Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

Pelanggaran HAM Analisis Kasus Petrus


TRAGEDI KASUS PETRUS (PENEMBAKAN MISTERIUS)

ANALISIS KASUS

Dosen Pengampu:

oleh:

DEPARTEMEN PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN

FAKULTAS PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL


UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA

BANDUNG

2015

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur Penulis panjatkan kehadirat Allah SWT. karena atas izin-Nyalah yang
telah melimpahkan rahmat dan anugerah-Nya, memberikan kecerdasan ilmu dan
wawasan, sehingga Penulis dapat menyelesaikan analisis kasus yang berjudul
Tragedi Kasus PETRUS (Penembakan Misterius) yang merupakan salah satu
tugas mata kuliah Hak Asasi Manusia. Shalawat serta salam semoga tetap tercurah
limpahkan kepada nabi Muhamad SAW, kepada keluarganya, para sahabatnya, serta
mudah-mudahan sampai kepada kita selaku umatnya. Amin.

Pada kesempatan kali ini, Penulis mengucapkan banyak terima kasih atas saran,
bantuan dan bimbingan yang telah diberikan selama proses penulisan analisis kasus ini
serta kerja samanya, yaitu kepada:

Dr. H. Aim Abdulkarim, M.Pd. dan Dr. Prayoga Bestati, S.Pd. sebagai dosen
pembimbing mata kuliah Hak Asasi Manusia.
Semua pihak yang turut membantu Penulis dalam pembuatan analisis kasus ini
ini baik secara langsung maupun secara tidak langsung.

Penulis mengharapkan semoga penulisan analisis kasus ini dapat bermanfaat


baik bagi Penulis maupun bagi para pembaca. Amin.

Bandung, 2 April 2015

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

1.2 Identifikasi Masalah

1.3 Rumusan Masalah

BAB II KAJIAN PUSTAKA

Landasan Hukum
Teori tentang HAM

BAB III ANALISIS KASUS

Kronologis Kasus
Analisis Kasus

BAB IV PENUTUP

Kesimpulan
Rekomendasi

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Hak Asasi Manusia (HAM) mempunyai arti penting bagi kehidupan manusia karena
persoalannya berkaitan langsung dengan hak dasar yang dimiliki manusia yang berasal
dari Tuhan Yang Maha Esa, karena itu pada dasarnya setiap manusia memiliki
martabat yang sama maka, dalam hal hak asasi mereka harus mendapat perlakuan
yang sama, walaupun kondisi mereka berbeda-beda. Martabat manusia, sebagai
substansi sentral hak-hak asasi manusia di dalamnya mengandung aspek bahwa
manusia memiliki hubungan secara eksistensial dengan Tuhannya (Al-Hakim,dkk, 2012
: 60).

Berlatar dari pengertian HAM diatas maka dapat disimpulkan bahwa setiap manusia
memiliki martabat yang sama tanpa ada pembeda baik itu dari kondisi maupun status
sosial mereka di masyarakat. Pemerintah sebagai institusi yang diamanati kekuasaan
oleh rakyat bertugas dalam penjaminan hak-hak warga negaranya. Tujuan nasional
dalam menegakkan HAM tercantum dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945,
yang berbunyi,
Melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut serta ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan , perdamaian abadi
dan keadilan sosial

Namun jaminan atas hak-hak dasar tersebut harus tercoreng oleh peristiwa PETRUS
(Penembakan Misterius) yang dianggap sebagai pelanggaran HAM berat yang
dilakukan oleh pemerintah yang berkuasa pada saat itu. Korban yang tewas dalam
peristiwa tersebut sebagian besar merupakan preman atau mereka yang melawan
kekuasaan Orde Baru, residivis atau mantan narapidana, dan orang yang diadukan
sebagai penjahat.

Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis dapat menarik beberapa


permasasalahan yang menimbulkan peristiwa Petrus :

1. Perintah Presiden Soeharto yang meminta Polisi dan ABRI untuk megambil
tindakan efektif dalam rangka menekan angka kriminalitas yang terjadi di
Indonesia.
2. Presiden Soeharto beranggapan bahwa penembakan yang dilakukan terhadap
para korban yang sebagian besar merupakan preman atau mereka yang
melawan kekuasaan Orde Baru, residivis atau mantan narapidana telah
mengancam keamanan nasional dengan tindakan-tindakan kriminal yang
mereka lakukan dan tindakan penembakan tanpa adanya proses hukum yang
berlaku seolah-olah dianggap legal.
3. Selain ditembak dan ditikam, mayat para korban juga dibiarkan tergeletak di
pinggir jalan atau di tempat-tempat umum yang berpotensi keramaian guna
memberikan efek psikologis pada masyarakat untuk tidak melakukan tindakan
kriminal.
Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis merumuskan masalah sebagai


berikut:

1. Bagaimana kronologis terjadinya peristiwa PETRUS (Penembakan Misterius)?


2. Apa yang melatarbelakangi terjadinya peristiwa PETRUS (Penembakan
Misterius)?
3. Pasal apa saja yang dilanggar oleh pemerintah selama terjadinya peristiwa
PETRUS (Penembakan Misterius)?

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

Landasan Hukum

Pasal-pasal yang dilanggar dalam peristiwa Petrus :

1. Pasal 338 KUHP tentang pembunuhan : Barang siapa dengan sengaja


merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan pidana
penjara paling lama lima belas tahun.
2. Pasal 340 KUHP tentang pembunuhan: Barang siapa dengan sengaja dan
dengan rencana terlebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam karena
pembunuhan dengan rencana, dengan pidana rnati atau pidana penjara seumur
hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun.
3. Pasal 344 KUHP tentang pembunuhan: Barang siapa merampas nyawa orang
lain atas permintaan orang itu sendiri yang jelas dinyatakan dengan
kesungguhan hati, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas
tahun.
4. Pasal 9 UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, penyiksaan
diartikan sebagai tindakan yang dengan sengaja dan melawan hukum
menimbulkan kesakitan atau penderitaan yang berat, baik fisik maupun mental,
terhadap seorang tahanan atau seseorang yang berada di bawah pengawasan.
5. Pasal 354 KUHP tentang Penganiayaan :

(1) Barang siapa sengaja melukai berat orang lain, diancam karena melakukan
penganiayaan berat dengan pidana penjara paling lama delapan tahun.
(2) Jika perbuatan itu mengakibatkan kematian, yang bersalah diancam dengan pidana
penjara paling lama sepuluh tahun.
6. Pasal 355 KUHP tentang Penganiayaan :

(1) Penganiayaan berat yang dilakukan dengan rencana terlebih dahulu, diancam
dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.
(2) Jika perbuatan itu mengakibatkan kematian, yang bersalah diancam dengan pidana
penjara paling lams lima belas tahun.

Teori tentang HAM

Menurut Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia pasal (1),
bahwa hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat
keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa. Hak itu merupakan
anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara,
hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan
martabat manusia.

Dalam bagian Pendekatan dan Substansi TAP MPR No. XVII/MPR/1998 tentang Hak
Asasi Manusia dijelaskan bahwa hak asasi manusia adalah hak dasar yang melekat
pada diri manusia yang sifatnya kodrati dan universal sebagai karunia Tuhan Yang
Maha Esa, dan berfungsi untuk menjamin kelangsungan hidup, kemerdekaan,
perkembangan manusia, dan masyarakat yang tidak boleh diabaikan, dirampas, atau
diganggu gugat oleh siapapun.

Dalam konteks HAM, peristiwa Petrus (Penembakan Misterius) ini masuk ke dalam
kategori pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Sebagaimana yang dimaksud
dalam penjelasan dalam UU No. 39 Th 1999 Tentang Hak Asasi Manusia dalam pasal
104 ayat (1) Yang dimaksud dengan pelanggaran hak asasi manusia yang berat
adalah pembunuhan massal (genocide), pembunuhan sewenang-wenang atau di luar
putusan pengadilan (arbitrary/extra judicial killing), penyiksaan, penghilangan orang
secara paksa, perbudakan, atau diskriminasi yang dilakukan secara sistematis
(systematic diserimination).

