2. Reformasi
Kekuasaan kehakiman di Indonesia banyak mengalami perubahan sejak masa
Reformasi. Amandemen ketiga UUD 1945 yang disahkan pada tanggal 10 November
2001, mengenai bab kekuasaan kehakiman BAB IX memuat beberapa perubahan
(Pasal 24A, 24B, 24C) amandemen menyebutkan penyelenggaraan kekuasaan
kehakiman terdiri atas Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Mahkamah
Agung bertugas untuk menguji peraturan perundangan dibawah UU terhadap UU.
Sedangkan
Mahkamah Konstitusi (MK). Mempunyai kewenangan menguji UU terhadap UUD45.
Mahkamah Konstitusi (MK) berwenang untuk: Pertama, mengadili pada tingkat
pertama dan terakhir yang keputusannya bersifat final untuk menguji undang-undang
terhadap UUD 1945 (Judicial Review), memutuskan sengketa kewenangan lembaga
Negara, memutuskan pembubaran partai politk, memutuskan perselisihan tentang
pemilihan umum. Kedua, memberikan putusan pemakzulan (impeachment) atau
menurunkan Presiden dan/atau wakil presieden aras permintaan DPR karena
melakukan pelanggaran berupa pengkhianatan terhadap Negara, korupsi, penyuapan,
tindak pidana berat, atau perbuatan yang tercela.
Mahkamah Agung (MA). Kewenangannya adalah menyelenggarakan kekuasaan
peradilan yang berada dilingkunan peradilan umum, militer, agama, dan tata usaha
Negara. MA berwenang mengadili pada tingkat kasasi. Calon Hakim diajukan oleh
Komisi Yudisial kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan, dan ditetapkan sebagai
Hakim Agung oleh Presiden. Ketua dan wakil ketua MA dipilih dari dan oleh Hakim
Agung, Hakim Agung dipilih berdasarkan kualitasnya. Keputusan Mahkamah Agung
terlepas dari kekuasaan Eksekutif. Mahkamah Agung bisa Memberikan putusan
pemakzulan (impeachment) Presiden dan/atau wakil presieden aras permintaan DPR
karena melakukan pelanggaran berupa pengkhianatan terhadap Negara, korupsi,
penyuapan, tindak pidana berat, atau perbuatan tercela. kedudukan Yudikatif,
Eksekutif, Legislatif sama, jadi peran Yudikatif tidak bisa dipengaruhi oleh Eksekutif
atau Legislatif, Yudikatif berdiri sendiri tanpa campur tangan pihak lain.
• Rekruitmen politik: penetapan calon Hakim dilakukan oleh Mahkamah Agung,
Hakim Agung dipilih berdasarkan kualitasnya sesuai UU.
• Sosialisasi politik: keputusan Mahkamah Agung terlepas dari kekuasaan Eksekutif.
Mahkamah Agung bisa Memberikan putusan pemakzulan (impeachment) atau
menurunkan presiden dan/atau wakil presieden atas permintaan DPR karena
melakukan pelanggaran berupa pengkhianatan terhadap Negara, korupsi, penyuapan,
tindak pidana berat, atau perbuatan tercela.
• Komunikasi politik: kedudukan Yudikatif, Eksekutif, Legislatif sama, jadi peran
Yudikatif tidak bisa dipengaruhi oleh Eksekutif atau Legislatif, Yudikatif berdiri
sendiri.
Tabel Perbandingan:
No. Pembeda Orde Baru Reformasi
1. Rekruitmen politik • Adanya indikasi praktek droping nama
• Adanya indikasi jaringan, petemanan, hubungan keluarga dan sebagainya yang
mengakibatkan pemelihan dilakuakan tidak secara objektif
• Eksekutif mendominasi, dibuktikan dengan setiap mempresentasikan calon Hakim
harus disertai memasukkan nama-nama dari militer maupun kejaksaan Penetapan
calon Hakim dilakukan oleh Mahkamah Agung, Hakim Agung dipilih berdasarkan
kualitasnya sesuai UU.
