Anda di halaman 1dari 22

‫المدرسة الدينية السلفية اإلسالمية‬ 1434

"‫"دار التقوى‬ ‫هـ‬

‫ْم‬
ِ ‫َّحِي‬ ‫َّح‬
‫ْمنِ الر‬ ‫ِسْم‬
‫ِ هللاِ الر‬ ‫ب‬
PEMBAHASAN I
“BAB KAFARATUDZ DZIHAR”
"‫"فصــل في كــفارة الظــهار‬
Syaikh Abu Syujak berkata :
‫﴿ والكفارة عتق رقبة مؤمنة سليمة من‬
،‫ فإن لم يجد فصيام شهرين متتابعين‬،‫العيوب‬
‫ كل مسكين‬،‫فإن لم يستطع فإطعام ستين مسكينا‬
﴾ ‫ وال يحل وطؤها حتى يكفر‬،‫مد‬
[Kafarat ialah memerdekakan seorang budak beriman yang bersih dari cacat. Kalau tidak
dua bulan berturut-turut. Kemudian kalau tidak berkuasa, maka member makan enam puluh orang
miskin, setiap orang miskin satu mud. Dan tidak halal mencampuri isterinya sampai ia membayar
kafarat].
Kafarah dzihar ialah kafarat berurutan sesuai dengan ketentuan (nash) al-Qur’an al-‘Adzim.
Allah SWT berfirman :
‫والذين يظاهرون من نسائهم ثم يعودون لما‬
‫ ذالكم‬،‫قالوا فتحرير رقبة من قبل أن يتماسا‬
‫﴾ فمن لم يجد‬3﴿ ‫توعظون به وهللا تعملون خبير‬
،‫فصيام شهرين متتابعين من قبل أن يتماسا‬
‫﴾ (سورة‬4﴿ ‫فمن لم يستطع فإطعام ستين مسكين‬
)4-3 : ‫المجادلة‬
Artinya : "Orang-orang yang mendzihar isteri mereka, kemudian mereka hendak menarik
kembali apa yang mereka ucapkan, maka (wajib atas mereka) memerdekakan seorang budak sebelum
kedua suami isteri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, dan Allah Maha
Mengetahui apa yang kamu kerjakan. Barang siapa yang tidak mendapatkan (budak), maka (wajib
atasnya) berpuasa 2 bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur. maka siapa yang tidak
berkuasa (wajiblah atasnya) memberi makan 60 orang miskin". (QS. Al -Mujadalah : 3-4)
Sesuai dengan ayat tersebut Rasulullah SAW menyuruh Salamah bin Shakhr Al-Bayadhi
karena dia telah mendzihar isterinya. Bentuk kafarat ada tiga :
1. Memerdekakan budak
Dalam melaksanakan kafarat pasti dengan niat, karena dalam hal ini telah tertera dalam hadits
yang masyhur yang menentukan niat. Dan oleh karena itu, kafarat adalah suatu tuntunan (hak)
berupa harta yang diwajibkan untuk membersihkan, maka wajiblah padanya padanya niat seperti
halnya zakat. Dan niatnya cukup dengan menyebut kaffarah saja, tidaklah disyaratkan menyebut
wajibnya kafarat, karena kafarat itu tidak ada yang lain kecuali wajib saja. Tetapi tidak cukup
dengan berniat memerdekakan budak yang wajib tanpa menyebut kaffarah, karena memerdekan
budak itu kadang-kadang wajib dengan sebab nadzar. Juga tidak wajub menentukan sebab untuk
kafarah dzaihar / kaffarat membunuh / kaffarat sumpah, sama halnya seperti tidak wajibnya
menentukan harta yang dizakati.

‫باب في كفارة الظهار وباب في اللعان وباب في‬ | 1


‫العدة وباب في اإلستبراء بكتاب كفاية األخيار‬
‫المدرسة الدينية السلفية اإلسالمية‬ 1434
"‫"دار التقوى‬ ‫هـ‬

Semisal wajib kepada seseorang kaffarah dzihar dan kaffarah jimak (pada bulan Ramadhan),
kemudian ia memerdekakan budak dengan niat kaffarah saja, maka kaffarah dianggap cukup bagi
salah satu dari keduanya. Demikian juga kalau ia menunaikan kaffarah dengan berpuasa atau
memberi makan.
Jika anda bertanya apa perbedaan antara kaffarah dan shalat yang disyaratkan ta’yin
(menentukan)?. Bedanya, ibadah badaniyah adalah lebih terbatas, karena hal itu tidak boleh
diwakilkan, dan juga tingkat-tingkat kesulitan shalat tersebut berbeda-beda, seperti waktu shalat
shubuh lebih sulit dan bilangan raka’at shalat dzuhur lebih banyak. Sedangkan antara kaffarah
dzihar dan kaffarah jimak tidak ada perbedaan. Tetapi jika telah ditentukan kaffarah dalam
sesuatu pelanggaran, maka tentulah kaffarah itu untuk pelanggaran tersebut, dan tidak boleh
dialihkan kepada pelanggaran lainnya sesuai dengan apa yang telah ditentukan pada
permulaannya. Dan semisal seorang pada permulaannya menentukan kafaratudz dzihar, maka
masih wajib ke atasnya kafarah dzihar, maka tidak boleh dipindahkan menjadi kafarah selain
kafarah dzihar (baik disengaja maupun karena keliru), sama halnya seperti kalau ia berniat zakat
harta tertentu, kemudian harta itu rusak, maka tidak boleh dialihkan kepada yang lain. Ada juga
memerdekakan budak sebagai kaffarah pelanggaran tertentu (ta’yin) tidak mencangkup
pengertian kaffarah-kaffarah yang lainnya.
Apakah disyaratkan niat itu harus bersamaan dengan waktu memerdekakan dan memberi
makan?. Di dalam tambahan kitab Ar-Roudhoh pada dasarnya memang disyaratkan. Dan ada yang
berpendapat boleh mendahulukan niat sebagaimana telah dijelaskan dalam masalah zakat. Dan
dalam Syarah Al-Muhadzdzab dikatakan bahwa yang lebih shahih daripada dua wajah ialah boleh
mendahulukan niat zakat dari masa memberikannya. Sahabat-sahabat kami berpendapat bahwa
kaffarah dan zakat dalam hal itu sama belaka. Inilah yang benar dan inilah menurut lahirnya nash.
Demikian pendapat-pendapat sahabat kami.
Perlu diketahui bahwa syarat diperbolehkannya mendahulukan niat dalam zakat adalah niat
itu harus bersamaan dengan waktu memisahkan kadar harta untuk di zakatkan. Demikian juga,
apabila anda sudah mengetahui hal ini, maka hendaklah mengetahui bahwa disyaratkan budak
yang akan mencukupi kaffarah ada 4 hal ; yaitu :-
a. Islam dan lafadz iman yang lebih utama karena lafadz tersebut adalah nash Al-Qur’an,
b. Bersih dari cacat-cacat yang dapat merugikan pekerjaan,
c. Berstatus sebagai budak penuh,
d. Dan sepi dari ganti rugi
Dengan demikian tidak mencukupi memerdekan budak kafir untuk sesuatu kaffarah. Qaul
demikian dikatakan oleh Malik, Ahmad RA, dan Abu Hanifah RA “boleh memerdekakan budak
kafir, kecuali untuk kaffarah membunuh karena mengenai kaffarah itu Allah SWT berfirman :
: ‫(سورة النساء‬ .‫فتــحرير رقبــة مؤمنـــة‬
)92
“....ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman”. (QS. An - Nisa’ : 92)
Dan alasan kami boleh saja dikiaskan kaffarah membunuh dengan kaffarah yang lain.
Sedangkan Imam Syafi’i menyandarkan pernyataan mutlak kepada yang muqaiyad (terbatas), dan
ia menyerupakan halnya dengan firman Allah SWT :
‫من‬ ‫شهـــــدين‬ ‫واســتشهــدوا‬
)282 : ‫(سورة البقرة‬ .‫رجالـــــــــكم‬
“....dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari lelaki (diantara)-mu”. (QS. Al-Baqarah :
282)

‫باب في كفارة الظهار وباب في اللعان وباب في‬ | 2


‫العدة وباب في اإلستبراء بكتاب كفاية األخيار‬
‫المدرسة الدينية السلفية اإلسالمية‬ 1434
"‫"دار التقوى‬ ‫هـ‬

Ayat tersebut disandarkan kepada yang muqaiyad (terbatas) dalam firman Allah SWT, yang
berbunyi :
.‫وأشـــــهدوا ذوي عـــــدل منــــــكم‬
)2 : ‫(سورة الطالق‬
“....dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil (lurus) diantara kamu”. (QS. At -
Thalaq : 2)
Yang dimaksud dengan perkataan mushannif “yang bersih dari cacat” ialah yang merugikan
pekerjaan dengan jelas, karena tujuannya dalam membayar kaffarah ialah menyempurnakan
keadaan yang sepenuhnya untuk ibadah. Sedangkan tugas orang-orang yang merdeka hanya
berhasil berhasil apabila ia bebas dan dapat bekerja untuk mencukupi diri sendiri. Kalau tidak,
maka sudah tentu ia terbebani atas dirinya sendiri dan atas orang lain. Dengan pengertian
demikian jadi tidak cukup budak yang terlalu tua, orang gila pada sebagian besar waktunya, tetapi
jika sadarnya lebih banyak, maka dapat mencukupi, dan juga tidak dapat mencukupi jika gila dan
sadarnya sama banyak, menurut madzhab. Bagi orang yang sakit yang tidak dapat diharapkan
sembuh, maka tidak mencukupi, dan jika masih bisa diharapkan sembuh maka boleh mencukupi.
Dengan demikian ada sebuah kinayah (kiasan) yang perlu kita pahami, yang berbunyi:
“tidak cukup juga memerdekakan budak yang salah satu kakinya terputus dan juga budak
yang terputus ibu jari tangannya. Boleh mencukupi jikalau yang terputus jari selain ibu jarinya.
Tidak mencukupi jika yang terputus dua jari telunjuk atau jari tengah, dan boleh mencukupi jika
yang terputus jari kelingking pada sebelah tangan dan jari manis pada sebelah tangan lainnya.
Tidak mencukupi jiak yang terputus kedua jari kelingking dan jari manis pada satu tangan, dan
mencukupi jikalau yang tersemua jari manis pada satu tangan atau mencukupi jika yang terputus
semua jari dari kedua belah kakinya”. Hal tersebut menurut qaul yang shahih.
Dan juga mecukupi budak mudabbar dan budak yang kemerdekaannya digantungkan kepada
sesuatu sifat. Sedangkan budak yang ghoib yang terputus beritanya tidak boleh mencukupi
menurut madzhab. Dan budak yang melarikan diri dan yang dirampas oleh orang lain, maka boleh
mencukupi apabila diyakini hidup keduanya, menurut qaul yang shahih, karena statusnya budak
penuh. Inilah yang shahih mengenai budak yang dirampas dan dipastikan oleh sebagian banyak
ulama’ Iraq bahwasannya “jikalau ia tidak berkuasa membebaskan diri, maka tidak boleh
mencukupi, sama seperti budak yang sakit kronik1 karena tidak ada kemampuan lagi untuk
bertindak (tasharruf). Dan diberitakan pula dari jumhur ulama’ Khurasan bahwa budak yang
dirampas yang tidak berkuasa membebaskan diri boleh mencukupi karena milik dan manfa’atnya
sudah sempurna, dan itulah seperti myang diikuti Imam Rafi’i.
Adapun sepi dari ganti, maka sudah menjadi syarat semestinya. Semisal jikalau seseorang
memerdekakan budak agar ia memperoleh kembali uang sedinar mas, maka tidak boleh
mencukupi sebagai kaffarah, menurut qaul yang shahih. Sedangkan jikalau dia mensyaratkan
ganti pada budak lain, misalnya ia berkata kepada seseorang,”Aku merdekakan budakku ini,
sebagai kaffarahku dengan seribu atasmu” lalu diterima oleh orang itu. Atau
sebaliknyaseseorang berkata, “Merdekakanlah dia (budak itu) sebagai kaffarahmu dan aku akan
memberimu sekian” lalu ia melakukannya, maka tidak boleh mencukupi kaffarah, Wallahu-
a’lam.
2. Puasa
Barang siapa yang tidak mendapatkan budak, maka wajib ia berpuasa 2 bulan berturut-turut,
sesuai dalil sebelumnya. Kemudian tiadanya budak adakalanya sebab tidak mendapatkannya /
tidak adanya uang untuk membayar harganya / mendapatkannya dengan harga yang tinggi / dia
mendapatkannya tapi dibutuhkan dirinya sendiri untuk menjadi pelayannya / dia memiliki uang

