Anda di halaman 1dari 17

ETIKA PROFESI

SUARA HATI / HATI NURANI

DI SUSUN
OLEH :

HDV DINDA MELATI. S


P07131215013
D-IV REG A TK. III

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTRIAN KESEHATAN ACEH


JURUSAN D-IV GIZI
2017/2018
A. PENGERTIAN SUARA HATI / HATI NURANI

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, hati nurani diartikan sebagai hati yang telah
mendapat cahaya atau terang dari Tuhan, dan perasaan hati yang murni dan sedalam-
dalamnya. Sedangkan tuntutan atau larangan yang berasal dari hati nurani disebut suara hati
atau kata hati. Frans Magnis Suseno dan K. Berten, menyebut hati nurani tersebut sebagai
kesadaran moral. Hati Nurani muncul apabila harus memutuskan sesuatu yang menyangkut
hak dan kebahagiaan manusia. Hati nurani dapat menghayati baik atau buruk yang
berhubungan dengan tingkah laku. Hati nurani memerintahkan atau melarang untuk
melakukan sesuatu kini dan disini. Ia tidak berbicara tentang yang umum, melainkan tentang
situasi yang sangat konkret. Tidak mengikuti hati nurani berarti menghancurkan integritas
pribadi dan mengkhianati martabat manusia yang terdalam.

Secara harafiah, suara hati adalah suara yang berasal dari kedalaman hati atau pusat
kedirian seseorang dan yang menegaskan benar-salahnya suatu tindakan atau baik-buruknya
suatu kelakuan tertentu berdasarkan suatu prinsip atau norma moral. Suara itu sering
dikaitkan pula dengan suara yang berasal dari luar diri manusia dan sekaligus mengatasi
kewenangan manusia untuk menolak atau mengabaikannya. Dalam kaitan dengan ini, suara
hati seringkali disebut suara Tuhan sendiri.Seperti pernah dinyatakan oleh John Henry
Newman (1801-1890),karena sifat kemutlakan penegasan atau tuntutannya, suara hati
merupakan suatu gejala manusiawi yang mengatasi keterbatasan manusia dan menunjuk pada
realitas yang mengatasi manusia, yakni Allah sendiri sebagai Yang Mutlak. Demikianlah
dalam gejala suara hati sekaligus ditemukan unsur dari dalam diri seseorang yang amat
pribadi dan unsur dari luar yang mengatasi kewenangan manusia untuk menolak atau
mengabaikannya. Suara hati memiliki ciri personal dan adi personal.

Dalam bahasa Inggris, hati nurani artinya consciece. Kalau kata consciece diterjemahkan
maka artinya menjadi suara hati, kata hati atau hati nurani. Berdekatan dengan kata
conscience, ada kata conscious. Consciousartinya sadar, berkesadaran, atau kesadaran.
Disamping kedua kata ini, ada satu lagi yang berdekatan maknanya yaitu intuition, intuition
artinya gerak hati, lintasan hati, gerak batin. Hati nurani adalah kemampuan atau fakultas
yang membedakan apakah salah satu dari tindakan apakah benar atau salah. Rasa moral
tentang yang benar dan yang salah, terutama karena akan mempengaruhi tingkah laku sendiri;
Kesadaran; berpikir; kesadaran, terutama kesadaran diri. Kesadaran juga berarti peran
kognitif diri yang memperjelas secara sadar di mana diri kita saat ini dan bagaimana situasi
lingkungan kita. Kajian-kajian yang mendalam tentang hal ini dapat kita telusuri lebih jauh
terutama di dalam sains psikologi.

Hati nurani merupakan penerapan kesadaran moral yang tumbuh dan berkembang dalam
hati manusia dalam situasi konkret. Suara hati menilai suatu tindakan manusia benar atau
salah , baik atau buruk. Hati nurani tampil sebagai hakim yang baik dan jujur, walaupun
dapat keliru. Dalam hati, manusia sebelum bertindak atau melakukan sesuatu , ia sudah
mempunyai kesadaran atau pengetahuan umum bahwa ada yang baik dan ada yang buruk.
Setiap orang memiliki kesadaran moral tersebut, walaupun kadar kesadarannya berbeda-beda.
Pada saat-saat menjelang suatu tindakan etis, pada saat itu kata hati akan mengatakan
perbuatan itu baik atau buruk. Jika perbuatan itu baik, kata hati muncul sebagai suara yang
menyuruh dan jika perbuatan itu buruk, kata hati akan muncul sebagai suara yang melarang.
Kata hati yang muncul pada saat ini disebut prakata hati. Pada saat suatu tindakan dijalankan,
kata hati masih tetap bekerja, yakni menyuruh atau melarang. Sesudah suatu tindakan, maka
kata hati muncul sebagai “hakim” yang memberi vonis. Untuk perbuatan yang baik, kata hati
akan memuji, sehingga membuat orang merasa bangga dan bahagia. Namun, jika perbuatan
itu buruk atau jahat, maka kata hati akan menyalahkan, sehingga, orang merasa gelisah, malu,
putus asa, menyesal.

Suara hati secara ringkas dapat dirumuskan sebagai kesadaran manusia akan kewajiban
moralnya dalam situasi kongkrit atau penegasan tentang benar-salahnya suatu tindakan
manusia dalam situasi tertentu berdasarkan hukum moral. Sebagai suatu kesadaran, suara hati
mengandaikan adanya pertimbangan akalbudi, dan bukan sekedar ungkapan perasaan spontan
belaka. Kesadaran tersebut memang seringkali bersifat spontan, dalam arti munculnya tidak
dapat dikendalikan menurut kemauan seseorang dan merupakan suatu endapan kesadaran
akan nilai yang sudah dibatinkan sejak kecil. Kesadaran tersebut menegaskan apa yang
menjadi kewajiban moral (tindakan mana yang baik yang harus/wajib dilakukan dan mana
yang buruk yang harus/wajib dihindarkan) oleh seseorang dalam situasi kongkrit.Suara hati
menjadi pedoman atau pegangan moral manusia dalam situasi konkret saat ia harus
mengambil keputusan untuk bertindak. Setiap manusia mempunyai pengalaman tentang hati
nurani dan mungkin pengalaman itu merupakan perjumpaan paling jelas dengan moralitas
sebagai realitas. Sulit untuk menunjukkan pengalaman lain yang dengan begitu terus terang
menyingkapkan dimensi etis dalam hidup manusia. Karena itu, pengalaman tentang hati
nurani itu merupakan jalan masuk yang tepat untuk suatu studi mengenai etika.

B. FUNGSI HATI NURANI

Fungsi hati nurani bermanfaat juga berfungsi sebagai pegangan, pedoman, atau norma
untuk menilai suatu tindakan, apakah tindakan itu baik atau buruk.

a. Hati nurani berfungsi sebagai pegangan atau praturan-peraturan konkret di dalam


kehidupan sehari-hari dan menyadarkan manusia akan nilai dan harga dirinya.
b. Sikap kita terhadap hati nurani adalah menghormati setiap suara hati yang keluar dari
hati nurani kita.
c. Mendengarkan dengan cermat dan teliti setiap bisikan hati nurani.
d. Mempertimbangkan secara masak dan dengan pikiran sehat apa yang dikatakan hati
nurani.
e. Melaksanakan apa yang disuruh hati nurani.

