Anda di halaman 1dari 17

FATWA FATWA DI INDONESIA

(Fatwa, Mufti, Mustafti, Dan Ifta’)

Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Kelompok Mata Kuliah Fatwa-
Fatwa Di Indonesia

Disusun Oleh:
Alif Fachrul Rachman 11180430000118
Fitriatul Hasanah 11180430000101
Kiflan Radhina 11180430000104

Dosen Pengampu: Dr. Fuad Thohari M. Ag.

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM


PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2021 M/ 1442 H
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kemajuan akan teknologi dan ilmu pengetahun merupakan suatu hal yang
tidak dapat dihindari dari kehidupan dan perkembangan sejarah umat manusia.
Beberapa aktivitas (persoalan) yang mungkin tidak terjadi dimasa lalu atau bahkan
tidak terbayangkan sebelumnya, kini menjadi suatu kenyataan. Disatu sisi peran
manusia dalam merespon perkembangan yang demikian diwarnai dengan berbagai
macam konsep, argumentasi dan pikiran untuk menjawab tantangan zaman yang
semakin maju. Dan disisi lain umat manusia juga dihadapkan pada persoalan bahwa
perkembangan zaman tersebut harus dapat dijawab atau diselesaikan sesuai dengan
kebutuhan dan benar secara ilmiah maupun praktik.
Lebih lanjut kondisi demikian juga menjadi pertanyaan tersendiri khususnya
bagi umat islam, ketika dihadapkan pada permasalahan yang belum ada jawabannya
dalam nash-nash Alqur’an dan Hadis (sumber hukum islam). Yang kemudian secara
sekuensial memunculkan pertanyaan kepada permasalahan tersebut yaitu
bagaimanakah kedudukannya dalam pandangan dan ajaran hukum islam?1.
Dalam merespon hal tersebut para ulama dituntut untuk dapat menemukan
dalil yang selaras dengan syari’at islam agar menciptakan suatu kemaslahatan dan
menjawab semua permasalahan dewasa ini 2. Bahkan secara afirmatif para
cendekiawan muslim di Indonesia secara kolektif untuk menyatukan praktik yang
dilakukan ulama itu dengan membentuk suatu lembaga besar yang berwenang untuk
memberikan respon terhadap permasalahan kontroversial. Lembaga besar ini dikenal
dengan nama Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan produk dari lembaga tersebut
dinamakan fatwa3.
Bertalian dengan hal diatas bahwa Islam merupakan Agama yang fleksibel
dan dinamis dalam menjaga keutuhan nilai dan tujuan-tujuan dari pensyari’atan

1
Majelis Ulama Indonesia, Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia Sejak 1975.
Jakarta, Erlangga, 2011. h, 3.
2
M. Erfan Riadi, “Kedudukan Fatwa Ditinjau Dari Hukum Islam Dan Hukum
Positif (Analisis Yuridis Normatif)”. Jurnal Ulumuddin, Volume VI, Tahun IV, Januari-Juni
2010. h, 468.
3
Ibid, Lembaga MUI ini didirikan pada tanggal 07 Rajab 1395 H, atau bertepatan
dengan tanggal 26 Juli 1975 M di Jakarta.

1
(maqashid al-syari’ah), maka fatwa itulah yang menjadi elemen penting dalam
mendukung fleksibilitas ajaran Agama Islam 4. Dalam Ensiklopedi hukum Islam
fatwa diartikan sebagai petuah, nasihat, atau jawaban atas pertanyaan yang berkaitan
dengan hukum5. Sedangkan para ulama ushul fiqh mengartikan fatwa sebagai
pendapat yang dikemukakan dan sifatnya tidak mengikat (hanya sebatas anjuran) 6.
Kendati demikian, dalam pandangan Yusdani salah seorang ahli hukum islam
yang mencoba merefleksikan pemikirannya terkait fatwa dengan mengemukakan
pendapatnya bahwa fatwa yang merupakan produk ijtihad ulama memiliki peranan
penting dalam perkembangan hukum Islam 7. Hal ini dapat dipahami bahwa
membiarkan persoalan yang tidak ada jawaban dan umat dalam keadaan
kebingungan tidak dapat dibenarkan dalam Islam, baik secara i’tiqadi maupun syar’i.
Oleh karenanya para ulama dituntut untuk segera memeberikan jawaban dan
berupaya menghilangkan penantian ummat akan kepastian ajaran Islam berkenaan
dengan persoalan yang dihadapi melalui fatwa.
Berdasarkan pemaparan diatas kiranya penting untuk mempelajari dan
memperdalam pengetahuan terkait fatwa. Tidak lain hal ini dilakukan adalah dalam
rangka menambah wawasan khazanah keilmuan (hukum islam) yang dapat
bermanfaat dikemudian hari. Untuk itu melalui makalah ini yang jauh dari
kesempurnaan, pemakalah hendak menuliskan dan mempresentasikannya dengan
makalah yang berjudul Fatwa, Mufti, Mustafti Dan Ifta’
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana penjelasan mengenai Fatwa, Mufti, Mustafti Dan Ifta’?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk memberikan pemahaman kepada mahasiswa/I terkait dengan fatwa secara
komprehensif. dan dalam rangka memenuhi tugas makalah pada mata kuliah fatwa-
fatwa di Indonesia.

