Anda di halaman 1dari 4

TUGAS AKHIR MODUL 6 FIQIH

NAMA : ANWARUL FAJRI, S. Pd.I

Setelah mempelajari materi yang terdapat pada kegiatan belajar 1 s.d. 4, kerjakanlah tugas-tugas berikut
ini:
1. Mengapa al-Qur'an disebut sebagai sumber hukum Islam yang pertama dan utama?
Jelaskan maksud ungkapan tersebut! Jelaskan pula bagaimana prinsip al-Qur'an
menetapkan hukum
2. Jelaskan perbedaan al-Qur'an dan sunah dalam penyampaian dan pemeliharaannya kepada
umat! Kemukakan pula fungsi sunah terhadap al-Qur'an!
3. Kemukakan pengertian, rukun, dan macam-macam ijmak secara singkat! serta
kemungkinan terjadinya ijmak pada masa sekarang!
4. Jelaskan pengertian, rukun, dan jenis-jenis qiyas serta kemukakan salah satu contoh
penerapan qiyas dalam penetapan hukum Islam

Tugas dikumpukan dalam format PDF atau word dengan jumlah maksimum 4 halaman!

JAWABAN
1. Al-Qur'an disebut sebagai sumber hukum Islam yang pertama dan utama, sebab, al-Qur‟an merupakan
undang-undang dasar tertinggi bagi umat Islam, sehingga semua hukum dan sumber hukum tidak boleh
bertentangan dengan al-Qur‟an. Dasar al-Qur‟an sebagai sumber hukum yang utama dan pertama
adalah firman Allah swt. dalam QS al-Nisa : 59. Artinya : “Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah
Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan ulul amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu.
Kemudian jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (al-
Qur‟an) dan Rasul (sunahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian
itu, lebih utama (bagimu) dan lebih baik aki- batnya.”
Prinsip al-Qur'an dalam menetapkan hukum adalah sebagai berikut :
a. Tidak Mempersulit („Adam al-Haraj). Dalam menetapkan syariat Islam, al-Quran senantiasa
memperhitungkan kemampuan manusia dalam melaksanaknnya. Itu diwujudkan dengan
mamberikan kemudahan dan kelonggaran (tasamuh wa rukhsah) kepada mansusia, agar menerima
ketetapan hukum dengan kesanggupan yang dimiliknya. Prinsip ini secara tegas disebutkan dalam
al-Qur‟an. QS. Al-Baqarah: 286 :
      
Artinya : “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya”
b. Mengurangi Beban (Taqlil al-Taklif) Prinsip kedua ini merupakan langkah prenventif
(penanggulangan) terhadap mukallaf dari pengurangan atau penambahan dalam kewajiban agama.
Al-Quran tidak memberikan hukum kepada mukallaf agar ia menambahi atau menguranginya,
meskipun hal itu mungkin dianggap wajar menurut kacamata sosial. Hal ini guna memperingan dan
menjaga nilai-nilai kemaslahatan manusia pada umumnya, agar tercipta suatu pelaksanaan hukum
tanpa ddasari parasaan terbebani yang berujung pada kesulitan. Umat manusia tidak diperintahkan
untuk mencari-cari sesuatu yang justru akan memperberat diri sendiri. QS. al-Maidah: 101
                      

   


