Makalah ini diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Qawaid Fiqhiyah
Dosen Pengampu: Amirah Ahmad, Lc., M.E., Sy
Disusun oleh:
Dita Fadhilah Riady 18110924
Ega Nur Farizqi 18110958
Nada Susmita Septiyani 18110935
Kaidah ini merupakan kaidah asasiyah yang pertama. Dan kaidah ini
menjelaskan tentang niat. Niat diartikan dengan maksud melakukan sesuatu
yang disertai dengan pelaksanaanya. Niat sangat penting dalam menentukan
kualitas ataupun makna perbuatan seseorang, apakah seseorang itu
melakukan suatu perbuatan dengan niat ibadah kepada Allah atau kah dia
melakukan perbuatan tersebut bukan dengan niat ibadah kepada Allah,
tetapi semata-mata karena nafsu atau kebiasaan. Misalnya seperti, niat untuk
menikah, apabila menikah itu dilakukan dengan niat untuk menghindari dari
perbuatan zina, maka hal itu halal untuk dilakukan, tetapi jika pernikahan
itu dilakukan hanya semata-mata untuk menyiksa dan menyakiti calon
istrinya, maka hal itu haram untuk dilakukan 1.
1
Djazuli, Kaidah-kaidah Fiqih: Kaidah-kaidah hukum Islam dalam menyelesaikan
masalah yang praktis, (Jakarta: Kencana, 2007), hal. 34.
1
2) Keyakinan tidak bisa dihilangkan karena adanya keraguan
Kaidah fikih yang kedua adalah kaidah tentang keyakinan dan keraguan.
Secara etimologis, al-yaqin adalah sesuatu yang menetap (al-istiqrar),
kepercayaan yang pasti (al-jazim), teguh (al-tsabit), dan sesuai dengan
kenyataan (al-muthabiq li al-waqi`).2 Adapula yang mengartikan al-yaqin
dengan ilmu tentang sesuatu yang membawa kepada kepastian dan
kemantapan hati tentang hakikat sesuatu itu, dalam arti tidak ada keraguan
lagi.3 Sedangkan as-syakk adalah keraguan antara dua masalah/peristiwa yang
berlawanan tanpa mengunggulkan salah satunya. 4 Dari sini menjadi jelaslah
bahwa sesuatu yang hanya berdasar pada perasaan atau keraguan, tidak dapat
dijadikan pedoman untuk memutuskan tentang sah atau tidaknya suatu ibadah.
2
Muhammad Az-zarqa, Syarh al-Qawa`id al-Fiqhiyyah, (Damaskus: Dar al-Qalam, 1989),
Cet. ke-2, hal. 79
3
Muhammad Az-zarqa, Syarh al-Qawa'id al-Fiqhiyah, …., hal. 80
4
Muhammad Az-zarqa, Syarh al-Qawa'id al-Fiqhiyah, …., hal. 87
5
A. Jazuli, Kaidah-Kaidah Fikih: Kaidah-Kaidah Hukum Islam Dalam Menyelesaikan
Masalah-Masalah Yang Praktis, (Jakarta: Kencana, 2006) Cet. I, hal. 42
2
bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu, serta di barengi dengan do'a dan
ikhtiar maka insyaallah kemudahan ada kita dapati.6
6
Muhammad az-Zarqa, Syarh al-Qawa`id al-Fiqhiyyah, …, hal. 157
7
Ibnu Atsir, al-Nihayah fi Gharibi al-Hadits, Jilid III, h .81
8
Ibnu Taimiyah, Majmu` al-Fatawa, Jilid XXIII, hal.104
3
Kaidah fikih asasi kelima adalah tentang adat atau kebiasaan. Menurut
A. Djazuli mendefinisikan, bahwa al-‘adah atau al-‘urf adalah “Apa yang
dianggap baik dan benar oleh manusia secara umum (al- ‘adah al-‘aammah)
yang dilakukan secara berulang-ulang sehingga menjadi kebiasaan”. ‘Urf
ada dua macam, yaitu ‘urf yang shahih dan ‘urf yang fasid. ‘Urf yang shahih
ialah apa-apa yang telah menjadi kebiasaan manusia dan tidak menyalahi
dalil syara’, tidak menghalalkan yang haram dan tidak membatalkan yang
wajib. Sedangkan ‘urf yang fasid ialah apa-apa yang telah menjadi adat
kebiasaan manusia, tetapi menyalahi syara’, menghalalkan yang haram atau
membatalkan yang wajib. Suatu adat atau ‘urf dapat diterima jika memenuhi
syarat-syarat berikut9:
Imam Musbikin, Qawa’id Al-Fiqhiyah, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001, h. 94.
