Anda di halaman 1dari 11

Rangkuman Pertemuan Pertama dan Kedua

A. Istilah Pajak
Pada awalnya pajak belum merupakan suatu pungutan melainkan hanya pemberian
sukarela dari rakyat pada raja. Jauh sebelum zaman Romawi dan Yunani Kuno serta zaman
Fir’aun di Mesir telah ada suatu wadah yang mengussai dan memerintah penduduk. Le Contract
Social atau perjanjian masyarakat yang di kemukakan oleh Rousseau adalah teori yang
menjawab pertanyaan mengapa penduduk/rakyat harus patuh kepada pemerintah negaranya.
Bahwa sebagian dari hak mereka diserahkann kepada suatu wadah yang akan mengurus
kepentingan bersama. Wadah tersebut dikenal sebagai L’etat, Staat, State, Negara.
Istilah pajak, eksistensinya sebagai species dari genus pungutan sudah ada sejak zaman
Romawi. Pada awal republik Roma (509-27 SM). Dikenal beberapa jenis pungutan seperti
censor, questor dan beberapa jenis lainnya. Pelaksanaan pungutan diserahkan kepada warga
tertentu yang disebut publican. Tributum disebut pajak langsung (pajak atas kepala=head tax)
dipungut pada zaman perang terhadap penduduk Roma sampai tahun 167 SM. Sesudah abad 2
penguasa Roma mengadalkan pada pajak tidak langsung yang disebut vegtigalia seperti portoria
yakni pungutan atas penggunaan pelabuhan.
Di zaman Julius Caesar dikenal Centesima Rerum Venalium yakni sejenis pajak
penjualan dengan tariff 1% dari omset penjualan. Di daerah lain di Italia dikenal dengan
decumae, yakni pungutan sebesar 10% (tithe) dari para petani atau penguasa tanah. Setiap
penduduk di Italia termasuk penduduk Roma sendiri dikenakan Tributum yang tetap dan
seringkali disebut juga dengan stipendium. Demikanpula di Mesir, pembuatan Piramida yang
tadinya merupakan pengabdian dan bersifat sukarela dari rakyat Mesir, pada akhirnya menjadi
paksaan, bukan saja dalam bentuk uang, harta kekayaan, tetapi juga dalam bentuk kerja paksa.
Pada abad ke XIV di Spanyol dikenal dengan alcabala, salah satu bentuk penjualan. Di
Indonesia, berbagai pungutan baik dalam natura (payment in kind), kerja paksa maupun dengan
dengan uang dan upeti telah lama dikenal. Pungutan dan beban takyat Indonesia semakin terasa
besarnya, terutama sesudah berdirinya VOC tahun 1602, dan dilanjutkan dengan pemerintahan
Kolonial Belanda.
Pajak bukan istilah asing bagi Bangsa Indonesia, bahkan kata itu telah menjadi istilah
baku dalam Bahasa Indonesia. Istilah pajak baru muncul pada abad 19 di pulau Jawa, yaitu
pada saat pulau Jawa dijajah oleh Pemerintahan Kolonial Inggris tahun 1811-1816. Pada waktu
itu diadakan pungutan landrente yang diciptakan oleh Thomas Stafford Raffles, Letnan
Gubernur yang diangkat oleh Lord Minto Gubernur Jenderal Inggris di India. Pada tahun 1813
dikeluarkanlah peraturan Landrente Stelsel bahwa jumlah uang yang harus
dibayar oleh pemilik tanah itu tiap tahunnya hampir sama besarnya
Penduduk menamakan pembayaran Landrente itu dengan pajeg atau duwit pajeg yang
berasal dari Bahasa Jawa ajeg, artinya tetap. Jadi duwit pajeg atau pajeg diartikan sebagai
jumlah uang tetap yang harus dibayar dalam jumlah yang sama pada tiap tahunnya. Pada saat
sekarang, istilah pajak digunakan untuk menerjemahkan istilah kata-kata asing, yaitu belasting,
fiscal (Belanda), tax, fiscal (Inggris) dan Steuer (Jerman). Dalam literatur Indonesia sekarang,
fiscal telah menjadi istilah populer untuk sebutan pajak, walaupu sebenarnya antara kata fiskal
dengan pajak terdpat perbedaan pengertian yang luas.
Istilah fiskal berasal dari Bahasa Latin, yaitu fiscus, yang berarti keranjang yang berisi
uang atau kantong uang. Pada zaman romawi masih berkuasa, kata fiscus dimaksudkan untuk
“kantong raja”, kemudian kata itu diidentikkan dengan negara, karena pada waktu itu negara
Romawi berbentuk Monarkhi sehingga tidak ada perbedaan antara pengertian kas raja dengan
kas negara. Kepentingan raja dengan kepentingan negara disatukan, maka persoalan-persoalan
pemasukan dan pengeluaran uang pembelanjaan negara itu menjadi persoalan raja sendiri,
sehingga kata fiscus diidentikkan dengan kas negara. Seiring dengan
timbulnya negara-negara demokrasi akhir-akhir ini kas negara hanya dapat diisi oleh uang
rakyat, dengan demikian, kata fiscus juga diidentikkan dengan pengertian alat-alat negara yang
diberi tugas memasukkan uang rakyat. Selain itu pengertian fiscus telah dipribadikan serta
dianggap sebagai pendukung hak dan kewajiban. Dalam teori organ, Cicero mempersamakan
negara dengan individu dan menganggap negara sebagai semangat yang menjiwai tubuh
manusia. Jadi, pengertian fiscus disini diartikan sebagai seluruh aparatur pajak sebagai wakil
negara. Dengan demikian, fiskal (dalam arti luas) mengandung pengertian segala sesuatu yang
ada sangkut-pautnya dengan keuangan negara termasuk pajak, sedangkan fiskal dalam
pengertian sempit itulah yang disamakan dengan pajak.

