Anda di halaman 1dari 50

KEHENINGAN

ATMA TATTWA / KESADARAN ATMA

Rumah Dharma Hindu Indonesia


Kenyataan sejati dari semua mahluk adalah Atma. Kenyataan sejati dari
Atma adalah keheningan. Di dalam keheningan, disanalah kenyataan sejati
Atma akan hadir kembali dengan sendirinya.

Dalam uraian ajaran Hindu Dharma kuno di tanah nusantara, seperti di


Jawa, Bali dan Sunda, selalu dapat kita temukan pemahaman mengenai
keheningan sebagai Atma Tattwa [kenyataan sejati Atma]. Keheningan yang
disebut sebagai Suwung, Sunia atau Embang.

Puncak tingkat pelataran tertinggi dari Penataran Agung Pura Besakih


yang dibangun pada abad ke-8 Masehi disebut Sanghyang Embang [yang
mahasuci keheningan sempurna].

Selama lebih dari jangka waktu seribu tahun, Tahun Baru Saka
diselenggarakan dengan cara Nyepi [keheningan].

Di Tampaksiring pada abad ke-10 Masehi dibangun parahyangan suci


sebagai tempat para Raja Kerajaan Bali membina diri untuk mencapai moksha
yang diberi nama Parahyangan Suci Mangening [maha-hening].

Dalam lontar Dharma Sunia disebutkan bahwa kenyataan sejati


Sanghyang Shiwa adalah suwung [keheningan]. Manifestasi materi dari
Sanghyang Shiwa adalah alam semesta. Ringkasan alam semesta adalah
gunung. Ringkasan gunung adalah meru [palinggih meru]. Ringkasan meru
adalah manusia atau diri kita sendiri. Artinya manusia [bhuwana alit] adalah
ringkasan dari alam semesta [bhuwana agung] dan kenyataan sejati manusia
adalah suwung [keheningan].
KEHENINGAN
Atma Tattwa / Kesadaran Atma

Ditulis oleh : I Nyoman Kurniawan


Peraga : Jro Campuhan
Fotografi Sampul : Ketut Eddie Dharmawan

Rahina Kajeng Kliwon Pemelastali, 26 April 2015


Rumah Dharma Hindu Indonesia

ii
PENDAHULUAN

Kenyataan sejati kita adalah Atma. Ini berarti sesungguhnya kita tidak
Atma. Kita hanya menyadarinya kembali. Itu
bukanlah pencapaian, kita hanya perlu melenyapkan penghalang-
penghalangnya saja dan kesadaran Atma akan hadir dengan sendirinya.
Laksana permata yang diselimuti lumpur dan tanah. Permata itu selalu ada
disana, tapi tidak disadari karena tertutup lumpur dan tanah. Untuk
menemukannya kita hanya perlu menyingkirkan lumpur dan tanahnya. Sama
dengan kita cukup hanya menyingkirkan samskara [kesan-kesan pikiran atau
pikiran konseptual] dan ahamkara [ego atau ke-aku-an] yang sudah berumur
sangat lama. Ketika lumpur dan tanahnya disingkirkan permatanya kelihatan.

Tapi tidaklah mudah untuk melenyapkan penghalang-penghalangnya.


Tidak cukup hanya dengan meditasi saja, karena pikiran [manas] dan ego
[ahamkara] sangatlah sulit untuk dikuasai. Sehingga kita memerlukan sebuah
sistem sadhana sebagai jalan yoga yang menyeluruh. Artinya selain meditasi
kita juga memerlukan ruas-ruas landasan kesadaran yang menghasilkan dasar
kejernihan pikiran. Landasan seperti itu adalah sangat penting, karena akan
sulit membuat meditasi menjadi mendalam tanpa disertai dasar kejernihan
pikiran. Bermeditasi tanpa melaksanakan ruas-ruas landasan pada kehidupan
sehari-hari adalah mengabaikan bagian pokok dari jalan.

Dalam ajaran suci Hindu Dharma terdapat berbagai macam sistem


sadhana sebagai jalan yoga. Misalnya Ashtanga Yoga dalam Yoga Sutra, Dasa
Yama Brata dan Dasa Niyama Brata dalam Sarasamuscaya, Sadangga Yoga
dalam Wrhaspati Tattwa dan Ganapati Tattwa, dsb-nya. Semuanya secara
sistematis mengarahkan sadhaka mencapai kesempurnaan kesadaran Atma.

Dengan menyadari kembali kenyataan sejati Atma, kita akan memiliki


energi luar biasa untuk dapat menyelam ke dasar yang terdalam. Kesadaran
seperti ini memberikan kita kesempatan untuk memahami kenyataan diri
sendiri dan pengetahuan rahasia yang tertinggi, pengetahuan yang sudah ada
di dalam diri kita sejak awal yang tidak berawal. Serta mencapai kedamaian
pikiran tertinggi, sekaligus terbebas dari belenggu siklus samsara.

iii
Dalam buku ini, akan dijelaskan tentang sistem sadhana yoga inti dari
para Satguru Dharma jaman modern. Yaitu 4 landasan kesadaran sebagai
praktek dalam kehidupan sehari-hari, sebagai upaya mencapai kejernihan
pikiran. Disertai 1 ruas praktek meditasi sebagai titik pusat yang akan
menyatukan dan memperdalam semuanya, sekaligus sebagai jalan kesadaran
Atma. Semuanya ke-5 [lima] ruas ini saling berkait-kaitan, saling melengkapi
dan saling menyempurnakan, sebagai jalan kesadaran Atma.

Menjaga Benih
Kekuatan Positif
Di Dalam Diri

Tekun Pandangan
Melakukan Meditasi Positif Dan
Kebajikan Lembut

Melatih Diri
Tidak Menyakiti

iv
DAFTAR ISI
PENDAHULUAN ______________________________________________________________ iii
DAFTAR ISI ___________________________________________________________________v

RUAS KE-1 ___________________________________________________________________ 1


Menjaga Bibit Kekuatan Positif Di Dalam Diri ______________________________________ 1
1. MEMILAH PERGAULAN _____________________________________________________________ 1
2. MEMILAH APA YANG KITA MASUKKAN DALAM PIKIRAN __________________________________ 2
3. MENYEIMBANGKAN ENERGI NEGATIF DENGAN ENERGI POSITIF ____________________________ 3
4. TIDAK MENGKONSUMSI MAKANAN ATAU MINUMAN YANG MELEMAHKAN KESADARAN _______ 4

RUAS KE-2
Memandang Setiap Hal Dan Setiap Kejadian Dari Sudut Pandang Positif Dan Lembut _____ 6
1. MEMANDANG DIRI SENDIRI SECARA POSITIF DAN LEMBUT ________________________________ 6
2. MEMANDANG ORANG LAIN SECARA POSITIF DAN LEMBUT ________________________________ 9
3. MEMANDANG KEHIDUPAN SECARA POSITIF DAN LEMBUT _______________________________ 11

RUAS KE-3
Melatih Diri Tidak Menyakiti ___________________________________________________ 15
1. TIDAK MENYAKITI DIRI SENDIRI _____________________________________________________ 15
2. TIDAK MENYAKITI ORANG LAIN DAN MAHLUK LAIN _____________________________________ 20

RUAS KE-4
Tekun Melakukan Kebajikan-Kebajikan __________________________________________ 24
1. KEBAJIKAN TERDEKAT [MELAKSANAKAN SWADHARMA] _________________________________ 25
2. KEBAJIKAN KEPADA SEMUA ________________________________________________________ 27

RUAS KE-5
Melaksanakan Meditasi Non-Dualitas ___________________________________________ 30
1. LATIHAN MEDITASI DALAM MEDITASI ________________________________________________ 34
2. PRAKTEK MEDITASI SETIAP SAAT DALAM DINAMIKA KEHIDUPAN __________________________ 38

v
RUAS KE-1

Menjaga Bibit Kekuatan Positif Di Dalam Diri

Pagar terdepan untuk menjaga kesadaran bagi para sadhaka pemula,


adalah bagaimana dalam kehidupan sehari-hari kita menjaga bibit kekuatan
positif di dalam diri kita sendiri.

Secara pokok ada empat saja, yaitu bagaimana kita memilah pergaulan, apa
yang kita masukkan ke dalam pikiran kita, bagaimana upaya kita
menyeimbangkan energi negatif di dalam diri dengan kekuatan energi positif,
serta tidak mengkonsumsi makanan atau minuman yang melemahkan kesadaran.

1. MEMILAH PERGAULAN

Pertama, pilihlah pergaulan dengan teman-teman yang mendukung


pertumbuhan kesadaran kita. Jagalah jarak dan berinteraksi seperlunya saja
dengan teman-teman yang tidak berada di jalan dharma, seperti teman-teman
yang suka dugem, narkoba, mabuk, kekerasan, berkelahi, judi, seks bebas,
selingkuh, bergossip, menjelekkan orang lain, hura-hura, konsumtif, dsb-nya. Ini
termasuk juga kita perlu menjaga jarak dan berinteraksi seperlunya saja dengan
teman-teman yang fanatik dalam agama atau ideologi. Serta menjaga jarak dan
berinteraksi seperlunya saja dengan teman-teman yang membawa kemerosotan
pada wawasan dan kebijaksanaan kita. Tidak untuk memvonis [menghakimi]
mereka sebagai negatif atau buruk, tapi untuk menjaga bibit kekuatan positif di
dalam diri kita.

Karena lingkungan sangat membentuk kita. Pergaulan menentukan


bagaimana diri kita nantinya. Teman-teman di sekeliling kita akan memberi
pengaruh besar pada pertumbuhan kesadaran kita. Sehingga belajarlah
mengelilingi diri kita dengan teman yang baik-baik [teman di jalan dharma],

1
teman yang bijaksana [tidak fanatik], teman yang tidak membawa kemerosotan
pada wawasan dan kebijaksanaan kita, teman yang dapat membantu menjaga
bibit kekuatan positif di dalam diri kita.

Jangankan orang biasa seperti kita, bahkan orang-orang suci-pun juga


mengelilingi dirinya dengan keluarga dharma [keluarga spiritual]. Tanpa
penghakiman bahwa orang-orang tidak di jalur dharma itu buruk, tapi semata
dengan tujuan untuk menjaga bibit kekuatan positif di dalam diri.

2. MEMILAH APA YANG KITA MASUKKAN DALAM PIKIRAN

Kedua, hati-hatilah memasukkan berbagai hal ke dalam pikiran kita. Karena


apa yang kita lihat, apa yang kita dengar, serta apa yang kita rasakan, semuanya
berpengaruh pada pertumbuhan kesadaran kita.

Sehingga hati-hati membaca berita, membaca koran, mendengarkan radio,


menonton tv, membaca buku, dsb-nya. Pilihlah bacaan, tontonan, serta
dengarkan, hanya yang baik, lembut dan menyejukkan saja. Jangan membaca
buku yang berisi ajaran agama atau ideologi yang fanatik. Jangan membaca berita
yang berisi pertikaian atau kebencian. Jangan menonton sinetron atau berita tv
yang berisi konflik, penipuan, perceraian, berita kriminal, korupsi atau gosip
infotainment. Jangan mendengarkan lagu-lagu atau berita yang bertema
perselingkuhan atau kebencian. Hindari segala bentuk hal-hal semacam itu, untuk
menjaga bibit kekuatan positif di dalam diri kita. Karena hal-hal semacam itu

2
menentukan apa yang kita masukkan ke dalam pikiran kita. Sadar ataupun tidak
sadar, semuanya berpengaruh pada diri kita.

Apa yang kita masukkan ke dalam pikiran kita, akan memberikan pengaruh
pada pertumbuhan kesadaran kita. Sehingga belajarlah untuk selektif di dalam
memilih bacaan, tontonan, serta apa yang kita dengarkan. Pilihlah hanya apa yang
bisa membimbing kita menuju pemikiran serta kesadaran yang terang dan
universal. Misalnya yang berkaitan dengan kehidupan antar sesama mahluk yang
harmonis, saling tolong-menolong, rendah hati, kesadaran, belas kasih dan
kebajikan.

3. MENYEIMBANGKAN ENERGI NEGATIF DENGAN ENERGI POSITIF

Ketiga, lakukan upaya-upaya untuk menyeimbangkan kekuatan energi


negatif di dalam diri kita dengan kekuatan energi positif. Ada banyak ragam
caranya, yang caranya bisa kita pilih serta kita padu-padankan sesuai dengan
kondisi kita sendiri yang memungkinkan.

Cara yang praktis dan efektif adalah dengan melukat di parahyangan suci.
Karena air adalah penghantar terbaik bagi energi kosmis suci dari para Ista
Dewata dan alam semesta.

Dengan catatan asalkan memenuhi syarat dilakukan di parahyangan suci


yang sakral serta dilakukan dengan tata-cara yang tepat, sehingga melukat dapat
memberikan manfaat sangat besar secara spiritual, yaitu menyeimbangkan
3
kekuatan energi negatif di dalam diri [marah, sedih, takut, penyakit, dsb-nya]
dengan kekuatan energi positif, pemurnian diri, peningkatan kesadaran dan
pembersihan energi karma buruk.

