Lucius Siahaan
Victor Golan Sitompul
Kelas : Pasca Sarjana STT Abdi Sabda
M. Kuliah : Etika Terapan
Dosen : DR. Janhotner Saragih
HAK ASASI MANUSIA (HAM)
Suatu Tinjauan Etika Kristen Terapan
Terhadap Putusan Hukuman Mati Kepada Pelaku Pembunuhan Berencana
di Indonesia
I. PENDAHULUAN
Hukuman mati dipercaya sebagai hukuman tertua dan juga terberat yang ada dan
masih diadopsi oleh beberapa negara didunia termasuk di Indonesia. Hukuman mati
merupakan suatu hukuman yang diberikan oleh pengadilan sebagai bentuk hukuman terberat
kepada seseorang sebagai sanksi atas kejahatan yang telah dilakukannya. Hukuman Pidana
tidak terlepas dari isu hukuman mati sebagai vonis terhadap kejahatan-kejahatan luar biasa.
Hal ini yang selalu menimbulkan pro dan kontra terkait hukuman yang berlaku di Indonesia.
Beberapa waktu terakhir, isu pidana mati untuk kesekian kalian kembali mencuat di tengah-
tengah wacana hukum dan penegakan hukum di Indonesia. Isu ini kembali menarik perhatian
publik ketika Kejaksaan Agung menegaskan bahwa Irjen Ferdi Sambo Kadiv Propam Polri,
terbukti bersalah atas pembunuhan berencana terhadap Brida Yosua Hutabarat, seorang
yang bertugas sebagai anggota Profesi Pengamanan Markas Besar (Propam Mabes) yang
ditempatkan sebagai ajudan.
II. PEMBAHASAN
II.1. Pengertian Hak Asasi Manusia
Hak Asasi Manusia adalah hak yang ada dan melekat pada diri atau martabat
manusia, karena dia adalah manusia. Hak itu ada dalam diri manusia, dan tidak dapat
dipisahkan darinya. Hak itu dimiliki oleh manusia, karena dia itu makhluk yang namanya
manusia. Hak itu bukannya diperolehnya atau dianugerahkannya dari suatu otoritas negara
atau pemerintahan, tetapi dimiliki manusia karena dia itu bermartabat manusiawi. Justru
karena sebagai manusia maka manusia itu memiliki hak yang Asasi, hak yang fundamental,
yang tidak dapat dipisahkan atau diceraikan dari dirinya sendiri. Kalau haknya itu dipisahkan
dari sang manusia itu, maka nilai kemanusiaannya atau martabatnya itu akan merosot,
direndahkan, dihina dan dirong-rong, dan dia tidak dihargai sebagai manusia lagi.1
Konsep pemikiran Hak Asasi Manusia, secara mendasar merupakan hak yang benar-
benar ada di bagian inti yang terdalam pada diri manusia, sebagai manusia. Kalau manusia
itu mati, maka habis/ berakhirlah haknya yang Asasi itu. Hak Asasi manusia itu dibatasi oleh
kematian. Oleh karena itu, hanya manusia (hidup) yang mempunyai hak Asasi. Karena itu,
1
F. Magnis Suseno, Etika Politik: Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern (Jakarta: Gramedia,
1987), 121-145.
2
Pasal 1 UU no. 39 tahun 1999 tentang Hak-Hak Asasi Manusia.
Seiring dengan perkembangan jaman dan lajunya perubahan di dunia ini, negara
Indonesia juga turut memperhatikan persoalan HAM. Lebih dari seperempat abad pemerintah
Indonesia selalu berputar-putar mau mempertahankan diri di balik pelaksanaan HAM seturut
Pancasila dan UUD 1945, namun dalam kenyataannya HAM tetap masih belum mendapat
reaksi maksimal secara yuridis. Baru mulai dengan TAP MPRRI no.XVII/MPR/1998 tentang
Hak Asasi Manusia,4 disusul dengan Undang-Undang no. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi
manusia,5 selanjutnya tanggal 18 Agustus 2000 dengan Perubahan Kedua UUD Negera
Republik Indonesia tahun 1945, bab XA mengenai Hak Asasi Manusia, dan dilengkapi
dengan Undang-Undang no. 26 tahun 2000 mengenai Pengadilan Hak Asasi manusia, 6
negara kita mempunyai suatu kerangka dasar untuk memperhatikan HAM. Namun kerangka
dasar itu masih harus dilengkapi dengan suatu instrumen yuridis yang mampu melindungi
hak-hak warganya dari pelanggaran HAM. Instrumen yuridis itu berupa hukum yang jelas,
adil dan pasti; serta perlunya untuk segera dibentuk adanya pengadilan HAM yang kokoh
dan kuat serta dipimpin oleh hakim-hakim yang tangguh, jujur, adil dan mau menjunjung
tinggi HAM. Dengan demikian pelanggaran HAM dapat diminimalisir dan tidak akan
merajalela.
