Anda di halaman 1dari 5

Asal Usul Tradisi Kupatan

Rasanya amat sangat sulit menemukan kajian ilmiyah tentang sejarah/asal muasal
kupat. Namun menurut berbagai sumber, masyarakat jawa mempercayai bahwa sunan
Kalijaga adalah orang yang berjasa dalam hal mentradisikan kupat beserta makna filosofis
yang terkandung dalam makanan khas ini.

Secara filosofis, makanan khas “Kupat” ini memiliki banyak makna. Di antara makna
itu adalah :

a.    Kata “kupat” berasal dari bahasa jawa “ngaku lepat” (mengakui kesalahan). Ini suatu
isyarat bahwa kita sebagai manusia biasa pasti pernah melakukan kesalahan kepada
sesama. Maka dengan budaya kupatan setahun sekali ini kita diingatkan agar sama-sama
mengakui kesalahan kita masing-masing, kemudian rela untuk saling memaafkan. Nah,
dengan sikap saling memaafkan, dijamin dalam hidup ini kita akan merasakan
kedamaian, ketenangan dan ketentraman.

b.    Bungkus kupat yang terbuat dari janur (sejatine nur), ini melambangkan kondisi umat
muslim setelah mendapatkan pencerahan cahaya selama bulan suci Ramadlan secara
pribadi-pribadi mereka kembali kepada kesucian/jati diri manusia (fitrah insaniyah) yang
bersih dari noda serta bebas dari dosa.

c.    Isi kupat yang bahannya hanya berupa segenggam beras, namun karena butir-butir beras
tadi sama menyatu dalam seluruh slongsong janur dan rela direbus sampai masak, maka
jadilah sebuah menu makanan yang mengenyangkan dan enak dimakan. Ini satu simbol
persamaan dan kebersamaan persatuan dan kesatuan. Dan yang demikian itu merupakan
sebuah pesan moral agar kita sama-sama rela saling menjalin persatuan dan kesatuan
dengan sesama muslim.
Bid’ah Dlalalah kah Tradisi Kupatan?

Meskipun riyoyo kupat sudah menjadi tradisi turun temurun dan dilakukan di berbagai
daerah, namun bukan berarti semua umat muslim mau melakukannya. Ada yang
menganggapnya bid’ah dan bahkan menuduh sesat, karena termasuk mengada-ada dalam
masalah ibadah.

Pada hari raya Idul Fitri (1 Syawwal) semua orang Islam diharamkan berpuasa. Pada
hari berikutnya orang Islam sangat dianjurkan (sunnah muakkadah) untuk melakukan puasa
selama enam hari, baik secara langsung dan berurutan, sejak tanggal dua Syawwal atau
secara terpisah-pisah asalkan masih dalam lingkup bulan Syawwal. Sabda nabi SAW :

َ ‫ال َكانَ َك‬


)307 ‫ رواه مسلم (الجامع الصغير ص‬.‫ص ْو ِم ال َّد ْه ِر‬ ٍ ‫ش َّو‬ ِ ُ‫ضانَ َوَأ ْتبَ َعه‬
َ ْ‫ستًّا ِمن‬ َ ‫صا َم َر َم‬
َ ْ‫َمن‬
Artinya :
“Barang siapa berpuasa Ramadlan kemudian mengikutinya dengan puasa enam hari di
bulan syawwal, maka yang demikian itu seperti puasa setahun”. (HR. Imam Muslim)

Setelah puasa Syawwal, tidak ada tuntutan menyelenggarakan tradisi tertentu. Maka
ketika ada tradisi riyoyo kupat pada tanggal 8 Syawwal, hal itu disebut bid’ah (suatu hal yang
baru). Di sinilah terjadi perbedaan persepsi di antara umat muslim. Sebagian ada yang mau
melakukannya dan sebagian yang lain ada yang tidak mau. Sumbernya adalah interpretasi
makna bid’ah itu sendiri, serta status amaliyah tradisi riyoyo kupat.