BAB III

ANALISIS KASUS

Kronologis Kasus
Penembakan misterius atau sering disingkat Petrus (operasi clurit) adalah suatu operasi
rahasia dari Pemerintahan Suharto pada tahun 1980-an untuk menanggulangi tingkat
kejahatan yang begitu tinggi pada saat itu. Operasi ini secara umum adalah operasi
penangkapan dan pembunuhan terhadap orang-orang yang dianggap mengganggu
keamanan dan ketentraman masyarakat khususnya di Jakarta dan Jawa Tengah.
Pelakunya tak jelas dan tak pernah tertangkap, karena itu muncul istilah petrus
(penembakan misterius).

Petrus berawal dari operasi penanggulangan kejahatan di Jakarta. Pada tahun 1982,
Soeharto memberikan penghargaan kepada Kapolda Metro Jaya, Mayjen Pol Anton
Soedjarwo atas keberhasilan membongkar perampokan yang meresahkan masyarakat.
Pada Maret tahun yang sama, di hadapan Rapim ABRI, Soeharto meminta polisi dan
ABRI mengambil langkah pemberantasan yang efektif menekan angka kriminalitas. Hal
yang sama diulangi Soeharto dalam pidatonya tanggal 16 Agustus 1982.
Permintaannya ini disambut oleh Pangopkamtib Laksamana Soedomo dalam rapat
koordinasi dengan Pangdam Jaya, Kapolri, Kapolda Metro Jaya dan Wagub DKI
Jakarta di Markas Kodam Metro Jaya tanggal 19 Januari 1983. Dalam rapat itu
diputuskan untuk melakukan Operasi Clurit di Jakarta, langkah ini kemudian diikuti oleh
kepolisian dan ABRI di masing-masing kota dan provinsi lainnya.

Pada tahun 1983 tercatat 532 orang tewas, 367 orang di antaranya tewas akibat luka
tembakan. Pada Tahun 1984 ada 107 orang tewas, di antaranya 15 orang tewas
ditembak. Tahun 1985 tercatat 74 orang tewas, 28 di antaranya tewas ditembak. Para
korban Petrus sendiri saat ditemukan masyarakat dalam kondisi tangan dan lehernya
terikat. Kebanyakan korban juga dimasukkan ke dalam karung yang ditinggal di pinggir
jalan, di depan rumah, dibuang ke sungai, laut, hutan dan kebun. Pola pengambilan pa-
ra korban kebanyakan diculik oleh orang tak dikenal dan dijemput aparat keamanan.
Petrus pertama kali dilancarkan di Yogyakarta dan diakui terus terang M Hasbi yang
pada saat itu menjabat sebagai Komandan Kodim 0734 sebagai operasi pembersihan
para gali (Kompas, 6 April 1983). Panglima Kowilhan II Jawa-Madura Letjen TNI Yogie
S. Memet yang punya rencana mengembangkannya. (Kompas, 30 April 1983).
Akhirnya gebrakan itu dilanjutkan di berbagai kota lain, hanya saja dilaksanakan secara
tertutup.

Menurut Bhati salah seorang target yang selamat, mereka yang melawan langsung
ditembak di tempat. Di berbagai tempat, orang menemukan mayat dengan luka tembak
pada pagi harisebagian besar bertato. Ketakutan pun menyebar hingga 1985.

Dari para tentara dan polisi yang ia kenal akrab, Bathi Moelyono tahu ia masuk sasaran
tembak. Sejak itu, ia tak lagi tidur di rumah sendiri. Ia menghabiskan malam di langit-
langit rumah tetangga. Belakangan, dari kota kediamannya, Semarang, Bathi ke
Jakarta, menghadap orang yang ia sebut sebagai Number One, yakni Ali Moertopo.

Tokoh Operasi Khusus ini ketika itu telah menjadi Wakil Ketua Dewan Pertimbangan
Agung. Bathi menganggap Ali Moertopo patron para preman yang ia pimpin. Ali
Moertopo memberinya selembar surat jaminan tak akan ditembak. Tapi tetap saja
Bathi tak merasa aman. Mungkin penguasa saat itu menganggap tugas saya sudah
selesai dan tiba saatnya untuk dihabisi, Bathi mengenang.

