Anda di halaman 1dari 13

BUKU JAWABAN TUGAS MATA KULIAH TUGAS 3

Nama Mahasiswa : Beni wijaya saputra

Nomor Induk Mahasiswa/ NIM : 030597372

Kode/Nama Mata Kuliah : ISIP4213/Sistem Politik Indonesia

Kode/Nama UPBJJ : 16/ut pekanbaru

Masa Ujian : 2020/21.1 (2020.2)


1. Lembaga Yudikatif masa Orde Baru dan Pasca Orde Baru menunjukkan peran dan
fungsi yang sangat berbeda.
Analisislah perbedaan tersebut, dan deskripsikan, melalui tulisan singkat dalam satu
lembar halaman (bisa ditulis tangan atau diketik menggunakan komputer dengan Font
Times New Roman 12, ukuran spasi 1,5)
A. Perkembangan Sistem Politik Di Indonesia
1. Orde Baru
Pada saat Orde Baru Soeharto menjabat sebagai Presiden ditandai dengan adanya
Supersemar. Saat Orde Baru pemerintah ORBA bertekat untuk menjalankan UUD
1945 dan pancasila secara murni dan konsekuwen. Pada saat Orde Baru menggunakan
sistem demokrasi pancasila yang di bawah kepemimpinan Soeharto dan menganut
sistem Presidensial dimana lembaga-lembaga pemerintahan (Eksekutif, Legislatif, dan
Yudikatif) setara. Tetapi aturan tersebut kurang begitu baik dijalani malahan sering
dan selalu terjadi pelanggaran-pelanggaran.
Pada saat kepemimpinan Soeharto begitu kuatnya kepemimpinan atau kekuasaan
Presiden dalam menopang dan mengatur seluruh proses politik, dan itu semua
mengakibatkan terjadinya sentralistik kekuasaan pada Presiden.
Akibat dari kuatnya kekuasaan Presiden atas pemerintahan maka indikator dari
demokrasi tidak terlaksana, yaitu rotasi kekuasaan Eksekutif tidak ada, rekruitmen
politik di batasi, KKN merajalela dan berbagai tindak lain yang melanggar aturan.
Kepemimpinan Soeharto banyak sekali diwarnai dengan adanya lobi politik yang
tidak sehat. Maka dapat disimpulkan bahwa memang benar hubungan komunikasi
pribadi lebih menentukan dibandingkan dengan saluran komunikasi formal.
Kemacetan yang dialami sistem politik Indonesia saat itu menunjukkan bahwa pada
akhirnya komunikasi antar partai politik yang mendudukkan wakilnya di DPR/MPR
tidak dapat lagi bisa menampung aspirasi rakyat.
Contoh yang paling lengkap adalah bagaimana kekuasaan politik
Indonesia pada masa terakhir Orde Baru berpusat pada Presiden. Seluruh proses
komunikasi sistem politik Indonesia akhirnya tergantung pada satu tangan, Presiden.
Badan Legislatif tidak lagi berfungsi sebagai suara rakyat tetapi tak lain hanya
mendukung Presiden. Kritik yang terlalu keras dilontarkan oleh anggota DPR/MPR
akan berakhir dengan pemberhentikan tidak hormat.
Kasus Sri Bintang Pamungkas menunjukkan bagaimana monopoli komunikasi itu
tidak boleh lepas sedikitpun ketika anggota DPR itu sangat vokal dan kritis.
Setelah masyarakat Indonesia bosan tentang sistem politik yang dijalankan pada saat
ORBA maka puncaknya atas tuntutan seluruh masa (dimotori oleh Mahasiswa) maka
tanggal 21 Mei 1998 Presiden Soeharto mengundurkan diri stelah terjadi
pemberontakan dan demo sehingga Presiden diganti oleh Wapres Prof.B.J Habibi.
2. Reformasi
Setelah masa ORBA telah runtuh maka kemudian munculah masa Reformasi, pada
saat masa Reformasi masih menggunakan demokrasi pancasila dan menganut sistem
pemerintahan Presidensial. Pelaksanaan demokrasi pancasila pada era Reformasi telah
banyak memberikan ruang gerak pada parpol maupun DPR untuk mengawasi
pemerintah secara kritis dan dibenarkan untuk unjuk rasa.
Saat masa Reformasi kemerdekaan dan kebebasan pers sebagai media komunikasi
politik yang efektif di sahkan, tidak seperti pada saat ORBA yang diliput pers hanya
kebaikan pemerintah, kemudian hal itu yang diberitakan.
Dalam era Reformasi ini upaya untuk meningkatkan partisipasi rakyat dalam kegiatan
pemerintah semakin terbuka, sehingga sosialisasi politik pun berjalan dengan baik.
Pemerintahan era Reformasi merupakan awal untuk menjadi negara yang demokratis,
yang sesuai dengan Amandemen UUD 1945 untuk mengatur kekuasaan dalam negara
agar lebih demokratis dan berjuang untuk menghindari berbagai pelanggaran. Dengan
tumbuhnya keterbukaan dalam komunikasi politik, masyarakat semakin tahu hak dan
kewajibannya. Bahkan aksi-aksi protes sebagai sebuah masukan kedalam sistem
politik menjadi sebuah hal yang tidak aneh. Puncak pengekangan itu terlihat dari
paket UU Politik dimana asas tunggal partai adalah Pancasila.