2. Sosialisasi politik Yudikatif masih didominasi oleh Eksekutif Keputusan
Mahkamah Agung terlepas dari kekuasaan Eksekutif.
3. Komunikasi politik Kekuasaan Yudikatif tidak bisa memeriksa Eksekutif
Kedudukan Yudikatif, Eksekutif, Legislatif sama
4. Sistem Kerja Lebih bekerja untuk melindungi dan menaungi Eksekutif Bebas dan
menjalankan tugas melayani seluruh masyarakat sesuai UU.
2. Menurut Grindle, desentralisasi diyakini akan menghasilkan pengambilan keputusan
yang lebih responsif, pelayanan publik yang berkualitas lebih baik, dan birokrat yang
termotivasi untuk bekerja dengan baik.
Menurut pendapat Anda, bagaimana Indonesia di era desentralisasi (otonomi daerah),
dikaitkan dengan pendapat Grindle tersebut?
Indonesia memasuki era baru sejak berakhirnya rezim pemerintahan pada masa orde
baru pada pertengahan tahun 1998. Salah satu hal yang mengalami perubahan adalah
hubungan antara pemerintah pusat dan daerah.
Secara normatif, peraturan ini dipandang revolusioner karena dianggap sebagai awal
perubahan sistem pemerintahan yang sentralistik ke desentralistik.
Berbagai polemik pro dan kontra terjadi ketika usulan aturan kebijakan desentralisasi
ini dibuat. Beberapa pihak yang kontra dan mendesak agar segera merevisi kebijakan
tersebut datang dari pihak Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dan Asosiasi
Pemerintah Provinsi Seluruh Indonesia (APPSI).
Kedua pihak tersebut mendesak untuk segera merevisi peraturan tersebut karena
kedua pihak inilah yang merasakan banyak kehilangan kewenangan dan kontrol
akibat dari pemberlakuan kebijakan Undang-Undang Pemerintah Daerah tersebut.
Inti dari kebijakan dan aturan baru desentralisasi ini adalah untuk memaksimalkan
dan dan mengamalkan demokrasi dengan memberi sebagian besar keputusan dan
kebijakan berada di tangan daerah sesuai dengan kebutuhan daerahnya sendiri.
Mendekati gegap gempita pesta demokrasi Pilkada tahun 2020 ini, kian maraknya
pembahasan mengenai dinasti politik. Hal ini tak terlepas dari rencana anggota
keluarga Presiden Joko Widodo mengikuti pilkada yakni Putra Sulung Jokowi Gibran
Rakabuming Raka yang berencana mengikuti Pilkada Solo serta Bobby Afif Nasution
yaitu suami dari putri Jokowi Kahiyang Ayu yang mengikuti Pilkada Medan Tahun
2020 ini.
Karena dari hal tersebut, mereka bisa merestorasi kekuasaan politik dan meneguhkan
penguasaan mereka atas sumber daya sosial dan ekonomi yang ada. Desentralisasi
telah menyediakan arena yang otonom bagi kelompok tertentu sehingga menjadi
struktur peluang bagi optimalisasi kepentingan dan keuntungan mereka sendiri.
Oleh karena itu, tidak mengherankan jika implementasi desentralisasi dalam beberapa
tahun terakhir didominasi oleh cerita sukses atas konsolidasi oligarki lokal, baik
politik, sosial maupun ekonomi.
Sejatinya tidak ada suatu sistem baru yang dibuat tanpa pertimbangan dan tanpa
pengaruh yang baik untuk kedepannya, termasuk pula sistem desentralisasi.
Sehubungan dengan itu maka perlu dilakukan beberapa perbaikan agar desentralisasi
itu dapat berjalan dengan baik dan sesuai tujuan awalnya.