9
10
Muhammad Musthafa al-Zuhaili, Al-Qawaid al-Fiqhiyyah wa Tathbiqatuha fi al-
Mazahib al-Arba’ah, (Damaskus, Dar al Fikr, 2006), h. 363.
11
Dalam kitab al-Sadlani terdapat delapan belas kaidah furuiyyah dari kaidah Al umuru bi
maqashidiha, Enam belas kaidah furuiyyah dari kaidah Al-yaqinu la yuzalu bi al-syakki, Delapan
kaidah furuiyyah dari kaidah Almasyaqqah tajlibu al-taysir, Sepuluh kaidah furuiyyah dari kaidah
al-Adat al-Muhakkam, dan tujuh kaidah furuiyyah dari kaidah la dharara wa la dhirara. Shaleh bin
Ghanim al Sidlan, Al-Qawaid al Fiqhiyyah al-Kubra wa ma Tafaara’anha, (Riyadh: Dār al Nasyri
wa al- Tauzi’, t.th.), h. 553-559.
4
"Siapa yang mempercepat sesuatu sebelum waktunya, maka menanggung
akibat tidak mendapat sesuatu tersebut". Sebagai contoh apabila seorang ahli waris
membunuh pewarisnya karena ingin segera mendapatkan harta warisan, maka dia
dihukum tidak akan mendapatkan bagian dari harta warisan tersebut. Demikian pula
dalam hal ibadah yang pelaksanaannya berkaitan dengan waktu tertentu, seperti
shalat, puasa dan haji. Orang yang melaksanakan di luar waktu, baik sebelum
ataupun sesudah, ibadah yang dilakukannya tidak sah.12
12
Dalam kitab al-Sadlani terdapat delapan belas kaidah furuiyyah dari kaidah Al umuru bi
maqashidiha, Enam belas kaidah furuiyyah dari kaidah Al-yaqinu la yuzalu bi al-syakki, Delapan
kaidah furuiyyah dari kaidah Almasyaqqah tajlibu al-taysir, Sepuluh kaidah furuiyyah dari kaidah
al-Adat al-Muhakkam, dan tujuh kaidah furuiyyah dari kaidah la dharara wa la dhirara. Shaleh bin
Ghanim al Sidlan, Al-Qawaid al Fiqhiyyah al-Kubra wa ma Tafaara’anha, (Riyadh: Dār al Nasyri
wa al- Tauzi’, t.th.), h. 553-559.
5
tentang sesuatu baik halal ataupun haram, boleh atau tidak boleh, tetap berada
dalam ketetapan hukum itu, tidak akan berubah kecuali ada dalil yang menunjukkan
perubahannya. Dalam Al-Qur'an sudah dijelaskan mengenai haramnya mendekati
zina apalagi berbuat zina.
3. Kaidah furu'iyah dari kaidah ketiga yaitu kemudharatan harus dihilangkan
)(الضرار يزال
5. Kaidah fiqhiyah furu'iyah dari kaidah kelima yaitu adat dapat dijadikan
6
untuk merubah ketetapan sebuah hukum. Kepentingan umat yang dimaksud
antara lain, tegaknya keadilan, tercapainya maslahah dan tercegahnya mafsadah.
