Anda di halaman 1dari 4

Serial al-Qowaid al-Fiqhiyyah #4

_____________________________________________________________________________________
Kaidah Ketiga
‫اص ِد مها‬
ِ ‫األُمور ِبممق‬
ُْ ُ
Seluruh Perkara Tergantung Pada Maksudnya
______________________________________________________________________________

Penyusun : Tashwir Abu Dihyah Lc.

Editor : Yani Fahriansyah S.Pd

Bagian #1: Pendahuluan


Kaidah ini merupakan salah satu diantara lima kaidah fiqhiyyah utama atau yang lebih
dikenal dengan istilah "Al-Qawaid Al-Fiqhiyyah Al-Kubra". Karena kedudukannya yang tinggi dan
agung, para ulama menempatkannya pada posisi pertama dalam pembahasan qawaid fiqhiyyah.
Selain itu amalan-amalan hati yang merupakan barometer baik buruknya amalan anggota badan
juga dibangun di atas kaidah agung ini. Demikian pula konstruksi pahala dan hukuman juga
berdasarkan kaidah ini.

Urgensi kaidah ini dipertegas oleh hadits Nabi shallallahu alaihi wasallam { ُ ‫إِمَّنما األ ْمع مم‬
‫ال‬
ِ ‫ } ِِبلنِيم‬yang mana mayoritas ulama mengatakan bahwa hadits ini adalah sepertiga ilmu, bahkan
‫ات‬
diantara mereka ada yang mengatakan bahwa hadits ini merupakan salah satu hadits pondasi
seluruh hukum.

Bagian #2: Makna Kaidah

Lafaz (‫ )األمور‬pada kaidah ini merupakan bentuk jamak dari kata (‫ )أمر‬yang maknanya
mencakup seluruh bentuk perilaku baik dalam bentuk perbuatan, perkataan, ataupun keyakinan.

Sedangkan lafaz (‫ )املقاصد‬merupakan bentuk jamak dari kata (‫ )قصد‬yang maknanya secara
umum adalah keinginan yang diorientasikan untuk sesuatu. Adapun maknanya secara khusus
maka ia berarti ketaatan yang orientasinya adalah ketaatan dan pendekatan diri kepada Allah
Ta'ala.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa seluruh tingkah laku mukallaf baik dalam bentuk
perkataan, perbuatan ataupun keyakinan memiliki hukum yang berbeda-beda dalam tinjauan
syariat karena adanya perbedaan maksud dan niat.

Bagian #3: Dalil Kaidah


Dalil yang menunjukkan kaidah ini sangatlah banyak, baik dari Al-Qur'an maupun hadits.
Diantaranya apa yang telah disebutkan pada pendahuluan bahwa ini didasari hadits Nabi
ِ ‫ِِبلنِيم‬
shallallahu alaihi wasallam {‫ات‬ ُ ‫ }إِمَّنما األ ْمع مم‬yang berarti "Seluruh amalan tergantung pada
‫ال‬
niatnya".

Dalil dari Al-Qur'an adalah firman Allah Ta'ala:

ِ‫م‬
ُ ‫ين يم ْدعُو من مرمَّبُْم ِِبلْغم مد ِاة موالْ مع ِش ِي يُِر‬
ُ‫يدو من مو ْج مهه‬ ‫اصِ ِْب نم ْف مس م‬
‫ك مم مع الذ م‬ ْ ‫مو‬
"Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan
senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya…". (Al-Kahfi: 28).

Ayat ini merupakan dalil yang menunjukkan wajibnya memperhatikan maksud dan niat dalam
setiap amalan dengan tujuan mengharapkan keridhaan Allah Ta'ala, sebagaimana kaidah ini
menjelaskan bahwa seluruh perkara tergantung pada maksud dan tujuannya.

Bagian #4: Hukum Niat


Niat merupakan salah satu bentuk ibadah yang disyariatkan, akan tetapi para ulama
berbeda pendapat tentang hukumnya. Sebagian ulama menjadikannya sebagai syarat sahnya
ibadah. Sebagian lain menjadikannya rukun pada seluruh amalan karena niat merupakan bagian
dari ibadah; sama seperti rukun itu sendiri merupakan bagian dari hakikat sesuatu, sedangkan
syarat maka ia bukan bagian dari hakikat sesuatu.

