Anda di halaman 1dari 7

A.

Hati Nurani: Memutuskan secara Baik dan Benar


Apa itu hati nurani? Inilah pertanyaan mendasar mengawali refleksi ini. Hati nurani adalah inti
dari kedalaman diri manusia. Dalam KGK, no. 1776 menegaskan bahwa hati nurani adalah inti
manusia yang paling rahasia, sanggar sucinya; di situ ia seorang diri bersama Allah, yang
sapaan-Nya menggema dalam batinnya (Bdk. GS 16). Secara harafiah dapat dikatakan bahwa
hati nurani adalah sesuatu yang paling rahasia berada di dalam diri manusia. Hati nurani itu
menggerakkan akal budi, sehingga seseorang dapat melakukan sesuatu tindakan dan perbuatan
secara baik dan masuk akal. Masuk akal dan tidak, semuanya tergantung kita. Sejauh mana kita
mendengarkan dengan saksama apa yang dibisikan oleh hati nurani kita. Tentunya suara hati
menyerukan dalam diri kita untuk mencintai dan melaksanakan apa yang baik dan menghindari
yang jahat. Dapat kita lihat dari contoh kasus berikut ini:

Andi adalah seorang anak yang baik. Pada suatu ketika keluarganya dililit hutang. Andi merasa
harus berbuat sesuatu. Akhirnya, ia pun harus pergi ke pasar untuk mencari uang demi melunasi
hutang keluarga. Suatu ketika di pasar ia melihat sebuah dompet tergeletak tepat di depannya. Ia
pun terdiam. Kira-kira Apakah yang harus di buat oleh Andi?bagaimana ia mampu mengatasi
masalahnya?dalam hal ini mengambil dompet tersebut, lalu mengembalikannya atau mengambil
dompet itu, lalu pergi membayar hutang keluarganya dan masalah selesai.

Dengan merefleksikan kasus di atas, kita di ajak untuk mengecek bagaimana cara kerja dari hati
nurani. Pastilah disaat yang mendesak itu, dengan pikiran yang sehat kita akan bertanya:
"Apakah hal ini baik atau tidak untuk saya lakukan?". Maka, hati nurani akan memberikan signal
dalam diri kita untuk memutuskan. Sudah barang tentu ia memberikan suatu kesaksian tentang
kebenaran, sehingga kita dapat memutuskan secara bijaksana.

Di lain pihak, ada beberapa orang yang meremehkan bisikan atau getaran-getaran yang keluar
dari hati nuraninya. Inilah yang membuat orang, akhirnya merasa menyesal dan gagal dalam
memutuskan sesuatu secara bijaksana. Salah satu faktornya adalah orang terkadang merasa tidak
peduli getaran-getaran yang keluar dari hati nuraninya, sehingga ia menekan cara kerja dari hati
nuraninya. Ini juga berkaitan dengan kondisi batin yang tidak tenang dan tidak sabar dalam
memutuskan. Akhirnya akan berakibat fatal bagi dirinya sendiri maupun orang lain. Untuk
mendengarkan secara saksama akan setiap bisikan dan getaran-getaran yang keluar dari hati
nurani kita, perlunya sikap untuk tunduk dan dengan penuh kerendahan hati. Dengan demikian,
orang dapat melalui jalan yang benar. Sehingga martabatnya sebagai manusia dapat diakui.
Sebab martabat pribadi manusia sangat merindukan hati nurani yang menilai secara tepat dan
akurat, karena dampaknya besar dalam kehidupan manusia secara konkrit.