Pertama, stigma negatif atas implementasi desentralisasi dan otonomi harus dijawab
dengan semangat pendalaman desentralisasi melalui penyegaran kembali nilai-nilai
dasar desentralisasi, yakni kesejahteraan publik.
3. Politik Indonesia tidak terlepas dari pengaruh isu strategis politik luar negeri, seperti
isu teorisme. Jelaskan pendapat Anda terkait munculnya isu terorisme di Indonesia dan
bagaimana sistem politik Indonesia meresponsnya.
Isu terorisme adalah isu yang sedang dan sudah menjadi sorotan dunia internasional
saat ini, disamping adanya isu lain seperti Global Warming. Isu ini mulai menyebar
setelah adanya penyerangan terhadap gedung WTC di Amerika Serikat pada tanggal
11 September 2001. Amerika pun menjadi bengis bagaikan beruang yang telah
diganggu tidurnya. Amerika pun mengumandangkan niatnya untuk memberantas
terorisme. Maka Amerika memulai denganmelakukan penyerangan ke Afganistan
untuk memburu Osama Bin Laden yang di tuduh sebagai orang yang harus
bertanggung jawab atas kejadian di Gedung WTC. Lalu meneruskan ke Iraq dengan
alasan memburu Saddam Husein dengan alasan bahwa Saddam Husein adalah orang
yang mengancam perdamaian dunia.
Memang secara konsep, Amerika melakukan sesuatu yang patut di ancungkan jempol.
Tapi yang menjadi kontroversi yang sangat besar adalah bagaimana cara Amerika
dalam menanggapi hal tersebut. Ia melakukan invasi ke negara-negara yang dicurigai
dan melakukan tindakan-tindakan yang sungguh tidak berperikemanusiaan. Amerika
seenaknya memborbardir Afganistan dan Iraq, membunuh wanita dan anak-anak,
membunuh yang tidak bersalah, dan melakukan pelanggaran HAM lainnya. Padahal
kita semua tahu bahwasanya Amerika selalu mengumbar-umbar isu HAM, terbukti
dari The Declaration of Independence dan Undang-Undang PBB yang mereka
rancang, namun akhirnya ia sendiri yang mencoreng itu semua.
Tindakan-tindakan tersebut tidak hanya berdampak pada negara yang masih “terjajah”
pada masa modern ini, tapi juga berdampak pada stabilitas sistem politik negara-
negara lainnya, tidak terkecuali di Indonesia. Negara-negara diberbagai belahan dunia
melakukan protes terhadap tindakan Amerika. Mereka melakukan berbagai aksi di
negara mereka, dimulai dari demo ke kedutaan Amerika, Boikot produk-produk dari
Amerika dan sebagainya.
Di Indonesia, terjadi demo di berbagai daerah. Banyak tuntutan yang ada seperti
melakukan tindakan boikot terhadap produk-produk Amerika dan bahkan sampai
meminta untuk memutus hubungan diplomasi dengan Amerika. Tapi entah mengapa
itu semua tidak dapat terealisasikan hingga saat ini.
Namun disamping itu semua, sebenarnya ada dampak besar lain yang sangat fatal
akibatnya bagi indonesia, yaitu munculnya paham Terorisme. Munculnya “kaum-
kaum sensitif” yang menganggap bahwa serangan di Afganistan dan Iraq itu lebih
kepada niat Amerika untuk menghancurkan Islam daripada niat Amerika untuk
menghancurkan atau memberantas terorisme. Kaum-kaum sensitif tadi pun mulai
berulah di Indonesia dengan melakukan tindakan teror di negara mereka sendiri,
Indonesia. Dan terjadilah Bom Bali I.
Memang benar, sebelum terjadinya Bom Bali I, di Indonesia pernah terjadi juga
beberapa aksi teror pemboman dibeberapa tempat yang juga mengganggu stabilitas
keamanan negara Indonesia dan juga pastinya mengganggu sistem politik Indonesia.
