Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Realita menyatakan bahwa Al-Qur’an memiliki peran yang sangat
penting dalam kehidupan umat islam.ini merupakan fakta yang tidak dapat
dibantah. Al-Qur’an merupakan inti peradaban islam. Bagi umat islam,
seluruh isi kandungan yang terdapat di dalam Al-Qur’an berlaku bagi
siapapun, kapanpun, dan dimanapun.
Jika ditelusuri sejarahnya, metode penafsiran semacam itu sudah ada
sejak zaman rasulullah. Dasar-dasar analisis linguistik dalam menafsirkan
Al-Qur’an telah diletakkan. Pengembangan secara metodologis lebih
lanjut dilakukan oleh Ibn Abbas (w.687 M) yang memakai analisis
linguistik, yaitu analisis yang berorientasi pada penafsiran kata per kata.
Analisis ini muncul setelah abad pertama Hijriyah. Sementara itu, mufasir
generasi setelahnya antara lain Abu Ubaidah (w. 825 M), Ibn Ziad Al-
Farra’ (w. 825 M), As-Sijistani (w. 942 M), dll.
Setelah usai masa sahabat, tabi’in melestarikan tradisi tafsir.
Karakteristik penafsiran mereka adalah menggunakan ijtihad mereka
sendiri dan berpedoman kepada riwayat-riwayat sahabat. Langkah
prefentif dalam melestarikan budaya tafsir adalah mengadakan kajian-
kajian tafsir, diantaranya di Mekkah dibawah pimpinan Ibn Abbas, di
Madinah dibawah pimpinan Ubay bin Ka’ab, dan di Irak dibawah
pimpinan Ibn Mas’ud.

1
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas maka rumusan masalah yang akan
dibahas dalam makalah ini sebagai berikut:

1. Bagaimana perkembangan tafsir pada masa nabi Muhammad SAW dan


masa sahabat nabi?
2. Bagaimana perkembangan tafsir pada masa tabi’in dan tabi’ tabi’in?
3. Bagaimana perkembangan tafsir-tafsir pada masa mufasir klasik dan
modern?

C. Maksud Dan Tujuan


Dengan rumusah masalah tersebut makan maksud dan tujuan dari
pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui perkembangan tafsir pada masa nabi Muhammad
SAW dan para sahabat nabi.
2. Untuk mengetahui perkemnbangan tafsir pada masa tabi’in dan tabi’
tabi’in.
3. Untuk mengetahui perkembangan tafsir-tafsir pada masa mufasir
klasik dan modern.

2
BAB II
PEMBAHASAN

SEJARAH ILMU TAFSIR


Telah menjadi sunnatullah bahwa dalm menurunkan kitab, Allah
mengutus seorang nabi dengan menggunkan bahasa kaumnya. Hal ini dijelaskan
dalam ayat sebagai berikut.
Dan kami tidak mengutus seorang rasul pun, melainkan dengan bahasa
kaumnya agar ia dapat memberi penjelesan kepada mereka (QS. Ibrahim (14):4)
nabi muhammad hidup di Jajirah Arab dan Al-quran diturunkan kepadanya
dengan menggunakan bahasa mereka. Kelebihan bahasa al-quran jauh diatas
bahasa mereka, baik dari segi kosa kata maupun maknanya. Dengan
demikian,meskipun mereka bertutur dengan bahasa Arab, mereka tidak memiliki
pemahaman yang sama akan Al-quran. Menurut M. Nur Kholis Setiawan dalam
Al-quran bukanlah teks yang dibuat oleh manusia, melainkan teks ilahiaah.
Sehubungan dengan pemahaman yang berbeda terhadap Al-quran,para
sahabat pun memiliki pemahaman dan kemampuan menafsirkan yang berbeda
pula,meskipun mereka hidup dengan nabi. Menurut riwayat, Umar bin Al-Khattab
tidak memahami surah Al-baqarah (2) ayat 226 dengan baik karena adanya
metafora. Para sahabat yang ditanyai umar tidak dapat menjawab dengan
memadai sampai Ibnu Abbas berkomentar, “saya tahu apa yang dimaksud ayat ini.
Ini adalah perumpamaan bagi mereka yang berbuat kebajiikan, tetapi tidak
dilandasi niat ikhlas untuk mengabdi dan beribadah kepada Allah. Mereka hanya
ingin mendapatkan pujian dari orang lain.” Dalam pandangan islam, kebajikan
haruslah dilandasi dengan niat tulus beribadah kepada Allah.jika tidak, amal
kebajikan tersebut menjadi tidak berguna seperti yang digambarkan dalam surah
Al-baqarah (2) ayat 226.1