Dalam kehidupan, manusia berhak untuk bertindak secara bebas berdasarkan dengan hati
nuraninya. Kebebasan sejati merupakan tanda yang mulia gambar Allah dalam diri manusia (Bdk.
GS, 17). Allah menyerahkan manusia kepada keputusannya sendiri (Bdk. Sir.15:14). Martabat
manusia menuntut supaya ia bertindak menurut pilihannya yang sadar dan bebas. Artinya
digerakkan dan didorong secara pribadi dari dalam, dan bukan karena rangsangan hati yang buta
semata-mata karena paksaan dari luar. Untuk itu seseorang akan membuat suatu keputusan moral
secara pribadi. "Janganlah ia dipaksa untuk bertindak melawan suara hatinya. Tetapi jangan pula
ia dirintangi untuk bertindak menurut suara hatinya terutama dalam hal keagamaan (Bdk. DH 3).
Meskipun memiliki kehendak yang bebas, manusia harus sadar akan keputusan yang akan ia
ambil. Dengan begitu fungsi dari hati nurani akan nampak ke dasar kehidupannya. Masuk ke
dalam diri sangatlah sulit dilakukan oleh setiap orang tidak sama dengan membalikkan telapak
tangan. Tetapi dengan keheningan seseorang akan bertanya dan masuk ke kedalaman dirinya,
apakah yang akan kuputuskan sesuai atau tidak? Kita harus mencecapi bisikan atau getaran-
getaran yang muncul dari hati nurani kita. Dengan bersikap rendah hati, kita diajak untuk
merefleksikan mengenai dunia batiniah kita secara mendalam. Belajar mendengar inilah yang
terpenting. Dengan begitu kita melatih diri untuk lebih peka dalam mencecapi setiap getaran
yang ada di dalam hati nurani kita.

Sadar akan semua hal itu mengantar manusia untuk menerima secara utuh dan penuh tanggung
jawab atas perbuatan yang telah dilakukannya. Ini pun tidak menutup kemungkinan ketika tanpa
sadar atau tidak sengaja seorang telah melakukan sesuatu yang jahat atau tidak sesuai. Manusia
harus mempertanggung-jawabkan peri hidupnya sendiri di hadapan takhta pengadilan Allah,
sesuai dengan perbuatannya yang baik maupun yang jahat (Bdk. 2 Kor. 5:10). Maka keputusan
hati nuraninya tetap memberi kesaksian bahwa kebenaran moral berlaku, sementara
keputusannya yang konkret itu salah. Dengan adanya rasa bersalah, dapat mengantar manusia
untuk memohon ampun. Selanjutnya ia akan melakukan yang baik, supaya dengan bantuan
rahmat Allah ia dapat mengembangkan kebajikan secara terus-menerus. Seperti apa yang
dikatakan dalam 1 Yoh 3:19, "Kita boleh menenangkan hati kita di hadapan Allah, sebab jika
kita dituduh olehnya, Allah adalah lebih besar daripada hati kita serta mengetahui segala
sesuatu". Allah senantiasa menaungi perjalanan kehidupan manusia dan Allah tahu seberapa
besar Cinta-Nya kepada manusia, sehingga Ia hadir dan bersemayam di dalam diri manusia yakni
di dalam hati nuraninya.

Dari sinilah sebagai manusia yang telah terarah pada segala kebajikan yang keluar dari hati
nurani menyadari eksistensi kita sebagai manusia. Di mana Hati nurani memberikan pencerahan
bagi diri kita. Bagaimana kita dapat melakukan discernment atau diskresio yang baik. Dengan
melangkah setapak demi setapak akan kebenaran dari hakekat dirinya, yang berada di kedalaman
diri dan setia tunduk mendengarkan setiap getaran-getaran yang berasal hati nuraninya. Maka
keputusan yang diambil oleh seseorang adalah tepat dan pada akhirnya tidak ada kata penyesalan
setelah ia memilih sesuai dengan suara hatinya.

Sumber : Dengah, Elias Dumais, (4 Desember 2019),(Kompasiana, 2019)


A.1 OPINI

Artikel ini sangat lah membantu tentang memahami hati Nurani. Sang penulis sangat lengkap
dan jelas memnjelaskan dari berbagai macam sudut pandang kehidupan dan agama dan juga
memberi contoh kasus.

