Anda di halaman 1dari 27

Kelompok : Rinaldi Girsang

Lucius Siahaan
Victor Golan Sitompul
Kelas : Pasca Sarjana STT Abdi Sabda
M. Kuliah : Etika Terapan
Dosen : DR. Janhotner Saragih
HAK ASASI MANUSIA (HAM)
Suatu Tinjauan Etika Kristen Terapan
Terhadap Putusan Hukuman Mati Kepada Pelaku Pembunuhan Berencana
di Indonesia

I. PENDAHULUAN

Hukuman mati dipercaya sebagai hukuman tertua dan juga terberat yang ada dan
masih diadopsi oleh beberapa negara didunia termasuk di Indonesia. Hukuman mati
merupakan suatu hukuman yang diberikan oleh pengadilan sebagai bentuk hukuman terberat
kepada seseorang sebagai sanksi atas kejahatan yang telah dilakukannya. Hukuman Pidana
tidak terlepas dari isu hukuman mati sebagai vonis terhadap kejahatan-kejahatan luar biasa.
Hal ini yang selalu menimbulkan pro dan kontra terkait hukuman yang berlaku di Indonesia.
Beberapa waktu terakhir, isu pidana mati untuk kesekian kalian kembali mencuat di tengah-
tengah wacana hukum dan penegakan hukum di Indonesia. Isu ini kembali menarik perhatian
publik ketika Kejaksaan Agung menegaskan bahwa Irjen Ferdi Sambo Kadiv Propam Polri,
terbukti bersalah atas pembunuhan berencana terhadap Brida Yosua Hutabarat, seorang
yang bertugas sebagai anggota Profesi Pengamanan Markas Besar (Propam Mabes) yang
ditempatkan sebagai ajudan.

Perbincangan tentang hukuman pidana mati mengandung polemik serta pertanyaan:


apakah pidana mati bersifat legitimate ataukah ilegitimate. Tentang ini, ada dua kubu
pemikiran yang saling berhadapan. Kubu pertama adalah mereka yang kontra pidana mati,
yang mendukung gagasan penghapusan pidana mati dari system hukum Negara-negara.
Sedangkan kubu yang kedua adalah mereka yang mendukung pidana mati sebagai instrument
hukum pidana untuk menindak kejahatan. Ditengah kedua pemikiran ekstrem ini, ada pula
pendapat dari mereka yang setuju pidana mati, sepanjang pidana mati itu secara limitative

1 | ETIKA TERAPAN: Hak Asasi Manusia


hanya diancamkan terhadap kejahatan-kejahatan tertentu serta dilaksanakan dengan syarat-
syarat yang ketat.
Bagaimanakah Etika Kristen memandang akan putusan hukuman mati terhadap terdakwa
pembunuhan berencana jika diperhadapkan dengan HAM?

II. PEMBAHASAN
II.1. Pengertian Hak Asasi Manusia

Hak Asasi Manusia adalah hak yang ada dan melekat pada diri atau martabat
manusia, karena dia adalah manusia. Hak itu ada dalam diri manusia, dan tidak dapat
dipisahkan darinya. Hak itu dimiliki oleh manusia, karena dia itu makhluk yang namanya
manusia. Hak itu bukannya diperolehnya atau dianugerahkannya dari suatu otoritas negara
atau pemerintahan, tetapi dimiliki manusia karena dia itu bermartabat manusiawi. Justru
karena sebagai manusia maka manusia itu memiliki hak yang Asasi, hak yang fundamental,
yang tidak dapat dipisahkan atau diceraikan dari dirinya sendiri. Kalau haknya itu dipisahkan
dari sang manusia itu, maka nilai kemanusiaannya atau martabatnya itu akan merosot,
direndahkan, dihina dan dirong-rong, dan dia tidak dihargai sebagai manusia lagi.1

Dalam Undang-Undang No. 39 tahun 1999 mengenai Hak-Hak Asasi manusia


dirumuskan: "Hak asasi manusia merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada
diri manusia, bersifat universal dan langgeng, oleh karena itu harus dilindungi, dihomati,
dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan, dikurangi, atau dirampas oleh siapapun", dan
"Hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikatnya dan keberadaan
manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-nya yang wajib
dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah, dan setiap
orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia".2

Konsep pemikiran Hak Asasi Manusia, secara mendasar merupakan hak yang benar-
benar ada di bagian inti yang terdalam pada diri manusia, sebagai manusia. Kalau manusia
itu mati, maka habis/ berakhirlah haknya yang Asasi itu. Hak Asasi manusia itu dibatasi oleh
kematian. Oleh karena itu, hanya manusia (hidup) yang mempunyai hak Asasi. Karena itu,
1
F. Magnis Suseno, Etika Politik: Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern (Jakarta: Gramedia,
1987), 121-145.
2
Pasal 1 UU no. 39 tahun 1999 tentang Hak-Hak Asasi Manusia.

2 | ETIKA TERAPAN: Hak Asasi Manusia


kalau kita berbicara mengenai hak Asasi, maka pengertian kita terarah pada suatu konsep
yang jelas, yakni manusia yang hidup. Dalam rangka itu, daftar hak-hak yang terdapat dalam
Deklarasi universal mengenai HAM yang diproklamasikan oleh PBB pada tanggal 10
Desember 1948 itu mempunyai nilai universal yang penting, yang di kemudian hari
dilengkapi dengan dokumen-dokumen PBB selanjutnya,3 yang memiliki inti, yakni
melindungi hak-hak setiap garansinya.

Seiring dengan perkembangan jaman dan lajunya perubahan di dunia ini, negara
Indonesia juga turut memperhatikan persoalan HAM. Lebih dari seperempat abad pemerintah
Indonesia selalu berputar-putar mau mempertahankan diri di balik pelaksanaan HAM seturut
Pancasila dan UUD 1945, namun dalam kenyataannya HAM tetap masih belum mendapat
reaksi maksimal secara yuridis. Baru mulai dengan TAP MPRRI no.XVII/MPR/1998 tentang
Hak Asasi Manusia,4 disusul dengan Undang-Undang no. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi
manusia,5 selanjutnya tanggal 18 Agustus 2000 dengan Perubahan Kedua UUD Negera
Republik Indonesia tahun 1945, bab XA mengenai Hak Asasi Manusia, dan dilengkapi
dengan Undang-Undang no. 26 tahun 2000 mengenai Pengadilan Hak Asasi manusia, 6
negara kita mempunyai suatu kerangka dasar untuk memperhatikan HAM. Namun kerangka
dasar itu masih harus dilengkapi dengan suatu instrumen yuridis yang mampu melindungi
hak-hak warganya dari pelanggaran HAM. Instrumen yuridis itu berupa hukum yang jelas,
adil dan pasti; serta perlunya untuk segera dibentuk adanya pengadilan HAM yang kokoh
dan kuat serta dipimpin oleh hakim-hakim yang tangguh, jujur, adil dan mau menjunjung
tinggi HAM. Dengan demikian pelanggaran HAM dapat diminimalisir dan tidak akan
merajalela.

3
Deklarasi Universal tentang HAM yang diproklamasikan PBB tanggal 10 Desember 1948 bukanlah
merupakan hukum internasional, tetapi merupakan bahan atau dasar untuk membuat hukum di negara-negara
anggota PBB. Sekalipun daftar hak-hak yang terdapat di situ merupakan produk jamannya, namun nilainya
mengatasi jamannya danmasihtetap relevan untuk jaman kita sekarang ini. Daftar hak-hak yang ada dilengkapi dan
diperkaya dengan berbagai konvensi atau konferensi internasional yang diadakan oleh PBB. Konvensi internasional
mengenai hak-hak sipil dan politik (16 desember 1966) beserta protokolnya, konvensi internasional tentang hak-hak
ekonomi, sosial dan budaya merupakan hukum internasional yang harus dihormati oleh anggota PBB. Dan semua
negara diharapkan akan melaksanakannya demi kesejahteraan setiap warganya.
4
Ditetapkan pada tanggal 13 November 1998. Tap MPRRI ini telah dihapus oleh MPR pimpinan Amin
Rais.
5
Diundangkan pada tanggal 23 September 1999.
6
Diundangkan pada tanggal 23 November 2000.

3 | ETIKA TERAPAN: Hak Asasi Manusia


II.2. HAM: Tinjuan Iman Kristen

Di dalam Alkitab baik Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru, kata “Hak-hak Asasi
Manusia” tidaklah dapat ditemukan. Akan tetapi isi/ unsur-unsur dari Hak Asasi Manusia
terkandung secara eksplisit dengan narasi yang baik serta mengajak orang beriman untuk
mempraktekkannya dalam hidup keseharian, dengan dasar pedoman dan arah yang
Alkitabiah.

