Anda di halaman 1dari 14

KASUS- KASUS PELANGGARAN HAM DI INDONESIA DAN

PENYELESAIAN KASUS HAM DI PERADILAN

Di Susun oleh :
AJA ASYURA
(190106120)

PRODI ILMU HUKUM


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI AR-RANIRY
BANDA ACEH
2022/2023
BAB I
PENDAHULUAN

LATAR BELAKANG
Hak Asasi Manusia pada hakikat dan intinya merupakan hak niscaya
yang secara inheren terdapat pada setiap diri manusia sejak lahir, definisi ini
mempunyai maksud dan arti bahwa merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa
kepada hambanya. Mengingat karena hak asasi manusi itu adalah karunia Tuhan,
maka tidak ada badan maupun lembaga apapun yang dapat seorangpun
diperkenankan untuk merenggutnya serta tidak ada kekuasaan apapun yang boleh
membatasinya (Bambang Sutiyoso, 2010).1
Pada awalnya awalnya hak asasi manusia lahir dari pergulatan untuk
menentang absolutisme negara atas kesewenang-wenangan negara terhadap
warganya. Hak asasi manusia merupakan hak yang melekat pada diri setiap orang,
Hak ini harus dilindungi oleh negara. Perlindungan yang diberikan oleh negara
sejatinya merupakan bagian dari penghormatan terhadap harkat dan martabat
manusia. Seperti yang tertuang dalam Pasal 1 Deklarasi Universal Hak Asasi
Manusia, ”semua manusia dilahirkan bebas dan sama dalam hak dan martabat.
Mereka dikaruniai akal budi dan hati nurani, dan harus bersikap terhadap satu
sama lain dalam semangat persaudaraan.”
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia diproklamirkan sebagai standar
umum pencapaian kesejahteraan bagi semua orang dan semua bangsa. Deklarasi
ini mencakup semua hak yang ada dalam hak sipil-politik maupun hak ekonomi,
sosial, dan budaya. Sebagai pelaksanaannya maka negara dituntut untuk
melakukan segala upaya untuk memajukan hak asasi manusia, baik secara
normatif maupun administratif. Negara merupakan personifikasi yang abstrak, dan
pemerintahlah yang berposisi sebagai entitas hukum yang mewakili kepentingan-
kepentingan negara.2
1
Sutiyoso, Bambang, Reformasi Keadilan dan Penegakan Hukum di Indonesia, UII Press,
Yogjakarta, 2010
2
Kasalang, R. J. (2012). Tanggung jawab negara dalam memenuhi hak masyarakat atas air,
dalam to promote: Membaca perkembangan wacana hak asasi manusia di Indonesia.
Di Indonesia sendiri dalam proses penegakan HAM dilakukan dengan
berlandaskan kepada ideologi negara yaitu Pancasila. Pancasila merupakan
ideologi yang mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan. Pancasila sangat
menghormati hak asasi setiap warga negara maupun bukan warga negara
Indonesia. Pancasila dapat dikatagorikan menjadi tiga, yaitu nilai ideal, niali
instrumental dan nilai praksis. Nilai yang terkandung dalam pancasila diharapkan
dapat menjadi aspek yang penting bagi setiap warga negara dalam bertingkah laku
selaku warga Negara Indonesia.(Meinarno & Mashoedi, 2013).
Pada pelaksanaannya, masih banyak terjadi kasus pelanggaran HAM
di Indonesia, secara yuridis, Pasal 1 Angka 6 Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyatakan
pelanggaran bahwa pelanggaran hak asasi manusia adalah setiap perbuatan
seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara, baik disengaja
maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara hukum mengurangi,
menghalangi, membatasi dan atau mencabut hak asasi seseorang atau kelompok
orang yang dijamin oleh undang-undang dan tidak mendapatkan atau
dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar
berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.
Jadi dalam konteks Negara Indonesia, pelanggaran HAM
merupakan tindak pelanggaran kemanusiaan, baik dilakukan oleh individu
maupun institusi lainnya terhadap hak asasi manusia. Sedangkan pelanggaran
HAM berat menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2000
tentang Pengadilan HAM dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu kejahatan
genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Kasus Pelanggaran HAM di Indonesia


