Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

A. Pendahuluan

Keistemewaan ajaran Islam daripada ajaran agama lainnya adalah sisi universalitasnya.
Ajaran-ajaran samawi terdahulu, selalu ditujakan kepada kaum tertentu. Sedangkan ajaran Islam
diturunkan untuk seluruh umat, baik manusia ataupun jin (kaffah li al-alamin). Telah dimaklumi,
bahwa perundang-undangan manapun harus selaras dengan kondisi dan relevansi pihak yang
dibebani undang-undang tersebut. Umat Nabi Adam as bisa merasakan kelonggaran syari’at
berupa kebolehan menikahi saudara sendiri, karena pada saat itu populasi manusia baru dari satu
keturunan. Sedangkan umat Nabi Musa as harus merasakan ketatnya syariat, karena dalam
menghadapi Bani Israel yang terkenal keras kepala, membutuhkan langkah-langkah preventif
dengan menerapkan undang-undang yang sekiranya dapat membuat mereka jera. Sedangkan
syari’at Nabi Muhammad saw (Islam) yang ditujukan untuk seluruh makhluk di dunia ini, baik
manusia atau jin, tentunya harus membentuk undang-undang (syari’at) yang bisa diterima oleh
semua kalangan.

1. Rumusan Masalah
a. Apa pengertian syariat ?
b. Apa prinsip-prinsip syariat ?
c. Apa tujuan syariat ?
d. Bagaimana Ruang lingkup Syariah ?

2. Tujuan
a. Dapat mengetahui dan memahami tentang syariat islam.
b. Dapat mengatahui penetapan dan prinsip-prinsip syariar islam.
c. Agar dapat mengetahui dan paham akan tujuan ditetapkannya syariat islam.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN SYARI’AH

Pengertian Syariat menurut bahasa : Secara bahasa syariat berasal dari kata syara’ yang
berarti menjelaskan dan menyatakan sesuatu atau dari kata Asy-Syir dan Asy Syari’atu yang
berarti suatu tempat yang dapat menghubungkan sesuatu untuk sampai pada sumber air yang tak
ada habis-habisnya sehingga orang membutuhkannya tidak lagi butuh alat untuk mengambilnya.
Pengertian syariat secara istilah : Menurut istilah, syariah berarti aturan atau undang-
undang yang diturunkan Allah untuk mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya, mengatur
hubungan sesama manusia, dan hubungan manusia dengan alam semesta. Syariah mengatur
hidup manusia sebagai individu, yaitu hamba Allah yang harus taat, tunduk, dan patuh kepada
Allah. Ketaatan, ketundukkan, dan kepatuhan kepada Allah dibuktikan dalam bentuk
pelaksanaan ibadah yang tata caranya diatur sedemikian rupa oleh syariah Islam. Syariah Islam
mengatur pula tata hubungan antara seseorang dengan dirinya sendiri untuk mewujudkan sosok
individu yang saleh.[1]
Jika ditambah kata “Islam” di belakangnya, sehingga menjadi frase Syari’at Islam (asy-
syari’atul islaamiyatu),berarti Syari’at Islam adalah hukum-hukum atau peraturan-peraturan yang
diturunkan Allah Subhaanahu wata’ala. untuk umat manusia melalui Nabi Muhammad Salallohu
alaihi wassalam, baik berupa Al-Qur’an maupun Sunnah Nabi yang berwujud perkataan,
perbuatan, dan ketetapan, atau pengesahan.
Oleh sebab itu secara implisit dapat dipahami bahwa jika terdapat suatu perkara yang
Allah dan RasulNya belum menetapkan ketentuannya maka umat Islam dapat menentukan
sendiri ketetapannya itu. Pemahaman makna ini didukung oleh ayat dalam Firman Alloh
Subhaanahu wata’ala : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada
Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu akan menyusahkan kamu dan jika kamu
menanyakan di waktu Al Quran itu diturunkan, niscaya akan diterangkan kepadamu, Allah
memaafkan (kamu) tentang hal-hal itu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.”[2]
Allah Subhaanahu wata’ala berfirman : ”Kemudian Kami jadikan kamu berada diatas
suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama) itu, maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu

2
ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui.”[3] mensyariatkan untuk mereka agama
yang tidak di izinkan Allah?sekiranya tak ada ketetapan yang menentukan (dari Allah) tentulah
mereka telah dibinasakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang zalim itu akan memperoleh azab
yang sangat pedih.”[4]
At Thahanawi juga mengemukakan definisi syariat yaitu : “Syari’at ialah hukum-hukum
yang disyari’atkan Allah Ta’ala untuk hamba-hamba-Nya yang disampaikan oleh salah seorang
nabi dari nabi-nabi (sallallahu ‘alaihim dan sallallahu ‘ala nabiyyina wa sallam), baik hukum-
hukum tersebut mengenai amal perbuatan, maupun mengenai akidah.”[5]
Syariat Islam mempunyai beberapa keistimewaan yaitu :
1) Rabbaniyah yang bermaksud bercirikan ketuhanan. ( Hukum/Peraturan ini datangnya
dari Tuhan Pencipta yang sudah semestinya yang terbaik untuk diikuti oleh makhluk
ciptaanNya )
2) Syumuliyah yang bermaksud lengkap. ( Peraturannya merangkumi segenap aspek
kehidupan tanpa ada kekurangan )
3) Alamiyah yang bermaksud sejagat. ( Peraturannya sesuai untuk semua lapisan manusia
tanpa batasan masa atau geografi )
4) Kekal. ( Peraturannya dijamin terpelihara sehingga ke hari Kiamat )
5) Balasan duniawi dan ukhrawi[6]

B. PRINSIP-PRINSIP SYARI’AH ISLAM

1. Tidak Mempersulit (‘Adam al-Haraj) Dalam menetapkan syariat Islam, al-Quran senantiasa
memperhitungkan kemampuan manusia dalam melaksanaknnya. Itu diwujudkan dengan
mamberikan kemudahan dan kelonggaran (tasamuh wa rukhsah) kepada mansusia, agar
menerima ketetapan hukum dengan kesanggupan yang dimiliknya.
‫… ال يُ َكلِّفُ هَّللا ُ نَ ْفسًا ِإال ُو ْس َعهَا‬
Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya… (QS. Al-
Baqarah: 286)
Al-Syatibi mengatakan bahwa kesanggupan manusia merupakan syari’at hukum mutlak
dalam menerima ketetapan hukum syari’at. Ketetapan hukum yang tidak terjangkau oleh
kemampuan manusia melihat prinsip ini tidak sah ditetapkan kepada manusia. Hal ini telah

3
menjadi kesepakatan mayoritas ulama, baik dari kalangan Mu’tazilah (rasionalis) maupun
sebagian pengikut Asy’ariah (Sunni tradisionalis). Dalam menetapkan hukum, Allah
Subhaanahu wata’ala. Senantiasa memperhitungkan kemampuan manusia dan
memperhitungkan manfaat dan madlarat yang mungkin ditimbulkan sebagai konsekwensi
logis dari pelaksanannya. Karena itu, Abu al-A’la al-Maududi menyebutkan, “Allah
membuat undang-undang syari’at untuk mengharamkan sesuatu atas manusia yang
membawa ekses negatif (madlarat) dan menghalalkan sesuatu yang mendatangkan dampak
positif (manfa’at)”.
Namun bukan berarti dalam al-Quran tidak ada ketetapan hukum yang sulit dalam
pelaksanaannya. Sebab menurut al-Syatibi, hukum sendiri merupakan beban, sehingga
kesulitan umum yang biasa dialami masyarakat, misalnya sulit mencari nafkah, tidak
termasuk dalam kategori ‘adam al-haraj diatas.Karena kesulitan yang sifatnya seperti itu
tidak lain timbul dari kemalasan atau belum adanya keberuntungan Disinilah pentingnya
pembedaan antara musyaqqah (kesulitan) ditinjau dari kacamata syari’at dan musyaqqah
menurut kebiasaan umum. Sebab musyaqqah versi masyarakat seringakli dijadikan dalih
untuk meremehkan kewajiban agama, sikap mencari-cari kemudahan dalam bearamal.