C. CIRI KHAS HATI NURANI

Ciri khas dari suara hati nurani adalah ia tidak dapat ditawar dan hanya sepintas keluarnya
dengan atau tanpa disadari, ini berlaku mutlak. Mutlak di sini mempunyai arti ia tidak dapat
ditawar melalui pertimbangan-pertimbangan dalam bentuk apapun. Hal itu disebkan karena
suara hati nurani merupakan suara dari Maha Mutlak. Tempat berkumpulnya bagi mereka
yang hatinya bersih dan tak bernoda dan tempat mengingat Tuhan itulah Hati Nurani. Suara
hati adalah suara halus yang murni datang langsung dari kesadaran sang Hidup yang ada
dalam diri kita yang paling dalam yang bersih dan jujur, tanpa adanya pertimbangan dalam
memberikan jawaban. Suara hati ini tidak akan keluar jika hati nuranimanusia di isi dengan
rasa dendam dan kebencian yang terjalin baik secara vertikal dan horizontal.

D. FAKTA ADANYA SUARA HATI

Fakta adanya suara hati menjadi nyata dalam gejala munculnya kesadaran akan kewajiban
moral yang secara mutlak dan tidak dapat ditawar-tawar (istilah Kant “kategorisch”) dalam
diri seseorang berhadapan dengan situasi kongkrit tertentu yang menuntut pengambilan
sikapnya sebagai manusia. Suara hati dapat dikatakan menjadi pangkal otonomi manusia,
karena sebagai kesadaran langsung akan apa yang menjadi kewajibannya sebagai manusia
dalam situasi kongkrit, suara hati menegaskan kebebasan manusia, yakni kemampuannya
untuk menentukan diri lepas dari penentuan pihak luar. Seperti sudah dinyatakan dalam
pembicaraan tentang kebebasan dan kewajiban moral, manusia menghayati kebebasannya
secara mendalam justru dalam berhadapan dengan kewajiban moralnya, karena di situ ia
ditantang untuk memilih atau tidak memilih apa yang sesuai dengan tuntutan kodratnya
sendiri sebagai manusia, apa yang bernilai dalam dirinya sendiri. Dengan kata lain,
berhadapan dengan kewajiban moral manusia ditantang untuk menentukan dan mewujudkan
dirinya sebagai manusia.

Dalam proses menentukan dan mewujudkan diri itu, sebagai makhluk sosial, manusia
memang perlu mendengarkan dan memperhatikan suara atau pertimbangan orang lain di
sekitarnya, dan tidak dapat bertindak semaunya sendiri. Akan tetapi, akhirnya keputusan
terakhir terletak di tangannya, dan untuk pedoman pengambilan keputusan ini, apa yang
wajib dia ikuti adalah apa yang dinyatakan oleh suara hatinya sendiri sebagai kewajiban
moralnya saat itu. Apa yang disadari sebagai kewajiban moralnya saat itu atau apa yang
akhirnya ditegaskan oleh suara hatinya, dapat terjadi bahwa tidak sesuai atau bahkan
bertentangan dengan pendapat banyak orang di sekitarnya. Apa yang disadari sebagai
kewajiban moral dalam situasi kongkrit juga dapat berlawanan dorongan perasaan
spontannya sendiri. Dorongan perasaan spontan manusia biasanya lebih banyak digerakkan
oleh prinsip senang tidak senang, enak tidak enak, atau mana yang secara pribadi langsung
menguntungkan mana yang tidak. Penegasan suara hati yang mampu mengalahkan godaan
untuk sekedar ikut arus masa dan mengikuti dorongan spontan tersebut menampakkan
kebebasan manusia dari kungkungan nafsu-nafsunya sendiri. Karena penegasan suara hati
dapat terjadi juga bahwa bertentangan dengan perintah, larangan, atau pun kebiasaan yang
berlaku dalam masyarakat, dalam kejadian seperti itu justru semakin menjadi nyata bahwa
suara hati memang menjadi pangkal otonomi manusia.

E. KEKELIRUAN SUARA HATI

Meskipun tuntutan suara hati bersifat mutlak atau wajib diikuti, namun apa yang disadari
sebagai kewajiban moral oleh seseorang dalam situasi konkret yang ia hadapi itu dapat saja
keliru. Seperti sudah dikemukakan di depan, kendati karena sifat kemutlakan tuntutannya,
suara hati mengungkapkan sesuatu yang berasal dari Yang Mutlak sendiri, suara hati itu juga
merupakan ungkapan pemahaman dan kesadaran moral yang terbatas atau tidak sempurna
dari orang yang memilikinya. Suara hati sebagai ungkapan pemahaman dan kesadaran moral
manusia bukanlah sesuatu yang bersifat bawaan dan tidak berubah sama sekali dalam arus
perkembangan sejarah. Peka atau tajam tidaknya suara hati seseorang dan tepat tidaknya
dalam menilai situasi moral yang dihadapinya, cukup tergantung dari pemahaman dan
kesadaran moral orang yang memilikinya. Tingkat kedewasaan, latar belakang keluarga,
pendidikan, status sosial, dan budaya seseorang misalnya ikut mewarnai pemahaman dan
kesadaran moralnya. Suara hati seseorang, yang erat terkait dengan pemahaman dan
kesadaran moralnya, dipengaruhi dan dibentuk oleh lingkungan tempat ia lahir dan
dibesarkan.

Kenyataan adanya pengaruh lingkungan dalam pembentukan suara hati ini tidak berarti
bahwa suara hati itu tidak lain hanyalah sekedar cerminan saja dari pemahaman dan
kesadaran moral yang secara faktual ada dalam lingkungan sosial seseorang.Di atas sudah
dijelaskan bagaimana suara hati itu menjadi pangkal otonomi manusia, dan hal itu menjadi
samakin nyata justru pada saat suara hati mampu menegaskan apa yang secara moral wajib ia
laksanakan, kendati tidak sesuai atau bahkan bertentangan dengan perintah, larangan, dan
kebiasaan yang ada dalam masyarakatnya. Apa yang ditegaskan oleh suara hati merupakan
sesuatu yang sangat pribadi (tidak sama dengan melulu subjektif), tetapi sekaligus juga buah
pengaruh lingkungan yang telah melahirkan dan membentuk seseorang. Kekeliruan mengenai
isi kewajiban yang ditegaskan oleh suara hati dapat timbul. baik karena pemahaman dan
kesadaran moral yang diwarisi seseorang dari lingkungannya itu secara objektif memang
keliru, maupun karena ia keliru dalam mengerti apa yang dia warisi.