Berbicara tentang Hak Asasi Manusia dari perspektif teologi Kristen, kami
menemukan, ada dua dimensi tentang Hak Asasi Manusia yaitu: Dimensi Universal dan
Dimensi Historis.”7 Perspektif Kristen tentang Hak Asasi Manusia dapat dilihat melalui dua
sisi yaitu: 1) Mengkaji dari sudut iman serta teologi kristiani, apa, mengapa dan bagaimana
Hak Asasi Manusia yang berlaku universal bagi setiap orang di semua tempat. 2) Meletakkan
upaya tersebut di dalam rangka upaya bersama seluruh umat manusia untuk mengusahakan
yang terbaik bagi setiap orang dan semua orang sesuai dengan hak-hak asasinya sebagai
manusia. Hak Asasi Manusia adalah satu hal, perumusan tentang Hak Asasi Manusia adalah
satu hal yang lain. Artinya kita harus bisa Mengkaji dari sudut iman serta teologi kristiani
bagaimana Hak Asasi Manusia yang berlaku secara holistik, bagi setiap orang di semua
tempat. Dalam rangka upaya bersama seluruh umat manusia untuk mengusahakan yang
terbaik bagi setiap orang dan semua orang sesuai dengan hak-hak asasinya sebagai manusia
secara otonom.8

Dalam hal ini Pemerintah menjadi wakil Allah dipakai untuk menjaga HAM bagi
umat manusia.9 Pemerintah dapat menjalankan tugasnya sesuai dengan tujuan untuk keadilan
rakyat, orang Kristen perlu mendukung mereka melalui doa, seperti yang diajarkan oleh
Rasul Paulus, naikkan permohonan, doa syafaat dan ucapan syukur untuk semua orang,
untuk raja-raja dan untuk semua pembesar, agar kita dapat hidup tenang dan tenteram dalma
segala kesalehan dan kehormatan (1 Tim. 2:1-2). Dalam Roma 13:4, Rasul Paulus berkata
bahwa pemerintah adalah hamba Allah untuk kebaikan. Bagi pemerintah yang berfungsi
sebagai hamba Allah, orang Kristen harus takluk kepadanya. Dalam konteks ini, pemerintah
7
Douglas Elwood. Human Rights: A Christian Perspective, (Within USA: New Day Publisher, 1999), 23
8
Franz Magnis Suseno, Etika Dasar Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral, (Yogyakarta: Kanisius,
1988), 22.
9
Ch. Abineno, Manusia dan Sesamanya di dalam Dunia, (Jakarta: BPK GM, 2003), 15

4 | ETIKA TERAPAN: Hak Asasi Manusia


adalah pelaku keadilan dan kebenaran. Pemerintah berjuang untuk keadilan dan kemakmuran
bagi seluruh masyarakat tanpa pandang bulu. Pemerintah sebagai alat di dalam tangan Tuhan
untuk kebaikan semua umat manusia. Yesus meminta kepada para muridnya untuk
mendoakan para penguasa agar tidak memerintah dengan tangan besi, tetapi dengan
kebenaran, keadilan, kejujuran dan ketulusan (mrk 10:41-45). Menurut Douglas “Yesus
mengajar murid-murid untuk bertindak adil.10

Persoalan mengenai martabat manusia sudah dikupas secara mendalam dalam


Perjanjian Lama, awal Kitab Kejadian, "manusia diciptakan oleh Allah serupa denganNya"11,
artinya mempunyai martabat yang begitu tinggi, luhur dan mulia. Hidup manusia dijunjung
tinggi. Hak hidup tidaklah boleh direndahkan, dihancurkan atau dilecehkan. Oleh karena itu
manusia tidak mempunyai hak untuk membunuh sesamanya.12

II.3. Hak untuk Hidup dalam Hukuman Mati

Hak Asasi Manusia yang dimiliki oleh setiap warga negara merupakan hak mutlak
yang tidak dapat diganggu bahkan dirampas oleh siapapun termasuk oleh negara sekalipun
karena pada dasarnya keberadaan dari hak asasi manusia tersebut pada hakikatnya tercipta
untuk kepentingan manusia itu sendiri.13 Karena pengertian dari hak asasi manusia tersebut
dimiliki oleh setiap warga negara dan tidak dapat dirampas oleh pihak mana pun, maka hal
ini memiliki implementasi terkait sifat dasar dari hak asasi manusia, yaitu :
a. Bersifat Inheren (melekat secara alamiah pada manusia)
Hak asasi manusia yang dimiliki oleh setiap orang merupakan suatu hak mutlak karena status
martabatnya sebagai manusia dan bukan merupakan hak istimewa yang diberikan oleh satu

10
Douglas Elwood. Human Rights: A Christian Perspective, 24
11
Kejadian 1:26-27: Berfirmanlah Allah: "Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa
Kita, supaya mereka berkuasa atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas ternak dan atas seluruh
bumi dan atas segala binatang melata yang merayap di bumi". Maka Allah menciptakan manusia itu menurut
gambarNya, menurut gambar Allah diciptakanNya dia; laki-laki dan perempuan diciptakanNya mereka.
12
Dalam Kitab Kejadian 4: 8-12 tertulis sebagai berikut: 8. Kata Kain kepada Habel, adiknya: "Marilah kita
pergi ke padang". Ketika mereka ada di padang, tiba-tiba Kain memukul Habel, adiknya itu, lalu membunuh dia. 9.
Firman TUHAN kepada Kain: "Di mana Habel, adikmu itu?" Jawabnya: "Aku tidak tahu! Apakah aku penjaga
adikku?" 10. FirmanNya: "Apakah yang telah kauperbuat ini? Darah adikmu itu berteriak kepadaKu dari tanah. 11.
Maka sekarang, terkutuklah engkau, terbuang jauh dari tanah yang mengangakan mulutnya untuk menerima darah
adikmu itu dari tanganmu. 12. Apabila engkau mengusahakan tanah itu, maka tanah itu tidak akan memberikan hasil
sepenuhnya lagi kepadamu; engkau menjadi seorang pelarian dan pengembara di bumi".
13
Eva Achjani Zulfa, “Menelaah Arti Hak Untuk Hidup Sebagai Hak Asasi Manusia”, Lex Jurnalica Vol. 3
No.1, April 2015, 11

5 | ETIKA TERAPAN: Hak Asasi Manusia


pihak atau diperoleh dengan cara apapun sehingga sebagai konsekuensinya hak asasi
manusia tersebut harus dihormati serta dilindungi.
b. Bersifat Universal
Hak asasi manusia berlaku secara umum untuk setiap orang di seluruh dunia tanpa
dipengaruhi oleh ras, suku, jenis kelamin, maupun status sosialnya dalam masyarakat.
c. Bersifat Inalienable (tidak dapat diingkari)
Pada sifat dasar yang ketiga memiliki kaitan erat dengan sifat inheren dan universal dari hak
asasi manusia, artinya bahwa hak asasi manusia tidak dapat diingkari bahwa hak tersebut
merupakan hak mutlak yang dimiliki oleh setiap manusia.
d. Bersifat Indivisible (tidak dapat dibagi)
Dalam pelaksanaan hak asasi manusia, hak tersebut merupakan suatu kesatuan, artinya
bahwa setiap manusia berhak atas kebebasan, keamanan, serta kehidupan yang layak pada
saat yang bersamaan. Hal ini menunjukkan bahwa hak tersebut saling berkaitan dan tidak
dapat dipisahkan atau dibagi.
e. Bersifat Interdependence (saling tergantung)
Dalam pemenuhan suatu hak akan bergantung dengan pemenuhan hak lainnya. 14 Secara
prinsip memang hak asasi manusia merupakan hak mutlak yang dimiliki oleh setiap orang,
sehingga dalam hal ini dapat dikatakan bahwa hak asasi manusia secara alamiah lahir pada
setiap diri manusia sebagai penghormatan pada martabat manusia itu sendiri, dan hak
tersebut bukan merupakan hak yang lahir dari adanya pemberian atau pengakuan politis oleh
suatu pihak. Hal ini sejalan dengan sifat dasar dari hak asasi manusia yaitu inherent, sehingga
dalam pelaksanaannya memiliki implementasi bahwa hak asasi manusia tidak memerlukan
pengakuan dari suatu negara maupun sistem hukum karena memang HAM sudah ada secara
ilmiah dan bersifat universal pada tiap manusia.15

Hak untuk hidup yang dimiliki oleh setiap warga negara merupakan salah satu
implementasi dari pelaksanaan Hak Asasi Manusia dalam suatu negara. Hak untuk hidup
tersebut merupakan hak yang mendasar yang dimiliki oleh setiap individu. Pelaksanaan akan
adanya penghormatan atas hak hidup seseorang beriringan sejalan antara Undang-Undang

14
Prof. Dr. Rahayu, “Hukum Hak Asasi Manusia”, (Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro,
2010), 3.
15
Prof. Dr. Rahayu, “Hukum Hak Asasi Manusia”, 5

6 | ETIKA TERAPAN: Hak Asasi Manusia


Dasar Negara Republik Indonesia dengan International Covenant on Civil and Political
Rights (ICCPR). ICCPR tersebut diratifikasi dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005
tentang Pengesahan Internasional Covenant on Civil and Political Rights. Ratifikasi terhadap
ICCPR tersebut memberikan konsekuensi terhadap pelaksanaan serta pembatasan HAM di
Indonesia. Hak untuk hidup yang merupakan salah satu dari implementasi pelaksanaan hak
asasi manusia di mana HAM tersebut melekat dan tidak dapat diganggu gugat oleh pihak
manapun sehingga hal ini menimbulkan kontroversi dalam penerapan hukuman mati.

