Anda di halaman 1dari 78

Pokok2 Pembahasan

Pengertian Suara Hati


Suara Hati Menurut Kitab suci dan Ajaran Gereja
Cara Kerja Suara Hati
Kekeliruan Suara Hati
Peran Suara Hati
Cara Membina Suara Hati
Sarana Pembinaan Suara Hati
Pengertian Suara Hati
KBBI: Suara hati adlh kata hati
Hati Nurani berarti hati yg telah mendpt cahaya Tuhan
atau perasaan hati yg murni dan yg sedalam-dlmnya
Secara etimologis suara hati yg dlm bahasa latin disebut
conscientia, dri kata conscire, berrti "mengetahui
bersama" atau "turut mengetahui" (Sudarminta
2013,64)
Secara harafiah, suara hati adlh 'suara' yg
berasal dri kedlman hati atau pusat
kedirian seseorang dan yg menegaskan
benar-salahnya suatu tindakan atau baik-
buruknya suatu kelakuan tertentu
berdasarkan suatu prinsip atau norma
moral (Sudarminta, 2013, 63)
Apa perbedaan suara hati dan hati nurani?
Thomas Aquinas (lahir 1225-1274)
Menurut Aquinas, manusia sudah selalu memiliki
perasaan dalam hatinya tentang apa yang baik dan
apa yang buruk.
Ia membedakan antara hati nurani dan suara hati.
Menurutnya, hati nurani adalah pengetahuan
intuitif tentang prinsip-prinsip moral (etis).
Sedangkan suara hati adalah penerapan prinsip-
prinsip moral pada kasus konkret.
Hati nurani berasal langsung dari Allah dan
tidak dapat keliru. (Magnis-suseno, 1997: 91)
Mengapa demikian? Sebab, pada dasarnya hati
nurani adalah baik. Allah pada dasarnya adalah
baik, ia menciptakan segala sesuatu di bumi ini
baik adanya.
Dengan demikian, Allah sering diberi gelar
sebagai Maha Baik atau sering juga dikatakan
sebagai Sang Baik, bahkan juga sebagai yang
Maha Kuasa. Sebab, apa yang dilakukannya
selalu baik adanya.
Realitas yang baik atau kenyataan yang
bernilai hanya berasal dari Allah, sehingga di
dalam hati nurani, manusia sudah selalu
turut merasakan kehadiran realitas Sang
Baik itu. Dengan kata lain, manusia sudah
selalu berjumpa dengan realitas Sang Baik
dalam hati nuraninya. Hati nurani tidak
dapat keliru, sebab hati nurani sendiri sudah
selalu berasal langsung dari Sang Baik/Maha
Kuasa. (Magnis-suseno, 1997: 91)
Apabila manusia masuk ke dalam situasi
keputusan konkret/nyata, di mana ia
harus memilih antara yang baik dan yang
buruk, hati nurani menjadi suara hati
yang mengatakan tentang apa yang wajib
ia lakukan. Suara hati dapat keliru
apabila manusia berlaku melawan suara
hatinya.
Apa yang terjadi jika orang mengikuti
suara hatinya? Orang yang mengikuti
suara hati berarti ia mengambil
sikap/keputusan karena itu
disadarinya sebagai baik. Misalnya,
menolak permintaan untuk
memfitnah seseorang bukan karena ia
takut ketahuan, melainkan karena
memfitnah itu pada dasarnya jahat.
Dengan demikian, suara hati tidak mesti
selalu benar. Suara hati sudah selalu
mengikutsertakan penilaian terhadap suatu
situasi. Jadi, kegiatan nalar dan nalar dapat
keliru. Tarikan Yang Baik dapat saja tidak
diikuti.
Walaupun manusia menyerah terhadap
tarikan ego: emosi, nafsu, kepentingan, rasa
benci dan sebagainya, namun manusia tidak
dapat lari dari tarikan Yang Baik itu. Karena
sudah selalu ada dan menjadi dasar.
(Magnis-suseno, 2014: 7)
Dalam sebuah kereta berkuda, Ajuna berangkat
menuju ke tempat pertempuran bersama Krisna
yang bertindak sebagai pengendalinya. Tapi
setibanya di tempat tujuan, ia melihat sanak
saudara, guru-guru dan sahabat-sahabat di
antara tentara yang menjadi lawannya.
Melihat keadaan itu, "rasa sedih dan putus asa
memenuhi hatinya." Ia tidak tega berperang
melawan kerabat dan orang yang akrab
dengannya. “Saya tidak mau membunuh
mereka, sekalipun saya sendiri akan dibunuh."
Busur saktinya terjatuh dari tangannya
dan ia sendiri rebah dalam kereta,
hatinya dilimpahi keputusaasaan dan
kesedihan. Usaha Krisna untuk
membesarkan hatinya tidak sedikit pun
dapat mengubah sikapnya. “Setelah
mereka mati, masa kita ingin hidup lagi?“
Dan dengan tegas ia putuskan: "Saya
tidak akan berperang, Krisna." (Bertens,
2013: 40)
Suara Hati Menurut Kitab
Suci
Dalam kitab perjanjian lama dengan jelas menyatakan
pentingnya suara hati dengan menyatakan bahwa
Allah mencari dan mengutamakan hati manusia.
Selain hal tersebut, perjanjian lama juga menekankan
kesatuan antara suara hati dengan apa yang disebut
hati pada kitab Amsal 3:3. Selain itu, saya juga
mengambil perikop dari perjanjian baru yaitu pada
Kisah Para Rasul 24:16 dimana Paulus menyatakan
“sebab itu aku senantiasa berusaha hidup dengan hati
nurani yang murni di hadapan Allah dan manusia.”
Pada perikop ini, Paulus
menyampaikan prinsip hidup serta
pewartaannya atau kesadaran
moralnya. Menurut Paulus, kesadaran
moralnya adalah Allah yang melalui
Yesus Kristus memerdekakan dia
untuk hidup dan berbuat sesuai hati
nuraninya. Hati nurani yang murni
menurut Paulus adalah karunia Roh
atau rahmat.
