Anda di halaman 1dari 10

Kelompok: 4

1. Almiera Ayzar Farnaza (21105030134)


2. Uli Nashrul Latifi (21105030116)
3. Nanda Alfiyah (21105030103)
4. Turkey Al Zhafir (21105030122)
5. Albi al-Ayyubi (

Historiografi Tafsir Muhammad Fadl Ibnu Asyur

Kitab ini merupakan kitab yang sama dengan kitab-kitab yang telah dibahas sebelumnya,
yakni tentang sejarah tafsir yang dikarang oleh Muhammad Fadl ibnu Asyur (1970 H). Kitab
ini secara spesifik menjelaskan perkembangan tafsir yang mengacu pada waktu atau masanya
secara urut dari abad kedua sampai keempat belas H beserta para Rijal-nya dimasing-masing
abad.

A. Tafsir Bil Matsur, Asbab al-Nuzul dan Mubhamat al-Qur’an

Ibnu Asyur berpendapat bahwa al-Qur'an pada dasarnya memiliki makna yang jelas,
sehingga tidak memerlukan penafsiran. Namun, kebutuhan untuk menafsirkan al-Qur'an
muncul kemudian, yang didasari oleh dua alasan utama. Pertama, al-Qur'an diturunkan secara
bertahap selama lebih dari 20 tahun, sehingga terdapat selang waktu yang cukup lama antara
bagian-bagian wahyu yang turun. Beberapa bagian mungkin didahulukan dan ada yang
diakhirkan. Karena hal ini, susunan ayat-ayat dalam al-Qur'an berbeda secara signifikan dari
susunan ayat yang dikenal saat ini.

Terdapat dua cara untuk memahami al-Qur'an, yang pertama adalah dengan
memperhatikan susunan atau urutan pertama yang berkaitan dengan konteks situasi dan
peristiwa saat al-Qur'an diturunkan, sedangkan yang kedua adalah melalui susunan atau
urutan kedua yang bisa dilihat dari hubungan berkesinambungan ide-ide dan keterkaitan
antara bagian-bagian al-Qur'an. Dalam konteks ini, Ibnu Asyur mengindikasikan bahwa tafsir
al-Qur'an dapat dilakukan dengan dua pendekatan susunan ini. Khususnya, dia menekankan
pentingnya menggunakan informasi historis seperti hadis dan sejarah dakwah Rasulullah
untuk memahami al-Qur'an.
Alasan kedua adalah bahwa dalam al-Qur'an, petunjuk kadang-kadang tersirat dalam
struktur kalimat yang bersifat umum dan ambigu, sehingga makna yang muncul mungkin
tidak selalu sesuai dengan maksud sebenarnya dalam al-Qur'an. Oleh karena itu, elemen-
elemen yang bersifat umum memerlukan penjelasan lebih lanjut, dan ketidakjelasan perlu
diubah menjadi kepastian. Inilah alasan mengapa diperlukan penafsiran yang
mempertimbangkan informasi-informasi historis seperti hadis.

Dalam penutupnya mengenai latar belakang penafsiran al-Qur'an, Ibnu Asyur


menyatakan bahwa meskipun terdapat perbedaan pendapat mengenai dua unsur atsari dalam
penafsiran al-Qur'an, keduanya sebenarnya membentuk satu kesatuan materi yang menjadi
dasar dalam menafsirkan al-Qur'an. Materi ini bersifat berdasarkan informasi yang
disampaikan melalui narasi dan masuk ke dalam pembahasan Tafsir bi al-Matsur.

