bu>ni>

untuk menulis kitab tafsirnya dilatarbelakangi oleh beberapa hal yang dia

sampaikan pada muqaddimah kitab tafsirnya, yaitu:

Pertama, al-S{a>bu>ni> beranggapan bahwa di antara beberapa

amalan yang didahulukan, dan amalan yang paling baik yang perlu

dilakukan manusia adalah berkhidmat kepada kitab Allah yaitu al-Qur’an.

Allah menjadikan al-Qur’an itu sebagai petunjuk dan cahaya kehidupan

bagi manusia, dan sebagai al-risa>lah al-sama>wiyyah terakhir atau

Muhammad Patri Arifin, Rawa>i’ al-Baya>n Tafsir Ayat al-Ahkam Min Al-Qur’an
117

Karya Muhammad Ali as}-S}a>buni (Suatu Kajian Metodologi). Tesis (UIN Alauddin
Makassar 2014). Hlm 65.

99
penutup yang diturunkan kepada manusia. Sebagaimana yang sudah

termaktub di dalam Al-Qur’an An-Nisā : 174

‫ايَأي هاَالنَّاسَق ْدَج َاءك ْمَب ْرهانَم ْنَربك ْمَوأنْزلْناَإلْيك ْمَنوراَمبينا‬


“Wahai manusia, sesungguhnya telah sampai kepadamu bukti kebenaran
(Nabi Muhammad dengan mukjizatnya) dari Tuhanmu dan telah Kami
turunkan kepadamu cahaya yang terang benderang (Al-Qur’an)”.
Karena itu, tersusunnya kitab tafsi>r a>ya>t al-ah}ka>m

diharapkan oleh al-S{a>bu>ni> dapat menjadi penerang agama,

memberikan sinar dan cahaya kepada umat serta diberikan kemuliaan

terhadap pengamalan al-Qur’an bagi mereka yang senantiasa menjaga al-

Qur’an dengan metode dan cara-cara yang mulia. sebagaimana janji yang

disampaikan Rasulullah SAW akan keberuntungan dalam hidup bagi

mereka yang menjaga dan menghafal al-Qur’an. Al-S{a>bu>ni>

mempunyai harapan menjadi bagian dari golongan orang-orang yang dapat

menjaga al-Qur’an, yaitu golongan orang-orang yang selalu istiqomah

menjaga keotentikan al-Qur’an yang merupakan penuntun dan pedoman

hidup manusia, setidaknya menjadi orang yang senantiasa meniru

perbuatan mereka, yaitu orang-orang yang termuliakan oleh Allah dengan

penjagaannya terhadap al-Qur’an.

Kedua, salah satu amalan yang bersifat kekal dan masih terus-

menerus mengalir pahala kepada manusia sekalipun dia telah tiada, yakni

ilmu yang bermanfaat, yaitu amalan yang dianggap kebaikannya akan

terus mengalir kepada manusia bila hal atau sesuatu itu terus dimanfaatkan

oleh orang-orang yang mengamalkannya. Begitulah salah satu tujuan

mulia al-S{a>bu>ni> yang beliau goreskan di antara tujuannya dalam

100
menelurkan karya, sebagaimana yang telah dikatakannya dalam kitab

tafsirnya:

“Dan saya memiliki harapan mulia, yaitu Allah memberikan saya

kemudahan dalam berkhidmat kepada agama dan ilmu. Maka saya

membuat kitab-kitab yang semoga dapat bermanfaat bagi manusia, dengan

keyakinan saya bahwa hal ini merupaka bagian dari amalan-amalan saleh,

yang tersisa untuk manusia setelah matinya.”