Suara Hati
dlam
Katekism
us Gereja
katolik
a. Pengertian Suara Hati/Hati Nurani
• KGK 1778
• Hati nurani adalah keputusan akal budi, di mana
manusia mengerti apakah satu perbuatan konkret
yang ia rencanakan, sedang laksanakan, atau sudah
laksanakan, baik atau buruk secara moral. Dalam
segala sesuatu yang ia katakan atau lakukan,
manusia berkewajiban mengikuti dengan seksama
apa yang ia tahu, bahwa itu benar dan tepat. Oleh
keputusan hati nurani manusia mendengar dan
mengenal penetapan hukum ilahi.
b. Hati Nurani adlh Hukum yg diberikan oleh Allah kpd
Manusia
• GK 1776 “Di lubuk hati nuraninya manusia
menemukan hukum, yang tidak diterimanya dari
dirinya sendiri, tetapi harus ditaatinya. Suara hati itu
selalu menyerukan kepadanya untuk mencintai dan
melaksanakan apa yang baik, dan untuk menghindari
apa yang jahat. Bilamana perlu, suara itu
menggemakan dalam lubuk hatinya: jauhkanlah ini,
elakkanlah itu. Sebab dalam hatinya manusia
menemukan hukum yang ditulis oleh Allah.
Martabatnya ialah mematuhi hukum itu,… Hati nurani
ialah inti manusia yang paling rahasia, sanggar
sucinya; di situ ia seorang diri bersama Allah, yang
sapaan-Nya menggema dalam batinnya” (Gaudium et
Spes 16)
c. Gunanya Hati Nurani adalah memimpin manusia untuk
berbuat baik dan menghindari perbuatan jahat.
KGK art. 1777 Di dalam lubuk hati seseorang bekerjalah hati
nurani (Bdk. Rm 2:14-16). Pada waktu tertentu ia memberi
perintah untuk melakukan yang baik dan mengelakkan yang
jahat. Ia juga menilai keputusan konkret, di mana ia menyetujui
yang baik dan menolak yang jahat (Bdk. Rm 1:32). la memberi
kesaksian tentang kebenaran alam hubungan dengan kebaikan
tertinggi, yaitu Allah, oleh siapa manusia ditarik, dan hukum-
hukum Siapa manusia terima. Kalau Ia mendengar Hati
Nuraninya, manusia yang bijaksana dapat mendengar suara
Allah, yang berbicara di dalamnya.
4) Prinsip utamanya
Apa yang kamu ingin agar orang lain berbuat kepadamu,
perbuatlah demikian juga kepada mereka. (Mat 7:12)
KGK art. 1789 Dalam segala hal berlaku peraturan-
peraturan berikut: Tidak pernah diperbolehkan
melakukan hal yang jahat, supaya hal yang baik dapat
tinmbul darinya. "Kaidah emas": "'segala sesuatu yang
kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu,
berbuatlah demikian juga kepada mereka" (Mat 7:12).
Cinta kasih Kristen selalu meng- hargai sesama dan Hati
Nuraninya. "Jika engkau berdosa terhadap saudara-
saudaramu... dan melukai Hati Nurani mereka yang
lemah engkau pada hakikatnya berdosa terhadap Kristus"
(1 Kor 8:12). Tidak baik? melakukan sesuatu yang
menjadi batu sandungan bagi saudaramu" (Rm 14:21).
5 Agar dapat mendengarkan hati nurani, kita harus
mengenal hati sendiri dan rajin memeriksa batin.
KGK art. 1779 Supaya dapat mendengarkan dan
mengikuti suara hati nurani, orang harus mengenal
hatinya sendiri. Upaya mencari kehidupan batin
menjadi lebih penting lagi, karena kehidupan sering
kali mengalihkan perhatian kita dari setiap
pertimbangan, dari pemeriksaan diri atau dari
introspeksi. "Masuklah ke dalam hati nuranimu dan
tanyakanlah dia!.. Masuklah ke dalam batinmu
saudara-saudara! Dan di dalam segala sesuatu yang
kamu 1lakukan, berusahalah agar Allah adalah
saksimu" (Agustinus, ep. Jo. 8,9).
Suara Hati menurut Gaudium et Spes
artikel 16
"Di lubuk hatinya manusia menemukan hukum, yang
tidak di terimanya dari dirinya sendiri, melainkan harus
ditaatinya. Suara hati Itu selalu menyerukan kepadanya
untuk mencintai dan melaksanakan apa yang baik, dan
untuk menghindari apa yang jahat. Jika diperlukan,
Suara itu menggema dalam lubuk hatinya: jalankanlah
ini, elakkanlah itu. Sebab dalam hatinya, manusia
menemukan hukum yang ditulis oleh Allah.
Martabatnya ialah mematuhi hukum itu, dan menurut
hukum itu pula ia akan diadili. Hati nurani ialah inti
manusia yang paling rahasia, sanggar sucinya; di situ ia
seorang diri bersama Allah, yang sapaan-Nya menggema
dalam batinnya. Berkat hati nurani dikenallah secara
ajaib hukum, yang dilaksanakan dalam cinta kasih
terhadap Allah dan terhadap sesama.
Atas kesetiaan terhadap hati nurani umat kristiani
bergabung dengan sesama lainnya untuk mencari
kebenaran, dan untuk dalam kebenaran itu memecahkan
sekian banyak persoalan moral, yang timbul baik dalam
hidup perorangan maupun dalam hidup kemasyarakatan.
Oleh karena itu, semakin besar pengaruh hati nurani yang
cermat, semakin jauh pula pribadi-pribadi maupun
kelompok-kelompok menghindar dari kemauan yang
membabi-buta, dan semakin mereka berusaha untuk
mematuhi norma-norma kesusilaan yang objektif. Akan
tetapi tidak jaranglah terjadi bahwa hati nurani tersesat
karena ketidaktahuan yang tak teratasi, tanpa kehilangan
martabatnya. Tetapi itu tidak dapat dikatakan tentang
orang, yang tidak peduli untuk mencari apa yang benar
serta baik, dan karena kebiasaan berdosa hati nuraninya
lambat laun hampir menjadi buta" (GS art. 16).
3. Cara Kerja Suara Hati
Suara hati membantu manusia dalam
menentukan keputusan atau tindakan yang
diambilnya (Aman, 2016: 88). Karena Suara
Hati adalah keputusan akal budi untuk
melakukan sesuatu dalam situasi konkret,
suara hati memiliki cara kerja tertentu,
yakni:
a. Dari segi waktu
Dalam hati manusia, sebelum ia bertindak atau berbuat
sesuatu, ia sudah mempunyai suatu kesadaran atau
pengetahuan umum bahwa ada yang baik dan ada yang
buruk. Setiap orang memiliki kesadaran moral tersebut,
walaupun kadar kesadarannya berbeda-beda. Pada saat
itu suara hati akan mengatakan perbuatan itu baik atau
buruk. Jika perbuatan itu baik, suara hati muncul sebagai
suara yang menyuruh. Namun, jika perbuatan itu buruk,
Suara Hati akan muncul sebagai suara yang melarang.