Hak untuk hidup merupakan hak alamiah yang dimiliki oleh seseorang, walau
demikian, hak hidup merupakan hak asasi manusia yang dimiliki seseorang secara terbatas.
Secara konstitusional hak hidup yang dimiliki oleh seseorang sendiri telah diatur dalam
beberapa pasal yang terdapat di Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945. Dalam Pasal 28A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
menjelaskan bahwa setiap orang behak untuk hidup dan mempetahankan hidup dan
kehidupannya. Terkait hak untuk hidup dan mempertahankan kehidupannya tersebut
merupakan implikasi dari pelaksanaan HAM yang telah dijamin oleh konstitusi. Hal ini juga
sejalan dengan apa yang terdapat dalam Pasal 28I ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 yang di dalamnya terdapat berbagai macam hak mendasar
yang dimiliki seseorang yang dalam pelaksanaannya tidak dapat dibatasi dalam situasi dan
kondisi apa pun. Maka oleh karena itu hak hidup dikatakan sebagai hak yang besifat
nonderogable rights yang besifat mutlak dan dalam pelaksanaannya tidak dapat dirampas
oleh siapa pun, temasuk oleh negara.

Walau pun hak untuk hidup merupakan hak dasar yang besifat mutlak yang tidak
dapat dibatasi, namun sejatinya hak untuk hidup merupakan hak yang dimiliki seseorang
secara terbatas. Hak untuk hidup merupakan salah satu hak yang termasuk dalam kategori
restrictively defined. Hak hidup merupakan hak yang dirumuskan secara restriktif yang
dilakukan dengan teknik pemberian kualifikasi tertentu pada hak sehingga menimbulkan
implikasi bahwa terbuka kemungkinan upaya untuk memberikan pengecualian. 16 Hak hidup
yang dirumuskan secara terbatas tidak menutup kemungkinan pada situasi tertentu yang tidak

16
Nihal Jayawickrama, “The Judicial Application of Human Rights Law National, Regional and
International Jurisprudence”, (Cambridge: Univesity Press, 2002), 182-184.

7 | ETIKA TERAPAN: Hak Asasi Manusia


dapat dikendalikan terdapat perampasan hak hidup dari seseorang. Situasi tersebut dapat
terjadi pada saat perang atau dalam kondisi dijatuhi pidana mati.

Klausul yang terdapat dalam ICCPR “No one shall be arbitrarily deprived of his life”
meupakan bentuk dari adanya perlindungan hukum terhadap hak untuk hidup yang sifatnya
terbatas. Sifat terbatas ini memiliki makna bahwa hanya untuk melindungi hak hidup
seseorang agar tidak menjad sasaran atas tindakan penghilangan nyawa sewennag-wenang.
Pembatasan serta perampasan akan hak untuk hidup dengan tidak sewenang-wenang, yakin
dengan melalui pengadilan bukan merupakan pelanggaran hak asasi manusia terkait hak
hidup yang dimiliki. Penerapan hukuman mati bukanlah suatu pelanggaran HAM, hal ini
dikarenakan bahwa hak untuk hidup merupakan hak non-absolute sesuai dengan pernyataan
Jimly Asshidiqie bahwa hukuman mati tidak dapat dikatakan bertentangan dengan ICCPR
karena dalam Pasal 6 ayat (2) ICCPR sendiri memberikan pernyataan bahwa negara negara
peserta dapat menerapkan hukuman mati pada tindak pidana-tindak pidana yang paling
serius.17

Hal ini juga sejalan dengan konstitusi Indonesia, dalam Pasal 28J Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia juga memberikan pembatasan pada hak seseorang dengan
seseorang lainnya. Adanya pelaksanaan hukuman mati, dalam hal ini terhadap pelaku tindak
pidana pembunuhan berencana juga dianggap sebagai pembatasan yang tidak sewenang-
wenang, karena dalam keadaan darurat, ketentuan tentang hak asasi manusia dapat dikurangi
atau dibatasi dengan Undang-Undang. Dalam pelaksanaan hukuman mati memang harus
dilakukan dengan hati-hati dan tepat dengan memperhatikan faktor yang memberatkan serta
meringankan hukuman tersebut sehingga dengan memperhatikan kedua faktor tersebut
diharapkan suatu hukuman mati yang dijatuhi oleh seorang hakim dapat sesuai dengan
kelayakan, sehingga tidak tergolong dalam hukuman kejam.18 Adanya penerapan hukuman
mati, khususnya bagi terpidana pembunuhan berencana merupakan pemidanaan yang tepat
dan tidak melanggar HAM.

17
Pokja, “Laporan Akhir Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Perubahan UU Nomor 26 Tahun
2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM)”, Oktober 2012, 57.
18
Munir Fuady dan Sylvia Laura L. Fuady, Hak Asasi Tersangka Pidana, (Jakarta: Prenada Media Group,
2015), 143.

8 | ETIKA TERAPAN: Hak Asasi Manusia


Hal tersebut juga sejalan dengan adanya kewajiban pemerintah dalam pelaksanaan
hak asasi manusia, karena negara wajib memberikan jaminan atas pelaksanaan hak asasi
manusia bagi setiap orang yang berada di bawah kekuasaannya. Pada Pasal 2 ayat (1) ICCPR
menyatakan bahwa:
“Each State Party to the present Covenant undertakes to respect and to ensure to all
individuals within its territory and subject to its jurisdiction the rights recognized in the
present Covenant, without distinction of any kind, such as race, colour, sex, language,
religion, political or other opinion, national or social origin, property, birth or other status”

Sehingga berdasar Pasal 2 ayat (1) ICCPR tersebut, negara dengan kewajiban untuk
melindungi hak asasi (to protect) harus diwujudkan oleh negara terhadap individu yang telah
menjadi korban pelanggaran HAM. Dengan demikian, maka pelaksanaan hukuman mati
secara tidak sewenangwenang merupakan tindakan yang sah. Karena sesuai dengan konsep
bahwa hak hidup yang dirumuskan secara restriktif yang dilakukan dengan teknik pemberian
kualifikas tertentu pada hak sehingga menimbulkan implikasi bahwa terbuka kemungkinan
upaya untuk memberikan pengecualian.

II.4. The Most Serious Crime (Kejahatan Paling Serius/Berat)


Dalam Pasal 6 ayat (1) ICCPR menyebutkan bahwa hak untuk hidup yang dimiliki
oleh setiap orang merupakan hak yang mutlak sehingga hak tersebut tidak dapat diganggu
gugat secara sewenang-wenang oleh siapa pun. Kata “sewenang-wenang” mengandung
kontroversi pada konsepsi dari hak untuk hidup sendiri. Kata “sewenang-wenang” sendiri
dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia mengandung arti “dengan tidak mengindahkan hak
orang lain” atau “dengan semau-maunya”. Hal ini berarti sebenarnya makna dari hak untuk
hidup yang diatur dalam ICCPR tersebut merupakan hak mutlak yang sebenarnya dapat
dibatasi dengan alasan kuat tertentu. Hal ini sejalan dengan Pasal 6 ayat (2) ICCPR yang
selanjutnya menjelaskan mengenai alasan yang diperbolehkan dalam penjatuhan hukuman
mati. Dalam Pasal 6 ayat (2) ICCPR menyatakan bahwa:
“In countries which have not abolished the death penalty, sentence of death may be
imposed only for the most serious crimes in accordance with the law in force at the time of
the commission of the crime and not contrary to the provisions of the present Covenant and
to the Convention on the Prevention and Punishment of the Crime of Genocide. This penalty

9 | ETIKA TERAPAN: Hak Asasi Manusia


can only be carried out pursuant to a final judgment rendered by a competent court.”19 (Di
negara-negara yang belum menghapuskan hukuman mati, penerapannya hanya boleh
dijatuhkan terhadap kejahatan-kejahatan yang paling serius dan tidak bertentangan dengan
ketentuan yang berlaku, serta tidak bertentangan dengan ketentuan Kovenan dan Konvensi
tentang Pencegahan dan Hukum Kejahatan Genosida. Hukuman ini hanya dapat
dilaksanakan berdasar putusan akhir yang telah dijatuhkan oleh pengadilan yang
berwenang).