1
Samsurrohman, pengantar Ilmu Tafsir, (Jakarta: Amzah. 2014)hlm.46

3
A. Tafsir pada Masa Nabi Muhammad dan Masa Sahabat Nabi SAW
1. Tafsir pada masa nabi Muhammad SAW
Allah berfirman bahwa dia menjamin akan melindungi AL-quran.
Hal tersebut terdapat dalam ayat berikut.
Sungguh kamilah yang menurunkan Al-quran dan pasti kami (pula)
yang memeliharanya. (QS. AL-Hijr 15():9)
Allah juga menjamin nabi untuk dapat mengumpulkan seluruh isi
Al-quran dalam dadanya .sebagaimana dijelaskan dalam firman yang
artinya : “jangan engkau (muhammad) gerakan lidahmu untuk membaca
Al-quran karena hendak cepat-cepat menguasainya. Sesungguhnya kami
yang akan mengumpulkannya di dadamu dan membacakannya. (QS.Al-
Qiyamah(75): 16-17) di samping itu, Allah menjamin nabi untuk mampu
menjelaskan dan menafsirkan Al-quran kepad umatnya.
Artinya : dan kami turunkan Al-quran kepadamu, agar engkau
menerangkan kepada manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka
dan agar mereka memikirkan. (QS.An-Nahl (16) 44). Ayat tersebut
menunjukkan bahwa salah satu tugas rasul adalah menyampaikan dan
menjelaskan risalah kepada umat manusia. Oleh karena itu, secara pasti
nabi memahami isi kandungan Al-quran, baik secara global maupun
terperinci, sehingga tidak ada samar baginya.
Adapun para sahabat yang hidup semasa dengan beliau merupakan
generasi islam yang paling mengetahui bahasa Arab serta menyaksikan
sendiri sebab turun ayat. Meskipun demikian, kemampuan bahasa Arab
mereka tidak mampu mengungguli bahasa Al-quran, oleh sebab itu,
pemahaman mereka mengenai Al-quran berbeda-beda. Akan tetapi, jika
tidak ada ayat yang tidak dimengerti, mereka bertanya kepada nabi lalu
beliau menafsirkannya.
Selanjutnya, timbul perbedaan pendapat dikalangan ulama
berkaitan dengan ayat-ayat Al-quran yang ditafsirkan oleh rasulullah.
Perbedaan tersebut dikelompokkan menjadi dua.2

2
Ibid.Hlm.47-48

4
a. Rasulullah menjelaskan tentang makna Al-quran sebagaimana beliau
menjelaskan kosakata Al-quran. Demikian pendapat ilmu taimiyah
dalam muqaddimah berdasarkan surah An-Nahl (16) ayat 44. Alasan
pokok yang menjadi argument mereka adalah sebagai berikut.
1) Surah An-Nahl (16 :44). Penjelasan harus mencakup kosa kata
dan makna
2) Hadis Abu Abdurrahman As-Sulami yang menjelaskan bahwa
ketika mereka belajar sepuluh ayat, mereka harus
mengmalkannya terlebih dahulu
3) Hadis Anas bin Malik yang menyataka bahwa setiap lekaki
apabila membaca Al-Baqarah dan Ali-Imran, menjadi agung
diantara kami
4) Muqaddimah Karya Ibnu Taimiyah. Maksud dari setiap kalam
adalah mengetahui makna-maknanya, bukan sekedar tahu kosa
kata.
b. Rasulullah hanya sedikit menjelaskan makna Al-Qur’an kepada para
sahabat. Demikian pendapat Al-Khuwayyi dan As-Suyuthi. Alasan
pokok yang menjadi argumen mereka adalah sebagai berikut.
1) Riwayat dari Aisyah yang menyatakan bahwa nabi SAW hanya
menjelaskan dan menafsirkan beberapa ayat yang diajarkan Jibril.
2) Allah memerintahkan manusia untuk berfikir, mengerti maksud
kalam-Nya, dan melakukan istimbath, yaitu berupaya
menemukan penafsiran baru serta makna yang lebih sesuai
dengan kondisi masanya.
3) Apabila nabi menjelaskan seluruh makna Al-Qur’an, doa beliau
kepada Ibnu Abbas tidak ada gunanya karena manusia memiliki
batasan pengetahuan.
Melihat perbedaan pendapat dua kubu tersebut, dapat dipastikan
bahwa Rasulullah tidak menafsirkan seluruh makna ayat Al-Qur’an.
Kesimpulan tersebut berdasarkan beberapa alasan berikut.3