3
Deklarasi Universal tentang HAM yang diproklamasikan PBB tanggal 10 Desember 1948 bukanlah
merupakan hukum internasional, tetapi merupakan bahan atau dasar untuk membuat hukum di negara-negara
anggota PBB. Sekalipun daftar hak-hak yang terdapat di situ merupakan produk jamannya, namun nilainya
mengatasi jamannya danmasihtetap relevan untuk jaman kita sekarang ini. Daftar hak-hak yang ada dilengkapi dan
diperkaya dengan berbagai konvensi atau konferensi internasional yang diadakan oleh PBB. Konvensi internasional
mengenai hak-hak sipil dan politik (16 desember 1966) beserta protokolnya, konvensi internasional tentang hak-hak
ekonomi, sosial dan budaya merupakan hukum internasional yang harus dihormati oleh anggota PBB. Dan semua
negara diharapkan akan melaksanakannya demi kesejahteraan setiap warganya.
4
Ditetapkan pada tanggal 13 November 1998. Tap MPRRI ini telah dihapus oleh MPR pimpinan Amin
Rais.
5
Diundangkan pada tanggal 23 September 1999.
6
Diundangkan pada tanggal 23 November 2000.
Di dalam Alkitab baik Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru, kata “Hak-hak Asasi
Manusia” tidaklah dapat ditemukan. Akan tetapi isi/ unsur-unsur dari Hak Asasi Manusia
terkandung secara eksplisit dengan narasi yang baik serta mengajak orang beriman untuk
mempraktekkannya dalam hidup keseharian, dengan dasar pedoman dan arah yang
Alkitabiah.
Berbicara tentang Hak Asasi Manusia dari perspektif teologi Kristen, kami
menemukan, ada dua dimensi tentang Hak Asasi Manusia yaitu: Dimensi Universal dan
Dimensi Historis.”7 Perspektif Kristen tentang Hak Asasi Manusia dapat dilihat melalui dua
sisi yaitu: 1) Mengkaji dari sudut iman serta teologi kristiani, apa, mengapa dan bagaimana
Hak Asasi Manusia yang berlaku universal bagi setiap orang di semua tempat. 2) Meletakkan
upaya tersebut di dalam rangka upaya bersama seluruh umat manusia untuk mengusahakan
yang terbaik bagi setiap orang dan semua orang sesuai dengan hak-hak asasinya sebagai
manusia. Hak Asasi Manusia adalah satu hal, perumusan tentang Hak Asasi Manusia adalah
satu hal yang lain. Artinya kita harus bisa Mengkaji dari sudut iman serta teologi kristiani
bagaimana Hak Asasi Manusia yang berlaku secara holistik, bagi setiap orang di semua
tempat. Dalam rangka upaya bersama seluruh umat manusia untuk mengusahakan yang
terbaik bagi setiap orang dan semua orang sesuai dengan hak-hak asasinya sebagai manusia
secara otonom.8
Dalam hal ini Pemerintah menjadi wakil Allah dipakai untuk menjaga HAM bagi
umat manusia.9 Pemerintah dapat menjalankan tugasnya sesuai dengan tujuan untuk keadilan
rakyat, orang Kristen perlu mendukung mereka melalui doa, seperti yang diajarkan oleh
Rasul Paulus, naikkan permohonan, doa syafaat dan ucapan syukur untuk semua orang,
untuk raja-raja dan untuk semua pembesar, agar kita dapat hidup tenang dan tenteram dalma
segala kesalehan dan kehormatan (1 Tim. 2:1-2). Dalam Roma 13:4, Rasul Paulus berkata
bahwa pemerintah adalah hamba Allah untuk kebaikan. Bagi pemerintah yang berfungsi
sebagai hamba Allah, orang Kristen harus takluk kepadanya. Dalam konteks ini, pemerintah
7
Douglas Elwood. Human Rights: A Christian Perspective, (Within USA: New Day Publisher, 1999), 23
8
Franz Magnis Suseno, Etika Dasar Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral, (Yogyakarta: Kanisius,
1988), 22.
9
Ch. Abineno, Manusia dan Sesamanya di dalam Dunia, (Jakarta: BPK GM, 2003), 15
Hak Asasi Manusia yang dimiliki oleh setiap warga negara merupakan hak mutlak
yang tidak dapat diganggu bahkan dirampas oleh siapapun termasuk oleh negara sekalipun
karena pada dasarnya keberadaan dari hak asasi manusia tersebut pada hakikatnya tercipta
untuk kepentingan manusia itu sendiri.13 Karena pengertian dari hak asasi manusia tersebut
dimiliki oleh setiap warga negara dan tidak dapat dirampas oleh pihak mana pun, maka hal
ini memiliki implementasi terkait sifat dasar dari hak asasi manusia, yaitu :
a. Bersifat Inheren (melekat secara alamiah pada manusia)
Hak asasi manusia yang dimiliki oleh setiap orang merupakan suatu hak mutlak karena status
martabatnya sebagai manusia dan bukan merupakan hak istimewa yang diberikan oleh satu
10
Douglas Elwood. Human Rights: A Christian Perspective, 24
11
Kejadian 1:26-27: Berfirmanlah Allah: "Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa
Kita, supaya mereka berkuasa atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas ternak dan atas seluruh
bumi dan atas segala binatang melata yang merayap di bumi". Maka Allah menciptakan manusia itu menurut
gambarNya, menurut gambar Allah diciptakanNya dia; laki-laki dan perempuan diciptakanNya mereka.
