Anda di halaman 1dari 38

PANDANGAN BUDAYA DI INDONESIA TENTANG

GENDER DAN KEDUDUKAN PEREMPUAN

Oleh:
Dr. Ir. Herien Puspitawati, M.Sc., M.Sc

Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen


Institut Pertanian Bogor
2014
Kendala Budaya Patriaki Bagi Perempuan

Adat dan budaya ini menjadi panduan bagi masyarakat untuk berperilaku
sehari-hari yang diturunkan dari generasi satu ke generasi lainnya dan
mendarah daging (internalized) membentuk cara berpikir (mind set)

Sistem sosial
budaya di
Indonesia:
dominasi sistem
patriarki,

variasi
perbedaan peran
gender

Masih ditemui adanya pembatasan adat dan norma masyarakat pada perilaku
perempuan, yang diawali dari pelabelan atau stereotipe atau sub-ordinasi
(penomorduaan) terhadap perempuan
Kendala Budaya Patriaki Bagi Perempuan

 Sejak berabad-abad perempuan di


Pulau Jawa hanya difungsikan sebagai
reproduksi dan pemuas nafsu seksual,
serta dianggap sebaga pelengkap
keberadaan laki-laki.

 Ungkapan di masyarakat bahwa


aktivitas perempuan hanya seputar
sumur, dapur dan kasur.
 Ungkapkan oleh masyarakat Pantura
Jawa Barat bahwa “tong luhur-luhur
teuing sakola, awewe mah da ka
dapur oge”
Kendala Budaya Patriaki Bagi Perempuan

Subordinasi dan stereotipe menyebabkan posisi perempuan tetap


dipinggirkan meskipun sudah mulai terjadi peningkatan pendapatan
kaum perempuan yang melebihi suaminya, namun tetap saja diberi
label bahwa apa yang dihasilkan oleh perempuan hanya sebagai
sambilan atau tambahan dalam memenuhi kebutuhan keluarganya.
Akhirnya, peran perempuan berada pada posisi yang sangat lemah
sebagai pengambil keputusan kecuali dikehendaki oleh suaminya.
Contoh Posisi Perempuan dalam Konteks Budaya

 Peran perempuan
adalah di sektor
domestik; peran laki-
laki adalah sebagai
pemimpin dan
pelindung keluarga,
jadi bertanggung jawab
dan berperan di sektor
publik

 Peran perempuan adalah di “Dapur/ Masak, Kasur/ Manak,


Pupur/ Macak”.
 Posisi perempuan sebagai “konco wingking” (orang belakang)
dan orang nomor dua dalam pengambilan keputusan dalam
keluarga.
Contoh Posisi Perempuan dalam Konteks Budaya

Pendidikan diutamakan untuk Laki-laki tabu melakukan pekerjaan


laki-laki daripada perempuan domestik seperti cuci piring, cuci
baju dan memasak, karena itu
“pekerjaan perempuan”.
Perempuan sering dilekatkan Peran laki-laki sebagai pemimpin
pada profesi tertentu seperti keluarga dan tulang punggung
perawat, sekretaris, guru TK keluarga
dan sejenisnya.
Laki-laki sering dilekatkan pada
profesi direktur, pilot, dokter dan
lain-lain.
Laki-laki tidak boleh mempunyai istri
yang mempunyai pendidikan dan
kedudukan sosial yang lebih tinggi
dari dirinya
Contoh Posisi Perempuan dalam Konteks Budaya
Perempuan adalah simbol dari eksistensi harmonisasi rumahtangga,
keterjaminan kualitas sumberdaya manusia anak , dan keterjaminan
pengaturan rumah dan ketersediaan pangan keluarga
Posisi perempuan dalam pengambilan keputusan yang berhubungan
dengan kepemilikan aset, penentuan pendidikan anak, peminjaman
kredit dan hal-hal yang berhubungan dengan pekerjaan suami adalah
lemah
Posisi perempuan dalam pembagian kerja juga lemah.
Posisi perempuan dalam manajemen keuangan keluarga
(perencanaan, penggunaan dan pengendalian keuangan) adalah
lemah
Pada umumnya rata-rata lama pendidikan yang ditempuh
perempuan adalah lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata lama
pendidikan yang ditempuh laki-laki
Posisi perempuan dalam melindungi kesehatan reproduksi juga
lemah
Konsekuensi dari Posisi Perempuan dalam
Konteks Budaya