1 catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya

‫باب في كفارة الظهار وباب في اللعان وباب في‬ | 3


‫العدة وباب في اإلستبراء بكتاب كفاية األخيار‬
‫المدرسة الدينية السلفية اإلسالمية‬ 1434
"‫"دار التقوى‬ ‫هـ‬

tetapi dia membutuhkan uang tersebut untuk belanja. Sedangkan orang yang membutuhkan,
karena kebutuhan itu meliputi sesuatuyang ada bersamanya, maka hukumnya seperti orang yang
tidak mempunyai, atau sama seperti orang yang mendapatkan air, padahal ia membutuhkannya,
maka hukunya berpindah kepada penggantinya. Demikian hal ini juga karena ijmak menetapkan
bahwa berkemampuan tidak dapat mencegah pindah ke puasa karena membutuhkan. Dan yang
dimaksud membutuhkan pelayan, misalnya ia sakit / ia sudah tua / memiliki penyakit kronik atau
kegemukkan sehingga tidak berkuasa melayani dirinya sendiri, atau memang kebiasaannya tidak
dapat melayani dirinya sendiri sekalipun ia sehat. Kalau ia sudah dapat melayani dirinya sendiri
seperti orang-orang pertengahan, maka wajb memerdekakan menurut qaul yang rajih.
Dan yang dimaksud dengan belanja adalah bahan pangannya dan pangan keluarganya,
pakaian mereka dan kebutuhan lainnya seperti perabotan-perabotan rumah tangga, dan juga
membeli budak yang di butuhkan sebagai pembantu. Dan apakah belanja dan pakaian itu
ditentukan untuk masa tertentu?. Kata Imam Rafi’i, sahabat-sahabat kami tidak menentukannya;
jadi boleh dihitung secukup usianya, dan boleh juga dihitung secukup satu tahun. Pendapat Al-
Baghawi menguatkan bahwa orang tersebut boleh memperhitungkan sehelai baju musim dingin
dan sehelai baju musim panas. Kata Imam Nawawi, yang benar ialah yang kedua, yakni secukup
satu tuhan. Kata Ibnu Rif’ah, sahabat-sahabatnya menentang pendapat kedua berkenaan dengan
kaffarah sumpah. Kata mereka apa yang diberitakan Al-Muhamili dan lainnya bahwa orang yang
tidak berkecukupan selamanya, sekalipun ia mempunyai tanah yang produktif atau modal yang
diusahakan dalam perdagangan, dan ia telah mendapat kecukupannya dengan kedua modal
tersebut, meskipun modal itu tidak bertambah; jikalau untuk memperoleh seorang budak dengan
menjual kedua modal tersebut niscaya menjadilah ia dalam kategori orang-orang miskin, maka
tidak boleh dipaksa menjualnya, menurut madzhab yang ditetapkan oleh Jumhur Ulama’. Dan
kalau orang tersebut mempunyai binatang ternak yang dapat menghasilkan susu, maka sama
dengan mempunyai tanah yang produktif, jika penghasilannya tidak bertambah untuk memberi
kecukupannya, tidak boleh dipaksa menjualnya. Dan kalau lebih hasilnya, maka wajib menjual
kelebihannya. Demikian disebutkan oleh Al-Mawardi. Wallahu a’lam.
Cabang Permasalahan
Seseorang mempunyai harta kontan dan ia tidak mendapatkan budak atau mempunyai harta
tetapi hartanya tidak di tanggannya (ghaib), ia tidak boleh beralih kepada puasa untuk kaffarah
membunuh, jimak (di bulan Ramadhan), dan sumpah, tetapi ia menunggu sampai mendapat budak
atau memperoleh hartanya yang ghaib, karena kaffarah boleh dibayar bertempoh, dan jikalau
orangnya ditakdirkan mati, maka boleh dibayar dari harta peninggalannya. Dan mengenai
kaffarah dzihar ada dua wajah, karena suami akan merasakan mudharat dengan terhalangnya dari
bersenang-senang. Imam Ghazali dan Al-Mutawalli menentukan untuk memberatkan wajibnya
bersabar. Pernyataan ini adalah ungkapan di dalam kitab Ar-Roudhoh. Hal yang telah dijelaskan
oleh Imam Ghazali dan Al-Mutawalli telah dibenarkan oleh Imam Nawawi dalam kitab At-
Tanbih. Dan diambil dari perkataan Imam Rafi’i dalam kitab Ar-Roudhoh disini dapat
disimpulkan bahwa kaffarah-kaffarah yang wajib disini dengan sebab yang diharamkan, dan
harus dilakukan segera. Dan Imam Nawawi juga menjelaskan dalam kitab Syarkh Muslim
berkenaan dengan hadits tentang orang yang bersetubuh di bulan Ramadhan, bahwa kaffarahnya
boleh dilakukan secara bertempoh. Dan yang jelas mengenai orang yang bersetubuh di bulan
Ramadhan terdapat banyak khilaf dalam masalah hukumnya. Wallahu a’lam.
Kalau memang sudah sulit bagi orang yang mendzihar untuk memerdekakan budak, barulah
ia boleh membayar kaffarah dengan berpuasa. Apakah mudah dipandang / sulit dikira pada waktu
hendak melaksanakannya pada waktu wajib ataukah pada waktu yang terberat dari kedua keadaan
tersebut ?. Dari permasalahan ini terdapat beberapa qaul berpendapat : Qaul Adzhar berpandapat

‫باب في كفارة الظهار وباب في اللعان وباب في‬ | 4


‫العدة وباب في اإلستبراء بكتاب كفاية األخيار‬
‫المدرسة الدينية السلفية اإلسالمية‬ 1434
"‫"دار التقوى‬ ‫هـ‬

bahwa untuk menyegerakan melaksanakannya, disebabkan kaffarah itu adalah ibadah yang
mempunyai ganti dari jenisnya yang lain. Oleh karena itu, yang dianggap gampang atau sulit
mengenai kaffarah ialah ketika hendak melaksanakannya, sama halnya dengan wudhu’,
tayammum, berdiri, dan duduk dalam shalat. Berdasarkan pengertian ini, jikalau seseorang yang
mendzihar isterinya itu kaya, maka wajib atasnya ialah memerdekakan budak, dan jika seseorang
tersebut susah, maka yang wajib atasnya adalah berpuasa, meskipun ia sebelumnya kaya. Ketika
ia telah memulai puasa tersebut, dan dalam pertengan dia tiba-tiba mendadak menjadi kaya, maka
ia boleh meneruskan puasanya, dan tidak wajib beralih kepada kaffarah untuk memerdekakan
budak menurut qaul yang Ashah. Tetapi Al-Muzani mengatakan bahwa ia wajib beralih.
Berdasarkan qaul yang shahih mengenai bolehnya berpindah dari puasa, ada dua wajah, sama
seperti dua wajah berkenaan dengan melihat air ketika dalam keadaan shalat, maka bukan
fardhunya yang gugur melainkan tayammumnya.
Cabang Permasalahan
Apabila sudah diwajibkan puasa, maka orang yang membayar kaffarah itu wajib berniat puasa
pada setiap malam, dan tidak wajib menentukan (ta’yin) kaffarah yang dimaksud, juga tidak wajib
berniat puasa berturut-turut, menurut qaul yang ashah, karena puasa itu sendiri wajib berturut-
turut sebgaimana telah ditentukan oleh nash Al-Qur’an Al-‘Adzim. Jikalau orang yang mendzihar
itu bersetubuh sebelum puasanya selesai, maka ia berdosa, dan perbuatannya tersebut tidaklah
menjadi suatu pemutus akan puasanya yang berturut-turut itu. Kalau ia berbuka satu hari,
sekalipun hari yang terakhir dari hari-hari puasanya, maka ia wajib memulai semula semua
puasanya lagi. Dan kalau ia tidak tahan menahan lapar, lalu berbuka, maka rusaklah puasanya
yang berturut-turut itu. Dan juga lupa berniat pada suatu malam, kemudian memutuskan puasa
yang berturut-turut dengan merubahnya dengan meninggalkan niat dengan sengaja. Dan kalau dia
ragu-ragu pada suatu hari sesudah selesai puasanya, misalnya dia ragu “apakah ia berniat
ataukah tidak”, maka tidak wajib ia memulai lagi puasanya dari mula menurut qaul yang shahih,
dan ragu-ragu tidak ada pengaruhnya sesudah selesai puasa pada hari itu. Demikian Ar-Ruyani
menyebutkan.
Tidak berpuasa karena sakit, juga dapat memutuskan puasa berturut-turut, menurut qaul yang
adzhar, karena sakit itu tidak mengangkat puasa. Berbeda dengan gila, ada salah satu qaul
mengatakan bahwa gila seperti sakit dan pingsan juga dikatakan seperti gila. Kalau sedang dalam
perjalanan ada khilaf. Salah satu qaul mengatakan bahwa bepergian itu seperti orang sakit, dan
salah satu qaul yang lain mengatakan bahwa puasa itu pasti terputus disebabkan karena bepergian,
oleh karena itu bepergian itu berlaku dengan kemauannya sendiri. Demikian diberitakan oleh
Imam Rafi’i dan Imam Nawawi. Dan pada kesimpulannya, menurut madzhab bahwa puasa
berturut-turut itu boleh terputus sebab berbuka dalam perjalanan (bepergian).
3. Memberi makan
Barangsiapa yang tidak berkuasa berpuasa sebab ia sangat tua, sakit, menanggung keberatan
(tidak berupaya), takut penyakitnya bertambah parah, atau yang lainnya. Maka ia boleh membayar
kaffarah dengan memberi makan, sesuai hujjah (dalil sebelumnya).
Apakah disyaratkan atau tidak bagi seorang yang sakitnya tak diketahui sembuhnya? Kata
sebagian golongan ulama’ mengatakan disyaratkan. Menurut Imam Haramain dan Imam Ghazali,
kalau memang menurut pertimbangan para dokter besar atau kebiasaan dari sakit itu yang
masanya terus-menerus selama 2 bulan, maka ia boleh beralih kepada kaffarah yakni memberi
makan 60 orang miskin. Imam Nawawi membenarkan apa yang dikatakan Imam Haramain dan
Imam Ghazali seraya berkata, “Para Fuqoha’ yang lain telah sepakat dengan pendapat Imam
Haramain dan Imam Ghazali tersebut”.