12
Dalam Kitab Kejadian 4: 8-12 tertulis sebagai berikut: 8. Kata Kain kepada Habel, adiknya: "Marilah kita
pergi ke padang". Ketika mereka ada di padang, tiba-tiba Kain memukul Habel, adiknya itu, lalu membunuh dia. 9.
Firman TUHAN kepada Kain: "Di mana Habel, adikmu itu?" Jawabnya: "Aku tidak tahu! Apakah aku penjaga
adikku?" 10. FirmanNya: "Apakah yang telah kauperbuat ini? Darah adikmu itu berteriak kepadaKu dari tanah. 11.
Maka sekarang, terkutuklah engkau, terbuang jauh dari tanah yang mengangakan mulutnya untuk menerima darah
adikmu itu dari tanganmu. 12. Apabila engkau mengusahakan tanah itu, maka tanah itu tidak akan memberikan hasil
sepenuhnya lagi kepadamu; engkau menjadi seorang pelarian dan pengembara di bumi".
13
Eva Achjani Zulfa, “Menelaah Arti Hak Untuk Hidup Sebagai Hak Asasi Manusia”, Lex Jurnalica Vol. 3
No.1, April 2015, 11
Hak untuk hidup yang dimiliki oleh setiap warga negara merupakan salah satu
implementasi dari pelaksanaan Hak Asasi Manusia dalam suatu negara. Hak untuk hidup
tersebut merupakan hak yang mendasar yang dimiliki oleh setiap individu. Pelaksanaan akan
adanya penghormatan atas hak hidup seseorang beriringan sejalan antara Undang-Undang
14
Prof. Dr. Rahayu, “Hukum Hak Asasi Manusia”, (Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro,
2010), 3.
15
Prof. Dr. Rahayu, “Hukum Hak Asasi Manusia”, 5
Hak untuk hidup merupakan hak alamiah yang dimiliki oleh seseorang, walau
demikian, hak hidup merupakan hak asasi manusia yang dimiliki seseorang secara terbatas.
Secara konstitusional hak hidup yang dimiliki oleh seseorang sendiri telah diatur dalam
beberapa pasal yang terdapat di Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945. Dalam Pasal 28A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
menjelaskan bahwa setiap orang behak untuk hidup dan mempetahankan hidup dan
kehidupannya. Terkait hak untuk hidup dan mempertahankan kehidupannya tersebut
merupakan implikasi dari pelaksanaan HAM yang telah dijamin oleh konstitusi. Hal ini juga
sejalan dengan apa yang terdapat dalam Pasal 28I ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 yang di dalamnya terdapat berbagai macam hak mendasar
yang dimiliki seseorang yang dalam pelaksanaannya tidak dapat dibatasi dalam situasi dan
kondisi apa pun. Maka oleh karena itu hak hidup dikatakan sebagai hak yang besifat
nonderogable rights yang besifat mutlak dan dalam pelaksanaannya tidak dapat dirampas
oleh siapa pun, temasuk oleh negara.
Walau pun hak untuk hidup merupakan hak dasar yang besifat mutlak yang tidak
dapat dibatasi, namun sejatinya hak untuk hidup merupakan hak yang dimiliki seseorang
secara terbatas. Hak untuk hidup merupakan salah satu hak yang termasuk dalam kategori
restrictively defined. Hak hidup merupakan hak yang dirumuskan secara restriktif yang
dilakukan dengan teknik pemberian kualifikasi tertentu pada hak sehingga menimbulkan
implikasi bahwa terbuka kemungkinan upaya untuk memberikan pengecualian. 16 Hak hidup
yang dirumuskan secara terbatas tidak menutup kemungkinan pada situasi tertentu yang tidak
16
Nihal Jayawickrama, “The Judicial Application of Human Rights Law National, Regional and
International Jurisprudence”, (Cambridge: Univesity Press, 2002), 182-184.
Klausul yang terdapat dalam ICCPR “No one shall be arbitrarily deprived of his life”
meupakan bentuk dari adanya perlindungan hukum terhadap hak untuk hidup yang sifatnya
terbatas. Sifat terbatas ini memiliki makna bahwa hanya untuk melindungi hak hidup
seseorang agar tidak menjad sasaran atas tindakan penghilangan nyawa sewennag-wenang.