B. Pengertian Pajak
Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (sehingga dapat
dipaksakan) dengan tiada mendapat balas jasa secara langsung individual. Pajak dipungut
penguasa berdasarkan norma-norma hukum guna menutup biaya produksi barang-barang dan
jasa kolektif untuk mencapai kesejahteraan umum. Pajak adalah bantuan baik langsung maupun
tidak langsung yang dipaksakan oleh kekuasaan publik dari penduduk atau dari barang untuk
menutup belanja pemerintah. Pajak juga berrati bantuan uang secara incidental atau secara
periodik yang dipungut oleh badan yang bersifat umum (negara) untuk memperoleh pendapatan
tanpa adanya kontraprestasi, dimana terjadi suatu taatbestand dan sasaran pajak telah
menimbulkan utang pajak karena undang-undang.
Hukum Pajak disebut juga dengan hukum fiskal, adalah keseluruhan dari peraturanperaturan
yang meliputi kewenangan pemarintah untuk mengambil kekayaan seseorang dan
menyerahkannya kembali kepada masyarakat dengan melalui kas negara, sehingga ia
merupakan bagian dari hukum publik, yang mengatur hubungan-hubungan hukum antara
negara dan orang-orang atau badan-badan (hukum) yang berkewajiban membayar pajak
(selanjutnya sering disebut wajib pajak).
1. Menurut Prof. Dr. P.J.A. Adriani “Pajak adalah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan)
yang terhutang oleh wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan, dengan tidak mendapat
prestasi kembali, yang langsung dapat ditunjuk, dan yang gunanya adalah untuk membiayai
pengeluaran-pengeluaran umum berhubung dengan tugas negara untuk menyelenggarakan
pemerintahan”.
2. Menurut Mr. Dr. N.J. Feldman, “Pajak adalah prestasi yang dipaksakan sepihak oleh terutang
kepada penguasa, (menurut norma-norma yang ditetepkannya secara
umum), tanpa adanya kontra prestasi, dan semata-mata digunakan untuk menutup
pengeluaran umum”.
3. Menurut Prof. D. M.J.H. Smeets, “Pajak adalah prestasi kepada pemerintah yang terutang
melalui norma-norma umum, dan yang dapat dipaksakannya, tanpa adanya kontra prestasi yang
dapat ditunjukkan dalam hal yang individual, maksudnya adalah untuk membiayai pengeluaran
pemerintah”.
4. Menurut Dr. Soeparman Soemahamidjaja, “Pajak ialah iuran wajib berupa uang
atau barang, yang dipungut oleh penguasa berdasarkan norma-norma hukum, guna menutup
biaya produksi barang-barang dan jasa-jasa kolektif dalam mencapai kesejahteraan umum”.
5. Menurut Prof. Dr. Rochmat Soemitro, SH. “Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara
berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada
mendapat jasa tambal (kontra prestasi yang langsung dapat ditunjukkan, dan yang
digunakan untuk membayar pengeluaran umum”.
6. Menurut Prof. Dr. Djajadiningrat, “Pajak sebagai suatu kewajiban untuk
menyerahkan sebagian kekayaan negara karena suatu keadaan, kejadian, dan
perbuatan yang memberikan kedudukan tertentu. Pungutan tersebut bukan sebagai
hukuman, tetapi menurut peraturan-peraturan yang ditetapkan pemerintah serta
dapat dipaksakan, untuk itu, tidak ada jasa balik dari negara secara langsung
misalnya untuk memelihara kesejahteraan umum”.