Cara lain yang juga praktis dan efektif adalah dengan cara rajin sembahyang
tiga kali sehari [Tri Sandhya], dengan cara sembahyang Panca Sembah. Atau bisa
juga dengan tekun melakukan penjapaan mantra Ista Dewata. Kekuatan suci
mantra Ista Dewata melalui penjapaan mantra akan terserap masuk ke dalam diri
kita. Yang memurnikan, menyembuhkan dan menanamkan benih-benih
kesadaran di dalam diri kita.

Cara lainnya adalah dengan melakukan praktek yoga-asana. Manfaat yoga-


asana sangatlah banyak. Selain memberikan manfaat fisik berupa perbaikan
kesehatan yang meyakinkan, praktek yoga asana juga memberikan manfaat
secara mental, yaitu meringankan depresi, meningkatkan kebahagiaan,
meningkatkan kecerdasan dan meningkatkan daya ingat. Yang terpenting adalah
praktek yoga-asana membantu melancarkan dan menyeimbangkan sirkulasi
energi di dalam diri kita, serta membantu meningkatkan kekuatan energi positif di
dalam diri kita melalui masuknya energi prana yang segar.

4. TIDAK MENGKONSUMSI MAKANAN ATAU MINUMAN YANG


MELEMAHKAN KESADARAN

Keempat adalah, tidak mengkonsumsi makanan atau minuman yang


mengganggu kesadaran. Ini bisa memiliki dua arti. Arti pertama, seorang sadhaka
yang serius melatih diri dalam penembusan kesadaran Atma, akan mengerti
bahwa makanan dan minuman hanyalah penunjang kebugaran dan kelangsungan
hidup. Tidak lebih dan tidak kurang. Oleh karena itu ia tidak akan memilih-milih
dan menilai kelezatan makanan atau minuman, artinya tertarik dengan ini karena
enak dan tidak suka dengan itu karena kurang enak.

Arti kedua yang lebih mendalam, karena makanan dan minuman adalah
penunjang kebugaran dan kelangsungan hidup, maka kita harus bijaksana dalam
memilih makanan dan minuman apa yang kita konsumsi. Makanan atau minuman
yang basi, kotor, mengandung bakteri, beracun, dsb-nya, sudah pasti seharusnya
tidak dikonsumsi. Ini juga termasuk kita jangan mengkonsumsi makanan atau

4
minuman yang melemahkan kesadaran seperti mengkonsumsi minuman keras,
narkoba, dsb-nya.

Makanan dan minuman tentu hanya sebagian saja dari banyak faktor yang
mengkondisikan kesadaran kita. Tapi secara khusus mengkonsumsi minuman
keras, narkoba, dsb-nya, adalah yang benar-benar harus dihindari. Karena tidak
saja mengakibatkan tumpukan energi yang tidak baik di dalam tubuh kita, tapi
juga bisa mengakibatkan melemahnya kesadaran. Ketika kesadaran melemah,
konsentrasi dan perhatian akan menurun. Ketika konsentrasi dan perhatian
menurun, maka moralitas dan kebijaksanaan tidak bisa dikembangkan.

5
RUAS KE-2

Memandang Setiap Hal Dan Setiap Kejadian Dari Sudut


Pandang Positif Dan Lembut

Setiap ada masalah, gangguan serta godaan, atau apa saja yang muncul
dalam perjalanan kehidupan kita, belajarlah untuk memandangnya dengan sudut
pandang positif dan lembut. Buanglah setiap sudut pandang yang gelap dan keras.

Munculnya kebijaksanaan, kejernihan dan kedamaian di dalam diri


sesungguhnya hanya persoalan mengambil sudut pandang yang tepat. Setiap hal
dan setiap pengalaman dalam kehidupan ini dapat dipandang dengan cara apa
saja. Jika sudut pandang kita gelap dan keras, maka kesengsaraan dan kekacauan
yang akan muncul di dalam diri, sekaligus menjadikan kehidupan kita juga keras
dan kacau. Sebaliknya jika sudut pandang kita positif dan lembut, maka
kebijaksanaan, kejernihan dan kedamaian-lah yang muncul di dalam diri.

Secara pokok ada tiga saja, yaitu memandang diri sendiri secara positif dan
lembut, memandang orang lain secara positif dan lembut, serta memandang
perjalanan kehidupan secara positif dan lembut.

1. MEMANDANG DIRI SENDIRI SECARA POSITIF DAN LEMBUT

Pertama, belajar memandang diri sendiri sebagaimana adanya secara


positif dan lembut. Jadilah diri sendiri dengan damai dan bahagia. Karena
keresahan dan kegelisahan jiwa selalu berawal dari ketidakpuasan atau
kekecewaan kita akan diri kita sendiri. Ketidakpuasan atau kekecewaan akan
keadaan diri sendiri akan menimbulkan konflik di dalam diri. Yang menghalangi
pertumbuhan kesadaran kita.

6
Ketidakpuasan atau kekecewaan akan diri sendiri muncul dari
membandingkan diri sendiri dengan orang lain. Karena salah satu ilusi dalam
kehidupan ini adalah ilusi akan adanya kehidupan yang enak, nyaman, mudah,
bebas dari masalah, atau bahkan sepenuhnya bahagia. Itu hanya ilusi dalam
pikiran kita saja. Sesungguhnya tidak pernah ada kehidupan seperti itu. Walaupun
menjadi orang cantik atau ganteng, orang cerdas, orang keren, orang kaya,
dihormati, dipercaya, dsb-nya, tetap saja perjalanan kehidupan tidak dapat
sepenuhnya enak, nyaman, mudah dan bebas dari masalah. Dibalik setiap
kelebihan atau kesuksesan pasti selalu ada sisi-sisi kesulitan dan kesengsaraan
dalam kehidupan. Semua orang di dunia ini punya kesengsaraan, kesulitan dan
masalahnya masing-masing.

Memandang kelebihan atau keberhasilan orang lain sebagai standar


perbandingan dengan diri sendiri, disebut dengan cara pandang persaingan.
Dampaknya adalah akan membuat kita tidak puas dan kecewa dengan diri sendiri,
atau dengan kata lain menimbulkan konflik pikiran, membuat kita berperang
dengan diri kita sendiri. Misalnya membuat kita merasa diri kurang cantik atau
ganteng, merasa kurang cerdas, merasa kurang keren, merasa tidak cukup kaya,
dsb-nya. Tanpa sadar di satu sisi kita akan kehilangan diri kita sendiri yang unik
dan berbeda dari orang lain, sekaligus di sisi lain kita pasti akan gagal menjadi
orang lain. Ini akan membuat jiwa kita terasa lelah, hampa atau terasing. Yang
merupakan awal dari banyak kemarahan dan kesengsaraan jiwa.

Ketidakpuasan atau kekecewaan akan diri sendiri juga dapat muncul karena
kita terlalu memikirkan pendapat orang lain. Sehingga kita mengukur diri kita
sendiri dengan ukuran orang lain. Sekali lagi, itu akan menimbulkan
ketidakpuasan atau kekecewaan akan diri kita sendiri. Hanya masalah waktu kita
akan kelelahan, merasa terasing atau tersesat dalam perjalanan kehidupan kita
sendiri.

Sehingga dengarkan pendapat orang sebatas secukupnya saja, kemudian


belajar untuk bersyukur dan berterimakasih dengan keadaan diri kita sendiri
sebagaimana adanya. Jangan terlalu menghiraukan pendapat orang lain yang
menilai kita begini dan begitu. Jangan menilai diri kita sendiri melalui penilaian
orang lain, karena hampir semua penilaian bahkan datang dari orang-orang yang
tidak mengenal dirinya siapa.

7
Selalulah memilah dengan baik, mana pendapat orang yang layak
didengarkan dan mana yang harus dibuang. Karena jika kita mendengarkan
semua komentar atau pendapat orang lain akan membuat pikiran kita mirip tong
sampah. Persoalan waktu akan menjadi busuk dan menjadi sumber penyakit.
Sehingga, kenalilah diri kita sendiri, kenalilah putaran karma kita sendiri, kenalilah
kebutuhan diri kita sendiri, untuk kemudian berkembang dan mengambil jalan
yang paling sesuai dengan diri kita sendiri. Jadilah diri sendiri.

Di jaman ini terlalu banyak manusia yang tidak mengenali dirinya sendiri,
untuk kemudian diombang-ambingkan oleh pendapat orang lain. Terutama
disebabkan karena kebanyakan manusia membutuhkan pengakuan. Di jalan
dharma diajarkan, pengakuan adalah makanan dari ego [ahamkara]. Selain itu,
kejernihan, kedamaian dan kebijaksanaan tidak pernah bisa dicapai dengan
pengakuan, melainkan dengan cara menerima diri kita sendiri sebagaimana
adanya, dengan rasa syukur dan rasa terimakasih. Kemudian berkembang dan
mengambil jalan yang paling sesuai dengan diri kita sendiri.

Benih kejernihan sebagai akar kedamaian dan kesadaran baru dapat mulai
bersemi di dalam diri, ketika kita dapat bersyukur dan berterimakasih dengan
keadaan diri kita sendiri sebagaimana adanya. Menjadi diri kita sendiri yang unik
dan berbeda dari orang lain. Tidak bersaing atau membanding-bandingkan diri
kita sendiri dengan orang lain.

Untuk itulah sudah selayaknya kita memandang diri sendiri sebagaimana


adanya secara positif dan lembut. Karena lebih mudah untuk menemukan

8
kejernihan dan kedamaian dengan pikiran yang positif dan lembut terhadap diri
sendiri. Jangan membandingkan diri sendiri dengan orang lain. Bahagialah dengan
diri sendiri. Jadilah diri sendiri sebagaimana adanya. Setiap manusia itu unik dan
berbeda dari orang lain. Bersyukurlah dengan kondisi dan keadaan diri kita, serta
apa yang kita miliki. Semakin kita dapat menerima diri sebagaimana adanya, maka
semakin mekarlah kesadaran kita. Karena penerimaan seperti ini yang akan
menghentikan konflik dan benturan pikiran, sehingga kejernihan dapat bersemi di
dalam diri kita.

2. MEMANDANG ORANG LAIN SECARA POSITIF DAN LEMBUT

Kedua, belajar memandang orang lain secara positif dan lembut. Karena
jika kita memandang orang lain dengan sudut pandang yang gelap dan keras,
maka itu sama dengan menyalakan api di dalam diri kita. Yang pertama terbakar
dan kehilangan kejernihan kesadaran adalah diri kita sendiri. Selain itu juga, akan
seketika membuat kita kehilangan kebijaksanaan dan sifat belas kasih.

Misalnya [sebuah contoh] kita bertemu dengan orang-orang yang


menyakiti. Melihat dari sudut pandang positif berarti melihat mereka bukan
sebagai orang jahat, melainkan sebagai guru dharma yang sedang membimbing
kita menuju kesadaran sempurna. Orang-orang yang menyakiti akan memaksa
Tanpa bertemu orang-orang yang menyakiti, kita

kehidupan duniawi. Sehingga orang-orang yang menyakiti sesungguhnya adalah


guru dharma yang sedang mengarahkan kita membangunkan kesadaran Atma.

Melihat dari sudut pandang lembut berarti melihat orang-orang yang


menyakiti kita bukan sebagai orang jahat, melainkan sebagai korban. Masalah
sesungguhnya adalah adanya avidya [ketidaktahuan atau kesalahpahaman] di
dalam diri mereka, yang berasal dari dari seluruhan pengalaman hidup mereka.
Dari keluarga di rumah yang mengalami kekacauan, keteladanan para tokoh yang
tidak baik, ketidakadilan hirarki dunia, berita media yang penuh dengan
kekerasan, pemerintah yang tidak terkelola dengan baik, sekolah yang terlalu
menekan dan tidak mendidik, ajaran agama yang disampaikan dengan tidak
benar, iklan-iklan yang demikian menggoda ketidakpuasan manusia, dsb-nya. Itu
semua adalah pengalaman kehidupan yang rumit, yang menjerumuskan mereka
ke dalam jurang gelap avidya.

9
Melihat dari sudut pandang lembut berarti melihat bahwa setiap
perkataan, perbuatan atau reaksi [respon] dari orang lain kepada kita semata-
mata merupakan hasil akumulasi dari keseluruhan pengalaman hidup mereka
sendiri. Ketika kita bertemu orang yang mengganggu di jalan, bertemu kasir
supermarket yang kasar, disakiti orang, dsb-nya, itu sesungguhnya tidak ada
hubungannya dengan diri kita. Artinya apa yang dipikirkan, dikatakan dan
dilakukan manusia di dunia ini berasal dari kecenderungan pikiran, pengalaman
buruk, rasa takut dan upaya pertahanan diri mereka sendiri, yang bersumber dari
pengalaman hidup mereka. Sekalipun hal tersebut langsung ditujukan kepada
kita, sesungguhnya itu tidak ada kaitannya dengan diri kita. Melainkan terkait
dengan konflik dan pertempuran pikiran di dalam diri mereka sendiri.