Suara hati yang muncul pada saat ini disebut indeks
(petunjuk). Pada saat suatu tindakan dijalankan, Suara Hati
masih tetap bekerja, yakni menyuruh atau melarang/iudex
(hakim).
Sesudah suatu tindakan atau perbuatan, maka
Suara Hati muncul sebagai "hakim" yang memberi
vonis/vindex (penghukum). Untuk perbuatan yang
baik, kata hati akan memuji, sehingga membuat
orang merasa bangga dan bahagia. Namun, jika
perbuatan itu buruk atau jahat maka Suara Hati
akan mencela/menyalahkan, sehingga orang
merasa gelisah, malu, menyesal, putus asa, dan
sebagainya. Demikianlah, suara hati muncul
sebagai indeks (petunjuk), kemudian sebagai iudex
(hakim) dan sekaligus vindex (penghukum).
b. Suara hati dan norma
Bila suara hati dikaitkan dengan norma yang harus ditaati,
maka suara hati dapat dibedakan (Aman, 2016: 89):
- Suara hati benar
Secara objektif sejalan dengan norma. Misalnya, perintah
ke-8 dekalog berbunyi, "Jangan berdusta!" Suara hati saya
yakin bahwa kapan dan di mana pun saya tidak boleh
berdusta.
- Suara Hati yang salah
Secara objektif tidak sejalan dengan norma yang ada
karena suara hati memutuskan sesuatu yang salah.
4. Kekeliruan Suara Hati
Suara Hati sebagai ungkapan pemahaman dan
kesadaran moral manusia bukanlah sesuatu yang
bersifat bawaan dan tidak berubah sama sekali
(Sudarminta, 2013: 69). Peka atau tidaknya Suara
Hati seseorang dan tepat tidaknya dalam menilai
situasi moral yang dihadapinya tergantung dari
pemahaman dan kesadaran moral yang memilikinya.
Tingkat kedewasaan, latar belakang keluarga,
pendidikan, status sosial dan budaya seseorang ikut
mewarnai pemahaman dan kesadaran moralnya
Karena itu, meskipun tuntutan Suara Hati
bersifat mutlak atau wajib diikuti, namun apa
yang disadari sebagai kewajiban moral oleh
seseorang dalam situasi konkret yang ia hadapi
itu bisa keliru. Walaupun karena sifat kemutlakan
tuntutannya, suara hati mengungkapkan sesuatu
yang berasal dari Yang Mutlak sendiri, suara hati
juga merupakan ungkapan pemahaman dan
kesadaran moral yang terbatas atau tidak
sempurna dari orang yang memilikinya
(Sudarminta, 2013: 69).
Apa yang ditegaskan oleh Suara Hati merupakan sesuatu
yang sangat pribadi tetapi sekaligus juga buah pengaruh
lingkungan yang melahirkan dan membentuk seseorang.
Hal itu disebabkan, baik oleh pemahaman dan Kesadaran
Moral yang diwarisi seseorang dari lingkungannya itu keliru
maupun karena ia keliru memahami apa yang diwarisi
(Sudarminta, 2013: 70). Selain itu, kekeliruan Suara Hati
juga karena seseorang belum bebas dari nafsu-nafsu yang
menguasai dirinya. Misalnya, seseorang yang terlalu sering
dan ketagihan memuaskan diri di tempat pelacuran, dapat
terjadi bahwa lama-kelamaan suara hatinya tidak merasa
terusik lagi. Bahkan, ia bisa membela dirinya atau
membenarkan dirinya dengan pelbagai alasan.
Dalam Gereja, pembahasan tentang Suara Hati yang bisa
salah atau keliru ini juga mendapatkan perhatian serius.
Manusia pun dapat merusak suara hatinya dengan banyak
cara dan karena pelbagai alasan (Peter Aman, 2016. 95).
Menurut KGK art. 1792, penyebab-penyebabnya adalah
sebagai berikut (Peter Aman: 2016, 95):
-Ketidaktahuan akan kebenaran, yakni Kristus dan injil-Nya.
-Teladan buruk orang lain
-Menjadi budak nafsu.
-Salah memahami otonomi Suara Hati.
-Menolak otoritas Gereja dan ajarannya.
-Tidak bertobat dan kekurangan kasih.
Kekeliruan suara hati ini juga dijelaskan dalam KGK art. 1790-
1794.
-Manusia selalu harus mengikuti keputusan yang pasti dari
Hati Nuraninya. Kalau ia dengan sengaja bertindak
melawannya, ia menghukum diri sendiri. Tetapi dapat juga
terjadi bahwa karena ketidaktahuan, suara hati membuat
keputusan yang keliru mengenai tindakan yang orang
rencanakan atau sudah lakukan (KGK art. 1790).
-Sering kali manusia yang bersangkutan itu sendiri turut
menyebabkan ketidaktahuan ini, karena ia "tidak peduli
untuk mencari apa yang benar serta baik, dan karena
kebiasaan berdosa hati nuraninya lambat laun hampir
menjadi buta" (GS art. 16). Dalam hal ini ia bertanggung
jawab atas yang jahat, yang ia lakukan (KGK art. 1791).
- Ketidaktahuan mengenai Kristus dan Injil-Nya, contoh
hidup yang buruk dari orang lain, perbudakan oleh nafsu,
tuntutan atas otonomi hati nurani yang disalah artikan,
penolakan otoritas Gereja dan ajarannya, kurang rela untuk
bertobat dan untuk hidup dalam cinta kasih Kristen, dapat
merupakan alasan untuk membuat keputusan salah dalam
tingkah laku moral (KGK art. 1792).
-Sebaliknya, kalau ketidaktahuan itu tidak dapat diatasi
atau kalau yang bersangkutan tidak bertanggung jawab
atas keputusan yang salah, maka perbuatannya yang buruk
tidak dapat dibebankan kepadanya. Walaupun demikian,
hal itu tetap, tinggal sesuatu yang jahat, satu kekurangan,
satu gangguan. Karena alasan ini, maka kita harus
berikhtiar supaya menghilangkan kekeliruan Hati Nurani
(KGK art. 1793).
- Hati nurani yang baik dan murni diterangi oleh
iman yang benar, karena cinta kasih Kristen timbul
sekaligus "dari hati yang suci, dari Hati Nurani yang
murni dan iman yang tulus ikhlas" (1 Tim 1:5)(KGK
art. 1794).
Oleh karena itu, semakin besar pengaruh hati
nurani yang cermat, semakin jauh pula pribadi-
pribadi maupun kelompok-kelompok menghindar
dari kemauan yang membabi-buta, dan semakin
mereka berusaha untuk mematuhi norma-norma
kesusilaan yang objektif" (GS art. 16).
