Selama lebih dari jangka waktu seribu tahun, Tahun Baru Saka
diselenggarakan dengan cara Nyepi [keheningan].
ii
PENDAHULUAN
Kenyataan sejati kita adalah Atma. Ini berarti sesungguhnya kita tidak
Atma. Kita hanya menyadarinya kembali. Itu
bukanlah pencapaian, kita hanya perlu melenyapkan penghalang-
penghalangnya saja dan kesadaran Atma akan hadir dengan sendirinya.
Laksana permata yang diselimuti lumpur dan tanah. Permata itu selalu ada
disana, tapi tidak disadari karena tertutup lumpur dan tanah. Untuk
menemukannya kita hanya perlu menyingkirkan lumpur dan tanahnya. Sama
dengan kita cukup hanya menyingkirkan samskara [kesan-kesan pikiran atau
pikiran konseptual] dan ahamkara [ego atau ke-aku-an] yang sudah berumur
sangat lama. Ketika lumpur dan tanahnya disingkirkan permatanya kelihatan.
iii
Dalam buku ini, akan dijelaskan tentang sistem sadhana yoga inti dari
para Satguru Dharma jaman modern. Yaitu 4 landasan kesadaran sebagai
praktek dalam kehidupan sehari-hari, sebagai upaya mencapai kejernihan
pikiran. Disertai 1 ruas praktek meditasi sebagai titik pusat yang akan
menyatukan dan memperdalam semuanya, sekaligus sebagai jalan kesadaran
Atma. Semuanya ke-5 [lima] ruas ini saling berkait-kaitan, saling melengkapi
dan saling menyempurnakan, sebagai jalan kesadaran Atma.
Menjaga Benih
Kekuatan Positif
Di Dalam Diri
Tekun Pandangan
Melakukan Meditasi Positif Dan
Kebajikan Lembut
Melatih Diri
Tidak Menyakiti
iv
DAFTAR ISI
PENDAHULUAN ______________________________________________________________ iii
DAFTAR ISI ___________________________________________________________________v
RUAS KE-2
Memandang Setiap Hal Dan Setiap Kejadian Dari Sudut Pandang Positif Dan Lembut _____ 6
1. MEMANDANG DIRI SENDIRI SECARA POSITIF DAN LEMBUT ________________________________ 6
2. MEMANDANG ORANG LAIN SECARA POSITIF DAN LEMBUT ________________________________ 9
3. MEMANDANG KEHIDUPAN SECARA POSITIF DAN LEMBUT _______________________________ 11
RUAS KE-3
Melatih Diri Tidak Menyakiti ___________________________________________________ 15
1. TIDAK MENYAKITI DIRI SENDIRI _____________________________________________________ 15
2. TIDAK MENYAKITI ORANG LAIN DAN MAHLUK LAIN _____________________________________ 20
RUAS KE-4
Tekun Melakukan Kebajikan-Kebajikan __________________________________________ 24
1. KEBAJIKAN TERDEKAT [MELAKSANAKAN SWADHARMA] _________________________________ 25
2. KEBAJIKAN KEPADA SEMUA ________________________________________________________ 27
RUAS KE-5
Melaksanakan Meditasi Non-Dualitas ___________________________________________ 30
1. LATIHAN MEDITASI DALAM MEDITASI ________________________________________________ 34
2. PRAKTEK MEDITASI SETIAP SAAT DALAM DINAMIKA KEHIDUPAN __________________________ 38
v
RUAS KE-1
Secara pokok ada empat saja, yaitu bagaimana kita memilah pergaulan, apa
yang kita masukkan ke dalam pikiran kita, bagaimana upaya kita
menyeimbangkan energi negatif di dalam diri dengan kekuatan energi positif,
serta tidak mengkonsumsi makanan atau minuman yang melemahkan kesadaran.
1. MEMILAH PERGAULAN
1
teman yang bijaksana [tidak fanatik], teman yang tidak membawa kemerosotan
pada wawasan dan kebijaksanaan kita, teman yang dapat membantu menjaga
bibit kekuatan positif di dalam diri kita.
2
menentukan apa yang kita masukkan ke dalam pikiran kita. Sadar ataupun tidak
sadar, semuanya berpengaruh pada diri kita.
Apa yang kita masukkan ke dalam pikiran kita, akan memberikan pengaruh
pada pertumbuhan kesadaran kita. Sehingga belajarlah untuk selektif di dalam
memilih bacaan, tontonan, serta apa yang kita dengarkan. Pilihlah hanya apa yang
bisa membimbing kita menuju pemikiran serta kesadaran yang terang dan
universal. Misalnya yang berkaitan dengan kehidupan antar sesama mahluk yang
harmonis, saling tolong-menolong, rendah hati, kesadaran, belas kasih dan
kebajikan.
Cara yang praktis dan efektif adalah dengan melukat di parahyangan suci.
Karena air adalah penghantar terbaik bagi energi kosmis suci dari para Ista
Dewata dan alam semesta.
Cara lain yang juga praktis dan efektif adalah dengan cara rajin sembahyang
tiga kali sehari [Tri Sandhya], dengan cara sembahyang Panca Sembah. Atau bisa
juga dengan tekun melakukan penjapaan mantra Ista Dewata. Kekuatan suci
mantra Ista Dewata melalui penjapaan mantra akan terserap masuk ke dalam diri
kita. Yang memurnikan, menyembuhkan dan menanamkan benih-benih
kesadaran di dalam diri kita.
Arti kedua yang lebih mendalam, karena makanan dan minuman adalah
penunjang kebugaran dan kelangsungan hidup, maka kita harus bijaksana dalam
memilih makanan dan minuman apa yang kita konsumsi. Makanan atau minuman
yang basi, kotor, mengandung bakteri, beracun, dsb-nya, sudah pasti seharusnya
tidak dikonsumsi. Ini juga termasuk kita jangan mengkonsumsi makanan atau
4
minuman yang melemahkan kesadaran seperti mengkonsumsi minuman keras,
narkoba, dsb-nya.
Makanan dan minuman tentu hanya sebagian saja dari banyak faktor yang
mengkondisikan kesadaran kita. Tapi secara khusus mengkonsumsi minuman
keras, narkoba, dsb-nya, adalah yang benar-benar harus dihindari. Karena tidak
saja mengakibatkan tumpukan energi yang tidak baik di dalam tubuh kita, tapi
juga bisa mengakibatkan melemahnya kesadaran. Ketika kesadaran melemah,
konsentrasi dan perhatian akan menurun. Ketika konsentrasi dan perhatian
menurun, maka moralitas dan kebijaksanaan tidak bisa dikembangkan.
5
RUAS KE-2
Setiap ada masalah, gangguan serta godaan, atau apa saja yang muncul
dalam perjalanan kehidupan kita, belajarlah untuk memandangnya dengan sudut
pandang positif dan lembut. Buanglah setiap sudut pandang yang gelap dan keras.
Secara pokok ada tiga saja, yaitu memandang diri sendiri secara positif dan
lembut, memandang orang lain secara positif dan lembut, serta memandang
perjalanan kehidupan secara positif dan lembut.