Sehingga ketika kita bertemu dengan orang-orang yang menyakiti, lihatlah


konflik dan pertempuran pikiran di dalam diri mereka. Serta lihatlah kesengsaraan
yang ada dibalik perbuatan mereka. Mungkin mereka dimaki atasannya di kantor,
diteriaki istrinya di rumah, anak-anaknya sangat nakal, dsb-nya. Ketika kita dapat
melihat kesengsaraan di balik perbuatan mereka, kita tidak akan lagi melihat
mereka sebagai orang jahat, melainkan sebagai korban. Itulah memandang dari
sudut pandang yang lembut. Kebijaksanaan, belas kasih dan kebajikan akan mekar
di hati kita.

Selain itu perlu diwaspadai, bahwa salah satu jebakan ego [ahamkara] yang
sering muncul ketika kita merasa diri kita sudah baik atau sudah benar, adalah
kita mulai menjadi terlalu kritis dan banyak memberi penilaian buruk terhadap
kekurangan orang lain. Ketika kita melihat kesalahan, kekurangan, keserakahan
dan kegelapan pada orang lain, kita sering tergoda untuk secara agresif memvonis
buruk [menghakimi] orang tersebut. Ini tidak lain muncul dari ego kita
sendiri. Sebuah jebakan ego [ahamkara]. Ketika kita memvonis buruk atau
menyentil orang lain, tanpa disadari benih-benih kebencian, kemarahan,
kesombongan atau avidya [ketidak-tahuan] sudah muncul di dalam diri kita.

Jika kita mudah mengkritik, mudah menyalahkan dan mudah memvonis


buruk [menghakimi] orang lain, secara pasti kita akan mengotori pikiran kita
sendiri. Kita akan kehilangan kejernihan dan kedamaian. Pikiran penuh
penghakiman membuat kejernihan dan kedamaian di dalam diri seketika
menghilang. Lebih jauh lagi, ketika kita mengkritik, menyalahkan atau memvonis

10
orang lain secara negatif, disaat itu kita sedang menghidupkan kegelapan di
dalam diri kita sendiri, sekaligus menghidupkan kegelapan dalam diri orang lain.
Kita tidak saja sedang menanam bibit kekerasan di dalam diri kita sendiri, tapi
juga sedang menanam bibit kekerasan pada orang lain.

Mudah mengkritik, mudah menyalahkan dan mudah memvonis buruk


[menghakimi] orang lain, lebih mencerminkan bagaimana diri kita dibandingkan
bagaimana orang lain tersebut. Orang lain terlihat salah karena, pertama kita
mengukur orang lain dengan ukuran diri kita sendiri dan kedua kita mengukur diri
kita sendiri dengan ukuran diri kita sendiri. Itu sebabnya, para orang-orang suci
melatih dirinya untuk tidak mengukur orang lain dengan ukuran dirinya sendiri,
tapi memandang dari sudut pandang dan latar belakang orang tersebut. Laksana
memandang ikan sebagai ikan, memandang burung sebagai burung, dsb-nya.
Sehingga semuanya dapat terlihat alami di tempatnya masing-masing.

Dengan memiliki pandangan meditatif seperti itu, akan memunculkan


pengertian yang bijaksana. Pandanglah orang lain dari sudut pandang positif dan
lembut. Inilah jalan pemurnian jiwa. Sebab disaat itu juga kebencian, kemarahan,
kesombongan dan avidya [ketidak-tahuan] lenyap memudar dari pikiran kita.
Untuk kemudian memberikan ruang pada belas kasih dan kebajikan di dalam
pikiran kita.

Tidak hanya sebatas memurnikan jiwa saja, tapi sekaligus juga akan
mengirimkan pancaran energi kesejukan dan kedamaian kepada orang lain. Sudah
sering terbukti jika kita dapat memandang orang lain siapa saja, atau mahluk apa
saja, dengan sudut pandang positif dan lembut, dalam jangka waktu tertentu sifat
orang atau mahluk tersebut lama-kelamaan juga akan berubah menjadi positif
dan lembut. Disebabkan karena pancaran energi kesejukan dan kedamaian yang
terus kita kirimkan. Kita tidak saja akan menyelamatkan diri kita sendiri tapi juga
menyelamatkan orang lain. Ini juga yang kemudian akan menghindarkan kita dari
kemungkinan garis nasib yang lebih panas dan sengsara.

3. MEMANDANG KEHIDUPAN SECARA POSITIF DAN LEMBUT

Ketiga, belajar memandang sebagaimana adanya perjalanan kehidupan kita


secara positif dan lembut. Karena dengan cara demikian akan melenyapkan
ketidakpuasan, kemarahan dan kegelapan pikiran, sekaligus memunculkan

11
kebijaksanaan, kejernihan dan kedamaian di dalam diri. Itu semua hanyalah
persoalan bagaimana kita bersedia melatih diri untuk memiliki keterampilan agar
dapat memandang setiap hal dan setiap kejadian dalam kehidupan dengan sudut
pandang yang tepat.

Setiap pengalaman hidup yang menyakitkan merupakan pembayaran


hutang-hutang karma buruk kita di masa lalu. Jika kita dapat menerimanya
dengan lascarya [penuh kerelaan], tidak saja akan memurnikan hati kita, tapi juga
membuat hutang-hutang karma buruk kita terselesaikan [terbayar lunas],
sekaligus membuka jalan kehidupan yang lebih terang di masa depan.

Tapi tidak hanya sebatas itu saja, setiap pengalaman hidup yang
menyakitkan, jika kita merenungkannya dalam-dalam, kita akan dapat menyadari
bahwa kejadian-kejadian yang buruk tersebut bukanlah sesuatu yang negatif atau
buruk. Justru sebaliknya ! Kita akan dapat memahami bahwa dibalik semua
kejadian-kejadian buruk tersebut, sesungguhnya alam semesta sedang
menghadirkan cahaya terang di dalam kehidupan kita. Karena kejadian buruk
adalah konsekuensi bayangan dari kebenderangan. Setiap kejadian buruk yang
muncul dalam kehidupan adalah cara alam semesta mengarahkan kita
membangunkan kesadaran Atma.

Setiap pengalaman hidup yang menyakitkan adalah cara alam semesta


mengarahkan kita membangunkan kesadaran Atma. Setiap pengalaman hidup
yang menyakitkan pikiran-
Memaksa kita memasuki jalan dharma. Memaksa kita melaksanakan sadhana.
Sehingga kita tidak terus larut dan terseret oleh arus siklus samsara. Asalkan kita
mau memasuki jalan dharma, melaksanakan sadhana, serta belajar untuk cerdas
dan bijaksana melihat sisi baik, sisi positif dan sisi lembut pada setiap pengalaman
kehidupan. Disanalah kita sedang membangunkan kesadaran Atma.

Penghalang utama untuk dapat memandang perjalanan kehidupan secara


positif dan lembut disebabkan karena kecenderungan pikiran yang kaku dan
keras. Memaksa diri sendiri harus begini dan begitu. Memaksa kehidupan harus
berjalan begini dan harus begitu. Ketika keinginan tidak sesuai dengan kenyataan,
pikiran kita menolak dengan keras. Sehingga pikiran menjadi marah, resah, tegang
dan mengalami konflik internal.

12
Setiap saat hidup ini membawa kita kepada pilihan. Tersedia pilihan tanpa
batas yang kemudian akan menentukan garis nasib kita. Setiap peristiwa dan
setiap pilihan sikap cara pandang, akan bermanifestasi menjadi riak-riak
berikutnya dalam aliran perjalanan kehidupan.

Jika kita sudut pandangnya gelap dan keras, maka pikiran kita juga akan
menjadi gelap seperti dikuasai ketidakpuasan, kemarahan, protes, dsb-nya. Kita
tidak saja akan merasakan sakit dan kesengsaraan di dalam diri, tapi sekaligus
juga sangat mungkin kita akan menyakiti orang lain. Ini juga yang kemudian akan
membawa garis nasib kita menjadi lebih panas dan sengsara. Sudut pandang yang
tidak tepat seperti ini akan membuat kita menghantar diri kita sendiri tenggelam
ke dalam lumpur kegelapan.

Sebaliknya jika kita sudut pandangnya positif dan lembut, maka tidak saja
pikiran kita menjadi lebih tenang dan damai di dalam diri, tapi sekaligus juga
membuat kita terhindar dari menyakiti orang lain. Ini juga yang kemudian akan
membawa garis nasib kita menjadi lebih aman, tenang dan damai.

Karena itu mengalirlah dengan keadaan diri kita dan kehidupan kita sendiri
sebagaimana adanya. Sudah selayaknya kita memiliki pandangan yang positif dan
lembut. Karena lebih mudah untuk menemukan kejernihan dan kedamaian
dengan pikiran yang positif dan lembut, pada setiap kemungkinan dalam
perjalanan, pada setiap keadaan. Apapun yang terjadi akan menjadi karma-karma
yang mengalir di sungai kejernihan dan kedamaian.

13
Memandang semua hal dan semua bentuk pengalaman kehidupan dari
sudut pandang yang positif dan lembut, adalah cara agar jiwa kita akan dapat
bertransformasi menjadi jernih dan indah. Sebagaimana termuat dalam berbagai
buku-buku suci dharma, pikiran yang memandang dari sudut pandang yang positif
dan lembut adalah jalur cepat menuju kebijaksanaan, kejernihan dan kedamaian
di dalam diri.

Jika semua bentuk pengalaman kehidupan terlihat positif dan lembut, itu
pertanda kita sudah mengalami kejernihan pandangan. Pemahaman mendalam
akan kebenaran seperti inilah yang menghasilkan prajna [kebijaksanaan], yang
akan membebaskan kita dari keserakahan, ketidakpuasan, kemarahan, kesedihan,
keraguan, ketakutan dan kesengsaraan.

14
RUAS KE-3

Melatih Diri Tidak Menyakiti

Dalam perjalanan kehidupan ini, salah satu hal yang penting untuk
dilakukan adalah melatih diri dan menjaga diri agar kita tidak menyakiti, karena
itu semua terkait erat dengan bagaimana terbentuknya kecenderungan pikiran
kita sendiri.

Secara pokok tidak menyakiti ada dua saja, yaitu tidak menyakiti diri
sendiri, serta tidak menyakiti orang lain dan mahluk lain.

1. TIDAK MENYAKITI DIRI SENDIRI

Ada berbagai cara untuk menyakiti diri kita sendiri. Sayangnya seringkali
kita tidak menyadarinya.

Untuk meraih dasar-dasar kejernihan pikiran, kita memerlukan kombinasi


yang tepat antara menekan diri dan mengekspresikan diri. Karena di dalam diri
kita masing-masing terdapat sisi-sisi energi alamiah, dimana hal tersebut
merupakan hal yang alami dan manusiawi. Jika kita menekan diri secara
berlebihan kita akan melukai jiwa kita sendiri. Sebaliknya jika kita
mengekspresikan diri secara berlebihan kemungkinan kita akan melukai orang
lain. Dan keduanya menghasilkan luka-luka yang akan menyakiti diri kita sendiri.

Sehingga renungkanlah ke dalam diri kita sendiri. Kenali keadaan diri kita
sendiri, agar kita bisa melihat dan memahami kebutuhan diri kita sendiri yang
unik dan berbeda dengan orang lain. Kemudian ekspresikan diri kita secara tepat
dan bijaksana. Artinya memilih kombinasi yang tepat untuk diri kita sendiri,
kombinasi yang unik dan tepat antara menekan diri dan mengekspresikan diri.
Karena itulah cara untuk meraih dasar-dasar kejernihan pikiran.

15
Ekspresikanlah energi di dalam diri kita secara sehat dan alamiah, sesuai
dengan panggilan alamiah diri kita. Kurangilah menekan-nekan diri dengan
larangan begini dan begitu. Tanpa pelabelan dualitas pikiran seperti baik-buruk,
salah-benar, sukses-gagal, dsb-nya. Sebab jika kita terlalu menekan diri dengan
larangan yang tidak sesuai dengan panggilan alami diri kita, itu berarti kita
melawan arus kekuatan alam, sehingga pikiran kita akan penuh dengan konflik
dan ketidakharmonisan. Tapi dalam mengekspresikan diri tetaplah dengan
berpegang kepada pedoman utama yang penting, yaitu kita tidak melakukan
perkataan atau perbuatan yang menyakiti diri sendiri, menyakiti orang lain atau
merugikan orang lain.

Setiap manusia itu unik dan berbeda-beda satu sama lain. Setiap manusia
ada satu sisi dirinya memerlukan pertumbuhan kesadaran jiwa harus dengan cara
mengekspresikan diri dan ada sisi lain dirinya memerlukan pertumbuhan
kesadaran jiwa harus dengan cara menekan. Jika satu sisi unik manusia
pertumbuhan kesadaran jiwa-nya yang tepat harus dengan cara mengekspresikan
diri, tapi memilih cara menekan, dia seperti menyimpan api membara di dalam
diri. Cara terlalu menekan seperti ini akan menyakiti diri sendiri. Menimbulkan
banyak luka-luka jiwa. Persoalan waktu jiwanya akan kering dan terbakar.
Demikian juga sebaliknya jika satu sisi unik manusia pertumbuhan kesadaran jiwa-
nya yang tepat harus dengan cara menekan, tapi memilih cara mengekspresikan
diri, dia akan banyak melakukan kesalahan-kesalahan berbahaya.