Selain karena pemahaman yang kurang atau tidak tepat, kekeliruan suara hati dalam
menegaskan apa yang menjadi kewajiban moral dalam situasi konkret juga dapat disebabkan
karena seseorang belum sepenuhnya bebas dari nafsu-nafsu yang menguasai
dirinya. Misalnya bagi orang yang sudah terlalu sering dan terus ketagihan untuk memuaskan
diri di tempat pelacuran, dapat terjadi bahwa lama kelamaan suara hatinya tidak merasa
terusik lagi, dan bahkan karena mekanisme pembenaran diri (rasionalisasi) ia dapat
menemukan alasan-alasan yang sepertinya dapat membenarkan perbuatannya. Demikian pula
kalau pemahamannya tentang moralitas melulu terbatas pada hal-hal yang menyangkut
seksualitas, suara hatinya bisa jadi tidak peka terhadap berbagai pelanggaran moral di luar
bidang seksualitas. Misalnya dalam hal ketidakadilan, ketidakjujuran, dsb.

F. KERAGUAN SUARA HATI

Kenyataan bahwa penegasan suara hati tentang apa yang secara konkret menjadi
kewajiban moral seseorang itu dapat keliru,dapat membuat orang mengalami keraguan
tentang mana sebenarnya yang menjadi kewajiban moralnya secara konkret. Karena orang
wajib mentaati apa yang ditegaskan oleh suara hatinya, bahkan juga kalau nantinya setelah
terlanjur dilakukan ternyata penegasan tersebut keliru, dalam keadaan ragu-ragu, kalau
keputusan masih dapat ditunda, dia pertama-tama wajib untuk mencari tambahan informasi
yang perlu untuk memperoleh kejelasan tentang situasi yang sedang dihadapinya. Untuk ini
sikap keterbukaan dan kerelaan untuk bertanya kepada mereka yang dirasa lebih kompeten
serta kesediaan untuk meningkatkan pengetahuan, pemahaman dan kemampuan menilai
dalam perkara-perkara moral perlu dimiliki.

Keraguan kadangkala sudah dapat diatasi dengan diperolehnya informasi yang


memperjelas dan membantu kita untuk secara lebih tepat menilai situasi. Namun kadangkala
keraguan tidak disebabkan oleh kurangnya informasi, tetapi karena sikap pribadi orangnya
yang memang peragu. Kalau ini penyebabnya, tentu saja usaha menambah informasi saja
tidak mencukupi. Bahkan tidak jarang terjadi bahwa bagi orang macam itu, tambahnya
informasi justru membuat dia semakin bingung. Sikap peragu, yang dapat dikatakan sebagai
salah satu kelemahan psikologis, cukup banyak menghinggapi orang yang kepercayaan dan
integritas pribadinya kurang, serta orang yang perfeksionis. Pendidikan suara hati, seperti
masih akan kita bicarakan lebih lanjut, tentunya perlu melibatkan pula usaha untuk mengatasi
sikap peragu tersebut.

G. CARA MEMBINA HATI NURANI

Ada beberapa cara yang dapat dilakukan oleh manusia dalam membina hati nurani, agar
dia bersuara sebagaimana mestinya. Adapun cara-caranya sebagai berikut:

1. Memberikan Pendidikan pada Hati Nurani

Pendidikan itu bersifat informal dimana anak dididik untuk bertindak sesuai dengan
moral yang berlaku di masyarakat. Pendidikan moral yang dilakukan sejak dini dalam
keluarga dibutuhkan untuk memberikan dasar ataupun gambaran bagi anak untuk bertindak
baik, sehingga sejak kecil hati nurani dapat membedakan perbuatan baik buruk.
Contoh: Pemberian didikan untuk tidak berbohong, diberikan sejak kecil agar anak mengerti
bahwa berbohong merupakan perbuatan yang tidak baik. Tanpa adanya didikan ini, anak
tidak akan mengetahui bahwa berbohong merupakan perbuatan yang buruk sehingga dia
melakukan tindakan berbohong tanpa ada rasa bersalah. Tidak adanya rasa bersalah atas
perbuatan yang buruk akan mengakibatkan tumpul dan matinya hati nurani.

2. Menerapkan Pengajaran

Agama memberikan ajaran moral serta prinsip-prinsip etis dalam kehidupan manusia.
Adanya ajaran ini memberikan kecakapan teoritis serta perintah lagsung atas suatu tindakan
yang hendak diambil.

Contoh: Ajaran agama meberikan kecakapan teoritis bahwa perbuatan mencuri dilarang oleh
ajaran agama, dengan demikian perintah langsung yang diberikan adalah “jangan mencuri”!.
Kecakapan teoritis ini memberi tahu hati nurani bahwa mencuri itu melanggar aturan agama,
sehingga hati nurani bertindak sebagai alat yang mendorong manusia untuk tidak melakukan
pencurian meskipun tidak ada orang lain yang mengetahuinya, karena di sini hati nurani juga
bertindak sebagai “saksi” atas perbuatan-perbuatan manusia.
3. Memberikan Filterasi terhadap Budaya

Sifat etiket yang relative dan bergantung pada budaya menuntut manusia untuk
melakukan filtrasi terhadap budaya asing yang hendak masuk dalam suatu lingkup
masyarakat agar budaya asing yang masuk tidak bertentangan dengan budaya local yang telah
ada.
Contoh: Filtrasi terhadap budaya sex bebas dibutuhkan untuk mencegah rusaknya moral
manusia serta budaya timur yang menganggap sex bebas sebagi hal yang tabu. Tanpa adanya
filtrasi budaya hati nurani akan menganggap sex bebas sebagai hal biasa dan dapat berakibat
pada disfungsi hati nurani dimana hati nurani tidak lagi memberikan teguran saat seseorang
bertindak demikian.

4. Menerapkan Tradisi

Moral manusia juga dipengaruhi oleh ajaran tradisi yang berlaku dalam keluarga maupun
masyarakat Karenanya dibutuhkan penerapan serta pemeliharaan tradisi yang baik bagi
perkembangan moral manusia.

Contoh: Tradisi membrikan salam bagi orang yang dihormati perlu dipelihara dalam
kehidupan keluarga dan masyarakat Tradisi yang diterapkan sejak dini akan menuntut
seseorang untuk melakukan tindakan ini, dan akan memberikan penyesalan apabila seseorang
tidak melakukannya Dorongan seta rasa penyesalan inilah yang diberikan oleh hati nurani
sebagai impact dari pemeliharaan tradisi yang dianggap baik oleh hati nurani.

5. Melakukan Pembelajaran Etis

Pengajaran yang diberikan oleh pakar bukanlah pengajaran moral melainkan pengajaran
etika, karena pembentukan moral telah selesai pada tahu-tahun pertama hidup kita. Meski
demikan pengajarn etika yang diberikan telah disesuaikan dengan moral masyarakat,
karenanya tetap dibutuhkan pembinaan terhadapnya.