Pembatasan serta perampasan akan hak untuk hidup dengan tidak sewenang-wenang, yakin
dengan melalui pengadilan bukan merupakan pelanggaran hak asasi manusia terkait hak
hidup yang dimiliki. Penerapan hukuman mati bukanlah suatu pelanggaran HAM, hal ini
dikarenakan bahwa hak untuk hidup merupakan hak non-absolute sesuai dengan pernyataan
Jimly Asshidiqie bahwa hukuman mati tidak dapat dikatakan bertentangan dengan ICCPR
karena dalam Pasal 6 ayat (2) ICCPR sendiri memberikan pernyataan bahwa negara negara
peserta dapat menerapkan hukuman mati pada tindak pidana-tindak pidana yang paling
serius.17
Hal ini juga sejalan dengan konstitusi Indonesia, dalam Pasal 28J Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia juga memberikan pembatasan pada hak seseorang dengan
seseorang lainnya. Adanya pelaksanaan hukuman mati, dalam hal ini terhadap pelaku tindak
pidana pembunuhan berencana juga dianggap sebagai pembatasan yang tidak sewenang-
wenang, karena dalam keadaan darurat, ketentuan tentang hak asasi manusia dapat dikurangi
atau dibatasi dengan Undang-Undang. Dalam pelaksanaan hukuman mati memang harus
dilakukan dengan hati-hati dan tepat dengan memperhatikan faktor yang memberatkan serta
meringankan hukuman tersebut sehingga dengan memperhatikan kedua faktor tersebut
diharapkan suatu hukuman mati yang dijatuhi oleh seorang hakim dapat sesuai dengan
kelayakan, sehingga tidak tergolong dalam hukuman kejam.18 Adanya penerapan hukuman
mati, khususnya bagi terpidana pembunuhan berencana merupakan pemidanaan yang tepat
dan tidak melanggar HAM.
17
Pokja, “Laporan Akhir Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Perubahan UU Nomor 26 Tahun
2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM)”, Oktober 2012, 57.
18
Munir Fuady dan Sylvia Laura L. Fuady, Hak Asasi Tersangka Pidana, (Jakarta: Prenada Media Group,
2015), 143.
Sehingga berdasar Pasal 2 ayat (1) ICCPR tersebut, negara dengan kewajiban untuk
melindungi hak asasi (to protect) harus diwujudkan oleh negara terhadap individu yang telah
menjadi korban pelanggaran HAM. Dengan demikian, maka pelaksanaan hukuman mati
secara tidak sewenangwenang merupakan tindakan yang sah. Karena sesuai dengan konsep
bahwa hak hidup yang dirumuskan secara restriktif yang dilakukan dengan teknik pemberian
kualifikas tertentu pada hak sehingga menimbulkan implikasi bahwa terbuka kemungkinan
upaya untuk memberikan pengecualian.
Walaupun dalam ICCPR tidak terdapat tolak ukur yang jelas akan definisi dari the
most serious crime, namun dalam Pasal 5 Statuta Roma tahun 1998 menyatakan bahwa:
“Jurisdiction of the Court shall be limited to the most serious crimes of concern to the
international community as a whole. The Court has jurisdiction in accordance with this
Statute with respect to the following crime: (a) the crime of genocide; (b) crime against
humanity; (c) war crime; (d) the crime of aggression.”20
Yurisdiksi dari Pengadilan akan terbatas pada kejahatan yang paling serius yang
menjadi perhatian dari masyarakat internasional secara keseluruhan. Yurisdiksi dari
pengadilan yang sesuai dengan Statuta yang berhubungan dengan kejahatan: (a) kejahatan
genosida; (b) kejahatan terhadap kemanusiaan; (c) kejahatan perang; (d) kejahatan agresi.
Prinsip the most serious crime yang terdapat dalam ICCPR memiliki konsep yang
sama dengan extra ordinary crime yang ditemukan dalam Statuta Roma tahun 1998.
Meskipun tidak terdapat definisi khusus mengenai kejahatan HAM berat, namun Pasal 7 UU
Nomor 26 Tahun 2000 memiliki persamaan dengan Pasal 5 Statuta Roma tahun 1998
mengenai dua jenis penggolongan terhadap kejahatan HAM berat, yaitu genosida dan
kejahatan terhadap kemanusiaan. Dalam ICCPR sendiri tidak memberikan batasan terhadap
apa yang dimaksud dengan the most serious crime.
19
Pasal 6 ayat (2) International Covenant on Civil and Political Rights, selanjutnya disingkat ICCPR.
20
Pasal 5 ayat (1) Rome Statute of International Criminal Court, selanjutnya disingkat ICC
“In countries which have not abolished the death penalty, capital punishment may be
imposed only for the most serious crimes, it being understood that their scope should not go
beyond intentional crimes withlethal or other extremely grave consequences.” 22 (Di negara-
negara yang belum menghapuskan hukuman mati, hukuman mati hanya diterapkan bagi
kejahatan paling serius, yang dipahami bahwa ruang lingkup kejahatan tersebut tidak boleh
melampaui kejahatan yang disengaja dengan konsekuensi bahwa kejahatan tersebut
mematikan atau konsekuensi sangat serius lainnya.) Sehingga berdasarkan instrumen
tersebut, maka cakupan dari the most serious crime adalah suatu kejahatan yang dilakukan
dengan sengaja serta memberikan efek yang sangat serius bahkan mematikan. Istilah extra
ordinary crime yang terdapat dalam Statuta Roma dengan istilah the most serious crime yang
terdapat dalam ICCPR jika dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai kejahatan luar biasa.
Kejahatan luar biasa yang telah didefinisikan dalam Statuta Roma dan ICCPR memberikan
pengertian bahwa kejahatan tersebut merupakan kejahatan yang dilakukan dengan maksud
merampas hak asasi manusia lainnya, sehingga kejahatan luar biasa ini masuk dalam kategori
sebagai pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat.