2. Mengurangi Beban (Taqlil al-Taklif) Prinsip kedua ini merupakan langkah prenventif
(penanggulangan) terhadap mukallaf dari pengurangan atau penambahan dalam kewajiban
agama. Al-Quran tidak memberikan hukum kepada mukallaf agar ia menambahi atau
menguranginya, meskipun hal itu mungkin dianggap wajar menurut kacamata sosial. Hal ini
guna memperingan dan menjaga nilai-nilai kemaslahatan manusia pada umumnya, agar
tercipta suatu pelaksanaan hukum tanpa didasari parasaan terbebani yang berujung pada
kesulitan.
‫د لَ ُك ْم تَ ُسْؤ ُك ْم َوِإ ْن تَ ْسَألُوا َع ْنهَا ِحينَ يُنَ َّز ُل ْالقُرْ آنُ تُ ْب َد لَ ُك ْم َعفَا هَّللا ُ َع ْنهَا‬mَ ‫يَا َأيُّهَا الَّ ِذينَ آ َمنُوا ال تَ ْسَألُوا ع َْن َأ ْشيَا َء ِإ ْن تُ ْب‬
)١٠١( ‫َوهَّللا ُ َغفُو ٌر َحلِي ٌم‬
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang
jika diterangkan kepada kalian, niscaya akan menyusahkan kalian....(QS. al-Maidah: 101)
Sebagian riwayat menjelaskan bahwa kronologi turunnya ayat ini adalah ketika Nabi sedang
berpidato di hadapan umatnya, tiba-tiba seorang diantara mereka bertanya, “Siapakah
bapakku?”. “Si Fulan!” Jawab Nabi. Ada pula yang bertanya, “Siapakah nama ayahku?”

4
atau “Di mana untaku?” kemudian turunlah ayat di atas sebagai teguran atas pertanyaan-
pertanyaan yang tidak perlu. Bahkan mungkin bisa menyusahkan si penanya sendiri. Karena,
jawaban yang akan ia terima merupakan baban dari si penanya sendiri. Padahal prinsip
agama adalah pengurangan terhadap beban. (taqlil al-taklif). Dengan demikian dapat
dipahami bahwa Nabi ketika menerima ayat al-Quran menafsirkan sesuai kebutuhan
masyarakat pada saat tiu. Sedangkan yang tidak dibutuhkan didiamkan saja, dengan maksud
nantinya ayat-ayat tersebut dapat ditafsiri sesuai dengan kondisi dan situasi yang terjadi di
masyarakat pada masa yang akan datang. Prinsip ini telah disebutkan dalam hadits,
“Sesungguhnya Allah telah menetapkan beberapa kewajiban, maka janganlah kalian
menyia-nyiakannya. Dan dia telah menetapkan ketentuan-ketentuan, maka janganlah kalian
melampauinya. Dia juga telah mengharamkan beberapa hal, maka janganlah kalian
merusaknya, serta telah mendiamkan beberapa hal sebagai rahmat buat kalian, bukan karena
lupa, maka janganlah kalian membicaraknnya.”

3. Penetapan Hukum secara Periodik Al-quran merupakan kitab suci yang dalam prosesi
tarsi’(penetapan hukum)’ sangat memperhatikan berbagai aspek, baik natural, spiritual,
kultural, maupun sosial umat. Dalam menetapkan hukum, al-Quran selalu
mempertimbangkan, apakah mental spiritual manusia telah siap untuk menerima ketentuan
yang akan dibebankan kepadanya?. Hal ini terkait erat dengan prinsip kedua, yakni tidak
memberatkan umat. Karena itulah, hukum syariat dalam al-Quran tidak diturunkan secara
serta merta dengan format yang final, melainkan secara bertahap, dengan maksud agar umat
tidak merasa terkejut dengan syariat yang tiba-tiba. Karenanya, wahyu al-Quran senantiasa
turun sesuai dengan kondisi dan realita yang terjadi pada waktu itu. Untuk lebih jelasnya,
berikut ini akan kami kemukakan tiga periode tasryi’ al-Quran;
Pertama, mendiamkan, yakni ketika al-Quran hendak melarang sesuatu, maka sebelumnya
tidak menetapkan hukum apa-apa tapi memberikan contoh yang sebaliknya. Sebagai contoh,
untuk menetapkan keharaman minuman khamr. Sebagai langkah pertama, yang dilakukan
syari’ (Nabi Muhammad Sallahu alaihi wassalam) adalah mendiamkan kebiasaan buruk,
akan tetapi Nabi sendiri menghindarinya.
Kedua, menyinggung manfat ataupun madlaratnya secara global. Dalam contoh khamr di
atas, sebagai langkah kedua, turun ayat yang menerangkan tentang manfaat dan madlarat