Artinya : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal
yang jika diterangkan kepada kalian, niscaya akan menyusahkan kalian....
c. Penetapan Hukum secara Periodik, dalam prosesi tasri‟ sangat memperhatikan berbagai aspek,
baik natural, spiritual, kultural, maupun sosial uamt. Pada penetapan hukum, al-Qur‟an selalu
mempertimbangkan, apakah mental spiritual manusia telah siap untuk menerima ketentuan yang
akan dibebankan kepadanya?. Hal ini terkait erat dengan prinsip kestu, yakni tidak memberatkan
umat. Karena itulah, syariat al-Qur‟an tidak diturunkan secara serta, melainkan secara bertahap,
dengan maksud agar umat tidak merasa terkejut dengan syariat yang tiba-tiba. Karenanya, wahyu
al-Qur‟an senantiasa turun sesuai dengan kondisi dan realita yang terjadi pada waktu itu. Berikut ini
tiga periode tasryi‟ al-Qur‟an;
1) Mendiamkan, yakni ketika al-Qur‟an hendak melarang sesuatu, maka sebelumnya
tidak menetapkan hukum apa-apa tapi memberikan contoh yang sebaliknya. Sebagai contoh,
untuk menetapkan keharaman minuman khamr. Sebagai langkah pertama, yang dilakukan syari‟
(Nabi Muhammaf Saw) adalah mendiamkan kebiasaan buruk, akan tetapi Nabi sendiri
menghindarinya.
2) Menyin manfat ataupun madharatnya secara global. Dalam contoh khamr di atas, sebagai
langkah kedua, turun ayat yang menerangkan tentang manfaat dan madlarat minum khamr.
1
Dalam ayat tersebut, Allah menunjukkan bahwa efek sampingnya lbih besar daripada
kemanfaatannya (QS. Al-Baqarah: 219) yang kemudian segera disusul dengan menyinggung
efek khamr bagi pelaksanaan ibadah (al-Nisa: 43)
d. Menetapkan hukum dengan tegas. Contoh tersebut, Syari‟ (Allah dan Rasul-Nya) menetapkan
hukum haram minum khamr secara tegas, sebagai langkah yang paling akhir (QS.al-Maidah: 90)
Sejalan dengan Kemaslahatan Universal, Manusia adalah obyek dan subyek legislasi hukum al-
Qur‟an. Seluruh hukum yang terdapat dalam al-Quran diperuntukkan demi kepentingan dan
perbaikan kehidupan umat, baik mengenai jiwa, akal, keturunan, gama, maupun pengelolaan harta
benda, sehingga penerapan hukumnya al-Quran senantiasa memperhitungkan lima kemaslahatan, di
situlah terdapat syariat Islam.
e. Persamaan dan Keadilan (al-Musawah wa al-Adalah) Persamaan hak di muka adalah salah satu
prinsip utama syariat Islam, baik yang berkaitan dengan ibadah atau muamalah. Persamaan hak
tersebut tidak hanya berlaku bagi umat Islam, tatpi juga bagi seluruh agama. Mereka diberi hak
untuk memutuskan hukum sesuai dengan ajaran masing-masing, kecuali kalau mereka dengan
sukarela meminta keputusan hukum sesuai hukum Islam. Penyamarataan hak di atas berimplikasi
pada keadilan yang seringakli didengungkan al-Quran dalam menetapkan hukum,

2. Perbedaan al-Qur'an dan sunah dalam penyampaian dan pemeliharaannya kepada umat
Penyampaian Sunah dan Al-Qur’an
a) Sunah pada umumnya disampaikan melalui hafalan orang perorang (oleh para sahabat). Hal ini
karena Nabi saw. melarang menuliskannya, kecuali wahyu Allah swt. Oleh sebab itu, bisa didapati
redaksi hadis/sunah yang tampak berbeda satu dengan yang lain walaupun mengandung makna
yang sama. Di samping itu, walaupun para ulama ahli hadis (muhadditsin) ada yang menulisnya
tetapi hafalan andalan utama mereka. Dalam sejarahnya, hadis/sunah baru mulai ditulis dan
dikumpulkan untuk diuji dan diteliti tingkat kesahihannya baru dimulai satu abad setelah Nabi saw.
wafat. Oleh karenanya hadis dari aspek redaksinya merupakan hasil dari hafalan sahabat dan
tabi‟in, maka otentisitasnya adalah zhanny yaitu atas sangkaan tertentu tergantung dari tingkat
hafalan sahabat dan tabi‟in.
b) Al-Qur‟an disampaikan dengan jalan mutawatir dihafalkan para sahabat sekaligus ditulis pada
tulang, pelepah qurma, daun kering, kulit binatang dan lainnya, sehingga kemurnianya sangat
terjaga sampai sekarang.
Pemeliharaan Al-Qur’an
a) Pada masa Rasulullah Saw, dikelompokkan menjadi dua yaitu Pemeliharaan Al-Qur‟an dalam
hafalan dan tulisan. Pemeliharaan Al-Qur‟an dalam dada (hafalan) sering juga disebut pengumpulan
Al-Qur‟an dalam arti hifzuhu atau menghafalnya dalam hati. Sedangkan pemeliharaan Al-Qur‟an
dengan tulisan, guna menjamin terpeliharanya wahyu Ilahi beliau tidak hanya mengandalkan
hafalan, tetapi juga tulisan. Sejarah menginformasikan bahwa setiap ada ayat yang turun Nabi
Muhammad Saw, memanggil sahabat-sahabat yang dikenal pandai menulis. Rasulullah mengangkat
beberapa orang penulis (kuttab) wahyu seperti Ali, Muawiyah, Ubay bin Ka‟ab dan Zaid bin Tsabit.
Ayat-ayat Al-Qur‟an mereka tulis dalam pelepah kurma, batu, kulit-kulit atau tulang-tulang
binatang. Sebagian sahabat ada juga sahabat yang menuliskan ayat-ayat tersebut secara pribadi.
Namun karena keterbatasan alat tulis dan kemanpuan sehingga tidak banyak yang melakukannya.
Hal lain yang menjadi bukti bahwa Penulisan Al-Qur‟an telah ada sejak zaman Rasulullah Saw.
b) Pemeliharaan Al-Qur‟an pada Masa Sahabat
1) Pemeliharaan Al-Qur‟an pada Masa Abu Bakar, bahwa Abu Bakar yang memerintahkan
pertama penghimpunan Al-Qur‟an, Umar bin Khattab adalah pencetus ide yang brilian, serta
Zaid bin Tsabit adalah aktor utama yang melakukan kerja besar penulisan Al-Qur‟an secara utuh
dan sekaligus menghimpunnya dalam bentuk mushaf. Pemeliharaan Al-Qur‟an dimasa Abu
Bakar dinamakan pengumpulan yang kedua.
2) Pemeliharaan Al-Qur‟an pada masa Usman bin Affan, Mushaf Abu Bakar disalin kembali
menjadi beberapa mushaf untuk dijadikan rujukan apabila terjadi perselisihan tentang cara
membaca Al-Qur‟an. Usman menunjuk satu tim yang terdiri dari empat orang sahabat, yaitu
Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Sa‟id bin Ash dan Abdul Rahman bin Haris bin Hisyam.
Hasil kerja tersebut berwujud empat mushaf Al-Qur‟an standar.
3) Pemeliharaan Al-Qur‟an di Masa Sekarang, dengan cara mencocokan Al-Qur‟an cetakan
dengan hafalan para hafidz yang jumlahnya sangat banyak sebelum proses pendistribusian
kepada umat, serta dalam penafsiran keberbagai bahasa sangat hati-hati.
Pemeliharaan hadits
a) Pada masa Nabi Muhammad Saw, dengan dihafalkan oleh para sahabat bukan dengan penulisan
sebagaimana dengan Al-Qur‟an. Walaupun demikian beberapa kasus yang ada di antara sahabat ada
yang memiliki catatan atas hadis, kemudian dikenal dengan sahifah. Hadis pada masa ini masih