Selama sepuluh tahun Bhati berpindah-pindah, awalnya ke lereng Gunung Lawu di


wilayah Magetan, Jawa Timur, lalu ke Jakarta, Bogor, dan sejumlah tempat lain. Ia
setidaknya tujuh kali berganti nama: Edi, Hari, Budi, Agus, dan berbagai nama pasaran
lain.

Bathi lahir di Semarang, 1947, tanpa catatan tanggal dan bulan akibat buruknya
administrasi. Ia mandek di kelas dua Sekolah Menengah Pertama Taman Siswa,
Semarang. Pada 1968, ia terlibat pembunuhan di Semarang, katanya bukan bermotif
perampokan. Bathi diganjar hukuman penjara hingga 1970.

Keluar dari penjara, ia direkrut Golongan Karya menjadi anggota Tim Penggalangan
Monoloyalitas Serikat Buruh Terminal dan Parkir Kota Madya Semarang. Ketika itu,
Orde Baru gencar melembagakan monoloyalitas pada semua elemen masyarakat.
Intinya: setia hanya kepada Golkar.

Dalam tim itu, Bathi bertugas mengajak preman dan wong cilik Semarang memilih
Golkar dalam Pemilu 1971. Pada 1975-1980, ia mengetuai serikat buruh terminal dan
parkir Semarang, lalu diangkat menjadi kader Golkar Jawa Tengah pada 1976. Pada
Pemilu 1977, Bathi kembali menjadi motor penggalang suara preman dan masyarakat
jelata agar mencoblos Golkar. Istilahnya kami bina, katanya. Kalau tidak mau kami
bina ya kami binasakan.

Sukses menggarap preman Semarang, pada 1981 Bathi mendapat tugas dari orang
yang ia sebut bos besar untuk mengetuai Yayasan Fajar Menyingsing. Ini adalah
organisasi bekas narapidana di Jawa Tengah dan Yogyakarta. Anggotanya ribuan,
semuanya preman. Pada 1982, Golkar bertekad merebut Jakartapada Pemilu 1977
kalah dari Partai Persatuan Pembangunan.

Kelompok preman pimpinan Bathi terlibat operasi menghancurkan citra PPP di Jakarta.
Pada Pemilu 1982, Bathi mengkoordinasi pengawalan dan pengamanan Badan
Pemenangan Pemilu Golkar Jawa Tengah. Tapi ia dan anak buahnya dikirim ke Jakarta
untuk memenangkan Golkar. Ketika lautan manusia memenuhi kampanye Golkar di
lapangan Banteng, Jakarta, menjelang Pemilu 1982, Bathi dan anak buahnya
menyamar sebagai pendukung PPP.

Mereka menyerang pendukung Golkar dan merobohkan panggung sambi berteriak,


Hidup Kabah! Sejumlah kendaraan dibakar. Mereka berangkat naik bus berkaus PPP,
tapi terbungkus rapat jaket Golkar. Sesampai di lapangan, mereka melepas jaket
sehingga tinggal kaus PPP yang tampak. Sudah kami siapkan mana mobil yang
dibakar, mana yang tidak, kata Bathi. Alhasil, pada Pemilu 1982, suara PPP di Jakarta
tumbang oleh Golkar.
Kontras pernah menginvestigasi kasus ini pada 2002 dengan menghadirkan sejumlah
saksi dan korban selamat. Setahun kemudian, Komnas HAM meneliti kasus ini, tapi
mandek di tengah jalan. Kini tragedi petrus kembali menjadi target Komnas HAM untuk
diungkap dengan membentuk tim ad hoc pada akhir Februari lalu.

Tim itu telah mengundang sejumlah keluarga korban. Ketua Komnas HAM Ifdhal Kasim
mengatakan petrus adalah kejahatan kemanusiaan. Penjahat pun harus tetap dihormati
hak hukumnya. Mereka tidak boleh asal ditembak,katanya.

Kontras mencatat korban tewas petrus di seluruh Indonesia pada 1983 berjumlah 532
orang, pada 1984 sebanyak 107 orang, dan pada 1985 sebanyak 74 orang.