3
Ibid. Hlm.49-50

5
a. Ada sebagian ayat yang pemahamannya didasarkan pada
pengetahuan tentang kebahasaan. Hal ini tidak membutuhkan
penjelasan dari Rasulullah. Contohnya, ketika Ibnu Abbas
menafsirkan kata ya’mahuna (QS. Al-Baqarah : 15), ia berkata,
“yataraddaduna (mereka terombang ambing)”.
b. Sebagian ayat ada yang mudah untuk dipahami sehingga tidak
membutuhkan penjelasan Nabi. Misalnya ayat berikut ini.
c. Sebagian ayat ada yang penjelasannya hanya diketahui oleh Allah,
seperti terjadinya hari kiamat.
d. Ada sebagian ayat yang tidak bermanfaat untuk diketahui lebih jauh,
seperti warna anjing Ashabul Al-Kahfi dan bentuk tongkat nabi
Musa.
Menurut M. Husain Adz-Dzahibi dalam ilmu tafsir, Nabi
menjelaskan ayat yang tafsirnya hanya diketahui oleh para alim dan
ilmuwan. Dengan demikian, bukan berarti Rasulullah tidak menjelaskna
seluruh ayat Al-Qur’an kepada para sahabat dan bukan berarti pula beliau
hanya sedikit menjelaskan ayat Al-Qur’an yang ada.
Rasulullah tidak pernah menafsirkan hingga keluar dari batasan
hingga akhirnya cenderung tidak bermanfaat. Kebanyakan tafsir
Rasulullah merupakan penjelasan mengenai sesuatu yang global,
menerangkan perkara yang sulit, mengkhususkan yang umum,
memberikan batasan untuk hal-hal yang mutlak, dan menjelaskan makna
kata.
Nabi sebagai pembawa risalah banyak memberikan kesempatan
untuk menjelaskan makna-makna Al-Qur’an yang belum dipahami secara
memadai oleh sahabat dalam berbagai kondisi. Sementara itu, tafsir pada
masa Nabi belum dibukukan sebagai disiplin ilmu yang berdiri sendiri,
tetapi baru disampaikan melalui riwayat.
2. Tafsir pada masa sahabat
a. Keberadaan sahabat berkaitan dengan pengetahuan
Para sahabat mengetahui zahir Al-Qur’an dan hukum-hukum yang
disampaikan. Meskipun demikian, mereka baru mengetahui batin

6
AL-Qur’an setelah menelitinya. Apabila belum mengerti juga,
mereka bertanya kepada Rasulullah.4 Akan tetapi setelah Rasulullah
tiada, para sahabat berijtihad untuk menemukan makna-makna yang
sulit. Tidak semua sahabat mengetahui sebab turunnya Al-Qur’an.
Oleh sebab itu, pemahaman mereka berbeda-beda yang kemudian
menimbulkan tingkatan yang berbeda-beda pula dalam memahami
makna kosa kata Al-Qur’an. Berikut ini faktor-faktor yang
menyebabkan perbedaan tersebut.
1) Perbedaan tingkat pemahaman dan kemampuan dalam
menguasai bahasa.
2) Perbedaan pemahaman tentang asbab an-nuzul yang membantu
dalam memahami makna ayat.
3) Perbedaan pengetahuan mengenai syariat.
4) Perbedaan tingkat kecerdasan karena mereka seperti manusia
umumnya.
b. Ciri khusus tafsir sahabat
1) Hanya sedikit dimasuki riwayat israiliyat karena Nabi merasa
cukup dengan sumber islam yang murni. Oleh sebab itu, tafsir
sahabat tidak dikeruhkan oleh hawa nafsuserta terhindar dari
perselisihan dan kedustaan.
2) Belum mencakup keseluruhan Al-Qur’an karena banyak ayat
yang telah jelas bagi mereka.
3) Hanya sedikit perbedaan pendapat dalam penafsiran karena
mereka hidup semasa dengan turunnya wahyu dan memahami
bahasa Arab.
4) Tidak memaksakan untuk menjelaskan makna secara detail
sehingga menjadi berlebihan dan tidak bermanfaat.
5) Belum terpengaruh mazhab manapun, tetapi tafsir sahabat
merupakan hasil istimbath hukum fiqih.