5. Apakah Suara Hati adalah Suara Tuhan?
Sifat kemutlakan suara hati mendorong orang untuk
menyebut suara hati sebagai suara Tuhan. Akan tetapi,
anggapan ini perlu dimengerti secara kritis
(Sudarminta, 2013: 68). Kemutlakan memang berasal
dari Yang Mutlak dan menunjuk pada realitas Tuhan
sebagai Yang Mutlak. Menurut John Henry Newman,
kesadaran akan kewajiban yang bersifat mutlak itu
merupakan jalan yang paling tepat untuk menegaskan
adanya Tuhan. Akan tetapi, suara hati tidak identik
dengan Suara Tuhan (Sudarminta, 2013: 69).
Mengapa?
Karena sebagai ungkapan pemahaman dan
Kesadaran Moral dalam situasi konkret sebagai
manusia yang terbatas, suara hati dapat keliru.
Padahal Tuhan tidak mungkin keliru! Suara Hati
tetap merupakan ungkapan pemahaman dan
kesadaran moral yang terbatas dari yang manusia
yang memilikinya. Yang mutlak adalah
tuntutannya untuk melakukan apa yang
disadarinya sebagai kewajiban moral dalam
situasi konkret, dan bukan bahwa isi kewajiban itu
mutlak benar (Sudarminta, 2013: 69).
6. Peran Suara Hati dan Hati Nurani
Berdasarkan cara kerja Suara Hati yang telah diulas di
atas, kita dapat menyimpulkan fungsi atau peran Suara
Hati. Suara Hati berfungsi sebagai pedoman atau
pegangan untuk menilai apakah suatu perbuatan itu
baik atau buruk secara moral. Suara Hati mendorong
manusia melakukan yang baik dan mengelakkan yang
jahat. Suara hati membantu manusia untuk mengambil
keputusan untuk bertindak dalam situasi konkret (Peter
Aman, 2016: 88). Keputusan yang diambil adalah
keputusan yang baik, yakni sejalan dengan norma atau
aturan yang berlaku.
Menurut Kieser sebagaimana dikutip oleh
(Dapiyanta, 2014: 17-18), fungsi hati nurani
adalah kesadaran akan yang baik dan tidak baik,
akan apa yang harus dilakukan (keputusan akan
nilai), pengambilan keputusan untuk bertindak,
dan pengadilan (keputusan) akan tindakan yang
dilakukan apakah benar atau salah.
Sebagai sebuah kesadaran, Hati Nurani
memberikan informasi tentang perbuatan baik dan
tidak baik dalam situasi konkret (Dapiyanta, 2014:
18). Informasi tersebut selanjutnya menjadi
pertimbangan akan apa yang harus dilakukan. Hati
Nurani berfungsi sebagai pertimbangan mengapa
seseorang melakukan tindakan tertentu dan bukan
tindakan yang lain. Dengan kesadaran dan
pertimbangan itu memungkinkan subjek untuk
dapat bertanggung jawab, khususnya mampu
menjawab mengapa ia melakukan perbuatan
tertentu.
Dengan pertimbangan hati nurani, subjek mampu
memilih, memutuskan hal yang harus dilakukan
(Dapiyanta, 2014: 18). Memilih berarti
berkehendak. Berkehendak menunjukkan bahwa
seseorang bebas menentukan. Dengan kehendak
bebas itu, Hati Nurani memungkinkan orang untuk
mengambil tanggung jawab khususnya kesiapan
menanggung risiko dari tindakannya. Jadi Hati
Nurani sangat berhubungan dengan kemampuan
seseorang mengambil tanggung jawab atas
tindakannya.
Hati nurani juga berfungsi sebagai pengambil
keputusan atas tindakan yang sudah
dilakukan (Dapiyanta, 2014: 18). Tindakan
seseorang dapat menyimpang dari hati
nurani. Setelah orang bertindak Hati Nurani
mengambil peranan menjadi pengadil apakah
tindakan seseorang sesuai atau
bertentangan. Jika tindakan seseorang sesuai
degan Hati Nurani, suara hati akan
memberikan pujian, peneguhan yang berupa
ketenangan batin.
Manusia bermartabat luhur justru karena ia
memiliki Hati Nurani. Dan keluhuran itu
terwujud manakala ia menaati keputusan Hati
Nurani. Dalam ketaatan terhadap keputusan
hati nurani itulah letak martabat manusia.
"Menurut Hati Nurani itu pula ia akan diadili",
sebagaimana dinyatakan dalam artikel
Gaudium et Spes art. 16, "Martabatnya ialah
mematuhi hukum itu, dan menurut hukum itu
pula ia akan diadili."
Fungsi atau peran suara hati atau hati nurani di atas
sejalan dengan apa yang ditegaskan oleh Gereja
sebagaimana tercatat dalam KGK berikut ini.
"Di dalam lubuk hati seseorang bekerjalah hati nurani
(Bdk. Rm 2:14-16). Pada waktu tertentu iia memberi
perintah untuk melakukan yang baik dan mengelakkan
yang jahat. Ia juga menilai keputusan konkret, di mana ia
menyetujui yang baik dan menolak yang jahat (Bdk. Rm
1:32). la memberi kesaksian tentang kebenaran dalam
hubungan dengan kebaikan tertinggi, yaitu Allah, oleh
siapa manusia ditarik, dan hukum-hukum Siapa manusia
terima. Kalau ia mendengar hati nuraninya, manusia yang
bijaksana dapat mendengar suara Allah, yang berbicara di
dalamnya (KGK 1777)."
7. Cara Membina Suara Hati
Berhubung suara hati bisa keliru, maka kita perlu
membina Suara Hati. Pembinaan suara hati adalah
usaha sadar untuk memperoleh, memperdaia dan
mengembangkan pemahaman, penilaian dan sikap
moral sehingga dalam menegaskan apa yang
menjadi kewajiban moral dalam situasi konkret,
suara hati kita semakin tepat atau sesuai dengan
norma moral (Sudarminta, 2013: 72). Pendidikan ini
akan melibatkan dimensi pengetahuan (kognitif),
kepekaan hat (afektif), kehendak (konatif) dan
pembiasaan berbuat baik.
kepekaan hat (afektif), kehendak (konatif) dan
pembiasaan berbuat baik.