PEREMPUAN
Posisi dan peran laki-laki dan perempuan
menurut konteks budaya
POSISI DAN PERAN PEREMPUAN
NORMA DAN BUDAYA (DOMAIN PEREMPUAN)
MASYARAKAT · Ibu rumahtangga atau “orang belakang”
· Peran dominan pada aspek domestik
· Posisi tawar dalam pengambilan
keputusan lemah
· Kurang mempunyai kontrol terhadap
sumberdaya keluarga (aset/ material)
· Peran ganda yang melelahkan
FUNGSINYA
· Sebagai PSebagai ADA TEMBOK PEMISAH YANG TEBAL
Panduan Hidup PROSES DAN KOKOH ANTARA PERAN DAN
bermasyarakat PEMBENTUKAN POSISI LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN
· enunjuk Arah
Berperilaku sehari- · Berdasarkan POSISI DAN PERAN LAKI-LAKI
hari dan identitas komitmen (DOMAIN LAKI-LAKI)
diri/kelompok masyarakat
· Kepala keluarga atau “orang nomor satu”
· Sebagai Pelindung · Ada reward dan · Peran dominan pada aspek publik
dari pengaruh luar punishment · Penentu utama dalam pengambilan
· Sebagai Hukum · Sebagai bentuk dari keputusan keluarga
Adat baik tertulis solidaritas dan · Mempunyai kontrol kuat terhadap
eksistensi sumberdaya keluarga (aset/ material)
maupun tidak · Terhindar dari peran ganda yang
tertulis masyarakat
melelahkan
Kondisi dan Pandangan Budaya Masyarakat
Pantai Utara (Pantura) Jawa Barat Terhadap
Perempuan
 Pantai utara (Pantura) Jawa Barat dihuni oleh berbagai
suku bangsa, utamanya adalah Suku Jawa dan Sunda.
 Tingkat pendidikan anak laki-laki yang lebih
diutamakan dari pada pendidikan anak perempuan.
 Pada umumnya perempuan bekerja di bidang
pertanian dengan fokus pekerjaan sebatas menanam
dan memanen atau menangani tangkapan ikan untuk
perempuan nelayan. Namun demikian semakin
banyak perempuan yang bekerja sebagai tenaga kerja
wanita (TKW) di luar negeri dan menjadi pedagang
Kondisi dan Pandangan Budaya Masyarakat
Pantai Utara (Pantura) Jawa Barat Terhadap
Perempuan
 Di Indramayu dikenal dengan tradisi kawin muda.
 Masyarakat Pantura Jawa Barat memandang anak
sebagai harta/aset keluarga, terutama sangat berlaku
bagi anak perempuan.
 Ungkapan:

“Anak laki-laki merupakan kebanggaan keluarga,


sedangkan anak perempuan merupakan sumber
rezeki.”
Sistem kekerabatan dan Gender dalam Budaya
Masyarakat Aceh

 Bentuk kekerabatan masyarakat Aceh adalah keluarga


inti dengan prinsip keturunan laki-laki (patriarki).
 Sistem perkawinan yang berlaku di sebagian
masyarakat Aceh adalah eksogami merge, yaitu
mencari jodoh dari luar merge sendiri.
 Setelah menikah, berlaku aturan virilokal, yaitu
pasangan menetap di kediaman keluarga laki-laki.
Sistem kekerabatan dan Gender dalam Budaya
Masyarakat Aceh

 Garis keturunan diperhitungkan berdasarkan prinsip


bilateral, sedangkan adat menetap sesudah nikah
adalah uxorilokal (tinggal dalam lingkungan keluarga
pihak perempuan).
 Masyarakat Aceh Gayo, garis keturunan ditarik
berdasarkan prinsip patrilineal.
 Masyarakat Aceh Tamiang digunakan prinsip
patrilineal, yaitu menarik garis keturunan berdasarkan
garis laki-laki. Adat menetap sesudah menikah yang
umum dilakukan adalah adat matrilokal
Pandangan Gender dalam Budaya Suku Batak
Toba

 Masyarakat Batak Toba didasari atas garis keturunan


patriarkal.
 Masyarakat Batak Toba sangat menjunjung tinggi
tradisi patriarkal dengan menempatkan posisi
perempuan sangat dihargai apabila mampu
melahirkan anak laki-laki dan dianggap rendah apabila
tidak melahirkan anak laki-laki karena tidak dapat
mengabadikan marga.
Pandangan Gender dalam Budaya Suku Batak
Toba