4
Ibid. Hlm.52

7
6) Tafsir belum dibukukan sehingga penyampaian dilakukan dari
riwayat, kecuali Abdullah bin Amr bin Al-Ash yang
membukukan seluruh riwayat yang didengar dari nabi.5
c. Sumber rujukan tafsir sahabat
Pada masa Nabi, sumber penafsiran adalah Al-Qur’an dan ijtihad
beliau. Sementara itu, sumber rujukan tafsir pada masa sahabat
adalah sebagai berikut.
1) Al-Qur’an dengan mencakup kalimat yang panjang dan pendek,
global dan terperinci, serta umum dan khusus.
2) Penjelasan Nabi. Ketika beliau masih hidup, sahabat langsung
menanyakan segala persoalan kepada beliau. Sementara itu,
ketika baliau telah wafat, persoalan dikembalikan kepada hadis
karena tugas pertama beliau adalah menjelaskan. Hal ini sesuai
dengan surah An-Nahl ayat 44..
3) Ijtihad dan kemampuan untuk ber-istinbath. Hal ini dilakukan
apabila di dalam dua sumber di atas tidak ditemukan jawaban.
4) Kaum ahli kitab (Yahudi dan Nasrani). Hal ini dikarenakan
sebagian Al-Qur’an sesuai dengan kitab Taurat dan Injil (yang
asli), seperti kisah para nabi dan umat-umat terdahulu. Begitu
juga dengan Al-Qur’an yang mencakup ketentuan-ketentuan
yang terdapat dalam injil, seperti kisah kelahiran Nabi Isa.
d. Sahabat yang terkenal dalam bidang ilmu tafsir
Menurt As-Suyuthi sahabat yang terkenal dalam bidang ilmu
tafsir, yaitu empat khulafa Ar-Rasyidin, Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas,
Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Abu Musa Al-Asy’ari, da
Abdullah bin Zubair.
e. Nilai tafsir sahabat
Sebagian ulama berpendapat bahwa tafsir sahabat menduduki
peringkat ketiga setelah tafsir Al-Qur’an dengan Al-Qur’an dan
tafsir Al-Qur’an dengan hadis. Berkaitan dengan hasil interpretasi

5
Ibid. Hlm. 53-54

8
sahabat terhadap Al-Qur’an, ulama mengelompokkannya sebagai
berikut.6
1) Apabila berkaitan dengan hal-hal yang ghaib dan sebab turun
ayat,dihukumi marfu kepada nabi (maksudnya adalah memiliki
kekuatan seperti hadis yang dsampaikan oleh Nabi) dan termasuk
hadis nabi yang memiliki kekuatan hukum seperti hadis lain
selama sanadnya shahih.
2) Apabila berkaitan dengan hal-hal yang ghaib dan sebab turun
ayat lalu dikembalikan kepada ijtiad sahabat,hukumnya mauquf
selama tidak disandarkan kepada Nabi. Akan tetapi sebagian
ulama wajib berpegang dengan hadis mauquf sahabat karena
mereka labih tahu. Hadis ini dapat menjadi hujjah, jika sanadnya
shahih.
3) Ibnu Taimiyah berpendapat, “apabila tidak ditemukan jawaban di
dalam Al-Qur’an dan hadis, dapat merujuk tafsir sahabat karena
mereka lebih mengetahuinya. Akan tetapi, apabilatafsir sahabat
tidak berkaitan dengan hal dimaksudkan, kekuatan hukumnya
sama seperti tafsir-tafsir generasi setelahnya. ”

B. Tafsir pada Masa Tabi’in dan Tabi’ Tabi’in


1. Tafsir pada masa tabi’in
Dengan berakhirnya masa sahabat, urusan tafsir berpindah
ketangan tabi’in. Selanjutnya, dengan meluasnya wilayah kekuasaan
islam, kebutuhan umat terhadap ilmu tafsir pun meningkat. Seiring
dengan bermunculannya fatwa dan berbagai pendapat, dimulailah
pembukuan tafsir.
Meluasnya wilayah kekuasaan islam dan banyaknya masyarakat
non-Arab yang masuk islam menyebabkan kebutuhan akan tafsir
meningkat. Disisi lain, generasi yang menerima penjelasan langsung dari
Nabi semakin sedikit dan mereka terpencar-pencar di sejumlah wilayah
kekuasaan islam yang baru.