Dalam hal ini seringkali sebagian dari norma sosial masyarakat dan aturan
agama menjadi halangan yang mengganggu pertumbuhan kesadaran jiwa
manusia, dengan cara terlalu banyak menekan dan melarang, yang bersifat kaku
dan dualistik [baik-buruk, benar-salah, suci-gelap, dsb-nya]. Padahal setiap
manusia itu memiliki jalan dan pertumbuhan kesadaran jiwa yang unik dan
berbeda-beda satu sama lain. Tidak bisa disamakan. Dampak dari tekanan dan
larangan yang bersifat kaku dan dualistik adalah menekan panggilan alamiah
dalam diri manusia sehingga menimbulkan kegelisahan jiwa melalui konflik di
dalam pikiran, yang muncul dari dualitas pikiran, seperti buruk melawan baik,
kotor melawan suci, dsb-nya.

Tentu saja norma sosial masyarakat dan aturan agama bukan sesuatu yang
buruk. Norma sosial masyarakat dan aturan agama berisi banyak larangan-

16
larangan, dengan tujuan mulia untuk menjaga manusia agar tidak melakukan
kesalahan-kesalahan berbahaya. Ini tentu tidak salah, karena norma sosial, aturan
dan larangan diperlukan terutama sekali bagi manusia-manusia yang kesadaran
jiwanya baru mulai bertumbuh, yang masih kasar dan kuat sifat binatangnya.
Semata-mata untuk menjaga agar manusia tidak mengekspresikan diri secara
berlebihan untuk kemudian terjerumus ke dalam melakukan kesalahan
berbahaya.

Tapi masalahnya adalah bahwa segala hal tidak sesederhana dualitas hal ini
baik dan hal itu buruk. Setiap manusia itu masing-masing unik dan berbeda dari
orang lain. Setiap orang memiliki panggilan alamiah, jalan pertumbuhan, cara
pertumbuhan, bakat dan tugasnya masing-masing di dunia, sesuai dengan
putaran karmanya sendiri. Setiap orang berbeda tidak bisa disamakan. Ada
jejaring yang rumit di balik semua hal.

Selain itu dualitas pikiran hanyalah sebatas cara pikiran mengerti dan sama
sekali bukan kebenaran itu sendiri. Artinya kebenaran sangatlah relatif,
sesungguhnya kita bisa memandang apa saja dengan cara apa saja. Leluhur kita di
Bali mengajarkan bahwa tidak ada kebenaran yang mutlak, tapi kebenaran yang
lebih mendekati adalah kebenaran yang berlandaskan desa, kala, patra [tempat,
waktu, kondisi keadaan].

Setiap manusia itu unik dan berbeda-beda satu sama lain. Jujurlah kepada
diri kita menyangkut diri kita sendiri, apa yang terbaik untuk diri kita sendiri dan
bukan melakukan apa yang diharapkan atau dinilai orang lain. Kita harus percaya
diri karena ini hidup kita sendiri. Tidak ada orang lain yang dapat benar-benar
mengetahui, hanya diri kita sendirilah yang paling tahu tentang diri kita sendiri,
apa yang terbaik bagi diri kita sendiri dan kita sendiri juga yang akan
mendapatkan hasilnya yang positif bagi diri kita sendiri. Sebagian manusia
hidupnya gelisah dan berputar-putar tanpa arah karena terlalu berpegang kepada
pendapat dan sudut pandang pikiran orang lain. Sehingga dengarkan pendapat
orang lain sebatas secukupnya saja, kemudian belajar untuk menjadi diri sendiri.
Berpeganglah kepada prinsip apa-apa yang baik untuk diri kita. Karena jika kita
tidak memiliki pegangan tersebut, maka kejernihan pikiran kita akan mudah
dibuat jatuh oleh hal-hal sepele yang datang dari sudut pandang orang lain yang
belum tentu tepat dan sesuai untuk kondisi unik diri kita sendiri.

17
Kenalilah fenomena tubuh kita sendiri, kenali fenomena pikiran kita sendiri
dan kenali putaran karma-karma kita sendiri. Intinya adalah mengenali diri kita
sendiri. Pelajari secara seksama diri kita dan kehidupan kita sendiri. Yang
terpenting bukanlah dualitas salah-benar atau baik-buruk, tapi apa kebutuhan
jiwa kita sendiri, bagaimana putaran karma kita sendiri dan kita termasuk jiwa
yang memerlukan pertumbuhan kesadaran jiwa dengan jalan apa ?

Terlalu menekan sisi-sisi alamiah di dalam diri kita sendiri, akan memantul
balik dalam bentuk kekacauan di dalam jiwa kita. Setiap bentuk pikiran dan
dorongan energi alamiah yang ditekan dan dilarang secara berlebihan kemudian

penuh, dia kemudian akan memberikan tanda ke permukaan dalam bentuk bad
mood, kesedihan tanpa sebab, dsb-nya. Ini dalam jangka panjang dapat
bermanifestasi menjadi berbagai jenis sifat perilaku yang bersifat merusak diri
sendiri dan orang lain. Inilah yang disebut sebagai norma sosial masyarakat,
aturan agama dan pandangan orang lain dapat membuat jiwa manusia menjadi
gelisah, rusak dan terbelah.

Jadi kenali diri kita sendiri, kemudian ekspresikan diri kita secara tepat dan
bijaksana. Kembali kepada ajaran leluhur kita di Bali bahwa tidak ada kebenaran
yang mutlak, tapi kebenaran yang lebih mendekati adalah kebenaran yang
berlandaskan desa, kala, patra [tempat, waktu, kondisi keadaan].

Selain menjalankan kombinasi yang tepat antara menekan diri dan


mengekspresikan diri, untuk meraih dasar-dasar kejernihan pikiran, kita juga

18
memerlukan kombinasi yang tepat antara tidak terlalu tenggelam dalam rasa
bersalah serta mengakui kesalahan kita dan segera memperbaiki diri.

Disebabkan karena ketidak-sempurnaan diri kita sebagai manusia, kadang-


kadang dalam perjalanan kehidupan kita tidak dapat melepaskan diri dari
melakukan kesalahan. Kita harus mengerti bahwa melakukan kesalahan adalah
hal yang manusiawi. Terimalah dengan hati jernih. Yang terpenting adalah jika
kita melakukan kesalahan segeralah mengakui kesalahan kita dan berusaha
memperbaiki diri.

Jika kita melakukan kesalahan, kemudian tidak bersedia mengakui


kesalahan kita, itu adalah kesalahan yang lebih besar. Karena jika kebiasaan
seperti ini terakumulasi, kita akan menciptakan penghalang mental bagi
kejernihan pikiran kita. Melakukan penyangkalan terhadap kesalahan yang kita
buat akan membuat diri kita terjebak ke dalam ego [ahamkara], yang tidak saja
akan menghalangi pertumbuhan kesadaran jiwa kita, menciptakan penghalang
mental bagi kejernihan pikiran kita, sekaligus membuat kita kehilangan pelajaran
berharga dari kehidupan yang mencegah kita mengulangi melakukan kesalahan
yang sama di masa depan.

Pada sisi sebaliknya, jika kita terlalu menyalahkan dan memvonis buruk diri
kita sendiri saat melakukan kesalahan, itu merupakan sebuah tindakan menyakiti
diri sendiri. Memvonis buruk diri sendiri atau terlalu tenggelam dalam rasa
bersalah tidak sehat bagi pertumbuhan kesadaran jiwa kita. Memvonis buruk diri
sendiri akan berdampak membuat jiwa kita mudah terluka, sekaligus kita akan
sulit tersembuhkan dari luka-luka jiwa. Pikiran kita akan menjadi keras-kaku, kita
akan mudah sekali menyalahkan orang lain dan kita akan sulit memaafkan
kesalahan orang lain. Ini tentu saja dapat membuat kita mudah terjerat ke dalam
kegelapan pikiran.

Di jalan dharma yang penting bukanlah berapa kali kita melakukan


kesalahan, tapi berapa kali kita bersedia bangkit memperbaiki diri dari kesalahan.
Beranilah mengakui kesalahan kita dan di sisi sebaliknya sekaligus juga dapat
memaafkan diri sendiri atas kesalahan yang kita lakukan.

Cobalah belajar untuk menjauh dari sifat terlalu perfeksionis dalam


menuntut diri dan kehidupan, serta menjauh dari sifat terlalu menyalahkan diri

19
sendiri. Lupakan kesempurnaan. Lihatlah ketidaksempurnaan hanya sebagai
bagian dari cara pertumbuhan kesadaran jiwa kita. Mengalirlah seperti apa
adanya diri kita dan kehidupan kita sendiri. Belajarlah untuk terus-menerus
menerima, tersenyum, mengalir dan tidak memvonis buruk kepada ketidak-
sempurnaan diri atau kepada kesalahan-kesalahan kita.

Di sisi lain belajarlah untuk tidak melakukan penyangkalan terhadap


kesalahan kita. Ketahui kesalahan dari diri kita. Kalau ada orang yang tersakiti,
jangan ragu meminta maaf. Di lain sebaliknya kita juga jangan memvonis buruk
diri sendiri dan tenggelam dalam penyesalan akan kesalahan kita. Karena kita
manusia pada dasarnya tidak sempurna dan melakukan kesalahan itu sesuatu
yang manusiawi. Hidup ini adalah aliran tempat kita belajar, bertumbuh dan
berkembang. Selalulah melihat kesalahan sebagai pelajaran berharga kehidupan,
sebagai titik balik bagi pertumbuhan dan perkembangan jiwa kita.

Dengan mengakui kesalahan diri kita, berani meminta maaf dan sekaligus
memaafkan diri kita sendiri, pikiran kita akan menjadi lebih jernih. Kita akan dapat
memperbaiki diri sendiri, kita tidak akan menyakiti diri sendiri, kita tidak akan
mudah terluka, kita mudah tersembuhkan dan kita akan mudah memaafkan
kesalahan orang lain. Kita tidak akan mudah terjerat ke dalam kegelapan pikiran.

2. TIDAK MENYAKITI ORANG LAIN DAN MAHLUK LAIN

Apapun yang kita ucapkan dan apapun yang kita lakukan itu tidak saja akan
menghasilkan karma, tapi sekaligus juga pasti akan memantul balik ke dalam
kecenderungan pikiran kita sendiri.

Kalau apa yang kita ucapkan dan lakukan berakibat membahagiakan orang
lain, maka hal itu [entah kita sadari atau tidak] pasti akan mendatangkan
kebahagiaan di dalam pikiran kita sendiri. Sebaliknya kalau apa yang kita ucapkan
dan lakukan berakibat menyengsarakan orang lain, maka hal itu tanpa kita sadari
akan mengotori pikiran kita, yang pasti akan berdampak mengganggu kejernihan,
kesejukan dan kedamaian di dalam pikiran kita sendiri.

Berhati-hatilah dengan perkataan kita. Jangan memfitnah. Jangan


mengkritik orang lain atau menjadi sinis tentang mereka. Jangan menghina
mereka yang bodoh, menekan atau meninggalkan mereka dengan keangkuhan.

20
Jangan membicarakan keburukan, kekurangan dan kelemahan orang lain.
Singkirkanlah setiap perasaan iri, ketidakpuasan atau rasa persaingan dalam diri
kita. Lepaskanlah kebanggaan kita. Lepaskanlah merasa penting, merasa lebih
baik, atau merasa lebih benar.

Ciri-ciri jelas dari pikiran yang resah-gelisah adalah menyelesaikan masalah


dengan pikiran yang kritis, dengan cara mengkritik, memvonis [menghakimi],
menyalahkan atau menghina. Semakin keras usahanya menyelesaikan masalah
dengan pikiran kritis, semakin resah-gelisah jiwanya. Tidak saja jiwanya sendiri
gelisah tapi sekaligus juga menyebarkan kegelisahannya kepada orang lain.
Kehilangan kualitas kejernihan dan kebijaksanaan di dalam diri sendiri, kemudian
kemungkinan juga mencemari pikiran orang lain.

Menjadilah terampil untuk tidak memfitnah orang lain. Menjadilah terampil


untuk tidak menghina orang lain. Menjadilah terampil untuk tidak mengeluarkan
kata-kata sinis terhadap orang lain. Menjadilah terampil untuk tidak menyalahkan
atau memvonis orang lain. Menjadilah terampil untuk tidak mengeluarkan kata-
kata yang tidak sebenarnya [berbohong]. Menjadilah terampil untuk tidak
membuat janji terhadap sesuatu yang tidak bisa kita penuhi.

Berhati-hatilah dengan perbuatan kita. Berpikirlah secara matang dan


pelajari situasi dari segala sudut pandang secara hati-hati. Jangan melakukan
kekerasan secara fisik, apalagi sampai melakukan pembunuhan. Jangan
melakukan pelecehan seksual. Jangan mengganggu atau merusak ketertiban
umum. Jangan mencuri, mengambil, mengklaim atau merusak sesuatu yang
bukan milik kita. Jangan punya mata pencaharian yang menjerumuskan atau
merugikan orang lain.