Walaupun dalam ICCPR tidak terdapat tolak ukur yang jelas akan definisi dari the
most serious crime, namun dalam Pasal 5 Statuta Roma tahun 1998 menyatakan bahwa:
“Jurisdiction of the Court shall be limited to the most serious crimes of concern to the
international community as a whole. The Court has jurisdiction in accordance with this
Statute with respect to the following crime: (a) the crime of genocide; (b) crime against
humanity; (c) war crime; (d) the crime of aggression.”20

Yurisdiksi dari Pengadilan akan terbatas pada kejahatan yang paling serius yang
menjadi perhatian dari masyarakat internasional secara keseluruhan. Yurisdiksi dari
pengadilan yang sesuai dengan Statuta yang berhubungan dengan kejahatan: (a) kejahatan
genosida; (b) kejahatan terhadap kemanusiaan; (c) kejahatan perang; (d) kejahatan agresi.

Prinsip the most serious crime yang terdapat dalam ICCPR memiliki konsep yang
sama dengan extra ordinary crime yang ditemukan dalam Statuta Roma tahun 1998.
Meskipun tidak terdapat definisi khusus mengenai kejahatan HAM berat, namun Pasal 7 UU
Nomor 26 Tahun 2000 memiliki persamaan dengan Pasal 5 Statuta Roma tahun 1998
mengenai dua jenis penggolongan terhadap kejahatan HAM berat, yaitu genosida dan
kejahatan terhadap kemanusiaan. Dalam ICCPR sendiri tidak memberikan batasan terhadap
apa yang dimaksud dengan the most serious crime.

Meskipun demikian, negara memiliki kewenangan diskresi untuk memberikan


penafsiran terhadap apa yang dimaksud dengan the most serious crime, namun penafsiran

19
Pasal 6 ayat (2) International Covenant on Civil and Political Rights, selanjutnya disingkat ICCPR.
20
Pasal 5 ayat (1) Rome Statute of International Criminal Court, selanjutnya disingkat ICC

10 | ETIKA TERAPAN: Hak Asasi Manusia


tersebut haruslah tetap sejalan dengan hukum internasional. 21 Istilah the most serious crime
juga dapat ditemui dalam Safeguards Guaranteeing Protection of The Rights of Those Facing
The Death Penalty 1984. Dalam Pasal 1 menyatakan bahwa:

“In countries which have not abolished the death penalty, capital punishment may be
imposed only for the most serious crimes, it being understood that their scope should not go
beyond intentional crimes withlethal or other extremely grave consequences.” 22 (Di negara-
negara yang belum menghapuskan hukuman mati, hukuman mati hanya diterapkan bagi
kejahatan paling serius, yang dipahami bahwa ruang lingkup kejahatan tersebut tidak boleh
melampaui kejahatan yang disengaja dengan konsekuensi bahwa kejahatan tersebut
mematikan atau konsekuensi sangat serius lainnya.) Sehingga berdasarkan instrumen
tersebut, maka cakupan dari the most serious crime adalah suatu kejahatan yang dilakukan
dengan sengaja serta memberikan efek yang sangat serius bahkan mematikan. Istilah extra
ordinary crime yang terdapat dalam Statuta Roma dengan istilah the most serious crime yang
terdapat dalam ICCPR jika dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai kejahatan luar biasa.
Kejahatan luar biasa yang telah didefinisikan dalam Statuta Roma dan ICCPR memberikan
pengertian bahwa kejahatan tersebut merupakan kejahatan yang dilakukan dengan maksud
merampas hak asasi manusia lainnya, sehingga kejahatan luar biasa ini masuk dalam kategori
sebagai pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat.

II.5. Peran Negara Dalam Legalitas Hukuman Mati bagi Pembunuhan


Berencana

Secara umum pidana mati didefinisikan sebagai suatu nestapa atau penyiksaan
yang memberikan penderitaan kepada manusia dan melanggar norma-norma yang
bertentangan dengan kehidupan manusia, dimana antara pidana mati sangat berkaitan
dengan pidana dan pemidanaan. Pidana dalam hal pemberian sanksi, sedangkan
pemidanaan lebih dibebankan kepada si pelaku tindak pidana, dengan pemberian pidana
mati diharapkan masyarakat dapat melihat bahwa pelakunya benar-benar ditindak.23
21
Sefriani, “Karakteristik The most serious crime menurut Hukum Internasional dalam Putusan Mahkamah
Konstitusi Kajian Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 15/PUU-X/2012”, Jurnal Yudisial Vol. 6 No. 2, Agustus
2013, 99.
22
Pasal 1 Safeguards Guaranteeing Protection of The Rights of Those Facing The Death Penalty 1984.
23
Fransiska Novita Eleanora, Eksistensi Pidana Mati dalam Perspektif Hukum Pidana, (Jakarta : Widya
Cetak, 2012), 11

11 | ETIKA TERAPAN: Hak Asasi Manusia


Dalam hukum pidana Indonesia terdapat beberapa kejahatan yang diancam dengan
pidana mati, antara lain sebagai berikut.24

a. Tindak pidana makar, diatur dalam Pasal 104 KUHP berupa membunuh presiden dan
wakil presiden; Pasal 111 ayat (2) berupa melakukan hubungan dengan negara asing
sehingga terjadi perang.
b. Tindak pidana pembunuhan berencana, diatur dalam Pasal 340 KUHP berupa
menghilangkan nyawa orang lain dengan sengaja dan berencana.
c. Tindak pidana korupsi, diatur dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-undang Nomor 31 Tahun
1999 jo. Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, berupa
korupsi dalam keadaan tertentu.
d. Tindakan pidana genoside dan kejahatan terhadap manusia, diatur dalam Undang-
undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Hak Asasi Manusia. Pasal 36 mengatur tentang
genoside yaitu setiap perbuatan yang dilakukan untuk menghancurkan atau
memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras kelompok etnis, kelompok
agama, Pasal 37 tentang mengatur tentang kejahatan terhadap kemanusiaan yaitu
perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik
yang ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil.25
e. Tindak pidana Narkotika, diatur dalam Pasal 114, 116, 118, 119, dan 121 Undang-
undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Pada intinya pasal tersebut
menyatakan menawar, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli,
menukar, atau menyerahkan narkotika.
f. Tindak pidana melakukan Mobilisasi Anak dalam Perdagangan Gelap Narkotika, diatur
dalam Pasal 89 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak,
yang menyatakan secara sengaja melibatkan anak dalam penyalahgunaan, produksi, atau
distribusi narkotika dan/atau psikotropika.

Juga beberapa undang-undang yang masih berlaku di Indonesia ancamannya


diancam dengan hukuman mati, seperti disajikan dalam label berikut ini.26
24
Chairul Huda, Pola Pemberatan Pidana dalam Hukum Pidana Khusus, Jurnal Hukum, (2011), 521
25
Saharuddin Daming, Konfigurasi Pertarungan Abolisionisme Versus Retensionisme dalam
Diskursus Keberadaan Lembaga Pidana Mati di Tingkat Global dan Nasional, (Jakarta : Yustisi, 2016), 40
26
Supriyadi W. Eddyono dan Erasmus A.T. Napitupuhi, Hukuman Mati dalam R KUHP: Jalan Tengah
yang Meragukan, (Jakarta : Institute for Criminal Justice Reform, 2015), 10-11

12 | ETIKA TERAPAN: Hak Asasi Manusia


Tabel 1. Ketentuan Mengenai Ancaman Hukuman Mati
No Peraturan Ketentuan
1 KUHP Pasal 104; Pasal 111 ayat (2); Pasal
124 ayat (3); Pasal 140; Pasal 340; Pasal 365
ayat (4); Pasal 444 Pasal 1368 ayat (2).