Dalam dimensi kognitif, pembinaan suara hati akan
melibatkan usaha untuk bersedia terus-menerus belajar
guna meningkatkan pengetahuan dan pengertian moral
(Sudarminta, 2013: 72). Dalam hal ini, keterbukaan hati
untuk menerima macam-macam pertimbangan moral
yang berkembang dan kerendahan hati untuk terus
bertanya kepada mereka yang lebilh kompeten atau
yang berpengalaman sangat diperlukan. Ketika
pengetahuan semakin luas dan dalam, maka kekeliruan
dalam mengambil keputusan moral bisa dihindari.
Dalam dimensi afektif, pembinaan suara hati bermaksud
menumbuhkan cita rasa moral atau kepekaan hati
terhadap apa yang memang baik atau secara objektif
bernilai, apa yang pantas dicita-citakan dalam hidup dan
apa yang jahat atau apa yang perlu dihindarkan
(Sudarminta, 2013: 72). Dalam hal ini, pengalaman
menyaksikan sendiri bahwa nilai-nilai dan sikap moral yang
pantas dicita-citakan dihidupi oleh figur-figur tertentu
sangat membantu kita. Dengan demikian, keteladanan
sangat penting dalam pembinaan dalam dimensi afektif ini.
Kematangan dalam dimensi ini ditandai dengan
bertumbuhnya rasa cinta akan kebaikan dan hati tergerak
untuk selalu melakukan yang baik (Sudarminta, 2013: 73).
Dalam dimensi kehendak (konatif), pembinaan suara hati
berarti membangun kehendak atau tekad moral
(Sudarminta, 2013: 73). Orang yang kehendaknya tidak
kuat mudah jatuh dalam godaan untuk tidak melaksanakan
apa yang secara kognitif (pengetahuan) dipahami dan
bahkan diyakininya benar. Seseorang yang tahu bahwa
sesuatu itu baik dan benar belum tentu ia wujudkan dalam
tindakan. Orang bisa jatuh ke dalam kelemahan kehendak
yang oleh Aristoteles disebut akrasia (Sudarminta, 2013:
73). Dengan demikian, orang yang tidak melatih
kehendaknya, bisa saja kepekaan dan ketepatan penilaian
suara hatinya dibengkokkan oleh nafsu dan dorongan
perasaanya yang tidak teratur.
Beraskese atau mati raga adalah salah satu
upaya untuk melatih kehendak yang kuat
(Sudarminta, 2013: 74). Melalui upaya mati raga
(askese), seseorang Derjuang menguasai dirinya
dan tidak membiarkan dirinya ditentukan oleh
dorongan perasaarn spontan (misalnya, suka
tidak suka, marah, benci, enak tidak enak). Jadi,
orang perlu berjuang melakukan hal-hal yang
baik, walau itu tidak enak atau tidak disukai.
Upaya ini menumbuhkan tekad moral untuk
terus melakukan yang baik.
Dalam dimensi pembiasaan berbuat baik,
dimensi kognitif, afeksi dan konatif dipadukan
(Sudarminta, 2013: 74). Keputusan suara hati
yang tepat (tidak keliru) terjadi berkat
pembiasaan memahami dan melakukan apa
yang baik. Pembentukan tekad moral yang
kuat hanya akan berhasil berkat latihan dan
pembiasaan melakukan yang baik. Dalam
upaya ini, sikap kritis tetap perlu
dikembangkan agar hanya yang baik yang
terus dilakukan.
Menurut Peter Aman, pembinaan suara hati tidak
identik dengan pengajaran akan hukum-hukum
atau norma-norma, sebaliknya merupakan suatu
proses penyadaran yang mesti terjadi pada setiap
orang. Orang harus sadar akan kondisi individual
kehidupannya; sadar akan pandangan-pandangan
yang telah diinternalisasikannya; sadar akan
kepentingan-kepentingan pribadi dan kelompok;
sadar akan kondisi-kondisi sosial yang juga turut
berperan dalam pengambilan keputusan (Aman,
2016: 84).
Pembinaan suara hati harus mengarah kepada tanggung jawab
dan fungs kritis. Fungsi kritis Suara Hati dapat terungkap
dalam menjawab pertanyaan refleksif, seperti, apakah
keputusan yang diambil atau direncanakan selaras dengan
makna hidup yang diyakini dan selaras dengan tugas hidup
serta cita-cita yang merupakan penjabaran makna hidup
tersebut? Fungsi krits juga mengarahkan tindakan manusia
agar selaras dengan keyakinan umum yang hidup dan
berkembang dalam masyarakat, juga melakukan peran kritis
terhadap keyakinan umum tersebut (Aman, 2016: 85). Dengan
fungsi kritisnya Suara Hati memperlihatkan aspek tanggung
jawabnya yakni mendorong orang untuk tetap kritis dan berani
memperjuangkan nilai-nilai dasariah demi kebaikan manusia
secara keseluruhan.
Bagaimanakah Suara Hati dibentuk secara praktis?
Yang jelas bahwa manusia tidak lahir dengan
kelengkapan pengetahuan tentang yang baik dan
jahat. Nilai-nilai tersebut diperoleh melalui
pendidikan dan dibentuk oleh akal budi serta dibantu
dengan refleksi atas iman kristiani. Yang terutama
ditawarkan oleh iman kristiani adalah makna hidup.
Iman kristiani mengajarkan bahwa Allah
menghendaki dan melaksanakan karya keselamatan
dengan menjalinrelasi dengan manusia dan hidup
bersama manusia sehingga manusia menjadl partner
Allah menuju kepenuhan keselamatan eskatologis
(Aman, 2016: 85).
Dengan demikian, martabat manusia
dimuliakan sehingga manusia dari diri
sendirinya (Suara Hati) bertindak dan
bersikap sesuai martabatnya dan bahwa
pusat dan ukuran segala sesuatu bukan lagi
dirinya sendiri tetapi Allah. Ukuran
kesempurnaan seorang beriman kristiani
bukan urusan duniawi, tetapi ilahi,
"Haruslah kamu sempurna, sama seperti
Bapamu yang di surga adalah sempurna"
(Mat. 5:48).
8. Sarana-sarana Pembinaan Suara Hati
Peter Aman meringkas beberapa bentuk sarana pembinaan
suara hati seturut ajaran Gereja Katolik sebagai berikut
(Aman, 2016: 86-88):
a. Pendidikan Moral
Seorang anak lebih mudah menginternalisasi ajaran dan
nilai-nilai moral yang diajarkan oleh orang tua dan gurunya.
Orang yang sudah dewasa perlu menaruh perhatian pada
ajaran moral yang diberikan Magisterium Gereja. Amatlah
penting untuk membentuk Suara Hati selaras dengan
ajaran Magisterium. Gereja memiliki kepenuhan kebenaran
dan seorang akan berdosa dan menanggung risiko bila dia
mengabaikan kebenaran.