Contoh: Pendidikan etika yang diberikan dalam perkuliahan dibutuhkan untuk mengetahui
apa yang seharusnya dilakukan dan tidak dilakukan. Pengetahuan ini kemudian dimiliki oleh
hati nurani dan dapat digunakan sebagai dasar penilaian dan pengmbilan keputusan agar
sesuai dengan etika dan moral masyarakat. Masih ada banak cara yang dapat dilakukan dalam
proses pembinaan hati nurani. Pengelolaan yang benar dan tepat dilakukan agar moral
manusia tetap terjaga. Pada akhirnya pembinaan hati nurani perlu dilakukan sepanjang hidup
manusia untuk menuntun langkah manusia menjadi lebih.

6. Memahami Kebudayaan Malu dan Kebudayaan Kebersalahan

Antropologi budaya membedakan dua macam kebudayaan shame culture (kebudayaan


malu) dan guilt culture (kebudayaan kebersalahan). Kebudayaan malu seluruhnya ditandai
oleh rasa malu dan di situ tidak dikenal rasa bersalah. Kebudayan kebersalahan terdapat rasa
bersalah. Shame culture adalah kebudayan dimana pengertian-pengertian seperti “hormat,
reputasi, nama baik, status, dan gengsi” sangat ditekankan. Bila orang melakukan suatu
kejahatan, hal itu tidak dianggap sesuatu yang buruk begitu saja, melainkan sesuatu yang
harus disembunyikan untuk orang lain Bukan perbuatan jahat itu sendiri yang dianggap
penting, tetapi yang penting adalah bahwa perbuatan jahat tidak akan diketahui, jika
perbuatan jahat diketahui, pelakunya menjadi “malu”. Dalam shame culture sanksinya datang
dari luar, yaitu apa yang dipikirkan atau dikataka oleh orang lain Dalam shame culture tidak
ada hati nurani. Guilt culture adalah kebudayaan dimana pengertian-pengertian seperti “sin”
(dosa), “guilt” (kebersalahan), dan sebagainya sangat dipentingkan. Sekalipun suatu
kesalahan tidak akan pernah diketahui oleh orang lain, namun si pelaku merasa bersalah juga.
Ia menyesal dan merasa tidak tenang karena perbuatan itu sendiri, bukan karena sicela atau
dikutuk orang lain. Jadi bukan karena tanggapan pihak luar, melainkan dari dalam, dari batin
orang bersangkutan. Dapat dimengerti bahwa dalam guilt culture semacam itu hati nurani
memegang peranan sangat penting.

7. Berlatih Mendengarkan Hati Nurani

Adakalanya hati nurani kita tutupi. Suara hati tidak akan keluar jika hati nurani dalam
keadaan kotor (tertutup oleh dosa) Dalam kadaan yang demikian yang keluar bukanlah suara
hati melainkan emosi. Akan tetapi melalui latihan dan pembuktian kita dapat membedakan
suara-suara yang berasal dari dalam diri kita. Latihan untuk mendengarkan suara hati dapat
dilakukan dengan cara menenangkan pikiran terlebih dahulu (tidak tergesa-gesa) dan
merasakan apa yang ada dalam benak kita yang paling dalam.

H. RASIONALITAS SUARA HATI

Di atas sudah dikemukakan bahwa sebagai suatu kesadaran moral manusia dalam situasi
konkret, suara hati mengandaikan adanya pertimbangan akalbudi, dan bukan sekedar
ungkapan perasaan spontan belaka. Benar-salahnya suara hati dalam menilai situasi secara
moral dan menegaskan keputusannya, merupakan suatu tindakan yang dapat
dipertanggungjawabkan secara rasional.Dengan pernyataan ini maka di sini ditolak
pandangan aliran pemikiran yang disebut Emotivisme Moral, yakni pandangan yang
berpendapat bahwa penilaian moral pada hakikatnya hanya merupakan masalah
perasaan (emotion) belaka; dan karena perasaan selalu bersifat subjektif, maka penilaian
moral juga tidak mungkin ditentukan benar-salahnya secara objektif.

Bagi kaum Emotivis seperti A. J. Ayer (sebagaimana terungkap dalam bukunya yang
berjudul Language, Truth, and Logic) misalnya, penilaian dan putusan moral kerap kali
berfungsi sebagai ungkapan perasaan pribadi si penilai dan pada hakikatnya tidak lebih dari
itu. Kalau seseorang menyatakan bahwa aborsi itu jahat, misalnya, ia tidak mengatakan apa-
apa mengenai benar-salahnya pernyataam tersebut, melainkan hanya mengungkapkan
perasaan pribadinya yang tidak senang terhadap aborsi atau tidak dapat
menyetujuinya. Sedangkan bagi C.L. Stevenson (dalam bukunya yang berjudul Ethics and
Language), penilaian dan putusan moral lebih mengungkapkan sikap (attitude) si pembicara
daripada keyakinannya (belief), lebih bersifat emotif daripada deskriptif.Penilaian moral
tidak bermaksud untuk menambah atau mengubah keyakinan orang yang diajak bicara atau
berkomunikasi, tetapi untuk mempengaruhi sikapnya atau membangkitkan perasaan tertentu
dalam dirinya. Pandangan kaum Emotivis tersebut mengumandangkan kembali pendapat
David Hume tentang cacat dan keutamaan, atau tentang kejahatan dan kebaikan yang
dinyatakan dalam bukunya Treatise of Human Nature. Dalam buku tersebut antara lain ia
mengemukakan gagasannya bahwa cacat dan keutamaan, kejahatan dan kebaikan bukanlah
sesuatu yang bersifat faktual (matters of fact) atau sesuatu yang adanya dapat dibuktikan
secara rasional, melainkan melulu suatu ungkapan atau pengobjekan (object-ivocation)
perasaan setuju atau tidak setuju, suatu perasaan yang timbul dalam diri kita sewaktu kita
secara spontan bereaksi terhadap suatu perbuatan.Ia menantang pembacanya untuk
memeriksa secara saksama apakah memang ada kenyataan objektif faktual dari kejahatan
dalam tindakan yang disebut jahat, seperti pembunuhan yang disengaja misalnya. Ia
berkeyakinan bahwa dari sudut mana saja kita memeriksa tindakan tersebut, yang kita
temukan hanyalah hasrat, motif, keinginan, dan pemikiran si pembunuh, dan tidak ada fakta
lain. Selama kita mengamati objek tindakannya dan bukan subjek atau pelaku tindakannya
sendiri, tak pernah akan kita temukan yang disebut kejahatan atau kebaikan. Bagi Hume,
seperti halnya kualitas sekunder pada benda-benda (y.i. warna, bau, rasa) tergantung pada
subjek pengamat, demikian pula jahat dan baik itu bukan suatu kualitas yang secara objektif
melekat pada tindakan-tindakan tertentu, melainkan suatu kualifikasi yang secara subjektif
dilekatkan pada jenis tindakan tertentu.