6
Ibid. Hlm.64

9
Oleh sebab itu, apabila segala ilmu yang bersinggungan dengan Al-
Qur’an tidak segera dibukukan, akan menghambat kemajuan islam.
Dengan demikian, pada akhirnya ilmu tafsir dibukukan.7
Adapun orang yang pertama kali membukukan tafsir adalah Abu
Al-Aliyah Rafi’ bin Mihran Ar-Rayahi, Mujahid bin Jabr, Atha’ bin Abi
Rabah, dan Muhammad bin Ka’ab Al-Qurthi. Akan tetapi, buku tafsir
yang pertama kali muncul dikhalayak ramai adalah buku tafsir yang
disandarkan kepada Sa’id bin Jubair bin Hisyam Al-Kufi Al-Asdi.
2. Tafsir pada masa tabi’ tabi’in
Pada masa tabi’ tabi’in , pembukuan tafsir mengalami
perkembangan yang cukup berarti sehingga ilmu tafsir mulai dibukukan
dalam kitab-kitab kecil dan kitab-kitab besar. Pada masa-masa
sebelumnya memang ada beberapa tafsir yang telah dibukukan. Akan
tetapi, belum mencakup seluruh Al-Qur’an. Disisi lain, pembukuan pada
masa itu masih di dominasi oleh riwayat-riwayat yang masih bersifat
global.
Adapun perkembangan tafsir yang berarti dalam khazanah
itelektual islam dimulai pada akhir abad pertama dan permulaan abad
kedua Hijriyah, yaitu akhir pemerintahan bani Umayyah dan awal
pemerintahan bani Abbasiyah.
Proses pembukuan tafsir tentu erat kaitannya dengan para musafir
yang menyusunnya. Berikut ini musafir-musafir yang termasyhur pada
masa tabi’ tabi’in, yaitu Muqatil bin Sulaiman, Syu’bah bin Al-Hajaj,
Sufyan bin Sa’id AtsTsauri, Waki’ bin Al-Jarah, Sufyan bin Uyainah,
Yazid bin Harun, Rauh bin Ubadah, Abdurrazzaq bin Hamam Ash-
Sha’ani, dan Imam Al-Bukhari yang mana tafsirnya dicetak dan
dilindungi oleh Dar.
Dari sekian banyak kitab tafsir yang ada, dapat dikatakan bahwa
yang sampai kepada kita hanya tiga, yaitu tafsir Sufyan bin Sa’id Ats-
Tsauri (dicetak di India), tafsir Abdurrazzaq, dan tafsir Muqatil bin

7
Ibid. Hlm.65

10
Sulaiman yang naskahnya telah dikumpulkan dan pada tahun 2001 mulai
ditahkik.8

C. Tafsir-Tafsir pada Masa Mufassir Klasik dan Modern


1. Tafsir-tafsir pada masa mufassir klasik
Pada abad pertama dilakukan pengumpulan hadis, yang mencakup
pendapat para sahabat dan tabi’in. Pengumpulan itu dilakukan terutama
untuk keperluan tafsir dengan dilandasi pandangan bahwa yang berhak
menafsir hanyalah Nabi, sahabat, dan tabi’in. “mendapat celaka lebih baik
dari pada mengerjakan perbuatan itu,” kata Sa’id ibn Jubair. Tafsir
berdasar pendapat sendiri dipandang haram, karena Nabi pernah bersabda :
“siapa yang mengatakan tentang Al-Qur’an berdasarkan pikirannya
sendiri, dan pikirannya itu benar, ia sudah melakukan kesalahan.”
Dengan pengumpulan hadis untuk keperluan tafsir itu, muncullah
jenis tafsir yang disebut al-tafsir bi al-ma’tsur. Karya tafsir pertama dalam
jenis ini adalah Tafsir Muqatil ibn Sulaiman. Diantara pendapatnya adalah
bahwa setan itu berada di pintu hati manusia, yang dapat diusir dengan
membaca ta’awwudz.
Pada abad ketiga muncul At-Thabari, sebagian besar tafsirnya
memang berisi ucapan Nabi, sahabat, dan tabi’in, tetapi kadang-kadang
sangat kritis terhadap ucapan-ucapan tersebut. Saat bebicara tentang
bentuk berapa penjualan Yusuf, ia menilai bahwa diskusi tentan hal ini
tidaklah berguna. Al-Thabari adalah pemikir murni, menganut paham
qadariyah, yang menyatakan bahwa dirinya hanya mengikuti mazhab
salaf. Karena itulah, ia tidak disenangi oleh golongan Hanbali. Mengenai