B. Dinamika Perkembangan Yudikatif masa Orde Lama dan Reformasi


1. Orde Baru
Masa Orde Baru merupakan masa yang diharapkan dapat membawa Indonesia
menjadi lebih mandiri dan baik. Akan tetapi rupanya pemerintah berpendapat lain,
seperti terbukti dari undang–undang No.14 Tahun 1970 tentang ketentuan–ketentuan
pokok kekuasaan kehakiman yang menggantikan Undang–Undang No.19 Tahun
1964. Melihat pasal 26 Undang–Undang No. 14 Tahun 1970 yang mengatur hak
Mahkamah Agung untuk menguji dan menyatakan tidak sah semua peraturan
perundangan dari tingkat yang lebih rendah dari undang – undang, maka dapat ditarik
kesimpulan bahwa pedoman kita dalam hal ini adalah sesuai dengan pasal 130
Undang undang dasar RIS dan pasal 95 Undang–Undang Dasar Sementara 1950
bahwa “ Undang – Undang tidak dapat di ganggu gugat”. Berarti hanya Undang–
Undang Dasar dan Ketetapan MPR(S) yang dapat memberi ketentuan apakah
Mahkamah Agung berhak menguji undang–undang atau tidak. Tidak disebut hak
menguji ini dalam Undang Undang dasar 1945 dan dalam ketetapan MPR(S) yang
dapat mengaturnya sebagai suatu perwujudan dari hubungan hukum antara alat
perlengkapan Negara yang ada dalam negara, berarti bahwa undang – undang ini
(undang–undang pokok ketentuan kehakiman) tidak dapat memberikan kepada
Mahkamah Agung kewenangan hak menguji, apalagi secara materiil undang–undang
terhadap undang–undang dasar. Hanya undang–undang dasar ataupun ketetapan
MPR(S) yang dapat memberikan ketentuan mengenai hal tersebut.
Pemilihan anggota Yudikatif dilakukan oleh Mahkamah Agung dan Mahdep.
MahDep merupakan forum yang digunakan sebagai ajang konsultasi antara
Mahkamah Agung dan Departemen dalam membicarakan daftar kandidat Hakim
Agung yang akan diajukan ke Mahkamah Agung dan Pemerintah ke Dewan
Perwakilan Rakyat. Status Ketua Mahkamah Agung sudah tidak menjadi menteri.
Hakim Agung yang berhasil dipilih umumnya didasarkan pada kualitas yang tidak
jelas. Adanya indikasi praktek droping nama dengan cara Hakim Agung biasanya
akan memberikan usulan nama kepada ketua Mahkamah Agung dengan harapan
Ketua Mahkamah Agung akan memberikan perhatian kepada kandidat dan
memasukkan namanya dalam daftar. Adanya indikasi jaringan, petemanan, hubungan
keluarga dan sebagainya yang mengakibatkan pemilihan dilakukan tidak secara
objektif. Beberapa Hakim yang ada yang memiliki hubungan satu sama lain, misalnya
memiliki latar belakang sosial atau keluarga yang sama. Hubungan seperti ini
seringkali mempengaruhi proses penentuan daftar nama yang disusun ketua
Mahkamah Agung. Adanya Indikasi praktik-praktik suap dengan cara memberikan
hadiah atau membayar sejumlah uang yang dikeluarkan oleh seseorang yang ingin
dicalonkan. Dalam prakteknya Yudikatif masih didominasi oleh Eksekutif, dibuktikan
dengan setiap mempresentasikan calon Hakim harus disertai memasukkan nama-nama
dari militer maupun kejaksaan. Sehingga dalam prakteknya pun masih didominasi
Eksekutif. Kekuasaan Yudikatif tidak bisa memeriksa Eksekutif, masalnya kasus –
kasus yang menyangkut Presiden, prakteknya Presiden diatas lembaga Yudikatif.
• Rekruitmen politik: pemilihan anggota Yudikatif dilakukan oleh Mahkamah Agung
dan Mahdep. Status Ketua Mahkamah Agung sudah tidak menjadi menteri. Hakim
Agung yang berhasil dipilih umumnya didasarkan pada kualitas yang tidak jelas.
Adanya indikasi praktek droping nama dengan cara Hakim Agung biasanya akan
memberikan usulan nama kepada ketua Mahkamah Agung dengan harapan Ketua
Mahkamah Agung akan memberikan perhatian kepada kandidat dan memasukkan
namanya dalam daftar. Adanya indikasi jaringan, petemanan, hubungan keluarga dan
sebagainya yang mengakibatkan pemelihan dilakuakan tidak secara objektif.
Beberapa Hakim yang ada yang memiliki hubungan satu samalain, misalnya memiliki
latar belakang sosial atau keluarga yang sama. Hubungan seperti ini seringkali
mempengaruhi proses penentuan daftar nama yang dususun ketua Mahkamah Agung.
Adanya Indikasi praktik-praktik suap sengan cara memberikan hadiah atau membeyar
sejumlah uang yang dilakuakan oleh seseorang yang ingin dicalonkan.
• Sosialisasi politik: dalam prakteknya Yudikatif masih didominasi oleh Eksekutif,
dibuktikan dengan setiap mempresentasikan calon Hakim harus disertai memasukkan
nama-nama dari militer maupun kejaksaan. Sehingga dalam prakteknya pun masih
didominasi Eksekutif.
• Komunikasi politik: kekuasaan Yudikatif tidak bisa memeriksa Eksekutif, masalnya
kasus – kasus yang menyangkut Presiden, prakteknya Presiden diatas lembaga
Yudikatif.