Pendapat kaum Emotivis pantas ditolak, karena dua alasan berikut: Pertama, seandainya
betul bahwa penilaian dan putusan moral itu hanyalah ungkapan perasaan belaka, maka tidak
masuk akal mengapa orang sering memperdebatkannya. Bukankah mengenai perasaan orang
kita tidak dapat memperdebatkannya? Bahwasanya tahu bacem manis dengan cabe rawit
yang masih segar itu terasa enak bagi saya, misalnya, tidak dapat dan tidak perlu orang
membantahnya. Kenyataan bahwa bagi orang lain makanan tersebut sama sekali tidak terasa
enak, itu mungkin memang pengalaman dia, tetapi tidak mengurangi kebenaran faktual
bahwa saya merasakannya sebagai enak. Mengenai hal ini ada ucapan klasik dalam bahasa
Latin yang berbunyi: de digustibus non est disputandum (mengenai selera tidak dapat
diperdebatkan).

Halnya amat berbeda misalnya kalau saya menyatakan bahwa tindakan menggugurkan
kandungan untuk menutupi aib keluarga secara moral tidak dapat dibenarkan. Pernyataan ini
tidak hanya sekedar mengungkapkan perasaan saya yang tidak menyetujui adanya
pengguguran yang disengaja, tetapi memang dapat ditegaskan benar-salahnya. Berhadapan
dengan pernyataan semacam itu orang merasa perlu untuk menegaskan pendapatnya, yakni
menyetujuinya sebagai pernyataan yang benar atau menolak dan membantahnya karena
dianggap salah. Demikianlah benar dan salahnya pernyataan tersebut bukan hanya masalah
perasaan atau bahkan selera orang. Orang biasanya dengan serius memperdebatkannya justru
karena benar-salahnya pernyataan tersebut dapat ditegaskan. Terhadap pernyataan moral
semacam itu orang tidak dapat acuh tak acuh saja, tetapi merasa ditantang untuk menegaskan
apakah pernyataan itu benar atau salah; kalau benar ia terima, sedangkan kalau salah ia
tolak. Meskipun kadang tidak begitu jelas mana yang sungguh benar dan mana yang sungguh
salah, namun orang meyakini bahwa salah satu pasti salah dan tidak dapat kedua-duanya
benar. Hal ini membuktikan bahwa penilaian moral tidak hanya menyangkut masalah
perasaan atau selera orang yang menilainya, tetapi ada sesuatu yang penting yang
dipertaruhkan, dan kepentingannya dapat dijelaskan secara rasional. Alasan kedua adalah
berkenaan dengan kekeliruan kaum Emotivis dalam mengerti konsep rasionalitas, objektivitas
kebenaran moral dan subjektivitas penilaian. Konsep rasionalitas yang melatarbelakangi
faham Emotivisme moral adalah rasionalitas ilmiah (scientific rationality), yakni pandangan
yang menyatakan bahwa hanya pernyataan yang dapat ditegaskan benar-salahnya secara
ilmiah merupakan pernyataan yang rasional. Hal ini menjadi nyata dalam konsepnya tentang
objektivitas kebenaran, yakni konsep yang menyatakan bahwa sesuatu itu objektif benar
hanya kalau kebenarannya dapat dibuktikan secara ilmiah, dan ilmiah di sini dimengerti
secara positivistik, yakni dapat diamati secara impersonal dan bebas-nilai. Konsep inilah
yang melatarbelakangi penolakan mereka terhadap objektivitas kebenaran moral. Pernyataan
moral bagi mereka hanyalah ungkapan perasaan, selalu hanya bersifat subjektif dan tidak
dapat ditegaskan benar-salahnya. Buktinya, menurut mereka, adalah bahwa dalam penilaian
moral orang tidak pernah sampai ke kesamaan pendapat.

Kenyataan bahwa dalam hal penilaian moral orang tidak mudah sampai ke kesamaan
pendapat, tidak membuktikan bahwa pernyataan moral itu memang hanya bersifat subjektif
dan tidak pernah dapat ditentukan benar-salahnya secara objektif. Konsep objektivitas
kebenaran kaum Emotivis terlalu sempit didasarkan atas argumentasi empirisme positivistik,
yakni atas dasar dapat tidaknya diuji kebenarannya berdasarkan pengamatan inderawi
sebagaimana dilakukan dalam fisika, kimia, biologi atau ilmu-ilmu kealaman. Tetapi dewasa
ini (Lih. misalnya apa yang dikemukakan oleh Thomas Kuhn dalam bukunya yang
terkenal The Structure of Scientific Revolutions) konsep objektivitas kebenaran atas dasar
argumentasi empirisme positivistik dalam dunia fisika dan ilmu-ilmu kealaman pada
umumnya pun sudah ditinggalkan, karena dipandang tidak memadai. Maka hal tersebut jauh
lebih tidak memadai lagi kalau dipakai untuk mengukur objektivitas kebenaran moral.

Halangan lain yang menyebabkan kaum Emotivis menolak rasionalitas pernyataan moral
atau kemungkinan adanya objektivitas kebenaran pernyataan moral, adalah kegagalan mereka
untuk memahami bahwa pengetahuan tidak dengan sendirinya melulu bersifat subjektif atau
tidak mengandung objektivitas kebenaran hanya karena tidak dapat dibuktikan kebenarannya
secara impersonal atau lepas samasekali dari keterlibatan subjek. Tidak ada pengetahuan,
bahkan termasuk pengetahuan yang diberikan oleh ilmu-ilmu kealaman, yang melulu bersifat
objektif dan impersonal atau samasekali lepas dari keterlibatan subjek. Setiap pengetahuan
selalu bersifat objektif-subjektif, artinya selalu merupakan hasil relasi dialektis antara subjek
yang menge-tahuinya dengan objek yang diketahui. Tidak setiap keterlibatan subjek dalam
proses mengetahui menghilangkan objektivitas kebe-naran pengetahuan yang diperolehnya.
Objektivitas perlu lebih dimengerti sebagai ciri pengetahuan dan pengalaman yang dapat
diuji kebenarannya secara intersubjektif dan bukan secara im-personal atau sama sekali lepas
dari keterlibatan subjek. Dalam hal moral, kalau suara hati dinyatakan sebagai memiliki
kebenaran objektif sebagai ciri rasionalitasnya, hal dapat diuji kebenarannya secara
intersubjektif berarti bahwa apa yang disadari sebagai kewajiban moral dalam situasi konkret
itu dapat dinyatakan sebagai suatu yang didasarkan atas prinsip yang berlaku umum. Ini tidak
berarti bahwa setiap orang senyatanyaakan menilai dan mengambil keputusan yang persis
sama, tetapi bahwa seharusnya setiap orang yang berada dalam situasi yang sama akan
sependapat dengan penilaian dan pengambilan keputusan tersebut. Dengan perkataan lain,
apa yang dalam suara hati disadari oleh seseorang sebagai kewajibannya, merupakan
kewajiban bagi siapa saja yang berada dalam situasi yang kurang lebih sama dengan situasi
tersebut.