6
Ketidakpuasan atau kekecewaan akan diri sendiri muncul dari
membandingkan diri sendiri dengan orang lain. Karena salah satu ilusi dalam
kehidupan ini adalah ilusi akan adanya kehidupan yang enak, nyaman, mudah,
bebas dari masalah, atau bahkan sepenuhnya bahagia. Itu hanya ilusi dalam
pikiran kita saja. Sesungguhnya tidak pernah ada kehidupan seperti itu. Walaupun
menjadi orang cantik atau ganteng, orang cerdas, orang keren, orang kaya,
dihormati, dipercaya, dsb-nya, tetap saja perjalanan kehidupan tidak dapat
sepenuhnya enak, nyaman, mudah dan bebas dari masalah. Dibalik setiap
kelebihan atau kesuksesan pasti selalu ada sisi-sisi kesulitan dan kesengsaraan
dalam kehidupan. Semua orang di dunia ini punya kesengsaraan, kesulitan dan
masalahnya masing-masing.
Ketidakpuasan atau kekecewaan akan diri sendiri juga dapat muncul karena
kita terlalu memikirkan pendapat orang lain. Sehingga kita mengukur diri kita
sendiri dengan ukuran orang lain. Sekali lagi, itu akan menimbulkan
ketidakpuasan atau kekecewaan akan diri kita sendiri. Hanya masalah waktu kita
akan kelelahan, merasa terasing atau tersesat dalam perjalanan kehidupan kita
sendiri.
7
Selalulah memilah dengan baik, mana pendapat orang yang layak
didengarkan dan mana yang harus dibuang. Karena jika kita mendengarkan
semua komentar atau pendapat orang lain akan membuat pikiran kita mirip tong
sampah. Persoalan waktu akan menjadi busuk dan menjadi sumber penyakit.
Sehingga, kenalilah diri kita sendiri, kenalilah putaran karma kita sendiri, kenalilah
kebutuhan diri kita sendiri, untuk kemudian berkembang dan mengambil jalan
yang paling sesuai dengan diri kita sendiri. Jadilah diri sendiri.
Di jaman ini terlalu banyak manusia yang tidak mengenali dirinya sendiri,
untuk kemudian diombang-ambingkan oleh pendapat orang lain. Terutama
disebabkan karena kebanyakan manusia membutuhkan pengakuan. Di jalan
dharma diajarkan, pengakuan adalah makanan dari ego [ahamkara]. Selain itu,
kejernihan, kedamaian dan kebijaksanaan tidak pernah bisa dicapai dengan
pengakuan, melainkan dengan cara menerima diri kita sendiri sebagaimana
adanya, dengan rasa syukur dan rasa terimakasih. Kemudian berkembang dan
mengambil jalan yang paling sesuai dengan diri kita sendiri.
Benih kejernihan sebagai akar kedamaian dan kesadaran baru dapat mulai
bersemi di dalam diri, ketika kita dapat bersyukur dan berterimakasih dengan
keadaan diri kita sendiri sebagaimana adanya. Menjadi diri kita sendiri yang unik
dan berbeda dari orang lain. Tidak bersaing atau membanding-bandingkan diri
kita sendiri dengan orang lain.
8
kejernihan dan kedamaian dengan pikiran yang positif dan lembut terhadap diri
sendiri. Jangan membandingkan diri sendiri dengan orang lain. Bahagialah dengan
diri sendiri. Jadilah diri sendiri sebagaimana adanya. Setiap manusia itu unik dan
berbeda dari orang lain. Bersyukurlah dengan kondisi dan keadaan diri kita, serta
apa yang kita miliki. Semakin kita dapat menerima diri sebagaimana adanya, maka
semakin mekarlah kesadaran kita. Karena penerimaan seperti ini yang akan
menghentikan konflik dan benturan pikiran, sehingga kejernihan dapat bersemi di
dalam diri kita.
Kedua, belajar memandang orang lain secara positif dan lembut. Karena
jika kita memandang orang lain dengan sudut pandang yang gelap dan keras,
maka itu sama dengan menyalakan api di dalam diri kita. Yang pertama terbakar
dan kehilangan kejernihan kesadaran adalah diri kita sendiri. Selain itu juga, akan
seketika membuat kita kehilangan kebijaksanaan dan sifat belas kasih.
9
Melihat dari sudut pandang lembut berarti melihat bahwa setiap
perkataan, perbuatan atau reaksi [respon] dari orang lain kepada kita semata-
mata merupakan hasil akumulasi dari keseluruhan pengalaman hidup mereka
sendiri. Ketika kita bertemu orang yang mengganggu di jalan, bertemu kasir
supermarket yang kasar, disakiti orang, dsb-nya, itu sesungguhnya tidak ada
hubungannya dengan diri kita. Artinya apa yang dipikirkan, dikatakan dan
dilakukan manusia di dunia ini berasal dari kecenderungan pikiran, pengalaman
buruk, rasa takut dan upaya pertahanan diri mereka sendiri, yang bersumber dari
pengalaman hidup mereka. Sekalipun hal tersebut langsung ditujukan kepada
kita, sesungguhnya itu tidak ada kaitannya dengan diri kita. Melainkan terkait
dengan konflik dan pertempuran pikiran di dalam diri mereka sendiri.
Selain itu perlu diwaspadai, bahwa salah satu jebakan ego [ahamkara] yang
sering muncul ketika kita merasa diri kita sudah baik atau sudah benar, adalah
kita mulai menjadi terlalu kritis dan banyak memberi penilaian buruk terhadap
kekurangan orang lain. Ketika kita melihat kesalahan, kekurangan, keserakahan
dan kegelapan pada orang lain, kita sering tergoda untuk secara agresif memvonis
buruk [menghakimi] orang tersebut. Ini tidak lain muncul dari ego kita
sendiri. Sebuah jebakan ego [ahamkara]. Ketika kita memvonis buruk atau
menyentil orang lain, tanpa disadari benih-benih kebencian, kemarahan,
kesombongan atau avidya [ketidak-tahuan] sudah muncul di dalam diri kita.
10
orang lain secara negatif, disaat itu kita sedang menghidupkan kegelapan di
dalam diri kita sendiri, sekaligus menghidupkan kegelapan dalam diri orang lain.
Kita tidak saja sedang menanam bibit kekerasan di dalam diri kita sendiri, tapi
juga sedang menanam bibit kekerasan pada orang lain.
Tidak hanya sebatas memurnikan jiwa saja, tapi sekaligus juga akan
mengirimkan pancaran energi kesejukan dan kedamaian kepada orang lain. Sudah
sering terbukti jika kita dapat memandang orang lain siapa saja, atau mahluk apa
saja, dengan sudut pandang positif dan lembut, dalam jangka waktu tertentu sifat
orang atau mahluk tersebut lama-kelamaan juga akan berubah menjadi positif
dan lembut. Disebabkan karena pancaran energi kesejukan dan kedamaian yang
terus kita kirimkan. Kita tidak saja akan menyelamatkan diri kita sendiri tapi juga
menyelamatkan orang lain. Ini juga yang kemudian akan menghindarkan kita dari
kemungkinan garis nasib yang lebih panas dan sengsara.
11
kebijaksanaan, kejernihan dan kedamaian di dalam diri. Itu semua hanyalah
persoalan bagaimana kita bersedia melatih diri untuk memiliki keterampilan agar
dapat memandang setiap hal dan setiap kejadian dalam kehidupan dengan sudut
pandang yang tepat.
