Anda di halaman 1dari 4

Aspek ini tampak dalam istilah “hati nurani” itu sendiri.

“Hati nurani” berarti


“hati yang diterangi” (nur = cahaya). Dalam pengalaman mengenal hati nurani
seolah-olah ada cahaya dari luar yang menerangi budi dan hati kita. Aspek yang sama
tampak juga dalam nama-nama lain yang sering dipakai dalam bahasa Indonesia
untuk menunjukkan hati nurani: suara hati,kata hati,suara batin. Rupanya justru
aspek ini sangat mengesankan, hingga terungkap dalam begitu banyak nama.
Terhadap hati nurani,kita seakan-akan menjadi “pendengar”. Kita seakan-akan
membuka diri terhadap suara yang akan datang dari luar. Hati nurani mempunyai
suatu aspek transenden, artinya melebihi pribadi kita.
Karena aspek adipersonal itu, orang beragama kerap kali mengatakan bahwa
hati nurani adalah suara Tuhan atau bahwa Tuhan berbicara melalui hati nurani.
Ungkapan seperti itu dapat dibenarkan. Bagi orang beragama hati nurai memang
meiliki suatu dimensi religius. Kalau ia mengambil keputusan atas dasar hati nurani,
artinya, kalau ia sungguh-sungguh yakin bahwa ia harus berbuat demikian dan tidak
bisa tanpa menghancurkan intergritas pribadinya, maka ia akan mengambil
keputusannya “di hadapan Tuhan”. Ia insaf dengan itu akan mentaati kehendak
nurani tidak saja berarti mengkhianati dirinya sendiri, tapi serentak juga melanggar
kehendak Tuhan. Mungkin bagi orang beragama malah tidak ada cara lebih jelas
untuk menghayati hubungan erat antara moralitas dan agama daripada justru
pengalaman hati nurani ini. Akan tetapi, adalah naif sekali, bila orang berpikir bahwa
melalui hati nurani Tuhan berbisik-bisik dalam batin kita. Dan bukan saja anggapan
semacam itu naif, tapi juga berbahaya. Banyak orang beragama yang fanatik telah
mengatakan bahwa tindakan mereka atas perintah Tuhan, sedangkan bagi
masyarakat luas tindakan itu tidak lain dari kejahatan atau terorisme. Banyak
pembunuhan dan kejahatan lain telah dilakukan dengan dukungan hati nurani.
Seperti akan dijelaskan lagi, hati nurani tidak melepaskan kita dari kewajiban untuk
bersikap kritis dan mempertanggungjawabkan perbuatan-perbuatan kita secara
obyektif. Apalagi, orang yang tidak mengaku adanya Tuhan pun memiliki hati nurani
yang mengikat mereka sama seperti orang yang beragama. Tidak dapat dikatakan
bahwa hati nurani merupakan hak istimewa orang beragama saja. Setiap orang
mempunyai hati nurani kerena ia manusia. Kenyataan itu justru menyediakan
landasakn untuk persetujuan dibidang etis antara semua manusia, melalui segala
perbedaan mengenal agama,kebudayaan, posisi ekonomis,dan lain-lain.

