Anda di halaman 1dari 7

Nama : Fisensius Gea (200510036)

Kelas : III-A

Mata kuliah : Etika

Dosen : Antonius Anton Moa, Lic. S. Th.

Refleksi Ilmiah Tentang Suara Hati

Manusia merupakan makhluk istimewah sebab diberi hak dan kehendak bebas. Manusia
memiliki hak bebas atas dirinya sendiri; hak bebas untuk memilih; hak bebas untuk memutuskan.
Kebebasan manusia merupakan kenisacayaan bagi dirinya sendiri. Maka, dalam mengambil
keputusan manusia perlu dewasa dan diharapkan untuk memilih yang baik dan benar. Dalam diri
manusai juga terdapat suara hati atau dalam Katekismus Gereja Katolik dinamakan “hati
Nurani”. Bagi saya, suara hati memiliki hubungan dengan kebebasan dalam memutuskan atau
memilih. Dalam arti sederhana manusia dalam menggunakan kebebasannya untuk
memutuskan/memilih perlu untuk menggunakakan hati nuraninya (mendengar suara hati) supaya
manusi mampu memilih yang baik dan benar.

1. Arti Suara Hati

Secara etimologi suara hati atau hati nurani yang dalam bahasa Latin disebut conscientia,
yang berasal dari akar kata consire dengan arti “mengetahui bersama” atau “turut mengetahui”
perbuatan moral manusia dan ikut mengambil penilaiannya terhadapnya. 1 Sementara dalam
Kamus Besar Bahasa Indoensia menggunakan istilah hati nurani untuk menunjuk pada suatu
kenyataan atau fakta. Beberapa orang percaya bahwa hati nurani merupakan suara Tuhan; Tuhan
berbicara kepada manusia, membing mereka untuk melakukan hal yang benar dalam situsi
tertentu. Arti lain adalah hati manusia diterangi oleh cahaya Tuhan sehingga manusia masuk
dalam perasaan hati yang murni dan sedalam-dalamnya. Berdasarkan defenisi itu, hati dapa
diartikan sebagai sesuatu yang tinggal dalam diri manusa yang dianggap sebagai tempat segala
perasaan batin dan tempat menyimpan segala pengertian-pengertian. 2 Di sini tim bahasa
indonesia lebih menonjolkan hati sebagai perasaan dan bukan pengetahuan sekalipun hati juga
1
J. Sudarminta, Etika Umum, (Yogyakarta: Kanisius, 2013), hlm. 64.
2
Dadang Sunendar dkk, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1999), hal. 487
memiliki aspek pengetahuan. Hati sejatinya tidak terbatas pada spek tertentu tetapi keseluruhan
pribadi manusia.3

Berdasarkan penjabaran suara hati secar a etimolig tersebut, maka secara realis, suara
hati/hati nurani dapat diartikan sebagai keputusan akal budi untuk memilih atau nenentukan hal
yang baik atau benar dan buruk dari setiap tindakan manusia. Kepribadian manusia tebentuk atas
tindakan dan segala sikap yang beroposisi dengan nilai-nilai kebajikan atau malah sebaliknya.
Seseorang dapat dinilai sebagai pribadi yang baik jika segala tindakanya memberi kualitas moral
yang baik. Untuk mencapai hal demikian, hati nurani memiliki peran yang sangat penting untuk
membantu manusia dalam memutuskan segala hal sesuai dengan akal sehat dan hukum Tuhan.

Suara hati atau hati nurani mereupakan tempat di mana manusia bertemu dengan Allah.
Dalam Gaudium et Spes, disebut sebagai “sanggar suci Allah”. Sanggar suci ini merupakan suatu
tempat yang diberikan Allah dalam diri manusia. Di tempat itulah manusia bertemu dna
berkomunikasi dengan Allah mengenai segala pergumulan dan pengalaman hidup untuk
membantunya memilih yang baik dari yang jahat. Sebagai tempat suci, hati nurani harus
dihormati, didnegar dan dituruti segala keputusan baik darinya.4

