Di Susun oleh :
AJA ASYURA
(190106120)
LATAR BELAKANG
Hak Asasi Manusia pada hakikat dan intinya merupakan hak niscaya
yang secara inheren terdapat pada setiap diri manusia sejak lahir, definisi ini
mempunyai maksud dan arti bahwa merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa
kepada hambanya. Mengingat karena hak asasi manusi itu adalah karunia Tuhan,
maka tidak ada badan maupun lembaga apapun yang dapat seorangpun
diperkenankan untuk merenggutnya serta tidak ada kekuasaan apapun yang boleh
membatasinya (Bambang Sutiyoso, 2010).1
Pada awalnya awalnya hak asasi manusia lahir dari pergulatan untuk
menentang absolutisme negara atas kesewenang-wenangan negara terhadap
warganya. Hak asasi manusia merupakan hak yang melekat pada diri setiap orang,
Hak ini harus dilindungi oleh negara. Perlindungan yang diberikan oleh negara
sejatinya merupakan bagian dari penghormatan terhadap harkat dan martabat
manusia. Seperti yang tertuang dalam Pasal 1 Deklarasi Universal Hak Asasi
Manusia, ”semua manusia dilahirkan bebas dan sama dalam hak dan martabat.
Mereka dikaruniai akal budi dan hati nurani, dan harus bersikap terhadap satu
sama lain dalam semangat persaudaraan.”
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia diproklamirkan sebagai standar
umum pencapaian kesejahteraan bagi semua orang dan semua bangsa. Deklarasi
ini mencakup semua hak yang ada dalam hak sipil-politik maupun hak ekonomi,
sosial, dan budaya. Sebagai pelaksanaannya maka negara dituntut untuk
melakukan segala upaya untuk memajukan hak asasi manusia, baik secara
normatif maupun administratif. Negara merupakan personifikasi yang abstrak, dan
pemerintahlah yang berposisi sebagai entitas hukum yang mewakili kepentingan-
kepentingan negara.2
1
Sutiyoso, Bambang, Reformasi Keadilan dan Penegakan Hukum di Indonesia, UII Press,
Yogjakarta, 2010
2
Kasalang, R. J. (2012). Tanggung jawab negara dalam memenuhi hak masyarakat atas air,
dalam to promote: Membaca perkembangan wacana hak asasi manusia di Indonesia.
Di Indonesia sendiri dalam proses penegakan HAM dilakukan dengan
berlandaskan kepada ideologi negara yaitu Pancasila. Pancasila merupakan
ideologi yang mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan. Pancasila sangat
menghormati hak asasi setiap warga negara maupun bukan warga negara
Indonesia. Pancasila dapat dikatagorikan menjadi tiga, yaitu nilai ideal, niali
instrumental dan nilai praksis. Nilai yang terkandung dalam pancasila diharapkan
dapat menjadi aspek yang penting bagi setiap warga negara dalam bertingkah laku
selaku warga Negara Indonesia.(Meinarno & Mashoedi, 2013).
Pada pelaksanaannya, masih banyak terjadi kasus pelanggaran HAM
di Indonesia, secara yuridis, Pasal 1 Angka 6 Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyatakan
pelanggaran bahwa pelanggaran hak asasi manusia adalah setiap perbuatan
seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara, baik disengaja
maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara hukum mengurangi,
menghalangi, membatasi dan atau mencabut hak asasi seseorang atau kelompok
orang yang dijamin oleh undang-undang dan tidak mendapatkan atau
dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar
berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.
Jadi dalam konteks Negara Indonesia, pelanggaran HAM
merupakan tindak pelanggaran kemanusiaan, baik dilakukan oleh individu
maupun institusi lainnya terhadap hak asasi manusia. Sedangkan pelanggaran
HAM berat menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2000
tentang Pengadilan HAM dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu kejahatan
genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan.
BAB II
PEMBAHASAN
3. Peristiwa 1965-1966
Pembantaian di Indonesia 1965–1966 adalah peristiwa pembantaian
terhadap orang-orang yang dituduh komunis di Indonesia pada masa setelah
kegagalan kudeta Gerakan 30 September (G30S/PKI) di Indonesia.[ Sebagian
besar sejarawan sepakat bahwa setidaknya setengah juta orang dibantai. Suatu
komando keamanan angkatan bersenjata memperkirakan antara 450.000 sampai
500.000 jiwa dibantai.
4. Peristiwa Penembakan Misterius 1982-1985
Penembakan misterius atau sering disingkat Petrus adalah suatu operasi
rahasia pada masa Pemerintahan Soeharto pada tahun 1980-an untuk
menanggulangi tingkat kejahatan yang begitu tinggi pada saat itu. Operasi ini
secara umum adalah operasi penangkapan dan pembunuhan terhadap orang-
orang yang dianggap mengganggu keamanan dan ketenteraman masyarakat
khususnya di Jakarta dan Jawa Tengah. Pelakunya tak jelas dan tak pernah
tertangkap, karena itu muncul istilah "petrus" (penembak misterius). Pada tahun
1983 tercatat 532 orang tewas, 367 orang di antaranya tewas akibat luka
tembakan. Pada Tahun 1984 ada 107 orang tewas, di antaranya 15 orang tewas
ditembak. Tahun 1985 tercatat 74 orang tewas, 28 di antaranya tewas ditembak.