Misalnya seperti pemboman yang terjadi di beberapa Gereja di Indonesia seperti
Pekanbaru dan Ambon ketika perayaan Natal. Atau terjadinya pemboman di Atrium
Senen (2001), pemboman di Kedutaan Thailand dan Filipina pada tahun 2000, dan
aksi bom lainnya.
Namun yang menjadi fokus utama saya dalam tulisan ini adalah pemboman yang
terjadi akibat tindakan yang diakibatkan oleh serangan Amerika dan antek-anteknya
dalam memberantas terorisme, yaitu Bom Bali I dan aksi pemboman setelahnya.
Mengapa saya mengatakan bahwasanya aksi Bom Bali I dan bom-bom setelahnya
tersebut berkaitan dengan tindakan pemyerangan yang dilakukan oleh Amerika?
Spekulasi ini saya utarakan, berlandaskan pada kutipan dibawah ini :
“berdasarkan niat atau target, jelas bom Bali merupakan jihad fisabilillah, karena yang
jadi sasaran utamanya adalah bangsa-bangsa penjajah seperti Amerika Serikat dan
sekutunya. Ini semakin jelas dengan adanya pembantaian massal terhadap umat Islam
di Afganistan pada Bulan Ramadhan tahun 2001 yang disaksikan oleh hampir seluruh
umat manusia di segala penjuru dunia” (di kutip dari buku Aku Melawan Teroris!
Karangan Imam Samudra)
Dari pernyataan yang dibuat tersebut, jelaslah bahwasanya apa yang dilakukan
Amerika, membuat munculnya suatu paham terorisme di Indonesia. Sehingga mau
tidak mau Indonesia harus menanggung itu semua. Sehingga menurut Zuhairi
Misrawi, dalam pengantar di buku A.M. Hendropriyono berpendapat bahwa terorisme
di Indonesia ini sudah bisa diibaratkan sebagai tanaman yang tumbuh subur. Ketika
satu pelaku tertangkap dan dihukum, maka muncullah yang lainnya. Ketika Dr.
Azhari tertembak mati, masih ada Noordin M. Top, setelah beliau muncul lagi bibit-
bibit kecil terorisme yang belakangan ini sering dibicarakan di media. Sehingga kita
semua bisa mengambil kesimpulan dari itu semua bahwasanya masalah terorisme
bukan masalah pelaku, tetapi lebih kepada masalah paham itu sendiri. Karena
walaupun pelakunya sudah ditangkap dan ditembak mati, tapi paham terorisme
tersebut masih hidup.
Meraka yang memiliki paham tersebut pun mulai mengembangkan paham mereka
dengan mencari jaringan-jaringan atau lebih tepatnya wadah di dunia Internasional.
Maka berlanjutlah topik pembicaraan kita ke jaringan organisasi transnasional Al-
Qaeda di Afganistan. Jaringan tersebut telah diyakini sebagai jaringan yang
mengembangkan faham keagamaan yang dapat melahirkan para teroris atau mereka
yang mempunyai keberanian dan kepercayaan diri untuk melakukan tindakan
terorisme.
Organisasi Al-Qaeda adalah suatu wadah dari kaum Fundamentalis Islam, yang bukan
dalam pengertian fundamentalis agama. fundamentalisme yang melahirkan terorisme
adalah suatu ideologi politik, bukan agama Islam yang secara sinis kerap dikaitkan
oleh pihak Barat dengan ideologi tersebut. Jadi seyoganya pandangan-pandangan sinis
yang mengakibatkan perpecahan, hendaknya segera dihapuskan. Mereka yang
berpandangan bahwa Islam mengajarkan untuk melakukan tindakan teror hendaknya
sadar diri, tanpa mengeluarkan spekulasi yang kadang menyakitkan.
Lalu apakah aksi teror yang terjadi tersebut mengganggu kestabilitasan Indonesia dan
mengacaukan sistem politik Indonesia? Jawabannya adalah Benar. Mengapa
demikian? Marilah kita telusuri satu persatu.