‫باب في كفارة الظهار وباب في اللعان وباب في‬ | 5


‫العدة وباب في اإلستبراء بكتاب كفاية األخيار‬
‫المدرسة الدينية السلفية اإلسالمية‬ 1434
"‫"دار التقوى‬ ‫هـ‬

Setelah kita mengetahui ketentuan dari penjelasan di atas, maka disini akan menjelaskan
sedikit tentang seberapa banyak makanan yang akan dikasihkan kepada 60 orang miskin itu?
Setiap orang miskin akan mendapatkan jatah 1 mud (1,5 ons / 1 paun baghdad) bahan pangan dari
Negara masing-masing, intinya bahan pangan tersebut termasuk sesuatu yang wajib digunakan
untuk berzakat (seperti di Indonesia adalah beras, jadi bahan pangan tersebut tak luput dari beras
itu). Dan untuk ketentuan yang lain, kaffarah tidak boleh diberikan kepada orang kafir, tidak boleh
diberikan kepada keturunan Bani Hasyim dan Bani Muthallib, tidak boleh diberikan kepada
kerabat seperti isteri atau keluarga sendiri, tidak boleh juga diberikan kepada seorang hamba
sahaya. Boleh diberikan kepada hamba sahaya, jikalau mendapatkan izin dari tuannya yang
statusnya sebagai seorang mustahik (berhak), karena milik hamba sahaya mengalih kepada
tuannya. Dan juga boleh diberikan kepada wali anak kecil dan orang gila. Wallahu a’lam.
Cabang Permasalahan
Kalau orang yang mendzihar tersebut tidak mampu berkuasa membayar kaffarah baik
memerdekakan budak, puasa, dan memberi makanan kepada 60 orang miskin kecuali hanya 10
orang miskin / hanya memiliki bahan pangan 1 mud saja, maka tetap ia wajib mengeluarkan
kaffarahnya tanpa ada khilaf, karena tidak ada lagi pengganti setelah memberi makan 60 orang
miskin. Dan jikalau ia masih belum mampu untuk mengeluarkan kaffarah tersebut, maka kaffarah
tersebut tetap menjadi tanggungannya, menurut qaul yang adzhar.
Dan perkataan mushannif tidak boleh bersetubuh dengan isterinya sampai si suami membayar
kaffarah tersebut, dan ketetapan sesuai dengan ayat telah dijelaskan sebelumnya.

Cabang Permasalahan
Semisal ada si suami berkata seorang isterinya, “Engkau bagiku seperti punggung ibuku,
Engkau bagiku seperti punggung ibuku, Engkau bagiku seperti punggung ibuku” dilihat dulu,
jikalau ungkapan yang kedua dan ketiga itu sebagai penguat ungkapan yang pertama, maka jatuh
satu kali dzihar. Jikalau setelah ia mengungkapkan kata tersebut, tetapi masih menahan isterinya,
maka samalah ia menarik kembali ucapannya dan wajib kaffarah satu kali. Dan jika ungkapan
yang kedua atau yang ketiga itu bertujuan untuk mengungkapan dzihar yang lain, maka
kaffarahnya pun menjadi bertambah (berbilang) menurut qaul jadid. Dan jikalau ia
mengatakannya secara mutlak (sengaja), dengan tidak berniat apapun, apakah dzihar itu jatuh satu
ataukah berbilang? Ada khilaf dalam permasalahan ini, qaul adzhar (diputuskan oleh Ibnus
Shabagh dan Al-Mutawalli) mengatakan wajib satu kali dzihar, dan telah dikatakan sebelumnya,
jikalau lafadz talak diucapkan berkali-kali secara mutlak, maka talak tersebut jatuh terbilang.
Perbedaan talak dan dzihar adalah talak itu lebih kuat karena ia menghilangkan milik, berbeda
dengan dzihar (sebaliknya), karena talak itu memiliki bilangan (ketentuan) yang terbatas, dan si
suami itulah yang memiliki hak talak. Maka apabila mengulangi talak, yang jelas dia ingin
memiliki semula orang yang dimiliki si suami, maka hukumnya sesuai dengan bab talak (yang
telah dijelaskan sebelumnya). Sedangkan untuk dzihar sendiri tidak terbilang dan tidak dimiliki
si suami. Dan kalau ucapannya itu terpisah-pisah, dan dalam setiap kali ucapan itu bermaksud
dzihar baru, maka setiap kali itu menjadi unsur jatuhnya dzihar satu kali. Wallahu a’lam

‫باب في كفارة الظهار وباب في اللعان وباب في‬ | 6


‫العدة وباب في اإلستبراء بكتاب كفاية األخيار‬
‫المدرسة الدينية السلفية اإلسالمية‬ 1434
"‫"دار التقوى‬ ‫هـ‬

PEMBAHASAN II
“BAB LI’AN”
"‫"فصـــل في اللعــان‬
Syaikh Abu Syujak berkata :
‫﴿ فصل وإذا رمى الرجل زوجته بالزنا فعليه‬
‫ فيقول‬،‫ إال أن يقيم البينة أو يالعن‬،‫حد القذف‬
‫عند الحاكم على المنبر في جماعة من‬
‫ "أشهد باهلل إنني لمن الصادقين‬: ‫المسلمين‬
‫ وأن هذا‬،‫فيما رميت به زوجتي فالنة من الزنا‬
‫ ويقول‬، )‫الولد من زنا وليس مني" (أربع مرات‬
‫ وعلي لعنة‬:‫في الخامسة بعد أن يعظه الحاكم‬
﴾ ‫هللا إن كنت من الكاذبين‬
[Apabila si lelaki menuduh isterinya berzina, maka wajib atas lelaki dihukum qadhf, kecuali
ia dapat mendatangkan saksi, atau meli’an dengan berkata diatas mimbar yang berada disisi hakim
dan dalam kumpulan orang Islam, “Saya persaksikan kepada Allah bahwa saya benar terhadap
tuduhan saya kepada isteri saya fulanah, bahwa dia berzina, dan anak ini dari hasil zina bukan dari
saya”. Ungkapan tersebut diulangi sebanyak empat kali. Dan setelah hakim menasehatinya,
ungkapan yang kelima kalinya ia berkata, “Atasku laknat Allah jika aku berdusta].
Kata ‫ اللعان‬adalah masdar dari kata "‫يالعن‬ – ‫"العن‬ yang berarti terjauh
dari rahmat Allah. Dua orang yang berli’an disebut demikian, karena ia akan mengakibatkan dosa
dan terjauh dari rahmat Allah. Karena dari keduanya berjanji li’an (hal yang tak disukai oleh Allah
SWT). Jikalau salah satu dari keduanya berdusta, maka ia statusnya menjadi ma’lun (yang dikutuk).
Ada yang mengatakan karena masing-masing dari keduanya dijauhkan dari temannya dengan
diharamkan selamanya.
Arti menurut syara’ ialah suatu ungkapan (ibarat) kata-kata tertentu yang dijadikan alasan
bagi orang yang terpaksa menuduh karena tikarnya dikotori, menyusul malu yang akan dialaminya.
Lafadz li’an dikecualikan dari kemarahan (ghadab) dan kesaksian (syahadah) karena li’an adalah
suatu lafadz yang ganjil (gharib), dan sesuatu barang itu terkenal sebab keasingannya. Dan ada yang
mengatakan karena li’an itu kutukan dari si lelaki seperti disebutkan sebelumnya.
Dasar tentang li’an, sesuai firman Allah SWT :
‫والذين يرمون أزواجهم ولم يكن لهم شهداء إال‬
‫ فشهادة أحدهم أربع شهادات باهلل إنه‬،‫أنفسهم‬
‫﴾ والخامسة أن لعنة هللا عليه‬6﴿ ‫َ الصادقين‬ ‫َلم‬
‫ِن‬
)7-6 : ‫﴾ (سورة النور‬7﴿ ‫إن كان من الكاذبين‬
Artinya :“Dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina) padahal mereka tak
membawakan saksi-saksi selain diri mereka sendiri, maka persaksian orang itu ialah empat kali
bersumpah dengan nama Allah, sesungguhnya dia adalah termasuk orang-orang yang benar. Dan
(sumpah) yang kelima; bahwa laknat Allah atasnya, jika dia termasuk orang-orang yang berdusta”.
(QS. An -Nuur : 6-7)

‫باب في كفارة الظهار وباب في اللعان وباب في‬ | 7


‫العدة وباب في اإلستبراء بكتاب كفاية األخيار‬
‫المدرسة الدينية السلفية اإلسالمية‬ 1434
"‫"دار التقوى‬ ‫هـ‬

Asbabun Nuzul ayat ini ialah ketika Hilal bin Umayyah menuduh isterinya berzina dengan
Syarik Ibnus Samha’ kepada Rasulullah SAW, maka Rasulullah berkata padanya :
!‫ يا رسول هللا‬:‫ فقال‬.‫البينة أو حد في ظهرك‬
‫إذا رأى أحدنا على امرأته رجال ينطلق يلتمس‬
:‫البينة؟ فجعل النبي صلى هللا عليه وسلم يقول‬
‫ والذي‬:‫ فقال هالل‬.‫البينة أو حد في ظهرك‬
‫ ولينزلن هللا ما يبرئ‬،‫بعثك بالحق إني لصادق‬
.‫ظهري من الحد‬
Artinya : “Bawa saksi atau engkau dihukum (dipukul) pada punggungmu. Hilal lalu berkata
: Wahai Rasulullah, apakah salah seorang dari kita melihat seorang laki-laki lain dengan isterinya
(berbuat curang), apakah dia harus pergi mencari saksi? Maka Nabi tetap berkata: Bawa saksi atau
(engkau) dihukum (dipukul) pada punggungmu. Hilal berkata: Demi Allah yang telah mengutus
engkau dengan hak, sesungguhnya aku benar. Dan Allah pasti akan menurunkan sesuatu yang dapat
membebaskan punggungku dari hukuman (pukulan)”.
Dengan begitu, apabila orang laki-laki menuduh zina isterinya, maka wajib atasnya hukuman
(had) sebagaimana telah ditentukan dalam nash Al-Qur’an, dan ia berhak membebaskan diri dari had
dengan dua cara. Dengan membawa saksi atau dengan mel’an, seperti yang telah ditentukan oleh
Hadits di atas. Kemudian jika suami sudah yakin bahwa isterinya berzina, disebabkan ia melihatnya
sendiri bahwa isterinya berzina, maka ia boleh menuduh isterinya berzina. Demikian juga, jikalau si
isteri mengaku kepada si suami bahwasannya ia benar melakukan zina dengan orang lain, dan hatinya
membenarkan pengakuan si isteri, atau juga orang yang dapat dipercaya memberitahukan kepada
suami, atau memang kabar tentang isterinya tersebut sudah tersebar luas bahwa isterinya telah
melakukan zina dengan laki-laki lain, disaat salah satu masyarakat melihat sendiri ketika laki-laki itu
keluar dengan si isteri dengan gerak-gerik yang mencurigakan. Jikalau memang beritanya tersebar
luas tetapi tidak ada satupun dari masyarakat melihatnya sendiri, maka si suami tidak boleh menuduh
si isteri melakukan hal tersebut, menurut qaul yang ashah. Dan Imam Haramain berkata : kalau si
suami melihat seorang laki-laki bersama isterinya dengan tanda-tanda si isteri dalam keadaan yang
boleh diingkari, atau melihat isterinya bersama laki-laki itu beberapa kali ditempat yang
mencurigakan, maka itu samalah dengan berita yang tersiar disertai melihat. Qaul ini diikuti Imam
Ghazali dan lain-lain. Imam Nawawi mempertegas dengan perkataaan para sahabat-sahabat kami
dengan ungkapan, “apabila si suami tidak melihat si isteri melakukan hal tersebut, dan si suami hanya
mendengarnya dari orang lain, maka si suami tidak boleh meli’annya dengan bukti yang
menjawabnya sendiri seperti tibanya anak dalam kandungan si isteri yang menurut si suami bukan
hasil dari perkawinannya dengan si isteri”. Dan Imam Nawawi mengatakan pula “lebih baik
mentalaknya jikalau ia benci dengan si isteri setelah mendengar bahwa melakukan hal itu”. Wallahu
a’lam.
Jumhur ulama’ menambah keterangan dari perkataan Imam Nawawi “jikalau diyakini anak
tersebut bukan darinya, maka wajib atas suami menolak kehadiran tersebut dengan meli’an. Dan
dalam satu wajah yang lain mengatakan tidak wajib menolaknya. Imam Al-Baghawi dan ulama’
lainnya berkata, “kalau suami yakin dengan keberadaan anak itu hadir dari isteri yang berzina, maka
ia boleh menuduhnya berzina karena boleh jadi anak itu dari suami sebelumnya atau dari wathi
syubhat”. Perkataan para Imam, keyakinan hanya dapat terjadi apabila suaminya tidak pernah
mencampuri sama sekali, atau mencampurinya tetapi si isteri melahirkan anak itu lebih dari 4 tahun
sejak dari waktu campur atau kurang dari 6 bulan.

