Anda di halaman 1dari 21

QAW‘ID FIQHIYYAH FURۑIYYAH SEBAGAI

SUMBER HUKUM ISLAM


Syamsul Hilal
Fakultas Syariah IAIN Raden Intan Lampung
Jl. Endro Suratmin Sukarame Bandar
Lampung E-mail:
syamsulhilal19@yahoo.co.id

Abstract: Qawa’id Fiqhiyah Furu’iyah as a Source of Islamic Law. Fiqhiyah rule or Fiqih Legal
Maxim is a product of ijtihad bridging the problems that arise in the middle of dinamics Muslim
life that intensely happened with the availability of fiqh references that discuss Islamic Law
issues that is built upon both the oretical paradigms (empirical-historical-inductive or tharîqah
hanafiyyah) by absorbing the practical reality of life and the one built based on dogmatic
transcendent (doctrinal, normative-deductive or tharîqah mutakallimîn). As social science,
Fiqhiyah rule has suppleconcept, flexible and acceptable to both Muslim classical and
contemporary problems.
Keywords: ijtihad, istidlâl al-hukm, dlawâbith fiqhiyah

Abstrak: Qawâ’id Fiqhiyyah Furû’iyyah Sebagai Sumber Hukum Islam. Kaidah Fiqhiyah atau
Fikih Legal Maxim adalah produk ijtihad yang menjembatani antara permasalahan yang
muncul di tengah kehidupan umat Islam yang terjadi secara intens dengan ketersediaan
referensi fikih yang mengkaji permasalahan hukum Islam baik yang dibangun berdasarkan
paradigm teoritis (empiris-historis-induktif atau tharîqah hanâfiyyah) dengan menyerap
realitas kehidupan praktis empiris maupun yang dibangun berdasarkan dogmatis transenden
(doktriner-normatif-deduktif atau tharîqah mutakallimîn). Sebagai ilmu sosial, kaidah fiqhiyah
berkonstruk lentur, fleksibel dan akseptebel terhadap permasalahan umat Islam baik yang klasik
maupun yang kontemporer.
Kata Kunci: ijtihad,istidlâl al-hukm, dlawâbith fiqhiyah

Pendahuluan kaidah dan kedua, kaidah cabang yang


Kaidah fiqhiyyah sebagai salah satu mencakup banyak aspek baik kaidah-
disiplin ilmu tidak berdiri sendiri dalam kaidah yang berkaitan dengan ibadah,
tema dan kajiannya. Sebagai derifasi dari muamalah, siyâsah, mâliyah dan lain-lain.
fikih atau hukum Islam, kaidah fiqhiyyah Namun dalam tulisan ini penulis hanya
merupakan simpul-simpul umum dari memfokuskan kajian pada kaidah
beberapa per- masalahan hukum Islam fiqhiyyah cabang.
yang dapat diguna- kan oleh kalangan
awam maupun fuqahâ dalam mencari Definisi, Dasar Hukum dan Urgensinya
solusi permasalahan hukum yang muncul 1. Definisi
di tengah masyarakat dalam pelbagai
Secara leksikal, kaidah fiqhiyyah berasal dari
tema baik ibadah, muamalah, maupun isu-
dua kata: yang berarti: dasar,
isu hukum Islam kontemporer.
asas, pondasi, atau fundamen segala sesuatu,1
Ushûliyûn membagi kaidah fiqhiyyah
dari sisi substansinya menjadi dua bagian; 1
Ibn Manzhûr, Lisân al-Arab, Jilid III, (Bayrut: Dâr al-
Pertama, kaidah pokok yang memuat lima Shâdir, 2000). Bandingkan dengan al-Râghib al-Asfahânî,
141
142| AL-‘ADALAH Vol. XI, No. 2 Juli 2013

baik yang kongkrit, materi atau inderawi yang hanya mengkhususkan diri pada
seperti pondasi rumah maupun yang satu bab fikih tertentu.4
abstrak baik yang bukan materi dan bukan
2) Qawâ’id fiqhiyyah dengan nazhâriyah
inderawi seperti dasar-dasar agama.2 fiqhiyyah
Sedangkan berasal dari kata
Keduanya memiliki kajian yang sama
ditambah ya nisbah yang berfungsi
tentang pelbagai permasalahan fikih
sebagai makna penjenisan dan
dalam pelbagai bidang atau bab.
pembangsaan, sehingga berarti hal-hal
Perbedaanya adalah kalau kaidah fikih
yang terkait dengan fikih.
mengandung hukum fikih dan bersifat
Secara terminologi, kaidah fiqhiyyah aplikatif sehingga dapat diterapkan pada
adalah ketentuan hukum yang bersifat cabangnya masing- masing, sedangkan
umum yang mencakup hukum-hukum nazhâriyah fiqhiyyah berupa teori
derifasinya karena sifat keumumannya umum tentang hukum Islam yang dapat
dan atau totalitasnya. Adapun secara diaplikasikan pada sistem, tema dan
umum, fuqahâ terbagi kepada dua pengembangan perundang-
kelompok pendapat berdasarkan pada undangan.5
penggunaan kata kullî di satu sisi dan kata
aghlabî atau aktsari di sisi lain. Pertama,
2. Dasar Hukum Kaidah Fiqhiyyah
fuqahâ yang berpendapat bahwa kaidah
fiqhiyyah adalah bersifat kullî Kaidah fiqhiyyah merupakan produk ijtihad
mendasarkan argumennya pada realitas yang bersumber dari Alquran, hadis dan
bahwa kaidah yang terdapat pengecualian ijma’, dan merupakan generalisasi dari
cakupannya berjumlah sedikit dan sesuatu tema-tema fikih yang tersebar di kalangan
yang sedikit atau langka tidak mempunyai imam mazhab. Adapun penjelasan dari
hukum. Kedua, fuqahâ berpendapat setiap sumber adalah sebagai berikut:
bahwa karakteristik kaidah fiqhiyyah a. Kaidah fiqhiyyah yang bersumber dari
bersifat aghlabiyah atau aktsariyah, karena Alquran, diantaranya adalah:
realitasnya kaidah fiqhiyyah mempunyai 6

keterbatasan cakupannya atau mempunyai Kaidah ini bersumber dari firman Allah
pengecualian cakupannya sehingga dalam Q.s. al-Hajj [22]: 78 dan Q.s.
penyebutan kulli dari kaidah fiqhiyyah al-Baqarah [2]: 185:
kurang tepat.3
Adapun persamaan dan perbedaan
qawâ’id fiqhiyyah dengan dhawâbith fiqhiyyah
serta nazhâriyah fiqhiyyah adalah sebagai 4
Al-Bannâni berpendapat bahwa kaidah fikih tidak khusus
berikut: membahas satu bab (masalah) fikih saja, berbeda halnya
1) Qawâ’id fiqhiyyah dengan dlawâbith dengan dhawâbith fiqhiyah. Lihat Abd al rahman ibn Jâdillâh
al-Bannâni, Hâsyiyah al-Bannâni, Jilid I, (Bayrut: Dâr al-Fikr,
fiqhiyyah 1995), h. 357. Adapun Ibn Nujaim berpendapat bahwa
Keduanya memiliki kajian yang sama perbedaan kaidah fikih dengan dhawâbith fiqhiyah adalah kalau
kaidah fikih menghimpun masalah-masalah cabang dari pelbagai
berupa kaidah yang terkait dengan bab fikih yang berbeda-beda, sedangkan dhâbith hanya
fikih. Yang membedakan adalah menghimpun masalah-masalah cabang dari satu bab fikih
saja.Ibn Nujaim, al-Asybah wa al-Nazhâir, (Damaskus: Dâr
cakupan ke- duanya di mana qawâ’id al-Fikr, 1983), h. 192.
fiqhiyyah, selanjutnya disebut kaidah 5
Musthafâ Ahmad al-Zarqâ’, al-Madkhal al-Fiqh
fikih, lebih luas cakupannya dari al-‘Amm, (Damaskus: Mathba’ah Jâmi’ah, 1983), h. 235.
Bandingkan dengan Abû Zahrah, Ushûl Fiqh, (Mesir: Dâr al-
dlawâbith fiqhiyyah Fikr al-Arabî, 1990), h.10.
6
Artinya: Kesulitan itu mendatangkan kemudahan.
Maksudnya adalah hukum-hukum yang dalam penerapannya
al-Mufradât fî Gharîb al-Qurân, (Mesir: Mushthafâ al-Bâbi menimbulkan kesulitan bagi mukallaf (subyek hukum),
al- Halabî, 1997), h. 409. maka syariat Islam memberikan keringanan dan kemudahan
2
‘Alî Ahmad al-Nadwî, al-Qawâ’id al-Fiqhiyah, sehingga ia mampu melaksanakannya.
(Damaskus: Dâr al-Qalam, 2000), h. 5.
3
Abdul Haq, dkk, Formalisasi Nalar Fikih, (Surabaya:
Khalista, 2009), h. 8-11.
Syamsul Hilal: Qawâ‘id Fiqhiyyah Furû’iyyah Sebagai Sumber Hukum Islam |
143
Dan (Dia) sekali-kali tidak menjadi- ‘Abd al-Qâdir ’Audah, menjelaskan bahwa ada tiga syubhât
yang
kan untuk kamu dalam agama suatu
kesempitan. (al-Hajj [22]: 78)