2
dalam proses pewahyuan karena keberadaan Rasulullah Saw masih menjadi bagian dari
pembentukan sumber ajaran Islam.
b) Pemeliharaan hadits pada masa khulafaurrasidin dikenal dengan masa pematerian hadis dan
penyedikitan riwayat. Kenyataan ini didukung oleh data bahwa hadis-hadis yang diriwayatkan oleh
mereka tidak banyak. Masa pembukuan dan penulisan di awal abad ke 2 tersebut dikenal dengan asr
al-kitabah wa al-tadwin menurut Muhammad Mustafa Abu Zahwu. Masa ini dalam peneliti lain
dikenal dengan tadwinuha muhtalitatun bi alfatawa oleh penulis Tarikh al-Funun fi al-Hadis.
Dengan demikian, sesuai penamannya maka pola tersebut adalah bagian dari pemeliharaan dengan
banyaknya hadis yang dikumpulkan bukan dari isi yang ada di dalamnya.
c) Era sekarang ditandai dengan arusnya informasi yang berkembang termasuk ajaran Islam dan hadis
di dalamnya bisa terlihat dengan cepat. Adanya hal ini menjadikan beragam pola memahami hadis
yang ada. Pemahaman yang berkembang dapat dijumpai secara tekstual dan secara kontekstual.
Kedua pemahaman ini satu dengan yang lainnya berbeda. Dengan demikian sering terjadi beragam
pemahaman atas hadis dalam hal ini.
Fungsi sunah terhadap al-Qur'an :
a. Menguatkan (Mu‟akkid) hukum suatu peristiwa yang telah ditetapkan hukumnya dalam al- Qur'an
b. Memberikan Keterangan (Bayan) terhadap Ayat-ayat al-Qur'an
c. Menciptakan Hukum Baru yang Tidak Terdapat di Dalam al-Qur'an