2. Reformasi
Kekuasaan kehakiman di Indonesia banyak mengalami perubahan sejak masa
Reformasi. Amandemen ketiga UUD 1945 yang disahkan pada tanggal 10 November
2001, mengenai bab kekuasaan kehakiman BAB IX memuat beberapa perubahan
(Pasal 24A, 24B, 24C) amandemen menyebutkan penyelenggaraan kekuasaan
kehakiman terdiri atas Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Mahkamah
Agung bertugas untuk menguji peraturan perundangan dibawah UU terhadap UU.
Sedangkan
Mahkamah Konstitusi (MK). Mempunyai kewenangan menguji UU terhadap UUD45.
Mahkamah Konstitusi (MK) berwenang untuk: Pertama, mengadili pada tingkat
pertama dan terakhir yang keputusannya bersifat final untuk menguji undang-undang
terhadap UUD 1945 (Judicial Review), memutuskan sengketa kewenangan lembaga
Negara, memutuskan pembubaran partai politk, memutuskan perselisihan tentang
pemilihan umum. Kedua, memberikan putusan pemakzulan (impeachment) atau
menurunkan Presiden dan/atau wakil presieden aras permintaan DPR karena
melakukan pelanggaran berupa pengkhianatan terhadap Negara, korupsi, penyuapan,
tindak pidana berat, atau perbuatan yang tercela.
Mahkamah Agung (MA). Kewenangannya adalah menyelenggarakan kekuasaan
peradilan yang berada dilingkunan peradilan umum, militer, agama, dan tata usaha
Negara. MA berwenang mengadili pada tingkat kasasi. Calon Hakim diajukan oleh
Komisi Yudisial kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan, dan ditetapkan sebagai
Hakim Agung oleh Presiden. Ketua dan wakil ketua MA dipilih dari dan oleh Hakim
Agung, Hakim Agung dipilih berdasarkan kualitasnya. Keputusan Mahkamah Agung
terlepas dari kekuasaan Eksekutif. Mahkamah Agung bisa Memberikan putusan
pemakzulan (impeachment) Presiden dan/atau wakil presieden aras permintaan DPR
karena melakukan pelanggaran berupa pengkhianatan terhadap Negara, korupsi,
penyuapan, tindak pidana berat, atau perbuatan tercela. kedudukan Yudikatif,
Eksekutif, Legislatif sama, jadi peran Yudikatif tidak bisa dipengaruhi oleh Eksekutif
atau Legislatif, Yudikatif berdiri sendiri tanpa campur tangan pihak lain.
• Rekruitmen politik: penetapan calon Hakim dilakukan oleh Mahkamah Agung,
Hakim Agung dipilih berdasarkan kualitasnya sesuai UU.
• Sosialisasi politik: keputusan Mahkamah Agung terlepas dari kekuasaan Eksekutif.
Mahkamah Agung bisa Memberikan putusan pemakzulan (impeachment) atau
menurunkan presiden dan/atau wakil presieden atas permintaan DPR karena
melakukan pelanggaran berupa pengkhianatan terhadap Negara, korupsi, penyuapan,
tindak pidana berat, atau perbuatan tercela.
• Komunikasi politik: kedudukan Yudikatif, Eksekutif, Legislatif sama, jadi peran
Yudikatif tidak bisa dipengaruhi oleh Eksekutif atau Legislatif, Yudikatif berdiri
sendiri.