1.Sebagaimana yang kita ketahui bahwasanya sistem adalah bagian dari beberapa
bagian sistem atau subsistem yang melaksanakan fungsinya masing-masing dan
diantara satu subsistem dengan subsistem lainnya saling berkaitan. Begitu pula
dengan sistem politik Indonesia yang terdiri dari beberapa sistem yang menjalani
fungsinya masing-masing. Namun ketika satu kepincangan terjadi dalam subsistem
Indonesia, maka keseluruhan subsistem atau sistem tadi mengalami gangguan. Dalam
kaitannya dengan masalah terorisme, kepincangan yang terjadi adalah dibidang
pertahanan. Contohnya, saat terjadi pemboman di Bali yang menelan ratusan korban
dari penduduk dalam dan luar negri. Walaupun kepincangan yang terjadi di bidang
pertahanan, namum berdampak pada bidang-bidang lainnya. Karena terjadinya
pemboman di Bali, Indonesia menghadapi permasalahan dalam bidang diplomasi,
terutama dengan negara-negara yang menjadi korban dalam tindakan teror tersebut
seperti Australia, Amerika, Jepang, dan negara lainnya. Setelah terjadi kepincangan di
bidang diplomasi, akan berdampak pula pada bidang lainnya, seperti larangan negara
Amerika dan Australia kepada warga negaranya untuk berkunjung ke Indonesia
khususnya Bali saat itu, mengakibatkan berkurangnya wisatawan yang datang ke Bali
sehingga juga mengurangi pemasukan negara dari bidang pariwisata. Dan Bali saat itu
pun mengalami perekonomian yang sangat sulit. Karena memang sebagian besar
masyarakat Bali berpenghasilan dari wisatawan-wisatawan yang berkunjung kesana.
Hal yang tidak disangka juga, ternyata berdampak pula ke bidang pendidikan. Seperti,
Madina University, Saudi Arabia, yang biasanya memberikan beasiswa penuh untuk
penuntut ilmu yang ingin belajar disana setiap tahunnya dari Indonesia, menutup
kesempatan tersebut dengan alasan terjadinya pemboman di Bali tersebut. Sehingga
jelaslah yang dari awalnya terjadi kerusakan pada satu subsistem, mengakibatkan
kerusakan pada sistem yang lainnya. Oleh karena ituah masalah terorisme khususnya
pemboman tersebut mengganggu sistem perpolitikan di Indonesia. Ini juga sesuai
dengan pendapat David Easton yang mengatakan bahwasanya ada tiga hal mendasar
dari sistem politik, yang salah satunya adalah ditandai dengan adanya saling
ketergantungan antarunit yang berada didalamnya.
2.Didalam sistem politik, terdapat input yang berguna untuk memberi masukan
didalam sistem politik. Karena sistem politik disusun untuk memberikan kepuasan
bagi masyarakat yang berada dibawahnya. Namun permasalahannya untuk Indonesia
yang memiliki berbagai macam tuntutan karena latar belakang masyarakat yang sudah
berbeda-beda, dan kebutuhan yang berbeda pula. Dan kadang kebutuhan tersebut
tidak seluruhnya bisa dipenuhi, dan akhirnya rakyat menuntut. Namun kadang ada
sikap pemerintah yang tidak menganggap serius tuntutan tersebut, hingga akhirnya
ada beberapa golongan yang nekat, sehingga terjadilah tindak terorisme tersebut. Jadi
kesimpulannya input dan masukan yang tidak dipenuhi serta tidak dapat perhatian
khusus bisa mengakibatkan masyarakat nekat untuk melakukan tindakan teror.
Dari tulisan yang telah saya paparkan di atas, terlihatlah bahwa Terorisme itu
memang bisa mengganggu sistem perpolitikan suatu negara. Dan hendaknya masing-
masing negara mampu mengatur suatu sistem perpolitikan dengan apik sehingga hal-
hal seperti ini tidak kita temui lagi.