Secara umum pidana mati didefinisikan sebagai suatu nestapa atau penyiksaan
yang memberikan penderitaan kepada manusia dan melanggar norma-norma yang
bertentangan dengan kehidupan manusia, dimana antara pidana mati sangat berkaitan
dengan pidana dan pemidanaan. Pidana dalam hal pemberian sanksi, sedangkan
pemidanaan lebih dibebankan kepada si pelaku tindak pidana, dengan pemberian pidana
mati diharapkan masyarakat dapat melihat bahwa pelakunya benar-benar ditindak.23
21
Sefriani, “Karakteristik The most serious crime menurut Hukum Internasional dalam Putusan Mahkamah
Konstitusi Kajian Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 15/PUU-X/2012”, Jurnal Yudisial Vol. 6 No. 2, Agustus
2013, 99.
22
Pasal 1 Safeguards Guaranteeing Protection of The Rights of Those Facing The Death Penalty 1984.
23
Fransiska Novita Eleanora, Eksistensi Pidana Mati dalam Perspektif Hukum Pidana, (Jakarta : Widya
Cetak, 2012), 11
a. Tindak pidana makar, diatur dalam Pasal 104 KUHP berupa membunuh presiden dan
wakil presiden; Pasal 111 ayat (2) berupa melakukan hubungan dengan negara asing
sehingga terjadi perang.
b. Tindak pidana pembunuhan berencana, diatur dalam Pasal 340 KUHP berupa
menghilangkan nyawa orang lain dengan sengaja dan berencana.
c. Tindak pidana korupsi, diatur dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-undang Nomor 31 Tahun
1999 jo. Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, berupa
korupsi dalam keadaan tertentu.
d. Tindakan pidana genoside dan kejahatan terhadap manusia, diatur dalam Undang-
undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Hak Asasi Manusia. Pasal 36 mengatur tentang
genoside yaitu setiap perbuatan yang dilakukan untuk menghancurkan atau
memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras kelompok etnis, kelompok
agama, Pasal 37 tentang mengatur tentang kejahatan terhadap kemanusiaan yaitu
perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik
yang ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil.25
e. Tindak pidana Narkotika, diatur dalam Pasal 114, 116, 118, 119, dan 121 Undang-
undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Pada intinya pasal tersebut
menyatakan menawar, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli,
menukar, atau menyerahkan narkotika.
f. Tindak pidana melakukan Mobilisasi Anak dalam Perdagangan Gelap Narkotika, diatur
dalam Pasal 89 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak,
yang menyatakan secara sengaja melibatkan anak dalam penyalahgunaan, produksi, atau
distribusi narkotika dan/atau psikotropika.
2 Kitab Undang-undang Hukum Pidana Militer Pasal 64; Pasal 65; Pasal 67; Pasal 68;
(KUHPM) Pasal 73 ke 1, ke 2, ke 3 dan ke 4;
Pasal 74 ke 1 dan ke 2; Pasal 76 ayat
(1) ; Pasal 82; Pasal 89 ke 1 dan ke 2;
Pasal 109 ke 1 dan ke 27; Pasal 114
ayat (1); Pasal 133 ayat (1) dan (2);
Pasal 135 ayat (1) ke 1 dan ke 2, ayat
(2) ; Pasal 137 ayat (1) dan (2); Pasal
138 ayat (1) dan (2); dan Pasal 142 ayat (2)
5 Perppu Nomor 21 Tahun 3959 tentang Pasal 1 ayat (1) dan ayat (2)
Memperberat Ancaman Hukuman terhadap
Tindak Pidana Ekonomi
9 Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Pasal 74; Pasal 113 ayat (2); Pasal 114
Narkotika ayat (2); Pasal 119 ayat (2); Pasal 118
ayat (2); Pasal 119 ayat (2); Pasal 121
ayat (2); Pasal 132 ayat (3); Pasal 133
ayat (1); Pasal 144 ayat (2)
Pada dasarnya penerapan pidana mati bertentangan dengan ketentuan hukum hak asasi
manusia Internasional. Dalam ketentuan hukum hak asasi manusia internasional secara tegas
menyatakan bahwa pidana mati bertentangan dengan prinsip yang diatur di dalam konvenan
Internasional Hak-hak Sipil dan Politik (International in Civil and Political Rigts-ICCPR.). Hal
ini sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 6 (1) ICCRP yang berbunyi: setiap manusia berhak
atas hak untuk hidup dan mendapatkan perlindungan hukum dan tiada yang dapat mencabut hak
itu. Pengaturan tentang ketentuan yang memuat tentang pidana mati tercantum dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana, yakni sebagai berikut :28
a. Pasal 111 ayat 2 (membujuk negara asing untuk bermusuhan atau berperang, jika
permusuhan itu dilakukan atau jadi perang);
b. Pasal 124 ayat 3 (membantu musuh waktu perang);
c. Pasal 140 ayat 3 (makar terhadap raja atau kepala negara-negara sahabat yang
direncanakan dan berakibat maut);
d. Pasal 340 (pembunuhan berencana);
e. Pasal 365 ayat 4 (pencurian dengan kekerasan yang mengakibatkan luka berat atau
mati);
f. Pasal 368 ayat 2 (pemerasan dengan kekerasan yang mengakibatkan luka berat atau
mati);
g. Pasal 444 (pembajakan di laut, pesisir dan sungai yang mengakibatkan kematian).