Tapi tidak hanya sebatas itu saja, setiap pengalaman hidup yang
menyakitkan, jika kita merenungkannya dalam-dalam, kita akan dapat menyadari
bahwa kejadian-kejadian yang buruk tersebut bukanlah sesuatu yang negatif atau
buruk. Justru sebaliknya ! Kita akan dapat memahami bahwa dibalik semua
kejadian-kejadian buruk tersebut, sesungguhnya alam semesta sedang
menghadirkan cahaya terang di dalam kehidupan kita. Karena kejadian buruk
adalah konsekuensi bayangan dari kebenderangan. Setiap kejadian buruk yang
muncul dalam kehidupan adalah cara alam semesta mengarahkan kita
membangunkan kesadaran Atma.
12
Setiap saat hidup ini membawa kita kepada pilihan. Tersedia pilihan tanpa
batas yang kemudian akan menentukan garis nasib kita. Setiap peristiwa dan
setiap pilihan sikap cara pandang, akan bermanifestasi menjadi riak-riak
berikutnya dalam aliran perjalanan kehidupan.
Jika kita sudut pandangnya gelap dan keras, maka pikiran kita juga akan
menjadi gelap seperti dikuasai ketidakpuasan, kemarahan, protes, dsb-nya. Kita
tidak saja akan merasakan sakit dan kesengsaraan di dalam diri, tapi sekaligus
juga sangat mungkin kita akan menyakiti orang lain. Ini juga yang kemudian akan
membawa garis nasib kita menjadi lebih panas dan sengsara. Sudut pandang yang
tidak tepat seperti ini akan membuat kita menghantar diri kita sendiri tenggelam
ke dalam lumpur kegelapan.
Sebaliknya jika kita sudut pandangnya positif dan lembut, maka tidak saja
pikiran kita menjadi lebih tenang dan damai di dalam diri, tapi sekaligus juga
membuat kita terhindar dari menyakiti orang lain. Ini juga yang kemudian akan
membawa garis nasib kita menjadi lebih aman, tenang dan damai.
Karena itu mengalirlah dengan keadaan diri kita dan kehidupan kita sendiri
sebagaimana adanya. Sudah selayaknya kita memiliki pandangan yang positif dan
lembut. Karena lebih mudah untuk menemukan kejernihan dan kedamaian
dengan pikiran yang positif dan lembut, pada setiap kemungkinan dalam
perjalanan, pada setiap keadaan. Apapun yang terjadi akan menjadi karma-karma
yang mengalir di sungai kejernihan dan kedamaian.
13
Memandang semua hal dan semua bentuk pengalaman kehidupan dari
sudut pandang yang positif dan lembut, adalah cara agar jiwa kita akan dapat
bertransformasi menjadi jernih dan indah. Sebagaimana termuat dalam berbagai
buku-buku suci dharma, pikiran yang memandang dari sudut pandang yang positif
dan lembut adalah jalur cepat menuju kebijaksanaan, kejernihan dan kedamaian
di dalam diri.
Jika semua bentuk pengalaman kehidupan terlihat positif dan lembut, itu
pertanda kita sudah mengalami kejernihan pandangan. Pemahaman mendalam
akan kebenaran seperti inilah yang menghasilkan prajna [kebijaksanaan], yang
akan membebaskan kita dari keserakahan, ketidakpuasan, kemarahan, kesedihan,
keraguan, ketakutan dan kesengsaraan.
14
RUAS KE-3
Dalam perjalanan kehidupan ini, salah satu hal yang penting untuk
dilakukan adalah melatih diri dan menjaga diri agar kita tidak menyakiti, karena
itu semua terkait erat dengan bagaimana terbentuknya kecenderungan pikiran
kita sendiri.
Secara pokok tidak menyakiti ada dua saja, yaitu tidak menyakiti diri
sendiri, serta tidak menyakiti orang lain dan mahluk lain.
Ada berbagai cara untuk menyakiti diri kita sendiri. Sayangnya seringkali
kita tidak menyadarinya.
Sehingga renungkanlah ke dalam diri kita sendiri. Kenali keadaan diri kita
sendiri, agar kita bisa melihat dan memahami kebutuhan diri kita sendiri yang
unik dan berbeda dengan orang lain. Kemudian ekspresikan diri kita secara tepat
dan bijaksana. Artinya memilih kombinasi yang tepat untuk diri kita sendiri,
kombinasi yang unik dan tepat antara menekan diri dan mengekspresikan diri.
Karena itulah cara untuk meraih dasar-dasar kejernihan pikiran.
15
Ekspresikanlah energi di dalam diri kita secara sehat dan alamiah, sesuai
dengan panggilan alamiah diri kita. Kurangilah menekan-nekan diri dengan
larangan begini dan begitu. Tanpa pelabelan dualitas pikiran seperti baik-buruk,
salah-benar, sukses-gagal, dsb-nya. Sebab jika kita terlalu menekan diri dengan
larangan yang tidak sesuai dengan panggilan alami diri kita, itu berarti kita
melawan arus kekuatan alam, sehingga pikiran kita akan penuh dengan konflik
dan ketidakharmonisan. Tapi dalam mengekspresikan diri tetaplah dengan
berpegang kepada pedoman utama yang penting, yaitu kita tidak melakukan
perkataan atau perbuatan yang menyakiti diri sendiri, menyakiti orang lain atau
merugikan orang lain.
Setiap manusia itu unik dan berbeda-beda satu sama lain. Setiap manusia
ada satu sisi dirinya memerlukan pertumbuhan kesadaran jiwa harus dengan cara
mengekspresikan diri dan ada sisi lain dirinya memerlukan pertumbuhan
kesadaran jiwa harus dengan cara menekan. Jika satu sisi unik manusia
pertumbuhan kesadaran jiwa-nya yang tepat harus dengan cara mengekspresikan
diri, tapi memilih cara menekan, dia seperti menyimpan api membara di dalam
diri. Cara terlalu menekan seperti ini akan menyakiti diri sendiri. Menimbulkan
banyak luka-luka jiwa. Persoalan waktu jiwanya akan kering dan terbakar.
Demikian juga sebaliknya jika satu sisi unik manusia pertumbuhan kesadaran jiwa-
nya yang tepat harus dengan cara menekan, tapi memilih cara mengekspresikan
diri, dia akan banyak melakukan kesalahan-kesalahan berbahaya.
Dalam hal ini seringkali sebagian dari norma sosial masyarakat dan aturan
agama menjadi halangan yang mengganggu pertumbuhan kesadaran jiwa
manusia, dengan cara terlalu banyak menekan dan melarang, yang bersifat kaku
dan dualistik [baik-buruk, benar-salah, suci-gelap, dsb-nya]. Padahal setiap
manusia itu memiliki jalan dan pertumbuhan kesadaran jiwa yang unik dan
berbeda-beda satu sama lain. Tidak bisa disamakan. Dampak dari tekanan dan
larangan yang bersifat kaku dan dualistik adalah menekan panggilan alamiah
dalam diri manusia sehingga menimbulkan kegelisahan jiwa melalui konflik di
dalam pikiran, yang muncul dari dualitas pikiran, seperti buruk melawan baik,
kotor melawan suci, dsb-nya.
Tentu saja norma sosial masyarakat dan aturan agama bukan sesuatu yang
buruk. Norma sosial masyarakat dan aturan agama berisi banyak larangan-
16
larangan, dengan tujuan mulia untuk menjaga manusia agar tidak melakukan
kesalahan-kesalahan berbahaya. Ini tentu tidak salah, karena norma sosial, aturan
dan larangan diperlukan terutama sekali bagi manusia-manusia yang kesadaran
jiwanya baru mulai bertumbuh, yang masih kasar dan kuat sifat binatangnya.
