Makalah
Diajukan pada Mata Kuliah Manahij al-Mufassirin sebagai Bahan Diskusi Harian dan
sebagai Bahan Acuan Pembelajaran Tafsir
Oleh:
Bambang Janu Ismadi
Ayu Fuji Lestari
Kelompok 1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pada masa Rasulullah hingga masa sekarang ilmu tafsir berkembang begitu
pesat. Itu dikarenakan Al-Qur’an sebagai sumber pedoman kehidupan harus dapat
menjawab segala persoalan umat disetiap masa. Dan tafsir sebagai alat mencari
jawaban di dalam Al-Qur’an menjadi sesuatu yang penting.
Pada abad ke-21 ini terdapat sebuah golongan yang sangat pesat peminatnya,
besar pengaruhnya. Mereka dapat merekrut golongan muda dengan bermodalkan
beberapa jargon menarik bagaimana cara mempelajari islam dengan pengemasan
yang cantik. Mereka menyeru kembali kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan
tidak mengikutsertakan perangkat keilmuan yang dibutuhkan untuk memahami
maksud tujuan nash-nash dan teks teks yang terdapat pada keduanya. Itu semua
mengakibatkan ketimpangan dalam mengambil keputusan hukum dan ketimpangan
dalam mengambil intisari makna, karena ketidaksesuaian dengan waqi’ (realita) yang
ada. Mereka mengkaji ayat ayat dengan makna eksoteriknya saja dan tidak mau untuk
mempelajari alat agar dapat memahami makna esoterik yang terkandung di dalamnya.
Itu semua bisa dilandaskan keterbatasan kemampuan berbahasa dan kemampuan
memahami sejarah tentang pentingnya sebuah penafsiran bagi Al-Qur’an.
Dari permasalahan di atas dapat kita rumuskan sebuah rumusan masalah
sebagai berikut:
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Tafsir dan Ilmu Tafsir berkembang?
2. Siapa Para Mufassir yang bergelut di masa awal Dunia Tafsir?
3. Bagaimana sikap milenial saat ini untuk dapat memahami makna ayat ayat
yang bersifat esoterik?
C. Batasan Masalah
1. Makalah ini hanya berfokus pada perkembangan Tafsir di masa Sahabat.
2. Makalah ini hanya memuat bahasan singkat tentang Sejarah Penafsiran Al-
Qur’an.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah Perkembangan Tafsir dan Ilmu Tafsir
Allah Subhanahu wa Ta’ala menurunkan Al-Qur’an kepada seorang Nabi
Yang ‘Ummyan, artinya Nabi Muhammad bukanlah seorang buta huruf melainkan
beliau diberi keistimewaan agar wahyu yang diberikan tidak tercampur dengan Syi’ir-
syi’ir Jahiliyyah, sehingga keautentikan makna di balik keindahan bahasa yang
terkandung benar benar murni.
Kemudian Al-Qur’an diturunkan dengan Berbahasa Arab dan kepada Nabi
Muhammad sebagai keberlakuan Sunnatullah pada pengutusan Setiap Rasul, dimana
Al-Qur’an diturunkan dengan berbahasa Arab dengan segala dialek kebahasaannya
sebagaimana Firmannya Allah Subhanahu wa Ta’ala “Dan tidaklah Kami mengutus
dari seorang Rasul kecuali dengan lisan kaumnya agar ia dapat menjelaskan kepada
mereka” ( Ibrahim: 4)1. Jika kita perhatikan pada ayat tersebut secara dzohir ayat
tersebut hanya mengkhitob kepada orang Arab saja. Bagaimana dengan kita yang
non-Arab? “Dan tidaklah Kami mengutus Engkau (Muhammad) melainkan sebagai
Rahmat bagi seluruh Alam” ( Al-Anbiya: 107). Ayat kedua ini sebagai qorinah atas
terkandungnya majaz mursal dengan ‘alaqoh “Uthliqol juz wa iroodatul kull”.
Dalam sejarah singkatnya, Al-Qur’an terus tersampaikan dari masa ke masa
dengan segala kekhasan yang terkandung sampai kepada masa sekarang ini. Dimulai
dari menerimanya Rasul akan wahyu kemudian beliau langsung menyampaikannya
kepada para sahabatnya dan menafsirkannya mana yang perlu ditafsirkan2. Sampai
kepada perkembangan tafsir yang bersandarkan pada sumber penafsiran baik Al-
Qur’an dengan Al-Qur’an, Al-Qur’an dengan Hadits dan seterusnya yang dikenal
dengan Tafsir bil Ma’tsur dan yang bersumber pada akal atau yang dikenal dengan
Tafsir bir Ra’yi. Yang kesemua itu akan dibahas pada pembahasan yang lebih
mendetail dan panjang.