Pertama, pendapat yang mendifinisikan “bid’ah” secara mutlak, yaitu segala hal yang
belum pernah dikerjakan oleh Rasulullah SAW. Sesuatu yang ada kaitannya dengan ibadah
dan tidak pernah dicontohkan oleh Nabi adalah bid’ah dan haram dilakukan. Nah, karena
tradisi kupatan dikategorikan sebagai ibadah mahdlah (ritual murni) yang terikat dengan tata
cara yang didasarkan atas tauqif (jawa : piwulang) dari nabi. Maka hal itu dianggap mengada-
ada dan itu bid’ah. Setiap bid’ah adalah dlalalah.
Sabda Rasulullah SAW. :

َ ‫َث فِ ْي َأ ْم ِرنَا َه َذا َما لَ ْي‬


)296 ‫ رواه البيهقي عن عائشة (الجامع الصغير ص‬.ٌّ‫س ِم ْنهُ فَ ُه َو َرد‬ َ ‫َمنْ َأ ْحد‬
Artinya :
“Barang siapa mengada-ada di dalam urusan agama kita ini, sesuatu yang tidak bersumber
darinya, maka hal itu ditolak” (HR. Imam Baihaqi)

Dan sabda Rasulullah SAW. :

‫ي بَا ِع[ د ُْوا َو ْاح[ َذ ُر ْوا ْاَأل ْخ[ َذ بِ[اُْأل ُم ْو ِر‬ َ ‫ت ْاُأل ُم ْو ِر فَِإنَّ َذلِ َك بِ ْد َعةٌ َو ُك ُّل بِ ْد َع ٍة‬
ْ ‫ َأ‬.‫ رواه أب[و داود والترم[ذي‬.ٌ‫ض[الَلَة‬ ِ ‫َوِإيَّا ُك ْم َو ُم ْح َدثَا‬
)87 ‫ (المجالس السنية شرح األربعين النووية ص‬.‫ا ْل ُم ْح َدثَ ِة فِي ال ِّد ْي ِن‬

Artinya :
“Jauhilah hal-hal baru yang diada-adakan, karena sesungguhnya hal tersebut adalah bid’ah
dan setiap bid’ah adalah sesat (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi) yakni kamu sekalian harus
menjauhi dan mewaspadai perkara-perkara baru dalam agama.

Kedua, pendapat yan mengklasifikasi bid’ah menjadi dua : bid’ah hasanah (baik) dan
bid’ah sayyi’ah (buruk). Karena tradisi kupatan dikategorikan sebagai ibadah ghairu mahdlah
(ritul tidak murni) yang perintahnya ada, tetapi teknis pelaksanaannya disesuaikan dengan
situasi, maka tradisi itu dianggap sebagai amrun mustahsan (sesuatu yang dianggap baik).

Pendapat kedua ini bukannya mengingkari dua hadits yang dipedomani pendapat
pertama, akan tetapi memahami hadits tersebut dengan pemahaman yang lebih luas.
Maksudnya tidak semua did’ah itu dlalalah (sesat) akan tetapi ada bid’ah itu yang hasanah
(bagus) yaitu suatu hal baru yang tidak merusak akidah dan tidak menyimpang dari syari’at.

As-Syaikh as-sayyid Muhammad Alawi dalam kitabnya “al-ihtifal bidzikro maulidin


nabi” menyatakan :
َ ‫ َو َم[[ا َأ ْح[ د‬،ُ‫الض [الَّة‬
َ‫َث ِمن‬ َّ ُ‫سنَّةً َأ ْو ِإ ْج َماعًا َأ ْو َأثَ ًرا فَ ُه َو ا ْلبِ ْد َع[ ة‬
ُ ‫َث َو َخالَفَ ِكتَابًا َأ ْو‬َ ‫ َما َأ ْحد‬:ُ‫ض َي هللاُ َع ْنه‬ ِ ‫قَا َل ْاِإل َما ُم الشَّافِ ِع ِّي َر‬
.ُ‫ش ْيًئا ِمنْ َذلِكَ فَ ُه َو ا ْل َم ْح ُم ْود‬
َ ْ‫ا ْل َخ ْي ِر َولَ ْم يُ َخالِف‬