Ini semua adalah dharma yang sangat mendasar, yang terkait erat dengan
upaya kita membangun kejernihan, kesejukan dan kedamaian di dalam diri.
Karena jika kita melakukan pelanggaran dharma seperti itu, tidak saja kelak akan
membawa karma buruk ke dalam kehidupan kita, tapi juga sekaligus tanpa kita
sadari akan membawa dampak kekacauan ke dalam pikiran kita sendiri. Jika apa
yang kita ucapkan atau lakukan berakibat menyakiti perasaan orang lain, cepat
atau lambat pasti akan memantul balik ke dalam kondisi pikiran kita sebagai
kesan-kesan pikiran yang buruk, yang akan menciptakan kegelisahan yang sulit

21
dijelaskan di dalam pikiran kita. Ini tentu saja akan menyebabkan terganggunya
kejernihan, kesejukan dan kedamaian pikiran di dalam diri kita sendiri.

Menyakiti hanya menghasilkan kepuasan atau kesenangan semu, yang


sifatnya sementara, yang tidak ada apa-apanya dibandingkan kehidupan tenang
dan kebahagiaan di dalam diri yang akan kita dapatkan dengan tidak menyakiti.
Dengan tidak menyakiti kelak kita tidak akan tersakiti, serta sekaligus tidak akan
membawa kegelapan di dalam pikiran-perasaan kita.

Agar dapat menumbuhkan hati belas kasih kepada orang atau mahluk lain,
yang dapat mencegah kita untuk menyakiti, kita perlu mendidik diri untuk melihat
kesamaan-kesamaan diantara kita semua. Lupakanlah perbedaan, karena jika
melihat perbedaan-perbedaan pasti akan menimbulkan tembok pemisah antara
diri kita dengan yang lainnya. Antara yang dianggap benar dan yang dianggap
salah, antara yang dianggap baik dan yang dianggap buruk, dsb-nya. Sebaliknya
dengan melihat kesamaan diantara kita semua akan menimbulkan keterhubungan
yang sakral. Sehingga belajarlah memandang kesamaan-kesamaan diantara kita
semua, yaitu :

- Sama seperti saya, orang atau mahluk lain juga mencari kebahagiaan di dalam
hidupnya.

- Sama seperti saya, orang atau mahluk lain juga tidak mau disakiti dan berusaha
menghindari kesusahan dan kesengsaraan di dalam hidupnya.

- Sama seperti saya, orang atau mahluk lain juga pernah menjalani hari-hari buruk
yang berat.

- Sama seperti saya, orang atau mahluk lain juga pernah mengalami kesusahan,
kesengsaraan, kesedihan, keputus-asaan dan kesepian di dalam hidupnya.

- Sama seperti saya, orang atau mahluk lain juga berusaha memenuhi apa
kebutuhan atau keperluan hidupnya.

- Sama seperti saya, orang atau mahluk lain juga sedang sama-sama dalam proses
belajar dan bertumbuh di dalam perjalanan kehidupan.

22
Lihatlah orang lain dan mahluk lain dengan senyuman belas kasih, karena
dalam samudera samsara ini mereka semua sama seperti diri kita. Terima mereka
seperti sebagaimana adanya, karena kita semua sama dan kita semua sedang
sama-sama dalam proses belajar dan bertumbuh di dalam perjalanan kehidupan
dengan jalan serta cara kita masing-masing.

Jangan pernah mengecilkan peran kata-kata yang baik [wacika] dan


perbuatan yang baik [kayika], serta pikiran yang baik [manacika]. Yang berarti
perkataan dan perbuatan yang tidak menyakiti orang lain atau mahluk lain.
Berbicaralah kalau kita yakin mengeluarkan kata-kata yang baik. Berbuatlah kalau
kita yakin melakukan suatu perbuatan kebajikan. Dengan cara ini kita membuat
hati kita menjadi jernih dan lapang, serta sekaligus kita juga sedang membuat
dunia lebih indah dari hari ke hari.

Tidak menyakiti sepertinya terkait erat dengan orang lain dan mahluk lain.
Tapi sesungguhnya diri kita sendirilah yang akan paling merasakan dampaknya.
Dengan tidak menyakiti, hari demi hari pikiran kita akan semakin dimurnikan,
sehingga memunculkan kejernihan, kesejukan dan kedamaian di dalam diri.

23
RUAS KE-4

Tekun Melakukan Kebajikan-Kebajikan

Salah satu rahasia penting semua jalan spiritual adalah hati yang penuh
belas kasih dan kebajikan. Pertama, karena praktek spiritual atau praktek religius
manapun akan dangkal dan tidak pernah bisa dalam kalau tanpa dilandasi hati
yang penuh belas kasih dan kebajikan kepada semua mahluk. Kedua, karena belas
kasih dan kebajikan adalah awal dan akhir semua jalan spiritual. Di awal menjadi
pondasi sangat penting dan di akhir ketika mencapai kesadaran Atma yang
sempurna, sebagai hasilnya adalah keheningan bathin, serta hati yang penuh
belas kasih dan kebajikannya. Demikian menentukannya, sehingga kalau seluruh
ajaran dharma di-intisarikan menjadi satu ajaran saja, maka hal itu adalah belas
kasih dan kebajikan tanpa batas kepada semua mahluk.

Belas kasih dan kebajikan tidak hanya berguna bagi mahluk lain, tapi
terutama sekali sangat berguna untuk diri kita sendiri. Apapun yang kita ucapkan
dan lakukan sesungguhnya tidak saja menghasilkan karma, tapi sekaligus juga
secara pasti akan memantul balik ke dalam kondisi pikiran kita sendiri. Kalau apa
yang kita ucapkan dan lakukan berakibat membahagiakan orang lain atau mahluk
lain, maka hal itu [entah kita sadari atau tidak] pasti akan mendatangkan
kejernihan dan kebahagiaan di dalam pikiran kita sendiri.

Belas kasih dan kebajikan tidak saja membahagiakan hati mahluk lain, tapi
terlebih juga akan membahagiakan hati kita sendiri. Belas kasih dan kebajikan
tidak saja menyegarkan pikiran mahluk lain, tapi terlebih juga akan menyegarkan
pikiran kita sendiri. Belas kasih dan kebajikan tidak saja menjernihkan pikiran
mahluk lain, tapi terlebih juga akan menjernihkan pikiran kita sendiri.

Jika kita peka dan peduli dengan kebahagiaan mahluk lain, jika kita tekun
melakukan kebajikan-kebajikan, maka akan semakin berkembanglah kesegaran

24
dan kesejukan di dalam pikiran kita sendiri. Ini adalah hukum alam. Ketekunan
melaksanakan belas kasih dan kebajikan membuat seseorang terus-menerus
mengikis kegelapan pikirannya [sad ripu] dan ego-nya [ke-aku-an, ahamkara] dari
hari ke hari.

Secara pokok belas kasih dan kebajikan ada dua, yaitu kebajikan terdekat
[melaksanakan swadharma], serta kebajikan kepada semua.

1. KEBAJIKAN TERDEKAT [MELAKSANAKAN SWADHARMA]

Dalam perjalanan kehidupan ini setiap manusia membawa swadharma,


atau tugas dharma-nya [tugas kehidupan] masing-masing sesuai dengan putaran
karma-nya sendiri. Inilah kebajikan terdekat yang pertama-tama, secara
mendasar, wajib kita laksanakan dengan sebaik-baiknya. Sebagai landasan dasar
kebajikan. Menolak melaksanakan swadharma yang kita emban dalam perjalanan
kehidupan ini justru akan menjauhkan kita dari jalan dharma yang sebenarnya.
Hanya melaksanakan kerja yang menjadi tugas-kewajiban kita yang akan
membebaskan kita, bukan menolak untuk bekerja.

Yang dimaksud dengan melaksanakan tugas-tugas kehidupan [swadharma]


adalah dengan fokus mengerjakan tugas-kewajiban hidup kita dengan giat, baik
dan jujur, misalnya menjadi orang tua di rumah, menjadi guru sekolah, pegawai,
gubernur, petani, pedagang, dsb-nya. Serta menyayangi orang-orang terdekat
yang ada di sekitar kita, misalnya kepada orang tua, saudara, pasangan [suami
atau istri], anak, teman-teman, dsb-nya. Karena sebelum melaksanakan kebajikan
kebajikan dilaksanakan Yaitu yang
terkait dengan pekerjaan kita dan keluarga kita.

Kita harus mengetahui dan memiliki kesadaran bahwa salah satu tugas
utama kita yang paling mendasar dalam kehidupan ini adalah bekerja mencari
nafkah. Karena ini adalah titik tolak yang memudahkan kaki kita melangkah secara
lebih luas kemana-mana. Secara umum, tanpa memiliki nafkah penghasilan gerak
kita untuk kegiatan lain akan sulit dan terbatas. Tapi juga bukan sekedar bekerja
mencari nafkah, fokuslah mengerjakan pekerjaan kita dengan giat, baik dan jujur,
sehingga secara mendalam bekerja mencari nafkah juga menjadi pelaksanaan
kebajikan dalam kehidupan.

25
Kerja apapun juga, asalkan tidak melanggar dharma, baik dan layak untuk
dilakukan. Kerjakan dengan sebaik-baiknya. Masalah hasil kita terima dengan
damai dan penuh kerelaan. Belajarlah dengan rajin di sekolah kalau kita masih
pelajar. Kalau kita sudah bekerja, kita bekerjalah dengan tekun dalam upaya
mencari nafkah. Sumber mata pencaharian harus benar dan tidak melanggar
dharma.

Laksanakan kebajikan kepada orang-orang terdekat di sekeliling kita,


seperti misalnya orang tua, saudara, pasangan [suami atau istri], anak, teman-
teman, dsb-nya. Hormati dan bahagiakan orang tua. Sayangi dan setia kepada
pasangan. Sayangi anak-anak. Sayangi saudara. Serta kerjakan tugas-tugas rumah
tangga dengan giat dan baik.

Agar dapat melaksanakan swadharma dengan baik sebagai kebajikan


mendasar, kita sangat memerlukan kepekaan. Peka terhadap apa kebutuhan
orang di sekeliling kita merupakan awal yang sangat baik. Misalnya peka terhadap
apa kebutuhan istri, anak-anak, klien perusahaan, karyawan perusahaan, atasan
di kantor, dsb-nya. Lebih lanjut lagi, bukan hanya sebatas kepekaan terhadap
kebutuhan materi, tapi juga kepekaan terhadap kebutuhan emosional.

Secara mendalam kita memerlukan kepekaan untuk terus-menerus


merawat orang-orang di sekeliling kita dengan cara yang tepat. Terutama karena
dengan kepekaan untuk terus merawat mereka dengan cara yang tepat, kita bisa
membuat mereka terus menjadi semakin baik.

26
Seperti kisah seseorang yang mendapatkan bibit bunga yang indah sekali.
Tapi karena kurangnya kepekaan, dia meletakkan tanaman tersebut di bawah
cahaya matahari yang terik, padahal sebenarnya tanaman tersebut memerlukan
sedikit saja sinar matahari. Hasilnya adalah bibit bunga yang indah ini melayu.
Demikian juga dengan jiwa manusia. Sebaik apapun bibit jiwa seseorang di dalam,
jika keliru dalam memperlakukan mereka, maka yang baik bisa jadi jahat dan yang
jahat bisa menjadi tambah jahat. Yang terpenting sebenarnya bukan sifat
pembawaan mereka, tapi adanya kepekaan untuk terus menerus merawat
mereka dengan cara yang tepat. Inilah kebajikan yang terdekat untuk
dilaksanakan.

Laksanakan swadharma atau tugas-tugas kehidupan kita masing-masing


dengan sebaik-baiknya, menjadi orang tua, guru, pegawai, gubernur, dsb-nya.
Tapi apapun hasilnya terima dengan hati jernih dan damai. Sehingga bekerja tidak
saja akan menjadi wujud nyata belas kasih dan kebajikan, tapi sekaligus juga
secara bertahap akan membersihkan jiwa kita. Tidak saja akan merubah
kesadaran kita, tapi juga akan merubah perjalanan hidup kita.

2. KEBAJIKAN KEPADA SEMUA

Biasakanlah diri dalam kehidupan sehari-hari melaksanakan segala jenis


kebajikan kepada semua. Lakukan segala jenis kebajikan dalam kehidupan sehari-
hari setiap kali kita mendapat kesempatan melaksanakannya. Mulai dari kebajikan
kecil sampai dengan kebajikan besar. Ini tujuannya ada tiga, yaitu pertama untuk
mengumpulkan banyak akumulasi karma baik, yang membantu membuka jalan
spiritual lebih lapang bagi kita. Kedua untuk membantu memurnikan bathin. Dan
ketiga sebagai bagian dari mendidik diri kita sendiri agar penuh dengan kebajikan
dan memiliki kesungguhan hati di dalam melakukan kebajikan. Ini adalah landasan
dasar spiritual terpenting.