B. Para Penafsir di Masa Sahabat
Sebelum kita berlanjut kedalam pembahasan mengenai para sahabat yang
memberikan peran di dalam dunia tafsir, mari kita kenal terlebih dahulu siapa itu
Sahabat. “As-Shohabah kullu man laqiya bin Nabiyyi Shollallahu ‘Alaihi wa Sallam
mu’minan bihi” dari definisi ini barang tentu bahwa Abu Jahal bukanlah
dikategorikan sebagai sahabat apalagi sebagai orang yang memberikan peran
terhadap tafsir. Dan diantara para Sahabat yang memberi peran tersebut sebagaimana
telah menyebutkan oleh Imam Jalaluddin As-Syuyuthi di dalam Al-Itqon bahwa yang
masyhur itu ada sepuluh, yaitu Khulafaul ‘Arba’ah, Ibnu Mas’ud, Ibnu ‘Abbas, Ubay
bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Abu Musa Al-‘Asy’ariy, Abdullah bin Zubair3.
1. Khulafa al-Rasyidin
3
Yang paling banyak dari periwayatan ini adalah Sayyidina Ali bin Abi Tholib,
sedangkan dari Khalifah yang ketiga sangat sedikit sekali, itu karena mereka
meninggal lebih dahulu, seperti sedikitnya periwayatan Abu Bakar di dalam Hadits
dan tidak juga tersisa dari Abu Bakar pada permasalahan tafsir kecuali hanya sedikit
sekali bahkan tidak genap sampai sepuluh.
2. Ibnu Mas’ud
Seperti Ali bin Abi Tholib, Ibnu Mas’ud pun demikian bahkan lebih banyak
periwayatan yang bersumber dari Ibnu Mas’ud. Ibnu Jarir telah meriwayatkan bahwa
Ibnu Mas’ud telah berkata: “demi Allah yang tiada Tuhan selain Allah, tidaklah turun
sebuah ayat daripada kitab Allah kecuali aku mengetahui pada siapa ayat itu turun
dan di mana ayat itu turun? Dan kalaulah aku mengetahui tempat seseorang yang
lebih mengetahui tentang kitab Allah dari aku yang menempuhnya harus dengan
berkendara niscaya akan aku datangi”.
3. Ibnu Abbas
Dia adalah turjumannya Al-Qur’an dimana Rasul berdo’a untuknya agar
diberi pemahan tentang Tafsir “Allahumma faqqihhu fi ad-Diin wa ‘allimhu al-
Ta’wila” dan juga Nabi mendo’akan “Allahumma Aatihi al-Hikmata” pada riwayat
lain “Allahumma ‘allimhu al-Hikmata” dan terdapat sebuah riwayat dari jalur
Abdullah bin Khirosy dari al-‘Awwm bin Hausyab dari Mujahid dari Ibnu ‘Abbas
berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Ya Turjuman Al-Qur’an
itu kamu”.
4. Ubay bin Ka’ab
Juga termasuk dari Sahabat yang memiliki pengetahuan lebih di bidang tafsir
adalah Ubay bin Ka’ab. Dia dulunya adalah seorang ketua atau pendeta yahudi, orang
yang sangat paham dengan kerahasiaan kitab kitab terdahulu dan apa-apa yang datang
pada kitab tersebut.
5. Zaid bin Tsabit, Abu Musa al-‘Asy’ary dan ‘Abdullah bin Zubair.
Adapun ketiga yang terakhir ini tidaklah mereka itu masyhur dalam dunia
tafsir melainkan sedikitnya riwayat dari mereka. Yang jumlahnya tidak sampai
kepada empat yang di atas.
Dibawah ini kami membuat sebuah Sya’ir dengan Bahar Basith tentang
Sahabat yang sepuluh ini sebagai Mufassir pada masa Sahabat:
ابن الزبري بن عباس أبو األشعري# من صحبة ابن مسعرد أيب كعب
واألربعة ثابت فاكرم هبم شأهنم# هم من لقي بالنيب مستشهر فسرهم
C. Sumber Penafsiran Sahabat
Para Sahabat didalam menafsirkan ayat ayat Al-Qur’an berpegang kepada
empat sumber, yakni:
1. Al-Qur’an,
2. Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam,
3. Ijtihad dan kuatnya istinbath,
4. dan Ahlul Kitab Yahudi dan Nasrani.
Yang kesemuanya akan dijelaskan pada pembahasan yang lebih panjang pada
pembahasan berikutnya.