Kebenaran di sini pertama-tama mengacu
kepada pribadi Yesus Kristus, yang adalah
jalan, kebenaran dan kehidupan (bdk. Yoh.
14:6). Pengenalan akan pribadi Yesus
merupakan inti dari pendidikan Moral
Kristiani, karena di dalam Dia makna sejati
dan kepenuhan hidup manusia tercapai. Ini
berarti bahwa landasan dan kekuatan
nurani kristiani terdapat dalam iman akan
Kristus Yesus.
b. Pengetahuan Kehidupan dan Ajaran Kristiani
Suara Hati yang benar akan menata kriteria moralnya
sesuai dengan warisan dan corak kehidupan moral
kristiani yang diterimanya melalui Kitab Suci, Tradisi
dan Magisterium."Namun, kaum beriman kristiarni
dalam membentuk suara hati mereka wajib
mengindahkan dengan saksama Ajaran Gereja yang
suci dan pasti. Sebab atas kehendak Kristus, Gereja
Katolik adalah Guru Kebenaran." Ajaran Gereja
membantu orang beriman memahami pokok-pokok
yang berhubungan dengan hidup berdasarkan iman.
Suara Hati perlu dididik dan dibina oleh ajaran Gereja
(magisterium).
c. Doa dan Meditasi
Mengingat kebenaran-kebenaran Moral
Kristiani bersumber pada Yesus Kristus, maka
upaya pencarian kebenaran moral tidak dapat
mengabaikan relasi dengan Yesus Kristus
melalui olah rohani, seperti doa dan meditasi.
Intensitas relasi dengan Yesus Kristus dalam
doa dan mendengarkan sabda-Nya membantu
umat beriman mencapai dan memperoleh
kebenaran (bdk. Yoh. 8:32; Veritatis Splendor
64).
Doa dan meditasi membantu suara hati untuk
semakin peka dan berani dalam menegaskan
pilihan yang tepat. "Dihadapkan kepada suatu
keputusan moral, hati nurani dapat mengambil
keputusan yang tepat, yang sesuai dengan akal
budi dan dengan hukum ilahi, ataupun suatu
keputusan yang salah yang bertentangan dengan
kedua-duanya" (KGK art. 1799). Kebenaran
keputusan suara hati akan teruji dalam praksis
hidup dan relasi, khususnya relasi dengan Allah
dan sesama.
d. Latihan Pribadi (Pembiasaan)
Penting menaati Suara Hati untuk mengarahkan
kebebasan kepada kebenaran dan kebaikan.
Membiasakan diri mendengarkan suara hati akan
membentuk diri manusia. Diri manusia terbentuk
oleh kebiasaan untuk selalu memilih melakukan
yang baik. Kebiasaan akan terbentuk jika terjadi
internalisasi nilai-nilai moral. Sebagaimana suatu
kebenaran teruji oleh oleh kajian dan evaluasi
rasional, demikian juga kebenaran moral dapat
tercapai dengan pengujian Suara Hati secara serius.
Setelah menjadi kebiasaan maka pengujian
keputusan suara hati selalu mesti dilakukan.
Sarana (medium) praktis dari pengujian suara
hati itu adalah Sakramen Tobat. Dalam
kehidupan moral (Suara Hati) praktik
pengakuan dosa dapat dilihat sebagai ujian
dari latihan pembinaan Suara Hati. Dengan
demikian. kebiasaan hidup dapat merupakan
suatu dinamika yang mengembangkan dan
menguatkan komitmen pada nilai-nilai moral.
e. Bimbingan Rohani
Suara hati dpat mengambil keputusan moral
objektif jikalau berdialog dengan orang lain,
yang membantu dia mengatasi kecerobohan
dan keragu-raguan. Sebagaimana seorang
murid akan maju dalam bidang pengetahuan
dengan konsultasi serta pendampingan
gurunya, demikian juga seseorang dapat
mencapai keyakinan mantap dan kematangan
dalam perilaku moral berkat peranan seorang
pembimbing rohani.
Suara hati itu dibentuk oleh pengetahuan
yang kita dapat, sehingga pendidikan
Suara hati merupakan tugas seumur
hidup. Sabda Tuhan merupakan terang
yang memberntuk Suara Hati, yang harus
kita terapkan dalam hidup kita dalam
iman dan doa, oleh bimbingan Roh Kudus,
dibantu oleh kesaksian ataupun nasihat
orang lain dan juga oleh pengajaran
Gereja.
Pengertian dan Sejarah Dasa Firman
"Dasa Firman" adalah terjemahan dari Dekalog yang secara harfiah berarti
"Sepuluh Firman" dan sering kita kenal sebagai Sepuluh Perintah Allah (Kel.
34:28; Ul. 4:13; 10: 4) atau 10 Hukum Allah (KGK art. 2056). Dasa Firman
ditemukan dalam Kel. 20:1-17 dan Ul. 5:6-21.
Kesepuluh firman itu diwahyukan oleh Allah kepada umat-Nya di
Gunung Sinai. Dasa Firman juga disebut sebagai ringkasan hukum Taurat yang
diberikan oleh Allah kepada umat Israel dalam konteks Perjanjian, dan Musa
menjadi perantara (KKGK, 2013: 149). Berbeda dengan perintah-perintah lain
yang dicatat oleh Musa, Dasa Firman ditulis oleh "Jari Allah" (Kel 31:18). Teks
Dasa Firman yang dipakai oleh Gereja lebih singkat bila dibandingkan dengan
rumusan yang terdapat dalam Kitab Suci. Rumusan dan urutan yang dipakai di
dalam Gereja berasal dari Santo Agustinus (Iman Katolik, 1996: 29).
Dasa Firman ini ditulis Tuhan pada dua loh batu (Ul. 5:22, 9:10, bdk. Kel.
24:12).
Meski perintah-perintah ini mengungkapkan kehendak
Allah. Akan tetapi, perintah-perintah ini juga ditulis oleh
manusia,sebagaimana seluruh Kitab Suci. Walau ditulis
oleh manusia, umat Israel sangat yakin bahwa di dalamnya
terungkap kehendak Tuhan yang menghendaki umat-Nya
tetap hidup dan setia kepada-Nya. Harus disadari pula
bahwa Dasa Firman ini ditempatkan dalam kerangka
perjanjian Israel ddengan Tuhan. Hal itu berarti Dasa
Firman bukanlah sembarang peraturan melainkan
ungkapan Sikap moral umat Israel sebagai umat Allah
(Iman Katolik, 1996: 29). Ini bukan hanya peraturan sosial
atau hukum kenegaraan, tetapi rumusan singkat sikap dan
tugas umat Allah. Hal ini berarti juga bahwa Dasa Firman
itu lebih merupakan ajakan moral daripada ketetapan
hukum.