B. "Memento Mori" dalam Katolik


Memento mori. (Ingatlah akan kematianmu). Mungkin diantara kita sudah pernah mendengar
istilah ini. Di kampung saya (Flores, Bajawa), ada kelompok "mentomori", semacam paguyuban
umat yang khusus bergotong royong dalam acara kematian. Mungkin mirip dengan RKUK
(Rukun Kematian Umat Katolik) di Keuskupan Bogor. Tapi saya ingin kembali lagi dengan
istilah atau lebih tepatnya semboyan memento mori ini.

Memento mori merupakan semboyan hidup yang sangat akrab dengan masyarakat Eropa sejak
ribuan tahun yang lalu. Semboyan ini berasal dari bahasa Latin. Nah, kalo kita melacak akar
semboyan ini, Plato (pada sekitar 2500 tahun yang lalu) telah menuliskan tentang pentingnya
mengingat kematian dalam karyanya berjudul faidon, sebuah dialog dengan Socrates.

Di salah satu bagian dialog tersebut, Socrates mengatakan "Satu-satunya tujuan mempraktikkan
filsafat adalah mengingat kematian dan menghadapi kematian dengan cara terbaik". Ajaran ini
kemudian dikembangkan dalam aliran filsafat stoa yang ikut mempopulerkan semboyan
memento mori ini.

Tujuannya adalah bukan untuk menakut-nakuti seseorang, tetapi menginspirasi orang untuk
mencari hal yang paling penting dalam hidup ini, untuk menjadi pribadi dengan versi terbaik
yang kita bisa agar hidup yang sementara ini bisa bermakna. Kata orang bijak, siapa yang
menyadari kematiannya, dapat sungguh-sungguh menjalani kehidupannya.

Dalam Kitab Suci, ada banyak cerita mengenai pentingnya mengingat kematian. Saya memilih
dua bacaan yang dibacakan pada tanggal 23 November 2019: 1Mak. 6:1-13; dan Luk. 20:27-40.
Kedua bacaan Kitab Suci ini mengusung satu tema penting dalam iman kristiani yaitu, kematian.
Dalam bacaan pertama, dikisahkan raja Antiokhus sangat cemas karena kematian dirasa telah
dekat. Ia cemas, karena ia belum siap. Ia telah berbuat keji terhadap Yerusalem dan semua
daerah lain, merampas barang dan perkakas berharga, lalu menyerang, menghancurkan,
menindas daerah lain.
Ia tidak tenang. Entah apa yang merasukinya? Boleh jadi Kecemasan eksistensial, yaitu
Kecemasan yang sangat besar yang mendasar dan membuatnya berpikir apa yang paling penting
bagi hidup ini. Untuk apa hidup ini, Ia merasa kuasa dan hartanya sudah tidak begitu penting lagi.
Untuk apa hidup ini?

Pertanyaan tersebut seolah terjawab dalam bacaan Injil. Melalui perumpamaan yang digunakan
Yesus untuk meladeni pertanyaan kaum saduki, Yesus sedikit menyingkap misteri kehidupan
setelah kita semua mati. Tentu, Yesus tahu tentang surga karena ia berasal dari situ. Ia datang
membawa janji sekaligus harapan. Manusia akan memperoleh hidup yang abadi dan penuh
kebebasan, termasuk bebas dari nafsu seperti para malaikat.

Visi kehidupan kekal yang dinyatakan Yesus tersebut dapat menjadi jawaban untuk apa kita
hidup dan sekaligus menegasakan bahwa hidup ini tidak absurd, tidak sia-sia atau tanpa makna.
Hidup saat ini adalah hidup sementara untuk mempersiapkan hidup yang sesungguhnya, yaitu
hidup kekal saat orang bahagia karena memandang wajah Allah, beristirahat dalam damai
(Requiestat in Pacem).

Dengan demikian, orang perlu hidup dengan sebaik mungkin, menjalankan apa yang paling
berguna dalam hidup. Sehingga pada akhirnya seperti Paulus, ia berani mengatakan: Aku telah
mengakhiri pertandingan yang baik, aku telah mencapai garis akhir dan aku telah memelihara
iman.

