Anda di halaman 1dari 11

RUANG LINGKUP QAWAID FIQHIYAH

Makalah ini diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Qawaid Fiqhiyah
Dosen Pengampu: Amirah Ahmad, Lc., M.E., Sy

Disusun oleh:
Dita Fadhilah Riady 18110924
Ega Nur Farizqi 18110958
Nada Susmita Septiyani 18110935

PRODI HUKUM EKONOMI SYARIAH (HES)


FAKULTAS SYARIAH DAN EKONOMI ISLAM
INSTITUT ILMU AL-QUR’AN (IIQ) JAKARTA
1442 H/2021 M
PEMBAHASAN

A. Ruang Lingkup Qawaid Fiqhiyah


1. Qawa'id Assasiyah

Pengertian kaidah asasiyah atau yang dikenal dengan al-Qawa’id al-


Kubra merupakan penyederhanaan (penjelasan yang lebih detail) dari
kaidah inti tersebut atau disebut kaidah-kaidah pokok/dasar. Dalam kaidah
asasiyah terdapat lima kaidah, kaidah tersebut diantaranya ialah:

1) Segala Perkara Tergantung Kepada Niatnya )‫دها‬ ‫)األُ م م م‬


َ ‫ور ِبقاص‬
ُُ

Kaidah ini merupakan kaidah asasiyah yang pertama. Dan kaidah ini
menjelaskan tentang niat. Niat diartikan dengan maksud melakukan sesuatu
yang disertai dengan pelaksanaanya. Niat sangat penting dalam menentukan
kualitas ataupun makna perbuatan seseorang, apakah seseorang itu
melakukan suatu perbuatan dengan niat ibadah kepada Allah atau kah dia
melakukan perbuatan tersebut bukan dengan niat ibadah kepada Allah,
tetapi semata-mata karena nafsu atau kebiasaan. Misalnya seperti, niat untuk
menikah, apabila menikah itu dilakukan dengan niat untuk menghindari dari
perbuatan zina, maka hal itu halal untuk dilakukan, tetapi jika pernikahan
itu dilakukan hanya semata-mata untuk menyiksa dan menyakiti calon
istrinya, maka hal itu haram untuk dilakukan 1.

Adapun dasar pengambilan kaidah asasiyah yang pertama mengenai


niat, diantaranya sebagai berikut:

)‫ابلنيات َواممَّنَا لك ّل ام مر ٍئ َمانَ َوى (اخرجه البخارى‬


‫م‬ ‫م‬
َ ‫إ مَّنَااأل‬
‫َعما ُل‬

Artinya: "Sesungguhnya segala amal perbuatan tergantung pada niat, dan


sesungguhnya bagi seseorang itu hanyalahapa yang ia niati". (HR. Bukhari).

1
Djazuli, Kaidah-kaidah Fiqih: Kaidah-kaidah hukum Islam dalam menyelesaikan
masalah yang praktis, (Jakarta: Kencana, 2007), hal. 34.

1
2) Keyakinan tidak bisa dihilangkan karena adanya keraguan

ّ‫قِي الَ يَُز ُال مابلش م‬


)‫مك‬ ُ ‫(اليَ م‬

Kaidah fikih yang kedua adalah kaidah tentang keyakinan dan keraguan.
Secara etimologis, al-yaqin adalah sesuatu yang menetap (al-istiqrar),
kepercayaan yang pasti (al-jazim), teguh (al-tsabit), dan sesuai dengan
kenyataan (al-muthabiq li al-waqi`).2 Adapula yang mengartikan al-yaqin
dengan ilmu tentang sesuatu yang membawa kepada kepastian dan
kemantapan hati tentang hakikat sesuatu itu, dalam arti tidak ada keraguan
lagi.3 Sedangkan as-syakk adalah keraguan antara dua masalah/peristiwa yang
berlawanan tanpa mengunggulkan salah satunya. 4 Dari sini menjadi jelaslah
bahwa sesuatu yang hanya berdasar pada perasaan atau keraguan, tidak dapat
dijadikan pedoman untuk memutuskan tentang sah atau tidaknya suatu ibadah.