5. Hati Nurani sebagai Norma Moral yang Subyektif

Dalam sejarah filsafat sering dipersoalkan apakah hati nurani termasuk


perasaan, kehendak, atau rasio. Sekarang kita sudah menyadari bahwa persoalannya
sebetunya tidak boleh dirumuskan dengan cara begitu. Dalam filsafat dewasa ini
sudah terbentuk keyakinan bahwa manusia tidak dapat dipisahkan kedalam berbagai
fungsi atau daya. Kita harus bertolak dari kesatuan manusia, dimana pelbagai fungsi
dapat dibedakan tapi tidak boleh dipisahkan. Dalam hati nurani pula memainkan
peranan baik perasaan maupun kehendak maupun rasio. Tapi terdapat suatu
tendensi kuat dalam filsafat untuk mengaku bahwa hati nurani secara khusus harus
dikaitkan dengan rasio. Kami juga berpendapat demikian. Alasannya, karena hati
nurani memberi suatu penilaian, artinya, suatu keputusan (judge-ment). Ia
menegaskan: ini baik dan harus dilakukan atau itu buruk dan tidak boleh dilakukan.
Mengemukkan keputusan jelas merupakan suatu fungsi dari rasio. Tapi dalam hal ini
perlu dibedakan antara dua macam rasio: rasio teoretis dan rasio praktis. Rasio
teoretis memberi jawaban atas pertanyaan: apa yang dapat saya ketahui? Atau juga:
bagaimana pengetahuan saya dapat diperluas? Dengan demikian rasio dalam arti ini
merupakan sumber pengetahuan, termasuk juga ilmu pengetahuan. Sedangkan rasio
praktis memberi jawaban atas pertanyaan: apa yang harus saya lakukan? Dengan itu
rasio praktis memberikan penyuluhan hagi perbuatan-perbuatan kita. Kalau rasio
teoretis bersifat abstrak, maka rasio praktif bersifar konkret. Hati nurani juga sangat
kongkret sifatnya dan mengatakan kepada kita apa yang harus dilakukan kini dan di
sini. Putusan hati nurani “mengkonkretkan” pengetahuan etis kita yang umum.
Pengetahuan etis kita (prinsip-prinsip moral yang kita pegang dan nilai-nilai yang kita
akui) hampir tidak pernah siap pakai dalam keadaan konkret. Hati nurani seolaj-olah
merupakan jembatan yang menghubungkan pengetahuan etis kita yang umum
dengan prilaku konkret.
Biarpun putusan hati nurani bersifat rasional, itu tidak berarti bahwa ia
mengemukkan suatu penalaran logis(reasoning). Ucapan hati pada umumnya
bersifat intuitif, artinya, langsung menyatakan: ini baik dan terpuji atau itu buruk dan
tercela. Mengikuti hati nurani merupakan suatu hak dasar bagi setiap manusia. Tidak
ada orang lain yang berwenang untuk campur tangan dalam putusan hati nurani
seseorang. Tidak boleh tejadi, bahwa seorang dipaksa untuk bertindak bertentangan
dengan nuraninya. Maka tidak mengherankan, bila dalam Deklarasi Universal
tentang Hak-hak Asasi Manusia (1948) disebut juga “hak atas kebebasan hati nurani”
(pasal 18). Konsekuensinya bahwa negara harus menghormati putusan hati nurani
para warganya, bahkan kalau kewajiban itu menimbulkan konflik dngan kepentingan
lain. Dengan kata lain, negara harus menghormati hak dari conscientious objector;
orang yang berkeberatan memenuhi suatu. Kewajiban sebagai warga negara karena
alasan hati nurani. Contoh terkenal adalah konflik yang sering dialami di negara-
negara yang mempraktekkan wajib militer. Disana tidak jarang ada orang muda yang
menolak untuk memenuhi wajib militer dengan alasan hati nurani. Misalnya, mereka
menandaskan bahwa suara hati melarang mereka untuk ikut serta dalam latihan-
latihan militer yang bertujuan membunuh sesama manusia. Tapi sekrang kebanyakan
negara modern mengakui hak orang muda untuk menolak masuk tentara karena
alasan hati nurani. Hanya, mereka diwajibkan mengikuti suatu massa pengabdi
alternatif.
Dari semuanya ini dapat disimpulkan bahwa hati nurani mempunyai
kedudukan kuat dalam hidup moral kita. Malah bisa dikatakan: dipandang dari sudut
subyek, hati nurani adalah norma terakhir untuk perbuatan-perbuatan kita. Atau
dirumuskan dengan cara sedikit lain: putusan hati nurani adalah norma moral yang
subyektif bagi tingkah laku kita. Namun demikian, belum tentu perbuatan yang
dilakukan diatas desakan hati nurani adalah baik juga secara obyektif. Hati nurani
bisa keliru. Bisa saja hati nurani menyatakan sesuatu adalah baik, bahkan wajib
dilakukan, padahal secara obyektif perbuatan itu buruk. Sepanjang sejarah, banyak
pembunuhan dan penganiayaan dilakukan oleh orang fanatik atau teroris yang
menganggap dirinya diwajibkan oleh suara hati. Hati nurani memang membimbing
kita dan menjadikan patokan untuk perilaku kita, tapi yang benarnya diungkapkan
oleh hati nurani bukan baik buruknya perbuatan itu sendiri, melainkan bersalah
tidaknya si pelaku. Bila suatu perbuatan secara obyektif baik, tapi suara hati
menyatakan bahwa perbuatan bahwa perbuatan itu buruk, maka dengan melakukan
perbuatan itu orang bersangkutan toh secara moral bersalah. Dan sebaliknya, orang
yang tidk bersalah, bila suara hatinya menyangka bahwa perbuatan tertentu baik,
sedangkan secara obyektif perbuatan itu buruk. Jadi,hati nurani adalah norma
perbuatan kita pertama-tama sejauh menyangkut soal kebersalahan.
Dapat disimpulkan bahwa tidak pernah kita boleh bertindak bertentangan
dengan hati nurani. Hati nurani selalu harus diikuti, juga kalai---secara obyektif---ia
sesat. Akan tetapi, manusia wajib juga mengembangkan hati nurani dan seluruh
kepribadian etisnya sampai menjadi matang dan seimbang. Pada orang yang
sungguh-sungguh dewasa dalam bidang etis, putusan subyektif dari hati nurani akan
sesuai dengan kualitas obyektif dari perbuatannya. Pada orang serupa itu, yang baik
secara subyektif akan sama dengan baik secara obyektif. Karena itu perlu kita pelajari
lagi cara bagaimana keadaan ideal itu bisa dicapai.

6. Pembinaan Hati Nurani


Kecurigaan ini terutama ditemukan pada filsuf-filsuf yang dipengaruhi oleh
cara berpikir ilmu pengetahuan empiris. Ilmu pengetahuan empiris mempunyai
sebagai cita-cita: obyektivitas sempurna, keadaan yang sedapat mungkin dilepaskan
dari unsur subyektif. Bagi mereka, subyektivitas sama artinya dengan “kurang
serius”, “tidak bisa diandalkan”, “sewenang-wenang”. Pengalaman bahwa hati nurani
sering tersesat, memperkuat lagi pendapat mereka. Hati nurani bisa menjadi kedok
untuk melakukan rupa-rupa kejahatan. Secara prinsipiil tidak mungkin untuk
mengecek apakah klaim hati nurani sungguhan atau pura-pura saja, memang berasal
dari hati sanubari yang murni atau hanya bermaksud mengelabui orang lain.
Memang betul, hati nurani tidak pernah mengganti usaha kita untuk mempelajari
dengan teliti serta mendalam prinsip-prinsip dan norma-norma moral yang harus
mengarahkan tingkah laku kita. Etika sebagai ilmu tidak menjadi mubazir dengan
adanya hati nurani. Etika harus berusaha keras untuk mencari kepastian ilmiah dan
obyektif tentang problem-problem moral yang dihadapi. Tapi bagaimanapun juga,
etika sebagai ilmu selalu bergerak pada tahap umum. Dan, seperti sudah dijelaskan
sebelumnya, hati nurani justru bertugas untuk menerjemahkan prinsip-prinsip dan
norma-norma moral yang umum ke dalam situasi konkret. Karena itu peranan hati
nurani selalu akan dibutuhkan. Namun untuk itu bukan sembarang hati nurani akan
berfungsi dengan semestinya.
Hati nurani harus dididik, seperti juga akal budi manusia membutuhkan
pendidikan. Tapi, pendidikan akal budi jauh lebih gampang untuk dijalankan.
Metode-metode yang seharusnya digunakan untuk mencapai hasil optimal, dalam
mendidik akal budi jauh lebih jelas. Pendidikan disekolahan terutama bertujuan
mengembangkan dan mendidik akal budi anak-anak. Memang benar, sekarang diakui
secara umum bahwa pendidikan di sekolah tidak boleh berorientasi ekslusif
inttelektualistis. Dalam diri anak pun akal budi terintergrasi dengan seluruh
kepribadiannya. Namun demikian, tetap tinggal benar juga bahwa pendidikan
disekolah secara khusus diarahkan pada akal budi. Disekolah mendidik terutama
bearti “mencerdaskan”. Pendidikan hati nurani bersama dengan seluruh pendidikan
moral---jauh lebih kompleks sifatnya. Pendidikan selanjutnya harus menanam
kepekaan batin terhadap yang baik. Seperti tujuan akhir pendidikan sebagai
keseluruhan adalah kemandirian serta otonomi anak didik, demikian juga di bidang
moral. Anak-anak harus belajar menjalankan kewajiban mereka karena keyakinan,
bukan karena paksaan dari luar. Ketakutan akan sanksi yang mewarnai permulaan
kehidupan moral, lama-kelamaan harus diganti dengan cinta akan nilai-nilai.
“Pendidikan hati nurani seolah-olah berjalan dengan sendirinya, bilamana si
anak diliputi oleh suasana yang sehat serta luhur dan ia melihat bahwa orang di
sekelilingnya memenuhi kewajiban mereka dengan dan mempraktekkan keutamaan-
keutamaan yang mereka ajarkan”. Jadi kalau secara teoretis pendidikan hati nurani
lebih sulih daripada pendidikan akal budi,pada taraf praktis kesulitan itu kurang
terasa,asal saja keluarga diliputi iklim moral yang serasi dan menunjang. Pendidikan
hati nurani tidak membutuhkan sistem pendidikan formal, malah lebih baik
berlangsung dalam rangka pendidikan informal, yaitu keluarga. Sedangkan akal budi
sulit untuk dijalankan diluar rangka pendidikan formal.

2. Hati Nurani dan “Superego”


Sering kali hati nurani dikaitkan dengan “Superego” bahkan tidak jarang kedua
hal itu disamakan begitu saja. Karena itu tidak ada salahnya, jika di sini kita
mempelajari juga “Superego”, walaupun dengan demikian kita sebenarnya
meninggalkan pokok pembicaraan etika dan memasuki wilayah psikologi. Pada
dasarnya pasal ini (dan dua pasal berikutnya) termasuk apa yang sebelumnya disebut
etika deskriptif dan bukan etika normatif dalam arti yang sesungguhnya. Istilah
“superego” berasal dari Sigmund Freud (1856-1939), dokter ahli saraf Austria yang
meletakkan dasar untuk psikoanalisis. Ia mengemukakan istilah itu dalam rangka
teorinya tentang struktur kepribadian manusia. Atau lebih tepatnya lagi, bila
dikatakan bawa teorinya yang kedua tentang struktur kepribadian, yang sejak tahun
1923 menggantikan pandanganny yang terdahulu.

Anda mungkin juga menyukai