B. Faktor-faktor pendorong kemunculan qawaid fiqhiyah
Menurut pernyataan Muhammad az-Zarqa (w.1357 H) dalam kitab Syarh
al-Qawa'id al-Fiqhiyah: "Seandainya tidak ada qawa'id (fiqhiyyah), tentu hukum-
hukum fiqh akan menjadi (hukum) furu' yang berserakan dan kadang-kadang
lahiriyahnya tampak saling bertentangan tanpa ada ushul (kaidah) yang dapat
mengokohkannya dalam pikiran". Dapat ditarik juga dari pernyataan Imam al-
Qarafi dalam kitabnya al-Furuq: "Siapa yang berhujjah dengan hanya menghafal
juz'iyyah nya saja, maka hujjahnya itu tidak akan ada batasnya, serta akan
menghabiskan umurnya tanpa dapat mencapai cita-cita. Sebaliknya, siapa yang
memperdalam fiqih melalui kaidah-kaidah fikih tidak harus menghafalkan berbagai
macam cabang fiqh, karena telah tercakup oleh kulliyah". Berdasarkan dari kedua
pernyataan diatas, dapat dinyatakan beberapa faktor pendorong kemunculan qawaid
fiqhiyah:13
a. Makin bertambah banyaknya hukum fiqih, sehingga menyebabkan semakin
sulitnya menghafal hukum-hukum fiqih tersebut. Maka untuk mempermudah
menghafal dan mengidentifikasi hukum fiqh yang sangat banyak tersebut,
maka disusunlah qawaid fiqhiyah.
b. Secara praktis, kemunculan qawaid fiqhiyah didorong oleh pengalaman para
ulama di lapangan. Para ulama kadang-kadang dituntut untuk memberikan
jawaban yang cepat dan tepat terhadap pertanyaan yang diajukan kepada
mereka. Dengan kecepatan dan ketajaman pemikiran. Mereka memberikan
jawaban yang singkat dan padat. Dalam perjalanan berikutnya, jawaban
mereka disinyalir sebagai qawaid fiqhiyah.
c. Para ulama dalam menyusun qawaid fiqhiyah terinspirasi oleh sebagian teks
al-Qur'an dan Hadits yang bersifat jawami' al-Kalim (singkat padat).
Dasar ilmu kaidah fikih juga dapat dipahami melalui ucapan Nabi Saw yang
bersifat Jawami’ al-Kalim yaitu ucapan beliau yang ringkas, padat dan
mempunyai makna yang dalam. Di samping itu juga, ia menjadi dasar kepada
13
Muhammad Az-zarqa, Syarh al-Qawa`id al-Fiqhiyyah, (Damaskus: Dar al-Qalam,
1989), Cet. ke-2, hal. 125-126
7
kaidah pokok “Qawaid al-Kulliyah” yang terangkum di dalamnya hukum untuk
berbagai perkara dan macam-macam masalah furu’. Para sahabat juga berjasa
dalam ilmu kaidah fikih, mereka turut serta dalam pembentukan kaidah fikih.
Awal mula Qawaid al-Fiqhiyah menjadi disiplin ilmu tersendiri dan
dibukukan terjadi pada abad ke 4 H. Hal ini terjadi ketika kecenderungan taqlid
(mengikuti pendapat orang lain tanpa mengetahui sumber atau alasannya) maka
mulai tampak dan semangat ijtihad telah melemah karena saat itu fikih mengalami
kemajuan yang sangat pesat. Hal ini berimbas terhadap terkotak-kotaknya fikih
dalam madzhab. Ketika hukum furu’ dan fatwa para ulama semakin berkembang
seiring dengan semakin banyaknya persoalan, para ulama mempunyai inisiatif
untuk membuat kaidah dan dhabit yang dapat memelihara hukum furu’ dan fatwa
para ulama tersebut dari kesemerawutan.