‫باب في كفارة الظهار وباب في اللعان وباب في‬ | 8


‫العدة وباب في اإلستبراء بكتاب كفاية األخيار‬
‫المدرسة الدينية السلفية اإلسالمية‬ 1434
"‫"دار التقوى‬ ‫هـ‬

Apabila suatu perkara berakhir kepada li’an, ia harus mengucapkan kelima perkataan tersebut
sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, perkataan tersebut adalah sesuai dengan perintah
hakim atau wakilnya. Dan ia harus menyebutkan isterinya, jikalau si isteri berada jauh dari negerinya
atau dari tempat pertemuan serta menghubungkan nasab isteri kepada bapak-bapaknya agar
perempuan tersebut terbeda dengan perempuan yang lainnya. Dan jikalau si isteri hadir maka cukup
menunjuknya, menurut qaul yang shahih, karena dengan hal itu, maka sudah dapat dibedakan
sehingga tidak perlu menyebutkan nama dan nasabnya. Dan ada yang mengatakan harus
menyebutkan nama dan menunjuknya. Ketika keduaya hadir, pada sumpah yang kelima ia harus
berkata, “Bahwa laknat Allah atasku jika aku termasuk orang-orang yang berdusta berkenaan zina
yang aku tuduhkan kepadanya”. Kenapa dengan demikian? Dikarenakan hal ini adalah ketentuan
nash Al-Qur’an, jikalau ada anak, maka ia menyebutkannya dalam kata-katanya yang kelima, karena
dalam hal ini anak tersebut adalah sebagai kesaksian, dengan mengatakan, “Bahwa anak ini atau
kandungan ini dari zina dan bukan dariku”.
Dan jikalau si suami mengatakan sebagian dari sumpah itu dengan singkat, seperti “dari zina”,
apakah cukup? Sebagian banyak ulama’ mengatakan tidak cukup, karena kemungkinan benarnya ia
menyangka wathi’ syubhat itu sama dengan zina, sehingga dengan demikian anak tidak tertolak. Dan
qaul yang ashah dari keduanya sebenarnya cukup. Dan jikalau ia berkata singkat “bukan dariku”,
tidak cukup. Dan jikalau ia lupa menyebut anak dalam sebagian kata li’annya, maka ia perlu
mengulangi li’an tersebut, karena dengan begitu berarti tidak menolak anak.
Mushannif mengatakan, “ia berkata pada hakim”, ini harus dilakukan sebagai ketentuan
sahnya li’an, dikarenakan li’an itu sebenarnya adalah sumpah. Oleh karena itu, dengan perintah hakim
seperti sumpah-sumpah yang lain.
Mushannif juga mengatakan, “aku persaksikan”, lafadz ini juga diharuskan. Oleh karena itu,
kalau seseorang menggantikannya dengan berkata, “aku bersumpah demi Allah..... sesungguhnya aku
termasuk orang-orang yang benar, atasku laknat (la’an) Allah jika aku berdusta”, kata la’an tidak sah
menurut qaul yang ashah jika diganti dengan lafadz ib’ad (terjatuh dari rahmat Allah), atau
menggantinya dengan lafadz ghadhab (murka), atau menggantinya dengan lafadz sukhth (marah),
atau menggantikannya dengan kata sebaliknya. Dan ada yang berpendapat tidak sama sekali, karena
semua hal itu dapat merusak lafadz yang memang telah diperintahkan sehingga serupa dengan orang
yang menjadi saksi yang merusakkan lafadz syahadah (kesaksian).
Jikalau si suami telah sampai pada ucapan la’an (kutuk) atau si isteri sampai pada ucapan
ghadhab (murka), sunnat bagi hakim berkata, “sumpah yang kelima ini mendatangkan siksa di dunia,
dan siksa dunia lebih ringan daripada siksa akhirat”. Oleh karena itu, takutlah engkau kepada Allah
SWT, karena aku sebenarnya khawatir kalau engkau tidak dan kembali dengan membawa kutukan
dari Allah SWT, semua itu dilakukan oleh hakim guna untuk mengingatkan supaya kembali, dan
kemudian hakim membaca pula ayat dibawah ini :
‫إن الذين يشترون بعهد هللا وأيمانهم ثمنا قليال‬
‫أولئك ال خالق لهم في اآلخرة وال يكلمهم هللا وال‬
‫ينظر إليهم يوم القيامة وال يزكيهم ولهم‬
)77 : ‫ (سورة آل عمران‬.‫عذاب أليم‬
Artinya : “Sesungguhnya orang-orang yang menukar (mengingkari) janji Allah dan sumpah-
sumpah mereka dengan harga yang sedikit, mereka itu tidak mendapatkan kebahagiaan (pahala) di
Akhirat, dan Allah tidak akan berkata-kata dengan mereka, dan tidak akan melihat mereka pada hari
kiamat, dan tidak (pula) akan mensucikan mereka. Bagi mereka azab yang pedih”. (QS. Ali Imran
: 77)

‫باب في كفارة الظهار وباب في اللعان وباب في‬ | 9


‫العدة وباب في اإلستبراء بكتاب كفاية األخيار‬
‫المدرسة الدينية السلفية اإلسالمية‬ 1434
"‫"دار التقوى‬ ‫هـ‬

Jika si suami dan si isteri tetap saja akan meneruskan li’an, maka hakim membiarkan saja.
Dan sebaiknya hakim menyebutkan pula hadits Rasulullah di bawah ini :
‫أيما امرأة أدخلت على قوم من ليس منهم فليست‬
‫ وايما رجل‬.‫من هللا في شيء ولن يدخلها هللا الجنة‬
‫جحد ولده وهو ينظر إليه احتجب هللا منه وفضحه‬
‫ (وفي رواية) على‬.‫على رؤوس األولين واآلخرين‬
.‫رؤوس الخالئق يوم القيامة‬
Artinya : “Barangsiapa dari perempuan yang memasukkan kedalam suatu kaum, orang yang
bukan dari itu, maka perempuan tersebut tidak sedikitpun akan dipandang oleh Allah dan Allah tidak
akan memasukkannya kedalam surge. Dan barangsiapa dari lelaki mengingkari anaknya, sedangkan
ia melihatnya, Allah tetutup baginya, dan dia akan membuka a’ibnyad dimuka orang-orang
terdahulu dan orang-orang kemudian”. (dan dalam satu riwayat), berbunyi : “dan dipan seluruh
makhluk pada haqri kiamat kelak”.
Diriwayatkan oleh Abu Daud, An Nasa’I, dan Ibnu Majjah. Ibnu Hibban dan Al-Hakim
mengatakan sumber haidts tersebut shahih, dan ia berkata menurut syarat muslim. Wallahu a’alam.

Syaikh Abu Syujak berkata :


،‫ سقوط الحد عنه‬:‫﴿ويتعلق بلعانه خمسة أحكام‬
‫ ونفي‬،‫ وزوال الفراش‬،‫ووجوب الحد عليها‬
﴾.‫ والتحريم على األبد‬،‫الولد‬
[Dan ada lima ketentuan hukum yang berkaitan dengan li’an dari pihak laki-laki, yaitu ; 1.
Gugur hukuman (had) pada si lelaki, 2. Wajib had atas si perempuan, 3. Hilang tikar (cerai antara
suami isteri), 4. Kalau ada anak , anak itu tidak dapat diakui oleh suami, 5. Haram (kawin) selama-
lamanya].
Perlu diketahui, bahwa suami tidak dapat dipaksa untuk berli’an sesudah ia menuduh zina,
tetapi ia boleh menahan diri, dan ia wajib di hukum sesuai dengan had menuduh zina seperti orang
lain. Isteri dalam hal ini juga tidak dapat dipaksa berli’an sesudah suami meli’annya. Selanjutnya,
jikalau suami meli’an dan setelah melengkapi hal-hal yang mengenai li’an, maka berlakulah hukum
berturut-turut sebagimana berikut :
1. Gugur hukuman/pukulan (had) ke atas suami, sesuai dengan ayat yang mulia itu, sebab ayat
tersebut menempatkan li’an pada kedudukan saksi dipihak suami.
2. Si isteri wajid dihukum (had), apabila suami menuduhnya berzina yang dihubungkannya pada
keadaan suami-isteri, sedangkan si isteri seorang muslimah, sesuai dengan firman Allah SWT,
yang berbunyi :
‫ويدرأ عنها العذاب أن تشهد أربع شهادات‬
)8 : ‫ (سورة النور‬.‫باهلل إنه لمن الكاذبين‬
Artinya : “Isterinya itu dihindarkan dari hukuman oleh sumpahnya empat kali atas nama Allah,
sesungguhnya suaminya itu benar-benar termasuk orang yang berdusta”. (QS. An- Nur : 8)
3. Terjadi perceraian antara suami isteri. Itulah yang diungkapkan mushannif dengan “hilangnya
tikar”. Perceraian ini terjadi lahir batin, baik si isteri benar maupun si suami benar. Ada yang

‫باب في كفارة الظهار وباب في اللعان وباب في‬ | 10


‫العدة وباب في اإلستبراء بكتاب كفاية األخيار‬
‫المدرسة الدينية السلفية اإلسالمية‬ 1434
"‫"دار التقوى‬ ‫هـ‬