 Posisi perempuan dalam masyarakat Batak Toba sebagai


pihak yang dibeli yang terlihat pada upacara perkawinan.
 Posisi perempuan dalam hak waris: bila seseorang
meninggal tanpa meninggalkan anak laki-laki, maka hak
waris jatuh ke tangan saudara laki-laki yang meninggal.
Namun demikian dalam praktik kehidupan keluarga Batak,
anak perempuan memperoleh: tanah (Hauma pauseang),
nasi siang (Indahan Arian), warisan dari kakek (Dondon
Tua), dan tanah sekadar (Hauma Punsu Tali). Apabila
perempuan tidak memiliki saudara laki-laki, maka
perempuan tersebut berhak untuk mendapat harta
warisan dari orangtuanya, kecuali terhadap barang-barang
pusaka yang diterima dari kakeknya.
Pandangan Gender dalam Budaya Suku Batak
Toba

 Perempuan dianggap lebih rendah daripada laki-laki, dan


perempuan bukan merupaka individu yang bebas dan
otonom, namun sebagai sub-ordinat atau perpanjangan
tangan laki-laki.
 Sistem patriarki yang ada di masyarakat Batak tidak
membuat peran perempuan di Suku Batak tidak penting.
Pandangan Gender dalam Budaya Suku
Minangkabau

 Masyarakat Minangkabau menetapkan silsilah keturunan


berdasarkan garis ibu yang disebut sistem matrilineal.
 Klasifikasi peran dalam adat dan budaya masyarakat
Minangkabau: sosial kemasyarakatan dan penentuan
kepala masyarakat hukum adat yang disebut Penghulu dan
Datuk didominasi oleh kaum laki-laki.
 Sistem “matrilocal” atau lazim disebut dengan sistem
“uxorilocal” yang menetapkan bahwa suami bermukim
atau menetap disekitar pusat kediaman kaum kerabat
istri, atau didalam lingkungan kekerabatan istri
Pandangan Gender dalam Budaya Suku
Minangkabau

 Apabila terjadi perceraian, maka suami harus pergi dari


rumah istrinya, sedangkan istrinya tetap tinggal dirumah
kediamannya bersama anak-anaknya sebagaimana telah
diatur hukum adat.
 Apabila istrinya meninggal dunia, maka kewajiban
keluarga pihak suami untuk segera menjemput suami yang
sudah menjadi duda untuk dibawa kembali ke dalam
lingkungan sukunya atau kembali ke kampung
halamannya.
Pandangan Gender dalam Budaya Suku
Minangkabau

 Sistem kekuasanya baik formal maupun non formal masih


didominasi oleh kelompok laki-laki. Sebagai contoh
mamak memimpin dalam rumahtangga saparuik (se-ibu).
Sedangkan Datuk memegang kekuasan dalam wilayah satu
kaumnya.
Pandangan Gender dalam Budaya Suku
Palembang

 Pandangan masyarakat suku Palembang terhadap nilai


gender dan keluarga sangat terpengaruh oleh pandangan
Islam yang patriarkhi.
 Suku Palembang menggunakan hukum waris sesuai
dengan syari’at Islam.
 Nilai anak: kehadiran anak laki-laki dalam keluarga suku
Palembang sedikit lebih diharapkan dibandingkan dengan
anak perempuan
Pandangan Gender dalam Budaya Suku Jawa

 Masyarakat Jawa berlandaskan tata kehidupan sistem


patriarkhi.
 Istilah wanita berasal dari bahasa Jawa yang berarti wani
ditata (berani ditata).
 Pandangan strereotipe terhadap perempuan sejati adalah
perempuan yang tetap tampak lembut dan berperan
dengan baik di rumah sebagai ibu maupun istri, di dapur
maupun di tempat tidur, bersikap dan berperilaku halus,
rela menderita, dan selalu setia.
 Laki-laki Jawa biasanya disarankan oleh keluarganya untuk
tidak memilih perempuan yang memiliki status sosial dan
ekonomi yang lebih tinggi.
Pandangan Gender dalam Budaya Suku Jawa

 Posisiperempuan dalam budaya Jawa disebut sebagai


kanca wingking, yakni bahwa tempat perempuan adalah
di dapur; swarga nunut, neraka katut (ke surga ikut, ke
neraka pun turut).
 Dalam praktik sehari-hari: Sebagian orang menganggap
perempuan Jawa memiliki kekuasaan yang tinggi
mengingat sumbangannya yang umumnya cukup besar
dalam ekonomi keluarga.
 Handayani dan Novianto: perempuan Jawa selalu mencari
cara agar kehendaknya terpenuhi tanpa mengacaukan
harmoni tatanan budaya.
Pandangan Gender dalam Budaya Suku Sunda