4
Faridatus Suhadak, “Urgensi Fatwa Dalam Perkembangan Hukum Islam”. De
Jure, Jurnal Syari’ah dan Hukum, Volume 5 Nomor 2, Desember 2013. h, 190.
5
Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta, Ichtiar baru van hoeve, 1996), h. 326
6
Ibid,
7
Sebagai upaya pengembangan hukum Islam, fatwa yang merupakan hasil dari
ijtihad di samping memerlukan suatu metodologi sistematis yang mempunyai akar Islam
yang kokoh, juga memerlukan basic theory yang lebih tegas dan konsisten. Hal ini
dimaksudkan agar produk hukum yang dihasilkan benar benar bersifat komprehensif dan
berkembang secara konsisten. Lihat untuk selengkapnya dalam Yusdani, Peranan
Kepentingan Umum dan Reaktualisasi Hukum: Kajian Konsep Hukum Islam Najmuddin Al-
Thufi, Yogyakarta: UII Press, 2000. h,3.

2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Fatwa, Mufti, Mustafi dan Ifta’
Pengertian dan Dasar Hukum Fatwa
Secara etimologi kata fatwa berasal dari bahasa Arab al-Fatwa, menurut Ibnu
Manshur kata fatwa ini merupakan bentuk mashdar dari kata fata, yaftu, fatwan,
yang bermakna muda, baru, penjelasan, penerangan. Pendapat ini hampir sama
dengan pendapat al-Fayumi yang mengartikan sebagai pemuda yang kuat. Sehingga
orang yang mengeluarkan fatwa dikatakan sebagai mufti, karena orang tersebut
diyakini mempunyai kekuatan dalam memberikan penjelasan dan jawaban terhadap
permasalahan yang dihadapinya sebagai mana kekuatan yang dimiliki oleh seorang
pemuda.
Sedangkan secara terminologi, sebagaimana dikemukakan oleh Zamakhsyri
(w. 538 H) fatwa adalah penjelasan hukum syara’ tentang suatu masalah atas
pernyataan seseorang atau sekelompok. Menurut As-Syatibi, fatwa dalam arti al-Ifta
berarti keterangan-keterangan tentang hukum syara‟ yang tidak mengikat untuk
diikuti.8
Menurut kitab Mathalib Ulin Nuha fi Syarh Ghayah al-Muntaha, pengertian
fatwa adalah menjelaskan hukum Syar’i kepada penanya dan tidak mengikat. 9
Menurut Yusuf Qardawi, fatwa adalah menerangkan hukum syara‟ dalam persoalan
sebagai jawaban atas pertanyaan yang diajukan oleh peminta fatwa (mustafti) baik
secara perorangan atau kolektif. 10
Adapun dasar hukum fatwa dalam al-Qur’an, Allah memberikan pelajaran
dengan memunculkan beberapa contoh pertanyaan, agar manusia dapat mengambil
pelajaran dan mampu menjawab sebuah pertanyaan dengan dasar-dasar pengetahuan
agamis dan ilmu pengetahuan umum yang rasional dan dapat
dipertanggungjawabkan kebenarannya.
Dalam ayat al-Qur’an banyak ditemui penggalan kata-kata; ‘yasaluunaka’,
yang berarti “mereka menanyakan sesutu kepadamu (Muhammad Saw)” atau;

8
Wahbah Zuhaily, Ushul Fiqh, (Mansyurat Kuliah Da‟wah Islamiyah,1990) hal. 98
9
Mathalib Ulin Nuha fi Syarh Ghayah al-Muntaha (darul fikr) hal. 168
10
Yusuf Qardawi, Fiqh Prioritas (Mansyurat Kuliah Da‟wah Islamiyah,1990) hal.
203

3
‘yastaftuunaka’, artinya; “mereka meminta fatwa kepadamu (Muhammad Saw)”.
Beberapa pertanyaan yang diajukan dalam al-Qur’an antara lain:

ِ ‫اس َو ْال َح‬


‫ج‬ ِ َّ‫ِي َم َواقِيْتُ لِلن‬ َ ‫اْل ِهلَّ ِة ۗ قُلْ ه‬ َ َ‫يَسـَٔلُ ْونَك‬
َ ْ ‫ع ِن‬
“Mereka bertanya kepadamu (Muhammad Saw) tentang bulan sabit.
Katakanlah bahwa ia adalah tanda waktu yang pasti buat manusia dan (untuk
menjalankan) ibadah haji”. (Al-Baqarah/2:189).
َ ‫ّللا ُي ْف ِت ْيكُ ْم فِى ْالك َٰللَ ِة ۗا ِِن ْام ُرؤٌا َهلَكَ لَي‬
ُ ‫ْس لَهٗ َولَدٌ َّولَهٗ ٓٗ ا ُ ْختٌ فَلَ َها ِنص‬
َ‫ْف َما ت ََرك‬ ُ ٰ ‫َي ْستَ ْفت ُ ْون َۗكَ قُ ِل‬
“Mereka meminta fatwa kepadamu (Muhammad Saw) tentang kalalah.
Katakanlah: Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang
meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan,
maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang
ditinggalkannya, " (Al-Nisa/4:176).
Kemudian dasar hukum fatwa dalam hadis Rasulullah. Pada beberapa
kesempatan, Rasulullah SAW memberi jawaban atas persoalan yang diajukan para
sahabat, seperti yang diajukan Abu Musa Asy’ari. Ia bertanya dan mengharap fatwa
Rasul: “Ya Rasulallah Saw; berilah aku fatwa tentang orang-orang yang suka minum
minuman keras (memabukkan). Peristiwanya terjadi ketika aku ada di Yaman. Saat
itu orang-orang Yaman mencelupkan (mencampuradukkan) suatu makanan yang
dibuat dari madu, kemudian madunya nampak menjadi anggur yang sangat kental
(yang biasanya memabukkan)”. Menjawab pertanyaan ini, Rasulullah bersabda:
٦٨ ‫كل مسكر حرام‬
“Segala sesuatu yang memabukkan adalah haram dikonsumsi”11
Pengertian Mufti
Mufti adalah Lembaga atau ulama (perorangan) yang memberikan pendapat
atau keputusan mengenai ajaran islam atas permintaan atau pertanyaan dari
seseorang atau dari kelompok (kolektif). 12 Orang yang mempunyai otoritas
memberikan fatwa disebut seorang mufti, yang merupakan para ulama dengan
kredibel yang tinggi dibidang hukum Islam, dengan berbagai persyaratan yang
mengindikasikan keilmuan dan kompetensi yang dimiliki olehnya.13
Secara filosofis, memberi fatwa berarti menyampaikan hukum Allah kepada
masyarakat. Karena itu, seseorang mufti harus mengetahui apa yang disampaikan