Ketiga, dengan kitab tafsir ini, al-S{a>bu>ni> mengharapakan

dapat memberikan keluwesan dan kejelasan kepada umat dalam

memahami maksud ajaran-ajaran yang masih samar di dalam al-Qur’an,

khususnya ketentuan-ketentuan yang tidak ditetapkan Allah melalui ayat-

ayat ah}ka>m-Nya. Sebagaimana yang beliau tuturkan ketika menjelaskan

rasa syukurnya kepada Allah yang diberi kegampangan dan kesempatan

untuk menelaah, mengajar, menulis serta menelurkan sebuah kitab tafsir di

negeri yang mulya lagi aman yakni Makkah al-Mukarramah tanpa adanya

gangguan kejahatan dan keburukan. Dibalik tujuan yang al-S{a>bu>ni>

tunjukkan dalam mukaddimah kitabnya, penulis beranggapan bahwa

ketika manusia telah ditakdirkan oleh Allah di tempat yang terjamin

keamanan, ketenteraman serta ketenangannya, maka hal yang sangat

hinalah ketika melakukan tindakan kebatilan dan ingkar kepada anugerah

dari Allah menjadi bagian dari kehidupannya. Maka salah satu bentuk

kesyukuran al-S{a>bu>ni> ketika berada pada tempat, situasi dan kondisi

seperti demikian, adalah melakukan telaah, pengajaran serta membuahkan

101
sebuah karya yang dapat mendatangkan manfaat untuk manusia dan juga

dirinya.

Keempat, tujuan yang ia gambarkan dalam mukaddimah kitabnya.

Beliau berharap agar karyanya dapat terjaga, sehingga memberikan

manfaat kepada kaum muslimin semuanya hingga hari akhir, yaitu hari

yang tidak satupun sesuatu yang bermanfaat dari harta dan keturunan

kecuali mereka yang datang kepada Allah dengan membawa hati yang

bersih lagi selamat.118

2. Sistematika Penafsiran

Sistematika penyusunan kitab tafsir Rawa>i’ al-Baya>n adalah

mengurutkan susunan tafsirnya yang termulai dari surah al-Fa>tih}ah

sampai surat al-Muzzammil, dan hanya terfokuskan pada ayat-ayat hukum,

sehingga tidak semua ayat dalam surat ditafsirkan, meskipun demikian

beliau tetap menafsirkan sesuai dengan susunan mushaf atau tarti>b

mus}h}af, setiap ayat-ayat hukum diberikan judul sesuai dengan tema

pembahasan yang berkaitan dengan ayat-ayat tersebut kemudian dibahas

sesuai dengan sistematika yang telah disusun, yaitu :

1. Mengurai lafaz (al-tahli>l al-lafz}i>) tertentu yang diperkuat

dengan berbagai pendapat mufassir dan pakar-pakar bahasa Arab.

2. Menerangkan pengertian secara umum (al-ma’na> al-ijma>li>)

dari ayat-ayat hukum yang akan dibahas.

118
Muh}ammad ‘Ali> al-S{a>bu>ni>, Rawa>i’ al-Baya>n Tafsi>r A<ya>t al-Ahka>m
min al-Qur’a>n, Jilid I (Jakarta : Da>r al-Kutub al-Isla>miyyah, 1422 H/2001 M), Hlm.
8.

102
3. Menyebutkan sebab nuzul ayat jika ayat-ayat yang bersangkutan

memang memiliki sebab nuzul.

4. Memaparkan segi-segi hubungan (irtiba>t}/muna>sabah) antara

ayat.

5. Membahas perihal penafsiran dari segi al-qira>a>t al-

mutawa>tirah.

6. Membahas secara ringkas ayat yang tengah dibahas dari segi

i’ra>b.

7. Mengupas kedalaman tafsir yang meliputi rahasia-rahasia

keindahan bahasa (bala>gah) al-Qur’an dan kedalaman daya ilmiah

yang terkandung di dalamnya.

8. Pengungkapan kandungan hukum-hukum syar’i dan pendapat

fuqaha>’ (ulama fikih) berikut dalil-dalilnya untuk kemudian

melakukan tarji>h} guna mengambil dalil yang lebih kuat.