Dari informasi di atas, terdapat poin-poin penting dalam penafsiran al-Qur'an menurut
Ibnu Asyur, yaitu asbabun nuzul (sebab turun) dan mubhamat al-Qur'an (ayat-ayat yang
bersifat ambigu), yang menjadi fokus utama. Ibnu Asyur menekankan bahwa kedua tema ini
seharusnya menjadi prioritas utama bagi seorang penafsir al-Qur'an. Alasannya adalah
pertama, karena pentingnya aspek sejarah dalam pemahaman al-Qur'an yang tak terpisahkan
dari konteks turunnya al-Qur'an, dan kedua, karena pentingnya aspek bahasa Arab dalam al-
Qur'an itu sendiri. Ketika Ibnu Asyur menyatakan bahwa kedua tema ini berkontribusi pada
pembentukan materi tafsir bil matsur, maka terlihat bahwa ia lebih menekankan tafsir yang
berlandaskan pada teks al-Qur'an dalam menjelaskan kedua aspek penting al-Qur'an tersebut.

Salah satu kelemahan buku karya Ibnu Asyur adalah bahwa terdapat kesan bahwa dia
mengemukakan ide-ide tentang penafsiran al-Qur'an tanpa memberikan contoh konkret.
Sebagai ilustrasi, ketika dia mengemukakan ide penting mengenai susunan surat al-Qur'an
berdasarkan kronologi turunnya (tartib Tarikh al-nuzul), dia tidak memberikan penjelasan
rinci tentang bagaimana susunan semacam itu dapat dilaksanakan, terutama dalam konteks
penafsiran ma'tsuri yang tampaknya menjadi pendekatan utamanya. Ini mungkin bisa
dimengerti, tetapi pada akhirnya bukunya mungkin tidak dimaksudkan untuk secara
mendetail merinci pemikiran Ibnu Asyur tentang tafsir, mengingat penjelasannya yang hanya
mencakup delapan halaman.

Pemikiran Ibnu Asyur mengenai tartib ta'abudi dan tartib tarikhi merupakan konsep yang
patut diapresiasi. Tidak banyak tokoh atau ahli al-Qur'an yang membahas isu ini, dan sangat
sedikit dari mereka yang menekankan pentingnya mengkaji al-Qur'an berdasarkan urutan
turunnya. Bahkan, Muhammad Izzah Darwazah, seorang ahli tafsir kontemporer asal
Palestina, secara khusus telah menulis tafsirnya berdasarkan urutan turunnya surat-surat al-
Qur'an ini.

B. Tafsir Bil Ma’tsur Dengan Figur Ibnu Abbas

Tafsir bil ma'tsur adalah metode penafsiran Al-Quran yang mengandalkan riwayat
dari Nabi Muhammad dan para sahabatnya, terutama Ibnu Abbas. Ibnu Abbas adalah seorang
sahabat Nabi dan ulama terkemuka dalam bidang tafsir Al-Quran. Tafsir Ibnu Abbas sering
dikutip dalam tafsir bil ma'tsur. Tafsir bil ma'tsur dianggap sebagai metode penafsiran yang
dapat diandalkan karena didasarkan pada ajaran Nabi dan para sahabatnya, yang merupakan
orang-orang yang paling dekat dengan wahyu Al-Quran. Metode penafsiran ini melibatkan
analisis konteks dan latar belakang riwayat untuk memahami makna yang dimaksud dalam
ayat-ayat Al-Quran. Tafsir bil ma'tsur juga dianggap sebagai metode penafsiran yang
otoritatif dan banyak dipelajari oleh para ulama Islam.

Ibnu Abbas dikenal karena pemahamannya yang mendalam terhadap Al-Quran dan
kemampuannya untuk memberikan penjelasan rinci tentang ayat-ayatnya. Interpretasi Ibnu
Abbas dianggap otoritatif dan banyak dipelajari oleh para ulama Islam. Di antara para
sahabat, Ibnu Abbas dianggap sebagai salah satu yang paling terkenal karena pengetahuannya
dan kontribusinya dalam bidang tafsir.