Di dalam kitab-kitab fiqh banyak dibicarakan tentang hal yang


berhubungan dengan keyakinan dan keraguan. Misalnya, orang yang sudah
yakin suci dari hadats, kemudian dia ragu, apakah sudah batal wudhu’nya atau
belum? Maka dia tetap dalam keadaan suci. Hanya saja untuk ihtiyath (kehati-
hatian), yang lebih utama adalah memperbarui wudhu’nya (tajdid al-
wudhu’).5

3) Kesulitan Mendatangkan Kemudahan ( ‫ي‬ ‫م‬ ‫م‬


َ ‫التميس‬ ُ ‫(املَ َش مقةُ ََْتل‬
‫ب‬
Masyaqqah (kesulitan) secara etimologi berarti keletihan (al-juhd),
kepayahan (al‘ina’) dan kesempitan (al-syiddah). Sedangkan jalb al-syai’
berarti menggiring dan mendatangkan sesuatu dari satu tempat ke tempat
lainnya. Adapun at-taisir berarti kemudahan dalam suatu pekerjaan, tidak
memaksakan diri, dan tidak memberatkan fisik. Misalnya, kita yang sedang
menuntut ilmu dan mengalami kesulitan dalam belajar, maka jika kita

2
Muhammad Az-zarqa, Syarh al-Qawa`id al-Fiqhiyyah, (Damaskus: Dar al-Qalam, 1989),
Cet. ke-2, hal. 79
3
Muhammad Az-zarqa, Syarh al-Qawa'id al-Fiqhiyah, …., hal. 80
4
Muhammad Az-zarqa, Syarh al-Qawa'id al-Fiqhiyah, …., hal. 87
5
A. Jazuli, Kaidah-Kaidah Fikih: Kaidah-Kaidah Hukum Islam Dalam Menyelesaikan
Masalah-Masalah Yang Praktis, (Jakarta: Kencana, 2006) Cet. I, hal. 42

2
bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu, serta di barengi dengan do'a dan
ikhtiar maka insyaallah kemudahan ada kita dapati.6

4) Kemudharatan Harus Dihilangkan ( ‫( الضَمر ُار يَُز ُال‬

Menurut az-Zauhari, kata "ad-dhiraru" adalah lawan kata dari manfaat.


Oleh sebab itu, kata ini mengukuhkan pada kata yang pertama (ad-dhararu).
Tapi menurut mayoritas ulama, kedua kata itu artinya berbeda. Ibnu Hajar al-
Haitami dalam kitabnya Syarah al-Arba`in al-Nawawiyah mengatakan bahwa
kata”ad-dhararu” artinya berbuat kerusakan kepada orang lain. Sedangkan
kata "ad-dhiraru" artinya berbuat kerusakan kepada orang lain dengan tujuan
pembalasan yang tidak sesuai dengan aturan yang ditetapkan oleh agama.
Karena kata"ad-dhiraru" yang fi`il madhi-nya ikut pada wazan ‫ فاعل‬berarti
musyarakah (dua orang melakukan suatu pekerjaan).

Dari definisi tersebut, dapat ditegaskan bahwa seseorang tidak


diperbolehkan berbuat bahaya terhadap orang lain, dan membalasnya dengan
perbuatan yang bisa menimbulkan bahaya lain nya. 7 Ada contoh yang telah
diriwayatkan oleh para ahli hadits bahwa pernah seorang laki-laki memiliki
pohon di tanah orang lain, dan pemilik tanah merasa terganggu dangan adanya
pohon itu, lalu kejadian ini dilaporkan kepada Nabi. Nabi memerintahkan pada
si pemilik tanah meminta ongkos pada si pemilik pohon atau ia merelakan
pohon itu berada di tanahnya, tapi sipemilik tanah tidak melakukan hal itu.
Akhirnya Nabi mengizinkan kepada pemilik tanah untuk memotong pohon
tersebut. Setelah itu, Nabi berkata kepada pemilik pohon: "Kamu telah berbuat
dharar" (bahaya).8

5) Adat dapat dijadikan pertimbangan dalam menetapkan dan menerapkan


‫ُُمَ م‬
hukum ( ‫ك َمة‬ ُ‫ادة‬َ )
َ ‫الع‬

6
Muhammad az-Zarqa, Syarh al-Qawa`id al-Fiqhiyyah, …, hal. 157
7
Ibnu Atsir, al-Nihayah fi Gharibi al-Hadits, Jilid III, h .81
8
Ibnu Taimiyah, Majmu` al-Fatawa, Jilid XXIII, hal.104