 Masyarakat Sunda umumnya bersifat matrilokalitas yaitu


pasangan setelah menikah tinggal di keluarga pihak
perempuan apabila sudah menikah.
 Tradisi merantau kurang berkembang: Bengkung ngariung
bongkok ngaronyok yang artinya ”lebih baik kumpul
bersama keluarga daripada merantau ke daerah tetangga”.
 Peran perempuan sering termarjinalkan: “Awéwé mah
dulang tinandé” , dan “awéwé mah tara cari ka Batawi,
nya cari ngan ti lalaki alias”, “nu geulis jadi werejit nu
lenjang jadi baruang”.
Pandangan Gender dalam Budaya Suku
Madura

 Suku Madura didasari oleh sitem patriarki dengan


menempatkan peran perempuan yang sudah menikah
sebagai ibu rumahtangga, sekaligus pengasuh dan
pembimbing anak-anaknya.
 Posisi perempuan Madura tetap menggantungkan
psikologisnya kepada keluarga: tidak diperbolehkan
mengambil keputusan penting dalam kehidupannya tanpa
berkonsultasi dengan orangtua dan orang-orang penting
dalam keluarga
Pandangan Gender dalam Budaya Suku Banjar

 Masyarakat Suku Banjar menganut sistem patrilineal.

 Ajaran agama Islam sangat mempengaruhi pola hidup


masyarakat Banjar. Salah satu ajaran Islam yang banyak
dianut oleh masyarakat Banjar adalah, keutamaan
memilih pemimpin laki-laki dibanding perempuan.
Pandangan Gender dalam Budaya Suku Dayak

 Keluarga Suku Dayak mengenal sistem parental/bilateral.


 Tempat tinggal pasangan setelah perkawinan pada
umumnya adalah matrilokal (suami mengikuti istri).
 Peran perempuan Dayak lebih mendominasi pekerjaan
domestik, sedangkan laki-laki mendominasi pekerjaan
publik.
 Kehadiran seorang laki-laki baru dalam keluarga
perempuan memiliki nilai positif karena dapat menjadi
tenaga kerja tambahan dalam keluarga perempuan.
Pandangan Gender dalam Budaya Suku Bugis-
Makasar

 Masyarakat Bugis-Makassar di Sulawesi Selatan didasari


atas sistem patriarkhi.
 Pembagian warisan, maka distribusi antara anak laki-laki
dan anak perempuan harus sama.
 Pasang mengajarkan jako parentai bilasang bahinennu,
bilasanga jintu nipeppeppi narie erono (jangan diperintah
istrimu seperti menyadap aren, hanya aren yang
mayangnya dipukul-pukul, baru menetes niranya). Jako
parenta deppoki bahinennu, deppoa jinta nitukduppi
nahajik (jangan istrimu diperintah seperti menginjak
pematang sawah, karena pematang itu diinjak baru baik).
Pandangan Gender dalam Budaya Suku
Manado

 Dalam keluarga Manado menganut sistem patriarki,


dengan menempatkan posisi laki-laki untuk memegang
peranan sentral di sektor publik. Namun demikian, saat
ini banyak juga perempuan yang berperan di sektor publik.

 Fam adalah istilah dalam masyarakat Minahasa/Manado


yang mengacu kepada nama keluarga atau marga yang
dipakai di belakang nama depan. Fam diambil dari nama
keluarga dari orangtua laki-laki.
Pandangan Gender dalam Budaya Suku Timor

 Budaya Suku Timor didasarkan atas 2 (dua) garis


keturunan, sistem perkawinan patrilineal dan sistem
matrilineal. Sistem yang dominan adalah sistem
patrilineal.
 Sistem perkawinan tersebut menjunjung tinggi belis (mas
kawin) yang diberikan oleh calon suami kepada calon istri
yang dimulai dari proses meminang, memberikan belis,
dan pengesahan.
 Posisi perempuan dalam sistem parilineal masih terlihat
terpinggirkan. Khususnya dalam hal pengambilan
keputusan pada musyawarah suku, kaum perempuan
tidak memiliki hak atau tidak diberi kesempatan untuk
hadir apalagi berpendapat
Pandangan Gender dalam Budaya Suku Timor