Lebih lanjut ketentuan yang mengatur tentang pemberlakuan pidana mati dimuat pula
dalam UU tindak pidana khusus, yakni antara lain :
a. Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951 Tentang Senjata Api,
Amunisi atau Sesuatu Bahan Peledak;
b. Pasal 2 Undang-Undang Nomor 5 (PNPS) Tahun 1959 Tentang Wewenang Jaksa
Agung/Jaksa Tentara Agung dan Tentang Memperberat Ancaman Hukuman
27
Pan Mohamad Faiz, Penjatuhan Pidana Mati dalam Sistem Hukum Indonesia, (Jakarta: Jurnal
Hukum, 2008), 1
28
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Hukum Pidana, (Bandung: PT. Alumni,1992),
56
Adapun mekanisme pelaksanaan pidana mati sebagaimana yang diatur dalam Undang-
Undang Nomor 2/PNPS/Tahun 1964, yaitu sebagai berikut:29
a. Dalam jangka waktu tiga kali dua puluh empat jam sebelum saat pidana mati itu
dilaksanakan, jaksa tinggi atau jaksa yang bersangkutan harus memberitahukan
kepada terpidana Tentang akan dilaksanakannya pidana mati tersebut. Apabila
terpidana berkeinginan untuk mengemukakan sesuatu, maka keterangan atau
29
Undang-Undang Nomor 2/PNPS/1964 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati yang Dijatuhkan
Oleh Pengadilan di Lingkungan Peradilan Umum dan Militer.
1. Every human being has the inherent right to life. This right shall be protected by law. No
one shall be arbitrarily deprived of his life.
2. In countries which have not abolished the death penalty, sentence of death may be
imposed only for the most serious crimes in accordance with the law in force at the time
of the commission of the crime and not contrary to the provisions of the present Covenant
and to the Convention on the Prevention and Punishment of the Crime of Genocide. This
penalty can only be carried out pursuant to a final judge ment rendered by a competent
court.
3. When deprivation of life constitutes the crime of genocide, it is understood that nothing in
this article shall authorize any State Party to the present Covenant to derogate in any
way from any obligation assumed under the provisions of the Con vention on the
Prevention and Punishment of the Crime of Genocide.
4. Anyone sentenced to death shall have the right to seek pardon or commuta tion of the
sentence. Amnesty, pardon or commutation of the sentence of death may be granted in all
cases.
5. Sentence of death shall not be imposed for crimes committed by persons below eighteen
years of age and shall not be carried out on pregnant women.
6. Nothing in this article shall be invoked to delay or to prevent the abolition of capital
punishment by any State Party to the present Covenant.31
1. Setiap manusia berhak atas hak untuk hidup yang melekat pada dirinya. Hak ini wajib
dilindungi oleh hukum. Tidak seorangpun dapat dirampas hak hidupnya secara
sewenang-wenang.
30
I Wayan Parthiana, Ekstradisi dalam Hukum Internasional dan Hukum Nasional, (Bandung: Penerbit
Alumni, 1983), 100
31
Simon, S.H., Mengenal ICC Mahkamah Pidana Internasional, (Jakarta Pusat: Sentralisme Production,
2009), 3
Pasal 6 ayat (1) menegaskan bahwa setiap pada setiap manusia melekat hak untuk
hidup. Hak ini harus dilindungi oleh hukum. Tidak ada seorang pun manusia yang boleh
dirampas hidupnya. Pelaksanaan eksekusi mati ini telah melanggar Pasal 6 ayat (1) yang
pada dasarnya eksekusi mati menimbulkan kesakitan fisik dan dirampasnya hak untuk
hidup seseorang. Pasal 6 ayat (2) mengecualikan pemberian hukuman mati dapat
diberikan kepada pelaku kejahatan yang paling serius atau kejahatan luar biasa.
Hukuman mati masih banyak diterapkan di berbagai Negara. Antara lain Indonesia dan
juga Arab Saudi, yang menjadi permasalahannya ialah tidak adanya pemenuhan dan
pengaturan yang jelas terhadap pelaksanaan hukuman mati tersebut baik dalam proses
penangkapan maupun dalam pelaksanaan pemeriksaan di persidangan, sehingga hal
tersebut bertentangan dengan konsep the rule of law di mana terdapatnya pengaturan
yang jelas baik itu persamaan kedudukan dihadapan hukum dan juga terdapatnya
peradilan yang bebas dan tidak memihak yang berimplikasi kekuasaan kehakiman yang
Pasal 6 ayat (4) seseorang yang telah dihukum mati harus mempunyai hak untuk
memohon pengampunan atau keringanan hukuman. Amnesty pengampunan atau
keringanan hukuman mati dapat diberikan dalam segala hal. Selanjutnya dalam Pasal 6
ayat (5) dengan jelas hukuman mati tidak dapat diberikan pada wanita yang sedang
mengandung mau pun anak berusia di bawah delapan belas tahun, dikarenakan
penjatuhan hukuman mati bagi wanita yang sedang mengandung sama saja dengan
membunuh bayi dalam kandungan yang juga memiliki hak untuk hidup. Sedang,
penjatuhan hukuman mati bagi anak di bawah delapan belas tahun, dianggap kejahatan
yang dilakukan oleh anak di bawah delapan belas tahun bukanlah keinginan dari orang
tersebut, tetap dapat dipicu oleh lingkungan bahkan yang terburuk karena kelalaian orang
tua.33
Berbicara Etika Kristen Terapan, tentu saja tidak terlepas dari berbagai fenomena-
fenomena yang tejadi di sekitar sosial masyarakat. Dengan demikian, berbicara Etika dan
terapan-terapannya, adalah membicarakan tentang bagaimana “saya” memandang manusia.