3
Kaidah fikih asasi kelima adalah tentang adat atau kebiasaan. Menurut
A. Djazuli mendefinisikan, bahwa al-‘adah atau al-‘urf adalah “Apa yang
dianggap baik dan benar oleh manusia secara umum (al- ‘adah al-‘aammah)
yang dilakukan secara berulang-ulang sehingga menjadi kebiasaan”. ‘Urf
ada dua macam, yaitu ‘urf yang shahih dan ‘urf yang fasid. ‘Urf yang shahih
ialah apa-apa yang telah menjadi kebiasaan manusia dan tidak menyalahi
dalil syara’, tidak menghalalkan yang haram dan tidak membatalkan yang
wajib. Sedangkan ‘urf yang fasid ialah apa-apa yang telah menjadi adat
kebiasaan manusia, tetapi menyalahi syara’, menghalalkan yang haram atau
membatalkan yang wajib. Suatu adat atau ‘urf dapat diterima jika memenuhi
syarat-syarat berikut9:

a) Tidak bertentangan dengan syari'at.


b) Tidak menyebabkan kemafsadatan dan tidak menghilangkan
kemashlahatan.
2. Qawa'id Furu'iyah
Kaidah Fiqhiyyah Furu’iyah merupakan kaidah-kaidah yang dikategorikan
sebagai kaidah yang berada di luar kaidah pokok. Sementara kaidah ini juga sering
disebut sebagai kaidah cabang (terjemahan kata far’un) dari kaidah pokok
tersebut.10 Beberapa kaidah furu’iyah yang terdapat pada masing-masing kaidah
asasiyah yang berjumlah lima buah, diantaranya:11
1. Kaidah fiqhiyah furu'iyah dari kaidah yang pertama yaitu segala sesuatu

tergantung pada niatnya (‫مبقاصدها‬ ‫)األمور‬

a. ‫من استعجل شيئا قبل أوانه عوقب حبرمانه‬

Imam Musbikin, Qawa’id Al-Fiqhiyah, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001, h. 94.
9
10
Muhammad Musthafa al-Zuhaili, Al-Qawaid al-Fiqhiyyah wa Tathbiqatuha fi al-
Mazahib al-Arba’ah, (Damaskus, Dar al Fikr, 2006), h. 363.
11
Dalam kitab al-Sadlani terdapat delapan belas kaidah furuiyyah dari kaidah Al umuru bi
maqashidiha, Enam belas kaidah furuiyyah dari kaidah Al-yaqinu la yuzalu bi al-syakki, Delapan
kaidah furuiyyah dari kaidah Almasyaqqah tajlibu al-taysir, Sepuluh kaidah furuiyyah dari kaidah
al-Adat al-Muhakkam, dan tujuh kaidah furuiyyah dari kaidah la dharara wa la dhirara. Shaleh bin
Ghanim al Sidlan, Al-Qawaid al Fiqhiyyah al-Kubra wa ma Tafaara’anha, (Riyadh: Dār al Nasyri
wa al- Tauzi’, t.th.), h. 553-559.

4
"Siapa yang mempercepat sesuatu sebelum waktunya, maka menanggung
akibat tidak mendapat sesuatu tersebut". Sebagai contoh apabila seorang ahli waris
membunuh pewarisnya karena ingin segera mendapatkan harta warisan, maka dia
dihukum tidak akan mendapatkan bagian dari harta warisan tersebut. Demikian pula
dalam hal ibadah yang pelaksanaannya berkaitan dengan waktu tertentu, seperti
shalat, puasa dan haji. Orang yang melaksanakan di luar waktu, baik sebelum
ataupun sesudah, ibadah yang dilakukannya tidak sah.12

b. ‫صالح العمل بصالح النية وفساده بفساده‬


"Kebaikan sebuah perbuatan tergantung pada kebaikan niatnya" Kaidah ini
menunjukkan, bahwa rusaknya sebuah perbuatan disebabkan rusaknya niat dalam
melakukannya dan demikian pula sebaliknya, baiknya sebuah perbuatan sangat
tergantung dengan kebaikan niatnya.
2. Kaidah fiqhiyah furu'iyah dari kaidah kedua yaitu keyakinan tidak dapat