Semata-mata untuk menjaga agar manusia tidak mengekspresikan diri secara
berlebihan untuk kemudian terjerumus ke dalam melakukan kesalahan
berbahaya.
Tapi masalahnya adalah bahwa segala hal tidak sesederhana dualitas hal ini
baik dan hal itu buruk. Setiap manusia itu masing-masing unik dan berbeda dari
orang lain. Setiap orang memiliki panggilan alamiah, jalan pertumbuhan, cara
pertumbuhan, bakat dan tugasnya masing-masing di dunia, sesuai dengan
putaran karmanya sendiri. Setiap orang berbeda tidak bisa disamakan. Ada
jejaring yang rumit di balik semua hal.
Selain itu dualitas pikiran hanyalah sebatas cara pikiran mengerti dan sama
sekali bukan kebenaran itu sendiri. Artinya kebenaran sangatlah relatif,
sesungguhnya kita bisa memandang apa saja dengan cara apa saja. Leluhur kita di
Bali mengajarkan bahwa tidak ada kebenaran yang mutlak, tapi kebenaran yang
lebih mendekati adalah kebenaran yang berlandaskan desa, kala, patra [tempat,
waktu, kondisi keadaan].
Setiap manusia itu unik dan berbeda-beda satu sama lain. Jujurlah kepada
diri kita menyangkut diri kita sendiri, apa yang terbaik untuk diri kita sendiri dan
bukan melakukan apa yang diharapkan atau dinilai orang lain. Kita harus percaya
diri karena ini hidup kita sendiri. Tidak ada orang lain yang dapat benar-benar
mengetahui, hanya diri kita sendirilah yang paling tahu tentang diri kita sendiri,
apa yang terbaik bagi diri kita sendiri dan kita sendiri juga yang akan
mendapatkan hasilnya yang positif bagi diri kita sendiri. Sebagian manusia
hidupnya gelisah dan berputar-putar tanpa arah karena terlalu berpegang kepada
pendapat dan sudut pandang pikiran orang lain. Sehingga dengarkan pendapat
orang lain sebatas secukupnya saja, kemudian belajar untuk menjadi diri sendiri.
Berpeganglah kepada prinsip apa-apa yang baik untuk diri kita. Karena jika kita
tidak memiliki pegangan tersebut, maka kejernihan pikiran kita akan mudah
dibuat jatuh oleh hal-hal sepele yang datang dari sudut pandang orang lain yang
belum tentu tepat dan sesuai untuk kondisi unik diri kita sendiri.
17
Kenalilah fenomena tubuh kita sendiri, kenali fenomena pikiran kita sendiri
dan kenali putaran karma-karma kita sendiri. Intinya adalah mengenali diri kita
sendiri. Pelajari secara seksama diri kita dan kehidupan kita sendiri. Yang
terpenting bukanlah dualitas salah-benar atau baik-buruk, tapi apa kebutuhan
jiwa kita sendiri, bagaimana putaran karma kita sendiri dan kita termasuk jiwa
yang memerlukan pertumbuhan kesadaran jiwa dengan jalan apa ?
Terlalu menekan sisi-sisi alamiah di dalam diri kita sendiri, akan memantul
balik dalam bentuk kekacauan di dalam jiwa kita. Setiap bentuk pikiran dan
dorongan energi alamiah yang ditekan dan dilarang secara berlebihan kemudian
penuh, dia kemudian akan memberikan tanda ke permukaan dalam bentuk bad
mood, kesedihan tanpa sebab, dsb-nya. Ini dalam jangka panjang dapat
bermanifestasi menjadi berbagai jenis sifat perilaku yang bersifat merusak diri
sendiri dan orang lain. Inilah yang disebut sebagai norma sosial masyarakat,
aturan agama dan pandangan orang lain dapat membuat jiwa manusia menjadi
gelisah, rusak dan terbelah.
Jadi kenali diri kita sendiri, kemudian ekspresikan diri kita secara tepat dan
bijaksana. Kembali kepada ajaran leluhur kita di Bali bahwa tidak ada kebenaran
yang mutlak, tapi kebenaran yang lebih mendekati adalah kebenaran yang
berlandaskan desa, kala, patra [tempat, waktu, kondisi keadaan].
18
memerlukan kombinasi yang tepat antara tidak terlalu tenggelam dalam rasa
bersalah serta mengakui kesalahan kita dan segera memperbaiki diri.
Pada sisi sebaliknya, jika kita terlalu menyalahkan dan memvonis buruk diri
kita sendiri saat melakukan kesalahan, itu merupakan sebuah tindakan menyakiti
diri sendiri. Memvonis buruk diri sendiri atau terlalu tenggelam dalam rasa
bersalah tidak sehat bagi pertumbuhan kesadaran jiwa kita. Memvonis buruk diri
sendiri akan berdampak membuat jiwa kita mudah terluka, sekaligus kita akan
sulit tersembuhkan dari luka-luka jiwa. Pikiran kita akan menjadi keras-kaku, kita
akan mudah sekali menyalahkan orang lain dan kita akan sulit memaafkan
kesalahan orang lain. Ini tentu saja dapat membuat kita mudah terjerat ke dalam
kegelapan pikiran.
19
sendiri. Lupakan kesempurnaan. Lihatlah ketidaksempurnaan hanya sebagai
bagian dari cara pertumbuhan kesadaran jiwa kita. Mengalirlah seperti apa
adanya diri kita dan kehidupan kita sendiri. Belajarlah untuk terus-menerus
menerima, tersenyum, mengalir dan tidak memvonis buruk kepada ketidak-
sempurnaan diri atau kepada kesalahan-kesalahan kita.
Dengan mengakui kesalahan diri kita, berani meminta maaf dan sekaligus
memaafkan diri kita sendiri, pikiran kita akan menjadi lebih jernih. Kita akan dapat
memperbaiki diri sendiri, kita tidak akan menyakiti diri sendiri, kita tidak akan
mudah terluka, kita mudah tersembuhkan dan kita akan mudah memaafkan
kesalahan orang lain. Kita tidak akan mudah terjerat ke dalam kegelapan pikiran.
Apapun yang kita ucapkan dan apapun yang kita lakukan itu tidak saja akan
menghasilkan karma, tapi sekaligus juga pasti akan memantul balik ke dalam
kecenderungan pikiran kita sendiri.
Kalau apa yang kita ucapkan dan lakukan berakibat membahagiakan orang
lain, maka hal itu [entah kita sadari atau tidak] pasti akan mendatangkan
kebahagiaan di dalam pikiran kita sendiri. Sebaliknya kalau apa yang kita ucapkan
dan lakukan berakibat menyengsarakan orang lain, maka hal itu tanpa kita sadari
akan mengotori pikiran kita, yang pasti akan berdampak mengganggu kejernihan,
kesejukan dan kedamaian di dalam pikiran kita sendiri.
20
Jangan membicarakan keburukan, kekurangan dan kelemahan orang lain.
Singkirkanlah setiap perasaan iri, ketidakpuasan atau rasa persaingan dalam diri
kita. Lepaskanlah kebanggaan kita. Lepaskanlah merasa penting, merasa lebih
baik, atau merasa lebih benar.
Ini semua adalah dharma yang sangat mendasar, yang terkait erat dengan
upaya kita membangun kejernihan, kesejukan dan kedamaian di dalam diri.