Yogyakarta: Pusham UII.
kasus pelanggaran HAM yang pernah terjadi di Indonesia , Yaitu :
1. Peristiwa Trisakti
Peristiwa trisakti merupakan satu kasus pelanggaran HAM yang paling
terkenal di Indonesia yaitu penembakan mahasiswa Universitas Trisakti yang
terjadi pada tanggal 12 mei 1998. Penembakan Mahasiswa Trisakti sendiri
memiliki erat kaitannya dengan aksi demontrasi mahasisawa diberbagai wilayah
Indonesia yang berpusat di Jakarta untuk menuntut Presiden Soeharto untuk
menuntut Presiden Soeharto untuk turun dari jabatannya sebagai Presiden . Aksi
demontrasi mahasiswa ini sebenarnya cukup mirip dengan gerakan people
power de Negara Filifina dimana masyarakatnya bersatu membentuk sebuah
konsolidasi yang besar guna menggalang kekuatan untuk menghentikan
presiden.
Dan penyelesaian hukum pada kasus penembakan mahasiswa trisakti justru
membuat citra Indonesia tercoreng . bagaimana mungkin sebuah peristiwa
pelanggaran HAM yang telah sisahkan melalui deklarasi Hak Asasi Manusia
oleh PBB sebagai kejahatan internasional memiliki sifat ketetapan hukum yang
tidak jelas dan tidak diketahui pula pihak yang bertanggung jawab .

2. Kasus pembunuhan Munir


Munir merupakan aktifitas HAM yang pernah menanggani kasus kasus
pelanggaran HAM , ia meninggal dunia pada tanggal 7 september 2004 di dalam
pesawat garuda indonedia .

3. Peristiwa 1965-1966
Pembantaian di Indonesia 1965–1966 adalah peristiwa pembantaian
terhadap orang-orang yang dituduh komunis di Indonesia pada masa setelah
kegagalan kudeta Gerakan 30 September (G30S/PKI) di Indonesia.[ Sebagian
besar sejarawan sepakat bahwa setidaknya setengah juta orang dibantai. Suatu
komando keamanan angkatan bersenjata memperkirakan antara 450.000 sampai
500.000 jiwa dibantai.
4. Peristiwa Penembakan Misterius 1982-1985
Penembakan misterius atau sering disingkat Petrus adalah suatu operasi
rahasia pada masa Pemerintahan Soeharto pada tahun 1980-an untuk
menanggulangi tingkat kejahatan yang begitu tinggi pada saat itu. Operasi ini
secara umum adalah operasi penangkapan dan pembunuhan terhadap orang-
orang yang dianggap mengganggu keamanan dan ketenteraman masyarakat
khususnya di Jakarta dan Jawa Tengah. Pelakunya tak jelas dan tak pernah
tertangkap, karena itu muncul istilah "petrus" (penembak misterius). Pada tahun
1983 tercatat 532 orang tewas, 367 orang di antaranya tewas akibat luka
tembakan. Pada Tahun 1984 ada 107 orang tewas, di antaranya 15 orang tewas
ditembak. Tahun 1985 tercatat 74 orang tewas, 28 di antaranya tewas ditembak.
Para korban Petrus sendiri saat ditemukan masyarakat dalam kondisi tangan dan
lehernya terikat. Kebanyakan korban juga dimasukkan ke dalam karung yang
ditinggal di pinggir jalan, di depan rumah, dibuang ke sungai, laut, hutan dan
kebun. Pola pengambilan para korban kebanyakan diculik oleh orang tak
dikenal dan dijemput aparat keamanan. Petrus pertama kali dilancarkan di
Yogyakarta dan diakui terus terang M Hasbi yang pada saat itu menjabat
sebagai Komandan Kodim 0734 sebagai operasi pembersihan para gali
(Kompas, 6 April 1983). Panglima Kowilhan II Jawa-Madura Letjen TNI Yogie
S. Memet yang punya rencana mengembangkannya. (Kompas, 30 April 1983).
Akhirnya gebrakan itu dilanjutkan di berbagai kota lain, hanya saja
dilaksanakan secara tertutup
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyatakan,
penembakan misterius di sejumlah wilayah di Indonesia pada 1982-1985
merupakan pelanggaran HAM berat dan kejahatan luar biasa. Sebab, peristiwa
itu memakan korban hingga ribuan orang.