2 Kitab Undang-undang Hukum Pidana Militer Pasal 64; Pasal 65; Pasal 67; Pasal 68;
(KUHPM) Pasal 73 ke 1, ke 2, ke 3 dan ke 4;
Pasal 74 ke 1 dan ke 2; Pasal 76 ayat
(1) ; Pasal 82; Pasal 89 ke 1 dan ke 2;
Pasal 109 ke 1 dan ke 27; Pasal 114
ayat (1); Pasal 133 ayat (1) dan (2);
Pasal 135 ayat (1) ke 1 dan ke 2, ayat
(2) ; Pasal 137 ayat (1) dan (2); Pasal
138 ayat (1) dan (2); dan Pasal 142 ayat (2)

3 Undang-undang Nomor 12/DH/1951 tentang Pasal 1 ayat (1)


Senjata Api

4 Penpres Nomor 5 Tahun 1959 tentang Pasal 2


Wewenang Jaksa Agung/Jaksa Tentara Agung
dalam Hal Memperberat Ancaman Hukuman
terhadap Tindak Pidana yang Membahayakan
Pelaksanaan Perlengkapan Sandang
Pangan

5 Perppu Nomor 21 Tahun 3959 tentang Pasal 1 ayat (1) dan ayat (2)
Memperberat Ancaman Hukuman terhadap
Tindak Pidana Ekonomi

6 Undang-undang Nomor 31/PNPS/1964 tentang Pasal 23


Ketentuan Pokok Tenaga Atom

7 Undang-undang Nomor 4 Pasal 479 huruf k ayat (2)


Tahun 1976 tentang Perubahan dan
Penambahan Beberapa Pasal dalam KUHP
Bertalian dengan Perluasan Berlakunya
Ketentuan Perundang-Undangan Pidana
Kejahatan Penerbangan dan

13 | ETIKA TERAPAN: Hak Asasi Manusia


8 Undang-undang Nomor 5 Pasal 59 ayat (2)
Tahun 1997 tentang Psikotropika

9 Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Pasal 74; Pasal 113 ayat (2); Pasal 114
Narkotika ayat (2); Pasal 119 ayat (2); Pasal 118
ayat (2); Pasal 119 ayat (2); Pasal 121
ayat (2); Pasal 132 ayat (3); Pasal 133
ayat (1); Pasal 144 ayat (2)

10 Undang-undang Nomor 31 Pasal 2 ayat (2)


Tahun 1999 tentang Pemberantasan Korupsi

11 Undang-undang Nomor 26 Pasal 36; Pasal 37; Pasal 41; Pasal 42


Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak ayat (3)
Asasi Manusia

12 Undang-undang Nomor 15 Pasal 6; Pasal 8; Pasal 9; Pasal 10;


Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pasal 14; Pasal 15; Pasal 16
Pidana Terorisme

13 Undang-undang Nomor 35 Pasal 89 ayat (1)


Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-
undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak

Penjatuhan pidana mati berdasarkan putusan pengadilan, pernah dijatuhkan dalam


14 | ETIKA TERAPAN: Hak Asasi Manusia
beberapa kasus, antara lain:

a. Pembunuhan berencana di Sumatera Selatan tahun 1992 atas nama terpidana


Suiyadi Swabhuana alias Adi Kumis alias Dodi bin Soekamo;
b. Pembunuhan dan mutilasi di Sumatera Selatan tahun 1997 atas nama terpidana
Jurit bin Abdullah;
c. Pembunuhan dan mutilasi di Sumatera Selatan tahun 1997 atas nama Ibrahim
bin Ujang; pembunuhan disertai dengan sodomi terhadap anak-anak atas nama
terpidana Baekuni yang diputus pada tanggal 21 April 2011;
d. Pembunuhan berencana 11 orang dengan cara mutilasi atas nama terpidana
Verry Idham Henyansyah yang diputus pada tanggal 5 Juli 2012;
e. Pembunuhan sadis dan pemerkosa atas nama terpidana Herris Marbun yang
divonis tanggal 8 Januari 2014;
f. Pembunuhan istri dan 2 orang anaknya atas nama terpidana Herman Jumat
Masan yang divonis pada tanggal 11 Pebruari 2014;
g. Pembunuhan berencana dan penganiayaan berat atas nama terpidana Slamet
Riyanto yang divonis pada tanggal 17 September 2014;
h. Pembunuhan berencana Brigadir N. Yosua Hutabarat atas nama terpidana Irjenpol
Ferdy Sambo, S.Ik, MH (Mantan Kadiv Propam Polri), pada tanggal 13 Februari
2023.

II.6. Legalitas Hukuman Mati bagi Terdakwa

Dalam perkembangannya Indonesia masih mempertahankan dan mengakui legalitas


pidana mati sebagai salah satu cara untuk menghukum pelaku tindak kejahatan, walaupun pro
dan kontra mengenai pidana mati sudah lama terjadi di negeri ini. Bahkan keberadaan pidana
mati di Indonesia akan terus berlangsung pada waktu yang akan datang karena dalam
Rancangan KUHAP (Baru), pidana mati masih merupakan salah satu sanksi pidana yang
dipertahankan untuk menghukum pelaku kejahatan. Pengaturan pidana mati dalam Rancangan
KUHAP diatur dalam Pasal 86 sampai dengan Pasal 89. Sebagaimana yang tercantum dalam
RUU KUHAP dimana pidana mati capital punishment masih tetap dipertahankan, namun diatur
dalam pasal tersendiri, yakni sebagai pidana yang bersifat khusus dan selalu diancamkan secara

15 | ETIKA TERAPAN: Hak Asasi Manusia


alternatif. Pidana mati dijatuhkan sebagai upaya terakhir untuk mengayomi masyarakat.27

Pada dasarnya penerapan pidana mati bertentangan dengan ketentuan hukum hak asasi
manusia Internasional. Dalam ketentuan hukum hak asasi manusia internasional secara tegas
menyatakan bahwa pidana mati bertentangan dengan prinsip yang diatur di dalam konvenan
Internasional Hak-hak Sipil dan Politik (International in Civil and Political Rigts-ICCPR.). Hal
ini sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 6 (1) ICCRP yang berbunyi: setiap manusia berhak
atas hak untuk hidup dan mendapatkan perlindungan hukum dan tiada yang dapat mencabut hak
itu. Pengaturan tentang ketentuan yang memuat tentang pidana mati tercantum dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana, yakni sebagai berikut :28

a. Pasal 111 ayat 2 (membujuk negara asing untuk bermusuhan atau berperang, jika
permusuhan itu dilakukan atau jadi perang);
b. Pasal 124 ayat 3 (membantu musuh waktu perang);
c. Pasal 140 ayat 3 (makar terhadap raja atau kepala negara-negara sahabat yang
direncanakan dan berakibat maut);
d. Pasal 340 (pembunuhan berencana);
e. Pasal 365 ayat 4 (pencurian dengan kekerasan yang mengakibatkan luka berat atau
mati);
f. Pasal 368 ayat 2 (pemerasan dengan kekerasan yang mengakibatkan luka berat atau
mati);
g. Pasal 444 (pembajakan di laut, pesisir dan sungai yang mengakibatkan kematian).

Lebih lanjut ketentuan yang mengatur tentang pemberlakuan pidana mati dimuat pula
dalam UU tindak pidana khusus, yakni antara lain :

a. Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951 Tentang Senjata Api,
Amunisi atau Sesuatu Bahan Peledak;
b. Pasal 2 Undang-Undang Nomor 5 (PNPS) Tahun 1959 Tentang Wewenang Jaksa
Agung/Jaksa Tentara Agung dan Tentang Memperberat Ancaman Hukuman

27
Pan Mohamad Faiz, Penjatuhan Pidana Mati dalam Sistem Hukum Indonesia, (Jakarta: Jurnal
Hukum, 2008), 1
28
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Hukum Pidana, (Bandung: PT. Alumni,1992),
56

16 | ETIKA TERAPAN: Hak Asasi Manusia


Terhadap Tindak Pidana yang Membahayakan Pelaksanaan Perlengkapan Sandang
Pangan;
c. Pasal 2 Undang-Undang Nomor21 (Prp) Tahun 1959 Tentang Memperberat
Ancaman Hukuman Terhadap Tindak Pidana Ekonomi;
d. Pasal 13 Undang-Undang Nomor 11 (PNPS) Tahun 1963 Tentang Pemberantasan
Kegiatan Subversi;
e. Pasal 23 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1964 Tentang Ketentuan Pokok Tenaga
Atom;
f. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1976 Tentang Kejahatan Penerbangan dan
Kejahatan Terhadap Sarana/Prasarana Penerbangan;
g. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
h. Undang-Undang Nomor15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme;
i. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.

Berikut ini peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai prosedur dan


mekanisme pelaksanaan pidana mati, yakni antara lain :

a. Undang-Undang Nomor2/PNPS/1964 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati


yang Dijatuhkan Oleh Pengadilan di Lingkungan Peradilan Umum dan Militer;
b. Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2010
Tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati Peraturan Pemerintah.

Adapun mekanisme pelaksanaan pidana mati sebagaimana yang diatur dalam Undang-
Undang Nomor 2/PNPS/Tahun 1964, yaitu sebagai berikut:29

a. Dalam jangka waktu tiga kali dua puluh empat jam sebelum saat pidana mati itu
dilaksanakan, jaksa tinggi atau jaksa yang bersangkutan harus memberitahukan
kepada terpidana Tentang akan dilaksanakannya pidana mati tersebut. Apabila
terpidana berkeinginan untuk mengemukakan sesuatu, maka keterangan atau

29
Undang-Undang Nomor 2/PNPS/1964 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati yang Dijatuhkan
Oleh Pengadilan di Lingkungan Peradilan Umum dan Militer.