Dasa Firman juga menunjuk pada bidang-bidang kehidupan yang di
dalamnya umat Allah bertindak menurut keyakinan iman dengan bidang-
bidang kehidupan keyakinan yang iman dengan memperhatikan
kepentingan manusia. Karena berkaitan dengan iman, maka Dasa Firman
lebih merupakan sabda Tuhan yang menyapa orang berhubungan dengan
kewajiban hidupnya, bukan perintah atau peraturan konkret. Dasa Firman
adalah wahyu Allah, yang mengarahkan manusia pada kebahagiaan sejati
(KWI, 1996: 30). Dengan demikian, Dasa Firman bukan norma hukum atau
dasar pengadilan. Yang menjadi dasar Dasa Firman adalah tindakan
penyelamatan yang dilakukan oleh Tuhan sendiri: "Akulah Yahwe, Allahmu
yang telah membawa engkau keluar dari tanah Mesir, dari tempat
perbudakan" (Kel. 21:2 atau Ul. 5:6). Keprihatinan dan kerahiman Tuhan
demi kemerdekaan menjadi pegangan kehidupan manusia yang paling
dasariah dan sikap Tuhan menjadi pedoman utama semua usaha manusia:
membawa sesama keluar dari tempat perbudakan menuju kebebasan
anak-anak Allah (Rom 8:21). Jadi, di dalam Dasa Firman terkandung
pengalaman akan Yahweh dan komitmen kesetiaan timbal-balik antara
Yahweh dengan umat Israel (Aman, 2016: 208). Dasa Firman hanya dapat
efektif dalam kerangka perjanjian, kasih setia Tuhan dan iman umat Israel.
2. Pembagian dan Isi Dasa Firman
Pada umumnya Dasa Firman dibagi menjadi dua
bagian. Firman 1, 2 dan 3jadikan satu kelompok
sedangkan firman ke 4 sampai 10 dijadikan satu
kelompok lagi. Firman 1 sampai 3 menyangkut
hubungan manusia degan Allah, sedangkan firman
4 sampai 10 menyangkut hubungan manusia
dengan sesamanya (KWI, 1996: 31). Akan tetapi,
kedua bagian ini tak terpisahkan. Hubungan
dengan sesama manusia juga diterntukan oleh
sikap manusa terhadap Allah. Dengan kata lain,
cinta kepada Allah tidak bisa dipisahkan dengan
cinta kepada sesama.
Jangan nmenyembah berhala, berbaktilah kepada-Ku saja, dan cintailah Aku
lebih dari segala Sesuatu!
Allah mengharapkan kita mempersembahkan kepada Nya iman yang teguh dan
menempatkan seluruh harapan kita kepada-Nya serta mengarahkan kekuatan
cinta kita kepada- Nya. Perintah untuk mengasihi Allah merupakan perintah
terpenting dan menjadi kunci bagi perintah perintah yang lain Kita menyembah
Allah karena la ada dan karena hormat dan sembah adalah tanggapan yang
tepat bagi kehadiran-Nya
Menyembah Allah bermanlaat bagi manusia karena membebaskan manusia dari
perbudakan kuasa-kuasa dunia.
Perintah pertama ini melarang kita:
1) Menyembah Allah lain atau dewa kafir atau beribadah pada berhala duniawi
atau mengikat diri secara total pada hal-hal duniawi (uang, kuasa, kesuksesan,
keindahan, dan lain-lain)
2) Percaya takhayul, menyembah kuasa gaib, dan sihir.
3) Menggusarkan Allah melalui perkataan dan perbuatan
4) Mendapatkan kekuatan spiritual melalui cara-cara yang tidak benar dan
melecehkan hal-hal kudus dengan menjualbelikannya (praktik simoni) (KGK,
2110-2128, 2138-2140)
b.Jangan menyebut nama Tuhan Allahmu dengan tidak hormat!
Nama Allah tidak boleh diucapkan dengan tidak hormat. Kita
mengenal Allah karena la membuka dan mempercayakan diri-Nya
kepada kita. Nama Yang Kudus adalah kunci menuju hati Allah.
Dengan demikian, dosa berat jika menghujat nama Allah, mengutuk
dengan menggunakan nama Allah atau membuat janji palsu dalam
nama-Nya.
c. Kuduskanlah hari Tuhan!
Pada hari Sabat, orang-orang Israel beristirahat dan hanya
menyembah Yahwe. Ini tanda peringatan akan perjanjian Allah,
Pencipta dan Penebus (bdk. KGK art 2168-2172). Sabat juga
mengingatkan umat Israel akan hari ke-7 dalam penciptaan saat
Allah "berhenti dan beristirahat" (Kel. 31 1). Selain itu, hari Sabat
juga mengingatkan umat Israel akan Perjanjian Agung kedua, yaitu
pembebasan Israel dari perbudakan Mesir: "sebab haruslah kau
ingat bahwa engkau pun dahulu budak di tanah Mesir...(UI 5,15).
Dengan demikian, Sabat adalah pesta pembebasan manusia.
d. Hormatilah ibu-bapamu!
Perintah keempat merujuk pada orang tua jasmani dan juga kepada
orang-orang tempat kita menggantungkan hidup, keberadaan kita,
keamanan dan iman kita (KGK 2196-2200, 2247, 2248). Kewajiban
kita kepada orang tua, rasa terima kasih dan hormat juga harus
mengarahkan hubungan kita dengan orang-orang yang membimbing
dan hadir bagi kita (misalnya, orang tua asuh, pendidik, pemimpin).
Kita harus memberikan keadilan kepada mereka dengan menghargai
dan menghormati mereka.
e. Jangan membunuh!
Allah adalah Tuhan atas hidup dan mati. Kecuali dalam konteks
mempertahankan diri secara sah, tak seorang pun boleh membunuh
orang lain (KGK art. 2258-2262, 2318-2320). Penyerangan atas
kehidupan adalah penistaan yang bertentangan dengan
kehendakAllah. Hidup manusia itu kudus artinya hidup manusia itu
dimiliki oleh Allah. Dengan demikian, hanya Allah sendiri yang berhak
atas hidup manusia.
f. Jangan berzina!