5. Peristiwa Talangsari, Lampung 1989


Peristiwa Talangsari 1989 adalah kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi
pada 7 Februari 1989. Nama Talangsari diambil dari tempat terjadinya peristiwa
ini. Talangsari adalah sebuah dusun di Desa Rajabasa Lama, Way Jepara,
Lampung Timur. Peristiwa Talangsari terjadi karena penerapan asas tunggal
Pancasila di masa Orde Baru. Saat itu, pemerintah, polisi, dan militer
menyerang masyarakat sipil di Talangsari. Catatan Komnas HAM, Peristiwa
Talangsari menewaskan 130 orang, 77 orang dipindahkan secara paksa atau
diusir, 53 orang haknya dirampas secara sewenang-wenang, dan 46 orang
mengalami penyiksaan. Jumlah korban secara pasti tidak diketahui hingga saat
ini.

6. Peristiwa Rumoh Geudong dan Pos Sattis, Aceh 1989


Tragedi Rumah Geudong adalah peristiwa penyiksaan terhadap masyarakat
Aceh yang dilakukan oleh aparat TNI selama masa konflik Aceh (1989-1998).
Tragedi Rumah Geudong terjadi di sebuah rumah tradisional di Aceh yang
dijadikan sebagai markas TNI di Desa Bili, Kabupaten Pidie. Dalam Rumah
Geudong, para TNI melakukan pengawasan terhadap masyarakat dan memburu
pasukan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Saat sedang menjalankan operasinya,
tidak sedikit anggota TNI yang melakukan berbagai tindak kekerasan terhadap
para warga. Akhirnya, pada 20 Agustus 1998, massa membakar Rumah
Geudong.

7. Peristiwa Penghilangan Orang Secara Paksa 1997-1998


Penculikan aktivis 1997/1998 adalah peristiwa penghilangan orang secara
paksa atau penculikan terhadap para aktivis pro-demokrasi yang terjadi
menjelang pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu) tahun 1997 dan Sidang
Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) tahun 1998. Peristiwa
penculikan ini dipastikan berlangsung dalam tiga tahap: Menjelang pemilu Mei
1997, dalam waktu dua bulan menjelang sidang MPR bulan Maret, sembilan di
antara mereka yang diculik selama periode kedua dilepas dari kurungan dan
muncul kembali. Beberapa di antara mereka berbicara secara terbuka mengenai
pengalaman mereka. Tapi tak satu pun dari mereka yang diculik pada periode
pertama dan ketiga muncul.
8. Peristiwa Kerusuhan Mei 1998
Kerusuhan Mei 1998 adalah kerusuhan rasial terhadap etnis Tionghoa yang
terjadi di Indonesia pada 13 Mei–15 Mei 1998, khususnya di Ibu
Kota Jakarta namun juga terjadi di beberapa daerah lain. Kerusuhan ini diawali
oleh krisis finansial Asia dan dipicu oleh tragedi Trisakti di mana empat
mahasiswa Universitas Trisakti ditembak dan terbunuh dalam demonstrasi 12
Mei 1998. Hal inipun mengakibatkan penurunan jabatan Presiden Soeharto,
serta pelantikan B. J. Habibie

9. Peristiwa Pembunuhan Dukun Santet 1998-1999


Pada 6 Februari 1998, Bupati Banyuwangi saat
itu Kolonel Polisi (Purn) HT. Purnomo Sidik mengeluarkan radiogram yang
ditujukan untuk seluruh jajaran aparat pemerintahan dari camat hingga kepala
desa untuk mendata orang-orang yang ditengarai memiliki ilmu supranatural
dan untuk selanjutnya melakukan pengamanan dan perlindungan terhadap
orang-orang tersebut. Radiogram selanjutnya dikeluarkan pada bulan September
yang berisi penegasan terhadap radiogram sebelumnya. Namun yang terjadi,
setelah radiogram dikeluarkan dan dilakukan pendataan, pembantaian malah
semakin meluas. Dalam sehari ada 2-9 orang yang terbunuh. Sehingga
masyarakat berasumsi bahwa radiogram bupati tersebut adalah penyebab dari
pembantaian dan radiogram yang berisi perintah pengamanan tersebut adalah
dalih pemerintah untuk membasmi tokoh-tokoh yang berlawanan ideologi
dengan pemerintah. Selain itu muncul spekulasi bahwa pembantaian tersebut
didalangi oleh oknum ABRI, tetapi hal itu tidak terbukti hingga saat ini

10. Peristiwa Simpang KKA, Aceh 1999


Tragedi Simpang KKA, juga dikenal dengan nama Insiden Dewantara atau
Tragedi Krueng Geukueh, adalah sebuah peristiwa yang berlangsung saat
konflik Aceh pada tanggal 3 Mei 1999 di Kecamatan Dewantara, Aceh. Saat itu,
pasukan militer Indonesia menembaki kerumunan warga yang sedang berunjuk
rasa memprotes insiden penganiayaan warga yang terjadi pada tanggal 30 April
di Cot Murong, Lhokseumawe. Simpang KKA adalah sebuah persimpangan
jalan dekat pabrik PT Kertas Kraft Aceh di Kecamatan Dewantara, Aceh Utara.
Insiden ini terus diperingati masyarakat setempat setiap tahunnya. Hingga saat
ini belum ada pelaku yang ditangkap dan diadili atas peristiwa ini.