Perlu disadari bahwa jauh lebih penting untuk melakukan kebajikan


dibandingkan untuk menjadi benar. Lihatlah betapa banyaknya konflik dan orang-
orang bertikai semata karena semuanya merasa dirinya benar. Padahal apa yang
disebut benar itu hanya berasal dari pikiran yang dualistik. Kebenaran itu
sesungguhnya sangat relatif. Dualitas pikiran hanyalah sebatas cara pikiran
mengerti dan sama sekali bukan kebenaran itu sendiri. Sedangkan belas kasih dan
kebajikan secara pasti akan memutar karma baik yang membimbing kita menuju

27
jalan terang. Sekalipun tindakan kita dalam norma sosial masyarakat disebut
, konseptual dan sangat relatif], tapi
kalau tindakan kita didasari oleh aspirasi belas kasih dan kebajikan kepada semua,
maka kita pasti akan terbebas dari kesalahan malah sebaliknya dibawa menuju
kejernihan pikiran, kebahagiaan, kemuliaan dan penerangan jiwa.

Jadikanlah perjalanan kehidupan ini sebagai lahan subur bagi kita untuk
melakukan kebajikan-kebajikan kepada semua mahluk. Kembangkan hati yang
penuh belas kasih dan kebajikan. Karena dengan ketekunan melakukan kebajikan-
kebajikan, secara pasti tidak saja karma-karma buruk kita akan banyak
diringankan, tapi sekaligus juga pikiran kita akan banyak mengalami pembersihan.
Pikiran kita dimurnikan menuju kejernihan-kedamaian, serta dibebaskan dari
kegelapan pikiran. Sekaligus di jalan spiritual apapun kita melangkah, disana kita
akan mudah terhubung dengan kemahasucian.

Akan tetapi perlu dicatat, bahwa sangat sering terjadi, kebajikan yang kita
lakukan dibalas dengan kejahatan, atau kebajikan yang kita lakukan berujung
kepada nasib buruk atau luka-luka jiwa. Disinilah kita memerlukan pengetahuan
dharma mencakup dinamika kosmik alam semesta. Hukum karma yang mutlak
dan tidak bisa dibendung, sehingga muncul pandangan benar dan kebijaksanaan
di dalam diri. Bahwa ini bukanlah kesalahan orang lain, atau ini juga bukanlah
hukuman alam semesta kepada kita, melainkan hanya akumulasi karma-karma
buruk masa lalu kita sendiri yang datang untuk kita lunasi. Sehingga jangan kapok
atau berhenti, teruslah melakukan kebajikan dan kebajikan.

28
Tidak jarang terjadi, ketulusan hati dan kebajikan kita dianggap sebagai
kebodohan oleh orang yang masih tenggelam dalam avidya [ketidaktahuan]. Tapi
teruslah tulus dan melakukan kebajikan-kebajikan dalam kehidupan. Mungkin
setiap hari di sekeliling kita melihat tindakan-tindakan kejahatan dan
ketidakjujuran seperti sedang menghina kebajikan. Tapi teruskanlah kebajikan-
kebajikan kita. Karena pada akhirnya bukan tentang kita dengan orang-orang lain,
tapi tentang diri kita dengan hukum karma dan tentang diri kita menyangkut
kejernihan-kedamaian di dalam diri sendiri.

29
RUAS KE-5

Melaksanakan Meditasi Non-Dualitas

Atma. Karena
kenyataan sejati kita adalah Atma itu sendiri. Kita hanya perlu menyadarinya
kembali. Itu bukanlah pencapaian, karena dari awal yang tidak berawal kesadaran
Atma adalah kenyataan diri kita yang sejati. Kita hanya perlu melenyapkan
penghalang-penghalangnya saja dan kesadaran Atma akan hadir kembali dengan
sendirinya.

Dalam buku ini telah dijelaskan mengenai 4 [empat] ruas landasan


kesadaran sebagai praktek dalam kehidupan sehari-hari, yang menghasilkan dasar
kejernihan pikiran. Ditambah dengan 1 [ruas] sebagai titik pusat yang akan
menyatukan, memperdalam dan menyempurnakan semuanya, yaitu praktek
meditasi. Semuanya ke-5 [lima] ruas ini harus saling melengkapi dan saling
mendukung. Tidak dapat dipisah-pisahkan.

Praktek meditasi adalah mengenai upaya mengembalikan kesempurnaan


kesadaran Atma. Akan tetapi karena pikiran [manas] dan ego [ahamkara]
sangatlah sulit dikuasai, kita memerlukan praktek 4 [empat] ruas landasan
kesadaran yang akan menghasilkan dasar kejernihan pikiran.

Dasar kejernihan pikiran akan menjadi landasan yang stabil bagi praktek
meditasi agar kita dapat menyadari kembali kesadaran Atma yang luhur. Jika kita
tidak melaksanakan 4 [empat] ruas landasan kesadaran pada kehidupan sehari-
hari, kita akan mengalami kesulitan dalam meditasi. Semuanya ke-5 [lima] ruas ini
merupakan satu kesatuan sadhana [upaya spiritual] yang akan menghasilkan
pencapaian sempurna, untuk melenyapkan penghalang-penghalang dari
kesadaran Atma, kenyataan diri yang sejati.

30
Petunjuk penting dalam praktek meditasi non-dualitas [advaita-citta]
adalah kesadaran selalu dibawa ke tengah-tengah dan hindari pikiran terbawa
ekstrim ke kiri atau ekstrim ke kanan. Terlalu sedih, terlalu marah, terlalu melekat
dengan kenikmatan, itu pikiran terbawa ekstrim ke kiri. Terlalu bahagia, terlalu
damai, terlalu melekat dengan kesucian, itu pikiran terbawa ekstrim ke kanan.
Keduanya sesungguhnya akan sama-sama membuat jiwa mengalami kekacauan.
Karena kesadaran bergerak laksana bandul. Setiap kali bandul pikiran ditarik ke
sebuah titik ekstrim, ia pasti akan memantul balik ke titik ekstrim yang lain.

Itulah sebabnya meditasi non-dualitas menekankan pentingnya membawa


kesadaran ke tengah-tengah. Dengan cara secara meditatif menjadi saksi yang
penuh senyuman terhadap apapun pikiran yang muncul disaat ini. Saksi yang
memberi senyuman damai dan belas kasih yang sama terhadap dualitas pikiran
bahagia-sengsara, baik-buruk, benar-salah, suci-gelap, dsb-nya. Hasilnya adalah
semakin lama gerakan bandul pikiran semakin lembut. Ketika bandulnya istirahat
di titik tengah, itulah kesadaran Atma, keheningan sempurna yang mahasuci.

Dalam buku suci Hindu tertua, yaitu Rig Veda, pada sloka 1.164.20 tertulis :

Dva suparna sayuja sakhaya,


samanam vrksam pari sasvajate
Tayor anyah pippalam svadu-atti,
anasnan anyo abhi cakasiti

Terjemahan :

tinggal di atas pohon yang sama. Salah satu dari mereka menikmati buah matang
yang manis, sedangkan yang lainnya menjadi saksi tanpa menikmati buah-

Makna sloka 1.164.20 Rig Veda yang ditulis dalam bentuk prosa yang puitis
g tinggal di

yang sama [di dalam diri kita manusia]. Satu kesadaran adalah ego [ahamkara]
yang larut ke dalam arus kehidupan duniawi dan satu kesadaran lainnya adalah
kesadaran Atma yang hanya menjadi saksi dari arus kehidupan.

31
Rig Veda mengajarkan untuk secara meditatif menjadi saksi terhadap setiap
bentuk-bentuk pikiran dan pengalaman kehidupan, melalui meditasi non-dualitas
[advaita-citta]. Karena dualitas pikiran hanyalah cara pikiran mengerti dan sama
sekali bukan kebenaran sejati itu sendiri. Rahasia kesempurnaan kesadaran Atma
bukanlah keadaan lenyapnya ketidaksempurnaan di dalam diri kita. Jalan
kesempurnaan kesadaran Atma adalah senyuman damai dan belas kasih yang
sama terhadap dualitas pikiran bahagia-sengsara, baik-buruk, benar-salah, suci-
gelap, dsb-nya, atau dengan kata lain melampaui semua dualitas.

Dalam buku suci Ashtavakara Gita, Maharsi Ashtavakara [seorang yogi yang
sudah sadar] menjelaskan kepada Raja Janaka [Raja Kerajaan Mithila], mengenai
kesadaran Atma dan kenyataan semesta :

Wahai yang tersayang, jika kau ingin terbebaskan dari


racun kesengsaraan yang disebabkan oleh berbagai nafsu, maka minumlah madu
yang terbuat dari memaafkan, kepolosan, belas kasih, kebajikan, rasa syukur,
kejujuran dan kebenaran. Kau bukanlah bumi [prthivi], bukan udara [vayu], bukan
api [agni], bukan air [apah] dan bukan juga ruang [akasha]. Untuk mencapai
kesadaran Atma dan pembebasan sempurna, maka sadarilah dirimu sebagai
"sang saksi", yang selalu menyadari segal

gama dan tidak beragama, kebahagiaan dan penderitaan, semuanya itu


berasal dari pikiran. Semua hal itu bukanlah dirimu. Kau bukanlah subjek atau
objek. Sejak semula kau telah berada dalam keadaan terbebaskan. Kau adalah
"sang saksi" yang menyaksikan segala sesuatu. Dan pada hakekatnya kau selalu
bebas. Kau menjadi terikat karena kau selalu melihat bahwa "sang saksi" itu
berada di luar dirimu, bukan di dalam

Jika kau berkata : "aku adalah sang pelaku", maka berarti kau
telah membiarkan ular hitam ego atau ke-aku-an [ahamkara] mematuk dirimu.
Dan jika kau sadar hakikat bahwa : "aku bukanlah sang pelaku" dan menjadi
saksi, maka berarti kau telah meminum madu keheningan serta selalu hidup
dalam kesadaran.

Jangan memandang : "aku adalah individu yang diproyeksikan


oleh kehidupan". Letakkan ilusi ini, letakkan juga perasaan berada di dalam dan di

32
luar dan bangunlah ke dalam pemikiranmu bahwa kau adalah yang abadi tidak
berubah, kesadaran-

Alam semesta ini meluas ke segenap penjuru oleh dirimu. Alam semesta ini
terus meluas di dalam dirimu. Pada kenyataan yang sejati kau adalah kesadaran-
murni. Maka janganlah kau berpandangan sempit. Kau tidaklah terikat, tak
berubah, tanpa bentuk, tak terpecah dalam pasangan yang saling bertentangan,
tak dapat diduga, bijaksana, dan tak pernah gelisah. Maka cukuplah kau hanya
sadar kepada kesadaran-murni yang

Ketahuilah bahwa setiap yang berbentuk adalah ilusi dan ketahuilah pula
yang tanpa bentuk, yang tidak berubah dan abadi. Mengetahui kebenaran dari
ajaran ini akan mengakhiri siklus samsara. Laksana bayangan dari sebuah cermin,
Atma yang terbayang di dalam cermin dengan Brahman di luar cermin adalah
sama. Brahman yang sama ada di dalam dan di luar badan ini, Brahman meliputi
semua yang ada di langit dan juga meliputi benda-benda di bumi, Brahman yang
kekal abadi meliputi

Dalam buku suci ajaran Shiva Tantra, kesadaran Atma disimbolikkan


sebagai langit biru dan dan pikiran disimbolikkan sebagai awan-awan.
Kebahagiaan, kebenaran dan kesucian, laksana awan-awan putih. Kesedihan,
kesalahan dan kegelapan, laksana awan-awan hitam. Baik awan-awan putih
maupun awan-awan hitam selalu datang dan pergi, tidak kekal. Dan kesadaran
Atma laksana langit biru sebagai saksi yang kekal tidak berubah. Ini disebut
meditasi non-dualitas [advaita-citta], yaitu secara meditatif menjadi saksi
terhadap setiap bentuk-bentuk pikiran dan pengalaman kehidupan.

Leluhur kita di Bali yang wikan sejak jaman kuno dahulu sangat mengerti
tentang kesadaran Atma dewa ya bhuta ya
Artinya di dalam diri manusia ada sisi terang dan luhur [dewa] dan juga ada sisi
gelap dan buruk [bhuta]. Keduanya bagian utuh yang sama di dalam diri kita.
Tidak bisa kita lenyapkan salah satunya. Laksana bulan yang memiliki sisi terang
dan sisi gelap, disadari bahwa sesungguhnya baik sisi terang maupun sisi gelap
dari bulan adalah keutuhan sempurna bulan yang sama.

Jika kita perhatikan diri kita atau pikiran kita [bhuwana alit] dan alam
semesta [bhuwana agung], semuanya memiliki pola dalam rwa bhinneda atau dua

33
kutub yang berseberangan. Dalam ajaran dharma mengenai rwa bhinneda, semua
pola dualitas merupakan manifestasi dari satu kenyataan absolut yang tunggal,
yaitu Sanghyang Embang [yang mahasuci keheningan sempurna] atau Sanghyang
Acintya [yang mahasuci tidak terpikirkan].

Artinya semua pola dualitas hanyalah manifestasi belaka dan bukan


kenyataan absolut. Cahaya terlihat ada, karena adanya kegelapan. Orang baik
terlihat ada, karena adanya orang jahat. Kebahagiaan terlihat ada, karena adanya
kesengsaraan.

Ketika kita tersadar bahwa kenyataan absolut diri kita atau pikiran kita
[bhuwana alit] dan alam semesta [bhuwana agung] adalah melampaui dualitas,
tercapailah keheningan sempurna yang tidak terpikirkan, manunggal dengan
kenyataan absolut.