Allah menghendaki kemudahan


bagimu, dan tidak menghendaki
kesukaran bagimu. (Al-Baqarah [2]:
185)
Bila dipahami dari kedua makna
ayat tersebut di atas, dapat disimpulkan
bahwa sesungguhnya Allah ketika
mensyariatkan Islam kepada umat Nabi
Muhammad bersifat mudah dan
fleksibel, dan tidak akan membebani
mereka di luar potensi kemampuan
yang dimiliki.
7

Kaidah ini bersumber dari Q.s. al-


An’am
[6]: 119:

Dan sesungguhnya Allah telah


menjelaskan kepada kamu apa yang
diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa
yang terpaksa kamu memakannya. (al-
An’am [6]: 119)
Ayat di atas memberikan
penjelasan yang sangat jelas bahwa
kondisi ter- paksa yang dihadapi
seseorang untuk mengkonsumsi
sesuatu yang diharamkan oleh agama
dibolehkan selama tidak berlebihan.8
b. Kaidah fiqhiyyah yang bersumber dari
sunnah, sebagai berikut:
9

7
Artinya: Keadaan darurat membolehkan sesuatu
yang dilarang. Maksud darurat disini bila memenuhi tiga
hal: (1). Kondisi darurat itu mengancam jiwa atau anggota
badan (Q.s. 2: 177, 5: 105 dan 6: 145), (2). Tindakan darurat
hanya dilakukan sekedarnya tanpa melampaui batas, (3). Tidak
ada jalan halal atau munah yang dapat dilakukan kecuali
dengan melakukan yang dilarang.
8
‘Abd. al-‘Azîz Muhammad ‘Azzâm, al-Qawâ’id al-
Fiqhiyah, (al-Qâhirah: Dâr al-Hadîts, 2005), h. 60-61.
Bandingkan dengan Ibn Nujaim, al-Asybâh wa al-Nazhâir,
(Damaskus: Dâr al-Fikr, 1983), h. 85.
9
Al-Suyûti, al-Asybâh wa al-Nazhâir, (Mesir: Syirkah
al- Thabâ’ah al-Fanniyah, 1975), h. 122. Bandingkan dengan
144| AL-‘ADALAH Vol. XI, No. 2 Juli 2013

Kaidah tersebut di atas adalah


bersumber dari beberapa sunnah
berikut ini:
Tinggalkan/batalkanlah hukuman had
karena ada faktor keraguan. (H.r.
Bukhari).10

Hindarkanlah umat Islam


semampumu (dari pemberian
hukuman) dan apabila kamu
mempunyai solusi bagi seseorang
Muslim untuk bebas (dari hukuman),
maka gunakan solusi itu. Karena
seorang pemimpin lebih baik salah
dalam mem- berikan maaf dari pada
salah dalam memberikan hukuman.11

Kaidah tersebut di atas bersumber


dari hadis berikut:
Pahalamu/upahmu sesuai dengan
kadar kepenatanmu. (H.r. Bukhari).12

menggugurkan sanksi had: (1). Syubhât yang berhubungan


dengan pelaku yang disebabkan oleh salah sangkaan
pelaku, seperti seseorang mengira bahwa benda tersebut
miliknya yang ternyata milik orang lain. (2). Syubhât
karena ikhtilâf fuqahâ, seperti Imâm Mâlik ibn Anas
membolehkan nikah tanpa saksi dan harus dengan wali.
Sedangkan Abû Hanîfah membolehkan nikah tanpa wali
dan harus dengan saksi. (3). Syubhât karena tempat,
seperti berhubungan dengan istri yang ternyata sedang
datang bulan. Abd. al-Qâdir ’Audah, al-Islâm wa Audlâ’una
al- Siyâsah, (al-Qâhirah: Dâr al-Kutub al-Arabî, 1997), h.
212.
10
Ibn Hajar al-‘Asqalâni, Fath al-Barî, Juz XII,
(Bayrût: Dâr al-Fikr, 2006), h. 262.
11
Imâm al-Tirmizhî, Sunân al-Tirmizhî , Jilid IV, No.
Hadis: 1424, (al-Qâhirah: Dâr al-Hadîts, 2000), h. 33.
12
Imâm al-Bukhârî, Shahîh al-Bukhârî, Jilid II, No.
Hadis: 1695, bab: Pahala seseorang berdasarkan besarnya lelah
usahanya, (Bayrût: Dâr al-Fikr, 1994), h. 74.
Syamsul Hilal: Qawâ‘id Fiqhiyyah Furû’iyyah Sebagai Sumber Hukum Islam |
145
berpendapat bahwa suatu zaman tidak
mungkin kosong dari ijtihad ini. Ijtihad
model kedua, ulama sepakat bahwa suatu
Manusia yang memperoleh pahala zaman tidak mungkin kosong dari model
salat paling besar adalah mereka yang ijtihad kedua. Mereka adalah mujtahid
paling jauh jarak perjalanannya (dari yang men-takhrij dan menerapkan
tempat salat mereka).13 ‘illat-‘illat hukum yang digali dari
persoalan-persoalan cabang yang telah
c. Kaidah fiqhiyyah berdasarkan ijma’
digali oleh ulama terdahulu. Dengan metode
sahabat,14 diantaranya adalah:
tathbîq (aplikasi) ini, akan tampak hukum
pelbagai masalah yang belum diketahui
oleh mujtahid model pertama di atas. Pola
ijtihad mujtahid model kedua ini lazim
15
disebut dengan tahqîq almanâth
(penetapan dan penerapan illat).17
3. Urgensi Kaidah Fiqhiyyah Al-Qarâfi secara garis besar berpendapat
Adapun urgensitas kaidah fiqhiyyah tentang urgensi kaidah fiqhiyyah ada tiga:
terlihat dari paparan Abû Zahrah tentang Pertama, kaidah fiqhiyyah mempunyai ke-
batasan ijtihad: dudukan istimewa dalam khazanah
keilmuan Islam karena kepakaran seorang
faqîh sangat terkait erat dengan
penguasaan kaidah fiqhiyyah. Kedua,
Pengerahan kesungguhan dan pencurahan dapat menjadi landasan berfatwa. Ketiga,
daya upaya, baik dalam mengeluarkan hukum menjadikan ilmu fikih lebih teratur
syara’ maupun penerapannya.16 sehingga mempermudah seseorang untuk
mengidentifikasi fikih yang jumlahnya
Abû Zahrah membagi ranah ijtihad
sangat banyak.18 Al-Zarkasyî berpendapat
pada dua bidang. Pertama, ijtihad yang
bahwa mengikat perkara yang bertebaran
terkait dengan penggalian hukum dan
lagi banyak (fikih), dalam kaidah-kaidah
penjelasannya dan kedua, ijtihad yang
yang menyatukan (kaidah fiqhiyyah) adalah
berkaitan dengan penerapan hukum.
lebih memudahkan untuk dihapal dan di-
Ijtihad model pertama versi Abû pelihara.19 Adapun Mustafâ al-Zarqâ’ ber-
Zahrah adalah ijtihad yang sempurna dan pendapat bahwa urgensi kaidah fiqhiyyah
khusus bagi kelompok ulama yang berusaha menggambarkan secara jelas mengenai
mengetahui hukum-hukum cabang yang prinsip- prinsip fikih yang bersifat umum,
bersifat praktis dari dalil-dalil yang rinci. membuka cakrawala serta jalan-jalan
Menurut jumhur ulama, ijtihad seperti ini pemikiran tentang fikih. Kaidah fiqhiyyah
dapat terputus pada suatu zaman meskipun mengikat pelbagai hukum cabang yang
kalangan Hanâbilah bersifat praktis dengan pelbagai dhawâbit,
yang menjelaskan bahwa setiap hukum
13
Imam al-Bukharî, Shahîh al-Bukharî, Jilid I, No. cabang tersebut mempunyai satu manât
Hadis: 1695, bab: Salat Subuh berjamaah, h. 233.
14
Muhammad Utsmân Syabîr mensinyalir bahwa (illat/alasan hukum) dan segi keterkaitan,
yang dimaksud dengan sumber kaidah fiqhiyah dari ijma’ meskipun obyek dan temanya berbeda-
beda.20
adalah ijma’nya sahabat dan tabi’în. Hal ini didasarkan pada
17
kesimpulannya bahwa mereka adalah orang-orang yang lebih Abû Zahrah, Ushûl Fiqh, h. 379.
18
paham tentang nas-nas syariat Islam dan maksudnya. Muhammad Al-Qarafi, al-Furûq, Juz 3, (Bayrût: Dâr al-Ma’rifat,
Utsmân Syabîr, al-Qawâ’id al-Kulliyah wa al-Dhawâbith al- 1990), h. 3.
19
Fiqhiyah, cet. ke-3, (Urdun: Dâr al-Nafâis, 2007), h. 44. ‘Alî Ahmad al-Nadwî, al-Qawâ’id al-Fiqhiyah, cet. ke-5,
15
Abd. al-‘Azîz Muhammad ‘Azzâm, al-Qawâ’id al-Fiqhiyah, (Damaskus: Dâr al-Qalam, 2000), h. 326.
20
(al-Qâhirah: Dâr al-Hadîs, 2005), h.62. Musthafâ Ahmad al-Zarqâ’, al-Madkhal al-Fiqh al-‘Amm,
16
Abû Zahrah, Ushûl Fiqh, h. 379. Juz II, cet. ke-7, (Damaskus: Mathba’ah Jâmi’ah, 1983), h. 943.
146| AL-‘ADALAH Vol. XI, No. 2 Juli 2013