5
minum khamr. Dalam ayat tersebut, Allah menunjukkan bahwa efek sampingnya lbih besar
daripada kemanfaatannya (QS. Al-Baqarah: 219) yang kemudian segera disusul dengan
menyinggung efek khamr bagi pelaksanaan ibadah (al-Nisa: 43)
Ketiga, menetapkan hukum tegas. Dalam contoh tersebut, Syari’ (Allah dan Rasul-Nya)
menetapkan hukum haram minum khamr secara tegas, sebagai langkah yang paling akhir
(QS.al-Maidah: 90) Demikian juga dalam menetapkan hukum yang bersifat perintah.
Kewajiban shalat misalnya. Tahap pertama terjadi permulaan Islam (di Mekah), di saat umat
Islam banyak menuai siksaan dan penindasan dari penduduk Mekah, kewajiban shalat hanya
dua raka’at, yaitu pada pagi dan sore. Itu pun dilakukan secara sembunyi-sembunyi,
khawatir terjadi penghinaan yang semakin menjadi-jadi dari suku Qurasy.
ِ ‫س َوقَ ْب َل ْال ُغرُو‬
)٣٩( ‫ب‬ ِ ُ‫ك قَ ْب َل طُل‬
ِ ‫وع ال َّش ْم‬ َ ِّ‫فَاصْ بِرْ َعلَى َما يَقُولُونَ َو َسبِّحْ بِ َح ْم ِد َرب‬
“Maka bersabarlah kamu terhadap apa yang mereka katakan dan bertasbihlah (shalatlah)
sambil memuji Tuhanmu sebelum terbit matahari dan sebelum terbenam(nya)”)Q.S Qaf :
39)
ِ ‫ك بِ ْال َع ِش ِّي َواإل ْب َك‬
)٥٥( ‫ار‬ ٌّ ‫فَاصْ بِرْ ِإ َّن َو ْع َد هَّللا ِ َح‬
َ ِ‫ق َوا ْستَ ْغفِرْ لِ َذ ْنب‬
َ ِّ‫ك َو َسبِّحْ بِ َح ْم ِد َرب‬
“Maka bersabarlah kamu, karena Sesungguhnya janji Allah itu benar, dan mohonlah
ampunan untuk dosamu dan bertasbihlah (shalatlah) seraya memuji Tuhanmu pada waktu
petang dan pagi” (Q.S al-Mu’min: 55)
Ketika penderitaan umat telah menyurut dengan dicabutnya pemboikotan atas Bani Hasyim,
dumulailah tahap kedua pelaksanaan shalat. Hal itu dimulai setelah peristiwa Isra’ dan
Mi’raj dimana Nabi membawa perintah dari Allah swt. Untuk melaksanakan shalat lima
waktu. Dalam hal ini Nabi bersabda, “Pada Malam Isra’ Allah swt, mewajibkan kepada
umatku lima puluh shalat. Tak henti-hentinya aku meminta keringanan, hingga kemudian
kewajiban itu menjadi lima (kali) dalam sehari semalam. Perintah dalam ayat tersebut
kemudian dijabarkan secara jelas oleh Nabi sebagai kewajiban shalat lima waktu,
sebagaimana perintah Nabi ketika mengutus Mu’adz ibn Jabal ke Yaman, “Kabarkan kepada
mereka (penduduk Yaman), bahwasannya Allah swt telah mewajibkan kepada mereka shalat
lima waktu dalam sehari semalam.” Akkhirnya ketika umat Islam telah mulai merasakan
ketenangan di negeri baru mereka, Madinah, turunlah kewajiban-kewajiban yang sifatnya
lebih terperinci, yaitu dimulai dengan syarat-syarat shalat berupa wudlu dan tayamum (QS.
Al-Maidah: 6), serta rukun-rukn (teknis) pelaksanaan shalat. Teknis pelaksanaan shalat

6
sendiri merupakan cara yang diajarkan oleh Nabi saw. Beliau bersabda, “Shalatlah kalian
sebagaimana kalian melihat aku shalat.