I. HATI NURANI RETROSPEKTIF DAN HATI NURANI PROSPEKTIF

Hati Nurani dapat dibedakan dua bentuk, yaitu: hati nurani retrospektif dan prospektif. Untuk
memahami keduanya, akan dijelaskan beberapa contoh:

1. Seorang hakim telah menjatuhkan vonis dalam suatu perkara di pengadilan. Namun
karena ada tawaran sejumlah uang yang cukup banyak dari pihak terdakwa, si hakim
membebaskan terdakwa tidak bersalah. Dan dengan uang tersebut di hakim dapat
menyekolahkan anaknya ke luar negeri dan membeli rumah mewah yang selama ini
diidamkannya. Namun karena itu, dia tidak bahagia dan merasa bersalah. Dalam
batinnya selalu gelisah atas apa yang telah dilakukannya, walaupun yang lain tidak
mengetahuinya. Dia malu dan muak terhadap dirinya sendiri.
2. Thomas Grissom adalah seorang ahli fisika berkebangsaan Amerika Serikat. Selama
hampir 15 tahun dia bekerja penuh semangat dalam usaha pengembangan dan
pembangunan generator neutron. Sedemikian besar semangatnya sehingga dia
hampir-hampir lupa akan tujuan benda-benda yang dibuatnya itu, yaitu menggalakkan
dan menghasilkan senjata-senjata nuklir. Lama-kelamaan hati nuraninya mulai merasa
terganggu, khususnya setelah dia membaca dalam karya sejarahwan tersohor, Arnold
Toynbee, berjudul A Study of History, kalimat berikut ini; “Bila orang
mempersiapkan perang, sudah ada perang“. Baru pada saat itu dia menyadarinya. Dia
sedang memberikan bantuannya kepada suatu perang nuklir yang mampu
memusnahkan sebagian besar permukaan bumi. Padahal, seluruh kepribadiaannya
memberontak terhadap kemungkinan terjadinya hal serupa itu. Akhirnya Grissom
memutuskan tidak bekerja lagi untuk industri persenjataan nuklir itu. Dia menjadi
dosen pada Evergreen State College di Olympia, Washington. Gajinya hanya kira-kira
separuh dari 75.000 dolar yang diperolehnya di Labolatorium Nasional.
3. Dalam kisah Mahabharata (Bhagavad Gita) diceritakan tentang konflik batin yang
berlangsung dalam hati nurani. Dalam sebuah kereta berkuda Arjuna menuju ke
tempat pertempuran bersama Khrisna yang bertindak sebagai saisnya. Tapi setibanya
di tempat tujuan dia melihat sanak saudara, guru-guru, dan sahabat-sahabat di antara
tentara yang menjadi lawannya. Melihat keadaan itu, “rasa sedih dan putus asa
memenuhi hatinya”. Dia tidak tega berperang melawan kerabat dan orang-orang yang
akrab dengannya. “Saya tidak mau membunuuh mereka, sekalipun saya sendiri akan
dibunuh”. Busur saktinya terjatuh dari tangannya dan dia sendiri rebah dalam kereta,
hatinya dilimpahi keputusasaan dan kesedihan. Usaha Khrisna untuk membesarkan
hatinya tidak sedikit pun dapat mengubah sikapnya. “setelah mereka mati, masakan
kita ingin hidup lagi?”. Dan dengan ia putuskan: “Saya tidak akan berperang,
Khrisna”
Hati nurani retrospektif memberikan penilaian tentang perbuatan-perbuatan yang telah
berlangsung di masa lampau. Hati nurani ini seakan-akan menoleh ke belakang dan menilai
perbuatan-perbuatan yang sudah lalu. Ia menyatakan bahwa perbuatan yang telah dilakukan
itu baik atau tidak baik. Contoh kesatu, menyangkut hati nurani retrospektif. Hati nurani
dalam arti retrospektif menuduh atau mencela, bila perbuatannya jelek; dan sebaliknya,
memuji atau meberi rasa puas, bila perbuatannya dianggap baik. Jadi, hati nurani ini
merupakan semacam instansi kehakiman dalam batin manusia tentang perbuatan yang telah
dilakukannya.

Bila hati nurani menghukum dan menuduh dirinya, dia merasa gelisah dalam batin atau
seperti dikatakan dalam bahasa Inggris, a bad conscience. Sebaliknya, bila telah bertingkah
laku baik, a good conscience atau a clear conscience. Misalnya, bila saya tanpa pamrih telah
menyelamtakan seorang anak yang terjerumus dalam sungai, bahkan dengan mengambil
risiko untuk kehidupan saya sendiri, saya merasa puas. Bukan saja karena usaha yang penuh
resiko itu berhasil, melainkan juga karena telah saya lakukan yang harus saya lakukan. Saya
telah memenuhi kewajiban saya. Karena itu hati nurani saya dalam keadaan tenang dan puas.
Saya mengalami suatu kedamaian batin.

Hati nurani prospektif melihat ke masa depan dan menilai perbuatan-perbuatan manusia
yang akan datang. Hati nurani dalam arti ini mengajak manusia untuk melakukan sesuatu atau
seperti barangkali lebih banyak terjadi mengatakan “jangan” dan melarang untuk melakukan
sesuatu. Di sini pun rupanya aspek negative lebih mencolok. Dalam hati nurani prospektif ini
sebenarnya terkandung semacam ramalan. Ia menyatakan, hati nurani pasti akan
menghukumnya, andaikata melakukan perbuatan itu. Dalam arti ini hati nurani prospektif
menunjuk kepada hati nurani retrospektif yang akan datang, jika perbuatn menjadi kenyataan.
Contoh ketiga tentang Arjuna biarpun istilah “hati nurani” dalam Bhagavad tidak disebutkan
eksplisit menunjukkan hati nurani prospektif. Sedangkan contoh kedua tentang ahli fisika
Amerika memberikan semacam campuran antara hati nurani prospektif dan retrospektif.
Tadinya Grissom tidak pikirkan bahwa pekerjaannya sebenarnya immoral, tapi ketika dia
menyadari, dia merasa dihukum oleh hati nuraninya tentang pekerjaannya dan dia tidak tega
melanjutkannya. Pada saat dia menyadari, hati nurani menyangkut masa lampau maupun
masa depan.

J. PERANAN SUARA HATI

Ada tiga unsur yang memberikan norma-norma kepada manusia, yaitu: masyarakat,
superego, dan ideologi.

1. MasyarakaT

Lembaga yang pertama adalah masyarakat, yakni semua komponen yang ada dalam
masyarakat, yaitu individu, kelompok, lembaga, dan yang lainnya yang memberi
pengaruh pada hidup manusia. Contoh: orang tua, sekolah, tempat kerja, negara, dan
agama. Orang tua mengajarkan nilai-nilai dasar, seperti: apa yang boleh dan tidak boleh,
apa yang baik dan tidak baik, bagaimana cara bergaul dengan orang lain, dan nilai-nilai
penting lainnya bagi kehidupan. Sekolah mendidik dan mengajarkan tentang kedisiplinan,
kejujuran, ketekunan, dan sebagainya. Tempat kerja mengajarkan tentang kesetiaan,
ketaatan pada pimpinan, tanggung jawab, dan sebagainya. Negara menetapkan norma-
norma hukum dan peraturan yang perlu ditaati oleh warga negara, dan sebagainya.
Agama mengajarkan keimanan dan kepercayaan pada pemeluknya.
Di samping itu masih ada juga pihak lain (kelompok informal seperti: kelompok sebaya
dan teman-teman akrab) yang juga mengajarkan tentang bagaimana sebaiknya bersikap
dan bertindak dalam menjalani kehidupan. Jadi, masyarakat dengan berbagai lembaga
yang ada di dalamnya merupakan sumber orientasi moral pertama bagi manusia.

