Disusun oleh:
Claudia Febiana (5)
George Benaya Jhafet Rutman (13)
Maria Laura Fransiska (21)
Sean Nicholas (29)
I. Latar Belakang
Pada awal 1980-an, marak ditemukan warga Indonesia yang tewas, bahkan kian
tahun makin meningkat. Panglima Angkatan Bersenjata Indonesia, Jenderal
Leonardus Benjamin Moerdani, mulanya menyalahkan kasus pembunuhan ini
kepada geng. Setelah berita ini tersebar, beberapa penjahat menyerahkan diri,
beberapa ditembak, ada yang melarikan diri, dan yang lainnya berhenti melakukan
kejahatan.
Intelijen polisi memberi Komandan Garnisun daftar orang-orang yang termasuk
tersangka kejahatan. Garnisun kemudian membuat daftar baru dan mengeluarkan
ultimatum publik kepada semua GALI (preman) untuk segera menyerah ke markas
garnisun, tanpa perlu menyebutkan nama. Mereka yang merasa preman, harus
menandatangani pernyataan setuju menahan diri dari kegiatan kriminal. Kendati
taktik ini berhasil, Soeharto tetap tidak mengakui bahwa aksi pembunuhan dan fakta
mengenai Petrus yang sudah terjadi itu dilakukan oleh militer.
Bagi Soeharto, para pelaku kriminal yang melawan, harus ditembak. Namun,
setelah terjadi banyak silang pendapat serta mendapat tekanan dari internasional,
operasi ini berakhir pada 1985.
Operasi Petrus ini menargetkan orang-orang yang telah dilabeli sebagai kriminal.
Beberapa karakteristik yang masuk dalam daftar target Petrus, di antaranya anggota
geng, mantan napi, hingga mereka yang bertato. Mayoritas merupakan laki-laki yang
masih muda. Ada berbagai cara dalam melakukan penembakan ini. Mulai dari
menembak langsung ketika bertemu di jalanan hingga mengikatnya terlebih dahulu
dan memasukannya ke dalam sebuah Jeep atau Toyota Hardtop. Dalam jurnal State
of Fear: Controlling the Criminal Contagion in Suharto's New Order yang ditulis
oleh Joshua Barker, korban dieksekusi di tempat sepi saat malam hari. Kemudian,
mereka ditembak di bagian dada dan kepala dari jarak dekat dengan pistol berkaliber
45 atau 38.
Mayatnya pun dibuang di tempat yang tak semestinya, seperti di luar bioskop,
sekolah, hingga jalanan sibuk di tengah perkotaan. Banyak dari mereka ditemukan
dalam keadaan terikat dan luka-luka bekas penyiksaan. Bourchier dalam tulisannya
Crime, Law, and State Authority in Indonesia mengungkapkan setidaknya banyak
laporan singkat tentang mayat bertato di koran lokal setiap harinya.