9. Mengambil intisari (kesimpulan) yang ditunjukkan oleh ayat-

ayat yang dibahas.

10. Penutup pembahasan yang dilakukan dengan mengetengahkan

hikmah pensyari’atan masalah yang terkandung dalam ayat-ayat

hukum yang disebutkan.

Sepuluh sistematika tersebut merupakan kerangka kerja

(framework) yang digunakan al-S{a>bu>ni> dalam kitabnya Tafsi>r

A<ya>t al-Ah}ka>m secara rinci dan menyeluruh, sepuluh langkah itu

103
digunakan sebagai subjudul dalam menerangkan ayat-ayat hukum yang

ada.119

Dalam hal pembahasan ayat-ayat hukum dengan menggunakan

metode atau sistematikanya tersebut, dia mengangkat pendapat-pendapat

ulama, mufasir dari kalangan ahlu sunnah yaitu, al-T{abari>, Ibn al-

Jauzi>, al-Qurt}ubi>, al-Ra>zi>, Ibn al-Kas\i>r, Al-Naisa>bu>ri>, al-

Suyu>t}i>, al-Zamakhsyari>, al-Alu>si>, Ibn al-Qayyim, Muh}ammad

‘Abduh. Pendapat-pendapat ulama fikih yang dikenal dengan empat

mazhab, yaitu Al-Sya>fi’i>, Ma>liki>, H{anafi> dan Ibn H{anbal, begitu

pula dengan kitab-kitab tafsir yang bercorak fikih seperti tafsir milik al-

Jas}a>s}, Ibn al-‘Arabi>, al-Kiya>hira>si>, al-Sya>fi’i>, Muh}ammad

‘Ali> al-Sa>yis dan kitab-kitab bercorak fikih yang beraliran ahlu sunnah.

Begitu pula kitab-kitab fikih perbandingan, seperti al-fiqh ‘ala> al-

maz\a>hib al-arba’ah, dan tafsir syi’ah seperti majma’ al-baya>n.

Dalam menjelaskan sisi kebahasaan ia mengambil beberapa

rujukan seperti, Al-Zamakhsyari>, Tafsi>r al-Baid}a>wi>, Mu’jam li

alfa>z} al-Qur’a>n karya al-Ragi>b al-As}faha>ni>, al-Hara>wi>, al-

Khat}t}a>bi>, Ibn Fa>ris, al-H{ajja>j, al-Asma>’, al-Farra>’, Bah}r al-

Muh}i>t}, Kasyf al-Ma’a>ni> Tafsi>r Ibn Jama>’ah, al-Kasysya>f,

Maja>z al-Qur’a>n, Tahdi>b Al-Lugah, al-S{ih}h}ah karya al-Jauh}ari>,

al-Qa>mu>s, al-S{a>wi> ‘ala> al-Jala>lain, Lisa>n al-‘Arab.

119
Muh}ammad ‘Ali> al-S{a>bu>ni>, Rawa>i’ al-Baya>n Tafsi>r A<ya>t al-Ahka>m
min al-Qur’a>n, Jilid I (Jakarta : Da>r al-Kutub al-Isla>miyyah, 1422 H/2001 M), Hlm.
8.

104
Karya-karya al-S{a>bu>ni> ini bisa diterima di berbagai kalangan

bukan hanya karena kedalaman ilmu yang dimilikinya, akan tetapi dalam

menampilkan pendapat, beliau tidak terlalu fanatik pada mazhab tertentu.

Ketika mengulas hukum misalnya, beliau merupakan orang yang moderat

menuturkan setiap pendapat dari berbagai mazhab dalam semua karyanya,

sekalipun beliau lahir di Suriah, menimba ilmu pendidikan di Mesir,

kemudian berkhidmah di Makkah. Yang mana pada setiap wilayah tersebut

memiliki corak mazhabnya masing-masing, namun al-S{a>bu>ni> tidak

memihak pada satu golongan dan menghargai pendapat-pendapat mazhab

lain. Dalam setiap karyanya al-S{a>bu>ni> selalu mengutarakan

pandangan-pandangan ulama sekalipun berbeda mazhab.