Di bagian puncak dari Penataran Agung Pura Besakih, disanalah juga oleh
leluhur orang Bali yang wikan disembunyikan ajaran rahasia tentang kesadaran
Atma. Tepat sebelum pelataran tertinggi, disana terdapat dua palinggih rwa
bhinneda, yaitu Palinggih Kiwa [kiri, gelap dan buruk] dan Palinggih Tengen
[kanan, terang dan luhur]. Keduanya diletakkan sama sejajar. Sebuah simbolik
ajaran bahwa keduanya merupakan bagian utuh yang sama, baik di dalam diri kita
sendiri, maupun di alam semesta ini. Di tengah-tengahnya, di pelataran puncak
yang tertinggi, terdapat Palinggih Sanghyang Embang [keheningan sempurna yang
mahasuci], yang juga disebut sebagai sesarining dharma atau intisari dharma.
Sebuah simbolik ajaran rahasia bahwa dengan melampaui dualitas konseptual
pikiran membuat kita mencapai keheningan sempurna.

Latihan meditasi non-dualitas dibagi menjadi dua tahap, yaitu latihan


meditasi dalam meditasi, serta praktek meditasi setiap saat dalam dinamika
kehidupan.

1. LATIHAN MEDITASI DALAM MEDITASI

Duduklah bersila dalam sikap meditasi [sikap Padmasana, Ardha-


Padmasana, Siddhasana atau Sukhasana] dengan santai dan tenang. Bagi wanita
boleh duduk dalam posisi bersimpuh [sikap Vajrasana]. Pastikan punggung tegak
lurus. Tekuk ujung lidah menyentuh langit-langit mulut. Pejamkan mata.

34
Tarik nafas agak dalam pelan-pelan dari hidung [puraka], tahan sebentar
saja [kumbhaka], lalu lepaskan pelan-pelan [recaka]. Lakukan dengan berirama
teratur. Lepaskan semua pikiran kita tentang kenangan di masa lalu dan bayangan
kejadian di masa depan. Fokuslah ke saat ini.

Sadari dan amati bentuk-bentuk pikiran yang muncul disaat ini. Apapun
pikiran atau kejadian yang muncul disaat ini, jangan ditolak atau dilawan dan juga
jangan diikuti. Walaupun yang muncul pikiran paling buruk sekalipun. Lepaskan
semua konsep pikiran kita tentang bahagia-sengsara, baik-buruk, benar-salah,
suci-gelap, mulia-hina, dsb-nya [dualitas pikiran]. Saksikan saja dengan senyum
damai dan belas kasih munculnya pikiran tersebut. Jangan divonis [dihakimi]
sebagai salah-benar atau baik-buruk, dsb-nya. Saksikan saja dengan senyuman
damai dan penuh belas kasih, tanpa dinilai apapun dan biarkan dia lewat dengan
sendirinya.

dewa ya bhuta ya rtinya di dalam diri


manusia ada sisi terang dan luhur [dewa] dan juga ada sisi gelap dan buruk
[bhuta]. Keduanya bagian utuh yang sama di dalam diri kita. Tidak bisa kita
lenyapkan salah satunya. Tapi karena kita sudah terlalu lama direcoki oleh norma
sosial masyarakat dan aturan agama, sehingga membuat pikiran kita menjadi
dualistik. Kita menjadi cenderung menolak atau membenci pikiran-perasaan
negatif di dalam diri, serta sebaliknya menjadi terlalu melekat dengan pikiran-
perasaan positif. Dari dualitas pikiran ini menimbulkan gejolak konflik atau

35
benturan pikiran, seperti buruk melawan baik, kotor melawan suci, dsb-nya, yang
kemudian berakhir menjadi kegelisahan jiwa.

Janganlah berpegang kepada pemahaman konseptual dualistik orang biasa


yang kesadarannya tidak terasah oleh meditasi, yang berpikir untuk mencapai
kesempurnaan dengan cara melawan, menolak atau berusaha membuang bagian-
bagian negatif atau buruk di dalam diri. Jika kita berpikir untuk mencapai
kesempurnaan dengan cara melawan, menolak atau berusaha membuang bagian
yang tidak terpisahkan dari diri kita, kita hanya akan menciptakan belenggu jiwa
melalui pikiran konseptual dualistik, untuk kemudian mengalami gejolak
kekacauan di dalam diri.

Sifat alamiah pikiran kita sebagai manusia adalah dewa ya bhuta ya Hal
ini sama dengan sifat alamiah dari samudera yang bergelombang. Jika kita
melawan, menolak atau berusaha membuang pikiran-perasaan yang muncul, itu
sama dengan menolak gelombang samudera. Sama dengan melawan kekuatan
alam. Tidak bisa dan justru akan menimbulkan gejolak kekacauan di dalam diri.

Semakin banyak kita melawan, menekan, menolak atau membenci pikiran-


perasaan negatif di dalam diri, semakin banyak juga kita akan menghadapi
kekacauan di dalam jiwa kita. Setiap bentuk pikiran-perasaan negatif yang
dilawan, ditekan, ditolak dan dilarang secara berlebihan kemudian akan terlempar

akan memberikan tanda ke permukaan dalam bentuk bad mood, kesedihan tanpa
sebab, kemarahan, kekeringan jiwa, dsb-nya. Inilah yang disebut oleh para yogi
jivan-mukta sebagai norma sosial masyarakat dan aturan agama dapat membuat
jiwa manusia menjadi rusak dan gelisah. Jika terus berlanjut dalam jangka panjang
dapat bermanifestasi menjadi berbagai jenis sifat perilaku yang bersifat merusak
diri sendiri dan orang lain.

dewa ya bhuta ya -bentuk pikiran-perasaan


yang muncul itu adalah manusiawi dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan
dari diri kita sendiri. Dalam meditasi non-dualitas, apapun pikiran-perasaan yang
muncul tidak ditolak dan sebaliknya juga tidak diikuti, tapi bandulnya dibawa ke
tengah-tengah. Apapun pikiran-perasaan yang muncul tidak dinilai sebagai baik-
buruk, salah-benar, dsb-nya [dualitas pikiran]. Tapi hanya disaksikan saja dengan
senyuman damai dan penuh belas kasih.

36
Misalnya jika muncul perasaan marah, jangan dilawan, jangan ditolak dan
jangan merasa bersalah [ekstrim kanan] karena itu bagian yang tidak terpisahkan
dari diri kita, serta jangan juga diikuti [ekstrim kiri]. Tapi bawalah bandulnya ke
tengah, caranya perasaan marah yang muncul itu disaksikan saja dengan
senyuman damai dan penuh belas kasih. Tanpa dinilai sebagai baik-buruk, salah-
benar, dsb-nya.

Jika muncul pikiran jahat, jangan dilawan, jangan ditolak dan jangan merasa
bersalah [ekstrim kanan] karena itu bagian yang tidak terpisahkan dari diri kita,
serta jangan juga diikuti [ekstrim kiri]. Tapi bawalah bandulnya ke tengah, caranya
pikiran jahat yang muncul itu disaksikan saja dengan senyuman damai dan penuh
belas kasih. Tanpa dinilai sebagai baik-buruk, salah-benar, dsb-nya.

Jika muncul perasaan sedih dan kecewa, jangan dilawan, jangan ditolak dan
jangan merasa bersalah [ekstrim kanan] karena itu bagian yang tidak terpisahkan
dari diri kita, serta jangan juga diikuti [ekstrim kiri]. Tapi bawalah bandulnya ke
tengah, caranya perasaan sedih dan kecewa yang muncul itu disaksikan saja
dengan senyuman damai dan penuh belas kasih. Tanpa dinilai sebagai baik-buruk,
salah-benar, dsb-nya.

Jika muncul perasaan damai dan bahagia, jangan melekat kepada perasaan
tersebut [ekstrim kanan], serta jangan dilawan atau ditolak [ekstrim kiri] karena
itu bagian yang tidak terpisahkan dari diri kita. Tapi bawalah bandulnya ke tengah,
caranya perasaan damai dan bahagia yang muncul itu disaksikan saja dengan
senyuman damai dan penuh belas kasih. Tanpa dinilai sebagai baik-buruk, salah-
benar, dsb-nya.

Berusaha menolak atau membuang bagian yang tidak terpisahkan dari diri
kita akan menimbulkan gejolak konflik pikiran luar biasa. Sebaliknya terseret ke
dalam arusnya juga akan menimbulkan gejolak konflik pikiran. Sehingga dalam
meditasi non-dualitas, tersenyumlah dengan damai dan penuh belas kasih kepada
segala bentuk apapun pikiran-perasaan yang muncul, termasuk juga kepada apa
yang disebut oleh norma sosial masyarakat dan aturan agama sebagai noda-noda
pikiran. Tanpa dinilai sebagai baik-buruk, salah-benar, dsb-nya. Laksana air yang
keruh, jika semuanya diterima dengan damai, mengalir dan tersenyum penuh

37
belas kasih, airnya akan diam dengan sendirinya, kotorannya akan mengendap
dengan sendirinya sehingga airnya menjadi tenang dan jernih.

Penjelasannya memang sederhana, tapi untuk dapat menyatukan meditasi


dengan kesadaran kita secara baik dibutuhkan waktu, ketekunan dan kesabaran.
Bagi pemula biasanya meditasi penuh halangan. Itu hal yang umum dan biasa.
Halangan tersebut mulai dari halangan fisik [badan yang lelah, kaki sakit karena
lama duduk bersila, dsb-nya], halangan mental [malas, ragu-ragu, dsb-nya],
sampai dengan halangan konsep [bahwa meditasi harus begini dan begitu,
meditasi harus selalu mendamaikan, dsb-nya, padahal meditasi juga mengalami
siklus naik-turun]. Yang terpenting dalam meditasi bukan hasilnya, tapi
membiasakan diri. Lakukan terus meditasi agar menjadi kebiasaan. Meditasi
bukan sadhana yang bisa diselesaikan harian, tidak juga bulanan, melainkan
sadhana yang harus terus dilakukan secara konsisten selama bertahun-tahun.

Konsentrasi dalam meditasi seperti energi yang terpusat. Kalau pikiran kita
sering terkonsentrasi menjadi saksi yang tersenyum penuh belas kasih kepada
setiap bentuk pikiran-perasaan yang muncul, maka di suatu titik ada kemungkinan
kita mengalami samadhi. Samadhi tidak saja menghancurkan dualitas pikiran
seperti baik-buruk, salah-benar, yang sempit dan picik, tapi sekaligus juga
membawa kesadaran kita mulai terserap ke dalam dimensi kesadaran Atma yang
tenang, jernih dan terang-benderang.

2. PRAKTEK MEDITASI SETIAP SAAT DALAM DINAMIKA KEHIDUPAN

Ketika melakukan latihan meditasi dalam meditasi, seringkali akan


membuat hati kita menjadi terbuka dan luas. Tapi disaat ketika kita kembali pada
permasalahan hidup sehari-hari, dengan mudah kita kehilangan hal itu. Interaksi
kita dengan orang-orang atau masalah kehidupan yang muncul dengan cepat
dapat memancing emosi kita, menyebabkan pikiran kita terbenam dalam
kegelapan. Kita semua pernah mengalami hal seperti ini.

Karena ketika melakukan latihan meditasi dalam meditasi, dalam proses


tersebut kita menjadi mendekat dengan kesadaran Atma. Tapi ketika kemudian
kita kembali ke kehidupan sehari-hari, seringkali pikiran dan perasaan kita juga
akan kembali pada kecenderungan pikiran [vasana] kita sendiri. Itulah sebabnya
dengan mudah kegelapan bathin kembali mendominasi.

38
Perjalanan kehidupan ini penuh dengan dinamika berbagai kejadian-
kejadian, baik kejadian tidak menyenangkan maupun kejadian menyenangkan.
Ketika kita meledak dalam kemarahan, itu berarti kesadaran Atma kita sudah
diambil alih oleh kemarahan. Ketika kita larut tenggelam dalam kesedihan, itu
berarti kesadaran Atma kita sudah diambil alih oleh kesedihan. Ketika kita histeris
dalam kebahagiaan, itu berarti kesadaran Atma kita sudah diambil alih oleh
kebahagiaan.

Yang perlu kita lakukan adalah membawa meditasi non-dualitas setiap saat
ke dalam dinamika kehidupan. Dengan cara demikian, kita terus melakukan
meditasi selama saat kita terjaga. Kita terus melakukan upaya terhubung dengan
kesadaran Atma di dalam diri. Sadari pikiran hanya sebagai pikiran, bukan sebagai
kebenaran. Sadari perasaan hanya sebagai perasaan, bukan sebagai kenyataan
sejati diri kita. Jika kita tekun berlatih meditasi seperti ini, suatu saat semua
bentuk pikiran-perasaan yang ekstrim hanya akan menimbulkan riak-riak sebentar
saja, untuk kemudian menghilang.