A. Pengertian Hukum Pajak


Menurut Rachmat Soemitro, hukum pajak adalah suatu kumpulan peraturan yang
mengatur hubungan antara pemerintah sebagai pemungut pajak dan rakyat sebagai pembayar
pajak. Dengan kata lain hukum pajak menerangkan mengenai siapa saja wajib pajak (subjek)
dan apa kewajiban-kewajiban mereka terhadap pemerintah, hak-hak pemerintah, objek-objek
apa saja yang dikenakan pajak, cara penagihan, cara pengajuan keberatan-keberatan, dan
sebagainya.
Menurut Santoso Brotodihardjo, hukum pajak disebut juga dengan hukum fiskal,
adalah keseluruhan peraturan-peraturan yang meliputi wewenang pemerintah untuk mengambil
kekayaan seseorang dan menyerahkannya kembali kepada masyarakat melalui kas negara.
Dengan demikian, ia merupakan bagian dari hukum publik yang mengatur hubungan-hubungan
hukum antara negara dan orang-orang atau badan-badan (hukum) yang berkewajiban membayar
pajak (selanjutnya sering disebut wajib pajak).
Pendapat tersebut diatas memperlihatkan bahwa hukum pajak mengatur
hubungan antara pemerintah dengan rakyat. Pemerintah berperan dalam fungsinya
sebagai pemungut pajak (fiscus) dan rakyat dalam kedudukannya sebagai subjek
pajak (wajib pajak). Oleh karena adanya hubungan semacam itu maka hukum pajak
dikategorikan sebagai hukum publik.

B. Kedudukan Hukum Pajak


Sistem hukum yang berlaku di Indonesia sekarang adalah civil law system
atau sistem Eropa Kontinental. Dalam sistem ini hukum dibagi menjadi dua yaitu
hukum privat dan hukum publik.
Hukum privat adalah hukum yang mengatur hubungan hukum antara sesama
individu dalam kedudukan yang sederajat, misalnya hukum perjanjian, hukum
kewarisan, hukum keluarga, dan hukum perkawinan. Sementara itu, hukum publik adalah
hukum yang mengatur hubungan antara negara dengan warga negara atau dengan kata lain,
hukum yang mengatur kepentingan umum. Hukum publik ini berurusan dengan hal-hal yang
berhubungan dengan masalah kenegaraan serta bagaimana negara melaksanakan tugasnya.
Hukum privat, terdiri atas
1) Hukum Perjanjian, 2) Hukum Kewarisan; 3) Hukum Perkawinan; 4) Hukum
Keluarga; 5) Hukum Dagang; dan 6) Hukum Publik, yang meliputi Hukum Pidana; Hukum
Tata Negara; Hukum Administrasi Negara; Hukum Lingkungan; Hukum Pajak; dan lainlain.
Pada umumnya, hukum pajak dimasukkan sebagai bagian dari hukum publik
yang mengatur hubungan hukum antara penguasa dengan rakyatnya. Hal tersebut
dapat dimengerti, karena di dalam hukum pajak diatur mengenai hubungan antara
penguasa/pemerintah dalam fungsinya selaku fiscus (pemungut pajak) dengan
rakyat dalam kapasitas sebagai wajib pajak.
Hukum pajak merupakan bagian dari hukum administrasi negara, karena itu
sekarang ada yang menghendaki agar hukum pajak itu bisa berdiri sendiri.
kenyataannya, sampai saat ini hukum pajak sudah berdiri di samping hukum
administrasi negara, karena hukum pajak juga memunyai tugas yang bersifat lain
daripada hukum administrasi negara pada umumnya, yaitu hukum pajak juga
dipergunakan sebagai alat untuk menentukan politik perekonomian negara. Selain
itu, umumnya hukur pajakjuga memunyai tata tertib dan istilah-istilah tersendiri
untuk lapangan pekerjaannya.