dihilangkan karena adanya keraguan (‫ابلشك‬ ‫)اليقني ال يزال‬

a. ‫ما ثبت بيقِي ال يرتفع اال بيقِي‬


"Apa yang ditetapkan dengan yakin tidak dapat dihilangkan kecuali dengan
yakin pula". Contoh dari kaidah ini adalah seseorang yang mengerjakan sholat,
namun ragu terhadap jumlah rakaat. Yang dipandang yakin adalah jumlah terkecil.
Barangsiapa ragu terhadap jumlah hutang yang telah dibayarnya, maka tetapkan
jumlah yang meyakinkannya.

b. ‫األصل بقاء ما كان على ما كان‬


"Pada dasarnya tetapnya sesuatu sebagaimana adanya". Kaidah ini
mengandung pengertian bahwa hukum yang telah ditetapkan pada waktu yang lalu

12
Dalam kitab al-Sadlani terdapat delapan belas kaidah furuiyyah dari kaidah Al umuru bi
maqashidiha, Enam belas kaidah furuiyyah dari kaidah Al-yaqinu la yuzalu bi al-syakki, Delapan
kaidah furuiyyah dari kaidah Almasyaqqah tajlibu al-taysir, Sepuluh kaidah furuiyyah dari kaidah
al-Adat al-Muhakkam, dan tujuh kaidah furuiyyah dari kaidah la dharara wa la dhirara. Shaleh bin
Ghanim al Sidlan, Al-Qawaid al Fiqhiyyah al-Kubra wa ma Tafaara’anha, (Riyadh: Dār al Nasyri
wa al- Tauzi’, t.th.), h. 553-559.

5
tentang sesuatu baik halal ataupun haram, boleh atau tidak boleh, tetap berada
dalam ketetapan hukum itu, tidak akan berubah kecuali ada dalil yang menunjukkan
perubahannya. Dalam Al-Qur'an sudah dijelaskan mengenai haramnya mendekati
zina apalagi berbuat zina.
3. Kaidah furu'iyah dari kaidah ketiga yaitu kemudharatan harus dihilangkan

)‫(الضرار يزال‬

a. ‫الضرر يدفع بقدر اإلمكان‬


"Kemudharatan itu dihindari/ditolak sebisa mungkin". Kemudharatan

hendaknya wajib dihindari sedapat mungkin sebelum terjadi, karena "mencegah"

lebih baik dari pada "mengobati".


4. Kaidah fiqhiyah furu'iyah dari kaidah keempat yaitu kesulitan mendatangkan

kemudahan )‫التيسري‬ ‫(املشقة جتلب‬

a. ‫إذا ضاق األمر اتسع‬


"Apabila timbul kesukaran maka hukumnya menjadi lapang". Kesukaran
yang dimaksud adalah kesempitan atau masyaqqah dalam melaksanakan sebuah
kewajiban, yang pada saat itu rukhsah dapat dilakukan. Jika keadaan darurat atau
yang menyulitkan itu telah hilang, maka kewajiban itu kembali sedia kala.
Misalnya, dalam keadaan sakit yang tidak memungkinkan terkena air maka
dibolehkannya untuk bertayamum.

5. Kaidah fiqhiyah furu'iyah dari kaidah kelima yaitu adat dapat dijadikan

pertimbangan dalam menetapkan dan menerapkan suatu hukum ( ‫حمكمة‬ ‫)العادة‬

a. ‫ال ينكر تغيي األحكام بتغيي األزمان واألمكنة واألحوال‬


"Tidak diingkari perubahan hukum disebabkan perubahan zaman, tempat
dan keadaan". Kaidah ini menunjukkan bahwa perubahan situasi dan kondisi
dimungkinkan berubahnya sebuah ketetapan hukum. Hal ini dimungkinkan
karena syariat ditegakkan demi kepentingan umat, sehingga situasi dan kondisi
yang menyertai dan meliputi kehidupan seorang umat dapat dijadikan dasar