Tafsir bil -Ma’tsur biasa disebut juga tafsir riwayat. Dalam hal ini, Prof. Dr. M. Ali
Ash-Shabhunniy memberikan pengertian, bahwa tafsir riwayat (ma’tsur) adalah rangkaian
keterangan yang terdapat dalam al-Qur’an, Sunnah atau kata-kata sahabat sebagai penjelasan
maksud dari firman Allah, yaitu penafsiran al-Qur’an dengan Sunnah Nabawiyyah. Dengan
kata lain, maka tafsir bil-Ma’tsur adalah tafsir al-Qur’an dengan al-Qur’an, penafsiran
alQur’an dengan as-Sunnah atau penafsiran al-Qur’an menurut atsar yang timbul dari
kalangan sahabat.3 Dari sini dapat difahami bahwa tafsir bil-Ma’tsur merupakan salah satu
cara penafsiran ayat al-Qur’an dengan menggunakan sumber-sumber lain yang telah
dipercayai urutan hirarkis kebenarannya, yaitu al-Qur’an sendiri, as-Sunnah, atsar sahabat
dan perkataan para tabi’in.

Dalam dunia keilmuan Islam, Ibn Abbas (‫ )أبن عباس‬dikenal sebagai seorang ahli tafsir
yang terkenal. Tafsir bil ma'tsur adalah jenis tafsir yang berfokus pada menafsirkan Al-Quran
berdasarkan pendapat dan penjelasan para sahabat Nabi Muhammad SAW. Ibn Abbas adalah
salah satu sahabat Nabi yang paling dihormati, dan karena pengetahuannya yang luas dan
keakrabannya dengan Nabi, pendapatnya dianggap sangat berharga dalam tafsir Al-Quran.

Ibn Abbas dikenal sebagai salah satu penafsir yang paling cermat dan berpengetahuan
luas tentang Al-Quran. Ia juga diakui karena kemampuannya dalam memahami konteks
sejarah, linguistik, dan makna di balik ayat-ayat Al-Quran. Tafsirnya sering dikutip oleh para
ulama dan cendekiawan Islam untuk memahami makna yang mendalam dari ayat-ayat suci
Al-Quran.

Melalui pendekatan tafsir bil ma'tsur, Ibn Abbas memberikan penjelasan dan
interpretasi ayat-ayat Al-Quran berdasarkan apa yang dia pelajari langsung dari Nabi
Muhammad SAW atau apa yang dia dengar dari para sahabat yang lain. Karena hal ini,
pemahaman dan tafsirnya dianggap sangat berharga dan dihormati dalam dunia keilmuan
Islam. Dengan demikian, warisan intelektualnya terus diperjuangkan dan dianut oleh para
cendekiawan Muslim dalam mengurai makna Al-Quran.