3. Ijma‟ secara etimologi berasal dari kata ajma ajma’a - yujmi’u – ijma’an dengan isim maf‟ul mujma
yang memiliki dua makna. Pertama, ijma‟ bermakna tekad yang kuat. Sedangkan definisi Ijma
menurut istilah mayoritas ahli ushul al-fiqh setelah al-Syafi‟iy memberikan pengertian Ijma‟ sebagai
kesepakatan ulama mujtahid mengenai suatu hukum Islam.
Rukun Ijma’ adalah sebagai berikut :
a. Ada beberapa orang mujtahid
b. Adanya kesepakatan sesama para mujtahid atas hukum syarak dalam suatu
c. Kesepakatan itu harus dinyatakan secara tegas oleh setiap mujtahid bahwa ia sependapat dengan
mujtahid-mujtahid lain tentang hukum dari suatu peristiwa yang terjadi pada masa itu.
d. Kesepakatan itu hendaklah merupakan kesepakatan yang bulat dari seluruh mujtahid.
Macam-macam ijma’ :
 Ditinjau dari segi cara terjadinya, maka ijmak terdiri atas:
a. Ijma‟ bayani, yaitu para mujtahid menyatakan pendapatnya dengan jelas dan tegas, baik berupa
ucapan maupun tulisan. Ijmak bayani disebut juga ijmak sarih, ijmak qauli atau ijmak hakiki.
b. Ijma‟ sukuti, yaitu para mujtahid seluruh atau sebahagian mereka tidak menya-takan pendapat
dengan jelas dan tegas, tetapi mereka berdiam diri saja atau tidak memberikan reaksi terhadap
suatu ketentuan hukum yang telah dikemukakan mujtahid lain yang hidup di masanya. Ijmak
seperti ini disebut juga ijmak i'tibari.
 Ditinjau dari segi yakin atau tidaknya terjadi suatu ijmak, dapat dibagi kepada:
a. Ijma‟ qath'i, yaitu hukum yang dihasilkan ijmak itu adalah qath'i, diyakini benar terjadinya, tidak
ada kemungkinan lain bahwa hukum dari peristiwa atau kejadian yang telah ditetapkan berbeda
dengan hasil ijmak yang dilakukan pada waktu yang lain.
b. Ijma‟ Zanni, yaitu hukum yang dihasilkan ijmak itu zanni, masih ada kemung-kinan lain bahwa
hukum dari peristiwa atau kejadian yang telah ditetapkan berbeda dengan hasil ijtihad orang lain
atau dengan hasil ijmak yang dilakukan pada waktu yang lain.
 Dalam kitab-kitab Fikih terdapat pula beberapa macam ijmak yang dihubungkan dengan masa terjadi
dan tempat terjadi atau orang yang melaksanakannya. Ijmak-ijmak itu adalah:
a. Ijma‟ Sahabat, yaitu ijmak yang dilakukan oleh para sahabat Rasulullah saw.
b. Ijma‟ Khulafaurrasyidin, yaitu ijmak yang dilakukan oleh Khalifah Abu Bakar, Umar,
Utsman, dan Ali bin Abi Thalib. Tentu hal ini hanya dapat dilaku-kan pada masa keempat orang
itu hidup, yaitu pada masa Khalifah Abu Bakar. Setelah Abu Bakar meninggal ijmak tersebut tidak
dapat dilakukan lagi.
c. Ijma‟ Shaikhan, yaitu ijmak yang dilakukan oleh Abu Bakar dan Umar bin Khattab.
d. Ijma‟ Ahli Madinah, yaitu ijmak yang dilakukan oleh ulama-ulama Madinah. Ijmak ahli Madinah
merupakan salah satu sumber hukum Islam menurut mazhab Maliki, tetapi mazhab Syafi'i tidak
mengakuinya sebagai salah satu sumber hukum Islam;
e. Ijma‟ Ulama Kufah, yaitu ijmak yang dilakukan oleh ulama-ulama Kufah. Madzhab Hanafi
menjadikan ijmak ulama Kufah sebagai salah satu sumber hukum Islam.
Kemungkinan terjadinya ijma’ pada masa sekarang
Ijma‟ pada era sekarang masih diperlukan dan memungkinkan. Karena kebutuhan kita terhadap
ijtihad merupakan kebutuhan yang bersifat kontinyu, dimana realita kehidupan senantiasa berubah,
begitupun kondisi masyarakat yang mengalami perubahan dan perkembangan. Selama syariat Islam itu
3
tetap relevan bagi setiap tempat dan zaman, serta selama syariat islam itu menjadi “kata pemutus” atas
setiap persoalan ummat manusia. Jika seorang mujtahid telah melakukan seperti ketentuan dalam
berijtihad, hasil dari kesepakatan para ulama tersebutlah yang dinamakan dengan ijma‟.