Maka dari itu keberadaan tafsir ini di terima oleh semua kalangan,

bahkan di salah satu pondok di Indonesia yakni Pondok Pesantren

Lirboyo, Kediri-Jawa Timur, dijadikan kurikulum pembelajaran bagi santri

tingkat marhalah al-ula , yang mana Ponpes Lirboyo merupakan Pondok

yang bercorak kajian fikih klasik-nusantara.

e.) Metodologi Tafsir Rawa>i’ al-Baya>n

Metodologi kitab tafsir Rawa>i’ al-Baya>n akan penulis

klasifikasikan dalam tiga unsur yaitu sumber penafsiran, metode

penafsiran, dan corak penafsiran. Sumber penafsiran seperti tafsir bi al-

ma's\u>r dan bi al-ra’yi. Metode-metode penafsiran (manhaj al-tafsir)

sebagai langkah-langkah penafsiran seperti tah}li>li>, ijma>li>,

105
muqa>ran, dan mawd}u>'i>. Corak penafsiran (lawn al-tafsi>r) seperti

lugawi>, falsafi>, dan fikih.

1. Sumber Penafsiran

Dalam menafsirkan atau memahami ayat-ayat al-Qur’an terdapat

tiga cara populer yaitu, pemahaman terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang

selalu merujuk pada kekuatan riwayat atau wahyu (tafsi>r bi al-

ma’s\u>r), kemudian pemahaman dengan menggunakan nalar (tafsi>r bi

al-ra’yi), dan pemahaman mengandalkan kesan yang diperoleh dari teks

(tafsi>r isya>ri>).

Di dalam kitab tafsir Rawa>i’ al-Baya>n sang mufasir

menggunakan dua sumber penafsiran sekaligus, yakni bi al-ma’s\u>r dan

tafsi>r bi al-ra’yi. Akan tetapi sumber bi al-ma’s\u>r lebih mendominasi

di dalam penafsiran kitab Rawa>i’ al-Baya>n. 120 Berikut ini contoh

penafsirannya:

Contoh bi al-ma’s\u>r :

ۤ
٧٦ََ‫ وانَّهَلقسمَلَّوَتعلمونََعظيم‬٧٥ََ‫۞َفالَاقسمََِب َٰوقعَالنج َوم‬
“Lalu Aku bersumpah dengan tempat beredarnya bintang-bintang. Dan
sesungguhnya itu benar-benar sumpah yang besar sekiranya kamu
mengetahui,” (Al-Waqi’ah: 75-76).
Kemudian sang mufasir mengaitkannya dengan ayat Al-Qur’an lainnya:

ٍ ‫َّلَالشَّمسََينبغىَهل ۤاَانَتدركََالقمرََوَّلَالَّيلََسابقَالنَّهارََوكلَِفَف ل‬
َ‫ك‬
٤٠َ‫سبحون‬ َ َّ‫ي‬

120
Muh}ammad ‘Ali> al-S{a>bu>ni>, Rawa>i’ al-Baya>n Tafsi>r A<ya>t al-Ahka>m
min al-Qur’a>n, Jilid I (Jakarta : Da>r al-Kutub al-Isla>miyyah, 1422 H/2001 M), Hlm.
8.