Tabel Perbandingan:
No. Pembeda Orde Baru Reformasi
1. Rekruitmen politik • Adanya indikasi praktek droping nama
• Adanya indikasi jaringan, petemanan, hubungan keluarga dan sebagainya yang
mengakibatkan pemelihan dilakuakan tidak secara objektif
• Eksekutif mendominasi, dibuktikan dengan setiap mempresentasikan calon Hakim
harus disertai memasukkan nama-nama dari militer maupun kejaksaan Penetapan
calon Hakim dilakukan oleh Mahkamah Agung, Hakim Agung dipilih berdasarkan
kualitasnya sesuai UU.
2. Sosialisasi politik Yudikatif masih didominasi oleh Eksekutif Keputusan
Mahkamah Agung terlepas dari kekuasaan Eksekutif.
3. Komunikasi politik Kekuasaan Yudikatif tidak bisa memeriksa Eksekutif
Kedudukan Yudikatif, Eksekutif, Legislatif sama
4. Sistem Kerja Lebih bekerja untuk melindungi dan menaungi Eksekutif Bebas dan
menjalankan tugas melayani seluruh masyarakat sesuai UU.
2. Menurut Grindle, desentralisasi diyakini akan menghasilkan pengambilan keputusan
yang lebih responsif, pelayanan publik yang berkualitas lebih baik, dan birokrat yang
termotivasi untuk bekerja dengan baik.
Menurut pendapat Anda, bagaimana Indonesia di era desentralisasi (otonomi daerah),
dikaitkan dengan pendapat Grindle tersebut?
Indonesia memasuki era baru sejak berakhirnya rezim pemerintahan pada masa orde
baru pada pertengahan tahun 1998. Salah satu hal yang mengalami perubahan adalah
hubungan antara pemerintah pusat dan daerah.

Momentum tersebut dimulai dengan dibuatnya Undang-Undang Tahun 1999 tentang


Pemerintahan Daerah yang berimplikasi pada perubahan signifikan hubungan pusat
dan daerah, sehingga kabupaten/kota memperoleh limpahan hampir semua urusan
pemerintahan yang sebelumnya berada di tangan pusat atau provinsi.

Secara normatif, peraturan ini dipandang revolusioner karena dianggap sebagai awal
perubahan sistem pemerintahan yang sentralistik ke desentralistik.

Aturan pertama yang mengatur hubungan pusat-daerah adalah Paket Undang-Undang


1999 tentang Pemerintah Daerah dalam Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999
tentang Pemerintah Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang
Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah.

Dalam aturan tersebut sebenernya ingin menekankan atau menguatkan otonomi


pemerintah daerah untuk mengurus rumah tangga atau daerahnya sendiri dengan
meniadakan hubungan hierarkis antara pemerintah pusat dan daerah.

Selain itu, aturan Undang-Undang tentang Pemda 1999 memberikan kewenangan


lebih kepada DPRD untuk memilih kepala daerah dan wakilnya sendiri, karena itulah
kepala daerah bertanggung jawab kepada DPRD kemudian DPRD juga dapat
memberhentikan kepala daerah tersebut apabila pemimpin tersebut melakukan
pelanggaran atau menyalahgunakan kewenangan dan kekuasaannya.

Berbagai polemik pro dan kontra terjadi ketika usulan aturan kebijakan desentralisasi
ini dibuat. Beberapa pihak yang kontra dan mendesak agar segera merevisi kebijakan
tersebut datang dari pihak Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dan Asosiasi
Pemerintah Provinsi Seluruh Indonesia (APPSI).

Kedua pihak tersebut mendesak untuk segera merevisi peraturan tersebut karena
kedua pihak inilah yang merasakan banyak kehilangan kewenangan dan kontrol
akibat dari pemberlakuan kebijakan Undang-Undang Pemerintah Daerah tersebut.

Akibat dari banyaknya desakan-desakan untuk segera merevisi peraturan tersebut


lahirlah Undang-Undang Pemda Tahun 2004 dan direvisi kembali pada Tahun 2014.
Kemendagri mengatakan revisi tersebut ditujukan untuk memperbaiki dan mengulas
kembali Undang-Undang Pemda terkait dengan konsep kebijakan desentralisasi
namun tetap dalam negara kesatuan, memperbaiki hubungan antar pemerintah,
masyarakat, dan kelompok madani, serta peraturan yang kurang jelas dalam berbagai
aspek terhadap penyelenggaraan pemerintah daerah.