2. Fungsi dan Peran Qawa'id Fiqhiyah
Di antara manfaat mempelajari al-qawaid al-fiqhiyyah yakni untuk menjadi
alat bantu bagi mujtahid, hakim, imam, dan mufti. Akan tetapi secara khusus
dalam perumusan hukum Islam, berfungsi untuk:
a. Kaidah fikih terdapat posisi yang bagus di dalam dasar-dasar syariat,
karena didalam nya terhimpun cabang-cabang yang hukumnya bisa
dikecualikan. Selain itu, masalah-masalah terkadang bisa bertentangan,
namun di bawah satu tautan dapat memudahkan untuk kembali pada kaidah
dan membuatnya supaya lebih terjangkau.
b. Memudahkan ulama selain ahli bidang fikih untuk membaca fikih Islam
dan sejauh mana ketentuan ketentuan dan kepatuhan terhadap hak dan
kewajiban.
Dalam konteks penetapan hukum, kaidah fikih berperan penting sebagai
‘pisau analisis’ mengingat permasalahan hukum di era kontemporer semakin
berkembang dan kompleks. Tentu saja, kaidah fikih tidak sendirian, dibutuhkan
juga perangkat ilmu lain untuk menghasilkan hukum yang komprehensif. Lebih
jauh, apabila hendak memunculkan kaidah-kaidah baru di dalam fikih, maka harus
ditelusuri dahulu hukum-hukum fikihnya, baru diukur akurasi kaidah tersebut
dengan ayat dan hadis. Selanjutnya, didiskusikan dan diuji oleh para ulama yang
punya kapasitas ilmu, barulah muncul kaidah yang mapan. Kaidah yang sudah
8
dinilai mapan ini bisa menjadi metode di dalam menjawab problem-problem di
masyarakat dan memunculkan fikih-fikih baru. Oleh karena itu, seseorang tidak
dengan mudah mengeluarkan kaidah-kaidah fikih, apalagi melangkah jauh seperti
berfatwa melalui ijtihad tentang suatu hukum tanpa menggunakan sederet
perangkat ilmu yang tidak sedikit.
3. Hubungan Qawaid Fiqhiyah dengan Fiqh dan Ushul Fiqh
Qawaid Fiqhiyah, fiqih, dan ushul fiqh tidak dapat dipisahkan antara satu
dengan yang lainnya. Ketiga ilmu tersebut saling terkait dengan perkembangan
fiqih, karena pada dasarnya yang menjadi pokok pembicaraan adalah fiqih. Qawaid
fiqhiyah, ushul fiqih dan qawaid ushuliyah adalah ilmu-ilmu yang berbicara tentang
fiqih. Dengan demikian, ushul fiqih adalah sebuah ilmu yang mengkaji dalil atau
sumber hukum dan metode penggalian (istinbath) hukum dari dalil atau sumbernya.
Metode penggalian hukum dari sumbernya tersebut harus ditempuh oleh orang
yang berkompeten. Hukum yang digali dari dalil/sumber hukum itulah yang
kemudian dikenal dengan nama fiqih. Jadi fiqih adalah produk operasional ushul
fiqih.14
Sebuah hukum fiqih tidak dapat dikeluarkan dari dalil/sumbernya (nash al-
Qur’an dan sunah) tanpa melalui ushul fiqih. Ini sejalan dengan pengertian harfiah
ushul fiqih, yaitu dasar-dasar (landasan) fiqih. Misalnya hukum wajib sholat dan
zakat yang digali (istinbath) dari ayat Al-Qur’an surah al-Baqarah ayat 43 yang
berbunyi:
مم م
َ يم وا ال صم َال ةَ َوآتُوا ال مز َك ا ةَ َو ْار َك عُ وا مَ عَ ال مراك ع
ِي ُ َوأَق
14
Mukhlis Usman, Kaidah-Kaidah Ushuliyah Dan Fiqhiyah Pedoman Dasar Dalam
Istinbath Hukum Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), Cet. 4, hal.79
9
10