Dari beberapa pendapat fuqahâ di dipakai, sebagai berikut:


atas dapat disimpulkan bahwa:
1. Abû al-Hârits al-Ghazzî, membagi kaidah
1. Kaidah fiqhiyyah adalah ranah ijtihad fiqhiyyah pada dua bagian:
dalam menerapkan ‘illat hukum yang
a. Kaidah-kaidah yang mempunyai
digali dari permasalahan-
keluasan cakupan kepada permasalahan
permasalahan hukum cabang
cabang (furû’) dan permasalahan
berdasarkan hasil ijtihad mujtahid
fikih;
mutlak;21
b. Kaidah-kaidah yang disepakati di
2. Kaidah fiqhiyyah mempunyai peran
kalangan fuqahâ dan yang diper-
penting dalam rangka mempermudah
selisihkan.22
pemahaman tentang hukum Islam, di
mana pelbagai hukum cabang yang 2. Muammad Utsmân Syabîr membagi
banyak tersusun menjadi satu kaidah; kepada empat bagian:
3. Pengkajian kaidah fiqhiyyah dapat a. Kaidah yang mempunyai cakupan
membantu memelihara dan mengikat yang luas, cakupan sedikit, bahkan
pelbagai masalah yang banyak dan hanya pada satu bab fikih atau
saling bertentangan, menjadi jalan kaidah induk;
untuk menghadirkan pelbagai hukum; b. Kaidah berdasarkan dalilnya apakan
4. Kaidah fiqhiyyah dapat nas atau kongklusi hukum;
mengembangkan malakah zhihiyah c. Kaidah berdasarkan kepada
(daya rasa) fikih seseorang, sehingga kemandiri- annya atau derifasi
mampu mentakhrij pelbagai hukum kaidah lain;
fikih yang tak terbatas sesuai dengan d. Kaidah yang disepakati fuqahâ atau
kaidah mazhab imamnya; yang diperselisihkan mereka.23
5. Mengikat pelbagai hukum dalam satu 3. Abd al-‘Azîz Muhammad ‘Azzâm
ikatan menunjukkan bahwa hukum- membagi kaidah fiqhiyyah sebagai
hukum ini mempunyai kemaslahatan berikut:
yang saling berdekatan atau mempunyai a. Kaidah fiqhiyyah berdasarkan dalilnya,
kemaslahatan yang besar. Alquran dan sunnah;
b. Kaidah fiqhiyyah berdasarkan luasnya
Pembagian Qawâ’id Fiqhiyyah Far’iyah
cakupan masalah fikih yang dimiliki;
(Kaidah Fikih Cabang)
c. Kaidah fiqhiyyah berdasarkan kesepatan
Pembagian kaidah fiqhiyyah secara umum
dan ketidaksepakatan fuqahâ;
oleh beberapa fuqahâ tidak memiliki ke-
seragaman jumlahnya dan pendekatan yang d. Kaidah fiqhiyyah berdasarkan ke-
mandirian.24
21
Mujtahid muthlâq adalah tingkatan pertama (tertinggi).
Dari tiga pendapat tersebut di atas,
Mereka memenuhi persyaratan-persyaratan ijtihad. Mereka dapat dipahami bahwa kecenderungan
mengeluarkan hukum-hukum dari Alquran dan al-Sunnah, pembagian kaidah fiqhiyyah adalah
menjalani seluruh jalan untuk mencari dalil tanpa mengikut
orang lain, dan mereka menentukan manhaj (pola) untuk sebagai berikut:
diri mereka sendiri, dan menentukan furu’nya/cabang-
cabangnya. Mereka adalah para fuqahâ sahabat semuanya,
1. Kaidah al-asâsiyah yang memiliki
fuqahâ tabi’în cakup- an furû’iyah yang sangat luas,
kom- prehensif dan universal sehingga
hampir
seperti Sa’îd bin al-Musayyib, dan Ibrâhim al-Nakhâ’i; para fuqahâ
Mujtahidin seperti: Ja’far Shâdiq dan ayahnya (Muhammad dipercaya kebenarannya. Abû Zahrah, Ushûl Fiqh, h.389-398.
al- Bâqir), Abû Hanîfah, Mâlik, Syafi’î, Ahmad, al-Auza’i, al-
Laits bin Sa’îd, Sufyan al-Tsauri, Abû Tsaur dan banyak lagi
yang lainnya. Walaupun pendapat-pendapat mereka tidak
sampai kepada kita secara kumpulan yang dibukukan,
tetapi dalam pujian-pujian kitab pelbagai fuqahâ terdapat
pendapat-pendapat mereka yang dinukil/dikutip dengan
riwayat yang tidak ada bukti kebohongannya dan bisa
Syamsul Hilal: Qawâ‘id Fiqhiyyah Furû’iyyah Sebagai Sumber Hukum Islam |
147
22
Muhammad Syidqî ibn Ahmad Muhammad al-
Burnu Abî al-Harits al-Ghâzzî (selanjutnya disebut Abî al-
Harits al- Ghâzzî) , al-Wajîz fî Îdlâh Qawâ’id al-Fiqhiyah al-
Kulliyah, (Bayrut: Muassasah al-Risâlah, 2002), h. 26.
23
Muhammad Utsmân Syabîr, al-Qawâ’id al-
Kulliyah wa al-Dhawâbith al-Fiqhiyah, cet. ke-3, (Urdun:
Dâr al-Nafâis, 2007), h.72-74.
24
Abd. al-‘Azîz Muhammad ‘Azzâm, al-Qawâ’id al-
Fiqhiyah,
(al-Qâhirah: Dâr al-Hadîts, 2005), h. 60-65.
148| AL-‘ADALAH Vol. XI, No. 2 Juli 2013