Inti dari kebijakan dan aturan baru desentralisasi ini adalah untuk memaksimalkan
dan dan mengamalkan demokrasi dengan memberi sebagian besar keputusan dan
kebijakan berada di tangan daerah sesuai dengan kebutuhan daerahnya sendiri.

Namun pada pelaksanaannya, masih saja terdapat pihak-pihak yang menyelewengkan


atau menyalahgunakan kewenangan yang diberikan kepada tiap daerah dari kebijakan
desentralisasi ini.

Pelaksanaan maupun pemberlakuan Undang-Undang Pemda justru lebih banyak


diwarnai oleh berbagai permasalahan baru seperti saling tarik menarik kepentingan
antara pemerintah pusat dan daerah sehingga terjadinya biaya ekonomi dan komoditas
yang semakin tinggi, dan juga memunculkan masalah nepotisme dengan istilah ethnic
parochialism di berbagai daerah yang diwujudkan dalam praktiknya dengan
mengamankan posisi putra daerah untuk jabatan kepala daerah ataupun jabatan-
jabatan penting lainnya tanpa memikirkan kapasitas dari putra daerah atau orang
tersebut untuk menduduki jabatan yang akan diambilnya.

Masalah inilah yang seringkali muncul sejak kebijakan desentralisasi diberlakukan,


banyak dari pemerintah di tiap daerah yang menggunakan kekuasaan dan
kewenangannya untuk hal-hal yang salah dan untuk kepentingan pribadinya masing-
masing.

Kebijakan desentralisasi masih dinilai memiliki banyak kelemahan dan kekurangan


dalam berbagai aspeknya, contohnya seperti berbagai kebijakan yang rumit,
memunculkan banyaknya kepentingan politik yang bersifat pribadi dan dikuasai oleh
elit-elit lokal, banyaknya praktik Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN), dan
melemahnya sistem demokrasi.

Mendekati gegap gempita pesta demokrasi Pilkada tahun 2020 ini, kian maraknya
pembahasan mengenai dinasti politik. Hal ini tak terlepas dari rencana anggota
keluarga Presiden Joko Widodo mengikuti pilkada yakni Putra Sulung Jokowi Gibran
Rakabuming Raka yang berencana mengikuti Pilkada Solo serta Bobby Afif Nasution
yaitu suami dari putri Jokowi Kahiyang Ayu yang mengikuti Pilkada Medan Tahun
2020 ini.

Kehadiran dinasti politik yang melingkupi perebutan kekuasaan di level regional


hingga nasional mengakibatkan substansi dari demokrasi sendiri sulit diwujudkan.
Tumbuh suburnya dinasti politik khususnya di berbagai daerah tidak terlepas dari
peran partai politik dan regulasi tentang Pilkada.

Oligarki di tubuh partai politik menyebabkan mekanisme kandidasi dan pencalonan


tidak berjalan sebagaimana mestinya. Selama ini, terdapat kecenderungan pencalonan
kandidat oleh partai politik didasarkan pada keinginan elite partai saja bukan melalui
mekanisme yang demokratis dengan mempertimbangkan kemampuan subjektif dan
integritas calon.

Masalah-masalah inilah yang menyebabkan sistem desentralisasi ini menjadi sangat


rancu dan jauh dari tujuan utama pada terciptanya kebijakan desentralisasi tersebut.
Nilai-nilai desentralisasi saat ini hanya menjadi arena yang nyaman bagi elit politik
dan penguasa lokal.

Karena dari hal tersebut, mereka bisa merestorasi kekuasaan politik dan meneguhkan
penguasaan mereka atas sumber daya sosial dan ekonomi yang ada. Desentralisasi
telah menyediakan arena yang otonom bagi kelompok tertentu sehingga menjadi
struktur peluang bagi optimalisasi kepentingan dan keuntungan mereka sendiri.

Oleh karena itu, tidak mengherankan jika implementasi desentralisasi dalam beberapa
tahun terakhir didominasi oleh cerita sukses atas konsolidasi oligarki lokal, baik
politik, sosial maupun ekonomi.

Pelaksanaan kebijakan desentralisasi di Indonesia belum sesuai harapan dan


melenceng jauh dari tujuan utamanya. Berbagai masalah yang cukup pelik terjadi di
tiap daerah akibat adanya kebijakan desentralisasi ini ditunjukkan dalam beberapa hal,
yaitu desentralisasi yang hanya menguntungkan elit serta penguasa lokal,
menyuburkan praktik-praktik KKN di daerah, pelayanan publik yang kurang
berkarakter, dan desentralisasi tanpa efisiensi kelembagaan.

Sejatinya tidak ada suatu sistem baru yang dibuat tanpa pertimbangan dan tanpa
pengaruh yang baik untuk kedepannya, termasuk pula sistem desentralisasi.