11. Peristiwa Wasior, Papua 2001-2002


Tragedi Wasior terjadi pada 13 Juni 2001. Saat itu, terduga aparat Korps
Brigade Mobil (Korps Brimob) melakukan penyerbuan kepada warga sipil di
Desa Wondiboi, Wasior, Manokwari, Papua. Dikutip dari BBC Indonesia,
laporan Kontras (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan)
perusahaan kayu PT VPP dianggap warga mengingkari kesepakatan yang dibuat
untuk masyarakat. Masyarakat lantas mengekspresikan tuntutan mereka dengan
menahan speed boat milik perusahaan sebagai jaminan, setelah memberikan
toleransi sekian waktu lamanya. Aksi masyarakat ini dibalas oleh perusahaan
dengan mendatangkan Brimob untuk melakukan tekanan terhadap masyarakat.
Masyarakat lantas mengeluhkan mengenai perilaku perusahaan dan Brimob
yang lantas disikapi oleh kelompok TPN/OPM dengan kekerasan. Saat PT VPP
tetap tidak menghiraukan tuntutan masyarakat untuk memberikan pembayaran
pada saat pengapalan kayu, kelompok TPN/OPM menyerang sehingga
menewaskan lima orang anggota Brimob dan seorang karyawan perusahaan PT
VPP. Serta membawa kabur enam pucuk senjata milik anggota Brimob bersama
peluru dan magazennya. Saat aparat setempat melakukan pencarian pelaku,
terjadi tindak kekerasan berupa penyiksaan, pembunuhan, penghilangan secara
paksa hingga perampasan kemerdekaan di Wasior. Tercatat empat orang tewas,
satu orang mengalami kekerasan seksual, lima orang hilang dan 39 orang
disiksa.

12. Peristiwa Wamena, Papua 2003


Pada 4 April 2003 masyarakat sipil Papua sedang mengadakan Hari Raya
Paskah namun, masyarakat setempat dikejutkan dengan penyisiran terhadap 25
kampung. Penyisiran dilakukan akibat sekelompok massa tak dikenal membobol
gudang senjata Markas Kodim 1702/Wamena. Penyerangan ini menewaskan
dua anggota Kodim, yaitu Lettu TNI AD Napitupulu dan Prajurit Ruben Kana
(penjaga gudang senjata) dan satu orang luka berat. Kelompok penyerang
diduga membawa lari sejumlah pujuk senjata dan amunisi.
Dalam rangka pengejaran terhadap pelaku, aparat TNI-Polri telah
melakukan penyisiran di 25 kampung, yaitu: Desa Wamena Kota, Desa
Sinakma, Bilume-Assologaima, Woma, Kampung Honai lama, Napua, Walaik,
Moragame-Pyamid, Ibele, Ilekma, Kwiyawage -Tiom, Hilume desa Okilik,
Kikumo, Walesi Kecamatan Assologaima dan beberapa kampung di sebelah
Kwiyawage yaitu: Luarem, Wupaga, Nenggeyagin, Gegeya, Mume dan
Timine.Komnas HAM melaporkan kasus ini menyebabkan sembilan orang
tewas, serta 38 orang luka berat. Selain itu pemindahan paksa terhadap warga 25
kampung menyebabkan 42 orang meninggal dunia karena kelaparan, serta 15
orang korban perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang.
penangkapan, penyiksaan, perampasan secara paksa menimbukan korban jiwa
dan pengungsian penduduk secara paksa.