mengatakan kalau si isteri benar tidak terjadi perceraian batin. Dan qaul yang shahih ialah yang
pertama. Alasannya ialah dalam sebuah Hadits Rasulullah SAW, yang berbunyi :
‫أن رسول هللا صلى هللا عليه وسلم فرق بين رجل‬
‫وامرأته تالعنا في زمنه عليه الصالة والسالم‬
‫ رواه ابن عمر رضي هللا عنه‬.‫وألحق الولد باألم‬
.‫أخبره اإلمام البخاري والمسلم‬
Artinya : “Sesungguhnya Rasulullah SAW telah menceraikan seorang lelaki dengan isteri yang
saling berli’an pada zamannya Rasulullah SAW, dan beliau mengikutkan anak kepada ibu”.
Diriwayatkan oleh Ibnu Umar RA dan diberitakan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim.
4. Kalau ada anak, maka anak itu tidak diakui oleh suami, karena alasannya sesuai dengan hadits di
atas.
5. Haram buat selama-lamanya antara kedua suami-isteri apabila terjadi percearaian dengan lian,
dikarenakan Al-‘Ajlani berkata sesudah berli’an, “aku berdusta kepadanya jika aku masih
menahannya, maka ia ditalak tiga”, kemudian Rasulullah SAW bersabda, :
.‫السبيل لك عليها‬
Artinya : “Tidak ada jalan lagi bagimu kepadanya”.
Nabi meniadakan jalan secara mutlak. Seandainya tidak menjadi haram selamanya tentu
beliau menerangkan sebabnya seperti beliau menerangkan sebab pada perempuan yang ditalak tiga.
Dan diriwayatkan pula :
.‫المتالعنان اليجتمعان أبدا‬
“Dua orang suami isteri yang berli’an tidak akan berkumpul buat selamanya”.
Kalau suami telah mentalaknya dengan talak baa’in sebelum li’an, kemudian ia meli’annya,
apakah keharaman menjadi selamanya? Ada dua wajah; yang ashah dari kedua wajah; “YA” (menjadi
haram selamanya).
Ketentuan-ketentuan ini tergantung semata-mata kepada li’an dari suami dan ketentuan-
ketentuan tersebut sedikitpun tidak tergantung atas li’an dari isteri, juga tidak atas keputusan hakikm.
Dan seandainya suami mengajukan saksi terhadap zina yang diperbuat isteri, maka si isteri tidak
berhak meli’an untuk menolak hukuman had, karena li’an tersebut adalah alasan yang lemah, oleh
sebab itu, li’an tidak dapat melawan saksi. Wallahu a’lam.
Cabang Permasalahan
Seandainya perempuan yang dili’an itu seorang hamba sahaya, kemudian hamba sahaya yang
dili’an dimiliki suami, maka untuk dapat mencampurinya dengan halal ada dua jalan; dan yang
diputuskan oleh ulama’ Iraq dilarang mencampurinya. Dan ada yang mengatakan terdapat khilaf
dalam hal apabila si suami mentalak isterinya yang hamba sahaya dengan talak tiga. Kemudian suami
memilikinya, apakah halal baginya atau tidak? Qaul yang ashah, tidak bagi si suami, sampai isteri
tadi dinikahi dengan orang lain, dan lalu mentalaknya menurut syarat-syaratnya, sesuai dengan
maksud jelas di dalam ayat :
‫فإن طلقها فالتحل له من بعد حتى تنكح زوجا‬
)230 : ‫ (سورة البقرة‬.‫غيره‬
Artinya : “Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan
itu tidak halal lagi baginya hingga dia berkawin dengan suami yang lain”. (QS. Al - Baqarah : 230)

‫باب في كفارة الظهار وباب في اللعان وباب في‬ | 11


‫العدة وباب في اإلستبراء بكتاب كفاية األخيار‬
‫المدرسة الدينية السلفية اإلسالمية‬ 1434
"‫"دار التقوى‬ ‫هـ‬

Ada pula yang mengatakan perempuan itu halal, karena talak tiga tidak menghalanginya untuk
dimiliki, sehingga talak tiga itupun tidak dapat mencegah percampuran dengan hamba sahaya yang
dimiliki; berbeda dengan nikah yang pertama. Wallahu a’lam.
Syaikh Abu syujak berkata :
‫ أشهد‬:‫ فتقول‬،‫﴿ويسقط الحد عنها بأن تالعن‬
‫باهلل أن فالنا هذا من الكاذبين فيما رماني به‬
‫من الزنا (أربع مرات) وتقول في الخامسة بعد‬
‫ وعلي غضب هللا إن كان من‬:‫أن يعظها الحاكم‬
﴾‫الصادقينز‬
[Hukuman (had) gugur pada isteri sebab ia meli’an. Maka ia berkata, “Aku persaksikan
kepada Allah bahwa fulan ini termasuk orang-orang yang berdusta dalam zina yang ia tuduhkan
kepadaku”- diucapkan empat kali- Dan pada sumpah yang kelima sesudah hakim menasehatinya, ia
berkata, “Dan atasku murka Allah, kalau si fulan itu termasuk orang-orang yang benar”].
Telah anda ketahui, bahwa isteri tidak dapat dipaksa untuk berli’an, tetapi ia boleh meli’an
untuk menangkis hukuman (had) sesuai dengan firman Allah SWT, yang berbunyi :
‫ويدرأ عنها العذاب أن تشهد أربع شهادات باهلل‬
)8 : ‫ (سورة النور‬.‫َ الكاذبين‬
‫ِن‬‫إنه َلم‬
Artinya : “Isteri itu dihindarkan dari hukuman oleh sumpahnya empat kali atas nama Allah,
sesungguhnya suami itu benar-benar termasuk orang-orang yang berdusta”. (QS. An- Nuur : 8)
Si perempuan menunjuk kepada suaminya, sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya,
jika ia hadir, ataupun si perempuan menyebutkan nama dan keturunannya yang dapat
membedakannya dengan yang lain, kalau suami itu tidak hadir. Dan pada sumpah yang kelima si
perempuan berkata, “Sesungguhnya murka Allah atas dirinya, jikalau si fulan termasuk orang-orang
yang benar”, sesuai ayat diatas. Dan si perempuan tidak perlu menyebut anak di dalam li’annya
karena jikalau menyebutkan maka li’annya tidak mempengaruhi. Dan ada yang berpendapat si
perempuan harus menyebutnya supaya kedua li’an itu bertemu. Wallahu a’lam.
Cabang Permasalahan
Seseorang berkata kepada yang lain, “Hai kaum Luth!”, apakah perkataan tersebut sindiran
(kinayah) dalam menuduh zina, ataukah tuduhan yang terang (sharih)? Pendapat madzhab pada Imam
Rafi’i, perkataan tersebut adalah kinayah bukan sharih. Kata Imam Nawawi, perkataan tersebut
biasanya diucapkan dengan maksud persetubuhan (wath’i) pada lubang belakang (dubur). Bahkan
hanya di artikan seperti itu saja. Oleh karena itu, sebaiknya harus diyakinkan bahwa perkataan
tersebut adalah sharih. Kemudian katanya, bahwa yang sudah dipastikan bahwa perkataan tersebut
adalah sharih. Mushannif kitab At-Tanbih juga memastikan kebenaran pendapat tersebut, sekalipun
yang terkenal di dalam madzhab bahwa perkataan tersbut adalah kinayah. Dan yang diherankan pula
ia berkata di dalam pendapat yang diperbaiki di dalam At-Tanbih, bahwa yang pasti adalah kinayah.
Wallahu a’lam.
Cabang Permasalahan
Sering terdengar orang berkata kepada anak-anak dan lainnya, “Hai anak zina!”. Kata-kata
seperti ini suatu tuduhan terhadap ibu anak yang ditujukan kata-kata itu. Oleh karena itu, wajib
dihukum (had), karena perkataan tersebut adalah tuduhan (qadzf) yag sharih. Wallahu’ a’lam.

‫باب في كفارة الظهار وباب في اللعان وباب في‬ | 12


‫العدة وباب في اإلستبراء بكتاب كفاية األخيار‬
‫المدرسة الدينية السلفية اإلسالمية‬ 1434
"‫"دار التقوى‬ ‫هـ‬

PEMBAHASAN III
“BAB ‘IDDAH”
َّ
"‫العدة‬ ‫"فصـــل في‬
Syaikh Abu Syujak berkata :
،‫ متوفى عنها زوجها‬:‫ والمعتدة ضربان‬: ‫﴿ فصل‬
‫ فالمتوفى عنها إن كانت حامال‬.‫وغير متوفى‬
‫ فعدتها‬،‫ وإن كانت حائال‬،‫فعدتها بوضع الحمل‬
﴾.‫أربعة أشهر وعشرا‬
[Perempuan yang ber’iddah ada 2 macam ; 1. Perempuan yang ditinggalkan suaminya mati.
2. Perempuan yang tidak ditinggal mati oleh suaminya. Adapun yang ditinggal mati oleh suaminya,
jikalau perempuan tersebut hamil, maka masa ‘iddahnya adalah dengan melahirkan anak dalam
kandungan. Dan jikalau tidak hamil, maka masa ‘iddahnya 4 bulan 10 hari].
‘Iddah , yaitu masa menanti yang diwajibkan atas perempuan agar diketahui kandungannya
berisi atau tidak. ‘Iddah dapat terjadi kadangkala disaat ia melahirkan, atau masa hamil beberapa
bulan, atau quru’ pada yang lain.
Tidak diragukan lagi, bahwa perempuan yang ber’iddah ada 2 macam; perempuan yang
ditinggal mati oleh suaminya dan perempuan yang tidak ditinggal mati oleh suaminya, adakalanya
dalam hal ini, si perempuan dalam keadaan hamil ataupun tidak dalam keadaan hamil. Jikalau ia
hamil, maka masa ‘iddahnya adalah menunggu sampai dengan ia melahirkan si anak dalam
kandungannya dengan beberapa syarat yang akan dijelaskan pada masalah selanjutnya di dalam hal
‘iddah talak. Dan tak ada perbedaan antara kelahiran yang segera ataupun yang terlambat. Kata Imam
Madzahibul Arba’, jelasnya ayat yang telah menentukan wajib ber’iddah dengan masa sekalipun si
isteri hamil. Tetapi sudah ditetapkan bahwa ketika Subai’ah Al-Aslamiyah melahirkan setengah bulan
sesudah suaminya wafat, lalu Rasulullah SAW, bersabda :
‫(رواه اإلمام البخاري‬ ! ‫حللت فانكحي من شئت‬
)‫وغيره‬
Artinya : “Engkau menjadi halal, maka nikahlah dengan orang yang kau suka”. (HR.
Bukhari dan lain-lain)
Dan dari ‘Umar RA, ia berkata :
.‫لو وضعت وزوجها على السرير حلت‬
Artinya : “Jikalau isteri melahirkan sedangkan suaminya masih membujur di atas ranjang,
maka dia halal.”
Selanjutnya tidak ada perbedaan dalam ‘iddah hamil yang terletak pada perempuan yang
berstatus merdeka dan hamba sahaya. Jikalau perempuan itu tidak hamil, ataupun hamil yang tidak
dimungkinkan suaminya itu mati, maka perempuan merdeka ber’iddah dengan 4 bulan 10 hari, sesuai
dengan Allah SWT, yang berbunyi :
‫واللذين يتوفون منكم ويذرون أزواجا يتربصن‬
)234 : ‫ (سورة البقرة‬.‫بأنفسهن أربعة أشهر وعشرا‬
Artinya : “Orang-orang yang meninggal dunia di antara kamu dengan meninggalkan isteri-
isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber’iddah) 4 bulan 10 hari”. (QS. Al -
Baqarah : 234)

‫باب في كفارة الظهار وباب في اللعان وباب في‬ | 13


‫العدة وباب في اإلستبراء بكتاب كفاية األخيار‬
‫المدرسة الدينية السلفية اإلسالمية‬ 1434
"‫"دار التقوى‬ ‫هـ‬