Karena jika kita melakukan pelanggaran dharma seperti itu, tidak saja kelak akan
membawa karma buruk ke dalam kehidupan kita, tapi juga sekaligus tanpa kita
sadari akan membawa dampak kekacauan ke dalam pikiran kita sendiri. Jika apa
yang kita ucapkan atau lakukan berakibat menyakiti perasaan orang lain, cepat
atau lambat pasti akan memantul balik ke dalam kondisi pikiran kita sebagai
kesan-kesan pikiran yang buruk, yang akan menciptakan kegelisahan yang sulit
21
dijelaskan di dalam pikiran kita. Ini tentu saja akan menyebabkan terganggunya
kejernihan, kesejukan dan kedamaian pikiran di dalam diri kita sendiri.
Agar dapat menumbuhkan hati belas kasih kepada orang atau mahluk lain,
yang dapat mencegah kita untuk menyakiti, kita perlu mendidik diri untuk melihat
kesamaan-kesamaan diantara kita semua. Lupakanlah perbedaan, karena jika
melihat perbedaan-perbedaan pasti akan menimbulkan tembok pemisah antara
diri kita dengan yang lainnya. Antara yang dianggap benar dan yang dianggap
salah, antara yang dianggap baik dan yang dianggap buruk, dsb-nya. Sebaliknya
dengan melihat kesamaan diantara kita semua akan menimbulkan keterhubungan
yang sakral. Sehingga belajarlah memandang kesamaan-kesamaan diantara kita
semua, yaitu :
- Sama seperti saya, orang atau mahluk lain juga mencari kebahagiaan di dalam
hidupnya.
- Sama seperti saya, orang atau mahluk lain juga tidak mau disakiti dan berusaha
menghindari kesusahan dan kesengsaraan di dalam hidupnya.
- Sama seperti saya, orang atau mahluk lain juga pernah menjalani hari-hari buruk
yang berat.
- Sama seperti saya, orang atau mahluk lain juga pernah mengalami kesusahan,
kesengsaraan, kesedihan, keputus-asaan dan kesepian di dalam hidupnya.
- Sama seperti saya, orang atau mahluk lain juga berusaha memenuhi apa
kebutuhan atau keperluan hidupnya.
- Sama seperti saya, orang atau mahluk lain juga sedang sama-sama dalam proses
belajar dan bertumbuh di dalam perjalanan kehidupan.
22
Lihatlah orang lain dan mahluk lain dengan senyuman belas kasih, karena
dalam samudera samsara ini mereka semua sama seperti diri kita. Terima mereka
seperti sebagaimana adanya, karena kita semua sama dan kita semua sedang
sama-sama dalam proses belajar dan bertumbuh di dalam perjalanan kehidupan
dengan jalan serta cara kita masing-masing.
Tidak menyakiti sepertinya terkait erat dengan orang lain dan mahluk lain.
Tapi sesungguhnya diri kita sendirilah yang akan paling merasakan dampaknya.
Dengan tidak menyakiti, hari demi hari pikiran kita akan semakin dimurnikan,
sehingga memunculkan kejernihan, kesejukan dan kedamaian di dalam diri.
23
RUAS KE-4
Salah satu rahasia penting semua jalan spiritual adalah hati yang penuh
belas kasih dan kebajikan. Pertama, karena praktek spiritual atau praktek religius
manapun akan dangkal dan tidak pernah bisa dalam kalau tanpa dilandasi hati
yang penuh belas kasih dan kebajikan kepada semua mahluk. Kedua, karena belas
kasih dan kebajikan adalah awal dan akhir semua jalan spiritual. Di awal menjadi
pondasi sangat penting dan di akhir ketika mencapai kesadaran Atma yang
sempurna, sebagai hasilnya adalah keheningan bathin, serta hati yang penuh
belas kasih dan kebajikannya. Demikian menentukannya, sehingga kalau seluruh
ajaran dharma di-intisarikan menjadi satu ajaran saja, maka hal itu adalah belas
kasih dan kebajikan tanpa batas kepada semua mahluk.
Belas kasih dan kebajikan tidak hanya berguna bagi mahluk lain, tapi
terutama sekali sangat berguna untuk diri kita sendiri. Apapun yang kita ucapkan
dan lakukan sesungguhnya tidak saja menghasilkan karma, tapi sekaligus juga
secara pasti akan memantul balik ke dalam kondisi pikiran kita sendiri. Kalau apa
yang kita ucapkan dan lakukan berakibat membahagiakan orang lain atau mahluk
lain, maka hal itu [entah kita sadari atau tidak] pasti akan mendatangkan
kejernihan dan kebahagiaan di dalam pikiran kita sendiri.
Belas kasih dan kebajikan tidak saja membahagiakan hati mahluk lain, tapi
terlebih juga akan membahagiakan hati kita sendiri. Belas kasih dan kebajikan
tidak saja menyegarkan pikiran mahluk lain, tapi terlebih juga akan menyegarkan
pikiran kita sendiri. Belas kasih dan kebajikan tidak saja menjernihkan pikiran
mahluk lain, tapi terlebih juga akan menjernihkan pikiran kita sendiri.
Jika kita peka dan peduli dengan kebahagiaan mahluk lain, jika kita tekun
melakukan kebajikan-kebajikan, maka akan semakin berkembanglah kesegaran
24
dan kesejukan di dalam pikiran kita sendiri. Ini adalah hukum alam. Ketekunan
melaksanakan belas kasih dan kebajikan membuat seseorang terus-menerus
mengikis kegelapan pikirannya [sad ripu] dan ego-nya [ke-aku-an, ahamkara] dari
hari ke hari.
Secara pokok belas kasih dan kebajikan ada dua, yaitu kebajikan terdekat
[melaksanakan swadharma], serta kebajikan kepada semua.
Kita harus mengetahui dan memiliki kesadaran bahwa salah satu tugas
utama kita yang paling mendasar dalam kehidupan ini adalah bekerja mencari
nafkah. Karena ini adalah titik tolak yang memudahkan kaki kita melangkah secara
lebih luas kemana-mana. Secara umum, tanpa memiliki nafkah penghasilan gerak
kita untuk kegiatan lain akan sulit dan terbatas. Tapi juga bukan sekedar bekerja
mencari nafkah, fokuslah mengerjakan pekerjaan kita dengan giat, baik dan jujur,
sehingga secara mendalam bekerja mencari nafkah juga menjadi pelaksanaan
kebajikan dalam kehidupan.
25
Kerja apapun juga, asalkan tidak melanggar dharma, baik dan layak untuk
dilakukan. Kerjakan dengan sebaik-baiknya. Masalah hasil kita terima dengan
damai dan penuh kerelaan. Belajarlah dengan rajin di sekolah kalau kita masih
pelajar. Kalau kita sudah bekerja, kita bekerjalah dengan tekun dalam upaya
mencari nafkah. Sumber mata pencaharian harus benar dan tidak melanggar
dharma.
26
Seperti kisah seseorang yang mendapatkan bibit bunga yang indah sekali.
Tapi karena kurangnya kepekaan, dia meletakkan tanaman tersebut di bawah
cahaya matahari yang terik, padahal sebenarnya tanaman tersebut memerlukan
sedikit saja sinar matahari. Hasilnya adalah bibit bunga yang indah ini melayu.
Demikian juga dengan jiwa manusia. Sebaik apapun bibit jiwa seseorang di dalam,
jika keliru dalam memperlakukan mereka, maka yang baik bisa jadi jahat dan yang
jahat bisa menjadi tambah jahat. Yang terpenting sebenarnya bukan sifat
pembawaan mereka, tapi adanya kepekaan untuk terus menerus merawat
mereka dengan cara yang tepat. Inilah kebajikan yang terdekat untuk
dilaksanakan.