menyentuh elemen hukum fikih; tempat ibadah itu sendiri. Salat di masjid
2. Kaidah aghlabiyah kaidah yang Nabawi yang pahalanya seribu kali lipat dari
memiliki cakupan furû’ yang sangat salat di tempat lain, maka fadhîlah salat
luas tetapi tidak seluas cakupan kaidah itu sendiri lebih utama dari tempat salat
al-asâsiyah; tersebut.28
3. Kaidah al-qalîliyah yang memiliki cakup-
an terbatas bahkan cenderung sangat
sedikit. Mendahulukan pelaksanaan suatu ibadah
sebelum tiba suatu sebab (yang
Adapun dari sisi kesepakatan dan mewajibkan ibadah tersebut), maka tidak
ketidaksepakatan fuqahâ, dapat disimpulkan sah ibadahnya. Misalnya puasa Ramadan,
sebagai berikut: bila dikerjakan pada bulan Sya’ban, maka
1. Kaidah yang disepakati semua hukum puasanya tidak sah.29
mazhab, yaitu kaidah al-asâsiyah;
2. Kaidah yang disepakati oleh satu
mazhab, jumlahnya mencapai 40
kaidah; Suatu ibadah yang muncul bentuk yang
3. Kaidah yang diperselisihkan dalam beragam (pelaksanaannya oleh
internal satu mazhab, jumlahnya men- Rasulullah), maka dibolehkan
mengamalkannya dalam keragaman bentuk
capai 20 kaidah. Jenis kaidah ini biasa-
tersebut. Contohnya adalah takbirat al-ihrâm,
nya ditandai dengan kata tanya ( )
Rasulullah yang terkadang mengangkat
atau kata ( ).25 tangan setinggi bahu dengan kedua
Adapun pembagian kaidah fikih telapak tangan menghadap ke kiblat dan
cabang, sebagian fuqahâ memasukkan dalam terkadang setentang dengan kedua daun
dlawâbith fiqhiyyah, sebagian lagi telinganya.30
memasukkan dalam qawâid fiqhiyyah
khâshshah.26 Dalam tulisan ini ranah kajian
membahas kaidah yang terkait dengan Segala perbuatan yang dengan sengaja di-
hal-hal berikut: lakukan dapat merusak suatu ibadah,
apabila perbuatan tersebut dikerjakan
1. Ibadah Mahdhah: karena faktor lupa juga merusak nilai
ibadah tersebut.31 Mengungkit pemberian
(sedekah) yang pernah diberikan kepada
Pada dasarnya asal ibadah adalah orang lain, maka pahala sedekahnya akan
dilarang sedangkan tradisi (yang baik) rusak, baik dilakukan secara sengaja
adalah boleh. Tradisi yang baik adalah yang maupun karena lupa.
sesuai dengan syariat Islam.27

Suci dari hadas tidak dibatasi oleh waktu.


Bila seseorang telah bersuci dari hadas
Fadhîlah yang terkait dengan ibadah lebih besar maupun kecil, maka ia akan tetap
utama dari suatu fadhîlah yang terkait dalam kondisi kesuciannya dari hadas
dengan sampai ia

25
Muhammad Utsmân Syabîr , al-Qawâ’id al-Kulliyah 28
‘Abd al-Wahhâb al-Baghdâdî al-Mâliki, al-Isrâf ‘alâ
wa al-Dhawâbith al-Fiqhiyah, h.74-75. Masâil al-Khilâf, (Tunis: Matsba’ah al-Irâdah, 1996), h. 263.
26
Al-Subkî, al-Qawâ’id al-Fiqhiyah, Bayrut: Dâr al- 29
Mahmûd Ibâdi, Idlah al-Qawâ’id al-Fiqhiyah, (Jeddah:
Kutub al-Ilmiyah, 1991), h.11-12. Bandingkan dengan al-Haramain, 1998), h. 78.
Muhammad al-Ruki, Al-Qawâ’id al-Fiqhiyah al-Islâmiyyah, 30
Ibn Rajab al-Hanbalî, Al-Qawâ’id fi al-Fiqh Taqrîr
(Bayrut: Dâr al- Qalam, 1998), h. 113. al- Qawâ’id wa Tahrîr al-Fawâ’id, (Mesir: Bait al-Afkâr al-
27
Shâlih bin Ghânim al-Sadlân, al-Qawâ’id al- Dauliyah, 1998), h. 53.
Fiqhiyah al-Kubrâ wa ma Tafarra’a minhâ, (Riyâdh: Dâr 31
‘Abd al-Wahhâb al-Baghdadî al-Mâliki, al-Isrâf ‘alâ
Balnasiyyah, 2010), h.153.
Syamsul Hilal: Qawâ‘id Fiqhiyyah Furû’iyyah Sebagai Sumber Hukum Islam |
149
Masâil al-Khilâf, h.259.
150| AL-‘ADALAH Vol. XI, No. 2 Juli 2013

yakin telah batal kesuciannya.32

Suatu transaksi bisa rusak bila banyak terdapat


Tidak ada Qiyas pada ibadah yang tidak hal yang tidak dapat diketahui akibatnya
dapat dijangkau oleh akal manusia sebelum transaksi terjadi dan tidak rusak bila
maknanya.33 Contohnya adalah pada salat sedikit. Seperti menjual ikan yang berada
gerhana bulan dan matahari, ulama tidak di laut yang belum bisa diprediksi
mampu memahami maknanya atau ‘illat kemungkinan jumlah yang bisa ditangkap,
hukumnya sehingga dalam mengerjakan tetapi bila ikan tersebut berada di kolam
kedua ibadah tersebut adalah sebagai yang air kolam bisa disurutkan pada waktu
ta’abbudî. tertentu dibolehkan dan tidak merusak
transaksi.38

Mengutamakan orang lain dalam hal ibadah


adalah makruh, sedangkan pada selain
ibadah adalah disukai.34 Contohnya adalah Seseorang memperoleh keuntungan dari suatu
makruh hukumnya mengutamakan orang usaha karena berdasarkan modal yang ia
lain pada shaf pertama dalam salat miliki atau tenaga fisik atau tanggung
berjamaah. jawab dari suatu usaha tersebut dibebankan
kepada dirinya.39