Adapun makna dari “niat adalah ibadah yang disyariatkan” itu terlontar karena dua alasan:

1. Untuk membedakan antara ibadah dan adat kebiasaan.


Contoh sederhana: Mandi, ia bisa jadi masuk dalam kategori ibadah dan bisa hanya
sekedar adat kebiasaan sehari-hari. Jika mandi dimaksudkan hanya sekedar
membersihkan badan atau mendinginkan badan maka ia masuk dalam kategori adat
kebiasaan, namun jika dimaksudkan untuk "thaharah syar'iyyah" maka ia masuk dalam
kategori ibadah.
2. Untuk membedakan derajat satu ibadah dengan ibadah lainnya.
Telah dimaklumi bahwa ibadah ada yang sifatnya wajib, sunnah, nazar, dan sebagainya,
semua itu adalah bentuk ibadah yang digunakan untuk mendekatkan diri kepada Allah
Ta'ala, namun derajat ibadah-ibadah tersebut tidak akan diketahui kecuali dengan niat.

Bagian #5: Tempat Niat


Niat tempatnya di dalam hati, sehingga dalam prakteknya harus memperhatikan beberapa
hal berikut:

1. Tidak cukup hanya dengan melafazkan niat melalui lisan untuk tercapainya satu niat
dalam hati.
2. Tidak disyaratkan melafazkan niat melalui lisan untuk tercapainya satu niat dalam hati,
bahkan melafazkan niat adalah perkara yang tidak disyariatkaan; karena tidak adanya
tuntunan dari Rasulullah shallallahu alaihiwasallam dan juga para sahabatnya. Adapun
yang dikecualikan sebagian ulama bahwa melafazkan niat untuk haji adalah perkara yang
disyariatkan, maka hal ini bukan merupakan bentuk melafazkan niat, namun ia adalah
lafaz talbiah yang mengandung unsur perbuatan yang mesti dilandasi niat.
3. Jika lafaz niat yang keluar melalui lisan berbeda dengan apa yang ada dalam hati, maka
yang dianggap sah adalah apa yang ada dalam hati.

Bagian #6: Syarat Niat


Niat memiliki beberapa syarat yang harus terpenuhi dan jika salah satu diantara syarat
tersebut tidak ada maka niatnya dianggap tidak sah:

1. Orang yang berniat hendaknya seorang muslim, namun ini adalah syarat sahnya niat
dalam pelaksanaan ibadah dan tidak berlaku untuk selain ibadah.
2. Orang yang berniat hendaknya "mumayyiz" maksudnya adalah hendaknya ia memiliki
kemampuan untuk membedakan antara hal yang bermanfaat dan hal yang mengandung
mudarat.
3. Mengetahui akan hal yang diniatkan, sehingga niat dianggap tidak sah jika apa yang
diniatkan adalah sesuatu yang tidak jelas hakikat dan hukumnya.
4. Tidak ada pertentangan antara niat dan apa yang diniatkan. Contoh pertentangan
tersebut, orang yang membeli rumah untuk tempat tinggal dengan niat akan menjualnya
jika ia mendapatkan keuntungan sehingga ia tidak memiliki kewajiban zakat atas hal
tersebut; karena ia tidak menyatakan dengan pasti bahwa ia meniatkannya untuk
perniagaan.
5. Hendaknya niat digandengkan di awal satu amalan jika amalan tersebut mensyaratkan
adanya niat; karena waktu tercapainya satu niat berbeda seiring perbedaan amalan
ditinjau dari sisi waktu pelaksanannya, seperti shalat misalnya maka seorang mukallaf
harus menggandengkan niatnya di awal shalat.
6. Ikhlas dalam berniat, maksudnya adalah hanya mengharapkan ridha Allah Ta'ala semata,
sebagaimana firman-Nya: " Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah
Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang
lurus…" (Al-bayyinah: 5).

Demikian materi qawaid fiqhiyah ini kami sajikan dalam bentuk yang singkat, semoga bermanfaat
dan bisa menambah wawasan keislaman kita serta bisa diterapkan dalam kehidupan sehari-hari,
wallahu a'lam.

‫وصلى هللا على نبينا حممد وعلى آله وصحبه وسلم واحلمد هلل رب العاملني‬
____
Catatan:

Materi ini diterjemahkan secara ringkas dari kitab Al-Mumti' fi Al-Qawa'id Al-Fiqhiyyah karya Dr.
Muslim bin Muhammad bin Majid Ad-Dausiriy (Anggota dewan pengajar pada Fakultas Syariah
Universitas Al-Imam Muhammad bin Su'ud Al-Islamiyah) dengan sedikit tambahan.

Anda mungkin juga menyukai