Ayat diatas menjelaskan tentang pengecualian perempuan hamil yang ditinggalkan suami.
Selain dari penjelasan ayat di atas maka tetap isteri diperlakukan dengan pengertian umum.
Sedangkan, perempuan hamil yang bukan dari suaminya, maka ia tidak boleh ber’iddah dengan
‘iddah perempuan yang ditinggal mati oleh suaminya. Jadi, tidak perbedaan dalam ‘iddah kematian
suami antara isteri-isteri yang masih anak-anak, isteri yang sudah dewasa, dan isteri yang ber’iddah
quru’ dengan lainnya. Dan juga tidak perbedaan antara isteri dari suami yang masih kecil dan suami
yang kehilangan syahwat dengan lainnya. Dari penjelasan tentang bulan-bulan di atas, maksudnya
dihitung sedapat mungkin dengan bulan / tanggal.
Dan ketahuilah bahwa ‘iddah wafat itu khusus kepada nikah yang sah, dan seandainya seorang
perempuan menikah dengan nikah yang rusak, dan lelakinya mati sebelum campur, maka tak ada
‘iddah. Dan kalau sudah dicampur dengan lelaki tersebut, kemudian lelaki tersebut meninggal dunia
atau terjadi perceraian diantara keduanya, maka si perempuan itu harus menjalani ‘iddah sama seperti
perempuan yang dicampuri dalam ‘iddah wathi syubhat. Wallahu a’lam.
Abu Syujak berkata :
‫ إن كانت حامال‬،‫﴿وغير المتوفي عنها زوجها‬
‫ وإن كانت حائال من ذوات‬،‫فعدتها بوضع الحمل‬
‫ وإن كانت‬،‫الحيض فعدتها باإلقراء وهي األطهار‬
﴾.‫صغيرة أو آيسة فعدتها ثالثة اشهر‬
[Dan selain isteri yang ditinggalkan mati suaminya, jikalau perempuan itu hamil, maka
‘iddahnya dengan melahirkan kandungannya. Dan jikalau perempuan tersebut tidak hamil yang
tergolong dari perempuan yang punya haidh, maka ‘iddahnya dengan quru’, yaitu beberapa kali
suci. Sedangkan jikalau isteri masih kecil (anak-anak) atau perempuan yang telah putus dari haidh
(tidak haidh lagi), maka ‘iddahnya adalah 3 bulan].
Hal di atas adalah bagian kedua yaitu ‘iddah isteri yang ditinggalkan mati oleh suaminya. Dan
tak ada keraguan lagi, bahwa bagian kedua ini ada bermacam-macam, ada yang ‘iddah hamil, ada
‘iddah quru’, dan ada juga yang ‘iddah bulan.
Yang pertama adalah isteri yang hamil ‘iddahnya dengan melahirkan kandungannya, sesuai
dengan firman Allah SWT yang sifatnya umum, yaitu :
‫(سورة‬ .‫وأوالت األحمال أجلهن أن يضعن حملهن‬
)4 : ‫الطالق‬
Artinya : “Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu ‘iddah mereka itu ialah sampai
mereka melahirkan kandungannya”. (QS. At – Thalaq : 4)
Ber’iddah dengan ‘iddah hamil ada 2 syarat; Pertama, anak dibangsakan kepada orang yang
mempunyai ‘iddah tersebut, secara jelas maupun dengan cara kemungkinan seperti orang yang
menolak anak dengan li’an. Jadi, apabila si suami meli’an isteri yang lagi hamil, dan ia tidak
mengakui anak yang ia kandunginya, maka ‘iddahnya ialah dengan melahirkan kandungannya karena
dimungkingkan keberadaan anak tersebut berasal daripadanya. Sedangkan apabila dimungkinkan
keberadaan anak tidak berasal dari si suami, misalnya suami yang masih kecil (tidak baligh)
meninggal dunia, sedangkan si isteri hamil, maka ‘iddahnya tidak habis dengan melahirkan
kandungannya, menurut madzaib. Dan orang yang dikebiri2 yang zakarnya dipotong dan kedua
pelirnya masih ada, maka anak dihubungkan kepadanya, dan si isteri memasuki ‘iddah dari wafat

2/ke·bi·ri/ a sudah dihilangkan (dikeluarkan) kelenjar testisnya (pd hewan jantan) atau dipotong ovariumnya (pd hewan betina) atau
sudah dimandulkan.

‫باب في كفارة الظهار وباب في اللعان وباب في‬ | 14


‫العدة وباب في اإلستبراء بكتاب كفاية األخيار‬
‫المدرسة الدينية السلفية اإلسالمية‬ 1434
"‫"دار التقوى‬ ‫هـ‬

dengan melahirkan kandungannya, dan tidak wajib ‘iddah talak karena tidak bercampur (dengan
zakar). Wallahu a’lam.
Syarat kedua, si isteri melahirkan kandungan dengan sempurna. Kalau kandungan dua
kembar, maka harus melahirkan kedua-duanya sekali. ‘Iddah tidak habis dengan keluarnya sebagian
anak kalau yang sebagian lagi masih belum keluar, sama saja yang sebagian itu termasuk
bersambuung atau terpisahnya ‘iddah, jikalau si isteri tersebut ditalak maka seketika itu gugur
talaknya, dan jikalau si isteri tersebut meninggal dunia maka anak tersebut menjadi pewarisnya. Dan
apabila anak itu terpisah (dari ibunya) maka ‘iddahnya habis, baik anak yang dilahirkannya itu mati
ataupun hidup. Dan ‘iddah tidak habis sebab keguguran segumpal darah beku dan darah. Jikalau yang
gugur sepotong daging (mudhghah), dilihat dulu; jikalau pada mudhghah tersebut tampak sesuatu
bentuk manusia, seperti tangan, jari-jari, kuku, ataupun yang lain, maka ‘iddahnya berakhir. Dan
kalau tidak tampak sesuatu bentuk manusia pada hal tersebut, tetapi para bidan-bidan berkata terdapat
bentuk-bentuk yang samar-samar, yang terlihat olehnya, meskipun bentuk itu tidak jelas menurut
orang lain, maka kesaksian bidan-bidan tersebut boleh diterima, dan seketika itu boleh ditetapkan
hukumnya dengan habisnya masa ‘iddah, juga hukum-hukum lain yang berkaitan. Dan jikalau tidak
ada bentuk yang jelas maupun kesamaran yang dapat diketahui oleh bidan-bidan beranak, tetapi
mereka hanya mengatakan terjadinya keguguran pada kelahiran tersebut, maka menurut para madzaib
dalam ketentuan (nash) ‘iddahnya juga berakhir dengan terjadinya suatu hal tersebut, meskipun
‘iddah pada mulanya menurut nash tidak wajib dengan keguguran atau kelahiran yang tidak
ditetapkan dengan keguguran, dikarenakan tujuan dari ‘iddah itu sendiri adalah bebas dan bersihnya
rahim (uterus) dan ini sudahpun berhasil, dan yang asal adalah bebasnya tanggungan dari ‘iddah,
sedangkan kedudukan sebagai ibu dari si anak adalah ditetapkannya mengikuti anak.
Dan jikalau bidan-bidan tersebut ragu-ragu, apakah yang gugur itu daging manusia atau
bukan, maka semua hukum-hukum ini tidak dapat ditetapkan, tanpa ada khilaf. Dan kalau suami
berbeda pendapat dengan si isteri, semisal si isteri mengatakan bahwa keguguran adalah sesuatu yang
menyebabkan habisnya ‘iddah. Sedangkan, si suami mengatakan sebaliknya, maka perkataan yang
diterima adalah perkataan si isteri dengan disuruh bersumpah, karena isterilah yang patut dipercayai
dalam hal ‘iddah. Wallahu a’lam.
Macam yang kedua ialah perempuan yang ber’iddah quru’ (‫)أقراع‬. Lafadz ‫أقراع‬
sendiri lafadz jama’ dari ‫َرع‬
‫ ق‬dan ada yang mengatakan ‫ُرع‬
‫ق‬. Kata Imam Nawawi, sebagian
ulama’ mengira, kalau qar’un untuk suci dan kalau qar’un untuk haidh. Dan kedua kata tersebut dalam
segi bahasa berarti suci dan haidh, menurut qaul yang shahih. Ada yang mengatakan yang shahih
lafadz qur’un itu adalah hakikat suci dan haidh. Dan ada pula yang mengatakan, quru’ ialah hakikat
dalam suci dan figuratif (majaz) dalam haidh. Dari sini terdapat banyak perbedaan ulama’ mengenai
suci. Dari qaul yang adzhar mengatakan quru’ ialah keadaan suci di antara dua darah. Ada yang
mengatakan quru’ adalah perpindahan dari suci kepada haidh. Dan yang telah disebutkan pada
pembahasan talak, seandainya suami berkata kepada isteri yang belum pernah haidh, “Engkau
tertalak”, dalam setiap quru’ satu kali talak, maka perempuan tersebut tertalak pada waktu itu juga,
menurut qaul dalam sebagian besar ulama’. Sedangkan kata Imam Rafi’i, boleh jadi beliau
menguatkan qaul mereka untuk menetapkan jatuhnya talak pada contoh yang telah disebutkan di atas.
Pendapat beliau yakni dikarenakan memiliki arti yang khusus, bukan karena memberatkan qaul,
bahwasannya suci itu ialah perpindahan. Perlu anda ketahui, jikalau terdapat seseorang yang mentalak
isterinya, sedangkan pada si isteri masih tersisa suci, maka sisa tersebut dihitung satu quru’, baik ia
telah mencampurinya dalam sisa itu atau tidak. Kemudian jikalau ia haidh, kemudian suci, kemudian
haidh, kemudian suci lagi, kemudian haidh lagi, maka habislah masa ‘iddahnya, menurut qaul yang
adzhar, dikarenakan yang jelas quru’ ialah darah haidh. Dan ada yang mengatakan harus lewat sehari

‫باب في كفارة الظهار وباب في اللعان وباب في‬ | 15


‫العدة وباب في اإلستبراء بكتاب كفاية األخيار‬
‫المدرسة الدينية السلفية اإلسالمية‬ 1434
"‫"دار التقوى‬ ‫هـ‬

semalam; maka berdasarkan qaul yang adzhar, jikalau darah yang terputus kurang dari sehari
semalam dan darah itu tidak kembali lagi sampai lewat 15 hari, maka jelaslah ‘iddahnya tidak habis.
Macam yang ketiga, perempuan yang belum melihat darah haidh, karena dia masih kecil
(anak-anak), atau dia sudah putus haidh, atau juga dia sudah sampai pada usia haidh tetapi belum
haidh, maka ‘iddah mereka adalah dengan beberapa bulan (Asyhur). Sebagaimana Allah SWT
berfirman :
‫والالئي يئسن من المحيض من نسائكم إن ارتبتم‬
‫ (سورة الطالق‬.‫فعدتهن ثالثة أشهر والالئي لم يحضن‬
)4 :
Artinya : “Dan perempuan-perempuan yang putus asa dari haidh diantara perempuan-
perempuan kamu, jika kamu ragu-ragu (tentang masa ‘iddahnya), maka ‘iddah mereka adalah 3
bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haidh”. (QS. At- Thalaq : 04)
Kata Ubay bin Ka’ab RA, ayat yang pertama kali turun mengenai ‘iddah ialah :
‫(سورة‬ .‫والمطلقات يتربصن بأنفسهن ثالثة قروء‬
)228 : ‫البقرة‬
Artinya : “Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) 3 kali quru’”.
(QS. Al – Baqarah : 228)
Ketika banyak orang yang ragu mengenai ‘iddah isteri yang masih kecil (anak-anak) dan
perempuan yang sudah putus haidh (tidak haidh lagi); dengan sebab inilah baru turun surat At-Thalaq
ayat 4.
Terdapat perbedaan pendapat mengenai usia perempuan yang tidak haidh lagi. Pendapat yang
paling masyhur ialah dalam usia 62 tahun. Ada yang mengatakan 60 tahun. Ada yang mengatakan 50
tahun. Dan ada juga yang mengatakan 90 tahun. As-Sarkhasi berkata, bahwa ia pernah melihat
seorang perempuan haidh dalam usia 90 tahun.
Cabang Permasalahan
Seorang perempuan melahirkan anak, sedangkan dia tidak keluar haidh dan nifasnya; apakah
ia ber’iddah dengan, ataukah ia seperti orang yang terputus haidhnya tanpa sebab? Ada dua wajah;
qaul yang shahih ber’iddah dengan bulan karena pendapatnya merujuk dalam firman Allah SWT :
)4 : ‫(سورة الطالق‬ .‫والالئي لم يحضن‬
Artinya : “.........dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haidh”. (QS. At-
Thalaq : 04)
Kata Al-Adzra’i,3 menurut Imam Rafi’i, mengenai hari ‘iddah dari Fatawa Al-Baghawi,
bahwa perempuan yang tidak pernah haidh, apabila melahirkan dan mengeluarkan darah nifas, maka
‘iddahnya ialah 3 bulan, dan dengan nifas itu tidaklah menyebabkan dihitung ber’iddah dengan quru’.
Dan Al-Baghawi menetapkan dengan pendapat ini, manakala Imam Rafi’i sendiri tidak menyebutkan
ada khilaf dalam masalah ini. Wallahu a’lam.
Syaikh Abu Syujak berkata :
﴾‫﴿والمطلقة قبل الدخول ال عدة عليها‬
[Dan perempuan yang ditalak sebelum campur, maka tidak ada ‘iddah apapun baginya].
Perempuan yang ditalak sebelum dicampuri, kalau tidak sampai diam berduaan (berkhalwat),
maka tak ada ‘iddah apapun baginya, tanpa ada khilaf, dan hal ini telah disepakati oleh semua ulama’.
Dan jikalau si suami mentalaknya sesudah diam berduaan (berkhalwat) dengan si isteri, baik si suami