Seluruh permukaan bumi adalah tempat


40
ber- sujud (boleh untuk melaksanakan salat)
kecuali kuburan dan kamar mandi Barang siapa memperoleh keuntungan
(kakus).35 yang mengandung unsur sesuatu yang
dilarang, maka hendaklah ia mengeluarkan
sedekah dari keuntungan tersebut. Misalnya,
Benda wajib zakat tidak dizakati dua kali.36 kalau seorang pedagang pengecer yang
mengambil barang dagangannya pada toko
2. Mâl (Aset Kekayaan) grosir mensyaratkan hanya berdagang pada
kota Jakarta saja dan ternyata pedagang
pengecer juga berjualan barang dagangan
Mengkonsumsi materi yang berasal dari tersebut di kota-kota lain selain Jakarta,
pendapatan yang dilarang oleh syari’at maka hendaklah ia bersedekah dari
Islam adalah haram hukumnya. Contohnya keuntungan yang diperolehnya.
membelanjakan harta dari hasil korupsi,
kolusi, merampok, menipu, upah
perbuatan zina, keuntungan berdagang
barang haram dan lain semisalnya adalah
Bila seseorang memiliki aset kekayaan
haram untuk memakannya.37
yang mengandung unsur halal dan Haram,
maka (sedekahkan) sejumlah nominal yang
haram sehingga tersisa yang halal.41
32
‘Abd al-Wahhâb al-Baghdâdi al-Mâliki, al-Isrâf ‘alâ
Masâil al-Khilâf, h. 263.
33
Mahmûd Ibâdi, Idlah al-Qawâ’id al-Fiqhiyah, (Jeddah:
38
al-Haramain, 1998), h. 78. ’Ali Ahmad al-Nadwî, Jamharah al-Qawâ’id al-
34
Mahmûd Ibâdi, Idlah al-Qawâ’id al-Fiqhiyah, h. 78. Fiqhiyah fi al-Mu’amalât al-Mâliyyah, h. 307.
35 39
Ibn Rajab al-Hanbalî, Al-Qawâ’id fi al-Fiqh Taqrîr al- ’Ali Ahmad al-Nadwî, Jamharah al-Qawâ’id al-
Qawâ’id wa Tahrîr al-Fawâid, h. 73. Fiqhiyah fi al-Mu’amalât al-Mâliyyah, h. 332.
36
Al-Subkî , Al-Qawâ’id al-Fiqhiyah, h. 225. 40
’Ali Ahmad al-Nadwî, Jamharah al-Qawâ’id al-
37
’Ali Ahmad al-Nadwi, Jamharah al-Qawâ’id al- Fiqhiyah fi al-Mu’amalât al-Mâliyyah,h. 403.
Fiqhiyah fi al-Mu’amalât al-Mâliyyah,Juz I, (Riyad: Syirkah 41
’Ali Ahmad al-Nadwî, Jamharah al-Qawâ’id al-
al-Râjihi al- Mashrafiyah lil Istitsmar, 2000), h.305. Fiqhiyah fi al-Mu’amalât al-Mâliyyah, h. 398.
Syamsul Hilal: Qawâ‘id Fiqhiyyah Furû’iyyah Sebagai Sumber Hukum Islam |
151
sesuatu tersebut adalah haram hukumnya.
Contohnya adalah menjual kondom tanpa
Hutang-hutang dapat dilunasi dengan disertai regulasi persyaratan dalam
(nilai barang yang dihutang) yang
transaksi penjualan dengan menunjukkan
semisalnya.42 Contohnya bila seseorang
akta nikah bagi pembeli. Maka jualan alat
berhutang seekor kambing jantan pada
kontrasepsi tersebut haram hukumnya
orang lain, maka ia membayar hutang karena menjadi sarana berzina.46
tersebut dengan jenis dan spesifikasi
kambing yang sama kepada pihak yang
3. Mu’amalah (Transaksi)
memberi piutang tersebut dan tidak harus
dengan kambing yang dahulu dihutangkan
kepadanya.
Pada dasarnya hukum bermuamalah
adalah sah dan hukum bertransaksi adalah
Aset kekayaan menjadi tanggung jawab meng- ikat pihak-pihak yang bertransaksi.47
seseorang untuk menggantinya mana kala Maksud bermuamalah di sini mencakup
karena faktor kesalahan sama dengan makna yang banyak baik berinteraksi
tanggungjawabnya bila merusaknya sosial ke- masyarakatan maupun
secara sengaja. Contohnya, bila seorang berinteraksi bisnis dengan segala
supir mobil rental yang merental mobil, konsekuensinya.
dalam perjalanan ia menabrak atau ditabrak
oleh mobil lainnya, maka ia menanggung
biaya perbaikan atau mengganti mobil
yang direntalnya.43 Suatu transaksi pada dasarnya harus dilandasi
kerelaan kedua belah pihak dan hasilnya
adalah sah dan mengikat kedua belah
Seseorang tidak dibenarkan untuk men- pihak terhadap dictum yang
48
distribusikan atau mentransaksikan asset ditransaksikan.
kekayaan orang lain tanpa seizing pemiliknya.44

Bertransaksi dengan obyek benda sama


Pemberian gaji (upah) dan tanggung hukumnya dengan bertransaksi dengan obyek
jawab untuk mengganti kerugian tidak manfaat benda tersebut. Misalnya seseorang
dapat di- satukan. Contoh bila seseorang mengontrak rumah dengan mengambil
merental mobil truk untuk angkutan manfaat untuk tinggal atau hunian, atau
barang, kemudian ia membebani muatan membeli rumah tersebut, maka syarat dan
truk tersebut melebihi tonase yang rukunnya transaksi tersebut akan berlaku
ditentukan untuk mobil truk tersebut sama harus terpenuhinya.49
sehingga menimbulkan kerusakan. Maka
penyewa wajib memperbaiki mobil truk
tersebut dan tidak membayar sewanya.45
Setiap transaksi pertukaran (baik jual beli
Sesuatu yang menjadi sarana suatu
perbuat- an atau suatu benda menjadi
haram, maka
45
Ahmad al-Zarqâ’, Syarh al-Qawâ’id al-Fiqhiyah, h. 431.
42
’Ali Ahmad al-Nadwî, Jamharah al-Qawâ’id al-Fiqhiyah
fi al-Mu’amalât al-Mâliyyah, h. 370.
43
’Ali Ahmad al-Nadwî, Jamharah al-Qawâ’id al-Fiqhiyah
fi al-Mu’amalât al-Mâliyyah, h. 344.
44
Ahmad al-Zarqâ’, Syarh al-Qawâ’id al-Fiqhiyah, cet. ke-
2, (Damaskus: Dâr al-Qalam, 1989), h. 461.
152| AL-‘ADALAH Vol. XI, No. 2 Juli 2013
46
’Ali Ahmad al-Nadwî, Jamharah al-Qawâ’id al-
Fiqhiyah fi al-Mu’amalât al-Mâliyyah, h. 480.
47
’Ali Ahmad al-Nadwî, Jamharah al-Qawâ’id al-
Fiqhiyah fi al-Mu’amalât al-Mâliyyah, h. 297.
48
Musthafâ Ahmad al-Zarqâ’, al-Madkhal al-
Fiqh al- ‘Amm, h. 1083.
49
Muhammad al-Ruki, Al-Qawâ’id al-Fiqhiyah al-
Islâmiyyah, h. 239.
Syamsul Hilal: Qawâ‘id Fiqhiyyah Furû’iyyah Sebagai Sumber Hukum Islam |
153
maupun barter) yang berlaku selamanya, boleh nenuntut penghasilan sapi ketika
maka tidak dibenarkan untuk dibuat berada di tangan pembeli, sebab
tentatif. Contohnya pada transaksi jual beli, mempekerjakan sapi merupakan hak
pedagang menyerahkan barang pembeli.
dagangannya dan pembeli menyerahkan
sejumlah uang yang telah disepakati
kedua belah pihak sebagai harga. Bila Apabila suatu transaksi batal, maka akan
kepemilikan barang dagangan dibatasi batal secara otomatis diktum-diktum
dalan transaksi jual beli tersebut, maka dalam transaksi tersebut.54 Misalnya seseorang
transaksi itu berubah dari jualbeli menjadi membeli rumah kepada pemiliknya. Ketika
sewa menyewa.50 salah satu membatalkan transaksi
pembelian rumah tersebut, maka si pembeli
memulangkan rumah tersebut dan si pemilik
rumah memulangkan sejumlah harga
Setiap syarat dalam suatu transaksi yang rumah tersebut.
bertujuan untuk kesuksesan dan tujuan
transaksi tersebut, maka dibolehkan.51Misalnya
dalam jual beli salam, bila dalam transaksi
tersebut disyaratkan bahwa dana Transaksi jual beli ada dua macam: jual
pembelian dititipkan kepada bank (pihak beli yang rusak yang berakibat hukum
ketiga) se- belum serah terima barang yang pada pemilikan obyek transaksi dan jual
dibeli untuk menghindari wanprestasi beli batal yang tidak memiliki akibat
salah satu pihak, maka dibolehkan. hukum memiliki obyek transaksi tersebut.55

Transaksi yang batal (karena tidak Rotasi pertukaran sebab kepemilikan sama
memenuhi unsur syarat ataupun rukun) dengan rotasi pertukaran bendanya itu
tidak berubah menjadi sah karena sendiri.56
dibolehkan.52 Contohnya seseorang Muslim
yang konsisten dalam berperilaku Mengenai hal ini bisa dicontohkan
ekonomi secara syariah mel- akukan sese- orang pembeli meninggal dunia,
kemudian obyek pembelian/barang yang
transaksi keuangan dengan jasa keuangan
dibeli, dibeli kembali oleh pihak lain melalui
yang menggunakan sistem bunga. Meskipun
ahli warisnya. Kalau nilai harganya lebih
pihak jasa keuangan membolehkan dan
murah dari harga awal karena dikatakan
menerima transaksi tersebut, tetapi
cacat kepemilikan, maka tidak sah jual beli
transaksinya batal.
tersebut karena kepemilikan barang
tersebut jelas.
Manfaat suatu benda adalah faktor peng-
ganti kerugian.53 Misalnya, seseorang me- 4.Akhwâl al-Syakhshiyyah (Hukum Keluarga)
ngembalikan seekor sa pi yang belum
lama dibelinya kepada pemiliknya karena
sapi tersebut memiliki cacat. Pemilik sapi Setiap anggota tubuh yang haram dilihat
tidak (oleh selain mahramnya),57 maka lebih haram