Kemarahan, kebencian, ketidakpuasan, kesedihan, dsb-nya, terjadi karena


kekuatan pikiran ekstrim kiri di dalam diri kita lebih mendominasi dibandingkan
dengan kekuatan kesadaran Atma. Demikian juga sebaliknya, kesenangan
berlebihan, kenikmatan, dsb-nya, terjadi karena kekuatan pikiran ekstrim kanan di
dalam diri kita lebih mendominasi dibandingkan dengan kekuatan kesadaran
Atma. Dengan melaksanakan praktek meditasi non-dualitas setiap saat dalam
dinamika kehidupan sehari-hari, kekuatan kesadaran Atma di dalam diri kita akan
terus-menerus diperkuat. Sehingga nantinya kekuatan kesadaran Atma yang akan
lebih mendominasi dibandingkan kekuatan pikiran. Caranya adalah, apapun yang
terjadi dalam perjalanan kehidupan kita gunakan sebagai titik untuk kembali
terhubung dengan kesadaran Atma di dalam diri.

Misalnya jika kita bertemu orang yang menyakiti, jangan fokuskan


perhatian kepada orang yang menyakiti, tapi fokuskan konsentrasi secara
meditatif kepada luka-luka rasa sakit atau api kemarahan yang membakar di
dalam diri. Terima kehadiran luka-luka rasa sakit atau api kemarahan dengan
belas kasih [mengerti kemunculannya tanpa penghakiman sama sekali] dan
saksikan dengan senyum kesadaran [sadar kalau sifat pikiran-perasaan tidak

39
kekal, muncul dan lenyap]. Disaksikan saja dengan senyuman damai dan penuh
belas kasih. Tanpa dinilai sebagai baik-buruk, salah-benar, dsb-nya.

Atau misalnya ketika kita mengalami kesialan, jangan fokus kepada


kejadiannya, tapi fokuskan konsentrasi secara meditatif kepada pergerakan
pikiran-perasaan di dalam diri. Misalnya muncul rasa sedih atau kecewa. Fokuskan
konsentrasi secara meditatif kepada rasa sedih atau kecewa yang muncul di
dalam diri. Terima kehadirannya di dalam diri dengan belas kasih dan saksikan
dengan senyum kesadaran. Disaksikan saja dengan senyuman damai dan penuh
belas kasih. Tanpa dinilai sebagai baik-buruk, salah-benar, dsb-nya.

Atau misalnya ketika dalam pikiran kita muncul pikiran-perasaan seperti


bad mood, keresahan, nafsu, ketidakpuasan, dsb-nya. Fokuskan konsentrasi
secara meditatif kepada pergerakan pikiran-perasaan tersebut di dalam diri,
terima kehadirannya di dalam diri dengan belas kasih dan saksikan dengan
senyum kesadaran. Disaksikan saja dengan senyuman damai dan penuh belas
kasih. Tanpa dinilai sebagai baik-buruk, salah-benar, dsb-nya.

Dalam meditasi non-dualitas, kita menerima, terbuka dan mengalir kepada


setiap kondisi keadaan. Melakukan meditasi tanpa harapan bahwa meditasi harus
seperti ini atau meditasi harus seperti itu. Melaksanakan meditasi tanpa konsep
ini dan tanpa konsep itu. Menyadari bahwa sifat konsep adalah akan menciptakan
ketegangan dan belenggu baru bagi pikiran.

Banyak orang yang frustrasi dengan meditasi karena berharap setelah


sekian tahun berlatih meditasi, maka pikiran akan bisa dikendalikan atau dibuat
menjadi tidak berkeliaran kesana-kemari. Tidak bisa seperti itu. Semakin keras
kita berusaha mengendalikan pikiran atau membuatnya tidak berkeliaran kesana-
kemari, maka akan semakin frustasi perjalanan meditasi kita.

Dalam meditasi non-dualitas, kita menerima dengan terbuka semua kondisi


keadaan seperti apa adanya. Tidak ada yang perlu dirubah dalam meditasi. Satu-
satunya hal yang perlu dirubah adalah kualitas kesadaran kita terhadap apapun
yang sedang terjadi. Menyaksikan saja dengan senyuman damai dan penuh belas
kasih apapun yang sedang terjadi seperti apa adanya.

40
Tidak lagi sibuk dengan cara terikat pada hal-hal positif dan menolak hal-hal
negatif. Tidak lagi sibuk terikat pada kedamaian dan menolak kekacauan. Tidak
lagi sibuk terikat pada kedamaian dan menolak kesengsaraan. Hanya dengan cara
penerimaan, keterbukaan dan mengalir pada setiap kondisi keadaan seperti apa
adanya, itulah yang dimaksud kita membawa kesadaran ke titik tengah.

Meninggalkan kedamaian dan ketenangan yang nyaman sungguh tidak


mudah. Sehingga di titik inilah diperlukan keberanian dan keteguhan untuk
melampauinya. Dalam meditasi kita belajar menyaksikan rwa bhinneda seperti
awan-awan di langit yang datang dan pergi. Yang positif, bahagia dan damai
adalah awan putih, yang negatif, sengsara dan kacau adalah awan hitam,
keduanya datang dan pergi secara tidak kekal.

Setiap kesempatan
-pendek waktunya
tetapi sering dilakukan. Jika dilakukan lebih lama, apa lagi terlalu lama, cenderung
akan didikte oleh konsep.

Jika kita memeditasikan hal ini secara tekun dan mendalam, lama-lama
kesadaran akan seperti langit biru. Awan putih tidak membuat langit menjadi
putih, awan hitam tidak membuat langit menjadi hitam. Apa pun yang terjadi
langit tetap biru, luas tidak terbatas. Di tahap ini, semua dualitas pikiran,
kecenderungan pikiran dan konsep lenyap. Tidak ada lagi yang perlu digali, tidak
ada lagi yang perlu dicapai. Semuanya menjadi meditasi. Terutama dengan
mempertahankan keadaan pikiran yang kembali ke titik tengah. Pendek-pendek
waktunya tetapi sering dilakukan.

Kehidupan berjalan laksana roda lingkaran sempurna yang terus berputar


tidak berhenti. Alam berputar siang, malam dan siang lagi. Cuaca berputar hujan,
kemarau dan hujan lagi. Hubungan dengan orang lain juga berputar, suatu saat
seseorang menjadi sahabat, di waktu lain dia menjadi musuh. Suatu saat
seseorang memuji, di waktu lain dia menghujat atau menghina. Taman yang indah
juga berputar, sekarang taman disapu dan dibersihkan, nantinya daun berguguran
kembali berserakan. Tubuh fisik ini, di hari tertentu memberi kenikmatan melalui
makanan enak, di hari lain memberi rasa sakit melalui penyakit. Segala sesuatu
selalu berubah, tidak ada yang kekal.

41
Manusia hidupnya penuh dengan gejolak dan konflik karena pikirannya
terseret arus putaran roda lingkaran kehidupan. Melalui ketekunan melaksanakan
meditasi non-dualitas kita perlahan-lahan mendekati titik pusat roda lingkaran
yang disebut samadhi. Menjadi saksi abadi penuh belas kasih di titik pusat roda
lingkaran kehidupan. Disanalah seluruh gejolak dan konflik berhenti, digantikan
oleh kebijaksanaan.

Menjadi sadar bahwa tidak ada perbedaan antara mendapat pujian dengan
mendapat penghinaan. Keduanya hanya didengar dengan penuh belas kasih.
Menjadi sadar bahwa tidak ada perbedaan antara mendapat kebahagiaan dengan
mendapat kesengsaraan. Keduanya hanya dijalani dengan penuh belas kasih.
Mereka yang tekun berlatih seperti ini akan membawa jiwa-nya mencapai pusat
kesadaran Atma. Disana kehidupan akan berubah menjadi senyuman kejernihan.

Kebahagiaan-kesengsaraan, kebajikan-keburukan, kebenaran-kesalahan,


kesucian-kegelapan, selalu datang silih berganti, tapi semuanya hanya dilihat
sebagai awan-awan hitam dan awan-awan putih yang datang dan pergi oleh sang
Atma. Sang Atma hanya menyaksikan saja, laksana langit biru yang kekal tidak
berubah. Tidak memvonisnya [menghakiminya] sebagai bahagia-sengsara, baik-
buruk, benar-salah, suci-gelap. Hanya disaksikan saja dengan penuh belas kasih.

Simbolik kesadaran Atma adalah bunga padma [teratai, sekar tunjung],


yang tidak basah oleh air, tidak kotor oleh lumpur. Simbolik bunga padma
merupakan simbolik bathin yang melampaui dualitas. Tidak basah oleh air [pikiran
tidak terbawa ekstrim ke kanan], tidak kotor oleh lumpur [pikiran tidak terbawa
ekstrim ke kiri]. Yang baik atau bagus tidak menjadi akar kesombongan, yang jelek
atau buruk tidak menjadi akar kemarahan dan permusuhan. Dalam keheningan
yang muncul adalah kebijaksanaan mendalam.

Jalan menyadari kembali kesempurnaan bukanlah dengan cara


melenyapkan noda-noda pikiran atau melenyapkan ketidaksempurnaan. Jalan
menyadari kembali kesempurnaan adalah menjadi saksi dengan senyuman damai
dan penuh belas kasih yang sama terhadap apapun yang terjadi, serta apapun
bentuk pikiran-perasaan yang muncul, bahagia-sengsara, baik-buruk, benar-salah,
suci-gelap, dsb-nya.

42
Kita akan menyadari secara mendalam bahwa segala kejadian
sesungguhnya tidak membawa kebahagiaan-kesengsaraan, kebajikan-keburukan,
kebenaran-kesalahan, kesucian-kegelapan, dsb-nya. Semuanya merupakan hasil
dari dualitas pikiran kita sendiri. Sehingga menyadari pikiran kita hanya sebagai
pikiran bukan sebagai kebenaran. Menyadari perasaan kita hanya sebagai
perasaan bukan sebagai kenyataan sejati diri kita. Ketika semua dualitas
terlampaui, kita langsung sampai di puncak keheningan. Sadar bahwa sejak awal
yang tidak berawal sampai akhir yang tidak ada akhirnya, semuanya sempurna
sebagaimana adanya. Kehidupan menjadi mengalir dan tanpa memilih, karena
semuanya sempurna sebagaimana adanya.

Sebagaimana tertulis dalam sloka pertama dari Ishavasya Upanishad :

Purnamadah Purnamidam
Purnat Purnamudachyate
Purnasya Purnamadaya Purnameva Vashishyate

Terjemahan :

Itu sempurna ini sempurna


Dari yang sempurna itu datangnya kesempurnaan ini
Jika kesempurnaan tersebut dihilangkan yang tersisa tetaplah kesempurnaan

Sejak awal yang tidak berawal sampai akhir yang tidak ada akhirnya,
semuanya sempurna sebagaimana adanya.

43
Akan tetapi ini bukanlah hal yang dapat dipahami dengan logika atau
pikiran. Kesempurnaan tidak akan pernah dapat dipahami melalui logika atau
pikiran. Kesempurnaan hanya bisa disadari melalui keheningan. Cara untuk dapat
menyadarinya adalah dengan tekun melaksanakan meditasi non-dualitas beserta
4 [empat] ruas landasan kesadaran. Sampai suatu hari kita akan mengalami
sendiri [bukan memahami melalui logika atau pikiran, karena tidak bisa]
keheningan sebagai pusat kesadaran Atma. Dalam keheningan itulah
disembunyikan rahasia kesempurnaan.

Pertanda kekuatan kesadaran sudah lebih mendominasi dibandingkan


kekuatan-kekuatan lain di dalam diri, adalah kita bisa berjarak sama pada semua
bentuk dualitas pikiran seperti bahagia-sengsara, baik-buruk, benar-salah, suci-
gelap, dsb-nya. Ketika dualitas pikiran berhenti, maka berhenti juga baik
kebahagiaan maupun kesedihan, kebenaran maupun kesalahan, kesucian maupun
kegelapan, dsb-nya. Bukan berarti tidak berpikir atau pikiran menjadi kosong, tapi
kesadaran kita berhenti didikte oleh pikiran. Kondisi dimana pikiran kita sudah
melampaui dualitas pikiran, sehingga mirip dengan air yang tenang dan jernih.

Di tahap ini pikiran sudah dimurnikan, tapi kesadaran Atma belum


disempurnakan. Sudah sangat dekat tapi belum sempurna. Karena keheningan
baru sempurna jika diisi dengan kesempurnaan belas kasih dan kebajikan kepada
semua. Demikian juga belas kasih dan kebajikan baru sempurna jika dilakukan
dalam keheningan [tanpa ego, ke-aku-an]. Jika keduanya sudah sama kuatnya,
disanalah
atau Atma Jnana [kesadaran Atma]. Keheningan pikiran yang berpasangan dengan
belas kasih dan kebajikan sempurna kepada semua.

Mereka yang tekun berlatih seperti ini suatu hari akan mengerti di dalam
diri kita sendiri terdapat kekuatan suci yang maha-agung, yaitu kesadaran Atma
yang sudah ada di dalam diri kita sendiri sejak dari awal yang tidak berawal. Yang
membuat kita memahami kenyataan diri tertinggi, pengetahuan rahasia tertinggi
dan sekaligus terbebas dari belenggu siklus samsara.

Om shanti shanti shanti Om !

44

Anda mungkin juga menyukai