17 | ETIKA TERAPAN: Hak Asasi Manusia


pesannya itu diterima oleh jaksa tinggi atau jaksa tersebut;
b. Apabila terpidana merupakan seorang wanita yang sedang hamil, maka pelaksanaan
dari pidana mati harus ditunda hingga anak yang dikandungnya itu telah lahir;
c. Tempat pelaksanaan pidana mati itu ditentukan oleh Menteri Kehakiman, yakni di
daerah hukum dari pengadilan tingkat pertama yang telah memutuskan pidana mati
yang bersangkutan;
d. Kepala polisi dari daerah yang bersangkutan bertanggung jawab mengenai
pelaksanaan dari pidana mati tersebut setelah mendengar nasehat dari jaksa tinggi
atau dari jaksa yang telah melakukan penuntutan pidana mati pada peradilan tingkat
pertama;
e. Pelaksanaan pidana mati itu dilakukan oleh suatu regu penembak polisi di bawah
pimpinan dari seorang perwira polisi;
f. Kepala polisi dari daerah yang bersangkutan (atau perwira yang ditunjuk) harus
menghadiri pelaksanaan dari pidana mati itu, sedang pembela dari terpidana atas
permintaannya sendiri atau atas permintaan dari terpidana dapat menghadirinya;
g. Pelaksanaan dari pidana mati itu tidak boleh dilakukan di muka umum;
h. Penguburan jenazah terpidana diserahkan kepada keluarga atau kepada
sahabatsahabat terpidana, dan harus dicegah pelaksanaan dari penguburan yang
bersifat demonstratif, kecuali demi kepentingan umum maka jaksa tinggi atau jaksa
yang bersangkutan dapat menentukan lain;
i. Setelah pelaksanaan dari pidana mati itu selesai dikerjakan, maka jaksa tinggi atau
jaksa yang bersangkutan harus membuat berita acara mengenai pelaksanaan pidana
mati tersebut, dimana isi dari berita acara tersebut kemudian harus dicantumkan di
dalam surat keputusan dari Pengadilan yang bersangkutan.

II.7. Pidana Mati Dalam Perpektif Hukum Internasional

Norma Hukum Internasional sedikit banyak menyinggung tentang pemberian


hukuman mati. Dalam instrument HAM Internasional, Universal Declaration of Human
Rights dan International Covenant on Civil and Political Rigths memuat larangan-larangan
yang menolak adanya pelaksanaan hukuman mati. Sedangkan dalam instrumen hukum
internasional, dimana berbagai Negara menolak adanya pelaksanaan hukuman mati terlihat
18 | ETIKA TERAPAN: Hak Asasi Manusia
dalam statuta-statuta Mahkamah Kejahatan Internasional yang hendak kita kaji yaitu ICTY
(International Criminal Tribunal for the former Yugoslavia), ICTR (International Criminal
Tribunal for Rwanda), dan ICC (International Criminal Court).30

Dalam pasal 6 International Covenant on Civil and Political Rights :

1. Every human being has the inherent right to life. This right shall be protected by law. No
one shall be arbitrarily deprived of his life.
2. In countries which have not abolished the death penalty, sentence of death may be
imposed only for the most serious crimes in accordance with the law in force at the time
of the commission of the crime and not contrary to the provisions of the present Covenant
and to the Convention on the Prevention and Punishment of the Crime of Genocide. This
penalty can only be carried out pursuant to a final judge ment rendered by a competent
court.
3. When deprivation of life constitutes the crime of genocide, it is understood that nothing in
this article shall authorize any State Party to the present Covenant to derogate in any
way from any obligation assumed under the provisions of the Con vention on the
Prevention and Punishment of the Crime of Genocide.
4. Anyone sentenced to death shall have the right to seek pardon or commuta tion of the
sentence. Amnesty, pardon or commutation of the sentence of death may be granted in all
cases.
5. Sentence of death shall not be imposed for crimes committed by persons below eighteen
years of age and shall not be carried out on pregnant women.
6. Nothing in this article shall be invoked to delay or to prevent the abolition of capital
punishment by any State Party to the present Covenant.31

Yang dalam bahasa Indonesia diterjemahkan :

1. Setiap manusia berhak atas hak untuk hidup yang melekat pada dirinya. Hak ini wajib
dilindungi oleh hukum. Tidak seorangpun dapat dirampas hak hidupnya secara
sewenang-wenang.
30
I Wayan Parthiana, Ekstradisi dalam Hukum Internasional dan Hukum Nasional, (Bandung: Penerbit
Alumni, 1983), 100
31
Simon, S.H., Mengenal ICC Mahkamah Pidana Internasional, (Jakarta Pusat: Sentralisme Production,
2009), 3

19 | ETIKA TERAPAN: Hak Asasi Manusia


2. Di negara-negara yang belum menghapuskan hukuman mati, putusan hukuman mati
hanya dapat dijatuhkan terhadap kejahatan-kejahatan yang paling serius sesuai dengan
hukum yang berlaku pada saat dilakukannya kejahatan tersebut, dan tidak bertentangan
dengan ketentuan- ketentuan ini dan Konvensi tentang Pencegahan dan Penghukuman
terhadap kejahatan Genosida. Hukuman ini hanya dapat dilaksanakan atas dasar
keputusan akhir yang dijatuhkan oleh suatu pengadilan yang berwenang.
3. Apabila suatu perampasan kehidupan merupakan kejahatan Genosida, harus dipahami
bahwa tidak satupun dalam pasal ini memberikan kewenangan pada Negara Pihak pada
Konvenan ini untuk mengurangi kewajiban-kewajiban apapun yang telah dibebankan oleh
ketentuan Konvensi tentang Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genosida.
4. Setiap orang yang dijatuhi hukuman mati harus mempunyai hak untuk memohon
pengampunan atau pengurangan hukuman mati dapat diberikan kepada semua kasus.
5. Hukuman mati tidak boleh dijatuhkan atas kejahatan yang dilakukan seseorang di bawah
usia delapan belas tahun, dan tidak boleh dilaksanakan terhadap perempuan hamil.
6. Tidak ada ketentuan dalam pasal ini yang boleh dipakai untuk menunda atau mencegah
penghapusan hukuman mati oleh negara Pihak pada Kovenan ini.\

Pasal 6 ayat (1) menegaskan bahwa setiap pada setiap manusia melekat hak untuk
hidup. Hak ini harus dilindungi oleh hukum. Tidak ada seorang pun manusia yang boleh
dirampas hidupnya. Pelaksanaan eksekusi mati ini telah melanggar Pasal 6 ayat (1) yang
pada dasarnya eksekusi mati menimbulkan kesakitan fisik dan dirampasnya hak untuk
hidup seseorang. Pasal 6 ayat (2) mengecualikan pemberian hukuman mati dapat
diberikan kepada pelaku kejahatan yang paling serius atau kejahatan luar biasa.
Hukuman mati masih banyak diterapkan di berbagai Negara. Antara lain Indonesia dan
juga Arab Saudi, yang menjadi permasalahannya ialah tidak adanya pemenuhan dan
pengaturan yang jelas terhadap pelaksanaan hukuman mati tersebut baik dalam proses
penangkapan maupun dalam pelaksanaan pemeriksaan di persidangan, sehingga hal
tersebut bertentangan dengan konsep the rule of law di mana terdapatnya pengaturan
yang jelas baik itu persamaan kedudukan dihadapan hukum dan juga terdapatnya
peradilan yang bebas dan tidak memihak yang berimplikasi kekuasaan kehakiman yang

20 | ETIKA TERAPAN: Hak Asasi Manusia


merdeka.32 Dengan demikian, sekalipun hukuman mati diperbolehkan asalkan diatur
berdasarkan hukum nasional, namun hukum tersebut haruslah sah (legal), adil (just),
dapat dijadukan pegangan dan masuk akal (reasonable).

Pasal 6 ayat (4) seseorang yang telah dihukum mati harus mempunyai hak untuk
memohon pengampunan atau keringanan hukuman. Amnesty pengampunan atau
keringanan hukuman mati dapat diberikan dalam segala hal. Selanjutnya dalam Pasal 6
ayat (5) dengan jelas hukuman mati tidak dapat diberikan pada wanita yang sedang
mengandung mau pun anak berusia di bawah delapan belas tahun, dikarenakan
penjatuhan hukuman mati bagi wanita yang sedang mengandung sama saja dengan
membunuh bayi dalam kandungan yang juga memiliki hak untuk hidup. Sedang,
penjatuhan hukuman mati bagi anak di bawah delapan belas tahun, dianggap kejahatan
yang dilakukan oleh anak di bawah delapan belas tahun bukanlah keinginan dari orang
tersebut, tetap dapat dipicu oleh lingkungan bahkan yang terburuk karena kelalaian orang
tua.33