4. Qiyas menurut arti bahasa ialah penyamaan ,membandingkan atau pengukuran, menyamakan sesuatu
dengan yang lain. Pengertian Qiyas menurut para ulama ushul fiqh ialah menetapkan hukum suatu
kejadian atau peristiwa yang tidak ada dasar nashnya dengan cara membandingkannya kepada suatu
kejadian atau peristiwa yang lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasarkan nash karena ada
persamaan „illat antara kedua kejadian atau peristiwa itu.
Rukun qiyas
a. Al-ashlu (pokok), yaitu apa yang terdapat dalam hukum nashnya (al-maqis alaihi). Para fuqaha
mendefinisikan al-ashlu sebagai objek qiyas, dimana suatu permasalahan tertentu dikiaskan
kepadanya (al-maqis „alaihi), dan musyabbah bih (tempat menye-rupakan), juga diartikan sebagai
pokok, yaitu suatu peristiwa yang telah ditetapkan hukumnya berdasar nash.
b. Furuk/Cabang, yaitu sesuatu yang belum terdapat nash hukumnya (al-maqis), karena tidak terdapat
dalil nash atau ijmak yang menjelaskan hukumnya.
c. Hukum Asal, yaitu hukum syar‟i yang terdapat dalam dalam nash dalam hukum asalnya. Atau
hukum syar‟i yang ada dalam nash atau ijmak, yang terdapat dalam al-ashlu.
d. Illat, adalah sifat yang didasarkan atas hukum asal atau dasar qiyas yang dibangun atasnya.
Jenis-jenis qiyas
 Dilihat dari segi kekuatan illat dalam furuk dibanding dengan yang ada dalam ashal, qiyas dibagi
menjadi 3 macam yaitu:
a. Qiyas Aulawi, adalah qiyas yang illat pada furuk lebih kuat daripada illat yang terdapat pada asal.
b. Qiyas musaw, adalah qiyas yang setara antara illat pada furuk dengan illat pada asal dalam
kepatutannya menerima ketetapan hokum.
c. Qiyas adna, adalah qiyas yang illat pada furuk lebih rendah daripada illat yang terdapat pada asal.
 Dilihat dari segi kejelasan yang terdapat pada hukum, qiyas dibagi menjadi 2 macam, yaitu:
a. Qiyas jalli, adalah qiyas yang illatnya ditetapkan oleh nash bersamaan dengan hukum asal. Nash
tidak menetapkan illatnya, tetapi dipastikan bahwa tidak ada pengaruh terhadap perbedaan antara
nash dengan furuk.
b. Qiyas khaf, adalah qiyas yang illatnya tidak terdapat dalam nash.
 Dilihat dari segi persamaan furuk dengan asal, qiyas dibagi menjadi 2 macam yaitu:
a. Qiyas syabah adalah qiyas yang furuknya dapat diqiyaskan dengan dua asal atau lebih, tetapi
diambil asal yang lebih banyak persamaannya dengan furuk.
b. Qiyas ma‟na, adalah qiyas yang furuknya hanya disandarkan pada asal yang satu. Jadi, korelasi
antara keduanya sudah sangat jelas.
Contoh penerapan qiyas dalam penetapan hukum Islam
a. Contoh Qiyas Aulawi. Larangan memukul lebih kuat atau perlu diberikan dibandingkan dengan
larangan berkata “uh” yang terdapat pada nash QS al-Isra : 23.

“Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah". Adapun
persamaan illat antara keduanya adalah sama-sama menyakiti.
b. Contoh Qiyas Musawi. Misalnya mengiyaskan budak perempuan dengan budak laki-laki dalam
menerima separuh hukuman.
            
… dengan kawin, kemudian mereka melakukan perbuatan yang keji (zina), maka atas mereka
separuh hukuman dari hukuman wanita-wanita merdeka yang bersuami … (QS al-Nisa : 25).
c. Contoh Qiyas Adna. Misalnya mengiyaskan haramnya perak bagi laki-laki dengan haramnya laki-
laki memakai emas. Yang menjadi illatnya adalah untuk berbangga- bangga. Bila menggunakan
perak merasa bangga apalagi menggunakan emas akan lebih bangga lagi.
d. Contoh Qiyas Jali. Misalnya mengiyaskan budak perempuan dengan budak laki-laki dan
mengiyaskan setiap minuman yang memabukkan dengan larangan meminum khamar yang sudah
ada nashnya.
e. Contoh Qiyas Khafi. Misalnya mengiyaskan pembunuhan menggunakan alat berat dengan
pembunuhan mengguna-kan benda tajam.
f. Contoh Qiyas Syabah. Misal-nya zakat profesi yang dapat diqiyaskan dengan zakat perdagangan
dan pertanian.
g. Contoh Qiyas Ma‟na. Misalnya mengiyaskan memukul orang tua dengan perkataan “ah” seperti
yang ada dalam nash pada penje-lasan sebelumnya.

Anda mungkin juga menyukai