 Sistem patrilineal mengatur bahwa anak laki-lakilah yang


berhak menerima warisan, sementara anak perempuan
mendapat bagian sejauh diberi kesempatan oleh anak
laki-laki.
 Berkaitan dengan pendidikan formal, maka sering terjadi
bahwa anak perempuan tidak diberi kesempatan yang
seluas-luasnya untuk bersekolah dibandingkan dengan
anak laki-laki.
Pandangan Gender dalam Budaya Suku Sasak

 Budaya Suku Sasak didasari atas sistem patriarki yang


sangat kuat.
 Proses melamar tidak dikenal dalam adat Suku Sasak,
karena justru jika seorang anak gadis dilamar secara baik-
baik, maka harga diri keluarganya akan turun.
 Pasangan muda-mudi yang berniat menikah memang
harus diawali proses pernikahan kawin lari dengan diawali
penyusunan strategi penculikan pada malam hari yang
disebut Merari.
 Proses membawa lari calon pengantin perempuan paling
lambat selama 3 hari, dan pihak laki-laki harus segera
memberitahu keluarga pihak perempuan.
Pandangan Gender dalam Budaya Suku Sasak

 Calon pengantin perempuan yang dibawa lari tidak boleh


dibawa langsung ke rumah pengantin laki-laki, namun
harus dititipkan ke kerabat laki-laki.

 Puncak acara adat perkawinan Suku Sasak dikenal dengan


istilah Sorong Serang Haji Kerama, yaitu upacara
penyerahan sejumlah barang dan uang, sebagai
perlambang tanggung jawab seorang laki-laki menikahi
perempuan.
Pandangan Gender dalam Budaya Suku Sumba

 Suku Sumbadidasari oleh budaya patriarki yang


mengutamakan laki-laki sebagai pihak yang menguasai
dan perempuan sebagai pihak yang dikuasai.

 Sistem paternalistik yang sangat kuat ini ditunjukkan oleh


adanya sistem pembagian warisan harta benda, yaitu
anak laki-laki dapat menerima warisan harta benda
langsung dari kakeknya tanpa harus melalui ayah dari anak
laki-laki tersebut
Pandangan Gender dalam Budaya Suku Sumba

 Posisi perempuan sangat lemah pada budaya Suku Sumba


yang dicerminkan bahwa anak perempuan tidak perlu
disekolahkan setinggi-tingginya apabila dalam sebuah
keluarga ada anak laki-laki.
 Peran orangtua sangat besar dalam menentukan jodoh
anaknya, terutama anak perempuan.
 Posisi perempuan dalam musyawarah adat adalah sangat
lemah.
 Berkaitan dengan nilai anak, maka ada kepercayaan
bahwa anak perempuan tidak membawa rejeki,
sedangkan anak laki-laki pertama dianggap sebagai
pembawa rejeki dan generasi penerus adat.
Pandangan Gender dalam Budaya Suku Bali

 Budaya suku Bali didasari atas sistem patriarki dengan


menempatkan posisi laki-laki yang sangat strategis dalam
kehidupan keluarga patrilineal di Bali karena adanya
legitimasi otoritas yang bersifat dogmatis.
 Anak laki-laki terbesar di keluarga Bali, masih dianggap
”Putra Mahkota” yang bisa meneruskan generasi,
sehingga kecil kemungkinan anak laki-laki terbesar
tersebut bisa ”lepas” dari lingkungan keluarganya.
 Kata ‘perempuan’ berasal dari kata ‘empu’ yang berarti
merawat atau mendidik.
Pandangan Gender dalam Budaya Suku Irian

 Budaya suku Irian didasari oleh budaya patriarkhi yang


dipimpin oleh kepala keluarga seorang laki-laki.
 Peran perempuan adalah dalam mengelola ekonomi
rumahtangga dan mengurus urusan rumah tangga, seperti
mengasuh anak, membersihkan rumah, mencuci,
menanak nasi dan sebagainya.

 Posisi
perempuan dalam hal pendidikan formal masih
mengalami diskriminasi.

 Posisi perempuan dalam seni juga masih didiskriminasi.


Pandangan Gender dalam Budaya Suku Irian

 Budaya suku Irian didasari oleh budaya patriarkhi yang


dipimpin oleh kepala keluarga seorang laki-laki.
 Peran perempuan adalah dalam mengelola ekonomi
rumahtangga dan mengurus urusan rumah tangga, seperti
mengasuh anak, membersihkan rumah, mencuci,
menanak nasi dan sebagainya.

 Posisi
perempuan dalam hal pendidikan formal masih
mengalami diskriminasi.

 Posisi perempuan dalam seni juga masih didiskriminasi.


TERIM
A
KASIH

Anda mungkin juga menyukai