Beberapa para ahli juga memberi defenisi dari suara hati/hati nurani. Misalnya Kees
Bertens dalam bukunya berjudul ETIKA, menyebut suara hati sebagai instasi dalam diri manusia
yang menilai tentang moralitas tindakan manusia secara langsung kini dan di sini. Hati
nurani/suara hati berhubungan dengan penghayatan mengenai yang baik dan buruk dalam
tingkah laku manusia. Hati nurani memerintah atau melarang kita untuk melakukan sesuatu.
Tidak berbicara akan hal-hal umum melainkan berbicara akan situasi integritas pribadi mausia
dan martabat terdalamnya.5 Defenisi lain datang dari John Henry, beliau mentakan hati nurani
adalah hati yang menyerukan suara Tuhan. Manusai berada dalam realitas ketebatasan, dan
sesuatu realita yang berkuasa atas ketebatasan dan mengatasi manusia adalah Allah sendiri
sebagai yang mutlak.6

2. Suara Hati dalam Prinsip Moral Kristen

3
M.E Mantom, Kamus Istilah Teologi (Malang: Gandum Mas, 2003), hal. 44
4
GS, No. 16.
5
K. Bertens, Etika (Yogyakarta: Kanisius, 2013), hal. 41
6
J. Sudarminta, Etika Umum (Yogyakarta: Kanisius, 2013) hal. 63.
Berdasarkan ajaran Gereja khususnya dalam dokumen Gereja tidak menggunakan “hati
Nurani untuk mengartikan superego atau kesadaran akan konvensi sosial. Gereja lebih
memandang hati nurani sebagai kemampuan untuk mengetahui kebenaran moral. 7 Suara hati
adalah suatu keinsyafan batin yang mempengaruhi hati kita masing-masing serta menyatakan
kepada kita entah suatu keinginan yang telah muncul itu baik atau tidak baik bagi manusia
sebagai manusia. Suara hati adalah kompas menuju pemanusiaan sejati, memperlihatkan serta
mendorong manusia menuju pemanusiaan yang tulen.8

Dalam Kitab Suci penilaian hati nurani sering dikaitkan dengan “hati” (lihat mz 16:7),
yang menerima dan mepertahankan hukum Allah (Ulangan 6.6-9; Mz 37:31; 40: 9) dan yang
dapat diterangi oleh karunia hikmat-Nya (Mz 90:12). Sekali lagi, pekerjaan hati nurani dalam
kehidupan Kristiani ditugaskan kepada “pikiran” yang diperbarui (lihat Rom 12. 1-2). Tetapi
istilah teknis “hati nurani” jarang digunakan; memang, tidak ada kata Ibrani untuk konsep khusus
ini. Dalam Perjanjian Baru “hati nurani” merujuk terutama pada kesadaran akan perbuatan salah,
khususnya rasa sakit yang dialami setelah seseorang berbuat salah. 9 Meskipun mereka
kekurangan wahyu ilahi, bahkan orang bukan Yahudi dikatakan memiliki kesadaran akan yang
benar dan yang salah; itu adalah bagian dari susunan manusia yang diciptakan oleh Allah. Hati
nurani yang digabungkan dengan pengetahuan tentang norma-norma yang tertulis di dalam hati,
melayani ornag bukan Yahudi sebagaimana tuntutan hukum yang diwahyukan melayani orang
Yahudi (lihat Rm 2:14-16). Sebagai sumber peringatan, hati nurani juga berguna bagi ornag
Kristen, sama seperti hukum. Tapi itu tidka sempurna, sebab hati nurani yang bersih tidak selalu
berarti seseorang dibenarkan (lihat 1 Kor 4:4-5); dan hati seseorang dapat menuntut sesuatu
meskipun dia berdamai dengan Tuhan (lihat 1 Yoh 3: 179-20).

Menurut Konsili Vatikan II, hati nurani ialah init manusia yang paling rahasia, snaggar
sucinya; di situ ia seorang diri bersama Allah yang sapaan-Nya menggema dalam batinnya” (GS,
no. 16).10 Sementara dalam Katekismu Gereja Katolik 11 no. 1778 tertulis lagi: “hati nurani adalah
keputusan akal budi, di mana manusia mengerti apakah suatu perbuatan konkret yang ia
rencanakan, sedang laksanakan atau sudah laksanakan, bersifat baik atau buruk secara moral.
7
Grisez, Christia Moral Principles: Chapter 3 “Conscience: Knowledge of Moral Truth”. Dalam Jurnal
“The Way of the Lord Jesus”, Vol. 1.
8
Yan Van Paassen, Suara Hati: Kompas Kebenaran (Jakarta: Obor, 1997), hlm. 1.
9
Grisez, Christia Moral...
10
GS, no. 16, hlm.
11
Katekismus Gereja Katolik untuk selanjutnya disingkat dengan KGK.
Dalam buku Iman Katolik menuliskan suara hati ialah kemampuan manusia untuk menyadari
tugas moral dan untuk mengambil keputusan moral. Selanjtnya dalam buku “Iman Katolik” ini
menyatakan bahwa suara hati buakn perintah langsung dari Tuhan yang seolah-olah
memberitahukan apa yang harus dibuat sekarang ini. Manusia sering harus mencari jalannya
sendiri. Ia harus mempertimbangkan banyak kepentingan dan mengambil sendiri keputusan yang
adil mengenai tindakannya. Suara hati tidak hanya menilai tujuan dan sarana usaha manusia
sesuai dengan arah hidupnya (yakni mencintai Allah dan sesama. Keputusan suara hati juga
merupakan pedoman dan daya penggerak bagi tindakan kita.12

Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa Allah tidak langsung


membisikakan suara-Nya kepada manusia, melainkan manusia harus mencari kebenaran moral.
Dialah yang memperimbangkan entah keinginannya yang cocok dengan normakaidah moral atau
tidak; bukannya Allah yang mempertimbangkannya namun, sesudah manusia sampai pada
kesimpulan bahwa keinginannya baik atau buruk, maka Allah merestui dan mendukung hasil
penilaian atau keputusan suara hati tersebut. Dengan demikian, keputusan suara hati manusia
naik pangkat menjadi suara Allah, tetapi bukan suara Tuhan sejak permulaan.13

Sesudah keputusna suara hati dibentuk, manusia merasakan suatu dorongan batin utnuk
menurutinya, baik jika keputusan suara hati membenarkan keinginan semula maupun jika
keinginan semula dilawan dan dikatakan tidak baik oleh keputusan suara hati, seperti dalam
kasus hawa. Keputusan suara hati tidak menjadi suatu keputusan dengan otak dingin. Di hadapan
suatu keputusan otka mengenai kebaikan manusia sebagai manusia, hati tidak bisa acuh tak acuh.
Di hadapan kkebaikan sebesar itu, hati ikut bergetar dan tergerak.14

Hati nurani itu bisa dirusakkan atau dilanggar oleh diri sendiri. Bagaimana hal ini bisa
terjadi? Apabila seseorang mau melakukan sesuatu yang salah, hati nuraninya akan memberi
amanah. Apabila dia menolak amanah ini maka nati nurani akan terdengar kurang jelas. Apabila
seseorang tidak berbuat sesuai dengan tuntutan hukum, keadaan tidak menurut itu akan
mengerasan hati nurani. Hal yang sama juga akan terjadi apabila seseorang terlalu banyak
melihat, mendengar, dan membaca hal-hal yang jahat; mengikuti dorongan nafsu-nafsu yang
rendah juga akan membutakan hati nurani seseorang.15
12
Yan Van Paassen, Suara Hati:..., hlm. 2.
13
Yan Van Paassen, Suara Hati:..., hlm. 4.
14
Yan Van Paassen, Suara Hati:..., hlm. 4.
15
Adri Legoh, Satu Teologi Tantang Hati Nurani. Dalam jurnal “AIIAS”, hlm. 32.
Manusia yang hidup dan tinggal dalam dosa atau dengan kata lain hidup di luar kehendak
Allah, hati nurani mereka sudha menjadi keras atau dalam kondisi tidur. Maka hal yang perlu
ialah hati nurani harus dilembutkan dan dibangunkan. Hal ini bisa tercapai apabila seseorang
bertobat dan berbalik kepada Tuhan. Hati nurani orang yang berdosa akan dipulihkan kembali
apabila hati seutuhnya diserahkan pada pengaruh Roh Allah. Hati yang bersih sesungguhnya
hasil dari pertolongan Ilahi. Rahmat Allah yang hadir dalam diri manusia menerangi hati yang
sudah gelap. Dalam kondisi ini pun malaikat turut aktif membantu manusia dalam usaha
mencapai hati nurani yang bersih. Setelah ahti nurani memperoleh pemulihan lewat pertobaan,
kemudian hati nurani harus terus dididik.16