3 Dalam Naskah yang lain, telah berkata Imam Nawawi ganti Al-Adzra’i

‫باب في كفارة الظهار وباب في اللعان وباب في‬ | 16


‫العدة وباب في اإلستبراء بكتاب كفاية األخيار‬
‫المدرسة الدينية السلفية اإلسالمية‬ 1434
"‫"دار التقوى‬ ‫هـ‬

menyentuh selain farjinya atau tidak, maka ada dua qaul; qaul yang adzhar tiada ‘iddah apapun
baginya, sesuai dengan firman Allah SWT :
‫ثم طلقتموهن من قبل أن تمسوهن فما لكم عليهن‬
)49 : ‫ (سورة األحزاب‬.‫من عدة تعتدونها‬
Artinya : “…. Kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kau mencampurinya, maka sekali-
kali tidak wajib atas mereka ‘iddah bagi kamu minta menyempurnakannya”. (QS. Al – Ahzab : 49)
Dikarenakan kesucian farjinya dapat diyakini. Ada yang mengatakan wajib ‘iddah, karena
‘Umar RA dan Ali RA mengatakan, bahwa apabila si suami sudah mengunci pintu dan memasang
tirai, maka si isteri berhak maskawin sepenuhnya dan ia wajib menjalani ‘iddah.
Ketahuilah, bahwa si isteri dari orang laki-laki yang dzakarnya dipotong tinggal kedua biji
pelirnya, maka tidak ada ‘iddah apapun bagi si isteri, dengan syarat si isteri tidak hamil tetapi mustahil
kalau si isteri hamil dikarenakan mustahilnya dzakar masuk. Dan kalau ia hamil, maka anak tersebut
status nasabnya kepada anak lelaki tersebut, dan wajib ‘iddah atas si isteri. Dan jikalau si isteri
tersebut hilang kemaluannya, maka tidak wajib ‘iddah apapun atas isterinya, didasarkan atas qaul
yang ashah, bahwa anak juga tidak dapat berstatus nasab kepada si lelaki tersebut. Wallahu a’lam.
Syaikh Abu Syujak berkata :
‫ وباإلقراء‬،‫﴿ وعدة األمة كعدة الحرة في الحمل‬
‫ وبالشهور عن الوفاة بشهرين‬،‫تعتد بقرءين‬
﴾ .‫ وعن الطالق بشهر ونصف‬،‫وخمس ليال‬
[‘Iddah hamba sahaya perempuan seperti halnya ‘iddah perempuan merdeka yang hamil.
Hamba sahaya perempuan yang ber’iddah quru’ maka ‘iddahnya dua quru’ saja, dan yang ber’iddah
bulan dikarenakan kematian suami, maka ‘iddahnya 2 bulan dan 5 malam. Sedangkan yang
ber’iddah bulan dikarenakan talak ‘iddahnya 1 bulan ½ ].
Hamba sahaya perempuan yang ditalak, jikalau ia hamil maka ‘iddahnya dengan melahirkan
kandungan, sesuai dengan firman Allah SWT :
‫(سورة‬ .‫وأوالت األحمال أجلهن أن يضعن حملهن‬
)4 : ‫الطالق‬
Artinya : “Perempuan-perempuan yang mengandung, ‘iddah mereka sampai lahirnya anak
yang dikandungnya”. (QS. At – Thalaq : 04)
Dikarenakan kandungan tidak terbagi-bagi, maka serupa dengan memotong tangan pencuri.
Dan kalau hamba sahaya perempuan itu termasuk perempuan yang ber’iddah quru’, maka ‘iddahnya
dua quru’ karena sabda Nabi SAW :
.‫يطلق العبد طلقتين وتعتد األمة حيضتين‬
Artinya : “Hamba sahaya laki-laki boleh mentalak 2 kali talak, dan hamba sahaya perempuan
ber’iddah dengan 2 kali haidh”.
Hadits tersebut mengkhususkan (takhshish) ayat yang sifatnya umum. Dan karena hamba
sahaya perempuan mendapat setengah dalam bagian tidur dan hukuman had, tetapi karena tidak
mungkin membagi quru’ menjadi dua bagian, maka dibulatkan saja menjadi dua quru’, sebagaimana
hamba sahaya laki-laki boleh mentalak dengan dua kali talak saja. Dan bahwasannya bersihnya farjii
si isteri yang merdeka dengan 3 quru’, dikarenakan kemerdekaan dan akadnya yang penuh.
Sedangkan, bersihnya farji perempuan yang disetubuhi sebab dimiliki adalah dengan satu kali haidh,
karena kekurangan dirinya yang berstatus budak. Dan bersihnya hamba sahaya perempuan yang
dinikahi adalah di antara quru’ dan satu kali haidh, dikarenakan adanya akad bukan karena merdeka.

‫باب في كفارة الظهار وباب في اللعان وباب في‬ | 17


‫العدة وباب في اإلستبراء بكتاب كفاية األخيار‬
‫المدرسة الدينية السلفية اإلسالمية‬ 1434
"‫"دار التقوى‬ ‫هـ‬

Kalau hamba sahaya perempuan itu termasuk orang yang ber’iddah, maka ada 3 qaul,
diantaranya ;
Qaul yang Pertama, 3 bulan, karena ayat telah disebutkan sebelumnya (ayat yang besifat
umum), dan dikarenakan pula 3 bulan tersebut merupakan masa paling sedikit, dimana tanda-tanda
kandungan mulai tampak seperti bergerak dan perut membesar. Maka jikalau tanda-tada tersebut
tidak kelihatan berarti perempuan tersebut bersih.
Qaul yang Kedua, 2 bulan sebagai ganti dari 2 quru’, seperti halnya 3 bulan bagi perempuan
merdeka yang bestatus sebagai ganti dari beberapa quru’.
Qaul yang ketiga, 1 bulan ½ , supaya berjalan dengan benar dalam membagi dua atau setengah
(perempuan yang merdeka, seperti halnya ‘iddah kematian. Inilah qaul yang ashah dan qaul inilah
yang dietapkan oleh mushannif.
Dan perlu diketahui, bahwa ummul-walad, budak perempuan mukatab dan budak perempuan
muba’adh adalah seperti hukum yang lain, seperti yang telah kami sebutkan. Wallahu a’lam.
Cabang Permasalahan
Jikalau si isteri yang statusnya sebagai hamba sahaya yang ditalak, kemudian ia dimerdekakan
pada waktu menjalani ‘iddah. Apakah ia menjalani ‘iddah sebagai hamba sahaya ataukah sebagai
orang yang merdeka? Ada beberapa qaul; Pertama, ia menyelesaikan ‘iddah sebagai hamba sahaya
dengan menghitung keadaan ‘iddah yang wajib kepadanya. Kedua, menyelesaikan ‘iddah orang
merdeka sebagai tindakan berhati-hati dalam hal ‘iddah. Ketiga, kalau dia ditalak raj’i, ia
menyelesaikan ‘iddah seperti orang-orang merdeka karena dia masih dikira sebagai isteri seperti isteri
yang lain. Karena itulah kalau suami meninggal, maka dia beralih kepada ‘iddah wafat, dan kalau
ditalak baa’in, maka dia menyelesaikan sebagai ‘iddah hamba sahaya seperti perempuan yang lain.
Wallahu a’lam.

‫باب في كفارة الظهار وباب في اللعان وباب في‬ | 18


‫العدة وباب في اإلستبراء بكتاب كفاية األخيار‬
‫المدرسة الدينية السلفية اإلسالمية‬ 1434
"‫"دار التقوى‬ ‫هـ‬

PEMBAHASAN IV
“BAB ISTIBRA’”
"‫"فصـــل في اإلستبراء‬
Syaikh Abu Syujak berkata :
‫ ومن استحدث ملك أمة‬: ‫﴿ فصل في االستبراء‬
‫حرم عليه االستمتاع بها حتى يستبرئها إن‬
‫ وإن كانت من‬،‫كانت من ذوات الحيض بحيضة‬
‫ وإن كانت من ذوات الحمل‬،‫ذوات الشهور بشهر‬
﴾ .‫بوضع الحمل‬
[Barag siapa yang memperoleh hamba sahaya untuk dimiliki, haram bersenang-senang
dengannya sampai ia menunggu farjinya, kalau perempuan itu termasuk perempuan yang haidh,
yaitu dengan satu kali haidh, kalau ber’iddah bulan yaitu dengan satu bulan, dan kalau lagi hamil
adalah dengan melahirkan kandungannya].
Istibra’ ialah suatu ungkapan mengenai masa menunggu yang hukumnya wajib, disebabkan
karena memiliki hamba sahaya perempuan, ketika terjadi maupun hilangnya hak (kekuasaan).
Disebut istibra’ karena ditentukan dengan masa yang paling sedikit yang menunjukkan bersihnya
kemaluan wanita tanpa ‘iddah. Dan ‘iddah itu disebut ‘iddah karena terbilangnya apa yang
menunjukkan kebersihan kemaluannya.
Apabila anda sudah mengerti hal ini, maka dasar / dalil mengenai masalah ini ialah sabda
Nabi SAW mengenai orang-orang yang ditawan dari Kabilah Awthas, sabdanya :
‫ وال غير ذات حمل حتى‬،‫ال توطأ حامل حتى تضع‬
.‫تحيض حيضة‬
Artinya : “Tidak boleh dicampuri perempuan yang hamil sampai ia melahirkan, dan (juga)
tidak boleh dicampuri perempuan yang tidak hamil sampai ia haidh satu kali haidh”. Diriwayatkan
oleh Abu Daud, dan Al-Hakim menyatakan hadits ini shahih serta berkata hadits tersebut
menurut syarat muslim. Benar, Ibnul Qutthan telah mencacatkan Syari’ Al-Qadhi dalam
sanad hadits ini, tetapi dipercayai Ibnu Mu’in dan lain-lain, dan Muslim mengeluarkan
untuknya guna menguatkan.
Dalam hal wajibnya istibra’ itu mempunyai 2 sebab;
1. Pertama, terjadinya peristiwa memiliki hamba sahaya perempuan (amah) sebagaimana yang
disebutkan oleh mushannif dengan perkataannya “Barang siapa memperoleh hamba sahaya untuk
dimiliki....”. Jadi, barang siapa memiliki budak perempuan, wajib atasnya menungguh bersih
farjinya, baik memilikinya dengan sebab diwarisi, membeli, dengan sebab pemberian, sebab
wasiat, ditawan (dalam perang), menguasai kembali sebab dikembalikan karena ada cacat, karena
berselisih, membatalkan penjualan, ataupun sebab menarik kembali pemberian. Jikalau amah
tersebut kembali kepada orang tersebut dengan sebab batalnya akad untuk menjadi budak
mukatab, atau amah tersebut murtad kemudian masuk islam semula, maka orang tersebut wajib
menunggu bersih farjinya amah tersebut, menurut qaul yang ashah, karena hilangnya hak
bersenang-senang.
Dan kalau orang mengawinkan amahnya, kemudian ia ditalak sebelum campur, apakah wajib atas
tuan menunggu bersih farjinya? Ada dua qaul. Jikalau tuan menjualnya dengan syarat khiyar,
kemudian dia dikembalikan sebab batal jual-belinya dalam masa khiyar, maka mengenai
wajibnya istibra’ terdapat khilaf. Menurut madzhab hukumnya wajib kalau kita mengatakan hak