Artinya :
“Imam Syafi’i berpendapat bahwa amalan apa saja yang baru diadakan dan amalan itu jelas
menyimpang dari kitabullah, sunnah rasul, ijma’us shahabah atau atsaratut tabi’in, itulah
yang dikategorikan bid’ah dlalalah/sesat atau tercela. Sedangkan amalan baik yang baru
diadakan dan tidak menyimpang dari salah satu dari empat pedoman di atas, maka hal
tersebut termasuk hal yang terpuji”.
Kemudian dalam kitab yang sama beliau (sayyid Muhammad Alawi) menyimpulkan
pendapat Imam Syafi’i tersebut sebagai berikut :

.‫شتَ ِم ْل َعلَى ُم ْن َك ٍر فَ ُه َو ِمنَ ال ِّد ْي ِن‬


ْ َ‫ش ِر ْي َع ِة َولَ ْم ي‬ َ ‫شتَ ِملُهُ ْاَأل ِدلَّةُ الش َّْر ِعيَّةُ َولَ ْم يُ ْق‬
َّ ‫ص ْد بِِإ ْحدَاثِ ِه ُم َخالَفَةُ ال‬ ْ َ‫فَ ُك ُّل َخ ْي ٍر ت‬

Artinya :
“Jadi setiap kebaikan yang tercakup dalam dalil-dalil syar’i dan mengadakannya tidak ada
maksud menyimpang dari aturan syari’at serta tidak mengandung kemunkaran, maka hal itu
termasuk “ad-din” (urusan agama)”.

Dengan demikian, menempatkan hukum riyoyo kupat harus dilihat dari substansi
masalahnya, yakni ajaran silaturrahim, saling memaafkan dan pemberian shadaqah/sedekah
yang mana hal tersebut perintahnya ada dalam dalil syar’i, sementara teknisnya bisa
dilakukan dengan beragam cara.

Dalil syar’i tentang silaturrahim antara lain : hadits riwayat Tirmidzi :

‫رواه الترمذي عن عائشة‬ .‫صلَةُ ال َّر ِح ِم‬ ْ ‫َأ‬


ِ ‫س َر ُع ا ْل َخ ْي ِر ثَ َوابًا ا ْلبِ ُّر ِو‬
Artinya :
“Amal kebajikan yang paling cepat mendapatkan pahala adalah ketaatan dan silaturrahim”.

Dalil syar’i tentang memberikan maaf antara lain QS. An-Nur 22 :

.22 : ‫ النور‬.‫صفَ ُح ْوا َأالَ تُ ِحبُّ ْونَ َأنْ يَ ْغفِ َر هللاُ لَ ُك ْم َوهللاُ َغفُ ْو ٌر َر ِح ْي ٌم‬
ْ َ‫َو ْليَ ْعفُ ْوا َو ْلي‬

Artinya :
“Dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada, apakah kamu tidak ingin Allah
akan mengampunimu? Dan Allah adalah maha pengampun lagi maha penyayang”. (QS. An-
Nur : 22)

Dalil syar’i tentang memberikan sedekah antara lain :


‫ رواه ابن المبارك‬.‫َص َّدقُ ْوا َولَ ْو بِتَ ْم َر ٍة‬
َ ‫ت‬
Artinya :
“Bersedakahlah kamu, meskipun hanya berupa sebutir kurma” (HR. Ibnu Mubarak).

Hadits riwayat Ibnu ‘Ady :


‫رواه ابن عدي‬ .‫س َعةٌ فِ ْي َأ ْر َزاقِ ُك ْم‬
ِ ‫ فَِْإنَّ َذلِ َك ت َْو‬،‫تَ َهاد ُْوا الطَّ َعا َم بَ ْينَ ُك ْم‬
Artinya :
“Hendaklah kamu sekalian satu sama yang lain saling memberikan hadiah berupa makanan,
karena yang demikian itu bisa melapangkan rizkimu” (HR. Ibnu ‘Ady)
Wal-hasil, tradisi kupatan tidak bisa disebut sebagai bid’ah atau tambahan dalam beribadah.
Tradisi kupatan adalah budaya lokal yang memiliki keterkaitan dengan syari’at Islam. Maka
dari itu kupatan tidak bisa dihukumi sebagai penyimpangan, apalagi tindakan sesat (dlalalah).

HERY Nglongsor

Anda mungkin juga menyukai