50
Muhammad al-Ruki, Al-Qawâ’id al-Fiqhiyah al- 54
Musthafâ Ahmad al-Zarqâ’, al-Madkhal al-Fiqh al-
Islâmiyyah, h. 245. ‘Amm, h. 437.
51
‘Ali Ahmad al-Nadwî, Al-Qawâ’id al-Fiqhiyah al- 55
‘Ali Ahmad al-Nadwî, Jamharah al-Qawâ’id al-Fiqhiyah fi
Islâmiyyah, al-Mu’amalât al-Mâliyyah, h. 351.
h. 114. 56
‘Ali Ahmad al-Nadwî, Jamharah al-Qawâ’id al-Fiqhiyah fi
52
Musthafâ Ahmad al-Zarqâ’, al-Madkhal al-Fiqh al- al-Mu’amalât al-Mâliyyah, h. 356.
‘Amm, h. 1084. 57
Al-Suyûthi, al-Asybah wa al-Nazhâir, cet. ke-4, (Mesir:
53
Musthafâ Ahmad al-Zarqâ’, al-Madkhal al-Fiqh al- Syirkah al-Thabâ’ah al-Fanniyah, 1975), h. 505.
‘Amm, h. 429.
154| AL-‘ADALAH Vol. XI, No. 2 Juli 2013

untuk disentuh. Misalnya aurat adalah haram masa iddah. Hal ini sebagai antisipatif, bila
untuk dilihat oleh orang lain, maka lebih setelah jima’ terjadi pembuahan iddahnya
haram untuk disentuh kecuali ada alasan adalah iddah hamil sampai seorang ibu
yang dibenarkan syara’ seperti pernikahan. melahirkan dan bila tidak hamil maka
iddahnya empat bulan sepuluh hari.62
Seorang Muslim tidak boleh menikahi
wanita kafir. Hal ini dikarenakan konsep Seorang ahli waris yang mendapat
Ahl al-Kitab telah berubah secara warisan, maka ia mewarisi juga hak-hak
substansial setelah adanya keyakinan orang yang diwarisi. Misalnya hutang
trinitas dikalangan Nasrani.58 yang dimiliki orang yang diwarisi menjadi
hak ahli waris untuk melunasinya.63
Suatu akad nikah tidak rusak dengan
rusaknya mahar.59 Misalnya dalam suatu Sesungguhnya kekerabatan yang lebih
pernikahan, kedua belah pihak atau salah dekat dengan orang yang mewarisi akan
satu mengangkat wali. Ketika menutup hak kekerabatan yang lebih jauh.
menyebutkan mahar, ia sebutkam 15 gram Seperti kakek hak warisnya akan tertutup
emas, padahal mempelai laki-laki sudah bila ada anak laki-laki.64
memberi tahu bahwa maharnya 10 gram
emas. Dalam hal ini pernikahan tetap sah
dan mempelai wanita memperoleh Pembagian harta waris tidak dapat dilakukan
mahar mitsil. kecuali telah dilunasi hutang orang yang
mewarisi.65 Hal yang mentradisi di
Indonesia bahwa ketika seseorang
Pada dasarnya hubungan seksual adalah meninggal dunia, maka ahli warisnya
haram. Hal ini menjadi halal dengan kemudian mengumumkan kepada masyarakat
adanya perkawinan yang sah.60 sekitar tentang kemungkin- an adanya
sangkutan hutang dengan pihak lain dan
keluarga mengambil alih tanggungjawab
Barang siapa mengaitkan jatuhnya talak pelunasannya.
dengan suatu sifat, maka thalak tidak akan
terjadi sampai adanya sifat yang disyaratkan.
Misalnya seorang suami mensyaratkan
jatuhnya talak apabila istri meninggalkan
Setiap orang Islam yang meninggal dunia
salat secara sengaja selama satu bulan dan tidak memiliki ahli waris, maka asset
berturut-turut. Maka ketika sang istri dengan kekayaannya diserahkan ke bendahara
sengaja melakukan sifat tersebut, talak Negara.66 Dalam hubungannya dengan
secara otomatis jatuh.61 Indonesia, maka pihak yang berwenang
adalah Lembaga Amil Zakat di tempat
yang terdekat tempat kejadian
perkaranya.
Setiap perceraian karena thalak atau
fasakh setelah terjadi jima’, maka wajib
menunggu
62
Al-Suyûthi, al-Asybah wa al-Nazhâir, h. 507.
63
58 Muhammad al-Ruki, Al-Qawâ’id al-Fiqhiyah al-
Al-Suyûthi, al-Asybah wa al-Nazhâir, h. 369. Islâmiyyah, h. 272.
59
Al-Suyûthi, al-Asybah wa al-Nazhâir, h. 505. 64
60 Abû Zahrah, Ahkâm al-Tirkah wa al-Mawârits, (Mesir:
Ibn Nujaim, al-Asybah wa al-Nazhâir, (Damaskus: Dâr Dâr al-Fikr, 1998), h. 214.
al-Fikr, 1983), h. 71. 65
Abû Zahrah, Ahkâm al-Tirkah wa al-Mawârits, h. 28.
61
Al-Suyûthi, al-Asybah wa al-Nazhâir, h. 505. 66
‘Alî Ahmad al-Nadwî,Al-Qawâ’id al-Fiqhiyah, h. 95.
Syamsul Hilal: Qawâ‘id Fiqhiyyah Furû’iyyah Sebagai Sumber Hukum Islam |
155
Isu-Isu Kontemporer dan Kaidah Fiqh solusi permasalahan hukum yang muncul,
Cabang maka sumber hukum yang pertama
1. Konstruk istidlâl al-hukm dirujuk adalah ayat-ayat Alquran. Bila
Ushûliyûn membagi dasar hukum Islam jawaban tidak terdapat di dalamnya
kepada beberapa kategori, sebagai berikut: kemudian merujuk ke sunnah, dan
a. Sumber hukum yang disepakati seterusnya ke Ijma’ dan Qiyas. Bila suatu
(Alquran, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas); permasalahan hukum tersebut terdapat
b. Sumber hukum Islam yang dalil-dalilnya dalam ayat Alquran, Sunnah,
diperselisihkan (Istishhâb, Qaul al- ijma’ dan qiyas, maka dalam menjelaskan
shahabi, Syar’un man Qablana, kedudukan masalah hukum Islam tersebut
Istihsân dan Mashâlih Mursalah).67 adalah sebagai berikut:
Sebagian ushûliyûn membaginya a. Menjelaskan ayat Alquran yang
kepada tiga kategori sebagai berikut: menjadi dasar hukum;
a. Dasar hukum Islam yang disepakati b. Menjelaskan Sunnah yang merupakan
para pemimpin umat Islam (Alquran penjelas ayat Alquran, baik statusnya
dan Sunnah); sebagai perjelasan rincian, takhshîs
maupun istithnâ;
b. Dasar hukum Islam, yang disepakati
mayoritas ulama (ijma’ dan qiyas); c. Ijma’ sahabat yang terkait dengan
topik masalah
c. Dasar hukum Islam yang tidak disepakati
ulama (qaul al-shahâbi, syar’un man d. Qiyas yang menjelaskan persamaan ‘illat
qablana, Istihsân, Istishhâb al-‘adam, dari far’ kepada ashl.
Istishhâb al-hukm al-sâbiq, Istishlâh, al-
‘Urf, al-Hîlah dan Sad al-Zarâ’i’).68 2. Kaidah fiqhiyyah merespon isu-isu
Dalam konteks keindonesiaan, NU kontemporer
dan Muhammadiyah sebagai ormas Islam Kaidah fiqhiyyah yang merupakan hasil
terbesar memiliki corak yang berbeda. ijtihad dengan pola pendekatan empiris-
NU menggunakan sumber hukum Islam historis-induktif atau dikenal dengan
utama yang disepakati ulama dengan tharîqah hanâfiyyah,69 memiliki spesifikasi
empat lentur mencakup beberapa permasalahan
fikih yang
komponen: Alquran, Sunnah, ijma’ dan qiyas,
sedangkan sekundernya adalah mashlahah 69
Metode istinbat hukum dipengaruhi oleh dua corak
mazhab: 1. Doktriner-normatif-deduktif (tharîqah
mursalah, istihsân, qaul shahâbi, syar’un man mutakallimîn) yaitu suatu pendekatan yang menekankan bahwa
qablana, istishhâb, al-‘urf, dan sadd serta Alquran dan al- Sunnah sebagai sumber ajaran yang telah
fath al-zharâ’i’. Sedangkan Muhammadiyah, disepakati dan diyakini kebenarannya, dipahami dan diamalkan
oleh ummat Islam sesuai dengan ketentuan hukum yang
sumber hukum utama: Alquran dan terkandung di dalamnya. Ummat Islam dengan segala aktifitas
Sunnah sedangkan selain keduanya adalah kehidupannya harus mendasarkan pada sumber ajaran tersebut
dengan tidak boleh meninggalkannya. Oleh karena demikian,
metode istinbat hukum. tidak jarang realitas sosial yang dihadapi ummat Islam tidak
Dari beberapa versi hirarki sumber terjawab dan terselesaikan. 2. Empiris-historis- induktif
(tharîqah hanâfiyyah) yaitu model pendekatan yang
hukum tersebut di atas, dapat dibutuhkan dalam rangka menjelaskan sekaligus menjawab
memberikan pemahaman bahwa umat Islam persoalan-persoalan yang mengemuka dalam kehidupan
ummat Islam, meskipun sumber ajaran Alquran dan al-Sunnah
ketika mencari diyakini mengandung kebenaran mutlak dari Allah, tetapi
pemahaman terhadap sumber ajaran itu tidak bersifat mutlak,
yakni bersifat relatif. Relatifitas inilah yang diperlukan dalam
67
Muhammad ibn Husain ibn Hasan al-Jaizâni (selanjut- memahami sumber ajaran dimaksud sehingga akan
nya disebut al-Jaizâni), Ma’âlim Ushûl al-Fiqh ‘inda Ahl al- ditemukan apa yang di- kehendaki Allah. Karena itu berfikir
Sunnah wa al-Jama’ah, cet. ke-5, (Riyadh: Dâr ibn al-Jauzi, induktif tentunya yang bisa menjawab dan melihat realitas
1427 H), h. 637. sosial yang berkembang di dalam kehidupan masyarakat
68
Abû Islam Musthafâ ibn Muhammad ibn Salâmah, sekaligus dengan menawarkan alternatif solusi yang
al- Ta’sîs fi Ushûl al-Fiqh ‘alâ Dhaui al-Kitab wa al-Sunnah, dibutuhkan. Lihat Akh. Minhadji “Reorientasi Kajian Ushul
cet. ke- 1, (Riyâd: Dâr al-Qabas, 2009 M/1430 H), h. 108. Fiqh” dalam Restrukturisasi Metodologi Islamic Studies
Mazhab Yogyakarta, (Yogyakarta: Suka Press, 2007), h. 119-
156| AL-‘ADALAH Vol. XI, No. 2 Juli 2013