4. Sejalan dengan Kemaslahatan Universal Manusia adalah obyek dan subyek legislasi hukum
al-Quran. Seluruh hukum yang terdapat dalam al-Quran diperuntukkan demi kepentingan
dan perbaikan kehidupan umat, baik mengenai jiwa, akal, keturunan, gama, maupun
pengelolaan harta benda, sehingga penerapan hukumnya al-Quran senantiasa
memperhitungkan lima kemaslahatan, di situlah terdapat syariat Islam. Islam bukan hanya
doktrin belaka yang identik dengan pembebanan, tetapi juga ajaran yang bertujuan untuk
menyejahterakan manusia. Karenanya, segala sesuatu ini merupakan fasilitas yang berguna
bagi manusia dalam memenuhi kebutuhannya. ‘Abd al-Wahab Khalaf berkata, “Dalam
membentuk hukum, Syari’ (Allah dan Rasul-Nya) selalu membuat illat (ratio logis) yang
berkaitan dengan kemaslahatan manusia, juga menunjukkan bebrapa bukti bahwa tujuan
legislasi hukum tersebut untuk mewujudkan kemaslahatan manusia. Di samping itu, Syar’i
menetapkan hukum-hukum itu sejalan dengan tiadanya illat yang mengiringinya. Oleh
karena itu, Allah mensyariatkan sebagian hukum kemudian merevisinya karena ada
kemaslahatan yang sebanding Dengan hukum tersebut.

5. Persamaan dan Keadilan (al-Musawah wa al-Adalah) Persamaan hak di muka adalah salah
satu prinsip utama syariat Islam, baik yang berkaitan dengan ibadah atau muamalah.
‫اس َأ ْن تَحْ ُك ُموا بِ ْال َع ْد ِل‬
ِ َّ‫… …وَِإ َذا َح َك ْمتُ ْم بَ ْينَ الن‬
Dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia, supaya kamu menetapkan dengan
adil.... (QS. Al-Nisa: 58)
Prinsip persamaan hak dan keadilan adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan dalam
menetapkan hukum Islam. Keduanya harus diwujudkan demi pemeliharaan martabat
manusia (basyariyah insaniyah)[7]

C. TUJUAN SYARI’AH

7
Ulama bersepakat, bahwa antara nash dan tujuan (maqasid), tidak dapat dipisahkan. Imam
al-Ghazali yang kemudian mensistemasikan Maqasid Syariah ini menjadi tiga kategori:
daruriyyat, hajiyyat, dan tahsiniyyat. (Shifa’ al-Ghalil, h. 161-172). Teori ini kemudian
dilanjutkan oleh Fakhruddin al-Razi. Dalam tulisannya, dia menyatakan bahwa: “Hal ini
(maksudnya maslahah) mestilah menjadi bagian dari Syariat, karena tujuan utama seluruh hukum
yang diperintahkan Allah adalah untuk memelihara dan menjaga kemaslahatan (masalih).” (Al-
Mahsul, 1992, 6:165). Ibn Taymiyah juga menekankan hal yang sama: “Bahwa Shariat hadir
untuk menjamin kemaslahatan dan menghindarkan kerusakan.” (Majmu’ Fatawa, t.t., 20: 48).
Pergantian masa tidak lantas menjadikan konsep kemaslahatan ini berubah. Ia tetap
menjadi pegangan para ahli hukum Islam dan aktivis Islam kontemporer dalam menjabarkan
kandungan Syariat Islam. Disinilah letak kekeliruan kaum esensialis yang secara membabi buta
menuduh kelompok pro-Syariat sebagai literalis yang mengorbankan prinsip maqasid.
Muhammad Qutb menulis: “Pemimpin yang dipercaya mestilah berbuat sesuai dengan
(prinsip) mashalih al-mursalah agar supaya dia tidak mengetepikan tujuan akhir Syariat
(Maqashid al-Syari’ah). Pemimpin berhak untuk beradaptasi dengan berbagai isu yang berubah
seiring dengan perubahan waktu dan tempat. Akan tetapi dia hendaklah berpegang pada (prinsip)
maqasid sebagai standar hukum dalam membuat keputusan.” (1991:39).
Menurut al-Qaradawi: “Adapun nas yang secara transmisi dan makna qath’iy tidak
mungkin bertabrakan dengan maslahah qath’iyah. Karena sesama qath’iyyat tidak mungkin
berlaku kontradiksi” . Berdasarkan keyakinan inilah tak seorang ulama pun yang berani
mengatakan hukum hudud, qisas, waris, jilbab, dan seterusnya tidak relevan lagi pada saat
sekarang ini karena bertentangan dengan maslahah manusia.
Anggapan bahwa hukum hudud tidak dapat mewujudkan kemaslahatan bagi manusia hari
ini telah ditepis oleh banyak penulis. Sa’id Ramadan al-Buti menjelaskan bahwa salah satu
unsur penting dari sesuatu hukuman adalah al-qaswah (keras). Kalaulah unsur ini hilang niscaya
hilanglah makna sesuatu hukuman. Perlu diingat bahwa kekejaman hukuman itu sesuai dengan
kekejaman yang dilakukan oleh si kriminal (the principle of retribution). Dengan begitu prinsip
keadilan yang merupakan salah satu maqasid Syari’ah sudah terpenuhi.
Imam Syatibi, tokoh yang mempopularkan teori Maqasid, dalam al-Muwafaqat,
menyatakan: “Tidak ada perubahan padanya (pada hukum yang diperintahkan Allah secara jelas
dan kategorikal), meskipun pandangan para mukallaf (orang dewasa) berbeda-beda. Maka tidak