8
Ibid. Hlm.71

11
nilai hadist-hadist yang digunakannya, terdapat kritik terhadap sanad
dipakainya, seperti hadist riwayat al-Suddi al-Saghir dan Juwaibir yang
dinilai lemah. Al-Thabari juga diketahui memperoleh pengetahuan dari
ahlul kitab.
Tafsir-tafsir pada masa mufasir klasik yaitu sebagai berikut.9
a) Tafsir abkam al-Qur’an, karya al-Jassas (w.370 H./981 M.)
Kitab tafsir ini mirip kitab fiqih, karena ayat tidak ditafsirkan
secara berurutan, tetapi ditafsirkan berdasarkan masalah tertentu,
sehingga ayat yang berhunbungan dengan suatu masalah tertentu
dibahas sekaligus dalam satu kesempatan. Dalam membahas makna
ayat, ala-jassas menyelidikinya dari bahsa (terutama syair), al-Qur’an
sendiri, dan hadist yang betul sahih.
b) Tafsir al-Kasysyaf, karya al-Zamakhsyari (w.538 H./1144 M.)
Berbeda dengan tafsir sebelumnya, dalam kitab tafsir ini pikiran
memegang peranan utama, yang disokong oleh keahlian pengarang
dalam bahasa. Persoalan yang masih saja panas pada masa pengarang
adalah maslah jabariyah dan qadariyah. Kedua paham itu menemukan
ayat-ayat mendukung di dalam al-Qur’an, tetapi Asy’ariyah dan
Mu’tazilah, yang menganut masing-masing paham tersebut,
menyesuaika ayat-ayat yang tidak sejalan dengan pahamnya untuk
mendukung padangannya sendria. Al-Zamakhsyarinadalah penganut
Mu’tazilah dan telah membela aliran ini dengan segenap
kemapuannya.
c) Tafsir Sufi
Sufisme menemukan dasarnya dalam al-Qur’an, yaitu dalam ayat-
ayat tentang ingat kepada Allah dan takut padanya yang mengandug
tanggung jawab sosial, berupa ketentuan amar ma’ruf dan nahi munkar
sebagai norma sosial. Disamping itu, secara faktual, Islam memang
menghendaki adanya kesimbangan anatar material dan spiritual.
Syariat dan hakekat tidak pernah dipisahkan pada awal Islam,

9
Salman Harun, Mutiara AL-Qur’an, ( Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu.1999)hlm.178-181

12
keduanya dijalankan secara seimbang oleh nabi, sahabat, dan generasi
sesudahnya.
Tafsir sufi dibagi dalam dua jenis:
1) Tafsir Ramzy
Diantara tafsir jenis ini adalah tafsir al-tustari karya Sahl al-
Tustari(wafat 283 H), Al-Sulami karya Abu Abd al-Rahman al-
Sulaymi(wafat 412 H), dan tafsir Misykat al-Anwar karya Al-
Ghazali(wafat 1111 M).

2) Tafsir al-Nadzariy
Jenis tafsir ini diwakili oleh tafsir Ibn Arabi, yang tidak
sampai kepada kita, dan hanya dapat diketahui dari dua bukunya
yang lain, yaitu al-Futubat Al-Makiyah dan Fusus al-Hikam.10
2. Tafsir-tafsir pada masa mufassir modern
Corak dari tafsir modern, Muhammad Husein Az-Zahabi dalam tafsir wa
al-Mufasirun menjelaskan bahwa ada beberapa corak yang berkembang
pada masa modern, yaitu.
a) Corak ‘Ilmi
Diantara kitab-kitab tafsir modern yang menggunakan corak ‘ilmi
adalah sebagai berikut.
1) Muhammad bin Ahmad al-Iskandari tahun 1297 H.
2) Muqaranah Ba’dhu Mabahits al-Haiah bi al-Warid fi an-Nushuus
asy-Syari’ah karya Abdullah Basya Fikri tahun 1315 H.
3) Al-Jawahir fi Tafsir al-Qur’an al-Karim karya Syeikh Thanthawi
Jauhari
4) Karya- karya Harun Yahya

10
Ibid. Hlm.183-186

13
b) Corak Mazhabi
Berikut beberapa contoh tafsir yang menggunakan corak
tersebut sebagai berikut
1) Aliran ahlus sunnah ( Tafsir Syeikh Mumhammad Abduh, Al-
Manar).
2) Aliran syi’ah Imamiyah ( Bayan as-Sa’adah fi Maqamat al-‘ibadah,
karya Syeikh Sulthan Muhammad al-Khurasani, tafsir alaa-u ar-
Rahman fi Tafsir al-Qur’an karya Syeikh Muhammad jawaa an-
Najafy)
3) Aliran ibadhiyah ( Himyan az-zaadi ila dar al-ma’ad karya
Muhammad bin Yusuf Ifthfiyas).
4) Aliran bahaa-iyah dari kelompok bathiniyah ( Rasaa-il karya Abi
Fadh-il al-Jurfadiqani).

c) Corak Ilhadi
Az-Zahabi berkomentar setidaknya ada tiga golongan yang
mempengaruhi penafsiran mereka antara lain:
1) Golongan yang tidak memahami definisi tajdid ( pembaharuan )
secara komplek.
2) Golongan yang tidak memiliki keilmuan tafsir secara penuh.
3) Golongan yang tidak memiliki kapasitas keiman yang sempurna.
d) Corak Adabi Ijtima’i
Adapun karakteristik dari tafsir modern yang menjadi
keistimewaan tafsir masa ini adalah sebagai berikut:
1) Tidak mengandung kisah-kisah israilliyat dan nashraniyat
2) Bersih dari berbagai hadist maudhu’ ( hadist palsu ) yang
disandarkan kepada Rasulullah SAW atau kepada sahabat-sahabat
beliau
3) Memadukan antara teori kekinian atau kontekstualis dengan kaidah
teori al-Qur’an, sehingga terdapat koherensi antara keduanya

14
4) Menyingkap dengan lugas aspek keindahan bahsa al-Qur’an, dan
sangat singkat penjelasan nya tidak membosakan. Dari aspek ini
nantinya akan melahirkan corak tafsir adabi ijtima’.11

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Tafsir merupakan penjelasan terhadap kandungan kalamullah atau
menjelaskan lafaz-lafaz Al-Qur’an. Sedangkan ilmu tafsir telah dikenal
sejak zaman Rasulullah SAW dan berkembang hingga saat ini. Jika
ditelusuri sejarahnya, metode penafsiran sudah ada sejak zaman
rasulullah. Dasar-dasar analisis linguistik dalam menafsirkan Al-
Qur’an telah diletakkan. Pengembangan secara metodologis lebih
lanjut dilakukan oleh Ibn Abbas (w.687 M) yang memakai analisis
linguistik, yaitu analisis yang berorientasi pada penafsiran kata per
kata. Analisis ini muncul setelah abad pertama Hijriyah. Sementara itu,
mufasir generasi setelahnya antara lain Abu Ubaidah (w. 825 M), Ibn
Ziad Al-Farra’ (w. 825 M), As-Sijistani (w. 942 M), dll.
Setelah usai masa sahabat, tabi’in melestarikan tradisi tafsir.
Karakteristik penafsiran mereka adalah menggunakan ijtihad mereka
11
Muhammad Amin, “Kontribusi Tafsir Kontemporer dalam Menjawab Persoalan Umat”,
Volume15, Nomor 1, April 2013 hal 6-8

15
sendiri dan berpedoman kepada riwayat-riwayat sahabat. Langkah
prefentif dalam melestarikan budaya tafsir adalah mengadakan kajian-
kajian tafsir, diantaranya di Mekkah dibawah pimpinan Ibn Abbas, di
Madinah dibawah pimpinan Ubay bin Ka’ab, dan di Irak dibawah
pimpinan Ibn Mas’ud.

B. Saran
Kami sadar masih banyak kekurangan dalam penulisan makalah
ini. Mohon kritik dan sarannya supaya kedepan bisa lebih baik lagi.

DAFTAR PUSTAKA

Samsurrohman.2014. Pengantar Ilmu Tafsir. Jakarta: Amzah

Harun, Salman.1999. Mutiara Al-Qur’an. Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu

Amin, Muhammad.2013. Kontribusi Tafsir Kontemporer dalam Menjawab


Persoalan Umat, Volume15, Nomor 1

16

Anda mungkin juga menyukai