Manusia harus selalu berkomunikasi dengan Firman Allah; Firnan Allah itu
membangunkan. Firman Allah mampu mendorong dan menjadikan hati manusia menjadi pintar
bila dihidupkan. Hukum-hukum Allah harus diikutkan dalam hati. Perintah tertinggi yang datang
dari hati nurani adalan ketaatan pada Sabda Tuhan. Karena itu manusia perlu mebiasakan diri
mempelajari Kitab Suci, selain dari itu manusia perlu selalu berjaga-jaga dan berdoa.
Komunikasi dengan Allah lewat doa suatu langkah untuk mendidik hati nurani. Hal lain yang
perlu dilakukan ialah bekerja sama dengan Kristus. Kerja sama yang dimaksud ialah seperti
penginjilan. Dengan melakukan hal-hal tersebut hati nurani akan terdidik.17

3. Refleksi

Saat ini dunia sungguh membuthkan orang-ornag jujur dan benar terhadap tugas dna
tanggung jawabnya. Allah telah menganugerahi hati nurani dalam diri manusia karena itu
manusia perlu dikendalikan oleh suatu prinsip dalam hidupnya, yakni hidup menurut hati
nuraninya. Manusia harus melakukan yang benar sesuai dengan hati nuraninya. Saya menyadari
bahwa hidup berdasarkan hati nurani sungguh sulit. Manusia haru benar-benar masuk pada
kedalaman hatinya agar benar-benar mengenal suara hatinya yang sesungguhnya. Pada
kenyaataan bahwa suara hati selalu berbicara kepada manusia namun sering kali manusia tidak
mampu mendengar suara hatinya karena kebingan dan keributan yang terbentuk dalam
pikirannya yang pada akhirnya manusia jatuh pada kesalahan, kesalahn bertindak atau kesalahan
dalam memutusakan (mimilih).

16
Adri Legoh, Satu Teologi..., hlm. 33.
17
Adri Legoh, Satu Teologi..., hlm. 33.
Sebagai calon imam, saya menyadari bahwa hati nurani atau suara hati menjadi penting
dalam menghidupi berbagai formation yang ada. Hati nurani inilah yang memapukan saya untuk
menyadari status saya sebagai calon imam, karena itu saya terdorong untuk betindak sebagai
mana status saya. Yang mana saya harus berdoa dengan tulus dan ikhlas, bekerja dengan
sungguh-sungguh, serta jujur dalam tugas dan tanggung jawab yang diberikan kepada saya.
Saya juga merasa bahwa suara hati/hati nurani yang mebantu saya untuk betindak dalam
keadaan-keadaan sulit. Seperti bagaimana saya haru besikap ketika menghadapi suatu persoalan
dan pergumulan. Di sini hati nurani sungguh-sungguh penting untuk di dengarkan. Sebab ketika
saya hanya bermain dengan logika dan pikiran belaka saya bisa jatuh pada kondisi yang
merugikan saya pribadi. Karna sejatinya hati nurani selalu mendorong manusia bertindak hal
yang baik dan benar.

Sikap jujur dan taat adalah sikap yang perlu saya bina dalam menjalani formatio. Dengan
jujur dan taat proses formatio panggilan akan berjalan dengan baik. Bagaimana sikap ini bisa
ada, saya harus menggunakan hati nurani. Hati nurani yang berbicara dan mendorong saya untuk
bersikap jujur dan taat. Seperti yang saya uaraikan tadi bahwa hati nurani membuat manusia taat
pada perintah-perintah Tuhan (baik). Maka dalam konteks formatio, hati nurani/suara hati yang
mendorong saya untuk jujur dan taat pada aturan-aturan formatio dan mengembangkan hidup
berdasarkan aspek-aspek pembinaan yang ada.

Daftar Pustaka
Konsili Vatikan II, “ Gaudium et Spes” (GS), no 52, dalam Dokumen Konsili Vatikan II,
diterjemahkan oleh R. Hardawiryana. Jakarta: Dokumentasi dan Penerangan KWI-
Obor, 1993.

Bertens, K. Etika. Yogyakarta: Kanisius, 2013.

Grisez, Christia Moral Principles: Chapter 3 “Conscience: Knowledge of Moral Truth”. Dalam

Jurnal “The Way of the Lord Jesus”, Vol. 1.

Legoh, Adri. Satu Teologi Tantang Hati Nurani. Dalam jurnal “AIIAS”.

Mantom, M. E. Kamus Istilah Teologi. Malang: Gandum Mas, 2003.

Paassen, Yan Van. Suara Hati: Kompas Kebenaran. Jakarta: Obor, 1997.

Sudarminta, J. Etika Umum. Yogyakarta: Kanisius, 2013.

Sunendar, Dadang, dkk. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1999.

Anda mungkin juga menyukai