8
sah sesuatu yang baik berubah buruk dan buruk menjadi baik sehingga dikatakan misalnya:
bahwa membuka aurat sekarang ini bukan lagi aib atau sesuatu yang buruk, dan oleh sebab itu
wajar untuk dibolehkan. Atau semisal ini. Andaikan hal ini diterima, maka ia merupakan
penasakhan (penghapusan) terhadap hukum yang sudah tetap dan kontiniu. Dan nasakh sesudah
wafatnya Rasullah adalah sesuatu yang batil.” (Al-Muwafaqat, ed. Muhammad Muhyiddin
‘Abdul Hamid, 2:209)[8]
Itulah prinsip-prinsip pemikiran syariat Islam. Tentu, dalam aplikasinya, banyak syarat-
syarat dan kebijakan yang harus dipenuhi, sesuai dengan ketentuan syariat itu sendiri.
Kadangkala, karena salah paham, muncul syariat-fobia, ketakutan yang berlebihan terhadap
syariat. Hukum qishas, misalnya, meskipun tegas dan keras, tetapi disertai dengan konsep
ampunan dari ahli waris – konsep yang tidak dijumpai dalam hukum Barat. Hukum potong
tangan, hanya bisa diterapkan dengan syarat-syarat dan batas yang ketat. Orang yang mencuri
karena keterpaksaan akibat lapar, tidak dikenai sanksi hukum. Hukum rajam, mensyaratkan
adanya empat saksi yang langsung menyaksikan peristiwa zina, dan ini teramat sulit dipenuhi.
Yang lebih penting, konsep syariat Islam lebih mengedepankan konsep keadilan, dan
pencegahan, ketimbang sanksi hukuman. Pada akhirnya, sukses-tidaknya suatu penerapan
hukum, juga ditentukan oleh kualitas takwa para hakim, penguasa, dan juga rakyat. Wallahu
a’lam bil-shawab.[9]

D. RUANG LINGKUP SYARI’AH

Pada garis besarnya ruang Syari’ah lingkup terbagi dua bagian besar :
a. Realisasi dari pada keyakinan akan kebenaran ajaran agama islam kedalam kehidupan di
dunia ini disebut ibadah.[7]Ibadah dalam arti khas (Qa’idah ‘Ubudiyah), yaitu tata aturan Ilahi
yang mengatur hubungan ritual langsung antara hamba dengan Tuhannya, yang cara, acara,
tata-cara dan upacaranya telah ditentukan secara terperinci dalam al-Quran dan sunnah rasul.
Pembahasan mengenai ‘Ibadah dalam arti khusus ini biasanya berkisar sekitar: thaharah,
shalat, zakat, shaum, haji.