120.
Syamsul Hilal: Qawâ‘id Fiqhiyyah Furû’iyyah Sebagai Sumber Hukum Islam |
157
disimpulkan dalam redaksi yang singkat marak akhir-akhir ini bagi pasien penderita
dan padat.70 gagal ginjal, jantung, dan mata.
Dalam tulisan ini ada dua bidang Islam membolehkan transplantasi
sebagai contoh kasus yang menggunakan organ tubuh dari orang hidup sehat kepada
kaidah fiqhiyyah dalam istinbat hukumnya71 pasien penderita setelah melakukan
sebagai berikut: serangkaian pengobatan medis dan non
medis yang mengharuskan transplantasi
a. Bidang tehnologi medis sebagai cara pengobatannya dengan
Kasus transplantasi organ tubuh72 yang mulai ketentuan:
a) Pengambilan organ tubuh dari
pedonor tidak membahayakan
nyawanya dan tidak menghilangkan
70
Muhammad Utsmân Syabîr, al-Qawâ’id al-Kulliyah wa
al-Dhawâbith al-Fiqhiyah, (Urdun: Dâr al-Nafâis, 2007), h.46.
71
Aplikasi pengambilan kaidah fiqhiyah dalam memecah- fungsi organ tersebut seperti sedia
kan permasalahan hukum Islam, minimal ada dua model: 1. kala.
Model Ibn al-Qayyim al-Jauziyah dengan langkah sebagai
berikut: b) Donasi organ tubuh tersebut bukan
1) Seorang mujtahid mengidentifikasi masalah hukum yang paksaan dari pihak lain.
ada
2) Mengambil kaidah-kaidah hukum yang sesuai dengan c) Transplantasi merupakan satu-satunya
per- masalahan yang akan diijtihadi pengobatan medis yang
3) Mengeluarkan hukum dari hasil ijtihad terhadap masalah
tersebut berdasarkan kaidah yang digunakan , apakah ia memungkinkan untuk menyelamatkan
wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram jiwanya.
4) Menguji terhadap hasil ijtihad berdasarkan Alquran dan
Sunnah serta kaidah-kaidah asasiyah dan kaidah-kaidah umum d) Adanya jaminan medis akan
5) Apabila kesesuaian hasil ijtihad dan dalil-dalil tersebut kesuksesan transplantasi organ tubuh
tidak bertentangan, maka masalah tersebut telah
terselesaikan dengan hasil ijtihad yang kadar tersebut, baik pada pedonor dan
kebenarannya dapat diper- tanggungjawabkan. Ibn al- resepien (penerima donor).
Qayyim al-Jauziyyah, I’lam al- Muwaqqi’in ‘an rabb al-
Alamin, Juz II, (Bayrût: Dâr al-Jail, t.t.), h. 3. Adapun hal lain yang lebih dibolehkan
Model Dewan Syariah Nasional MUI, Dalam Pedoman dalam Islam adalah:
berfatwa ditegaskan pada pasal 2 ayat 1-4 bahwa:
1) Ayat 1: Setiap keputusan fatwa harus mempunyai dasar a) Pedonor adalah orang yang telah me-
atas Kitabullah dan Sunnah Rasul yang mu’tabarah, ninggal dunia, ketentuannya adalah
serta tidak bertentangan dengan kemaslahatan ummat.
2) Ayat 2: Jika tidak terdapat dalam Kitabullah dan Sunnah mukallaf dan telah mengizinkan ketika
Rasul sebagaimana ditentukan pada pasal 2 ayat 1, hidupnya.
keputusan fatwa hendaklah tidak bertentangan dengan
Ijma’, Qiyas yang mu’tabar, dan dalil-dalil hukum yang b) Transplantasi organ berasal dari hewan
lain, seperti Istihsân, Mashlahah mursalah, dan Sadd al- yang halal dagingnya bila disembelih
Zarî’ah.
3) Ayat 3: Sebelum pengambilan keputusan fatwa
dan juga dari organ hewan lainnya
hendaklah ditinjau pendapat-pendapat para imam mazhab yang tidak halal dagingnya bila
terdadulu, baik yang berhubungan dengan dalil-dalil disembelih.
hukum maupun yang berhubungan dengan dalil yang
dipergunakan oleh pihak yang berbeda pendapat. c) Mengambil bagian tubuh dari diri
4) Ayat 4: Pandangan tenaga ahli dalam bidang masalah
yang akan diambil keputusan fatwanya dipertimbangkan.
seseorang sendiri untuk ditaman pada
“Pedoman Penetapan Fatwa Majelis Ulama Indonesia” bagian tubuh lainnya, baik berupa
dalam Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia, (Jakarta: tulang atau kulit.
Bagian Proyek Sarana dan Prasarana Produk Halal
Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam dan d) Menanam organ tubuh sintetik dari
Penyelenggaraan Haji Departemen Agama RI, 2003), h. logan untuk memfungsikan organ fital
4-5.
72
Transplantasi organ tubuh adalah mengambil organ dalam tubuh seseorang, seperti alat
tubuh (yang mempunyai daya hidup yang sehat) dari orang pacu jantung dan lain semisalnya. 73
yang hidup untuk ditaman pada tubuh orang lain (menggantikan
organ tubuh yang tidak sehat dan tidak berfungsi dengan baik), Adapun dasar hukumnya adalah:
dalam kondisi darurat untuk menyelamatkan hidupnya atau
untuk membantu fungsi organ fital supaya seseorang dapat a) Firman Allah Swt. dalam Q.s. al-Mâidah
bertahan didup dengan organ baru tersebut. Majlis Majma’ [5]: 32:
al-Fiqh Râbithah ‘Alam al-
Islami, pada seminar ke-8, pada 28 Rabi’ al-Awwal 1405 H yang
73
dikutip oleh Muhammad Kamâluddin Imâm, Nazhâriyah al- Muhammad Kamâluddin Imâm, Nazhariyah al-Fiqh fî
Fiqh fî al-Islâm, (Bayrût: Tnp., 1997), h. 528. al-Islâm, h. 529.
158| AL-‘ADALAH Vol. XI, No. 2 Juli 2013