6
untuk merubah ketetapan sebuah hukum. Kepentingan umat yang dimaksud
antara lain, tegaknya keadilan, tercapainya maslahah dan tercegahnya mafsadah.
B. Faktor-faktor pendorong kemunculan qawaid fiqhiyah
Menurut pernyataan Muhammad az-Zarqa (w.1357 H) dalam kitab Syarh
al-Qawa'id al-Fiqhiyah: "Seandainya tidak ada qawa'id (fiqhiyyah), tentu hukum-
hukum fiqh akan menjadi (hukum) furu' yang berserakan dan kadang-kadang
lahiriyahnya tampak saling bertentangan tanpa ada ushul (kaidah) yang dapat
mengokohkannya dalam pikiran". Dapat ditarik juga dari pernyataan Imam al-
Qarafi dalam kitabnya al-Furuq: "Siapa yang berhujjah dengan hanya menghafal
juz'iyyah nya saja, maka hujjahnya itu tidak akan ada batasnya, serta akan
menghabiskan umurnya tanpa dapat mencapai cita-cita. Sebaliknya, siapa yang
memperdalam fiqih melalui kaidah-kaidah fikih tidak harus menghafalkan berbagai
macam cabang fiqh, karena telah tercakup oleh kulliyah". Berdasarkan dari kedua
pernyataan diatas, dapat dinyatakan beberapa faktor pendorong kemunculan qawaid
fiqhiyah:13
a. Makin bertambah banyaknya hukum fiqih, sehingga menyebabkan semakin
sulitnya menghafal hukum-hukum fiqih tersebut. Maka untuk mempermudah
menghafal dan mengidentifikasi hukum fiqh yang sangat banyak tersebut,
maka disusunlah qawaid fiqhiyah.
b. Secara praktis, kemunculan qawaid fiqhiyah didorong oleh pengalaman para
ulama di lapangan. Para ulama kadang-kadang dituntut untuk memberikan
jawaban yang cepat dan tepat terhadap pertanyaan yang diajukan kepada
mereka. Dengan kecepatan dan ketajaman pemikiran. Mereka memberikan
jawaban yang singkat dan padat. Dalam perjalanan berikutnya, jawaban
mereka disinyalir sebagai qawaid fiqhiyah.
c. Para ulama dalam menyusun qawaid fiqhiyah terinspirasi oleh sebagian teks
al-Qur'an dan Hadits yang bersifat jawami' al-Kalim (singkat padat).
Dasar ilmu kaidah fikih juga dapat dipahami melalui ucapan Nabi Saw yang
bersifat Jawami’ al-Kalim yaitu ucapan beliau yang ringkas, padat dan
mempunyai makna yang dalam. Di samping itu juga, ia menjadi dasar kepada

13
Muhammad Az-zarqa, Syarh al-Qawa`id al-Fiqhiyyah, (Damaskus: Dar al-Qalam,
1989), Cet. ke-2, hal. 125-126

7
kaidah pokok “Qawaid al-Kulliyah” yang terangkum di dalamnya hukum untuk
berbagai perkara dan macam-macam masalah furu’. Para sahabat juga berjasa
dalam ilmu kaidah fikih, mereka turut serta dalam pembentukan kaidah fikih.
Awal mula Qawaid al-Fiqhiyah menjadi disiplin ilmu tersendiri dan
dibukukan terjadi pada abad ke 4 H. Hal ini terjadi ketika kecenderungan taqlid
(mengikuti pendapat orang lain tanpa mengetahui sumber atau alasannya) maka
mulai tampak dan semangat ijtihad telah melemah karena saat itu fikih mengalami
kemajuan yang sangat pesat. Hal ini berimbas terhadap terkotak-kotaknya fikih
dalam madzhab. Ketika hukum furu’ dan fatwa para ulama semakin berkembang
seiring dengan semakin banyaknya persoalan, para ulama mempunyai inisiatif
untuk membuat kaidah dan dhabit yang dapat memelihara hukum furu’ dan fatwa
para ulama tersebut dari kesemerawutan.
2. Fungsi dan Peran Qawa'id Fiqhiyah
Di antara manfaat mempelajari al-qawaid al-fiqhiyyah yakni untuk menjadi
alat bantu bagi mujtahid, hakim, imam, dan mufti. Akan tetapi secara khusus
dalam perumusan hukum Islam, berfungsi untuk:
a. Kaidah fikih terdapat posisi yang bagus di dalam dasar-dasar syariat,
karena didalam nya terhimpun cabang-cabang yang hukumnya bisa
dikecualikan. Selain itu, masalah-masalah terkadang bisa bertentangan,
namun di bawah satu tautan dapat memudahkan untuk kembali pada kaidah
dan membuatnya supaya lebih terjangkau.
b. Memudahkan ulama selain ahli bidang fikih untuk membaca fikih Islam
dan sejauh mana ketentuan ketentuan dan kepatuhan terhadap hak dan
kewajiban.
Dalam konteks penetapan hukum, kaidah fikih berperan penting sebagai
‘pisau analisis’ mengingat permasalahan hukum di era kontemporer semakin
berkembang dan kompleks. Tentu saja, kaidah fikih tidak sendirian, dibutuhkan
juga perangkat ilmu lain untuk menghasilkan hukum yang komprehensif. Lebih
jauh, apabila hendak memunculkan kaidah-kaidah baru di dalam fikih, maka harus
ditelusuri dahulu hukum-hukum fikihnya, baru diukur akurasi kaidah tersebut
dengan ayat dan hadis. Selanjutnya, didiskusikan dan diuji oleh para ulama yang
punya kapasitas ilmu, barulah muncul kaidah yang mapan. Kaidah yang sudah