Dalam defenisi Etika Kristen yang dibicarakan adalah antrophos (antrophology), manusia
yang bertanggung jawab dan manusia yang harus memilih dan memutuskan sesuatu atas
tindakannya. Tetapi karena kemungkinan untuk memilih hampir tidak terbatas, maka ia
membutuhkan pembatasan, dan pembatasan itu diberikan oleh moral. Moral memberikan
aturan-aturan untuk kelakuan manusia, sehingga ia dapat menentukan apa yang ia boleh
perbuat, dan yang tidak boleh diperbuat.34 Terhadap pendapat ini, perlu kita menaruh
keyakinan bahwa manusia tidak timbul dari evolusi, akan tetapi sebagai ciptaan Allah, yang
32
Ekho J.P. Nalole, Tinjauan Hukum Internasional Terhadap Pelaksanaan Hukuman Mati Bagi
Warga Negara Asing di Indonesia (Studi Kasus Eksekusi Mati terhadap Warga Negara Asing pada Awal
Masa Pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla), (Makassar :
Jurnal, 2016), 43
33
Simon, S.H., Mengenal ICC Mahkamah Pidana Internasional, 3- 5
34
J. Douma, Kelakuan Yang Bertanggung Jawab: Pembimbing Kepada Etika Kristen, (Jakarta: Gunung
Mulia, 2007), 30-31
Berkaitan dengan topik hukuman mati, maka teori Lillie yang pertama sangat
berkesesuaian yakni: Teori Pencegahan (Deterrent Theory). Menurut teori ini, tujuan
menghukum siapa pun yang telah berbuat salah adalah untuk mencegah orang lain
melakukan kesalahan yang sama. Pandangan tentang hukumanlah yang dianut ketika
Hakim membuat 'contoh' dari beberapa pelaku pelanggaran.36 Pertimbangan yang matang
pastilah muncul, di dalam pembuktian-pembuktian, sehingga seseorang pantas dijatuhi
hukuman mati atau dipertimbangkan dengan dijatuhi vonis yang lebih ringan. Hak untuk
35
William Lillie, An Introduction to Ethics, (Essex Street: Methuen&CO.LTD.LONDON, 1948), 280
36
Ibid., 281–284
Melalui ruang argumen ini, penyaji akan mengikut-sertakan, beberapa pandangan dari
para tokoh yang mengkedepankan norma dan hukum (Susila Kodrati dan Kodrati), yang
seolah-olah dipandang sebagai suatu fase pertama dari Etika Kristen.
1. Hugo de Groot (1583-1645), adalah seorang pengalas hukum bangsa-bangsa, yang hidup
ketika hubungan antara bangsa-bangsa semakin erat, yakni Ketika Eropa dan Asia
mengadakan banyak hubungan, merasakan perlunya perumusan norma-norma kesusilaan
dan yuridis, Menyusun suatu system norma-norma yang harus diakui oleh setiap orang,
“etsi non daretur Deus”, artinya: walaupun seandainya Tuhan itu tidak ada, manusia
dapat mengenal yang baik dan yang jahat tanpa Allah. Penetapan hukum yang
dirumuskan Hugo de Groot, dilanjutkan oleh Emanuel Kant
2. Emanuel Kant (1724-1804) di dalam bukunya Die Religion innerhalb der Grenzen der
bloszen Vernunft, Kant menerangkan bahwa manusia harus belajar mengakui kewajiban
manusia sebagai perintah Tuhan. Pada hakekatnya manusia berada di bawah hukum atau
norma Tuhan, akan tetapi hal tersebut telah dikesampingkan dan di ganti dengan otonomi.
3. Thomas Hobbes (1588-1679) secara spesifik mengarahkan penentu akan norma/ hukum
di dalam kekuasaan negara. Yang menentukan apa yang baik dan apa yang jahat haruslah
kekuasaan negara. Kekuasaan negara pulalah yang harus menentukan bagaimana manusia
harus berbakti kepada Tuhan dan bagaimana hubungan manusia terhadap sesamanya.
4. David Hume (1711-1766) mencari sumber etika itu di dalam manfaat sosial. Yang
disebut baik ialah segala yang bermanfaat. Disusunnya suatu hukum kodrat dan hukum
Susila kodrati di atas dasar manfaat sosial.