Sistem desentralisasi dibuat untuk mengedepankan demokrasi dan memberi


kesempatan pada setiap daerah untuk mengurus urusan rumah tangganya sendiri
sesuai dengan kebutuhan daerah tersebut.

Sehubungan dengan itu maka perlu dilakukan beberapa perbaikan agar desentralisasi
itu dapat berjalan dengan baik dan sesuai tujuan awalnya.

Pertama, stigma negatif atas implementasi desentralisasi dan otonomi harus dijawab
dengan semangat pendalaman desentralisasi melalui penyegaran kembali nilai-nilai
dasar desentralisasi, yakni kesejahteraan publik.

Kedua, pejabat publik dan birokrasi pemerintah daerah harus bertranformasi


pemikirannya bahwa implementasi desentralisasi bukan hanya sekedar hak politik,
tetapi juga kewajiban politik atas ukuran kesejahteraan masyarakatnya. Apabila hal-
hal tersebut dapat dilaksanakan dengan baik, maka perwujudan good governance dan
tujuan utama dari terciptanya kebijakan desentralisasi ini akan terwujud.

3. Politik Indonesia tidak terlepas dari pengaruh isu strategis politik luar negeri, seperti
isu teorisme. Jelaskan pendapat Anda terkait munculnya isu terorisme di Indonesia dan
bagaimana sistem politik Indonesia meresponsnya.

Isu terorisme adalah isu yang sedang dan sudah menjadi sorotan dunia internasional
saat ini, disamping adanya isu lain seperti Global Warming. Isu ini mulai menyebar
setelah adanya penyerangan terhadap gedung WTC di Amerika Serikat pada tanggal
11 September 2001. Amerika pun menjadi bengis bagaikan beruang yang telah
diganggu tidurnya. Amerika pun mengumandangkan niatnya untuk memberantas
terorisme. Maka Amerika memulai denganmelakukan penyerangan ke Afganistan
untuk memburu Osama Bin Laden yang di tuduh sebagai orang yang harus
bertanggung jawab atas kejadian di Gedung WTC. Lalu meneruskan ke Iraq dengan
alasan memburu Saddam Husein dengan alasan bahwa Saddam Husein adalah orang
yang mengancam perdamaian dunia.

Memang secara konsep, Amerika melakukan sesuatu yang patut di ancungkan jempol.
Tapi yang menjadi kontroversi yang sangat besar adalah bagaimana cara Amerika
dalam menanggapi hal tersebut. Ia melakukan invasi ke negara-negara yang dicurigai
dan melakukan tindakan-tindakan yang sungguh tidak berperikemanusiaan. Amerika
seenaknya memborbardir Afganistan dan Iraq, membunuh wanita dan anak-anak,
membunuh yang tidak bersalah, dan melakukan pelanggaran HAM lainnya. Padahal
kita semua tahu bahwasanya Amerika selalu mengumbar-umbar isu HAM, terbukti
dari The Declaration of Independence dan Undang-Undang PBB yang mereka
rancang, namun akhirnya ia sendiri yang mencoreng itu semua.

Tindakan-tindakan tersebut tidak hanya berdampak pada negara yang masih “terjajah”
pada masa modern ini, tapi juga berdampak pada stabilitas sistem politik negara-
negara lainnya, tidak terkecuali di Indonesia. Negara-negara diberbagai belahan dunia
melakukan protes terhadap tindakan Amerika. Mereka melakukan berbagai aksi di
negara mereka, dimulai dari demo ke kedutaan Amerika, Boikot produk-produk dari
Amerika dan sebagainya.

Di Indonesia, terjadi demo di berbagai daerah. Banyak tuntutan yang ada seperti
melakukan tindakan boikot terhadap produk-produk Amerika dan bahkan sampai
meminta untuk memutus hubungan diplomasi dengan Amerika. Tapi entah mengapa
itu semua tidak dapat terealisasikan hingga saat ini.

Namun disamping itu semua, sebenarnya ada dampak besar lain yang sangat fatal
akibatnya bagi indonesia, yaitu munculnya paham Terorisme. Munculnya “kaum-
kaum sensitif” yang menganggap bahwa serangan di Afganistan dan Iraq itu lebih
kepada niat Amerika untuk menghancurkan Islam daripada niat Amerika untuk
menghancurkan atau memberantas terorisme. Kaum-kaum sensitif tadi pun mulai
berulah di Indonesia dengan melakukan tindakan teror di negara mereka sendiri,
Indonesia. Dan terjadilah Bom Bali I.