Analisis Kasus

Dilihat dari pemaparan kronologis diatas, dapat disimpulkan bahwa petrus adalah
gagasan Soeharto. Hal ini merujuk pengakuan Soeharto dalam otobiografi Soeharto:
Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya.

Tindakan tegas bagaimana? Ya, harus dengan kekerasan. Tetapi, kekerasan itu bukan lantas
dengan tembakan.. dor.. dor.. begitu saja, bukan! Yang melawan, mau tidak mau, harus ditembak.
Karena melawan, mereka ditembak. Lalu, ada yang mayatnya ditinggalkan begitu saja. Itu
untuk shock therapy, terapi goncangan. Ini supaya orang banyak mengerti bahwa terhadap
perbuatan jahat masih ada yang bisa bertindak dan mengatasinya. Tindakan itu dilakukan supaya
bisa menumpas semua kejahatan yang sudah melampaui batas perikemanusiaan itu. Maka,
kemudian meredalah kejahatan-kejahatan yang menjijikkan itu.

Suharto (Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya (1989), yang ditulis
Ramadhan K.H.)

Selain Soeharto, orang yang harus bertanggung jawab adalah Sudomo dan mantan
Panglima ABRI/Pangkopkamtib Jenderal L.B. Moerdani.

Dalam kasus Petrus terdapat tiga pedoman pokok mengenai pelanggaran HAM atau
kejahatan terhadap kemanusiaan yang dilakukan oleh Presiden Soeharto, yaitu :

Pertama, UU No. 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM pada Pasal 42 ayat (2)
huruf a dan b juncto Pasal 9 haruf a, menjabarkan beberapa unsur-unsur penting
bahwa (1) Seorang atasan Polisi, mampu bertanggung jawab secara pidana, yang
mempunyai bawahan, mempunyai kekuasaan untuk melakukan pengendalian efektif;
(2) Tidak melakukan pengendalian terhadap bawahannya secara patut dan benar; (3)
Mengetahui atau secara sadar mengabaikan informasi yang jelas menunjukan bahwa
bawahan sedang melakukan atau baru saja melakukan pelanggaran HAM yang berat;
(4) Tidak mengambil tindakan yang layak dan diperlukan dalam ruang lingkup
kewenangannya, untuk mencegah atau menghentikan perbuatan tersebut atau
menyerahkan pelakunya kepada pejabat yang berwenang untuk dilakukan
penyelidikan, penyidikan dan penuntutan; (5) Kejahatan terthadap kemanusiaan dalam
bentuk serangan yang meluas atau sistemik, yang diketahuinya bahwa serangan
tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil dengan cara pembunuhan.

Kedua, Pasal 340 KUHP tentang Pembunuhan Berencana, bahwa Barangsiapa


dengan sengaja dan dengan direncanakan terlebih dahulu merampas nyawa orang
lain. Sehingga unsur perbuatan yang memenuhi rumusan delik dari pasal ini adalah
perbuatan dengan sengaja, direncanakan terlebih dahulu, merampas nyawa orang lain.

Ketiga, Ketentuan Pasal 42 ayat (2) huruf a dan b jis Pasal 7 huruf b, pasal 9 huruf e
UU No. 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM juga pasal 354 dan 355 KUHP
tentang penganiayaan berat dan perencanaan penganiayaan berat yang berakhir pada
kematian. Hal ini didasarkan pada keterangan saksi bahwa pada mayat korban yang
ditemukan terdapat bekas jeratan di leher seperti dijeran oleh plat besi, dan tindak
penganiayaan lainnya. Substansi tuntutan yang ada pada kedua pasal ini adalah
tindakan kekerasan, penyiksaan keji, pembunuhan dan perampasan kemerdekan
terhadap korban.

Dengan demikian, uraian pasal-pasal ini bermuara pada satu definisi bahwa secara
kontekstual tindakan aparat kepolisian dalam kasus ini merupakan bentuk kejahatan
terhadap kemanusiaan. Definisi ini selaras dengan Pasal 9 huruf e bahwa adanya
tindakan dengan sengaja perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik
secara sewenang-wenang.