III. ARGUMEN DAN ANALISIS ETIS

Berbicara Etika Kristen Terapan, tentu saja tidak terlepas dari berbagai fenomena-
fenomena yang tejadi di sekitar sosial masyarakat. Dengan demikian, berbicara Etika dan
terapan-terapannya, adalah membicarakan tentang bagaimana “saya” memandang manusia.
Dalam defenisi Etika Kristen yang dibicarakan adalah antrophos (antrophology), manusia
yang bertanggung jawab dan manusia yang harus memilih dan memutuskan sesuatu atas
tindakannya. Tetapi karena kemungkinan untuk memilih hampir tidak terbatas, maka ia
membutuhkan pembatasan, dan pembatasan itu diberikan oleh moral. Moral memberikan
aturan-aturan untuk kelakuan manusia, sehingga ia dapat menentukan apa yang ia boleh
perbuat, dan yang tidak boleh diperbuat.34 Terhadap pendapat ini, perlu kita menaruh
keyakinan bahwa manusia tidak timbul dari evolusi, akan tetapi sebagai ciptaan Allah, yang

32
Ekho J.P. Nalole, Tinjauan Hukum Internasional Terhadap Pelaksanaan Hukuman Mati Bagi
Warga Negara Asing di Indonesia (Studi Kasus Eksekusi Mati terhadap Warga Negara Asing pada Awal
Masa Pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla), (Makassar :
Jurnal, 2016), 43
33
Simon, S.H., Mengenal ICC Mahkamah Pidana Internasional, 3- 5
34
J. Douma, Kelakuan Yang Bertanggung Jawab: Pembimbing Kepada Etika Kristen, (Jakarta: Gunung
Mulia, 2007), 30-31

21 | ETIKA TERAPAN: Hak Asasi Manusia


dijadikan-Nya menurut citra-Nya, atau gambar dan rupa Allah. Bukan manusia yang menjadi
pusat segala sesuatu, melainkan Allah sendiri, sebab segala sesuatu adalah dari Dia, dan oleh
Dia, dan kepada Dia (Rom 11:36). Manusia bukanlah pemberi hukumnya sendiri: Allah
memberikan hukum-Nya kepada manusia. Kita ada di bawah hukum kemerdekaan (Yak
2:12), walaupun kita tidak selalu menyadarinya. Hukum itu diberikan untuk perkembangan
kehidupan manusia - demi kita!

William Lillie dalam bukunya An Introduction to Ethnics, menegaskan bahwa, Ada


cara lain di mana negara pada umumnya mempengaruhi kehidupan moral masyarakatnya,
yaitu dengan cara penghukuman. Jelaslah bahwa undang-undang suatu negara kadang-
kadang berurusan dengan masalah moral secara langsung, meskipun di lain waktu mereka
berurusan dengan hal-hal yang hanya menjadi moral secara tidak langsung, karena mereka
berurusan dengan hukum yang terikat untuk mempengaruhi hubungan social masyarakat.
Hukuman kadang-kadang diberikan untuk pelanggaran yang salah secara moral, tetapi
kadang-kadang diberikan untuk tindakan yang mungkin tidak bermoral atau ketika individu
yang tidak memiliki hati nurani.35 Dalam poin penting yang dikemukakan William Lilie
adalah bagain penting tentang etika terutama dalam memperhatikan pembenaran hukuman,
yaitu, untuk mempertimbangkan dalam keadaan apakah hukuman itu benar secara moral.
Teori-teori hukuman, yang disebutkan dalam sebagian besar perlakuan etis terhadap subjek,
sering diberikan dalam bentuk teori-teori psikologis yang menjelaskan asal-usul hukuman,
William Lillie mengemukakan, 3 teori umum hukum yang dikenal sebagai: Teori
Pencegahan (The Deterrent Theory), Teori Reformatif (Reformative Theory), dan Teori
Retributif (Retributive Theory).

Berkaitan dengan topik hukuman mati, maka teori Lillie yang pertama sangat
berkesesuaian yakni: Teori Pencegahan (Deterrent Theory). Menurut teori ini, tujuan
menghukum siapa pun yang telah berbuat salah adalah untuk mencegah orang lain
melakukan kesalahan yang sama. Pandangan tentang hukumanlah yang dianut ketika
Hakim membuat 'contoh' dari beberapa pelaku pelanggaran.36 Pertimbangan yang matang
pastilah muncul, di dalam pembuktian-pembuktian, sehingga seseorang pantas dijatuhi
hukuman mati atau dipertimbangkan dengan dijatuhi vonis yang lebih ringan. Hak untuk
35
William Lillie, An Introduction to Ethics, (Essex Street: Methuen&CO.LTD.LONDON, 1948), 280
36
Ibid., 281–284

22 | ETIKA TERAPAN: Hak Asasi Manusia


hidup adalah salah satu unsur di dalam HAM, sekaligus instrument yang dapat dikatakan
sebagai upaya untuk memperjuangkan keberlangsungan hidup seseorang. Misalnya dalam
peristiwa kematian Brida Yosua, melalui Majelis Persidangan, Pengadilan yang adalah
Lembaga Negara, juga memberikan hak yang sama kepada masing-masing terdakwa untuk
didampingi Penasehat Hukum, sebagai bukti bahwa pejuang-pejuang keadilan “sesuai
motifasi masing” untuk memperjuangkan client-nya.

III.1. Argumen Para Tokoh37

Melalui ruang argumen ini, penyaji akan mengikut-sertakan, beberapa pandangan dari
para tokoh yang mengkedepankan norma dan hukum (Susila Kodrati dan Kodrati), yang
seolah-olah dipandang sebagai suatu fase pertama dari Etika Kristen.

1. Hugo de Groot (1583-1645), adalah seorang pengalas hukum bangsa-bangsa, yang hidup
ketika hubungan antara bangsa-bangsa semakin erat, yakni Ketika Eropa dan Asia
mengadakan banyak hubungan, merasakan perlunya perumusan norma-norma kesusilaan
dan yuridis, Menyusun suatu system norma-norma yang harus diakui oleh setiap orang,
“etsi non daretur Deus”, artinya: walaupun seandainya Tuhan itu tidak ada, manusia
dapat mengenal yang baik dan yang jahat tanpa Allah. Penetapan hukum yang
dirumuskan Hugo de Groot, dilanjutkan oleh Emanuel Kant
2. Emanuel Kant (1724-1804) di dalam bukunya Die Religion innerhalb der Grenzen der
bloszen Vernunft, Kant menerangkan bahwa manusia harus belajar mengakui kewajiban
manusia sebagai perintah Tuhan. Pada hakekatnya manusia berada di bawah hukum atau
norma Tuhan, akan tetapi hal tersebut telah dikesampingkan dan di ganti dengan otonomi.
3. Thomas Hobbes (1588-1679) secara spesifik mengarahkan penentu akan norma/ hukum
di dalam kekuasaan negara. Yang menentukan apa yang baik dan apa yang jahat haruslah
kekuasaan negara. Kekuasaan negara pulalah yang harus menentukan bagaimana manusia
harus berbakti kepada Tuhan dan bagaimana hubungan manusia terhadap sesamanya.
4. David Hume (1711-1766) mencari sumber etika itu di dalam manfaat sosial. Yang
disebut baik ialah segala yang bermanfaat. Disusunnya suatu hukum kodrat dan hukum
Susila kodrati di atas dasar manfaat sosial.

37
J. Verkuyl, Etika Kristen Bagian Umum, (Jakarta: Gunung Mulia, 2008), 71-73

23 | ETIKA TERAPAN: Hak Asasi Manusia


5. Rousseau (1712-1728) menemukan dan menentukan hal yang baik dan kejahatan,
diletakkan dalam perasaan psikologi-kolektif. Bukanlah budi (paduan akal dan perasaan)
sebagai penentu yang baik dan yang jahat, tetapi perasaan-perasaan pertalian itulah
sumber yang murni bagi pengtahuan tentang norma-norma.
6. Emil Brunner, Menurut pandangannya, norma dan hukum harus diuraikan tersendiri
(secara khusus) di dalam Etika. Di samping itu terdapat perintah kasih, hukum Taurat dan
Injil, yang termasuk lingkungan yang lain sama sekali, yakni lingkungan Kerajaan Allah.
Oleh sebab itu, etikanya itu oleh Brunner disebut: "Das Gebot und die Ordnungen",
perintah kasih dan peraturan-peraturan. Etika tidak dapat menemukan pengetahuan yang
sejati tentang yang baik dan yang jahat di dalam peraturan-peraturan keadilan manusia,
tetapi haruslah dicari di dalam janji-janji dan tuntutan-tuntutan Kasih Allah dan
kebenaran (keadilan) Allah, sebagaimana telah dinyatakan oleh-Nya di dalam Kristus.