Memang benar, sebelum terjadinya Bom Bali I, di Indonesia pernah terjadi juga
beberapa aksi teror pemboman dibeberapa tempat yang juga mengganggu stabilitas
keamanan negara Indonesia dan juga pastinya mengganggu sistem politik Indonesia.
Misalnya seperti pemboman yang terjadi di beberapa Gereja di Indonesia seperti
Pekanbaru dan Ambon ketika perayaan Natal. Atau terjadinya pemboman di Atrium
Senen (2001), pemboman di Kedutaan Thailand dan Filipina pada tahun 2000, dan
aksi bom lainnya.

Namun yang menjadi fokus utama saya dalam tulisan ini adalah pemboman yang
terjadi akibat tindakan yang diakibatkan oleh serangan Amerika dan antek-anteknya
dalam memberantas terorisme, yaitu Bom Bali I dan aksi pemboman setelahnya.
Mengapa saya mengatakan bahwasanya aksi Bom Bali I dan bom-bom setelahnya
tersebut berkaitan dengan tindakan pemyerangan yang dilakukan oleh Amerika?
Spekulasi ini saya utarakan, berlandaskan pada kutipan dibawah ini :

“berdasarkan niat atau target, jelas bom Bali merupakan jihad fisabilillah, karena yang
jadi sasaran utamanya adalah bangsa-bangsa penjajah seperti Amerika Serikat dan
sekutunya. Ini semakin jelas dengan adanya pembantaian massal terhadap umat Islam
di Afganistan pada Bulan Ramadhan tahun 2001 yang disaksikan oleh hampir seluruh
umat manusia di segala penjuru dunia” (di kutip dari buku Aku Melawan Teroris!
Karangan Imam Samudra)

Dari pernyataan yang dibuat tersebut, jelaslah bahwasanya apa yang dilakukan
Amerika, membuat munculnya suatu paham terorisme di Indonesia. Sehingga mau
tidak mau Indonesia harus menanggung itu semua. Sehingga menurut Zuhairi
Misrawi, dalam pengantar di buku A.M. Hendropriyono berpendapat bahwa terorisme
di Indonesia ini sudah bisa diibaratkan sebagai tanaman yang tumbuh subur. Ketika
satu pelaku tertangkap dan dihukum, maka muncullah yang lainnya. Ketika Dr.
Azhari tertembak mati, masih ada Noordin M. Top, setelah beliau muncul lagi bibit-
bibit kecil terorisme yang belakangan ini sering dibicarakan di media. Sehingga kita
semua bisa mengambil kesimpulan dari itu semua bahwasanya masalah terorisme
bukan masalah pelaku, tetapi lebih kepada masalah paham itu sendiri. Karena
walaupun pelakunya sudah ditangkap dan ditembak mati, tapi paham terorisme
tersebut masih hidup.
Meraka yang memiliki paham tersebut pun mulai mengembangkan paham mereka
dengan mencari jaringan-jaringan atau lebih tepatnya wadah di dunia Internasional.
Maka berlanjutlah topik pembicaraan kita ke jaringan organisasi transnasional Al-
Qaeda di Afganistan. Jaringan tersebut telah diyakini sebagai jaringan yang
mengembangkan faham keagamaan yang dapat melahirkan para teroris atau mereka
yang mempunyai keberanian dan kepercayaan diri untuk melakukan tindakan
terorisme.

Al-Qaeda diyakini bersarang di Afganistan yang dimotori oleh gerakan Taliban.


Taliban adalah sekelompok orang di Afganistan yang menggunakan pemahamam
Waha-bisme (sebuah paham dalam islam yang dikenal karena berada digaris keras),
namun me-reka memodifikasi paham tersebut dengan pandangan mereka. Mereka
menggarisbawahi para kolonialis asing, khususnya Amerika dan antek-anteknya,
karena kesalahan Amerika dan sekutunya tersebut yang mengganggu stabilitas
negara-negara di Timur Tengah.

Organisasi Al-Qaeda adalah suatu wadah dari kaum Fundamentalis Islam, yang bukan
dalam pengertian fundamentalis agama. fundamentalisme yang melahirkan terorisme
adalah suatu ideologi politik, bukan agama Islam yang secara sinis kerap dikaitkan
oleh pihak Barat dengan ideologi tersebut. Jadi seyoganya pandangan-pandangan sinis
yang mengakibatkan perpecahan, hendaknya segera dihapuskan. Mereka yang
berpandangan bahwa Islam mengajarkan untuk melakukan tindakan teror hendaknya
sadar diri, tanpa mengeluarkan spekulasi yang kadang menyakitkan.

Lalu apakah aksi teror yang terjadi tersebut mengganggu kestabilitasan Indonesia dan
mengacaukan sistem politik Indonesia? Jawabannya adalah Benar. Mengapa
demikian? Marilah kita telusuri satu persatu.