C. Perkembangan Penafsiran Al-Quran


a. Abad Kedua Hijriyah : Ibnu Juraij dan Yahya bin Salam
Pada abad kedua hijriyah muncul nama seorang tokoh ulama yaitu Ibnu Juraij
(149 H) yang dianggap sebagai penulis kitab tentang tafsir pertama pada masa
itu.Beliau mengumpulkan tentang pendapat-pendapat dalam menafsirkan al Quran
kemudian beliau menjelaskan mana yang cacatnya sambil mentarjih dan mentadil ke
dalam sebuah kitab.Upaya ini juga dilakukan oleh Yahya bin Salam (200 H),seorang
ulama yang berasal sama dengan Ibnu ‘Asyur,Tunis.Ibnu ‘Asyur mengatakan bahwa
upaya Yahya bin Salam ini,juga dilakukan oleh Ibnu Jarir al-Thabari.
Yang perlu diingat dan dicatat,bahwa pada masa inilah ada penambahan unsur
dalam menafsirkan al-Quran yaitu Qiraat dan I’rab.Dalam hal ini,qiraat menjadi unsur
penafsiran al Quran,ditetapkan qiraat dengan bunyi ( tahqiq dzat al-harf) sebagai yang
dilafalkan oleh Rasulullah Saw.Karena itu,sumber qiraat adalah riwayat,dan dalam hal
irab sebagai unsur penafsiran,karena struktur Quran adalah struktur bahasa
Arab.Karena itu,memahami arti al-Qura tergantung pada penguasaan arti yang
ditunjuk oleh struktur bahasa itu sendiri
b. Abad Ketiga Hijriyah : Ibnu Jarir al-Thabari
Memasuki abad ketiga hijriyah yaitu pada masa Ibnu Jarir al-Thabari ( 224-
310) memasuki bentuk baru yaitu bentuk yang membolehkan seseorang untuk
memilih dialah yang dianggap tepat oleh seorang mufassir.Karena hal itulah beliau
menamakan kitabnya Jami’ al-Bayan ‘an Takwil al-Quran (Himpunan penjelsan
tentang takwil al-Quran),dimana aspek takwil sebagai teknis melihat dialah yag dicari
tafsirnya demikian kental.
Ibnu ‘Asyur juga menegaskan bahwa al-Thabari denga sentralitas takwilnya
yang begitu fenomenal dalam dunia tafsir.Pengaruhnya sudah merambah lebih dari
satu generasi sesudahnnya.Beliau mengatakan jika kita membedakan tafsir al Thabari
dengan tafsir sesudahnya sepertitafsir Ibnu ‘Athiyah,Zamakhsyari,Baidhawi,Ibnu
Urfah,Abu Suud,Ibnu Taimiyah,sampai Muhammad Abduh dan Rasyid Rida maka
kita akan menjumpai garis-garis persamaan dalam meafsirkan al-Quran.Sentralitas
takwilnya seharusnya tidak diartikan sebagai kecenderungan berlebihan dari teks al-
Thabari dalam menafsirkan ayat,jika dikaitkan dengan penilaian sebagian orang
mengatakan berkait eratnya dengan penafsiran al-Thabari tersebut dengan tradisi
kalam muktazilah yang sering menggunakan rayu dan dengan begitu menhentikan
aspek riwayatnya.
Ibnu ‘Asyur mengatakan untuk jangan cukup melihat dari luarnya saja dalam
penafsiran al-Thabari yang banyak menggunakan hadist dan isnad yang dimuat,tanpa
melihat dari metode dan tujuan beliau menafsirkan dengan cara seperti itu,sehingga
orang sekaliber Ibnu Khaldunmenganggapnya sebagai pengumpul berita seperti
halnya al-Waqidi dan Tsalabi.

c. Abad keenam: Ibnu Athiyah, Zamakhsyari, dan Ar-Razi

Pada abad keempat, timbul keresahan dari kalangan sunni terhadap muktazilah
terkait penafsiran mereka terhadap Al-Qur’an yang tampak sebagai sebuah legitimasi
atas mazhab mereka. Salah satu kitab tafsir yang muncul pada abad setelahnya, yakni
abad kelima adalah tafsir Al-Kasyyaf. Al-Kasyyaf merupakan magnum opus dari
seorang az-Zamaksyari yang merupakan penganut mazhab muktazilah. Penulisan
tafsir dimulai pada 525 H.

Al-Kassyaf salah satunya muncul sebagai bentuk respon penulisnya terhadap


desakan dari para koleganya untuk mengarang tafsir. Hal ini tentunya berasal dari
keresahan mereka terhadap ayat-ayat yang masih samar maknanya. Oleh karena itu,
corak tafsir al-kassyaf adalah bahasa dan sastra. Hal ini juga merupakan
perkembangan penting dalam penafsiran Al-Qur’an.

Di abad yang sama, Ibnu Athiyyah, sebagai seorang Sunni, tampil dengan
tafsirnya, Al-Muharrar Al-Wajiz. Al-Muharrar Al-Wajiz merupakan representasi dari
sikap golongan sunni terhadap muktazilah yang dianggap meligitimasi pemikiran
mereka melalui penafsiran mereka terhadap Al-Qur’an.

Kedua kitab diatas pada dasarnya memiliki manhaj penasfiran yang sama,
yakni penekanan dalam aspek bahasa dan sastra. Akan tetapi, aspek balaghah al-
Kasyyaf dianggap lebih tinggi daripada Al-Muharrar. Sedangkan kelebihan Al-
Muharrar adalah pada aspek penekanan kajian hukumnya.

Perbedaannya antara keduanya adalah Az zamaksyari: lebih dulu, sepuh.


Berasal dari daerah magrib. Mu’tazilah. Mazhab Hanafi. Ibnu Athiyyah: lebih muda.
Berasal dari masyriq. Sunni. Mazhab Maliki. At-tafsil al-jami liulumit Tanzil menjadi
salah satu rujukan Ibnu Athiyah dalam tafsirnya. Sedangkan tafsir ini, tidak dirujuk
oleh zamaksyari. Dalam Mazhab fiqh, perbedaan keduanya tampak dalam istinbath
hukum. Dalam hal akidah, keduanya sangat berbeda. Khususnya dalam hal
pentakwilan masalah mutasyabih Qur'an.

Kemudian pada abad berikutnya, Abad keenam. Fase ini ditandai dengan
tampilnya peradaban Islam sebagai peradaban yang memiliki rangka dan petunjuk"
yang jelas, kaidah-kaidah yang kokoh, pemahaman" hikmah, agama. Kemudian
gencarnya filsafat hukum (syariah) sebagai bentuk khidmat bagi peradaban Islam itu
sendiri seperti mazhab Asy'ari. Bukan sebgai penguasa, sebagaimana anggapan kaum
mutazilah.

Dalam perjalanannya, ditengah hiruk pikuk peradaban Islam yang terus


mengalami perkembangan, khususnya dalam kajian filsafat, Fakhruddin ar-Razi (543-
606) muncul. Seorang Mufassir yang karyanya menjadi rujukan bagi para penggiat
tafsir yang hidup ditengah-tengah situasi peradaban Islam yang mulai banyak
membahas tentang filsafat Yunani.

Ar-Razi merupakan seorang yang cerdas. Hal ini merupakan salah satu alasan
mengapa muridnya memujinya melalui gubahan syair tentangnya.
Sebagai seorang yang cerdas dan menguasai beberapa bidang ilmu, kajian
terhadap Qur'an menjadi salah satu perhatiannya. Dia ingin memposisikan Al-Qur'an
untuk dijadikan bahan kajian, penelitian atas dasar manhaj yang melebihi
mengungguli terhadap manhaj atau metode filsafat. Berusaha menyederhanakannya
dengan karunia akal manusia hingga sampai pada tujuan hikmah, dari jalan
penjagaan.

Hal ini merupakan salah satu faktor yang melatarbelakangi ar-Razi untuk
menyusun tafsirnya, Mafatih al-Ghaib (at-Tafsir al Kabir).

d. Abad Ketujuh

Selanjutnya, pada abad ketujuh. Al-Baidhowi (785 H) muncul dengan karya


tafsirnya Anwar at-Tanzil wa Asrar at-Ta’wil. Secara garis besar, tafsir ini merupakan
respon terhadap al-kasyyaf dan Mafatih al-Ghaib.

Dalam tafsirnya, al-Baidhowi mengulas secara cukup rinci tentang kedua tafsir
ini. Mengulas, menelaah, dan mengkritisi bagian-bagian tertentu. Menjelaskan makna-
makna yang masih samar dan mengungkap hikmah hikmah Qur’aniyyah dalam Mafatih
al-Ghaib. Hal ini menjadikan al-kassyaf dan Mafatih al-Ghaib selalu dikenal abadi dalam
peradaban Islam.

Kemudian pada abad kedelapan, muncul Ibnu Urfah (717-803 H) sebagai salah
satu Mufassir asal Tunisia. Penafsirannya juga sebenarnya adalah sebagai respon turunan
terhadap tafsir al-Baidhowi yang dianggap masih sangat layak untuk dikaji.

Tafsir ini tidak ditulis secara utuh oleh ibnu Urfah, melainkan melalui kolega-
koleganya yang sezaman yang kemudian mereka menisbatkan hasil dari sebagai sebuah
karya tafsir. Pembukuan tafsir ini berkaitan erat dengan tiga orang yang memiliki peran
dalam proses pengkodifikasiannya, yakni syekh Muhammad al-abi, syekh Ahmad Basili,
dan Syekh Abul qasim as-Salawi.

Seiring berlalunya waktu, kegiatan penafsiran tidak akan pernah berhenti. Pada
abad selanjutnya, akhir abad ke Sembilan, Syaikhul Islam Abi Su’ud (896-982 H) tampil
sebagai seorang mufassir yang berusaha menafsirkan Al-Qur’an dengan kemampuannya.
Kitabnya adalah Irsyad al-Aql as-Salim fi Mazaya kitab al-Adzhim. Ibnu Asyur
menjelaskan bahwa Abi Su’ud dalam tafsirnya berusaha memberikan Analisa dan
tambahan-tambahan pembahasan baru yang mungkin luput dalam tafsir al-Baidhowi
dalam menganalisa al-Kasyyaf.

Abi Su’ud juga menambahkan bahwa dalm tafsirnya, ia juga banyak membahas
tentang tafsir Zamakshyari dan al-Baidhowi. Hal ini memiliki kesamaan dengan tafsir-
tafsir sebelumnya yang memang kebanyakan menjadikan tafsir Zamaksyari maupun ar-
Razi sebagai pembahasan dalam tafsirnya.

e. Abad Ketiga Belas

Pada abad ketiga belas ini, dunia keilmuan tidak lepas dari pengaruh kekuasaan.
Di abad ini Daulah Usmaniyah berkuasa, memberikan peluang untuk berkembangnya
kelimuan- keilmuan dengan metode Sunni dalam ajaran fiqih, tasawuf dan aqidah. Saat
itulah muncul sorang mufasir yang bernama Abu al-Tsana' Syihabbudin al-Sayyid
Mahmud Afandi al-Alusi yang mengarang Tafsir Al-Alusi atau lebih dikenal dengan
sebutah Ruh al-Ma'ani.

Al-Alusi dikenal sebagai syaikh al-ulama’ di Irak. Ia bahkan juga dijuluki sebagai
salah satu dari tanda kekuasaan Allah (ayah min ayat Allah). Ia menguasai begitu banyak
ilmu, sehingga ahli dalam keilmuan teks (manqul), logika (ma’qul) dan mampu
membedakan serta menganalisis mana yang ashl dan furu’.

Tafsir Ruh al-Ma'ani tidak bisa dipisahkan dengan kepribadian Al-alusi, yang
mendapat pengruh langsung oleh seorang guru serta tokoh tasawuf sekaligus juga seorang
ayah kandungnya yang bernama Syeikh Khalid Naqsyabandi. Dalam setiap ayat yang
beliau tafsitkan, selalu menonjolkan ciri khas tentang ilmu tasawuf. Bahkan al-Alusi
sering menambahkan pandangan-pandangan sufi tentang ayat yang ditafsirkannya,
sehingga muncul penilaian bahwa tasawuf itulah yang menjadi poin utama dalam hasil
karya beliau.

f. Abad Keempat Belas

Di abad keempat belas, Ibnu Asyur menguraikan kemunduran umat Islam dalam
mendalami ilmu pengetahuan dibandingkan oleh orang-orang Eropa. Untuk mendobrak
semangat umat islam dalam mendalami keilmuan Al-Qur'an, muncullah Tafsir al-Manar
yang ditulis oleh Syaikh Muhammad Abduh dan Syaikh Rasyid Ridha. Syaikh
Muhammad Abduh sendiri merupakan guru langsung kepada Syaikh Rasyid Ridha.
Tafsîr al-Manâr yang bernama Tafsîr al-Qur’ân al-Hakîm memperkenalkan
dirinya sebagai kitab satu satu-satunya yang menghimpun riwayat-riwayat yang sahih dan
pandangan akal yang tegas, yang menjelaskan hikmah-hikmah syariah serta sunatullah
(hukum-hukm Allah yang berlaku) kepada manusia, dan menjelaskan fungsi Alquran
sdebagai petunjuk untuk seluruh manusia, di setiap waktu dan tempat, serta
membandingkan antar pentunjuknya dengan kondisi kaum muslimin dewasa ini (pada
masa penerbitannya) yang telah berpaling dari petunjuk itu, serta (membandingkan pula)
dengan para salaf (leluhur) yang berpegang teguh pada tali hidayah itu.

Dalam menafsirkan ayat Alqur'an, Syaikh Rasyid Ridha mengikuti metode yang
juga digunakan oleh gurunya, Syaikh Muhammad Abduh. Namun terdapat beberapa
perbedaan antara keduanya setelah Syaikh Rasyid Ridha menulis Tafsir al-Manar atas
usaha beliau sendiri. Perbedaan tersebut mencakup ;Pertama, keluasan pembahasan
tentang ayat-ayat yang ditafsirkan dengan Hadis-hadis Nabi Saw. Kedua, keluasan
pembahasan tentang penafsiran ayat dengan ayat yang lain. Ketiga, penyisipan
pembahasan pembahasan yang luas tentang hal-hal yang sangat dibutuhkan oleh
masyarakat pada masanya, dengan tujuan mengantar kepada penjelasan tentang petunjuk
agama, baik yang menyangkut argumentasi keyakinan maupun pemecahan problem-
problem yang berkembang. Keempat, keluasan pembahasan tentang arti mufradat (kosa
kata), susunan redaksi, serta pengungkapan pendapat-pendapat ulama dalam bidang
tersebut.

Adapun beberapa kesamaan antara mereka berdua mencakup; Pertama,


menganggap satu surat sebagai satu kesatuan ayat-ayat yang serasi.Kedua, Ayat-ayat
Alquran Bersifat Umum. Ketiga, Alquran adalah sumber akidah dan hukum. Keempat,
penggunaan akal secara luas dalam memahami ayat-ayat. Kelima, Bersikap hati-hati
terhadap Hadis Nabi. Keenam, Bersikap hati-hati terhadap pendapat sahabat.

PENUTUP

Demikian sekilas studi tentang Ibnu Asyur dan karyanya, Al- Tafsir wa Rijaluh.
Dapat dikatakan bahwa semangat dari karya Ibnu Asyur ini adalah mengajak umat Islam
untuk terus menerus menggali pesan-pesan al-Quran, menuju kebangkitannya. Seperti sudah
disinggung sebelumnya, beliau mengajak seluruh Umat Islam mengadakan usaha-usaha
pemikiran (al-juhud al-fikriyyah) dengan berasaskan al-Quran dan penafsirannya.
Dalam konteks itu, buku Al-Tafsir wa Rijaluh kita letakan. Meski tidak ditegaskan,
beliau seperti mangatakan bahwa cara penafsiran al-Quran secara ma'tsuri (dalam pengertian
yang luas seperti sudah disinggung) adalah cara terbaik dalam menafsirkan Al-Quran. Di
samping itu, uraian beliau tentang tokoh tokoh mufassir dan karakteristik penafsiran masing-
masing, baik yang cenderung kepada bentuk penafsiran ma'tsuri atau bukan ma'tsuri,
mendorong kita untuk mengeksplorasi dan mengelaborasi al-Quran seluas-luasnya. Hanya
dengan cara itu umat Islam akan dapat bangkit dan merengkuh kembali kemajuannya.

Anda mungkin juga menyukai