106
“Tidaklah mungkin bagi matahari mengejar bulan dan malam pun tidak
dapat mendahului siang. Masing-masing beredar pada garis edarnya”.
(Yasin: 40).
َ‫َٱَّللَوم َٰلئكتهَۥَيصلونَعلىَٱلنَّبََۚ ََٰيي هاَٱلَّذينَءامنواصلواعلْيه‬
َّ ‫إ َّن‬
َ‫وسلموات ْسليما‬
“Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat Nya bershalawat kepada
Nabi (Muhammad). Wahai orang-orang yang beriman! Bershalawatlah
kamu kepada Nabi(Muhammad) dan ucapkanlah salam dengan sebaik-
baiknya penghormatan kepadanya (Muhammad)”. (Al-Ah}za>b: 56).
Al-S{a>bu>ni> pada ayat diatas menafsirkan tujuan Allah

memerintahkan manusia untuk bershalawat kepada Nabi saw. Melalui

sebuah pertanyaan yang mengatakan: “jika Allah dan malaikatNya sudah

bershalawat atas Nabi, lalu apa perlunya kita bershalawat atasnya?”

Kemudian dia menjawab dengan menjelaskan bahwa:

“shalawat atas Nabi bukan lantaran Nabi saw. memerlukannya, karena


seandainya ia memerlukan, maka shalawat malaikat pun tidak ada
gunanya, sebab Allah sudah bershalawat atasnya. Maka pada hakekatnya,
shalawat atas Nabi itu merupakan perwujudan dari mengagungkannya agar
supaya kita diberi kebaikan oleh Allah swt.”

Dalam penafsiran tentang hal ini, dia kemudian mengangkat

sebuah hadis yang menjelaskannya.

َ‫عشرا‬
َ َ‫منَ صلىَعليََمرةَصلىَللاَعليهَِبا‬
“Barangsiapa yang bershalawat atasku sekali, maka Allah akan
bershalawat atasnya sepuluh kali”.

Sedangkan untuk sumber penafsiran dengan model bi al-ra’yi,

tafsi>r a>ya>t al-ah}ka>m ini termasuk kitab tafsir yang banyak

menggunakannya. Karena ayat yang ditafsirkan selalu dijelaskan terlebih

dahulu aspek kebahasaannya, baik i’rab-nya, balagah-nya, makna katanya,

yang telah penulis jelaskan pada sistematika yang disusun al-S{a>bu>ni>

107
dalam menafsirkan ayat dalam kitabnya. Kesemuanya itu tentu bersifat

ma’qu>li> (rasional).121

2. Metode Penafsiran

Biasanya di dalam sebuah kitab tafsir para ulama’ tafsir

menggolongkan sebuah klasifikasi metode, mereka mengklasifikasi

metode tafsir menjadi beberapa metode yakni antara lain : tafsir tah}li>li>,

maud}u>’i>, muqa>rin, dan ijma>li>. Di dalam setiap metode tersebut

biasanya memiliki karakteristik yang berbeda antara satu dengan yang

lain. Namun, dari beberapa metode tersebut tidak menunjukkan bahwa

salah satu metode yang terbaik dan unggul, akan tetapi biasanya saling

melengkapi satu dengan lainnya.

Di dalam kitab tafsir Rawa>i’ al-Baya>n, sang mufasir

menggunakan metode maud}u>’i. Yang mana dalam membahas tafsirnya,

al-S{a>bu>ni> menggunakan metode maud}u>’i> atau tematik, yang

ditandai dengan penentuan tema atau judul dari kelompok-kelompok ayat

yang ditafsirkan, dan juga korelasi yang bersifat kemprehensif antara

kelompok-kelompok ayat tersebut.

Di dalam kitab Rawa>i’ al-Baya>n, metode tah}li>li> juga

merupakan bagian dari metode yang digunakan oleh al-S{a>bu>ni> dalam

tafsirnya, ia menjelaskan kandungan ayat-ayat al-Qur’an dari seluruh

aspeknya, ditandai dengan penjelasan kebahasaannya, baik dari aspek

i’rab-nya, balagah-nya, maupun kosa katanya. Demikian pula dengan

Muh}ammad ‘Ali> al-S{a>bu>ni>, Rawa>i’ al-Baya>n Tafsi>r A<ya>t al-Ahka>m


121

min al-Qur’a>n, Jilid II (Jakarta : Da>r al-Kutub al-Isla>miyyah, 1422 H/2001 M), Hlm.
@268.