MUI melalui DSN81 telah mengeluarkan


fatwa tentang kebolehan transaksi jenis ini
Dan barangsiapa yang memelihara dengan konsideran landasan hukum
kehidupan seorang manusia, maka seolah- sebagai berikut:
olah dia telah memelihara kehidupan
manusia semuanya.

b) Kaidah Fiqhiyyah:
74

75

b. Produk perbankan
Produk perbankan Syariah telah Apakah mereka yang membagi-bagi
berkembang pesat di tanah air dua puluh rahmat Tuhanmu? Kami telah menentukan
tahun terakhir ini yang telah memberikan antara mereka penghidupan mereka dalam
layanan transaksi berbasis Syariah dalam kehidupan dunia, dan Kami telah
pelbagai bidang. Salah satu transaksi yang meninggikan se- bahagian mereka atas
banyak digunakan oleh umat Islam adalah sebagian yang lain beberapa derajat, agar
Sewa-beli76 atau yang dikenal dengan al- sebagian mereka dapat mempergunakan
Ijârah al-Muntahiyah bi al-Tamlîk sebagian yang lain. dan rahmat Tuhanmu
(IMBT).77 Transaksi sewa-beli perumahan, lebih baik dari apa yang mereka
kumpulkan. Q.s. al-Zukhruf [43]: 32:
pertokoan, kendaraan bermotor, barang
elektronik dan lain semisalnya banyak
dilakukan umat Islam hingga hari ini. Ayat-
ayat Alquran dan sunnah ketika berbicara
jenis transaksi ini adalah secara parsial, al-
Ijârah78 berdiri sendiri dan al-Muntahiyah
bi al-Tamlîk atau dalam term lain al-Bai’
79
berdiri sendiri. Tetapi pola interaksi
ekonomi umat manusia menghendaki
transaksi yang mewadahi kebutuhan
mereka dalam memenuhi kebutuhan
hidupnya, diantaranya adalah transaksi
sewa-beli (IMBT).80

74
Muhammad Utsmân Syabîr, al-Qawâ’id al-Kulliyah wa al-
Dhawâbith al-Fiqhiyah, (Urdun: Dâr al-Nafâis, 2007), h. 164.
75
Abî al-Harits al-Ghâzzî, al-Wajîz fî Îdlâh Qawâ’id al-
Fiqhiyah al-Kulliyah, cet. ke-5, (Bayrût: Muassasah al- tertentu
Risâlah, 2002), h.239.
76
Sewa-beli adalah jenis perpaduan antara kontrak
jual- beli dan sewa atau akad sewa yang diakhiri dengan
kepemilikan barang di tangan pembeli. M. Syafi’î Antonio,
Bank Syari’ah dari Teori dan Praktek, (Jakarta: Gema Insani
Press, 2001), h. 118.
77
Transaksi sewa-beli adalah perjanjian sewa-menyewa
yang disertai dengan opsi pemindahan hak milik atas benda yang
disewakan kepada penyewa setelah selesai masa sewa. Dewan
Syariah Nasional (DSN), Majlis Ulama Indonesia (MUI),
Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional MUI, (Ciputat:
CV. Gaung Persada, 2006), h. 160.
78
Q.s. al-Thalâq [65]: 6, al-Qashash [28]: 26-27.
79
Q.s. al-Baqarah [2]: 275, al-Nisâ [4]: 29
80
Ringkasan tahapan akad IMBT menurut SOP bank
syariah:
a. Adanya permintaan untuk menyewa beli barang
Syamsul Hilal: Qawâ‘id Fiqhiyyah Furû’iyyah Sebagai Sumber Hukum Islam |
159
dengan spesifikasi yang jelas oleh nasabah kepada bank
syariah;
b. Wa’ad antara bank dan nasabah untuk menyewa beli
barang dengan harga sewa dan waktu sewa yang
disepakati;
c. Bank Syariah mencarikan barang yang diinginkan sewa
beli oleh nasabah;
d. Bank Syariah membeli barang tersebut dari pemilik barang;
e. Bank Syar’ah membayar tunai barang tersebut;
f. Barang diserahterimakan dari pemilik barang kepada
bank syariah;
g. Akad antara bank dan nasabah untuk sewa beli;
h. Nasabah membayar sewa secara angsuran;
i. Barang diserahterimakan dari bank syariah kepada nasabah;
j. Pada akhir periode, dilakukan jual beli antara bank syariah
dan nasabah. Ascarya, Akad dan Produk Bank Syariah,
(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007), h. 225.
81
Fatwa DSN Nomer: 27/DSN-MUI/III/2002.
160| AL-‘ADALAH Vol. XI, No. 2 Juli 2013

‘Asqalâni, al-, Ibn Hajar, Fath al-Barî,


Bayrût: Dâr al-Fikr, 2006.
‘Audah,‘Abd al-Qâdir, al-Islâm wa Audlâ’una
al-Siyâsah, al-Qâhirah: Dâr al-Kutub
al- Arabî, 1997.
‘Azzâm, Abd. al-‘Azîz Muhammad, al-
Qawâ’id al-Fiqhiyyah, al-Qâhirah: Dâr
al-Hadîts, 2005.
Bukharî, al-, Shahîh al-Bukhârî, Bayrût:
Dâr al-Fikr, 1994.
Bannâni, al-, Hâsyiyah al-Bannâni, Bayrut:
Dâr al-Fikr, 1995.
Penutup
Haq, Abdul, dkk, Formalisasi Nalar Fikih,
Dari apa yang telah dipaparkan, dapat
Surabaya: Khalista, 2009.
disimpulkan bahwa kaidah fiqhiyyah
adalah ketentuan hukum yang bersifat Ibn Nujaim, al-Asybâh wa al-Nazhâir,
umum yang mencakup hukum-hukum Damaskus: Dâr al-Fikr, 1983.
derifasinya karena sifat keumumannya dan Ibn Manzhur, Lisân al-Arab, Bayrut: Dâr
atau totalitasnya. al-Shâdir, 2000.
Kaidah fiqhiyyah cabang adalah kaidah
Nadwî, al-, Alî Ahmad, al-Qawâid al-
yang spesifik membidangi bab atau tema
Fiqhiyyah , Damaskus: Dâr al-Qalam,
tertentu pada permasalahan fikih,
2000.
sehingga sebagian fuqahâ memasukkan
dalam dlawâbith fiqhiyyah , sebagian lagi Qarafi, al-, al-Furûq, Bayrut: Dâr al-Ma’rifat,
memasukkan dalam qawâid fiqhiyyah 1990.
khâshshah. Cakupan kaidah fiqhiyyah Suyuti, al-, al-Asybah wa al-Nazhâir, Mishr:
cabang diantaranya adalah ‘ibâdah, Syirkah al-Thabâ’ah al-Fanniyah, 1975.
mu’âmalah, mâliyah, siyâsah, akhwal al-
syakhshiyyah, dan lain-lain. Syabîr, Muhammad Utsmân, al-Qawâ’id
al- Kulliyah wa al-DLawâbith al-
Kaidah fiqhiyyah sebagai instrument Fiqhiyyah
hukum Islam, memiliki daya akseptabilitas
, Urdun: Dâr al-Nafâis, 2007.
yang tinggi terhadap permasalahan
hukum Islam kontemporer sehingga Tirmizhî, al-, Sunan al-Tirmizhî , al-
eksistensinya membantu mijtahidin dalam Qâhirah: Dâr al-Hadîts, 2000.
memetakan masalah dan mencari solusi Zarqâ’, al-, Musthafâ Ahmad, al-Madkhal
yang maslahah. al-Fiqh al-‘Amm, Damaskus:
Mathba’ah Jâmi’ah, 1983.
Zahrah, Abû, Ushûl Fiqh, Mishr: Dâr al-
Pustaka Acuan Fikr al-Arabî, 1990.
Asfahânî, al-, al-Râghib, al-Mufradât fî
Gharîb al-Qurân, Mishr: Mushthafâ
al-Bâbi al-Halabî, 1997.

Anda mungkin juga menyukai