2. Superego

Superego adalah cabang moral atau cabang keadilan dari kepribadian. Superego lebih
mewakili alam ideal daripada alam nyata, dan superego itu menuju arah kesempurnaan
daripada kearah kenyataan atau kesenangan. Superego berkembang dari ego sebagai
akibat dari perpaduan yang dialami seorang anak dari ukuran-ukuran orang tuanya
mengenai apa yang baik dan salah, apa yang buruk dan bathil. Dengan memperpadukan
kewibawaan moral, anak itu mengganti kewibawaan mereka dengan kewibawaan
batinnya sendiri. Dengan menuangakan kekuasaan orang tuanya dalam batinnya, anak itu
dapat menguasai kelakuannya sesuai dengan keinginan mereka, dan dengan bertindak
sedemikian itu mendapat persetujuan dan mencegah kegusaran mereka. Dengan kata lain,
anak itu belajar, bahwa dia bukan saja harus tunduk kepada prinsip kenyatan untuk
mendapat kesenangan dan mencegah kesakitan, tetapi ia juga harus mencoba berkelakuan
sesuai dengan perintah-perintah moral dari orang tuanya. Masa yang agak panjang di
mana seorang anak bergantung kepada orang tuanya membantu pembentukan superego.
Superego adalah perasaan moral spontan. Superego menyatakan diri dalam wujud
perasaan malu dan bersalah yang muncul secara otomatis dalam diri manusia apabila
melanggar norma-norma yang diinternalisasikan ke dalam dirinya. Perasan-perasaan
tersebut tetap saja akan muncul meskipun tidak ada orang lain yang menyaksikan
pelanggaran yang kita lakukan.

3. Ideologi

Ideologi adalah segala macam ajaran tentang makna kehidupan, tentang nilai-nilai
dasar tentang bagaimana manusia hidup serta bertindak. Kekuatan ideology terletak pada
cengkeramannya terhadap hati dan akal kita. Merangkul sebuah ideology berarti meyakini
apa saja yang termuat di dalamnya dan bersedia untuk melaksanakannya. Ideologi
menuntut agar orang mengesampingkan penilaiannya sendiri dan bertindak sesuai dengan
ajaran ideology tersebut.

Selama manusia tidak mengalami atau mengahadapi masalah-masalah moral yang


rumit, manusia dengan sendirinya akan bertindak sesuai dengan nilai-nilai dan norma-
norma moral yang berlaku dalam masyarakat. Dalam hal ini manusia dibimbing oleh
superego. Namun bila berhadapan dengan persoalan moral yang kompleks, tiga lembaga
normative tersebut tidak akan dapat diandalkan lagi. Di sinilah tiga lembaga normative
menemukan batas wewenangnya. Manusia sendirilah yang akhirnya harus membentuk
penilaian moralnya: apakah sekedar mengikuti tuntutan tiga lembaga normative yang ada
atau justru memilih yang lain. Dalam situasi seperti inilah suara hati memunculkan diri.
Seperti: Suara hati merupakan kesadaran moral manusia dalam situasi konkrit. Di dalam
pusat kepribadian manusia, dia menyadari apa yang sebenarnya dituntut dari dirinya.
Meskipun ada banyak pihak yang menyatakan kepadanya tentang apa yang wajib
dilakukan, namun di dalam hati manusia sadar bahwa akhirnya hanya dirinyalah yang
tahu tentang apa yang sebaiknya dilakukan. Manusia berhak dan wajib untuk hidup sesuai
dengan apa yang disadari sebagai kewajiban dan tanggung jawab tersebut.
Bila secara jujur setuju dengan pendapat moral lingkungan, maka suara hati tidak akan
tampak menyolok. Tapi bila hati manusia tidak dapat menyetujui sikap yang diambil oleh
para panutan di sekitarnya, maka suara hati akan menyatakan diri secara tegas. Suara hati
akan menyatakan diri ketika tiga lembaga normative sudah tidak mampu lagi menjawab
yang memadai terhadap peroalan moral kompleks yang dialaminya.

Adapun Poedjawijanto berpendapat bahwa hati nurani memiliki beberapa peran dan
bertindak sebagai berikut:

1. Index atau petunjuk; memberi petunjuk tentang baik buruknya sesuatu tindakan
yang mungkin akan dilakukan seseorang.
2. Iudex atau hakim; sesudah tindakan dilakukan, kata hati menentukan baik
buruknya tindakan.
3. Vindex atau penghukum; jika ternyata itu buruk, maka dikatakan dengan tegas
dan berulangkali bahwa buruklah itu.

Sedangkan Notonogoro berpendapat bahwa hati nurani memiliki beberapa peran dan
bertindak sebagai berikut:

1. Sebelum; sebelum melakukan tindakan, hati nurani sudah memutuskan satu di antara
empat hal, yaitu memerintahkan, melarang, menganjurkan, dan atau membiarkan.
2. Sesudah; sesudah melakukan tindakan, bila bermoral diberi penghargaan, bila tidak
bermoral dicela, atau dihukum.

Suara hati mutlak perlu diikuti. Menurut Immanuel Kant, “Tuntutan suara hatui bersifat
mutlak”. Tuntutan moral itu berlaku mutlak atau absolute, tidak bersyarat. Jadi apa yang
sudah disadari melalui suara hati sebagai kewajiban, maka harus dilakukan. Kemutlakan
tuntutan suara hati ini tidak lantas berarti bahwa suara hati pasti benar. Suara hati itu berdasar
pada penilaian-penilaian manusia, padahal penilaian manusia itu tidak pernah pasti seratus
persen. Pengertian kita pada hakikatnya terbatas, sering kurang lengkap, kadang berat sebelah
atau salah. Bila pengertian kita memberi masukan yang salah kepada suara hati, maka suara
hati akan menuntut sikap secara objektif tidak tepat. Jelaslah bahwa yang mutlak dalam suara
hati adalah tuntutan untuk tidak pernah menyeleweng dari apa yang disadari sebagai
kewajiban. Tuntutan suara hati tidak dapat ditiadakan kembali oleh pertimbangan-
pertimbangan untung rugi, senang tidak senang, oleh pendapat orang lain, perintah berbagai
otoritas, dan tuntutuan ideology maupun perasaan kita sendiri. Suara hati menuntut untuk
selalu bertindak dengan baik, jujur, wajar dan adil, apa pun biayanya dan apa pun pendapat
lembaga-lembaga normative yang ada.