27
jalan terang. Sekalipun tindakan kita dalam norma sosial masyarakat disebut
, konseptual dan sangat relatif], tapi
kalau tindakan kita didasari oleh aspirasi belas kasih dan kebajikan kepada semua,
maka kita pasti akan terbebas dari kesalahan malah sebaliknya dibawa menuju
kejernihan pikiran, kebahagiaan, kemuliaan dan penerangan jiwa.
Jadikanlah perjalanan kehidupan ini sebagai lahan subur bagi kita untuk
melakukan kebajikan-kebajikan kepada semua mahluk. Kembangkan hati yang
penuh belas kasih dan kebajikan. Karena dengan ketekunan melakukan kebajikan-
kebajikan, secara pasti tidak saja karma-karma buruk kita akan banyak
diringankan, tapi sekaligus juga pikiran kita akan banyak mengalami pembersihan.
Pikiran kita dimurnikan menuju kejernihan-kedamaian, serta dibebaskan dari
kegelapan pikiran. Sekaligus di jalan spiritual apapun kita melangkah, disana kita
akan mudah terhubung dengan kemahasucian.
Akan tetapi perlu dicatat, bahwa sangat sering terjadi, kebajikan yang kita
lakukan dibalas dengan kejahatan, atau kebajikan yang kita lakukan berujung
kepada nasib buruk atau luka-luka jiwa. Disinilah kita memerlukan pengetahuan
dharma mencakup dinamika kosmik alam semesta. Hukum karma yang mutlak
dan tidak bisa dibendung, sehingga muncul pandangan benar dan kebijaksanaan
di dalam diri. Bahwa ini bukanlah kesalahan orang lain, atau ini juga bukanlah
hukuman alam semesta kepada kita, melainkan hanya akumulasi karma-karma
buruk masa lalu kita sendiri yang datang untuk kita lunasi. Sehingga jangan kapok
atau berhenti, teruslah melakukan kebajikan dan kebajikan.
28
Tidak jarang terjadi, ketulusan hati dan kebajikan kita dianggap sebagai
kebodohan oleh orang yang masih tenggelam dalam avidya [ketidaktahuan]. Tapi
teruslah tulus dan melakukan kebajikan-kebajikan dalam kehidupan. Mungkin
setiap hari di sekeliling kita melihat tindakan-tindakan kejahatan dan
ketidakjujuran seperti sedang menghina kebajikan. Tapi teruskanlah kebajikan-
kebajikan kita. Karena pada akhirnya bukan tentang kita dengan orang-orang lain,
tapi tentang diri kita dengan hukum karma dan tentang diri kita menyangkut
kejernihan-kedamaian di dalam diri sendiri.
29
RUAS KE-5
Atma. Karena
kenyataan sejati kita adalah Atma itu sendiri. Kita hanya perlu menyadarinya
kembali. Itu bukanlah pencapaian, karena dari awal yang tidak berawal kesadaran
Atma adalah kenyataan diri kita yang sejati. Kita hanya perlu melenyapkan
penghalang-penghalangnya saja dan kesadaran Atma akan hadir kembali dengan
sendirinya.
Dasar kejernihan pikiran akan menjadi landasan yang stabil bagi praktek
meditasi agar kita dapat menyadari kembali kesadaran Atma yang luhur. Jika kita
tidak melaksanakan 4 [empat] ruas landasan kesadaran pada kehidupan sehari-
hari, kita akan mengalami kesulitan dalam meditasi. Semuanya ke-5 [lima] ruas ini
merupakan satu kesatuan sadhana [upaya spiritual] yang akan menghasilkan
pencapaian sempurna, untuk melenyapkan penghalang-penghalang dari
kesadaran Atma, kenyataan diri yang sejati.
30
Petunjuk penting dalam praktek meditasi non-dualitas [advaita-citta]
adalah kesadaran selalu dibawa ke tengah-tengah dan hindari pikiran terbawa
ekstrim ke kiri atau ekstrim ke kanan. Terlalu sedih, terlalu marah, terlalu melekat
dengan kenikmatan, itu pikiran terbawa ekstrim ke kiri. Terlalu bahagia, terlalu
damai, terlalu melekat dengan kesucian, itu pikiran terbawa ekstrim ke kanan.
Keduanya sesungguhnya akan sama-sama membuat jiwa mengalami kekacauan.
Karena kesadaran bergerak laksana bandul. Setiap kali bandul pikiran ditarik ke
sebuah titik ekstrim, ia pasti akan memantul balik ke titik ekstrim yang lain.
Dalam buku suci Hindu tertua, yaitu Rig Veda, pada sloka 1.164.20 tertulis :
Terjemahan :
tinggal di atas pohon yang sama. Salah satu dari mereka menikmati buah matang
yang manis, sedangkan yang lainnya menjadi saksi tanpa menikmati buah-
Makna sloka 1.164.20 Rig Veda yang ditulis dalam bentuk prosa yang puitis
g tinggal di
yang sama [di dalam diri kita manusia]. Satu kesadaran adalah ego [ahamkara]
yang larut ke dalam arus kehidupan duniawi dan satu kesadaran lainnya adalah
kesadaran Atma yang hanya menjadi saksi dari arus kehidupan.
31
Rig Veda mengajarkan untuk secara meditatif menjadi saksi terhadap setiap
bentuk-bentuk pikiran dan pengalaman kehidupan, melalui meditasi non-dualitas
[advaita-citta]. Karena dualitas pikiran hanyalah cara pikiran mengerti dan sama
sekali bukan kebenaran sejati itu sendiri. Rahasia kesempurnaan kesadaran Atma
bukanlah keadaan lenyapnya ketidaksempurnaan di dalam diri kita. Jalan
kesempurnaan kesadaran Atma adalah senyuman damai dan belas kasih yang
sama terhadap dualitas pikiran bahagia-sengsara, baik-buruk, benar-salah, suci-
gelap, dsb-nya, atau dengan kata lain melampaui semua dualitas.
Dalam buku suci Ashtavakara Gita, Maharsi Ashtavakara [seorang yogi yang
sudah sadar] menjelaskan kepada Raja Janaka [Raja Kerajaan Mithila], mengenai
kesadaran Atma dan kenyataan semesta :
Jika kau berkata : "aku adalah sang pelaku", maka berarti kau
telah membiarkan ular hitam ego atau ke-aku-an [ahamkara] mematuk dirimu.
Dan jika kau sadar hakikat bahwa : "aku bukanlah sang pelaku" dan menjadi
saksi, maka berarti kau telah meminum madu keheningan serta selalu hidup
dalam kesadaran.