Fuad Thoari, Pedoman Penetapan Fatwa Bagi Da’I (Jakarta: MUI DKI Jakarta,
11

2012), hal. 61
12
Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amir, Kamus Ushul Fikih, Jakarta: Bumi
Aksara, 2009, Hlm. 62.
13
Nova Effenty Muhammad, Fatwa Dalam Pemikiran Hukum Islam, Jurnal al-
Mizan, Vol. 12, No. 1, 2016. Hal. 152

4
dan harus orang yang dikenal benar, baik tingkah lakunya dan kredibel, baik
perkataan maupun perbuatannya. Seorang mufti adalah orang yang dipercayakan
kepadanya hukum-hukum Allah untuk disampaikan kepada manusia. 14
Maka dari itu, menjadi mufti adalah suatu pekerjaan yang sangat berat
tanggung jawabnya, karena menjadi mufti adalah memberikan fatwa yang akan
dijalankan oleh orang orang yang meminta ataupun menerima fatwa itu, sehingga
mufti sangat bertanggung jawab penuh atas fatwa yang dibuatnya, dalam hadist,
rosulullah SAW bersabda:
‫من أفتي بغير علم فإثمه على من أفتى‬
“Barang siapa yang memperoleh fatwa yang tidak didasari ilmu,
maka dosa (akibat melaksanakan fatwa itu) menjadi dosa orang yang
memberikan fatwa”
Selanjutnya dalam hadis lain rasulullah saw bersabda:
‫أجرأكم على الفتيى أجرأكم على النار‬
“Kalian yang terlalu barani berfatwa bararti berani dimasukkan ke
Neraka”.15
Pelajaran yang dapat diambil dari kedua hadis diatas adalah bahwa orang
yang bisa mengeluarkan fatwa yang disebut mufti bukanlah sembarang orang, mufti
dalam Islam cukup berat dan beresiko, baik di dunia maupun di akhirat. Fatwa yang
salah dapat berakibat menyesatkan umat. Oleh karena itu, ada beberapa persyaratan
yang harus dipenuhi bagi seorang mufti, diantaranya adalah
1. Seorang mufti harus mengetahui hukum Islam secara mendalam berikut
dalil-dalilnya.
2. Seorang mufti tidak dibenarkan berfatwa hanya didasarkan keinginan dan
kepentingan tertentu atau dugaan-dugaan semata tanpa didasarkan pada
argument (dalil) yang bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Selanjutnya, menurut Imam al-Nawawi al-Dimasyqi, seorang yang dapat
menjadi mufti adalah:
1. Orang yang menguasai ilmu al-quran dan hadist
2. Menguasai hukum islam secara mendalam berikut dalil-dalilnya, baik dari
al-quran maupun hadis, dan

14
Nova Effenty Muhammad, Fatwa Dalam Pemikiran Hukum Islam, Jurnal al-
Mizan, Vol. 12, No. 1, 2016. Hal. 153.
15
Fuad Thoari, Pedoman Penetapan Fatwa Bagi Da’I (Jakarta: MUI DKI Jakarta,
2012), hal. 4

5
3. Memahami cara menggali istinbat hukum. 16
Selain itu, jumhur ulama juga telah bersepakat untuk memberi persyaratan
yang harus dipenuhi seorang mufti. Syarat-syarat tersebut mencakup syarat umum,
syarat pokok, dan syarat pelengkap. Syarat umum yakni baligh, Muslim, sehat
pikiran, dan cerdas.
Sementara, syarat pokok mencakup menguasai kandungan al-Quran beserta
ilmu-ilmunya yang mencakup ayat-ayat hukum, asbabun nuzul, nasakh- mansukh,
takwil-tanzil, makiyah–madaniyah, dan sebagainya. Selain itu juga hafal dan
menguasai berbagai hadis Nabi SAW dengan seluk-beluk asbabul wurud,
periwayatan, ilmu mustalah, dan sebagainya. Seorang mufti juga harus mahir
berbahasa Arab berikut dengan kaidah-kaidah dan pengetahuan tentang literatur
bahasa, yaitu ilmu nahwu-sharaf, balaghah, mantiq, bayan, ma'ani, adab, fiqhul
lughah, dan sebagainya. Selanjutnya, mufti harus memahami dan menguasai ilmu
ushul fiqh beserta qawaid fiqhiyyahnya.
Sedangkan, syarat-syarat pelengkap yakni berwawasan luas, mengetahui
seluk-beluk khilafiyah, serta punya kompetensi untuk berijtihad dalam masalah yang
belum ada pemecahannya dari segi hukum, karena fatwa merupakan produk dari
sebuah ijtihad yang didefenisikan sebagai usaha sungguh-sungguh dalam
menggunakan segala kesanggupan untuk mengeluarkan hukum syara' dari kitabullah
dan hadis Rasul.17
Pada masa sahabat sampai pada masa tabi’in dimungkinkan seorang ulama
(perorangan) memehui persyaratan untuk bisa menjadi mufti karena pada zaman itu
banyak ulama yang menguasai Ilmu Ilmu agama secara keseluruhan, akan tetapi,
realitasnya pada zaman sekarang, penguasaan terhadap Ilmu agama semakin terpisah
pisah, sehingga yang mempunyai otoritas untuk memberikan fatwa adalah Lembaga
Lembaga yang didalamnya mempunyai ulama ulama yang menguasai bidang
ilmunya masing masing, sehingga melengkapi satu sama lain dan dapat
mengeluarkan fatwa yang dapat dipertanggungjawabkan, seperti Majelis Ulama

16
Fuad Thoari, Pedoman Penetapan Fatwa Bagi Da’I (Jakarta: MUI DKI Jakarta,
2012), h, 5.
17
Martunis, Kedudukan Lembaga Fatwa (Studi Perbandingan Lembaga Fatwa
dalam Hukum Islam dengan Komisi Fatwa Majelis Permusyawaratan Aceh), Skripsi.
2017.Hal. 25.

6
Indonesia (MUI), Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Persatuan Islam (persis)
dll.18
Pengertian Mustafti
Mustafti, artinya individu atau kelompok yang mengajukan pertanyaan atau
meminta fatwa.19 Pada dasarnya, siapapun boleh meminta fatwa hukum yang ia tidak
ketahui, namun para ulama telah menetapkan dua syarat atau kriteria utama bagi
mustafti yaitu:
1. Bukan mujtahid. Artinya ia tidak memiliki kemampuan untuk melakukan
ijtihad terhadap sebuah kasus hukum atau ia memang tidak pernah
mendapatkan pengetahuan agama maupun wawasan dalam fikih.
2. Telah diwajibkan untuk mengetahui hukum syara’, dengan kata lain
sudah mukallaf dan sudah baligh.
Selain dua syarat utama tersebut, seorang mustafti juga disyaratkan untuk
mengetahui kualitas mufti. Kualitas tersebut meliputi kualitas intelektual dan
keagamaan. Mengenai wajibnya seorang mustafti untuk mengetahui hal tersebut,
para ulama terbagi ke dalam dua pendapat:
1. Segolongan ulama berpendapat bahwa mustafti wajib menelusuri
kesempurnaan syarat-syarat seorang mufti lalu meyakinkan bahwa semua
syarat sudah terpenuhi oleh mufti tersebut.
2. Mayoritas ulama hanya menyaratkan bahwa mustafti cukup mengetahui
sifat adil dan kualitas pengetahuan mufti tersebut tentang masalah yang ia
ajukan. Pendapat ini tidak seketat pendapat pertama sehingga
meringankan bagi mustafti
Ibnu ‘Aqil mengemukakan adanya pendapat lain di luar dua pendapat
tersebut, yaitu:
1. Sekelompok ulama mengatakan bahwa mustafti tidak diwajibkan untuk
meneliti pemenuhan syarat-syarat mufti sehingga ia boleh bertanya atau
meminta fatwa kepada siapa saja.

18
Fuad Thoari, Pedoman Penetapan Fatwa Bagi Da’I (Jakarta: MUI DKI Jakarta,
2012), hal. 7
19
Soleh Hasan Wahid, Dinamika Fatwa, Dari Klasik ke Kontemporer (Tinjauan
Karakteristik Fatwa Ekonomi Syariah DSN-MUI), Jurnal Pemikiran Hukum Islam, Vol. 10,
No. 2, 2019. Hal. 196.

7
2. Mampu melakukan tarjih saat diperlukan. Jika fatwa yang ditetapkan
kepada mustafti berbeda antara mufti yang satu dengan yang lain, maka
ulama berpendapat bahwa ia wajib berijtihad untuk mengetahui pendapat
terkuat dan mengamalkan pendapat tersebut. Pendapat lain menyebutkan
bahwa mustafti tidak diwajibkan mencari pendapat terkuat, tetapi cukup
memilih pendapat mana yang ia kehendaki atau memilih fatwa yang lebih
ringan atau lebih berat untuk berhati-hati.
3. Mengamalkan fatwa yang disampaikan kepadanya.20
Pengertian Ifta’
Kata ifta' adalah masdar dari kata afta, yufti, Ifta’an, adapun kata futya, atau
fatwa adalah isim masdar dari afta, hanya saja kata futya lebih sering digunakan oleh
orang Arab sebagaimana yang dinukil oleh Ibn Mandzur dalam lisanya. 21
Adapun pengertian Ifta' secara etimologi adalah al-Ibanah (penjelasan), yaitu
memberikan penjelasan kepada orang lain. 22 Atas dasar ini, Ifta' berarti memberikan
penjelasan kepada orang lain yang menanyakan suatu hal. Usamah 'Umar al-Asyqar
menambahkan bahwa ifta' bukan hanya sekedar memberikan penjelasan kepada
orang lain, tetapi juga memberikan pertolongan dan petunjuk kepada orang yang
meminta fatwa (Mustafti), atau menunjukkan jalan yang harus dilalui oleh mustafti
untuk keluar dari permasalahan yang dihadapinya. Hal ini seperti yang dijelaskan
oleh Allah ketika menceritakan tentang kerajaan Ratu Saba' ketika menerima surat
dari Raja Sulaiman as.
َ ‫ط ع َ ة ً أ َ ْم ًر ا‬
‫ح ت َّ ٰى ت َ شْ هَ د ُو ِن‬ ُ ْ ‫ق َ ا ل َ تْ ي َ ا أ َ ي ُّ هَ ا ال ْ َم ََل ُ أ َ ف ْ ت ُو ن ِي ف ِي أ َ ْم ِر ي َم ا ك ُ ن‬
ِ ‫ت قَا‬
"Berkata dia (Balqis): "Hai para pembesar berilah aku pertimbangan
dalam urusanku (ini) aku tidak pernah memutuskan sesuatu persoalan
sebelum kamu berada dalam majelis (ku)".
Adapun pengertian Ifta' secara terminologi adalah: memberikan keterangan
hukum Allah swt berdasarkan dalil Syari'. (al-Ikhbar 'an Hukmillah bidalilin
Syar'iyyin). Dari definisi di atas kita bisa mengambil sebuah kesimpulan bahwa yang
dimaksud dengan al-Ifta' adalah mengeluarkan keterangan hukum Allah swt sesuai

20
Mayyadah, Kaidah Fleksibilitas Fatwa (Studi Terhadap Fatwa-Fatwa Ulama
Kontemporer), Tesis UIN Alaudin Makasar, 2013. Hal. 41.
21
Ibn Mandzur, Lisa nul Arab, (Kairo: Dar al-Hadits li Al-Tiba’ah wa al-Nashr wa
al-Tauzi’, 2005)
22
Fakhruddin al-Razi, Mukhtar al-Sihah, (Kairo: Dar al-Salam li al-Nashr wa al-
Tawzi', 2008), hal. 237.

8
dengan dalil shari' (al-Qur'an dan al-Sunnah), maka memberikan fatwa yang tanpa
didasari dalil al-Qur'an dan al-Sunnah bukan dinamakan dengan Ifta'. 23
B. Fatwa Dalam Pandangan Ulama: Pengertian, Kedudukan, Dan
Urgensinya Terhadap Perkembangan Hukum Islam
Secara historis institusi fatwa sebenarnya sudah diperkenalkan oleh Nabi
sejak islam mulai berkembang ke daerah lain. Ibnu qayyim dalam kitabnya I’lam
almuwaqi’in sebagaimana dikutip oleh Muhammad Jamal Al-din Al-qasimi
menyebutkan bahwa Nabi bersedia menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan
kepadanya dan membuat keputusan hukum terhadapnya24.
Secara tidak langsung praktik demikian dalam pandangan Muhammad Jamal
disebutnya (disamakan) dengan fatwa. Lebih lanjut jawaban (fatwa) Nabi tersebut
didasarkan pada kitab Allah, atau terkadang didasarkan pada ijtihad Nabi sendiri
sesuai dengan bimbingan dan petunjuk dari Allah SWT. Namun demikian, bentuk
yang kedua ini dalam pandangan Sayyid Nizamuddin disebutnya sebagai hadis 25.
Bertalian dengan hal diatas, Yusuf Qardawi mengartikan fatwa sebagai
jawaban mengenai suatu kejadian atau peristiwa (memberikan jawaban yang tegas
terhadap segala peristiwa yang terjadi dimasyarakat) 26. Senada dengan Qardawi,
Abdul Aziz Dahlan secara lugas mendefiniskan fatwa sebagai pendapat (jawaban)
yang dikemukakan seorang mujathid atas pertanyaan yang diajukan oleh peminta
fatwa (mustafti)27.
Secara lebih operasional Zamakhysri mengartikan fatwa adalah penjelasan
hukum syara' tentang suatu masalah atas pertanyaan seseorang atau kelompok. Lebih
spesifik Imam Asy-Syatibi sebagaimana dikutip oleh Wahbah Zuhaily menjelaskan

23
Ibn Hamdan, Sifatul Mufti wa al-Mustafti, (Damaskus: Mansyuratul Maktabah al-
Islami, 1380),12, lihat juga Sulaiman al-Asqar, al-Futya wa manahij l-Ifta, (Kuwait:
Maktabah Mannar al- Islami, 1976), hal 9.
24
Muhammad Jamal Al-Qasimi, Al-Fatwa Fil Al-Islam, Beirut: Dar al-kutub al-
ilmiyah, 1986. h, 31.
25
Sayyid Nizamuddin, Fatwa Of Condemnation: Islam And The Limit Of Dissent,
Kuala Lumpur: ISTAC-IIUM, 2006. h, 53.
26
Yusuf Qardawi, Fiqh Prioritas, (Mansyurat Kuliah Da’wah islamiyah), 1990. h,
5.
27
Mustafti dapat bersifat indvidual, institusi atau kelompok masyarakat. Lihat
Abdul Aziz Dahlan, et.al., Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta : Ichtiar Baru van Hoeve,
1996). h, 326.

9
fatwa dalam arti ifta’ berarti keterangan-keterangan tentang hukum syara' yang tidak
mengikat untuk diikuti (hanya bersifat anjuran) 28.
Selanjutnya, pada tataran konseptual kedudukan fatwa memiliki posisi yang
sangat penting dan strategis, karena fatwa merupakan pendapat yang dikemukakan
oleh ahli hukum Islam (fuqaha) tentang kedudukan hukum suatu masalah baru yang
muncul dikalangan masyarakat29. Ketika muncul suatu masalah baru yang belum ada
ketentuan hukumnya secara eksplisit (tegas), baik dalam al-Qur’an, as-Sunnah dan
ijma’ maupun pendapat-pendapat fuqaha terdahulu, maka fatwa merupakan salah
satu institusi normatif yang berkompeten menjawab atau menetapkan kedudukan
hukum masalah tersebut30.
Sehubungan dengan hal di atas, maka fatwa bisa diartikan sebagai penjelasan
hukum syariat atas persoalan tertentu, sehingga kaidah pengambilan fatwa tidak
ubahnya dengan kaidah menggali hukum-hukum syariat dari dalil-dalil syariat
(ijtihad)31. Berdasarkan hal tersebut, dapat ditelisik bahwa kedudukan fatwa dalam
sistem hukum islam merupakan hasil dari ijtihad kolektif. Akan tetapi tidak bisa serta
merta dapat dipersamakan dengan ijma’, mengingat para ulama yang berperan dalam
ijtihad kolektif (fatwa) tersebut tidak meliputi seluruh ulama yang menjadi
persyaratan bagi suatu ijma’.

28
Wahbah Zuhaily, Ushul Fiqh, (Mansyurat Kuliah Da’wah Islamiyah, 1990. h, 98.
29
Imam Asy-Syatibi turut serta memberikan pandangannya terkait dengan
pentingnya fatwa dalam kehidupan masyarakat, karena fatwa dikeluarkan oleh mufti
(pemberi fatwa), sebab seorang mufti berkedudukan sebagai khalifah dan pewaris Nabi
SAW, sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh Abud Daud dan Tirmidzi bahwa “ulama
merupakan ahli waris para Nabi” dalam menyampaikan hukum syariat, mengajar manusia,
dan memberi peringatan kepada mereka agar sadar dan berhati-hati. Lihat untuk
selengkapnya dalam Yusuf Qardhawi, Fatwa Antara Ketelitian Dan Kecerobohan. Jakarta:
Gema Insani Press, 1997. h, 13.
30
Karena kedudukannya yang dianggap dapat menetapkan hukum atas suatu kasus
atau masalah tertentu, maka para sarjana barat ahli hukum Islam mengkategorikan fatwa
sebagai jurisprudensi Islam. Lihat dalam M. Erfan Riadi, “Kedudukan Fatwa Ditinjau
Dari”…….., h, 472.
31
Kendati demikian, antara fatwa dan ijtihad memiliki beberapa perbedaan. Riyfal
Ka’bah sebagaimana dikutip oleh H. Uyun Kamiladuddin dan Shiddieq menerangkan bahwa
fatwa lebih spesifik dari pada ijtihad karena ijtihad adalah istinbath hukum, baik ada maupun
tidak ada persoalan atau pertanyaan. Berbeda dengan Fatwa yang lebih bersifat kasuistik
karena ia merupakan respon atas pertanyaan yang diajukan oleh peminta fatwa. Ungkapan
demikian didukung oleh pandangan Erfan Riadi sebagaiman mengutip Amir Syarifuddin
yang menyatakan bahwa fatwa lebih khusus dari pada ijtihad. Kekhususan itu adalah fatwa
dilakukan setelah ada seseorang bertanya, sedang ijtihad dilakukan tanpa menunggu adanya
pertanyaan dari pihak manapun. Lihat M. Erfan Riadi, “Kedudukan Fatwa Ditinjau
Dari”……, h. 473.

10
Lebih lanjut, bahwa kegiatan ijtihad kolektif ini dimungkinkan untuk
dilakukan beberapa kali oleh pelaku yang berbeda pada waktu dan tempat yang
berlainan pula sehingga hasil temuan hukumnya dimungkinkan ada perbedaan antara
satu dengan yang lainnya, meskipun terhadap permasalahan yang sama. Berbeda
halnya dengan ijma’ yang tidak memberikan kesempatan untuk berbeda pendapat
karena semua ulama telah sepakat, sehingga fatwa bukan merupakan ijma’, dan
dimungkinkan bagi masyarakat untuk menerimanya atau tidak sebuah fatwa.
Kendati demikian, secara tidak langsung fatwa memberikan kontribusi nyata
dan memiliki urgensitas dalam perkembangan hukum Islam. Mengingat Agama
islam merupakan agama yang dinamis dan fleksibel dalam merespon berbagai
permasalahn baru, khususnya yang terjadi dewasa ini. Maka dengan adanya fatwa
yang menjadi salah satu instrumen dalam menunjang dinamisasi ajaran Agama
Islam, sudah seharusnya dilakukan dengan penuh ketelitian, kecermatan dan
keakuratan dalam menyelesaikan persoalan dimasyarakat.
C. Pendapat Pemakalah
Dalam pembahasan ini pemakalah akan berusaha untuk memberikan
pendapat mengenai pengertian fatwa dan juga kedudukan hukum bagi fatwa.
sebelum menjelaskan kedudukan hukum fatwa, maka pemakalah akan terlebih
dahulu menjelaskan sedikit mengenai pengertian fatwa. Ulama-ulama Ushul Fiqh
berpendapat bahwa fatwa adalah pendapat atau jawaban dari seorang mujtahid atas
pertanyaan yang diajukan oleh seseorang (mustafti) terhadap suatu permasalahan dan
sifat fatwa itu tidak mengikat.32 As-Syatibi juga berpendapat bahwa fatwa adalah
keterangan keterangan tentang hukum syara yang tidak mengikat untuk diikuti. 33
Dari dua pendapat diatas mengenai pengertian fatwa maka pemakalah
berpendapat bahwa fatwa adalah suatu jawaban dari ulama atas pertanyaan yang
diajukan kepadanya, dan sifatnya tidak mengikat, orang yang bertanya boleh
mengikuti fatwa tersebut, boleh juga tidak mengikuti.
Jika dilihat secara normative yuridis. Fatwa bukan merupakan salah satu
produk hukum yang memiliki kekuatan hukum mengikat, hal tersebut dikarenakan

32
M. Erfan Riadi, ‘Kedudukan Fatwa Ditinjau Dari Hukum Islam Dan Hukum
Positif’, Ulumuddin, 6.4 (2010), 468–77. hlm. 473.
33
Slamet Suhartono, "Eksistensi Fatwa Majelis Ulama Indonesia Dalam Perspektif
Negara Hukum Pancasila", Al-Ihkam: Jurnal Hukum & Pranata Sosial, 12.2 (2018). hlm.
450.

11
pada Undang-undang no. 12 Tahun 2011 yang selanjutnya telah direvisi menjadi UU
no 15 tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan pasal 7 dan
juga pasal 8 tidak mencamtumkan fatwa sebagai salah satu peraturan yang memiliki
kekuatan hukum mengikat.34 Hal demikian pun didukung kuat oleh pandangan
Sudikno Mertokusumo yang menyatakan bahwa peraturan perundang-undangan akan
berlaku dan memiliki kekuatan mengikat jika memiliki unsur yuridis, sosiologis, dan
filosofis. Sedangkan fatwa hanya memiliki unsur sosioligis dan filosofis sehingga
tidak bisa menjadi sumber hukum yang mengikat35
Adapun kedudukan fatwa dalam hukum islam, Menurut Ibnu ‘Aqil, ada
beberapa pendapat terkait dengan kedudukan hukum Fatwa dalam hukum islam
diantaranya:
1. Sebagian ulama berpendapat bahwa mustafti tidak wajib mengamalkan
fatwa kecuali jika mufti mewajibkan kepadanya.
2. Ia wajib mengamalkannya jika memang fatwa tersebut mewajibkan untuk
diamalkan.
3. Jika ia yakin bahwa fatwa tersebut sah atau benar maka ia wajib
mengamalkannya.
4. Jika ia tidak menemukan fatwa berbeda dari mufti lain, maka ia wajib
mengamalkannya. Kecuali jika ia menemukan fatwa berbeda, maka ia
boleh tawaqquf atau berijtihad memilih salah satu dari keduanya.
5. Tidak serta-merta menerima fatwa kecuali jika hatinya sudah yakin
terhadap keabsahan fatwa tersebut. Jika mustafti ragu-ragu, tidak yakin,
atau ia mengetahui bahwa fatwa tersebut tidak sejalan dengan nash maka
ia tidak boleh menerima atau mengamalkan fatwa itu. Pada kasus ini,
mustafti wajib bertanya ke beberapa mufti lain hingga hatinya benar-
benar tenang menerima fatwa tersebut. 36
Pemakalah berpendapat bahwa dalam hukum islam, fatwa tidak memiliki
kekuatan hukum yang mengikat, walaupun fatwa tersebut adalah hasil ijtihad
kolektif dari sebuah Lembaga yang mempunyai otoritas untuk mengeluarkan fatwa,

34
Slamet Suhartono, "Eksistensi Fatwa Majelis Ulama Indonesia…..., hlm. 458.
35
Slamet Suhartono, "Eksistensi Fatwa Majelis Ulama Indonesia……, hlm. 456.
36
Mayyadah, Kaidah Fleksibilitas Fatwa (Studi Terhadap Fatwa-Fatwa Ulama
Kontemporer), Tesis UIN Alaudin Makasar, 2013. Hal. 42.

12
dalam hal ini pemakalah mengambil pendapat Muhammad Abduh bahwa fatwa yang
dikeluarkan dari sebuah Lembaga sebenarnya masih bersifat individual, karena
dalam Lembaga tersebut hanya berisikan ulama-ulama dari daerah itu, sehingga hasil
ijtihadnya tidak bisa disamakan dengan hasil ijtihad dari sebuah ijma’ ulama. 37

37
Khoiruddin Nasution, ‘Dasar Wajib Mematuhi Undang-Undang Perkawinan
(UUP): Studi Pemikiran Muhammad Abduh’, Islamic Family Law, 1.1 (2019).

13
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Fatwa yang merupakan petuah, nasihat ataupun anjuran, memiliki nilai yang
sangat elementer dalam lalu lintas kehidupan manusia khususnya bagi umat Islam.
Hal ini dikarenakan praktik fatwa dilakukan oleh para ulama yang memilki kadar
kualitas dan keilmuan yang sudah tidak diragukan lagi. Terlebih dewasa ini di
Indonesia telah dibentuk suatu lembaga yang berwenang dan memiliki kompetensi
untuk melakukan fatwa.
Lebih lanjut bahwa kedudukannya dalam hukum Islam, fatwa diposisikan
kedalam ijtihad kolektif yang pada hakikatnya menjadi sebuah lentera (jawaban)
dikegelapan (permasalahan) yang dirasa cukup kontroversial. Namun sekalipun
fatwa yang digolongkan kedalam ijtihad kolektif para ulama, tidak memiliki
kekuatan hukum yang mengikat. Begitupun kedudukan fatwa dalam tataran normatif
yurudis (perundang-undangan), tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat,
karena tidak memiliki legitimasi sebagaimana yang diatur dalam pasal 7 dan pasal 8
Undang-undang Nomor 15 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Undang-undang
Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

14
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Al-Asqar Sulaiman, Al-Futya wa manahij Al-Ifta, Kuwait: Maktabah Mannar
al- Islami, 1976.
Al-Razi Fakhruddin, Mukhtar al-Sihah, (Kairo: Dar al-Salam li al-Nashr wa
al-Tawzi', 2008.
Al-Qasimi, Muhammad Jamal, Al-Fatwa Fil Al-Islam, Beirut: Dar al-kutub
al-ilmiyah, 1986.
Dahlan, Abdul Aziz. Ensiklopedi Hukum Islam. Jakarta : Ichtiar Baru van
Hoeve, 1996.
Hamdan Ibu, Sifatul Mufti wa al-Mustafti, Damaskus: Mansyuratul Maktabah
al-Islami, 1380.
Jumantoro, Totok dan Samsul Munir Amir, Kamus Ushul Fikih, Jakarta:
Bumi Aksara, 2009.
Mandzur Ibn, Lisa nul Arab, Kairo: Dar al-Hadits li Al-Tiba’ah wa al-Nashr
wa al-Tauzi’, 2005.
Majelis Ulama Indonesia, Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia Sejak
1975. Jakarta, Erlangga, 2011.
Nizamuddin Sayyid, Fatwa Of Condemnation: Islam And The Limit Of
Dissent, Kuala Lumpur: ISTAC-IIUM, 2006.
Qardhawi, Yusuf. Fiqh Prioritas. Mansyurat Kuliah Da‟wah Islamiyah,1990.
Qardhawi, Yusuf. Fatwa Antara Ketelitian Dan Kecerobohan. Jakarta: Gema
Insani Press, 1997.
Thoari, Fuad. Pedoman Penetapan Fatwa Bagi Da’I. Jakarta: MUI DKI
Jakarta, 2012.
Yusdani, Peranan Kepentingan Umum dan Reaktualisasi Hukum: Kajian
Konsep Hukum Islam Najmuddin Al-Thufi, Yogyakarta: UII Press,
2000.
Zuhaily, Wahbah. Ushul Fiqh. Mansyurat Kuliah Da‟wah Islamiyah,1990.

Jurnal
Martunis. Kedudukan Lembaga Fatwa (Studi Perbandingan Lembaga Fatwa
dalam Hukum Islam dengan Komisi Fatwa Majelis Permusyawaratan
Aceh), Skripsi. 2017. Mayyadah, Kaidah Fleksibilitas Fatwa (Studi
Terhadap Fatwa-Fatwa Ulama Kontemporer), Tesis UIN Alaudin
Makasar, 2013.
Muhammad, Nova Effenty. Fatwa Dalam Pemikiran Hukum Islam, Jurnal
al-Mizan, Vol. 12, No. 1, 2016.
Nasution, Khoiruddin. ‘Dasar Wajib Mematuhi Undang-Undang Perkawinan
(UUP): Studi Pemikiran Muhammad Abduh’, Islamic Family Law,
1.1 (2019)

15
Riadi, M. Erfan, “Kedudukan Fatwa Ditinjau Dari Hukum Islam Dan Hukum
Positif (Analisis Yuridis Normatif)”. Jurnal Ulumuddin, Volume VI,
Tahun IV, Januari-Juni 2010.
Suhartono, Slamet, ‘Eksistensi Fatwa Majelis Ulama Indonesia Dalam
Perspektif Negara Hukum Pancasila’, Al-Ihkam: Jurnal Hukum &
Pranata Sosial, 12.2 (2018).
Suhadak, Faridatus, “Urgensi Fatwa Dalam Perkembangan Hukum Islam”.
De Jure, Jurnal Syari’ah dan Hukum, Volume 5 Nomor 2, Desember
2013.
Wahid, Soleh Hasan. Dinamika Fatwa, Dari Klasik ke Kontemporer
(Tinjauan Karakteristik Fatwa Ekonomi Syariah DSN-MUI), Jurnal
Pemikiran Hukum Islam, Vol. 10, No. 2, 2019.

Lain-Lain
Mayyadah, Kaidah Fleksibilitas Fatwa (Studi Terhadap Fatwa-Fatwa Ulama
Kontemporer), Tesis UIN Alaudin Makasar, 2013. Hal. 42.
Martunis, Kedudukan Lembaga Fatwa (Studi Perbandingan Lembaga Fatwa
dalam Hukum Islam dengan Komisi Fatwa Majelis Permusyawaratan
Aceh), Skripsi. 2017.

16

Anda mungkin juga menyukai