C. Pembagian Hukum Pajak


Secara umum hukum pajak dapat dibedakan menjadi dua, yaitu hukum pajak
materiil dan hukum pajak formal.
1. Hukum Pajak Materiil
Hukum pajak materiil menunjukkan siapa sebenarnya masyarakat wajib
pajak, apa atau pendapatan mana yang ditentukan kena pajak dan berapa besar
pajaknya. Oleh karena itu, hukum pajak materiil ini memuat norma-norma yang
menerangkan keadaan-keadaan, perbuatan-perbuatan, peristiwa-peristiwa
hukum yang harus dikenakan pajak dan juga memuat siapa, apa dan berapa
besarnya pajak yang dikenakan. Selain itu, juga memuat kenaikan Pajak, dendadenda, sanksi-
sanksi, pembebasan pajak, dan pengembalian pajak restitusi, juga menyangkut ketentuan-
ketentuan yang memberi hak tagihan kepada fiscus.
Dari pengertian tersebut, berarti hukum pajak materiil ini adalah peraturanperaturan yang
mengandung beberapa unsur berikut.
a. Siapa sebenarnya yang harus dikenai pajak.
b. Apa atau pendapatan mana yang dikenakan pajak
c. Berapa besarnya tarif pajak yang terutang.
Contoh hukum Pajak materiil adalah
a. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (PPh) sebagaimana
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008.
b. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Materai
c. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak tambahan Nilai
atas Barang dan Jasa (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah
(PPnBM), sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor
42 Tahun 2009.
2. Hukum Pajak Formal
Hukum pajak formal adalah peraturan-peraturan pelaksanaan dan pemberi
petunjuk kepada administrasi pajak dan wajib pajak supaya pajak dapat dikenakan
atau dipungut secepat-cepatnya. Dengan kata lain, hukum pajak formal merupakan peraturan-
peraturan mengenai cara mengenakan hukum pajak materiil menjadi kenyataan.
Agar hukum pajak materiil dapat berlaku efektif, maka hukum pajak formal
harus ada dan hukum pajak formal ini mengatur beberapa hal berikut.
a. Pendaftaran objek pajak dan wajib pajak.
b. Pemungutan pajak.
c. Penyetoran pajak.
d. Pengajuan keberatan.
e. Permohonan banding.
f. Permohonan pengurangan dan penundaan pembayaran dan lain-lain.
Contoh hukum pajak formal adalah Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, sebagaimana beberapa kali
diubah dengan Undang-Undang 28 Tahun 2007.