BAB IV

PENUTUP

Kesimpulan

Penembakan misterius atau petrus merupakan sebuah kasus yang terjadi pada zaman
orde baru atau era Soeharto berkuasa. Kasus ini digolongkan sebagai kasus
pelanggaran Hak Asasi Manusia, karena mengadili seseorang tanpa melalui proses
hukum dengan cara dibunuh. Akibat kasus ini, ketakutan para preman pada zaman itu
sangat besar, karena mereka menjadi sasaran tembak pelaku petrus. Sistem dari
penembakan misterius adalah menghakimi siapa saja yang dinilai sebagai pelaku
kriminal atau kejahatan, seperti preman, perampok, , anak jalanan, dan sejenisnya.
Awalnya, program ini dijalankan sebagai Operasi Clurit yang diimplementasikan oleh
Polda Metro Jaya, Jakarta untuk mereduksi angka kriminalitas yang dinilai berada di
ambang kritis. Namun karena hasilnya cukup efektif, maka operasi ini diadopsi oleh
daerah-daerah lain seperti Jawa Tengah dan Yogyakarta.
Penyebab utama dari peristiwa ini adalah terlalu kuatnya rezim pemerintahan Soeharto,
sehingga segala macam cara dilakukan untuk mencapai tujuan pribadinya. Kasus ini
juga mencerminkan sikap pemerintah yang represif. Orang-orang yang menjadi buruan
petrus adalah oknum yang melakukan perlawanan terhadap kekuasaan Soeharto.
Ironisnya, salah satu saksi hidup menyebutkan bahwa oknum tersebut dulunya pernah
dimanfaatkan Soeharto selama kampanye pemilu tahun 1982. Banyak yang
mengindikasikan kasus ini dilakukan oleh aparat keamanan. Banyak yang berpendapat
bahwa Soeharto melakukan strategi ini untuk meneror siapa saja yang menentang
kekuasaannya. Di samping itu, peran lembaga yudikatif seolah berada di bawah kontrol
penguasa, sehingga kasus ini belum tuntas sampai sekarang.

Rekomendasi

1. Bagi aparat keamanan penulis sarankan untuk menerapkan hukum secara tegas
dan sesuai dengan hukum yang berlaku, tanpa adanya intervensi dari pihak lain.
2. Bagi Komnas HAM penulis sarankan untuk segera membentuk tim khusus
pencari fakta sejarah serta segera pula mengembangkan jaringan komuniskasi.
Hal ini berdasarkan pada pengalaman penulis sendiri dalam penulisan analisis
kasus mengenai kasus petrus. Penulis cukup kesulitan dalam mencari sumber
sejarah yang akurat. Langkah ini dimaksudkan agar para penerus bangsa
mengetahui detail peristiwa yang sebenarnya terjadi dan kelak kasus seperti
petrus tidak terulang kembali dalam sejarah bangsa Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

Wikipedia. (2013) Penembakan Misterius. Tersedia :


http://id.wikipedia.org/wiki/Penembakan_misterius[2 April 2015]

Litabm. (2008) Kidung Gugat Sasaran Tembak. [Online] Tersedia :


https://litabm.wordpress.com/ [2 April 2015]

DJeantackque, Ollenk (2013) Tentang Pengadilan HAM Abepura. [Online] Tersedia :


http://hukum.kompasiana.com/2013/08/07/tentang-pengadilan-ham-abepura
582205.html [2 April 2015]

Hamzah, Andi. (2007) KUHP & KUHAP. Jakarta : Rineka Cipta.

Janan, Malik.(2011) Pengertian dan Pelanggaran HAM Berat. [Online] Tersedia :


http://malik-janan.blogspot.com/2011/05/pengertian-dan-jenis-pelanggaran-ham.html [2
April 2015]
Mohammad, Achor. (2011) Penembakan Misterius : Bukti Sikap Represif Rezim
Soeharto. [Online] Tersedia : http://sejarah.kompasiana.com/2011/12/02/penembakan-
misterius-bukti-sikap-represif-rezim-soeharto-418312.html [2 April 2015]

Anda mungkin juga menyukai