Masih banyak pandangan-pandangan dari para tokoh, baik klasik hingga postmodern
mengenai norma-norma (aturan-aturan yang dilengkapi dengan sanksi-sanksi kepada orang
yang melanggarnya. Atau dikatakan seperangkat tatanan baik yang tertulis maupun tidak
tertulis, yang berlaku, dan merupakan pedoman sehari-hari dalam masyarakat), hingga
kepada hukum (undang-undang yang dibuat dan ditegakkan melalui lembaga sosial atau
pemerintah untuk mengatur perilaku masyarakat. Hukum yang ditegakkan oleh negara dapat
dibuat oleh legislatif kelompok atau oleh seorang legislator tunggal, yang menghasilkan
undang-undang; oleh eksekutif melalui keputusan dan peraturan; atau ditetapkan oleh hakim
melalui preseden) yang berlaku dari masa ke masa.38

III.2. Argumen Etis Teologis Pro dan Kontra Pidana Mati di Indonesia

Kasuistik Hukuman Mati, pemateri akui bukanlah hal yang mudah diputuskan dengan
kata “pantas atau tidak pantas, boleh atau tidak boleh”. Pikiran dan perasaan menjadi
panggung dari segala pertimbangan hingga dihasilkan suatu keputusan yang tepat. Itu
sebabnya pemateri turut menyertakan argumen-argumen pertimbangan dari 6 tokoh di atas,
agar problematik dari hukuman mati ini dapat dikaji sedemikian rupa menurut etika terapan.
38
William Lillie, Op. Cit., 283

24 | ETIKA TERAPAN: Hak Asasi Manusia


Hak Asas Manusia (Human Rights), berjuang dalam panggilannya sebagai pertimbangan
yang kuat untuk menyelamatkan hak kehidupan. Bukan berarti berbicara hal tersebut (HAM),
mengkesampingkan perbuatan-perbuatan yang menyebabkan konsekuensi tersebut. Bahkan
David Hume, mempertanyakan manfaat hukuman itu bagi sosial dan Hobbes mengusulkan
agar mengenai penjatuhan hukuman diserahkan sepenuhnya kepada negara. Walaupun
demikian, William Lillie, mengecualikan tentang kasus hukuman mati, dengan tujuan
kemungkinan besar akan memberikan efek jera yang lebih besar terhadap terhadap orang
lain. Bahkan lebih umum, yakni dengan dalih menakut-nakuti orang lain. Dengan adanya
hukuman yang lebih berat daripada yang akan diberikan akan memunculkan pertimbangan
lain, bagi orang lain yang ingin melakukannya.39

Di Indonesia perbincangan atas hukuman mati juga di isi dengan pikiran tarik
menarik. Bahkan problematik itu muncul sebelum eksekusi hukuman mati itu dilaksanakan.
Undang-undang terbaru mengenai HAM dinantikan Bersama, dengan anjuran percobaan 10
tahun, menggunakan ukuran tingkah laku selama ditahanan. Seolah-olah hal ini berkenaan
dengan yang disampaikan Rosseau dan Brunner, bukan dalam paduan akal dan perasaan
tetapi haruslah dicari di dalam janji-janji dan tuntutan-tuntutan Kasih Allah dan kebenaran
(keadilan) Allah. Adanya kesempatan (tetap hidup) yang diberikan adalah hal yang baik,
akan tetapi Firman Allah yang mengatakan tentang wewenang negara (otonomi) mengenai
norma, peraturan dan hukum juga harus di dalam pertimbangan.

Seandainya kata MAAF di utarakan Adam dan Hawa kepada Allah, apakah kejatuhan
kepada dosa akan dibatalkan? Seandainya Pontius Pilatus berjuang terhadap hukuman yang
akan diterima Yesus, apakah kisah penyaliban akan tertunda? Bukankah kedua hal tersebut,
akrab dan sepadan dengan hukuman mati? Mengenai Human Rights bukankah Barat pada
masa kejayaannya, mengerjakan hukuman-hukuman mati kepada pemberontak, mengapa
dimasakini Barat, melalui PBB mengedepankan Kemanusiaan? Dilema bukan,?

IV. KESIMPULAN

39
Bnd. William Lillie., It is the view of punishment that is held when the judge makes an 'example of some
offender. Moralists often object to this view of punish- ment because, according to it, the offender is being treated
merely as a means to the good of others. This, however, is not quite correct, for, except in the case of capital
punishment, the punishment is likely to have a more deterrent effect on the offender himself than on others, and
so he is not being used as a mere means to the good of others, Op. Cit., 281

25 | ETIKA TERAPAN: Hak Asasi Manusia


Pemateri memahami bahwa ada satu hal yang PASTI yang tidak dapat dielakkan di
dalam kehidupan manusia, yakni KEMATIAN. Yang menjadi persoalannya adalah,
bagaimana manusia itu masuk/ melewati seluruh masa hidupnya dan meninggalkan
kehidupannya (mati). Sebagaimana objek dari judul materi ini, yakni Hukuman Mati. Teks
ini dapat dipahami sebagai proses seorang manusia dihantarkan kepada kepastian itu, melalui
sebuah keputusan – hukuman yang diberikan kepadanya, karena “KEJAHATANNYA”. Hal
ini menjadi menarik untuk diperbincangkan, karena harus di framing melalui argument-
argumen etis teologis dan diperhadapan pula kepada Human Rights (HAM). Satu hal paling
mendasar yang harus ditegaskan adalah: apakah hukuman mati, diputuskan dan
diberlangsungkan dengan tujuan MEMBALASKAN kejahatannya? Karena hukum tidak
bertujuan untuk membalas, melainkan menuntun sosial masyarakatnya agar memiliki nilai-
nilai kehidupan dan hal yang normative (yang diaturkan).

V. DAFTAR PUSTAKA

Achjani Zulfa Eva, “Menelaah Arti Hak Untuk Hidup Sebagai Hak Asasi Manusia”, Lex
Jurnalica Vol. 3 No.1, April 2015
Arief Muladi dan Barda Nawawi, Bunga Rampai Hukum Pidana, Bandung: PT.
Alumni,1992
Ch. Abineno, Manusia dan Sesamanya di dalam Dunia, Jakarta: BPK GM, 2003
Daming Saharuddin, Konfigurasi Pertarungan Abolisionisme Versus Retensionisme
dalam Diskursus Keberadaan Lembaga Pidana Mati di Tingkat Global dan Nasional, Jakarta:
Yustisi, 2016
Douma J., Kelakuan Yang Bertanggung Jawab: Pembimbing Kepada Etika Kristen,
Jakarta: Gunung Mulia, 2007
Eleanora Fransiska Novita, Eksistensi Pidana Mati dalam Perspektif Hukum Pidana,
Jakarta: Widya Cetak, 2012
Elwood Douglas. Human Rights: A Christian Perspective, Within USA: New Day
Publisher, 1999
Faiz Pan Mohamad, Penjatuhan Pidana Mati dalam Sistem Hukum Indonesia, Jakarta:
Jurnal Hukum, 2008
Fuady Munir Fuady dan Sylvia Laura L., Hak Asasi Tersangka Pidana, Jakarta: Prenada
Media Group, 2015.
Huda Chairul, Pola Pemberatan Pidana dalam Hukum Pidana Khusus, Jurnal Hukum,
2011

26 | ETIKA TERAPAN: Hak Asasi Manusia


Jayawickrama Nihal, “The Judicial Application of Human Rights Law National, Regional
and International Jurisprudence”, Cambridge: Univesity Press, 2002
Lillie William, An Introduction to Ethics, Essex Street: Methuen&CO.LTD.LONDON,
1948
Nalole Ekho J.P., Tinjauan Hukum Internasional Terhadap Pelaksanaan Hukuman Mati
Bagi Warga Negara Asing di Indonesia (Studi Kasus Eksekusi Mati terhadap Warga Negara
Asing pada Awal Masa Pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Muhammad
Jusuf Kalla), Makassar: Jurnal, 2016
Napitupuhi Supriyadi W. Eddyono dan Erasmus A.T., Hukuman Mati dalam R KUHP:
Jalan Tengah yang Meragukan, Jakarta: Institute for Criminal Justice Reform, 2015
Pokja, “Laporan Akhir Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Perubahan UU
Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM)”, Oktober 2012
Rahayu Prof. Dr., “Hukum Hak Asasi Manusia”, Semarang: Badan Penerbit Universitas
Diponegoro, 2010
S.H, Simon, Mengenal ICC Mahkamah Pidana Internasional, Jakarta Pusat: Sentralisme
Production, 2009
Sefriani, “Karakteristik The most serious crime menurut Hukum Internasional dalam
Putusan Mahkamah Konstitusi Kajian Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 15/PUU-X/2012”,
Jurnal Yudisial Vol. 6 No. 2, Agustus 2013
Suseno F. Magnis, Etika Politik: Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern
Jakarta: Gramedia, 1987
Suseno Franz Magnis, Etika Dasar Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral, Yogyakarta:
Kanisius, 1988
Verkuyl J., Etika Kristen Bagian Umum, Jakarta: Gunung Mulia, 2008
Wayan Parthiana I, Ekstradisi dalam Hukum Internasional dan Hukum Nasional,
Bandung: Penerbit Alumni, 1983

27 | ETIKA TERAPAN: Hak Asasi Manusia

Anda mungkin juga menyukai