37
J. Verkuyl, Etika Kristen Bagian Umum, (Jakarta: Gunung Mulia, 2008), 71-73
Masih banyak pandangan-pandangan dari para tokoh, baik klasik hingga postmodern
mengenai norma-norma (aturan-aturan yang dilengkapi dengan sanksi-sanksi kepada orang
yang melanggarnya. Atau dikatakan seperangkat tatanan baik yang tertulis maupun tidak
tertulis, yang berlaku, dan merupakan pedoman sehari-hari dalam masyarakat), hingga
kepada hukum (undang-undang yang dibuat dan ditegakkan melalui lembaga sosial atau
pemerintah untuk mengatur perilaku masyarakat. Hukum yang ditegakkan oleh negara dapat
dibuat oleh legislatif kelompok atau oleh seorang legislator tunggal, yang menghasilkan
undang-undang; oleh eksekutif melalui keputusan dan peraturan; atau ditetapkan oleh hakim
melalui preseden) yang berlaku dari masa ke masa.38
III.2. Argumen Etis Teologis Pro dan Kontra Pidana Mati di Indonesia
Kasuistik Hukuman Mati, pemateri akui bukanlah hal yang mudah diputuskan dengan
kata “pantas atau tidak pantas, boleh atau tidak boleh”. Pikiran dan perasaan menjadi
panggung dari segala pertimbangan hingga dihasilkan suatu keputusan yang tepat. Itu
sebabnya pemateri turut menyertakan argumen-argumen pertimbangan dari 6 tokoh di atas,
agar problematik dari hukuman mati ini dapat dikaji sedemikian rupa menurut etika terapan.
38
William Lillie, Op. Cit., 283
Di Indonesia perbincangan atas hukuman mati juga di isi dengan pikiran tarik
menarik. Bahkan problematik itu muncul sebelum eksekusi hukuman mati itu dilaksanakan.
Undang-undang terbaru mengenai HAM dinantikan Bersama, dengan anjuran percobaan 10
tahun, menggunakan ukuran tingkah laku selama ditahanan. Seolah-olah hal ini berkenaan
dengan yang disampaikan Rosseau dan Brunner, bukan dalam paduan akal dan perasaan
tetapi haruslah dicari di dalam janji-janji dan tuntutan-tuntutan Kasih Allah dan kebenaran
(keadilan) Allah. Adanya kesempatan (tetap hidup) yang diberikan adalah hal yang baik,
akan tetapi Firman Allah yang mengatakan tentang wewenang negara (otonomi) mengenai
norma, peraturan dan hukum juga harus di dalam pertimbangan.
Seandainya kata MAAF di utarakan Adam dan Hawa kepada Allah, apakah kejatuhan
kepada dosa akan dibatalkan? Seandainya Pontius Pilatus berjuang terhadap hukuman yang
akan diterima Yesus, apakah kisah penyaliban akan tertunda? Bukankah kedua hal tersebut,
akrab dan sepadan dengan hukuman mati? Mengenai Human Rights bukankah Barat pada
masa kejayaannya, mengerjakan hukuman-hukuman mati kepada pemberontak, mengapa
dimasakini Barat, melalui PBB mengedepankan Kemanusiaan? Dilema bukan,?
IV. KESIMPULAN
39
Bnd. William Lillie., It is the view of punishment that is held when the judge makes an 'example of some
offender. Moralists often object to this view of punish- ment because, according to it, the offender is being treated
merely as a means to the good of others. This, however, is not quite correct, for, except in the case of capital
punishment, the punishment is likely to have a more deterrent effect on the offender himself than on others, and
so he is not being used as a mere means to the good of others, Op. Cit., 281
V. DAFTAR PUSTAKA
Achjani Zulfa Eva, “Menelaah Arti Hak Untuk Hidup Sebagai Hak Asasi Manusia”, Lex
Jurnalica Vol. 3 No.1, April 2015
Arief Muladi dan Barda Nawawi, Bunga Rampai Hukum Pidana, Bandung: PT.
Alumni,1992
Ch. Abineno, Manusia dan Sesamanya di dalam Dunia, Jakarta: BPK GM, 2003
Daming Saharuddin, Konfigurasi Pertarungan Abolisionisme Versus Retensionisme
dalam Diskursus Keberadaan Lembaga Pidana Mati di Tingkat Global dan Nasional, Jakarta:
Yustisi, 2016
Douma J., Kelakuan Yang Bertanggung Jawab: Pembimbing Kepada Etika Kristen,
Jakarta: Gunung Mulia, 2007
Eleanora Fransiska Novita, Eksistensi Pidana Mati dalam Perspektif Hukum Pidana,
Jakarta: Widya Cetak, 2012
Elwood Douglas. Human Rights: A Christian Perspective, Within USA: New Day
Publisher, 1999
Faiz Pan Mohamad, Penjatuhan Pidana Mati dalam Sistem Hukum Indonesia, Jakarta:
Jurnal Hukum, 2008
Fuady Munir Fuady dan Sylvia Laura L., Hak Asasi Tersangka Pidana, Jakarta: Prenada
Media Group, 2015.
Huda Chairul, Pola Pemberatan Pidana dalam Hukum Pidana Khusus, Jurnal Hukum,
2011