1.Sebagaimana yang kita ketahui bahwasanya sistem adalah bagian dari beberapa
bagian sistem atau subsistem yang melaksanakan fungsinya masing-masing dan
diantara satu subsistem dengan subsistem lainnya saling berkaitan. Begitu pula
dengan sistem politik Indonesia yang terdiri dari beberapa sistem yang menjalani
fungsinya masing-masing. Namun ketika satu kepincangan terjadi dalam subsistem
Indonesia, maka keseluruhan subsistem atau sistem tadi mengalami gangguan. Dalam
kaitannya dengan masalah terorisme, kepincangan yang terjadi adalah dibidang
pertahanan. Contohnya, saat terjadi pemboman di Bali yang menelan ratusan korban
dari penduduk dalam dan luar negri. Walaupun kepincangan yang terjadi di bidang
pertahanan, namum berdampak pada bidang-bidang lainnya. Karena terjadinya
pemboman di Bali, Indonesia menghadapi permasalahan dalam bidang diplomasi,
terutama dengan negara-negara yang menjadi korban dalam tindakan teror tersebut
seperti Australia, Amerika, Jepang, dan negara lainnya. Setelah terjadi kepincangan di
bidang diplomasi, akan berdampak pula pada bidang lainnya, seperti larangan negara
Amerika dan Australia kepada warga negaranya untuk berkunjung ke Indonesia
khususnya Bali saat itu, mengakibatkan berkurangnya wisatawan yang datang ke Bali
sehingga juga mengurangi pemasukan negara dari bidang pariwisata. Dan Bali saat itu
pun mengalami perekonomian yang sangat sulit. Karena memang sebagian besar
masyarakat Bali berpenghasilan dari wisatawan-wisatawan yang berkunjung kesana.
Hal yang tidak disangka juga, ternyata berdampak pula ke bidang pendidikan. Seperti,
Madina University, Saudi Arabia, yang biasanya memberikan beasiswa penuh untuk
penuntut ilmu yang ingin belajar disana setiap tahunnya dari Indonesia, menutup
kesempatan tersebut dengan alasan terjadinya pemboman di Bali tersebut. Sehingga
jelaslah yang dari awalnya terjadi kerusakan pada satu subsistem, mengakibatkan
kerusakan pada sistem yang lainnya. Oleh karena ituah masalah terorisme khususnya
pemboman tersebut mengganggu sistem perpolitikan di Indonesia. Ini juga sesuai
dengan pendapat David Easton yang mengatakan bahwasanya ada tiga hal mendasar
dari sistem politik, yang salah satunya adalah ditandai dengan adanya saling
ketergantungan antarunit yang berada didalamnya.

2.Didalam sistem politik, terdapat input yang berguna untuk memberi masukan
didalam sistem politik. Karena sistem politik disusun untuk memberikan kepuasan
bagi masyarakat yang berada dibawahnya. Namun permasalahannya untuk Indonesia
yang memiliki berbagai macam tuntutan karena latar belakang masyarakat yang sudah
berbeda-beda, dan kebutuhan yang berbeda pula. Dan kadang kebutuhan tersebut
tidak seluruhnya bisa dipenuhi, dan akhirnya rakyat menuntut. Namun kadang ada
sikap pemerintah yang tidak menganggap serius tuntutan tersebut, hingga akhirnya
ada beberapa golongan yang nekat, sehingga terjadilah tindak terorisme tersebut. Jadi
kesimpulannya input dan masukan yang tidak dipenuhi serta tidak dapat perhatian
khusus bisa mengakibatkan masyarakat nekat untuk melakukan tindakan teror.

Dari tulisan yang telah saya paparkan di atas, terlihatlah bahwa Terorisme itu
memang bisa mengganggu sistem perpolitikan suatu negara. Dan hendaknya masing-
masing negara mampu mengatur suatu sistem perpolitikan dengan apik sehingga hal-
hal seperti ini tidak kita temui lagi.

Terkhusus buat Indonesia yang sebenarnya sudah sangat berpengalaman dalam


mengatasi permasalahan terorisme, hendaknya sudah dapat mengambil langkah-
langkah yang tepat dalam menghadapi ini semua. Karena menurut David Easton,
didalam sebuah sistem politik, terdapat Input, Output, dan Lingkungan yang
memengaruhinya. Input yang Indonesia dapatkan sudah terlalu banyak,
permasalahannya pun sudah dilumatkan dalam beberapa pertemuan, kerjasama
antarnegara yang berkaitan dengan terorisme pun telah dijalin dengan berbagai
negara, dan hendaknya kebijakan-kebijakan atau output yang dikeluarkan pun sudah
memuaskan seluruh kalangan. Dan Indonesia telah mampu melewati itu semua,
terbukti dengan penggrebekan yang dilakukan tim antiteror yang sudah membongkar
sedikit banyaknya tindakan teror di Indonesia ini. Salut buat Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai