Anda di halaman 1dari 11

HUKUM PERDATA ISLAM DI INDONESIA BIDANG WASIAT

(Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum Perdata Islam di
Indonesia dan dalam rangka memberikan penjelasan yang komprehensif terkait
dengan wasiat)

Dosen Pengampu:

Dr. Hj. Mesraini, S.H., M.Ag

Disusun Oleh Kelompok 10 Hukum Perdata Islam di Indonesia

Alif Fachrul Rachman 11180430000118

Fitri Rahmayati 11180430000019

Moh Fawaid Rahman 11180430000129

PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

1442 H/ 2020 M

1
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Berbicara mengenai wasiat tidak terlepas dari sutau hal yang nantinya akan
kita alami bersama yakni kematian. Dalam hal kematian yang merupakan sutau
peristiwa hukum, secara sekuensial akan menimbulkan akibat hukum baru yakni
berupa kewarisan dengan adanya hak dan kewajiban antara pewaris dan ahli waris1.
Lebih lanjut dalam hal kewarisan islam jika terhadap pewaris terdapat hutang
ataupun zakat yang belum dibayarkan atau dilunasi sedangkan si pewaris telah
meninggal, maka berdasarkan ajaran islam mengharuskan dilunasi atau dibayarkan
terlebih dahulu.2 Kemudian, setelah hal tersebut dilakukan barulah diadakan
pembagian dan peralihan harta peninggalannya kepada ahli waris.
Pembagian harta yang demikian tidak hanya dilihat dari sudut pandang ahli
waris ansikh yang menerima harta peninggalan pewaris, tetapi juga perihal yang
menghalangi ahli waris untuk mendapatkan harta peninggalan pewaris melalui wasiat
wajibah. Terlepas dari pembagian harta peninggalan, dalam hal kewarisan islam juga
diatur mengenai peralihan harta peninggalan oleh karena peristiwa kematian pewaris.
Tata cara peralihan harta peninggalan pewaris kepada ahli waris juga dapat dilakukan
dengan cara wasiat.3
Pembahasan mengenai wasiat menjadi suatu hal yang penting untuk dipelajari
dan dikaji secara mendalam, mengingat wasiat sangat dibutuhkan ketika seseorang
berhadapan dengan kematian yang memungkinkan untuk berwasiat manakala terdapat
suatu harta yang hendak diwasiatkan. Fenomena demikian lazim terjadi dan
dibutuhkan pengkajian lebih lanjut untuk menentukan calon penerima wasiat maupun
syarat-syarat dan rukun yang melekat dengan pewasiat itu sendiri.
Perihal wasiat, Al-Qur;an mengatur antara lain terdapat didalam surat Al-
Baqarah ayat 180 yang menyatakan “bahwa kalau kamu meninggalkan harta yang

1
Amir Syarifudin, Hukum Kewarisan Islam (Jakarta : Kencana, 2008). Halaman 57.
2
Lihat Hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu majah yang berbunyi ‫عن ابى هريرة قال قال رسول هللا‬
‫ ملسو هيلع هللا ىلص نفس المؤمن معلق بدينه حتى يقضى عنه‬artinya adalah Dari Abi Hurairah, dia berkata; “Diri seorang
mukmin terikat dengan hutangnya hingga dibayarkan dari padanya (H.R. Ibnu Majah). Namun
demikian jika seoarang ahli waris tidak sanggup untuk melunasi hutang-hutangnya, maka
berdasarkan Hadis Rasulullah yang lainnya tidak mengharuskan untuk melunasinya, hal ini akan
menjadi tanggung jawab negara yang diambil dari pos Al-Garimin sesuai dengan firman Allah
SWT yang terdapat dalam surat At-Taubah ayat 60.
3
Moh. Muhibbin, Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam: Sebagai Pembaharuan Hukum
Positif di Indonesia (Jakarta : Sinar Grafita, 1994). Halaman 45.

2
banyak, diwajibkan bagi kamu apabila tanda-tanda kematian datang kepadamu, untuk
berwasiat kepada ibu bapak dan karib kerabatnya secara baik”. Dalam ayat tersebut
secara explisit mengandung arti bahwa wasiat adalah kewajiban orang-orang yang
bertakwa kepadanya4.
Begitupun pada ayat 240 masih dalam surat yang sama (Al-Baqarah) Allah
SWT berfirman yang artinya bahwa “orang yang meninggalkan isteri atau isteri-isteri
hendaklah berwasiat bagi isteri atau isteri-isterinya berupa nafkah selama setahun dan
tidak boleh dikeluarkan dari rumah tempat tinggalnya selama itu”.
Selain nash dalam Al’Qur’an ketentuan mengenai wasiat juga disebutkan
dalam Hadis Rasulullah SAW. Hal demikian dapat dilihat dalam sebuah hadis yang
diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim, dari Ibnu Umar Ra. Berkata:
Telah bersabda Rasulullahi SAW bahwa hak bagi seorang muslim yang memiliki
sesuatu yang hendak diwasiatkan, sesudah bermalam selama dua malam, tiada lain
wasiatnya itu tertulis amal kebajikannya”.5
Berdasarkan pemaparan diatas, penting kiranya untuk mengkaji secara
komprehensif dan mendalam mengenai wasiat, tidak lain manfaat mempelajari hal
tersebut tidak terlepas dari realita dan fakta (wasiat) yang mungkin akan terjadi pada
diri kita masing-masing (dikemudian hari), oleh karenanya melalui makalah ini yang
jauh dari kesempurnaan, pemakalah hendak menuliskan dan mempersentasikannya
dengan makalah yang berjudul Hukum Perdata Islam di Indonesia Bidang Wasiat.

Rumusan Masalah
1. Bagaimana pengertian, rukun, syarat dan batalnya serta pencabutan terhadap
wasiat, kemudian siapa saja yang tidak boleh menerima wasiat?
2. Bagaimana penjelasan terhadap wasiat wajibah?

Tujuan Penulisan
1. Untuk memberikan pemahaman kepada mahasiswa/i terkait dengan wasiat
dalam hukum perdata islam di Indonesia.
2. Serta untuk mengetahui persoalan mengenai wasiat wajibah secara
komprehensif.

4
Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Juz ke-1, Jakarta, Penerbit Lentera Hati. 2001. Halaman
372.
5
Sayyid Quthub, Tafsir Fi Zhilalil Qur’an, Beirut, Kitab Al-Aarabi 1973. Halaman 216-217.

3
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Wasiat
Secara etimologi kata wasiat berasal dari bahasa arab yakni al-washiyah, yang
memiliki arti pesan, perintah, dan nasihat.6 Sedangkan secara terminolgi menurut
Ulama’ fiqh wasiat diartikan dengan “penyerahan harta secara sukarela dari seseorang
kepada pihak lain yang berlaku setelah orang tersebut wafat, baik sesuatu tersebut
berupa barang ataupun manfaat.7
Senada dengan hal tersebut Sayyid Sabiq mendefiniskan wasiat merupakan
kata yang diambil dari waṣhaitu asy-syaia artinya Auṣhaltuhu atau yang dalam bahasa
indonesianya (aku menyampaikan sesuatu). Maka mushi (orang yang berwasiat)
adalah orang yang menyampaikan pesan di waktu dia hidup untuk dilaksanakan
sesudah dia mati.8
Lebih lanjut Wahbah Zuhaili mengartikan wasiat sebagai janji kepada orang
lain untuk melaksanakan suatu pekerjaan tertentu semasa hidupnya (wasiat khusus)
atau setelah meninggalnya (wasiat umum)9. Namun kiranya dari pandangan wahbah
Zuhaili tersebut pemakalah hanya menjelaskan wasiat umum yang berlaku setelah
sepeninggalnya pewasiat. Kemudian tidak jauh berbeda pemaknaan mengenai wasiat
yang diungkapkan oleh para fuqoha dan ulama’, dalam kompilasi hukum islam (KHI)
wasiat didefinisikan sebagai Pemberian suatu benda dari pewaris kepada orang lain
atau lembaga yang akan berlaku setelah pewaris meninggal dunia.10
Dari beberapa definisi diatas mengenai wasiat yang telah dipaparkan, dapat
diambil kesimpulan bahwa wasiat ialah pemberian harta baik yang berbentuk materi
ataupun manfaat oleh seseoarang kepada orang lain semasa hidupnya dan bagi orang

6
Secara bahasa kata wasiat artinya berpesan, menetapkan, memerintah dan mewajibkan.
Kemudian kata wasiat ini dalam Al-qur’an disebutkan sebanyak 9 (Sembilan) kali. Hal tersebut dapat
dilihat dalam Surat Al-An’am ayat 151 dan 153, kemudian dalam surat An-nisa ayat 131, Al-Ankabut
ayat 8, Luqman ayat 14, Al-Syura ayat 13, Al-Ahqaf ayat 15, dan An-Nisa ayat 11. Lihat untuk
selengkapnya dalam Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta,
Prenada Media Group, 2008. Halaman 149.
7
Abdul Aziz Dahlan, Enṣiklopedi Hukum Iṣlam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), cet
1, Halaman 1926.
8
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Bandung. PT Alma’rif, 1984. Halaman 230.
9
Dalam hal ini wahbah zuhaili mendikotomikan wasiat menjadi dua yakni wasiat khusus dan
umum, perihal yang khusus seperti menyuruh untuk membayarkan hutang atau zakat, sedangkan yang
umum berlakunya suatu wasiat tersebut pasca sepeninggalnya pewasiat. Lihat Wahbah Az-Zuhaili,
Fiqih Iṣlam Wa Adillatuhu, (Jakarta: Gema Insani, 2011), Halaman 154-155.
10
Lihat Pasal 171 huruf F dalam kompilasi hukum islam buku II hukum kewarisan,
Departemen Agama RI, Jakarta PT. Lintera Basritama, 2001. Halaman 504.

4
yang diamanatkan untuk menerima wasiat memiliki kuasa atas wasiat tersebut selepas
kematiannya (pewasiat).11

B. Rukun dan Syarat Wasiat


Adapun rukun dan syarat wasiat menurut Wahbah Zuhaili terbagi menjadi 4
(empat), yaitu sebagai berikut:12
a) Pemberi Wasiat (muhsiy).13
b) Penerima Wasiat (mushan lahu).14
c) Barang Yang di Wasiatkan (mushan bihi).15
d) Kalimat Wasiat (lafadz).16
Ketentuan mengenai rukun dan syarat wasiat yang telah dipaparkan diatas
berlaku secara kumulatif, jika dalam hal ini terdapat salah satu syarat yang tidak
terpenuhi maka wasiat yang dilakukannya tersebut menjadi tidak sah.17

11
Mustafa Al-Khin, Alfiqh- Almanhaj, Juz 2. Halaman 255.
12
Wahbah Zuhaili, opcit, Jakarta: Gema Insani, 2011, Halaman 156.
13
Dalam kompilasi hukum islam (KHI), orang yang dapat memberi wasiat sekurang-
kurangnya berumur 21 tahun, berakal sehat dan tanpa adanya paksaan dapat mewasiatkan sebagian
harta bendanya kepada orang lain atau lembaga. Lihat pasal 194 dalam kompilasi hukum islam (KHI)
bab V tentang wasiat. Kendati demikian jika didapati orang (pewasiat) yang lemah akal (idiot), orang
dungu dan orang yang menderita penyakit yang kadang-kadang sadar, tetap mereka diperbolehkan
melakukan wasiat, dengan catatan mereka mempunyai akal yang dapat mengetahui apa yang mereka
wasiatkan. Lihat untuk selengkapnya dalam Sayid Sabiq, opcit. Halaman 595.
14
Para ulama mazhab sepakat bahwa penerima wasiat adalah mereka yang bukan termasuk
dalam golongan ahli waris dari si mayit (mushi), kecuali jika disetujui oleh para ahli waris lainnya.
Lihat Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqh Lima Mazhab, Jakarta, PT. Lintera Basritama, 2001.
Halaman 504. Senada dengan pendapat para ulama mazhab ketentuan mengenai penerima wasiat dalam
kompilasi hukum islam (KHI) diatur dalam pasal 195. Yang secara subtantif menghendaki bahwa
wasiat diberikan kepada selain ahli waris. Tetapi jika diberikan kepada ahli waris pun tidak menjadi
msalah selama para ahli waris sepakat untuk menyetujuinya.
15
Barang yang diwasiatkan haruslah yang bisa dimiliki, seperti harta, bangunan dan
kegunannya, sehingga tidak sah mewasiatkan barang yang tidak memiliki manfaat dan tidak lazim
untuk dimiliki dan dipergunakan, atau dilarang oleh syara’ seperti halnya mewasiatkan minuman keras
dan lain sebagainya. Dan perlu diketahui bersama jika harta wasiat yang berupa barang tak bergerak,
karena suatu sebab yang sah mengalami penyusutan atau kerusakan yang terjadi sebelum pewasiat
meninggal dunia, maka penerima wasiat hanya akan menerima harta yang tersisa. Lihat pasal 200
dalam kompilasi hukum islam (KHI).
16
Dalam hal ini yang dimaksud dengan kalimat wasiat (ijab qabul) adalah suatu hal yang
diucapkan pewasiat kepada penerima wasiat bahwa saya (pewasiat) mewasiatkan untuknya (penerima
wasiat). Namun demikian saat ini mengenai kalimat wasiat bukan hanya dilakukan secara lisan ansikh,
melainkan dapat dilakukan secara tertulis dengan catatan dilakukan dihadapan dua orang saksi atau
dihadapan notaris. Lihat pasal 195 kompilasi hukum islam (KHI). Dan perlu diketahui bersama dalam
wasiat baik secara lisan maupun tertulis harus disebutkan dengan tegas dan jelas siapa atau lembaga
apa yang ditunjuk akan menerima harta benda yang diwasiatkan. Lihat pasal 196 kompilasi hukum
islam (KHI).
17
Tidak sahnya suatu wasiat tersebut karena tidak selaras dengan aturan hukum yang terdapat
di dalam kompilasi hukum islam (KHI) dan literature dalam syari’at islam yang telah dikemukakan
oleh banyak ulama, sehingga wasiat tersebut masih dipertanyakan dan diragukan keabsahannya.

5
C. Yang Tidak Boleh Menerima Wasiat
Kemudian mengenai seseorang yang dilarang/ tidak boleh menerima wasiat
adalah sebagai berikut:
a) Ahli Waris.18
b) Kafir Harbi.19
c) Orang yang membunuh pewasiat.20
d) Orang fasik.21
Secara explisit larangan mengenai orang-orang yang tidak boleh menerima
wasiat juga termaktub dalam kompilasi hukum islam (KHI) tepatnya dalam pasal 207-
208.22

D. Batalnya Wasiat
Mengenai ketentuan batalnya suatu wasiat dapat dilihat dalam kompilasi
hukum islam (KHI), tepatnya pada pasal 197 yang menyatakan bahwa wasiat menjadi
batal apabila calon penerima wasiat berdasarkan putusan hakim yang telah (inkrah)
tetap dihukum karena:
a) dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya
berat kepada pewasiat;

18
Dalam hal ini larangan ahli waris untuk menerima wasiat didasarkan pada hadis Rasulullah
“Dari Umamah Al Bahili r.a. beliau berkata: Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda: sesungguhn
ya Allah SWT memberikan hak kepada orang yang mempunyai hak! maka tidak ada wasiat bagi ahli
waris.” Alasan berikutnya adalah bahwa tidak dibolehkannya memberi wasiat kepada ahli waris adalah
karena dikhawatirkan adanya kesan perbedaan kasih sayang antara sesama ahli waris yang dapat
menimbulkan perselisihan.
19
Mengenai larangan memberikan wasiat kepada kafir harbi, hal ini didukung oleh pendapat
ulama dari kalangan hanafiyah dan syafi’iyah, karena secara historis kafir harbi bukan dari kaum yang
ingin berdama dengan islam, dan dikhawatirkan dengan diberikannya wasiat tersebut, justru akan
dipergunakan terhadap hal-hal yang menyimpang dari ajaran agama islam itu sendiri. Lihat Wahbah
Zuhaily, Opcit. Jakarta: Gema Insani, 2011. Halaman 7462.
20
Yang dimaksud dengan orang yang membunuh pewasiat adalah mereka yang melakukan
pembunuhan secara langsung dan dengan kesengajaan atas dasar ingin cepat mendapatkan harta dari
wasiat tersebut, maka yang demikian dihukumi tidak akan mendapatkan barang ataupun manfaat dari
wasiat tersebut. hal ini sesuai dengan kaidah yang berbunyi “siapa saja yang ingin segera
mendapatkan sesuatu sebelum waktunya, maka ia dihukum dengan tidak mendapatkan barang
tersebut”.
21
Kemudian larangan memberi wasiat kepada orang fasik didasari karena orang fasik akan
membawa kemudharatan, yang tadinya wasiat untuk suatu hal yang bermanfaat, justru akan dijadikan
wasiat itu tempat maksiat oleh orang fasik. Lihat Wahbah Zuhaili, Opcit. Jakarta: Gema Insani, 2011,
Halaman 7479.
22
Pasal 207 menyatakan bahwa wasiat tidak diperbolehkan kepada orang yang melakukan
pelayanan perawatan bagi seseorang dan kepada orang yang memberi tuntunan kerohanian sewaktu ia
menderita sakit sehingga meninggalnya, kecuali ditentukan dengan tegas dan jelas untuk membalas
jasa. Kemudian pasal 208 menyatakan bahwa wasiat tidak berlaku bagi Notaris dan saksi‐saksi
pembuat akte tersebut.

6
b) dipersalahkan secara memfitrnah telah mengajukan pengaduan bahwa
pewasiat telah melakukan sesuatu kejahatan yang diancam hukuman lima
tahun penjara atau hukuman yang lebih berat
c) dipersalahkan dengan kekerasan atau ancaman mencegah pewasiat untuk
membuat atau mencabut atau merubah wasiat untuk kepentingan calon
penerima wasiat;
d) dipersalahkan telah menggelapkan atau merusak atau memalsukan surat wasiat
dan pewasiat.
Kemudian wasiat menjadi batal apabila orang yang ditunjuk untuk menerima
wasiat itu:
a) tidak mengetahui adanya wasiat tersebut sampai meninggal dunia sebelum
meninggalnya pewasiat;
b) mengetahui adanya wasiat tersebut, tapi ia menolak untuk menerimanya;
c) mengetahui adanya wasiat itu, tetapi tidak pernah menyatakan menerima atau
menolak sampai ia meninggal sebelum meninggalnya pewasiat.
Dan yang terakhir wasiat itu menjadi batal apabila yang diwasiatkannya itu
musnah.

E. Pencabutan Wasiat
Adapun mengenai pencabutan wasiat dalam kompilasi hukum islam diatur
pada pasal 199, yang secara explisit menyatakan bahwa:
a) pewasiat dapat mencabut wasiatnya selama calon penerima wasiat belum
menyatakan persetujuan atau sesudah menyatakan persetujuan tetapi
kemudian menarik kembali.
b) Pencabutan wasiat dapat dilakukan secara lisan dengan disaksikan oleh dua
orang saksi atau tertulis dengan disaksikan oleh dua orang saksi atau
berdasarkan akte Notaris bila wasiat terdahulu dibuat secara lisan.
c) Bila wasiat dibuat secara tertulis, maka hanya dapat dicabut dengan cara
tertulis dengan disaksikan oleh dua orang saksi atau berdasarkan akte Notaris.
d) Bila wasiat dibuat berdasarkan akte Notaris, maka hanya dapat dicabut
berdasarkan akte Notaris.

7
F. Wasiat Wajibah
Secara teoritis, Abdul Manan mendefinisikan wasiat wajibah sebagai tindakan
yang dilakukan penguasa atau hakim sebagai aparat negara untuk memaksa atau
memberi putusan wajib wasiat bagi orang yang telah meninggal dunia yang diberikan
kepada orang tertentu dan dalam keadaan tertentu23. Kendati demikian dalam
kompilasi hukum islam (KHI) pengertian mengenai wasiat wajibah tidak dijelaskan
secara konkrit, yang ada hanya mengenai siapa saja yang dapat menerima wasiat
wajibah dan mengenai kadar jumlah dari wasiat wajibah tersebut.24
Lebih lanjut ketentuan mengenai wasiat wajibah yang diatur dalam kompilasi
hukum islam (KHI) sebenarnya tidak menjadi hukum yang mengikat bagi para pihak
yang bersangkutan. Karena jika ditinjau berdasarkan tata urut peraturan perundang-
undangan bahwa kompilasi hukum islam (KHI) tidak termasuk didalamnya25.
Sehingga secara sekuensial terkadang para aparat penegak hukum (hakim) tidak
berpijak kepada norma-norma yang termuat didalam KHI, termasuk dalam hal ini
mengenai pembagian wasiat wajibah dan nominal jumlah yang telah diatur dalam
KHI.26
Namun demikian, dasar pertimbangan hakim yang terkadang tidak sesuai
dengan norma tersebut adalah bahwa pada pokoknya hakim dengan berbagai asas
yang dia punya, salah satunya adalah asas kebebasan (bebas dari intervensi manapun)
dapat keluar dari substansi peraturan perundang-undangan bilamana hal tersebut
memang dibutuhkan, karena hakim selayaknya harus melihat berbagai macam kondisi

23
Abdul Manan, “Beberapa Masalah Hukum Tentang Wasiat dan Permasalahannya Dalam
Konteks Kewenangan Peradilan Agama”. Mimbar hukum Aktualisasi Hukum Islam, Nomor 38 Tahun
IX, 1998. Halaman 23.
24
Lihat pasal 209 mengenai wasiat wajibah dalam kompilasi hukum islam (KHI) yang
menyebutkan bahwa harta peninggalan anak angkat dibagi berdasarkan Pasal 176 sampai dengan Pasal
193, sedangkan terhadap orang tua angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak‐
banyaknya 1/3 dari harta wasiat anak angkatnya. Kemudian terhadap anak angkat yang tidak menerima
wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak‐ banyaknya 1/3 dari harta warisan orang tua angkatnya.
25
Terkait dengan kedudukan KHI yang diformalkan hanya melalui bentuk instruksi presiden,
undang-undang melegitimasi kedudukan KHI sepanjang KHI tersebut keberadannya diperintahkan oleh
peraturan-perundang-undangan yang lebih tinggi. Lihat pasal 8 ayat 2 Undang-undang nomor 12 tahun
2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan.
26
Contoh kasus real yang terjadi pada tingkat banding pengadilan tinggi agama Jakarta
menetapkan seorang ahli waris non-islam (anak perempuan kandung) berhak atas wasiat wajibah yang
jumlahnya ¾ dari bagian seorang anak perempuan ahli waris. Dan ketika itu Mahkamah Agung
mengubah jumlah harta yang diperoleh anak kandung non-islam dari yang semula ¾ menjadi sama
dengan bagian yang diperoleh seorang ahli waris anak perempuan. Lihat Putusan Mahkamah Agung RI
Nomor 368. K/AG/1995.
Kemudian kasus serupa juga terjadi Mahkamh Agung memutuskan ahli waris non-islam
(dalam kapasitasnya sebagai ahli waris pengganti) berhak mendapatkan harta warisan pewaris
berdasarkan wasiat wajibah yang kadar bagiannya sama dengan bagian ahli waris lain yang beragama
islam. Lihat Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 51.K/AG/1999.

8
dan posisi dari si calon penerima wasiat wajibah. Maka hakim dengan asas kebebasan
yang dimilikinya, ia dapat melakukan penemuan hukum (rechtsvinding). Penemuan
hukum dalam masalah ini dapat dilakukan dengan metode penafsiran baik secara
historis, sosiologis atau dengan penafsiran argumentum per-analogium.27

27
Sebagai contoh, sebenarnya pemberian warisan kepada orang yang tidak beragama islam
melalui wasiat wajibah pernah dilakukan oleh Muadz bin Jabal yang ketika itu ia memutus suatu
sengketa waris antara seorang muslim dengan seorang yahudi. Sengketa ini terjadi ketika seorang
muslim menandatangi beliau (yahudi) setelah orang tuanya yang beragam yahudi meninggal dunia dan
meninggalkan sejumlah harta bagi anak-anaknya. Terhadap kasus ini Muadz bin Jabal membolehkan
anak tersebut unutk menerima warisan dari orang tuanya itu (yang meninggal).

9
BAB III
PENUTUP
Simpulan
Pemahaman mengenai wasiat dalam hukum perdata islam menjadi suatu hal
yang penting untuk dipelajari, mengingiat wasiat bukan hanya sekedar memberikan
atau menitipkan barang kepada orang lain dengan tanpa aturan, melainkan terdapat
beberapa rukun maupun syarat yang hendak dipenuhi terlebih dahulu. Berdasarkan
hal tersebut paling tidak kita mengetahuinya dengan menelaah serta mempelajari
regulasi mengenai wasiat sebagaimana yang termaktub dalam status quo (KHI)
maupun yang terdapat dalam nash-nash Al-Qur’an serta hadis-hadis Rasulullah SAW.
Selanjutnya adalah mengenai wasiat wajibah yang secara praktik ternyata
sudah berkembang sedemikian cepat, sehingga dalam menentukan siapa yang berhak
atas wasiat wajibah dan berapa jumlah yang di berikan untuk calon penerima wasiat
(dalam wasiat wajibah) terkadang tidak senada dan seirama dengan tataran normatif-
yurudis maupun teoritis yang terdapat didalam aturan hukum perdata islam in casu
kompilasi hukum islam. Hal ini dapat dipahami mengingat dalam menentukan
pembagian wasiat wajibah, bukan hanya dilihat berdasarkan regulasi ansikh.
Melainkan dilihat juga keadaan dan posisi dari si calon penerima wasiat wajibah
tersebut, tidak lain hal ini dilakukan adalah untuk menciptakan suatu kepastian dan
keadilan didalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

10
DAFTAR PUSTAKA

Buku
Az-Zuhaili, Wahbah, Fiqih Iṣlam Wa Adillatuhu, (Jakarta: Gema Insani, 2011
Al-Khin, Mustafa, Alfiqh- Almanhaj, Juz 2. 1996.
Dahlan Abdul Aziz, Enṣiklopedi Hukum Iṣlam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve,
1996).
Muhibbin, Moh dan Wahid, Abdul, Hukum Kewarisan Islam: Sebagai Pembaharuan
Hukum Positif di Indonesia (Jakarta : Sinar Grafita, 1994).
Manan, Abdul, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta, Prenada
Media Group, 2008.
Mughniyah Muhammad Jawad, Fiqh Lima Mazhab, Jakarta, PT. Lintera Basritama,
2001.
Syarifudin, Amir, Hukum Kewarisan Islam (Jakarta : Kencana, 2008).
Shihab, Quraish, Tafsir Al-Misbah, Juz ke-1, Jakarta, Penerbit Lentera Hati. 2001.
Sabiq, Sayyid, Fiqh Sunnah, Bandung. PT Alma’rif, 1984.
Quthub, Sayyid, Tafsir Fi Zhilalil Qur’an, Beirut, Kitab Al-Aarabi 1973.

Jurnal
Manan, Abdul, “Beberapa Masalah Hukum Tentang Wasiat dan Permasalahannya
Dalam Konteks Kewenangan Peradilan Agama”. Mimbar hukum Aktualisasi
Hukum Islam, Nomor 38 Tahun IX, 1998.

Perundang-undangan
Undang-undang nomor 12 tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-
undangan.
kompilasi hukum islam buku II hukum kewarisan, Departemen Agama RI, Jakarta
PT. Lintera Basritama, 2001.

Putusan
Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 368. K/AG/1995.
Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 51.K/AG/1999.

11

Anda mungkin juga menyukai