9
b. Mu’amalah dalam arti luas, tata aturan Ilahi yang mengatur hubungan manusia dengan sesama
manusia dan hubungan manusia dengan benda. Mu’amalah dalam arti luas ini pada garis
besarnya terdiri atas dua bagian besar: Al-Qanunu ‘l-Khas(khusus) hukum perdata
(Mu’amalah dalam arti agak luas), yang meliputi: Mu’amalah dalam arti sempit = hukum
niaga; Munakahah ( hukum nikah ) waratsah ( hukum waris) dsb. Al-Qanunu ‘l-‘Am (umum)
hukum publik yang meliputi: Jinayah (hukum pidana) Khilafah = hukum kenegaraan; Jihad =
hukum perang dan damai.Denagn demikian Syari’ah memberikan kaidah kaidah umum
(universal)dan kaedah kaedah terperinci dan sangat pokok (fundamental).[8]

10
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Syari’ah adalah hukum-hukum (peraturan) yang diturunkan Allah Subhaanahu wata’ala.
melalui rasul-rasulNya yang mulia, untuk manusia, agar mereka keluar dari kegelapan ke dalam
terangnya cahaya hidayah, dan mendapatkan petunjuk ke jalan yang lurus. Prinsip dalam syariat
diantaranya adalah :

a. Tidak Mempersulit (‘Adam al-Haraj)


b. Mengurangi Beban (Taqlil al-Taklif)
c. Penetapan Hukum secara Periodik
d. Sejalan dengan Kemaslahatan Universal
e. Persamaan dan Keadilan (al-Musawah wa al-Adalah)

Syariah Islam memberikan tuntunan hidup khususnya pada umat Islam dan umumnya pada
seluruh umat manusia untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Muamalah dalam syariah
Islam bersifat fleksibel tidak kaku. Dengan demikian Syariah Islam dapat terus menerus
memberikan dasar spiritual bagi umat Islam dalam menyongsong setiap perubahan yang terjadi
di masyarakat dalam semua aspek kehidupan.
Syariah Islam dalam muamalah senantiasa mendorong penyebaran manfaat bagi semua
pihak, menghindari saling merugikan, mencegah perselisihan dan kesewenangan dari pihak yang
kuat atas pihak-pihak yang lemah. Dengan dikembangkannya muamalah berdasarkan syariah
Islam akan lahir masyarakat marhamah, yaitu masyarakat yang penuh rahmat.

11
DAFTAR PUSTAKA

http://ustwan77.blogspot.com/2012/02/21-konsep-syariat.html. 21.00 / 01 november 2012


http://www.sentra-edukasi.com/2010/04/pengertian-syariat-islam.html#.UJSpO2M0_qA
http://insistnet.com/index.php?option=com_content&view=article&id=283:syariat-islam-dan-
tantangan-zaman&catid=11:nirwan-syafrin21.05 01/ november 2012
http://ustwan77.blogspot.com/2012/02/21-konsep-syariat.html. 14.03/ 21 oktober 2012
http://milaisma.blogspot.com/2009/12/prinsip-prinsip-syariat-tasyri-dalam-al.html01 november
2012
http://insistnet.com/index.php?option=com_content&view=article&id=283:syariat-islam-dan-
tantangan-zaman&catid=11:nirwan-syafrin. 21.05 / 01 November 2012
http://id.shvoong.com/humanities/religion-studies/2071352-pengertian-syariah/
#ixzz2BXl2KqoQ 20.40 / 8 november 2012

[1]http://id.shvoong.com/humanities/religion-studies/2071352-pengertian-syariah/
#ixzz2BXl2KqoQ 08 november 2012 / 20.46
[2] Q.S al-maidah (5) : 101
[3] Q.S Al-jatsiah (45) : 18
[4] Q.S Asy syuura (42) : 21
[5] http://insistnet.com/index.php?option=com_content&view=article&id=283:syariat-islam-
dan-tantangan-zaman&catid=11:nirwan-syafrin
[6] http://ustwan77.blogspot.com/2012/02/21-konsep-syariat.html. 14.03/ 21 oktober 2012
[7] http://milaisma.blogspot.com/2009/12/prinsip-prinsip-syariat-tasyri-dalam-al.html
[8] http://insistnet.com/index.php?option=com_content&view=article&id=283:syariat-islam-
dan-tantangan-zaman&catid=11:nirwan-syafrin

12
[9] http://insistnet.com/index.php?option=com_content&view=article&id=283:syariat-islam-
dan-tantangan-zaman&catid=11:nirwan-syafrin

13

Anda mungkin juga menyukai