8
dinilai mapan ini bisa menjadi metode di dalam menjawab problem-problem di
masyarakat dan memunculkan fikih-fikih baru. Oleh karena itu, seseorang tidak
dengan mudah mengeluarkan kaidah-kaidah fikih, apalagi melangkah jauh seperti
berfatwa melalui ijtihad tentang suatu hukum tanpa menggunakan sederet
perangkat ilmu yang tidak sedikit.
3. Hubungan Qawaid Fiqhiyah dengan Fiqh dan Ushul Fiqh
Qawaid Fiqhiyah, fiqih, dan ushul fiqh tidak dapat dipisahkan antara satu
dengan yang lainnya. Ketiga ilmu tersebut saling terkait dengan perkembangan
fiqih, karena pada dasarnya yang menjadi pokok pembicaraan adalah fiqih. Qawaid
fiqhiyah, ushul fiqih dan qawaid ushuliyah adalah ilmu-ilmu yang berbicara tentang
fiqih. Dengan demikian, ushul fiqih adalah sebuah ilmu yang mengkaji dalil atau
sumber hukum dan metode penggalian (istinbath) hukum dari dalil atau sumbernya.
Metode penggalian hukum dari sumbernya tersebut harus ditempuh oleh orang
yang berkompeten. Hukum yang digali dari dalil/sumber hukum itulah yang
kemudian dikenal dengan nama fiqih. Jadi fiqih adalah produk operasional ushul
fiqih.14
Sebuah hukum fiqih tidak dapat dikeluarkan dari dalil/sumbernya (nash al-
Qur’an dan sunah) tanpa melalui ushul fiqih. Ini sejalan dengan pengertian harfiah
ushul fiqih, yaitu dasar-dasar (landasan) fiqih. Misalnya hukum wajib sholat dan
zakat yang digali (istinbath) dari ayat Al-Qur’an surah al-Baqarah ayat 43 yang
berbunyi:

‫مم‬ ‫م‬
َ ‫يم وا ال صم َال ةَ َوآتُوا ال مز َك ا ةَ َو ْار َك عُ وا مَ عَ ال مراك ع‬
‫ِي‬ ُ ‫َوأَق‬

Artinya: “Dan dirikanlah sholat dan tunaikanlah zakat”. Firman Allah


diatas berbentuk perintah yang menurut ilmu ushul fiqih, perintah pada asalnya
menunjukan wajib selama tidak ada dalil yang merubah ketentuan tersebut.
Disamping itu qawaid fiqhiyah dapat dijadikan sebagai kerangka acuan dalam
mengetahui hukum perbuatan seorang mukalaf. Ini karena dalam menjalanklan
hukum fiqih kadang-kadang mengalami kendala-kendala.

14
Mukhlis Usman, Kaidah-Kaidah Ushuliyah Dan Fiqhiyah Pedoman Dasar Dalam
Istinbath Hukum Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), Cet. 4, hal.79

9
10

Anda mungkin juga menyukai