D. Pendekatan terhadap Pajak


Sebagai sesuatu yang ada di masyarakat, pajak dapat didekati dari berbagai macam
segi, namun dalam buku ini akan dibahas mengenai pendekatan pajak dari segi hukum
dan segi ekonomi.
1. Pajak Ditinjau dari Segi Hukum
Dilihat dari segi hukum, menurut Rochmat Soemitro pajak merupakan perikatan
yang timbul karena undang-undang yang mewajibkan seseorang yang memenuhi syarat
yang ditentukan dalam undang-undang untuk membayar suatu jumlah tertentu kepada
negara yang dapat dipaksakan, dengan tiada mendapat imbalan yang secara langsung
dapat ditunjuk, yang digunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran negara
Jelaslah di sini bahwa pajak itu merupakan suatu perikatan, tetapi perikatan dalam
pajak berbeda dengan perikatan perdata pada umumnya, karena:
a. Perikatan perdata dapat lahir karena perjanjian dan dapat pula karena undangundang,
sedangkan pada perikatan pajak hanya lahir karena undang-undang.
b. Perikatan perdata berada dalam lapangan hukum privat, sedangkan perikatan pajak
berada dalam lapangan hukum publik.
c. Dalam perikatan perdata, hubungan hukum yang terjadi di antara para pihak
mempunyai kedudukan yang sama atau sederajat, sedangkan di dalam perikatan
pajak kedudukan para pihaknya tidak sederajat. Perikatan dalam pajak terjadi antara
pemerintah selaku pemungut pajak dengan rakyat selaku subjek/wajib pajak.
Perikatan antara pemerintah selaku pernungut pajak dengan subjek/wajib pajak
memberikan posisi yang berbeda kepada para pihak, karena pemerintah dilekati oleh
adanya hukum publik untuk kepentingan negara, dan karena hubungan seperti itulah
yang menyebabkan penempatan hukum pajak masuk ke dalam bagian lapangan
hukum publik.
d. Prestasi yang dilakukan oleh subjek pajak untuk membayar pajak tidak mendapat
imbalan langsung yang dapat ditunjukkan. Hal inilah yang membedakan dengan
retribusi, dengan demikian hubungan antara prestasi dan kontraprestasi di dalam
pajak berbeda dengan perikatan perdata pada umumnya dan retribusi. Dalam
perikatan perdata pada umumnya hubungan antara prestasi dengan kontraprestasi
bersifat timbal balik secara langsung.
2. Pajak Ditinjau dari Segi Ekonomi
Dilihat dari segi ekonomi, pajak dapat dilihat dari sisi mikro ekonomi dan dari sisi
makro ekonomi. Menurut Rochmat Soemitro, pajak dilihat dari segi mikro ekonomi
berarti dengan adanya pemungutan pajak tersebut dapat mengurangi income individu,
mengurangi daya beli seseorang, mengurangi kesejahteraan seseorang dan dapat
mengubah pola hidup wajib pajak, sedangkan jika dilihat dari segi makro ekonomi, pajak
merupakan income bagi masyarakat (negara) tanpa menimbulkan kewajiban pada
negara terhadap wajib pajak.
Melihat pajak dari segi ekonomi lebih menekankan pada peralihan kekayaan dan
dampak ekonomisnya. Dampak dan manfaat tersebut dapat dilihat dari pihak rakyat
selaku wajib pajak maupun dari sisi negara sebagai pihak yang menerima pembayaran
pajak. Apabila melihat pajak semata-mata dari segi mikro ekonomi saja, maka yang
tampak adalah adanya beban, sesuatu yang meberatkan, sesuatu yang mengurangi
kesejahteraan seseorang. Oleh karena itu, menurut Rochmat Soemitro, apabila melihat
pajak dari segi mikro ekonomi saja maka akan mengakibatkan pengertian pajak yang
salah. Dalam pemikiran itu, masyarakat tidak dipertimbangkan sehingga pemikiran yang
demikian memberikan corak pemikiran yang individualis.
Melihat pajak dari segi ekonomi sebaiknya dipadukan antara segi mikro ekonomi
yang mengutamakan individu, dengan segi makro ekonomi yaitu untuk kepentingan
masyarakat secara bersama-sama. Pajak di dalam masyarakat dapat digunakan sebagai
alat untuk mencapai tujuan-tujuan ekonomi, misalnya untuk menggairahkan ekspor,
untuk memberi rangsangan terhadap datangnya investor dengan memberikan insentif,
untuk menekan inflasi, untuk memeratakan pendapatan masyarakat melalui penerapan
tariff yang progresif dan sebagainya. Tetapi juga terhadap pengenaan pajak diharapkan
tidak mengabaikan segi mikro ekonomi, sebab bagaimanapun juga rakyat yang memikul
beban pajak perlu diperhatikan kemampuannya, sekalipun hasil pajak semuanya akan
dikembalikan untuk memenuhi kebutuhan bersama.

E. Hubungan Hukum Pajak dengan Hukum Lainnya


Walaupun hukum pajak merupakan hukum publik tetapi hukum pajak mempunyai
hubungan yang erat dengan hukum perdata (privat) dan saling bersangkutan. Hal itu karena
kebanyakan hukum pajak mencari dasar kemungkinan pemungutannya atas kejadian-kejadian,
keadaan-keadaan, dan perbuatan-perbuatan hukum yang bergerak dalam lingkungan perdata,
seperti pendapatan, kekayaan, perjanjian penyerahan, pemindahan hak karena warisan,
kompensasi, pembebasan utang, dan sebagainya. Hubungan antara hukum pajak dengan hukum
perdata ini mungkin timbul karena banyak dipergunakannya istilah-istilah hukum perdata dalam
perundang-undangan pajak. Walaupun harus dipegang teguh prinsip bahwa pengertian yang
dianut hukum perdata tidak selalu dianut oleh hukum pajak.

Asas-asas Pemungutan
dan Pengenaan Pajak
Pendahuluan
• Asas :
Suatu kebenaran yang menjadi pokok dasar atau tumpuan berpikir.
(Kamus Umum Bahasa Indonesia)

Asas Pelaksanaan dan Pemungutan Pajak


1. Asas Yuridis
Hukum Pajak harus dapat memberikan jaminan hukum yang perlu untuk menyatakan keadilan
yang tegas, baik untuk negara maupun warganya. Oleh karena itu pajak di negara hukum,
segala sesuatunya harus ditetapkan dalam Undangundang.
2. Asas Ekonomis
Pemungutan Pajak kepada Masyarakat harus seimbang antara fungsi Budgeter dan fungsi
Regulerend.
Maka pemungutan pajak sebaiknya :
a. Harus diusahakan supaya jangan sampai menghambat lancarnya produksi dan perdagangan.
b. Harus diupayakan supaya jangan menghalang-halangi rakyat dalam usahanya mencapai
kebahagiaan.
c. Harus diusahakan jangan sampai merugikan kepentingan umum.
3. Asas Finansial
Memasukkan uang yang sebanyak-banyaknya ke dalam kas negara.

Oleh karena itu, agar hasil pemungutan pajak menjadi besar maka biaya pemungutan harus
sekecil-kecilnya....??

4. Asas Rechtsfilosofis
Disebut rechtsfilosofis karena asas ini mencari dasar pembenar terhadap pengenaan pajak oleh
Negara.
Maka,
Pertanyaan mendasar yang ingin dicari jawabannya
dari asas ini adalah :
❖ Atas dasar apa negara mempunyai kewenangan memungut pajak dari rakyatnya?
Teori yang terkait :
1. Teori Asuransi
Pajak diibaratkan sebagai suatu premi asuransi yang harus dibayar oleh setiap orang karena
orang mendapatkan perlindungan atas hak-haknya dari pemerintah.
2. Teori Kepentingan
Negara mengenakan pajak terhadap rakyat karena negara telah melindungi kepentingan rakyat.
3. Teori Kewajiban Pajak Mutlak
Negara merupakan suatu kesatuan yang di dalamnya setiap warga negara terikat.
4. Teori Daya Beli
Pajak diibaratkan sebagai pompa yang menyedot daya beli seseorang/anggota
masyarakat yang kemudian dikembalikan lagi kepada masyarakat.
5. Teori Pembenaran Pajak Menurut Pancasila
Pengorbanan setiap anggota masyarakat untuk kepentingan bersama tanpa mendapatkan
imbalan.

Asas Pengenaan Pajak


1. Asas Nasionalitas
Asas yang mendasarkan pengenaan pajak seseorang pada status kewarganegaraannya.
2. Asas Domisili
Asas yang mendasarkan pengenaan pajak seseorang dimana seseorang tinggal, tanpa
memandang kewarganegaraannya.
3. Asas Sumber
Asas yang mendasarkan pengenaan pajak pada tempat dimana sumber itu berada.
Subjek Pajak dan Wajib Pajak

Subjek Pajak
Subjek Pajak :
Orang atau badan yang telah memenuhi syarat subjektif.
Syarat Subjektif :
Syarat yang melekat pada diri subjek yang bersangkutan.
Yang termasuk Subjek Pajak
1. Orang
Manusia sebagai pendukung hak dan kewajiban.
2. Badan
Badan sebagai Subjek Hukum harus berbadan hukum (Hukum Perdata). Namun dalam Hukum
Pajak tidak selalu badan hukum.
3. Bentuk Usaha Tetap
Bentuk usaha yang secara tetap didirikan di Indonesia dan dimanfaatkan oleh orang/badan di
luar negeri.
4. Warisan yang belum terbagi
Subjek Pajak yang menggantikan posisi pewaris.

Wajib Pajak
Wajib Pajak :
Subjek Pajak yang telah memenuhi syarat objektif, selain juga syarat subjektif.
Syarat Objektif :
Syarat yang berkaitan dengan sasaran pengenaan pajak (objek pajak).
Subjek Pajak (menurut tempatnya)
1. Subjek Pajak Dalam Negeri
Subjek Pajak yang bertempat tinggal, berkedudukan, atau berdomisili di dalam negeri.
2. Subjek Pajak Luar Negeri
Subjek Pajak yang bertempat tinggal, berkedudukan, atau berdomisili di luar
negeri tetapi mempunyai objek pajak di dalam negeri.

Penanggung Pajak
Penanggung Pajak :
Orang pribadi atau badan yang bertanggung jawab atas pembayaran pajak, termasuk wakil yang
menjalankan hak dan memenuhi kewajiban wajib pajak sesuai ketentuan peraturan per-uu-an
perpajakan.

Wajib Pajak diwakili dalam hal:


1. Badan oleh pengurus;
2. Badan yang dinyatakan pailit oleh kurator;
3. Badan dalam pembubaran oleh orang atau badan yang ditugasi untuk melakukan
pemberesan;
4. Badan dalam likuidasi oleh likuidator;
5. Suatu warisan yang belum terbagi oleh salah seorang ahli waris, pelaksana wasiat atau yang
mengurusnya;

Fiskus
Fiskus :
Aparatur pemerintah yang menangani pemasukan uang dari rakyat berupa pajak untuk
dimasukkan ke dalam kas negara.

Subjek PPN
▪ Subjek PPN adalah Pengusaha Kena Pajak Subjek BPHTB
(PKP) ⚫ Subjek Pajak BPHTB adalah orang
▪ PKP adalah pengusaha yang melakukan pribadi atau badan yang memperoleh hak
penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau atas tanah dan/atau bangunan.
penyerahan Jasa Kena Pajak yang ⚫ Subjek Pajak inilah yang dikenakan
dikenakan pajak berdasarkan UU PPN. kewajiban membayar pajak sehingga
disebut sebagai Wajib Pajak.
Subjek PBB
⚫ Subjek PBB adalah orang atau badan Subjek Bea Materai
yang mempunyai kewajiban untuk melunasi ⚫ Bea Materai merupakan pajak yang
PBB sesuai dengan ketentuan UU PBB. dikenakan terhadap suatu dokumen.
⚫ Subjek PBB baru akan melunasi utang ⚫ Pihak yang menggunakan dokumen.-
PBB apabila subjek PBB tersebut secara dokumen yang disebutkan dalam UU adalah
nyata mempunyai suatu hak atas bumi dan yang disebut sebagai Subjek dari
bangunan dan/atau memperoleh manfaat Bea Materai tersebut.
atas bumi dan bangunan.
.

Objek Pajak
Pengertian
⚫ Objek pajak adalah sesuatu yang dikenakan pajak berdasarkan keadaan, peristiwa, dan
perbuatan yang menurut ketentuan UU memenuhi syarat bagi dikenakannya pajak.
1. Keadaan
⚫ Pajak dapat dikenakan terhadap suatu keadaan tertentu yang menurut UU memang harus
dikenakan pajak.
⚫ Contoh : - PPh
- PBB
- PKB
2. Peristiwa
⚫ Peristiwa tertentu yang terjadi di dalam masyarakat dapat dikenakan pajak.
⚫ Peristiwa tersebut adalah kematian.
3. Perbuatan
⚫ Perbuatan tertentu di masyarakat
⚫ Perbuatan tersebut adalah :
- Pembuatan perjanjian secara tertulis
- Perbuatan penyerahan barang kena pajak