32
luar dan bangunlah ke dalam pemikiranmu bahwa kau adalah yang abadi tidak
berubah, kesadaran-
Alam semesta ini meluas ke segenap penjuru oleh dirimu. Alam semesta ini
terus meluas di dalam dirimu. Pada kenyataan yang sejati kau adalah kesadaran-
murni. Maka janganlah kau berpandangan sempit. Kau tidaklah terikat, tak
berubah, tanpa bentuk, tak terpecah dalam pasangan yang saling bertentangan,
tak dapat diduga, bijaksana, dan tak pernah gelisah. Maka cukuplah kau hanya
sadar kepada kesadaran-murni yang
Ketahuilah bahwa setiap yang berbentuk adalah ilusi dan ketahuilah pula
yang tanpa bentuk, yang tidak berubah dan abadi. Mengetahui kebenaran dari
ajaran ini akan mengakhiri siklus samsara. Laksana bayangan dari sebuah cermin,
Atma yang terbayang di dalam cermin dengan Brahman di luar cermin adalah
sama. Brahman yang sama ada di dalam dan di luar badan ini, Brahman meliputi
semua yang ada di langit dan juga meliputi benda-benda di bumi, Brahman yang
kekal abadi meliputi
Leluhur kita di Bali yang wikan sejak jaman kuno dahulu sangat mengerti
tentang kesadaran Atma dewa ya bhuta ya
Artinya di dalam diri manusia ada sisi terang dan luhur [dewa] dan juga ada sisi
gelap dan buruk [bhuta]. Keduanya bagian utuh yang sama di dalam diri kita.
Tidak bisa kita lenyapkan salah satunya. Laksana bulan yang memiliki sisi terang
dan sisi gelap, disadari bahwa sesungguhnya baik sisi terang maupun sisi gelap
dari bulan adalah keutuhan sempurna bulan yang sama.
Jika kita perhatikan diri kita atau pikiran kita [bhuwana alit] dan alam
semesta [bhuwana agung], semuanya memiliki pola dalam rwa bhinneda atau dua
33
kutub yang berseberangan. Dalam ajaran dharma mengenai rwa bhinneda, semua
pola dualitas merupakan manifestasi dari satu kenyataan absolut yang tunggal,
yaitu Sanghyang Embang [yang mahasuci keheningan sempurna] atau Sanghyang
Acintya [yang mahasuci tidak terpikirkan].
Ketika kita tersadar bahwa kenyataan absolut diri kita atau pikiran kita
[bhuwana alit] dan alam semesta [bhuwana agung] adalah melampaui dualitas,
tercapailah keheningan sempurna yang tidak terpikirkan, manunggal dengan
kenyataan absolut.
Di bagian puncak dari Penataran Agung Pura Besakih, disanalah juga oleh
leluhur orang Bali yang wikan disembunyikan ajaran rahasia tentang kesadaran
Atma. Tepat sebelum pelataran tertinggi, disana terdapat dua palinggih rwa
bhinneda, yaitu Palinggih Kiwa [kiri, gelap dan buruk] dan Palinggih Tengen
[kanan, terang dan luhur]. Keduanya diletakkan sama sejajar. Sebuah simbolik
ajaran bahwa keduanya merupakan bagian utuh yang sama, baik di dalam diri kita
sendiri, maupun di alam semesta ini. Di tengah-tengahnya, di pelataran puncak
yang tertinggi, terdapat Palinggih Sanghyang Embang [keheningan sempurna yang
mahasuci], yang juga disebut sebagai sesarining dharma atau intisari dharma.
Sebuah simbolik ajaran rahasia bahwa dengan melampaui dualitas konseptual
pikiran membuat kita mencapai keheningan sempurna.
34
Tarik nafas agak dalam pelan-pelan dari hidung [puraka], tahan sebentar
saja [kumbhaka], lalu lepaskan pelan-pelan [recaka]. Lakukan dengan berirama
teratur. Lepaskan semua pikiran kita tentang kenangan di masa lalu dan bayangan
kejadian di masa depan. Fokuslah ke saat ini.
Sadari dan amati bentuk-bentuk pikiran yang muncul disaat ini. Apapun
pikiran atau kejadian yang muncul disaat ini, jangan ditolak atau dilawan dan juga
jangan diikuti. Walaupun yang muncul pikiran paling buruk sekalipun. Lepaskan
semua konsep pikiran kita tentang bahagia-sengsara, baik-buruk, benar-salah,
suci-gelap, mulia-hina, dsb-nya [dualitas pikiran]. Saksikan saja dengan senyum
damai dan belas kasih munculnya pikiran tersebut. Jangan divonis [dihakimi]
sebagai salah-benar atau baik-buruk, dsb-nya. Saksikan saja dengan senyuman
damai dan penuh belas kasih, tanpa dinilai apapun dan biarkan dia lewat dengan
sendirinya.
35
benturan pikiran, seperti buruk melawan baik, kotor melawan suci, dsb-nya, yang
kemudian berakhir menjadi kegelisahan jiwa.
Sifat alamiah pikiran kita sebagai manusia adalah dewa ya bhuta ya Hal
ini sama dengan sifat alamiah dari samudera yang bergelombang. Jika kita
melawan, menolak atau berusaha membuang pikiran-perasaan yang muncul, itu
sama dengan menolak gelombang samudera. Sama dengan melawan kekuatan
alam. Tidak bisa dan justru akan menimbulkan gejolak kekacauan di dalam diri.
akan memberikan tanda ke permukaan dalam bentuk bad mood, kesedihan tanpa
sebab, kemarahan, kekeringan jiwa, dsb-nya. Inilah yang disebut oleh para yogi
jivan-mukta sebagai norma sosial masyarakat dan aturan agama dapat membuat
jiwa manusia menjadi rusak dan gelisah. Jika terus berlanjut dalam jangka panjang
dapat bermanifestasi menjadi berbagai jenis sifat perilaku yang bersifat merusak
diri sendiri dan orang lain.
36
Misalnya jika muncul perasaan marah, jangan dilawan, jangan ditolak dan
jangan merasa bersalah [ekstrim kanan] karena itu bagian yang tidak terpisahkan
dari diri kita, serta jangan juga diikuti [ekstrim kiri]. Tapi bawalah bandulnya ke
tengah, caranya perasaan marah yang muncul itu disaksikan saja dengan
senyuman damai dan penuh belas kasih. Tanpa dinilai sebagai baik-buruk, salah-
benar, dsb-nya.
Jika muncul pikiran jahat, jangan dilawan, jangan ditolak dan jangan merasa
bersalah [ekstrim kanan] karena itu bagian yang tidak terpisahkan dari diri kita,
serta jangan juga diikuti [ekstrim kiri]. Tapi bawalah bandulnya ke tengah, caranya
pikiran jahat yang muncul itu disaksikan saja dengan senyuman damai dan penuh
belas kasih. Tanpa dinilai sebagai baik-buruk, salah-benar, dsb-nya.
Jika muncul perasaan sedih dan kecewa, jangan dilawan, jangan ditolak dan
jangan merasa bersalah [ekstrim kanan] karena itu bagian yang tidak terpisahkan
dari diri kita, serta jangan juga diikuti [ekstrim kiri]. Tapi bawalah bandulnya ke
tengah, caranya perasaan sedih dan kecewa yang muncul itu disaksikan saja
dengan senyuman damai dan penuh belas kasih. Tanpa dinilai sebagai baik-buruk,
salah-benar, dsb-nya.
Jika muncul perasaan damai dan bahagia, jangan melekat kepada perasaan
tersebut [ekstrim kanan], serta jangan dilawan atau ditolak [ekstrim kiri] karena
itu bagian yang tidak terpisahkan dari diri kita. Tapi bawalah bandulnya ke tengah,
caranya perasaan damai dan bahagia yang muncul itu disaksikan saja dengan
senyuman damai dan penuh belas kasih. Tanpa dinilai sebagai baik-buruk, salah-
benar, dsb-nya.