13. Peristiwa Jambo Keupok, Aceh 2003.


Tragedi Jambo Keupok pada 17 Mei 2003 adalah sebuah peristiwa
pelanggaran HAM berat yang terjadi di Jambo Keupok, Bakongan, Aceh
Selatan. Sebanyak 16 orang penduduk sipil tak berdosa mengalami penyiksaan,
penembakan, pembunuhan di luar proses hukum (extrajudicial killing) dan
pembakaran serta 5 orang lainnya turut mengalami kekerasan oleh anggota TNI,
Para Komando (PARAKO) dan Satuan Gabungan Intelijen (SGI).
B. Penanganan Kasus HAM di peradilan Indonesia
Dalam penyelesaian pelanggaran hak asasi manusia terdapat prinsip yang
meliputi keseluruhan aspek dan dimensi serta mekanisme penting bagi
penyelesaian pelanggaran hak asasi manusia, dengan empat pilar penting yaitu:
a. hak atas rasa keadilan (right to justice);
b. hak atas kebenaran (right to truth);
c. hak atas reparasi (right to reparation); dan
d. jaminan ketidakberulangan (guarantees of non reccurance).

Dasar pemikiran rekonsiliasi dalam menyelesaikan persoalan kejahatan


HAM pada masa lalu mendasarkan pada prindsif state responsibility terhadap
masyarakat atas segala apa yang terjadi. Dalam konteks ini kewajiban negara
dalam transisi tidak hanya sekedar pembawa pelaku ke pengadilan, tetapi
meliebihi dari sekedar upaya hukum yaitu selain melakukan rehabilitasi, dan
reparasi, juga memiliki keterkaitan dengan dekonstruksi masa lampau yang bisu,
dipalsukan atau masa rakyat yang diam atau traumatik.
The right to know the truth merupakan hak untuk mengetahui kebenaran
yang dirujuk ke pasal 19 Declaration Of Human Right. Dimana adanya hak
masyarakat atau korban untuk mengetahui kebenaran (victim's right to know)
tersebut mengimplikasikan adanya kewajiban negara untuk mengingat (state duty
to remember)3. Hukum acara yang digunakan dalam Pengadilan HAM adalah
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sepanjang tidak diatur
secara khusus oleh UU No. 26 Tahun 2000 (lex specialis derogat lex generalis).
Adapun proses penyelesaian pelanggaran HAM berat menurut UU
No. 26 Tahun 2000 adalah sebagai berikut :

a. Penyelidikan
Penyelidikan dilakukan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas
HAM). Hal ini bertujuan adanya objektifitas hasil penyelidikan, apabila

3
Mahrus Ali Syarif Nurhidayat, Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat, (Jakarta: Gramata
Publishing, 2011), hlm. 42
dilakukan oleh lembaga independen. Dalam penyelidikan, penyelidik
berwenang:4
1. Melakukan penyelidikan dan pemeriksaan terhadap peristiwa yang
timbul dalam masyarakat yang berdasarkan sifat atau lingkupnya patut
diduga terdapat pelanggaran berat HAM.
2. Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang atau kelompok orang
tentang terjadinya pelanggaran berat HAM serta mencari keterangan dan
barang bukti.
3. Memanggil pihak pengadu, korban atau pihak yang diadukan untuk
diminta dan didengar keterangannya.
4. Memanggil saksi untuk dimintai kesaksiannya.
5. Meninjau dan mengumpulkan keterangan di tempat kejadian dan tempat
lainnya jika dianggap perlu.
6. Memanggil pihak terkait untuk melakukan keterangan secara tertulis atau
menyerahkan dokumen yang diperlukan sesuai dengan aslinya.
7. Atas perintah penyidik dapat melakukan tindakan berupa pemeriksaan
surat, penggeledahan dan penyitaan, pemeriksaan setempat, mendatangkan
ahli dalam hubungan dengan penyelidikan.

b. Penyidikan5
Penyidikan pelanggaran berat HAM dilakukan oleh Jaksa Agung. Dalam
pelaksanaan tugasnya Jaksa Agung dapat mengangkat penyidik ad hoc yang
terdiri atas unsur pemerintah dan masyarakat. Sebelum melaksanakan
tugasnya, penyidik ad hoc mengucapkan sumpah atau janji menurut agamanya
masing- masing. Syarat-syarat yang harus dipenuhi sebagai penyidik ad hoc,
yaitu :
1. Warga Negara Indonesia
2. Berumur sekurang-kurangnya 40 tahun dan paling tinggi 65 tahun