108
penjelasan asba>b al-nuzu>l, kandungan ayat secara global, serta pelajaran

yang dapat dipetik dari ayat tersebut. Bahkan di dalam kitab Rawa>i’ al-

Baya>n juga menggunakan metode muqarran (perbandingan) dalam

menafsirkan Al-Qur’an walaupun hanya secara parsial.122

3. Corak Penafsiran

Setiap karya pasti memiliki sebuah arah atau corak, begitu juga

yang terdapat dalam kitab tafsir ini, kitab ini memiliki corak tersendiri

sesuai dengan keahlian sang pengarang dan hal tersebut bisa dilihat dari

aspek yang mendominasi dalam penafsirannya. Dengan kata lain,

pengelompokkan suatu corak tafsir untuk sebuah kitab tergantung dari isi

penguraian tafsirnya. Maka itulah yang dijadikan sebuah kesimpulan corak

bagi seorang mufasir sebagaimana pembahasan lalu, karena setiap kitab

terkadang lebih dari satu corak yang mewarnainya, karena didalam ayat-

ayat al-Qur’an pun terdapat bermacam-macam corak. Ada ayat-ayat yang

terkait dengan hukum, akidah, isyarat-isyarat ilmiah, bahkan ayat-ayat

yang menggambarkan keindahan bahasa al-Qur’an itu sendiri.

Setelah penulis mengkaji tafsir al-S{a>bu>ni> ini, dapat

disimpulkan bahwa tafsir ini bercorak fikih hal ini dapat di lihat dari

keseriusannya dalam menafsirkan ayat-ayat yang mengandung hukum,

yang di qorinahi dengan detailnya penjelasannya pada ayat-ayat tersebut,

dengan dalil-dalil pendapat yang dikembalikan kepada hadis Nabi SAW,

dan juga pendapat sahabat serta ulama fikih (fuqa>ha>). Ketika al-

Muh}ammad ‘Ali> al-S{a>bu>ni>, Rawa>i’ al-Baya>n Tafsi>r A<ya>t al-Ahka>m


122

min al-Qur’a>n, Jilid II (Jakarta : Da>r al-Kutub al-Isla>miyyah, 1422 H/2001 M), Hlm.
@10.

109
S{a>bu>ni> mengkaji ayat-ayat hukum yang mana merupakan sebagai

respon atas problematika yang muncul ditengah masyarakat, di mana

problematika tersebut tidak ditemukan pada masa sebelumnya, kemudian

al-S{a>bu>ni> ketika menafsirkan ayat-ayat yang memuat hukum pasti

berlandaskan nash-nash, baik dengan ayat-ayat al-Qur’an sendiri, dengan

hadis-hadis maupun pendapat sahabat.

Sebagaimana di dalam penuturan mukaddimahnya bahwa orientasi

sang mufasir memang fokus terhadap pembahasan ayat-ayat hukum, Ali

al-S{a>bu>ni> menggunakan corak fikih di dalam penafsirannya yakni

fikih bermazhab, sang mufasir menampilkan pendapat beberapa mazhab

dalam menguraikan penjelasan hukum suatu ayat. Konsep-konsep fikih

yang ditonjolkannya terkesan moderat, tidak fanatik atau memihak

terhadap satu mazhab tertentu.123

Muh}ammad ‘Ali> al-S{a>bu>ni>, Rawa>i’ al-Baya>n Tafsi>r A<ya>t al-Ahka>m


123

min al-Qur’a>n, Jilid I (Jakarta : Da>r al-Kutub al-Isla>miyyah, 1422 H/2001 M), Hlm.
@11.

110

Anda mungkin juga menyukai