‫باب في كفارة الظهار وباب في اللعان وباب في‬ | 19


‫العدة وباب في اإلستبراء بكتاب كفاية األخيار‬
‫المدرسة الدينية السلفية اإلسالمية‬ 1434
"‫"دار التقوى‬ ‫هـ‬

(milik) penjual hilang dengan sebab akad jual-beli itu; dan jika kita mengatakan tidak hilang,
maka tidak wajib. Wallahu a’lam.
Cabang Permasalahan
Si tuan membeli isterinya yang berstatus amah; apakah wajib atasnya menunggu bersih
farjinya? Ada dua wajah; yang benar, menurut ketentuan nash tidak wajib, dan amah itu tetap
halal. Tetapi disunnahkan menunggu bersih farjinya agar dapat dibedakan antara anak nikah dari
anak karena memiliki kekuasaan. Dan ada yang mengatakan wajib untuk membedakan milik yang
baru. Wallahu a’lam.
Kemudian kalau amah yang baru dimiliki itu termasuk perempuan yang punya haidh,
hendaklah menunggu bersih farjinya dengan satu kali haidh, menurut qaul jadid yang adzhar
sesuai dengan hadits. Ada yang mengatakan dengan sekali suci sepertinya halnya ‘iddah. Dan
kalau amah itu tergolong wanita yang tidak haidh dikarenakan masih kecil atau memang sudah
putus haidh, dengan apakah ‘iddahnya? Ada khilaf. Ada yang mengatakan dengan 3 bulan, karena
‘iddah 3 bulan itu adalah masa paling sedikit yang menunjukkan kebersihannya farjinya. Pendapat
inilah yang dibenarkan dalam kitab At-Tanbih. Dan ada pula yang berpendapat dengan 1 bulan
karena 1 bulan seperti satu quru’ pada perempuan merdeka, demikian pula pada amah. Inilah yang
dibenarkan Imam Rafi’i dan Imam Nawawi serta yang lain-lain.
Cabang Permasalahan
Orang yang wajib menunggu bersih farji, tiba-tiba amahnya menyetubuinya sebelum bersih
farji itu, maka dia berdosa, dan istibra’nya tidak putus karena terjadinya persetubuhan itu, sebab
adanya pemilikan tidak akan menghalangi perhitungan. Demikian juga dengan halnya bersetubuh.
Berbeda dengan amah yang sedang menjalani ‘iddah kalau orang itu menghamilkannya dengan
bersetubuh dalam masa haidh, lalu darah terputus, maka amah itu menjadi halal karena haidhnya
sudah selesai. Kalau amah itu suci ketika disetubuhi, istibra’nya tidak batal sampai ia melahirkan.
Wallahu a’lam.
Sesuai dengan hadits sebelumnya, jikalau ia hamil, maka orang tersebut menunggu sampai
bersih yakni sampai ia melahirkan kandungannya. Wallahu a’lam. Dari penjelasan ini mushannif
mengatakan bahwa tidak ada perbedaan bagi yang hamil baik hamil dari nikah yang sah ataupun
hamil dari syubhat (zina). Pendapat mushannif ini sesuai dengan apa yang diberitakan Al-
Mutawalli. Dan menurut Imam Rafi’i, qaul yang ashah, manakala kitab Ar-Roudhoh pula
mengungkapkan dengan terperinci, yaitu kalau amah itu dimiliki dengan sebab ditawan dalam
perang cukup dengan melahirkan kandungannya; dan jikalau dimiliki dengan dibeli dan amah
ttersebut hamil dari suami yang lain, dan ia masih tetap dalam perkawinan dengan suami tersebut,
atau sedang menjalani ‘iddah, atau hamil karena wathi’ syubhat dan ia sedang menjalani ‘iddah,
maka menurut qaul yang masyhur maka tidak usah menunggu bersih.
Ketahuilah, bahwa amah yang ragu tentang hamil, dan keraguan itu sesudah habis ‘iddahnya,
baik ‘iddah quru’ ataupun ‘iddah bulan, maka makruh atas si lelaki untuk menikahinya. Jikalau
keraguan itu timbul dengan membesarnya perut atau dengan bergeraknya perut disertai dengan
adanya darah, tetapi kita meragui apakah ia hamil ataukah tidak? Dan apakah nikahnya sah di
waktu itu? Ada dua qaul; Pertama, sah nikahnya karena kita telah menetapkan hukum habisnya
‘iddah, sehingga kita tidak boleh membatalkannya dengan ragu, sama seperti kalau terjadi
keraguan sesudah nikah. Inilah qaulyang ashah. Berdasarkan qaul ini, jikalau amah tersebut
melahirkan anak kurang dari masa enam bulan dari akad, nyata sekali batal akad nikahnya. Kedua,
mengatakan tidak sah nikahnya dikarenakan ia tidak tahu, apakah ‘iddahnya dihitung dengan
melahirkan kandungan sehingga tidak batal, ataukah dengan selainnya sehingga ia tidak boleh
bernikah dengan ragu, sama seperti kalau ia ragu-ragu dengan hamil pada waktu menjalani ‘iddah.
Wallahu a’lam.

‫باب في كفارة الظهار وباب في اللعان وباب في‬ | 20


‫العدة وباب في اإلستبراء بكتاب كفاية األخيار‬
‫المدرسة الدينية السلفية اإلسالمية‬ 1434
"‫"دار التقوى‬ ‫هـ‬

Cabang Permasalahan
Disebut dalam kitab Al-Uddah, bahwasannya, kalau seseorang menikahi seseorang
perempuan hamil dari zina, nikahnya sah tanpa ada khilaf. Tetapi, apakah ia boleh
menyetubuhinya sebelum perempuan itu melahirkan? Ada dua wajah; yang ashah, ya boleh
karena tidak ada larangan apapun kepadanya. Dan Ibnul Haddad melarangnya. Wallahu a’lam.
Syaikh Abu Syujak berkata :
‫﴿ وإذا مات سيد أم الولد استبرأت نفسها‬
﴾ .‫بشهر كاالمة‬
[Dan apabila tuan dari ummul-walad meninggal, maka ummul walad tersebut menunggu
bersih dirinya dengan satu bulan seperti halnya amah].
2. Kedua, penyebab kedua yang mewajibkan menunggu bersihnya farjihnya yakni terjadinya
penceraian dari perempuan yang disetubuhi sebab dimiliki. Maka apabila tuan dari ummul-
waladnya meninggal, dan amah itu tidak berstatus sebagai isteri, dan tidak ada ‘iddah nikah, maka
wajib kepada amah tersebut menunggu suci farjinya, karena ia tercerai tikar (tempat tidur), dan
hukum tersebut serupa dengan perempuan yang merdeka. Waktu menunggu suci farjinya adalah
dengan satu bulan, kalau ia termasuk orang yang ber’iddah quru’, maka sama seperti perempuan
yang dimiliki. Hal tersebut sama hal dan hukumnya bagi si tuan yang memerdekakannya, dengan
syarat jikalau si tuan tersebut memerdekakan amahnya yang telah disetubuhinya dikarenakan
terjadinya perceraian tikar (tempat tidur). Dan jikalau amah yang disetubuhi telah menunggu
bersihnya farji, kemudian si tuannya memerdekakannya, maka kata sahabat-sahabat tidak ada
kewajiban lagi untuk menunggu bersihnya farji dan pada waktu itu pula ia boleh bersuami.
Sahabat-sahabat kami juga mengatakan tidak ada perbedaan berkenaan dengan amah yang
dibuntingi4 tuannya, karena amah yang dibuntingi tuannya itu, tikarnya seupa dengan tikar
perkawinan. Dan qaul yang ashah mengenai amah yang dibuntingi tuannya, kalau tuan
membiarkannya dengan menunggu bersih farjinya, kemudian ia memerdekakannya, si amah
wajib menunggu bersih farjinya lagi, dan juga kalau amah itu tidak dicampuri maka tidaklah ia
menjadi tikar5, dan tidak wajib menunggu bersih farjinya dengan memerdekakannya. Dan kalau
seseorang memerdekakan amah yang sudah dibuntinginya, dan ia bermaksud untuk
mengawininya sebelum menunggu bersih farjinya (istibra’) selesai, maka boleh menurut qaul
yang ashah, sama seperti ia berkawin dengan isterinya yang telah habis masa ‘iddahnya dengan
sebab nikah atau wathi’ syubhat. Wallahu a’lam.
Cabang Permasalahan
Perlu anda ketahui, tidak boleh mengawinkan amah yang telah di setubuhi sebelum menunggu
bersih farjinya. Berbeda dengan menjualnya, karena tujuan nikah ialah bersetubuh; oleh karena
itu, sebaiknya ditunggu sesudah menjadi halal. Dan kalau sudah selesai bersih farjinya, kemudian
ia memerdekakannya, apakah boleh mengawinkannya pada itu juga ataukah perlu menunggu
bersih farjinya (istibra’) yang baru? Ada dua wajah; yakni dalam masalah ummul-walad yang
ashah wajib menunggu bersih. Dalam pembicaraan Ar-Roudhoh ini boleh mengelirukan yang
dimaksud ada dua wajah itu adalah mengenai amah dan bukan mengenai ummul-walad, yakni
amah yang dibuntingi.
Dan kalau seseorang membeli amah dan ia ingin mengawinkannya sebelum menunggu bersih
farjinya, jikalau si penjual telah menyetubuhinya, maka tidak boleh, kecuali si pembeli
mengawinkannya dengan si penjual sendiri. Dan jikalau si penjual tidak menyetubuhinya, atau
sudah menyetubuhinya dan sudah pula menunggu bersih farjinya sebelum menjualnya, atau

4 (dl keadaan) mengandung anak dl perut (biasanya dikatakan bagi binatang); hamil; berbadan dua (bagi manusia).
5 mengawini istri kakak atau adik yg meninggal atau menikahi suami kakak atau adik yg meninggal

‫باب في كفارة الظهار وباب في اللعان وباب في‬ | 21


‫العدة وباب في اإلستبراء بكتاب كفاية األخيار‬
‫المدرسة الدينية السلفية اإلسالمية‬ 1434
"‫"دار التقوى‬ ‫هـ‬

pindahnya milik dari seorang perempuan atau seorang anak kecil, maka boleh mengawinkannya
ketika itu juga, menurut qaul yang ashah, sama seperti si penjual boleh mengawinkannya sesudah
menunggu bersih farjinya. Dan ada yang mengatakan tidak boleh sama halnya seperti tidak boleh
menyetubuhinya sampai ia menunggu bersih farjinya. Dan orang-orang yang berpegang dengan
qaul yang ashah pasti mengetahui perbedaannya, dan wajah inilah yang kuat. Al-Qaffal
menghubungkan wajah ini kepada sebagian besar sahabat-sahabat kita. Kata Imam Rafi’i,
menghubungkan pendapat ini kepada sahabat-sahabat masih boleh dipertelingkahkan6. Wallahu
a’lam.

6 Telingkah; tidak bersatu hati; berselisih; bercekcok: suami istri itu selalu ~; dua orang tokoh yg senantiasa ~

‫باب في كفارة الظهار وباب في اللعان وباب في‬ | 22


‫العدة وباب في اإلستبراء بكتاب كفاية األخيار‬

Anda mungkin juga menyukai