4
Pasal 18 sampai 20 UU No.26 Tahun 2000
5
Pasal 21 sampai 22 UU No. 26 Tahun 2000
3. Berpendidikan Sarjana Hukum atau sarjana lain yang mempunyai
keahlian dibidang hukum
4. Sehat jasmani dan rohani
5. Berwibawa, jujur, adil dan berkelakuan baik
6. Setia kepada Pancasila dan UUD 1945
7. Memiliki pengetahuan dan kepedulian dibidang hak asasi manusia
8. Penyidikan diselesaikan paling lambat 90 hari terhitung sejak tanggal
hasil penyelidikan diterima dan dinyatakan lengkap oleh penyidik.
Penyidikan dapat diperpanjang 90 hari oleh Ketua Pengadilan HAM
sesuai daerah hukumnya dan dapat diperpanjang lagi 60 hari. Jika
dalam waktu tersebut, penyidikan tidak juga terselesaikan, maka
dikeluarkan surat perintah penghentian penyidikan oleh Jaksa Agung.

c. Penuntutan
Penuntutan dilakukan oleh Jaksa Agung. Jaksa Agung dapat mengangkat
penuntut umum ad hoc yang terdiri dari unsur pemerintah dan masyarakat.
Syarat untuk diangkat menjadi penuntut umum sama halnya dengan syarat
diangkat menjadi penyidik ad hoc. Penuntutan dilakukan paling lama 7 hari
sejak tanggal hasil penyidikan diterima.6

d. Pemeriksaan di Pengadilan
Pemeriksaan perkara pelanggaran berat HAM dilakukan oleh majelis
hakim Pengadilan HAM berjumlah 5 orang, terdiri atas 2 orang hakim pada.
PengadilanHAM dan 3 orang hakim ad hoc. Syarat-syarat menjadi Hakim
Ad Hoc :
1. Warga Negara Indonesia
2. Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa
3. Berumur sekurang-kurangnya 45 tahun dan paling tinggi 65 tahun
4. Berpendidikan sarjana hukum atau sarjana lain yang mempunyai
keahlian dibidang hukum

6
Pasal 23 sampai 25 UU No.26 Tahun 2000
5. Sehat jasmani dan rohani
6. Berwibawa, jujur, adil dan berkelakuan baik
7. Setia kepada Pancasila dan UUD 1945
8. Memiliki pengetahuan dan kepedulian dibidang Hak asasi manusia
Perkara paling lama 180 hari diperiksa dan diputus sejak perkara
dilimpahkan ke Pengadilan HAM. Banding pada Pengadilan Tinggi
dilakukan 27 Pasal 27 sampai 33 UU No.26 Tahun 2000 paling lama
90 hari terhitung sejak perkara dilimpahkan ke Pengadilan Tinggi.
Kasasi paling lama 90 hari sejak perkara dilimpahkan ke Mahkamah
Agung.
DAFTAR PUSTAKA

Kasalang, R. J. (2012). Tanggung jawab negara dalam memenuhi hak masyarakat


atas air, dalam to promote: Membaca perkembangan wacana hak asasi
manusia di Indonesia. Yogyakarta: Pusham UII.
Sutiyoso, Bambang, Reformasi Keadilan dan Penegakan Hukum di Indonesia, UII
Press, Yogjakarta, 2010
Bazar, Harapan, A, Nawangsih Sutardi, Hak Asasi Manusia dan Hukumnya, CV.
Yani’s, Jakarta, 2006
Mahrus Ali Syarif Nurhidayat, Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat, (Jakarta:
Gramata Publishing, 2011),
Pasal 18 sampai 20 UU No.26 Tahun 2000
Pasal 21 sampai 22 UU No. 26 Tahun 2000
Pasal 23 sampai 25 UU No.26 Tahun 2000
https://id.wikipedia.org/wiki/Penembakan_misterius
https://id.wikipedia.org/wiki/
Pembantaian_di_Indonesia_1965%E2%80%931966#:~:text=Pembantai
an%20di%20Indonesia%201965%E2%80%931966%20adalah
%20peristiwa%20pembantaian%20terhadap%20orang,setidaknya
%20setengah%20juta%20orang%20dibantai.
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20210616115743-31-655026/peristiwa-
talangsari-kasus-pelanggaran-ham-berat-pada-1989
https://id.wikipedia.org/wiki/Tragedi_Rumoh_Geudong
https://id.wikipedia.org/wiki/Penculikan_aktivis_1997/1998
https://id.wikipedia.org/wiki/Kerusuhan_Mei_1998
https://id.wikipedia.org/wiki/Pembantaian_Banyuwangi_1998
https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-39031020

Anda mungkin juga menyukai