Sumber :Geu, Wensenslaus Aprianus(26 November 2019), (Kompasiana, 2019)

B.1 OPINI

Artikel ini membawa pesan tentang kita perlu mengingat akan kematian agar dalam kehidupan
kita bisa mencari sesuatu yang penting dalam kehidupan. Pemberian makna dari kematian dalam
segi Katolik juga sangat lah jelas dan bisa men-inspirasi untuk pembaca agar mencar apa yang
mereka sangat inginkan dalam kehidupannya

C. Menjadi Katolik artinya mempercayakan diri kepada Tuhan


melalui Gereja

Gereja Katolik memahami peran otoritas apostolik sebagai iman akan janji Kristus yang akan
menyertai Gereja-Nya, yang dibuktikan juga oleh banyak tanda sepanjang sejarah, yang
menunjukkan betapa Kristus menjaga Gereja dan menghindarinya dari ajaran-ajaran yang
menyimpang. Oleh iman inilah, kita menyerahkan diri kepada Allah melalui Gereja, sebab
demikianlah yang dikehendaki oleh Allah.
Prinsip pengantaraan Gereja ini bukanlah hal yang baru atau mengada-ada. Sepanjang sejarah
umat pilihan, Allah menghendaki bahwa kesetiaan kepada-Nya diukur juga dari kesetiaan kepada
para nabi atau pengantara yang ditunjuk olah-Nya. Setia kepada Allah di zaman Perjanjian Lama,
berarti juga setia kepada Nabi Musa. Keduanya tak terpisahkan, sebagaimana tertulis dalam Kel
14:31. Kesetiaan kepada para nabi berarti penerimaan terhadap apa yang dikatakan oleh mereka.
Tuhan menganggap bahwa penolakan terhadap ajaran para nabi merupakan penolakan terhadap-
Nya, seperti nyata dalam penolakan terhadap Nabi Yeremia (lih. Yer 7:25-26). Di masa Yohanes
Pembaptis, jawaban “Ya” terhadap panggilan Tuhan dinyatakan dengan persetujuan untuk
dibaptis (lih. Mrk 1:4; Luk 3:3) dan penerimaan terhadap pesannya yang memberitakan
kedatangan Kristus, Sang Anak Domba Allah (lih. Yoh 1:29,36).
Kristus menghubungkan penerimaan ataupun penolakan terhadap diri-Nya dan Bapa yang
mengutus-Nya, dengan penerimaan ataupun penolakan terhadap mereka yang diutus oleh-Nya
(lih. Luk 10:16). Maka Gereja mengajarkan bahwa kesetiaan kepada Kristus ditunjukkan dengan
penerimaan keseluruhan kehendak-Nya (lih. Mat 28:19-20), termasuk pengantaraan Gereja
apostolik yang didirikan-Nya (lih. Mat 16:16-19). Dengan kata lain, persetujuan iman terhadap
Kristus mengambil bentuk konkritnya dalam persetujuan terhadap semua yang telah dinyatakan
dan didirikan oleh-Nya, termasuk Gereja-Nya.
Sumber: Listiati, Ingrid(19 Desember 2019),(www.katolisitas.org)

C.2 opini

Dalam artikel ini sang penulis ingin kita menyerahkan diri kepada Allah karena Gereja Katolik
memahami peran otoritas apostolik sebagai iman akan janji Kristus yang akan menyertai Gereja-
Nya, yang dibuktikan juga oleh banyak tanda sepanjang sejarah, yang menunjukkan betapa
Kristus menjaga Gereja dan menghindarinya dari ajaran-ajaran yang menyimpang. Artikel ini
sangat membuat pembaca mengerti bahwa kita cukup percaya kepada Tuhan untuk ke jalan yang
benar dan memnajalaninya melalui gereja
DOSEN
Drs. Julius Nagel, S.Th.M.M.

MATA KULIAH

“Pendidikan Agama”

Disusun oleh

Nama: Christiano Satriawardhana Wang

NIM : 18410100032

Kelas : D1

PRODI S1 SISTEM INFORMASI

UNIVERSITAS DINAMIKA SURABAYA

2019

Anda mungkin juga menyukai