Para korban Petrus sendiri saat ditemukan masyarakat dalam kondisi tangan dan
lehernya terikat. Kebanyakan korban juga dimasukkan ke dalam karung yang
ditinggal di pinggir jalan, di depan rumah, dibuang ke sungai, laut, hutan dan
kebun. Pola pengambilan para korban kebanyakan diculik oleh orang tak
dikenal dan dijemput aparat keamanan. Petrus pertama kali dilancarkan di
Yogyakarta dan diakui terus terang M Hasbi yang pada saat itu menjabat
sebagai Komandan Kodim 0734 sebagai operasi pembersihan para gali
(Kompas, 6 April 1983). Panglima Kowilhan II Jawa-Madura Letjen TNI Yogie
S. Memet yang punya rencana mengembangkannya. (Kompas, 30 April 1983).
Akhirnya gebrakan itu dilanjutkan di berbagai kota lain, hanya saja
dilaksanakan secara tertutup
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyatakan,
penembakan misterius di sejumlah wilayah di Indonesia pada 1982-1985
merupakan pelanggaran HAM berat dan kejahatan luar biasa. Sebab, peristiwa
itu memakan korban hingga ribuan orang.
a. Penyelidikan
Penyelidikan dilakukan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas
HAM). Hal ini bertujuan adanya objektifitas hasil penyelidikan, apabila
3
Mahrus Ali Syarif Nurhidayat, Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat, (Jakarta: Gramata
Publishing, 2011), hlm. 42
dilakukan oleh lembaga independen. Dalam penyelidikan, penyelidik
berwenang:4
1. Melakukan penyelidikan dan pemeriksaan terhadap peristiwa yang
timbul dalam masyarakat yang berdasarkan sifat atau lingkupnya patut
diduga terdapat pelanggaran berat HAM.
2. Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang atau kelompok orang
tentang terjadinya pelanggaran berat HAM serta mencari keterangan dan
barang bukti.
3. Memanggil pihak pengadu, korban atau pihak yang diadukan untuk
diminta dan didengar keterangannya.
4. Memanggil saksi untuk dimintai kesaksiannya.
5. Meninjau dan mengumpulkan keterangan di tempat kejadian dan tempat
lainnya jika dianggap perlu.
6. Memanggil pihak terkait untuk melakukan keterangan secara tertulis atau
menyerahkan dokumen yang diperlukan sesuai dengan aslinya.
7. Atas perintah penyidik dapat melakukan tindakan berupa pemeriksaan
surat, penggeledahan dan penyitaan, pemeriksaan setempat, mendatangkan
ahli dalam hubungan dengan penyelidikan.
b. Penyidikan5
Penyidikan pelanggaran berat HAM dilakukan oleh Jaksa Agung. Dalam
pelaksanaan tugasnya Jaksa Agung dapat mengangkat penyidik ad hoc yang
terdiri atas unsur pemerintah dan masyarakat. Sebelum melaksanakan
tugasnya, penyidik ad hoc mengucapkan sumpah atau janji menurut agamanya
masing- masing. Syarat-syarat yang harus dipenuhi sebagai penyidik ad hoc,
yaitu :
1. Warga Negara Indonesia
2. Berumur sekurang-kurangnya 40 tahun dan paling tinggi 65 tahun
4
Pasal 18 sampai 20 UU No.26 Tahun 2000
5
Pasal 21 sampai 22 UU No. 26 Tahun 2000
3. Berpendidikan Sarjana Hukum atau sarjana lain yang mempunyai
keahlian dibidang hukum
4. Sehat jasmani dan rohani
5. Berwibawa, jujur, adil dan berkelakuan baik
6. Setia kepada Pancasila dan UUD 1945
7. Memiliki pengetahuan dan kepedulian dibidang hak asasi manusia
8. Penyidikan diselesaikan paling lambat 90 hari terhitung sejak tanggal
hasil penyelidikan diterima dan dinyatakan lengkap oleh penyidik.
Penyidikan dapat diperpanjang 90 hari oleh Ketua Pengadilan HAM
sesuai daerah hukumnya dan dapat diperpanjang lagi 60 hari. Jika
dalam waktu tersebut, penyidikan tidak juga terselesaikan, maka
dikeluarkan surat perintah penghentian penyidikan oleh Jaksa Agung.
c. Penuntutan
Penuntutan dilakukan oleh Jaksa Agung. Jaksa Agung dapat mengangkat
penuntut umum ad hoc yang terdiri dari unsur pemerintah dan masyarakat.
Syarat untuk diangkat menjadi penuntut umum sama halnya dengan syarat
diangkat menjadi penyidik ad hoc. Penuntutan dilakukan paling lama 7 hari
sejak tanggal hasil penyidikan diterima.6
d. Pemeriksaan di Pengadilan
Pemeriksaan perkara pelanggaran berat HAM dilakukan oleh majelis
hakim Pengadilan HAM berjumlah 5 orang, terdiri atas 2 orang hakim pada.
PengadilanHAM dan 3 orang hakim ad hoc. Syarat-syarat menjadi Hakim
Ad Hoc :
1. Warga Negara Indonesia
2. Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa
3. Berumur sekurang-kurangnya 45 tahun dan paling tinggi 65 tahun
4. Berpendidikan sarjana hukum atau sarjana lain yang mempunyai
keahlian dibidang hukum
6
Pasal 23 sampai 25 UU No.26 Tahun 2000
5. Sehat jasmani dan rohani
6. Berwibawa, jujur, adil dan berkelakuan baik
7. Setia kepada Pancasila dan UUD 1945
8. Memiliki pengetahuan dan kepedulian dibidang Hak asasi manusia
Perkara paling lama 180 hari diperiksa dan diputus sejak perkara
dilimpahkan ke Pengadilan HAM. Banding pada Pengadilan Tinggi
dilakukan 27 Pasal 27 sampai 33 UU No.26 Tahun 2000 paling lama
90 hari terhitung sejak perkara dilimpahkan ke Pengadilan Tinggi.
Kasasi paling lama 90 hari sejak perkara dilimpahkan ke Mahkamah
Agung.
DAFTAR PUSTAKA