Objek Pajak pada PPh


▪ Objek pajak pada PPh adalah penghasilan.
▪ Penghasilan adalah setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh baik
dari Indonesia maupun dari luar Indonesia yang digunakan baik untuk investasi maupun
konsumsi.
⚫ Pasal 21 UU PPh mengatur tentang pembayaran pajak dalam tahun berjalan melalui
pemotongan pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh dari Wajib Pajak orang pribadi
dalam negeri sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan.
⚫ Objek PPh Pasal 21 :
1. Penghasilan yang diterima atau diperoleh secara teratur.
2. Penghasilan yang diterima atau diperoleh secara tidak teratur.
3. Upah.
4. Uang pesangon, uang tabungan hari tua, atau pembayaran lain yang sejenis.
5. Honorarium, uang saku, hadiah, komisi, beasiswa.
6. Gaji dan tunjangan-tunjangan lain yang terkait dengan gaji yang diterima oleh Pejabat
Negara, PNS, serta uang pensiun dan tunjangan lainnya.

⚫ Pasal 22 UU PPh mengatur mengenai pemungutan pajak sehubungan dengan pembayaran


atas penyerahan barang dan adanya kegiatan di bidang impor atau kegiatan usaha lainnya.
⚫ Objek PPh Pasal 22 :
1. Penyerahan barang dan/atau jasa kepada
institusi pemerintah.
2. Kegiatan impor ke dalam daerah pabean.

⚫ PPh pasal 23 mengatur mengenai pemotongan pajak atas penghasilan yang diterima atau
diperoleh Wajib Pajak dalam negeri dan BUT yang berasal dari modal, penyerahan jasa
atau penyelenggaraan kegiatan yang dibayarkan atau terutang oleh badan pemerintah atau
subjek pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, BUT atau perwakilan perusahaan
luar negeri lainnya.
⚫ Objek PPh Pasal 23 :
1. Dividen
2. Bunga
3. Royalti
4. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta
5. Imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, dan jasa lain selain
yang telah dipotong PPh Pasal 21.

Objek Pajak pada PPN


⚫ Objek pajak dalam PPN adalah penyerahan atau kegiatan yang dilakukan oleh pengusaha
kena pajak. Kegiatan itu antara lain :
1. Penyerahan barang kena pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh pengusaha.
2. Impor barang kena pajak.
3. Penyerahan jasa kena pajak yang dilakukan di dalam Daerah Pabean oleh pengusaha.
4. Pemanfaatan barang kena pajak tidak berwujud dari Luar Daerah Pabean di dalam Daerah
Pabean.
5. Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean.
6. Ekspor barang kena pajak oleh pengusaha kena pajak.

Objek Pajak pada PBB


⚫ Objek PBB adalah benda tidak bergerak, yaitu berupa bumi dan bangunan.
⚫ Bumi adalah permukaan bumi dan tubuh bumi yang ada di bawahnya.
⚫ Bangunan adalah suatu konstruksi teknik yang ditanam atau dilihatkan secara tetap pada
tanah dan/atau perairan.
⚫ Termasuk pengertian bangunan adalah :
1. Jalan lingkungan yang terletak dalam suatu kompleks bangunan.
2. Jalan tol.
3. Kolam renang.
4. Pagar mewah.
5. Tempat olah raga.
6. Fasilitas lain yang memberikan manfaat.

Objek Pajak pada BPHTB


⚫ Objek pajak dari Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan adalah perolehan hak atas
tanah dan/atau bangunan yang dapat berupa tanah (termasuk tanaman diatasnya), tanah dan
bangunan, atau bangunan.
⚫ Perolehan hak atas tanah dan bangunan tersebut meliputi :
1. Pemindahan hak
2. Pemberian hak baru

Objek Pajak pada Bea Materai


⚫ Objek Bea Materai adalah dokumen.
⚫ Dokumen adalah kertas yang berisikan tulisan yang mengandung arti dan maksud tentang
perbuatan, keadaan atau kenyataan bagi seseorang dan pihak-pihak yang berkepentingan.
⚫ Dokumen yang wajib dikenakan bea materai :
1. Dokumen yang telah disebutkan dalam UU, seperti Surat Perjanjian, Akta Notaris dan PPAT,
Surat yang memuat uang lebih dari Rp 1.000.000, dll.
2. Dokumen yang akan digunakan sebagai alat pembuktian di muka pengadilan.

Anda mungkin juga menyukai