Manusia memang harus bertindak menurut keyakinan hatinya, tetapi itu tidak
membebaskan manusia dari kewajiban untuk mempertanggungjawabkan mengapa sampai
pada keyakinan tersebut. Suara hati merupakan fakta bahwa manusia berkeyakinan demikian,
tetapi tidak menjelaskan mengapa berkeyakinan demikian itu. Memepertanggung jawabkan
suara hati berarti bahwa manusia menjelaskan mengapa dalam hatinya berpendapat
(berkeyakinan) demikian.

Bagaimana bila suara hati manusia ragu-ragu? Meskipun masih ragu-ragu bila
pengambilan keputusan tidak dapat ditunda lagi, maka dia hendaknya berani untuk
mengambil keputusan. Kalau memang tetap tidak jelas mana yang lebih baik dan mana yang
lebih merugikan (secara moral), maka dia bebas untuk memilih salah satu di antara
kemungkinan yang tersedia. Namun dia perlu menyadari sepenuhnya bahwa ada
kemungkinan keputusan tersebut kurang baik. Dalam waktu bersamaan dia juga siap sedia
untuk mengambil tindakan perbaikan bila ternyata keputusan tersebut membawa akibat
negative (buruk).

K. PERAN HATI NURANI DALAM ETIKA

Setiap manusia diciptakan untuk memiliki hati nurani. Oleh sebab itu setiap orang pasti
memiliki hati nurani. Akan tetapi apakah hati nurani itu masih ada dan dapat bekerja sesuai
dengan kebutuhan, itu yang berbeda dari setiap orang. Tentu saja hati nurani antara satu
orang dengan yang lainnya berbeda-beda. Orang sering merasa bimbang saat menghadapi
situasi dan kadang pula terjadi konflik dalam memutuskan segala sesuatu. di satu sisi hatinya
berkata iya, di satu sisi lainnya berkata tidak. Di situlah peran suara hati diperlukan. Hati
nurani dapat membantu dalam mengambil keputusan. hati nurani yang masih luhur, pasti
akan memutuskan hal yang tentunya baik bagi dirinya sendiri dan bagi orang lain.
Dimana pun kita berada selalu ada aturan yang berlaku. Baik itu dalam keluarga, sekolah,
masyarakat, negara, dan setiap tempat pasti ada peraturannya masing-masing. Aturan itu
dibuat memang untuk mengatur segala tindakan yang kita lakukan agar tercipta suatu kondisi
yang tertib dan aman. Karena apabila tidak ada aturan, orang akan cenderung bertindak
seenaknya sendiri dan tidak memperhatikan lingkungan sekitarnya. Bagaimana kita dapat
mengetahui apakah perbuatan kita sudah sesuai dengan aturan itu? Jawabannya tentu dengan
menanyakan pada hati nurani kita. Hati nurani akan merasa bersalah dan tidak nyaman
apabila apa yang kita lakukan sudah melanggar aturan.

Dalam kondisi tertentu manusia kadang dihadapkan pada suatu pilhan yang tentunya
harus ia jalani. Pilihan itu pun kadang lebih dari satu dan tidak jarang pula ada yang
bertentangan dengan aturan yang berlaku. Pilihan mana yang akan dipilih itu tergantung kata
hati nurani mana yang lebih kuat. Namun, apabila kita melakukan suatu perbuatan yang
bertentangan dengan aturan tetapi itu demi kebaikan bersama, apakah itu salah? Pertanyaan
seperti itu sering muncul atau bahkan beberapa diantara kita sudah mengalaminya. Masalah
salah atau tidak itu tergantung dari sudut mana kita menilainya. Hati nurani pasti merasa
bersalah kalau yang kita lakukan itu memang melanggar aturan. Saat mengambil keputusan,
tanyalah pada hati nurani yang paling dalam. Jangan sampai kita melakukan tindakan yang
bertentangan dengan hati nurani. Banyak kasus orang menyesal di kemudian hari setelah
melakukan perbuatan yang bertentangan dengan kata hatinya dan perbuatan itu pun
melanggar aturan yang ada. Oleh sebab itu, jangan mengabaikan apa kata hati kita dan
ajgalah hati nurani kita agar tetap luhur, artinya dapat membedakan mana yang baik dan
mana yang buruk.

Lalu bagaimana peran hati nurani, terutama dalam etika kerja? Dan apakah hati nurani
diperlukan dalam menciptakan suatu kondisi kerja yang berpegang pada etika atau norma?
Pertanyaan itulah yang akan dibahas juga dalam blog kali ini. Jika seseorang ingin bekerja
dengan baik dan profesional, tentu etika dan norma kerja serta hati tentu tidak dapat
dipisahkan satu dengan yang lainnya. Peraturan kerja telah ditentukan oleh pihak manajemen
dan etika kerja tentu tidak lepas dari aturan-aturan yang telah dibuat tersebut. Apabila ada
yang menyimpang atau melanggar aturan tersebut, hati lah yang menjadi control terakhir. Di
situlah hati diperlukan untuk menilai apakah perbuatan yang dilakukannya itu sudah sesuai
dengan aturan, dan jika tidak sesuai dengan aturan apakah perbuatannya itu perlu diperbaiki
atau tidak.

Seorang pekerja yang baik seharusnya selalu menaati peraturan yang berlaku di tempat
kerjanya. Seorang pekerja juga akan dituntut untuk selalu melakukan pekerjaan atau tugasnya
dengan baik serta tidak melanggar aturan yang ada. Oleh karena itu, seorang pekerja perlu
memiliki hati nurani yang peka terhadap lingkungan sekitar, terutam terhadap autran yang
telah ditetapkan. Tanyakan pada hati nurani apabila akan melakukan suatu pekerjaan, apakah
perbuatan itu sudah sesuai dengan aturan yang berlaku atau justru sebaliknya perbuatan itu
melanggar aturan. Jika hati nurani bekerja dengan baik dan selalu mengarahkan kita ke
perbuatan yang sesuai dengan aturan, niscaya kita akan berhasil. Orang yang bekerja dengan
hati dan orang yang bekerja tanpa hari, tentu berbeda jauh. Orang yang bekerja dengan hari,
akan melakukan pekerjaannya dengan senang dan hasilnya juga akan maksimal. Selain itu,
apa yang dikerjakannya selalu menaati aturan yang ada. Berbeda dengan orang yang
bekerjanya tanpa menggunakan hati. Dia akan bekerja seenaknya sendiri dan dengan
terpaksa. Ia cendrung juga untuk melanggar aturan yang ada. Dengan demikian, hasil
kerjanya tentu kurang memuaskan. Sehingga hati nurani juga berperan dalam menentukan
hasil kerja seseorang. Kinerja seseorang juga dapat didukung oleh adanya hati nurani. Jadi,
bekerjalah dengan memegang teguh pada aturan dan selalu mendengarkan suara hati nurani
kita.
DAFTAR PUSTAKA

K. Bertens, Etika , Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 2007

Mufid, Muhamad. 2009. Etika dan Filsafat Komunikasi. Jakarta. Kencana Prenada
Media Group.

Suriasumantri, Jujun S. 2007. Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer. Jakarta.


Pustaka Sinar Harapan

http://yusup-doank.blogspot.co.id/2011/05/hati-nurani.html

Anda mungkin juga menyukai