Berusaha menolak atau membuang bagian yang tidak terpisahkan dari diri
kita akan menimbulkan gejolak konflik pikiran luar biasa. Sebaliknya terseret ke
dalam arusnya juga akan menimbulkan gejolak konflik pikiran. Sehingga dalam
meditasi non-dualitas, tersenyumlah dengan damai dan penuh belas kasih kepada
segala bentuk apapun pikiran-perasaan yang muncul, termasuk juga kepada apa
yang disebut oleh norma sosial masyarakat dan aturan agama sebagai noda-noda
pikiran. Tanpa dinilai sebagai baik-buruk, salah-benar, dsb-nya. Laksana air yang
keruh, jika semuanya diterima dengan damai, mengalir dan tersenyum penuh
37
belas kasih, airnya akan diam dengan sendirinya, kotorannya akan mengendap
dengan sendirinya sehingga airnya menjadi tenang dan jernih.
Konsentrasi dalam meditasi seperti energi yang terpusat. Kalau pikiran kita
sering terkonsentrasi menjadi saksi yang tersenyum penuh belas kasih kepada
setiap bentuk pikiran-perasaan yang muncul, maka di suatu titik ada kemungkinan
kita mengalami samadhi. Samadhi tidak saja menghancurkan dualitas pikiran
seperti baik-buruk, salah-benar, yang sempit dan picik, tapi sekaligus juga
membawa kesadaran kita mulai terserap ke dalam dimensi kesadaran Atma yang
tenang, jernih dan terang-benderang.
38
Perjalanan kehidupan ini penuh dengan dinamika berbagai kejadian-
kejadian, baik kejadian tidak menyenangkan maupun kejadian menyenangkan.
Ketika kita meledak dalam kemarahan, itu berarti kesadaran Atma kita sudah
diambil alih oleh kemarahan. Ketika kita larut tenggelam dalam kesedihan, itu
berarti kesadaran Atma kita sudah diambil alih oleh kesedihan. Ketika kita histeris
dalam kebahagiaan, itu berarti kesadaran Atma kita sudah diambil alih oleh
kebahagiaan.
Yang perlu kita lakukan adalah membawa meditasi non-dualitas setiap saat
ke dalam dinamika kehidupan. Dengan cara demikian, kita terus melakukan
meditasi selama saat kita terjaga. Kita terus melakukan upaya terhubung dengan
kesadaran Atma di dalam diri. Sadari pikiran hanya sebagai pikiran, bukan sebagai
kebenaran. Sadari perasaan hanya sebagai perasaan, bukan sebagai kenyataan
sejati diri kita. Jika kita tekun berlatih meditasi seperti ini, suatu saat semua
bentuk pikiran-perasaan yang ekstrim hanya akan menimbulkan riak-riak sebentar
saja, untuk kemudian menghilang.
39
kekal, muncul dan lenyap]. Disaksikan saja dengan senyuman damai dan penuh
belas kasih. Tanpa dinilai sebagai baik-buruk, salah-benar, dsb-nya.
40
Tidak lagi sibuk dengan cara terikat pada hal-hal positif dan menolak hal-hal
negatif. Tidak lagi sibuk terikat pada kedamaian dan menolak kekacauan. Tidak
lagi sibuk terikat pada kedamaian dan menolak kesengsaraan. Hanya dengan cara
penerimaan, keterbukaan dan mengalir pada setiap kondisi keadaan seperti apa
adanya, itulah yang dimaksud kita membawa kesadaran ke titik tengah.
Setiap kesempatan
-pendek waktunya
tetapi sering dilakukan. Jika dilakukan lebih lama, apa lagi terlalu lama, cenderung
akan didikte oleh konsep.
Jika kita memeditasikan hal ini secara tekun dan mendalam, lama-lama
kesadaran akan seperti langit biru. Awan putih tidak membuat langit menjadi
putih, awan hitam tidak membuat langit menjadi hitam. Apa pun yang terjadi
langit tetap biru, luas tidak terbatas. Di tahap ini, semua dualitas pikiran,
kecenderungan pikiran dan konsep lenyap. Tidak ada lagi yang perlu digali, tidak
ada lagi yang perlu dicapai. Semuanya menjadi meditasi. Terutama dengan
mempertahankan keadaan pikiran yang kembali ke titik tengah. Pendek-pendek
waktunya tetapi sering dilakukan.
41
Manusia hidupnya penuh dengan gejolak dan konflik karena pikirannya
terseret arus putaran roda lingkaran kehidupan. Melalui ketekunan melaksanakan
meditasi non-dualitas kita perlahan-lahan mendekati titik pusat roda lingkaran
yang disebut samadhi. Menjadi saksi abadi penuh belas kasih di titik pusat roda
lingkaran kehidupan. Disanalah seluruh gejolak dan konflik berhenti, digantikan
oleh kebijaksanaan.
Menjadi sadar bahwa tidak ada perbedaan antara mendapat pujian dengan
mendapat penghinaan. Keduanya hanya didengar dengan penuh belas kasih.
Menjadi sadar bahwa tidak ada perbedaan antara mendapat kebahagiaan dengan
mendapat kesengsaraan. Keduanya hanya dijalani dengan penuh belas kasih.
Mereka yang tekun berlatih seperti ini akan membawa jiwa-nya mencapai pusat
kesadaran Atma. Disana kehidupan akan berubah menjadi senyuman kejernihan.
42
Kita akan menyadari secara mendalam bahwa segala kejadian
sesungguhnya tidak membawa kebahagiaan-kesengsaraan, kebajikan-keburukan,
kebenaran-kesalahan, kesucian-kegelapan, dsb-nya. Semuanya merupakan hasil
dari dualitas pikiran kita sendiri. Sehingga menyadari pikiran kita hanya sebagai
pikiran bukan sebagai kebenaran. Menyadari perasaan kita hanya sebagai
perasaan bukan sebagai kenyataan sejati diri kita. Ketika semua dualitas
terlampaui, kita langsung sampai di puncak keheningan. Sadar bahwa sejak awal
yang tidak berawal sampai akhir yang tidak ada akhirnya, semuanya sempurna
sebagaimana adanya. Kehidupan menjadi mengalir dan tanpa memilih, karena
semuanya sempurna sebagaimana adanya.
Purnamadah Purnamidam
Purnat Purnamudachyate
Purnasya Purnamadaya Purnameva Vashishyate
Terjemahan :
Sejak awal yang tidak berawal sampai akhir yang tidak ada akhirnya,
semuanya sempurna sebagaimana adanya.
43
Akan tetapi ini bukanlah hal yang dapat dipahami dengan logika atau
pikiran. Kesempurnaan tidak akan pernah dapat dipahami melalui logika atau
pikiran. Kesempurnaan hanya bisa disadari melalui keheningan. Cara untuk dapat
menyadarinya adalah dengan tekun melaksanakan meditasi non-dualitas beserta
4 [empat] ruas landasan kesadaran. Sampai suatu hari kita akan mengalami
sendiri [bukan memahami melalui logika atau pikiran, karena tidak bisa]
keheningan sebagai pusat kesadaran Atma. Dalam keheningan itulah
disembunyikan rahasia kesempurnaan.
Mereka yang tekun berlatih seperti ini suatu hari akan mengerti di dalam
diri kita sendiri terdapat kekuatan suci yang maha-agung, yaitu kesadaran Atma
yang sudah ada di dalam diri kita sendiri sejak dari awal yang tidak berawal. Yang
membuat kita memahami kenyataan diri tertinggi, pengetahuan rahasia tertinggi
dan sekaligus terbebas dari belenggu siklus samsara.
44