Zina adalah pengkhianatan terhadap dasar kasih, pelanggaran atas
perjanjian yang dibuat di hadapan Allah dan ketidakadilan terhadap
sesama. Yesus sendiri secara tegas menyatakan ikatan seumur
hidup perkawinan: "karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah,
tidak boleh diceraikan oleh manusia" (Mrk. 10:9).
g. Jangan mencuri!
Perintah ketujuh menuntut hormat terhadap pembagian dan
tujuan universal barang-barang dan hak milik pribadi terhadap
barang-barang itu, sebagaimana juga hormat terhadap pribadi, hak
milik, dan integritas ciptaan (KKGK, 2009: 166). Gereja juga
menemukan dalam perintah ini, dasar untuk ajaran sosial yang
meliputi cara yang benar untuk bertindak dalam kehidupan
ekonomi, sosial, dan politik, hak dan kewajiban pekerja, keadilan
dan solidaritas di antara bangsa-bangsa, dan cinta kasih kepada
orang-orang miskin.
Perintah ketujuh terutama melarang pencurian, yaitu
mengambil atau memakai milik orang lain yang
berlawanan dengan kehendak masuk akal dari
pemiliknya (KKGK, 2009: 167). Hal ini bisa juga terjadi
dalam bentuk pembayaran upah yang tidak adil,
berspekulasi tentang nilai barang-barang untuk
mendapatkan keuntungan dengan akibat kerugian bagi
orang lain, atau dengan penipuan dalam bentuk cek
atau nota pembayaran. Hal-hal yang juga dilarang ialah
penghindaran pajak, bisnis penipuan, perusakan
barang milik pribadi atau umum yang disengaja dan
disadari, riba, korupsi penyalahgunaan barang-barang
milik umum untuk kepentingan pribadi, dengan sengaja
bekerja dengan buruk dan pemborosan.
h. Jangan mengucapkan saksi dusta tentang sesamamu!
Setiap orang dipanggil untuk kejujuran dan kebenaran, baik dalam
perbuatan maupun perkataan. Setiap orang mempunyai kewajiban untuk
mencari kebenaran, menganutnya dan mengatur seluruh hidupnya sesuai
dengan tuntutannya (KKGK, 2009: 170). Dalam Yesus Kristus, seluruh
kebenaran Allah sudah dinyatakan. Dia adalah "kebenaran". Mereka yang
mengikuti-Nya hidup dalam Roh kebenaran dan dilindungi terhadap hati
yang mendua, kepura-puraan dan kemunafikan.
Perintah kedelapan melarang:
Kesaksian palsu, sumpah palsu, dan dusta, berat atau ringannya
diukur dari kebenaran yang diingkari, situasi, intensi yang dimiliki,
dan kerusakan yang diderita oleh korbannya.
Penilaian yang terburu-buru, menjelekkan nama, dan fitnah yang
merusak nama baik yang dimiliki seseorang yang menjadi haknya.
Merayu, membujuk, atau bermanis bibir khususnya jika diarahkan
kepada dosa yang serius atau untuk mendapatkan keuntungan tertentu
yang tidak halal.
i. Jangan mengingini istri sesamamu!
Perintah kesembilan menuntut seseorang mengatasi
hawa nafsu seksual dalam pikiran dan keinginan (KKGK,
2009: 172). Perjuangan melawan hawa nafsu tersebut
menyebabkan pemurnian hati dan melatih keutamaan
pengendalian diri. Perintah kesembilan melarang untuk
berpikir dan berkeinginan sehubungan dengan tindakan
yang dilarang oleh perintah keenam.
Dalam perjuangan melawan keinginan tak teratur, dengan
rahmat Allah, orang yang sudah dibaptis mampu
mencapai kemurnian hati melalui keutamaan dan
anugerah kemurnian, maksud yang jujur, cara melihat
yang jujur baik lahir maupun batin, penguasaan imajinasi
dan perasaan, dan melalui doa.
j. Jangan menginginkan milik (barang) sesamamu secara tidak adil!
Perintah ini, yang melengkapi perintah sebelumnya, menuntut sikap
batin hormat terhadap hak milik orang lain dan melarang
ketamakan, keinginan tak terkendali atas milik orang lain, dan iri
hati yang menjadi kesedihan yang dialami oleh seseorang jika
memandang barang orang lain dan keinginan tak terkendali untuk
mendapatkannya bagi dirinya sendiri (KKGK, 2009: 173).
Yesus menuntut para murid Nya untuk menempatkan Dia di atas
apapun dan siapapun. Melepaskan diri kekayaan dan penyerahan
diri kepada penyelenggaraan ilahi membebaskan kita dari
kecemasan akan masa depan dan mempersiapkan kita untuk
rahmat kemiskinan "di hadapan Allah karena merekalah yang
empunya Kerajaan Surga (Mat. 5:3).
3. Peran dasa Firman dalam moral kristiani
Dekalog diajarkan turun temurun kepada umat beriman
Sebagian besar umat beriman menghafal bunyi atau isi dekalog
Hal ini menunjukan bahwa dekalog berperan penting dlalam
ajaran Gereja dan menjadi pegangan umat beriman dalam
menjalani hidupnya.
Pengutamaan Allah dlm hidup beriman mesti menjadi landasan
kokoh bagi perilaku moral. Sehingga perilaku moral menjadi
perwujudan iman.
Dalam PB Yesus tdk hanya menyinggung dekalog tetapi juga
memperluas maknanya.
Dasa firman tetap hidup dan diteruskan dlm iman kristiani ttpi
otoritasnya tidak lagi terkait dgn pribadi Musa, melainkan YESUS
Kristus yg menyempurnakan dan memberikan pemahaman serta
pemaknaan sejati tentang Dasa firman.
Yesus meringkas seluruh perintah dan aturan Taurat dan
Para Nabi dalam perintah utama, yakni kasih kepada Allah
dan sesama (bdk. Mat. 22:38; Mrk. 12:29). Sebagaimana
Dasa Firman mengatur relasi yang baik dan benar dengan
Allah dan sesama, demikian pula perintah utama
mengantar relasi manusia dengan Allah dan sesama, dan
dengan demikian memperlihatkan kaitan antara iman dan
moral. Hal ini juga menegaskan bahwa relasi dengan Allah
dan sesama adalah dua hal yang tidak boleh dipisahkan.
Pernyataan Yesus diamini oleh para ahli Taurat (bdk.
Mrk.12:31-32). Umat Kristen perdana juga memahaminya
dengan cara yang sama, "Ibadah yang murni dan yang tak
bercacat di hadapan Allah Bapa kita adalah mengunjungi
yatim piatu dan janda-janda dalam kesusahan mereka...."
(Yak. 1:27).

Anda mungkin juga menyukai