NIM : 11000121120029
Mata Kuliah : Hukum Agraria
Kelas :N
PERATURAN MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN
PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2020
TENTANG PENANGANAN DAN PENYELESAIAN KASUS PERTANAHAN
Sengketa kepemilikan tanah dengan Hak Eigendom melibatkan ahli waris AB dengan PT.
OC. Ahli waris AB adalah pemegang hak Eigendom 55XX yang terletak di jalan Diponegoro,
yang pada tahun 2004 melakukan penguasan fisik terhadap tanahnya sendiri. Namun perbuatan
ahli waris AB tersebut dilaporkan oleh PT. OC atas dasar penyerobotan tanah, dengan
menggunakan ketentuan dalam Pasal 167 KUHP. Akan tetapi berdasarkan surat penetapan
penghentian penyidikan (SP3) yang dikeluarkan oleh polres Semarang Selatan, ahli waris AB
tidak terbukti melakukan apa yang dituduhkan oleh PT. OC atas dasar SP3 tersebut polres
Semarang Selatan memohonkan pengembalian batas kepada Badan Pertanahan Nasional Kantor
Wilayah Semarang dan hasilnya adalah menyatakan bahwa bukti kepemilikan PT. OC dengan
dasar HGB Nomor 3X yang berasal dari hak Eigendom 50XX berada di bagian selatan hak
Eigendom 55XX. Selanjutnya tanah tersebut dieksekusi oleh PT. OC dan dilakukan pemagaran
di sekeliling area yang bersangkutan.
AB yang mempunyai tanah hak Eigendom 55XX, dalam kenyataannya tanah tersebut
kemudian menjadi tanah yang dikuasai oleh negara, oleh karena AB tidak melakukan konversi
hak Eigendom hingga batas waktu yang ditentukan yaitu 24 September 1980 sebagaimana yang
telah diatur dalam Keppres No 32 Tahun 1979. Keppres tersebut masih mengandung kelemahan.
Kelemahan tersebut terletak pada jangka waktu berakhirnya pendaftaran konversi yang batasnya
berakhir tanggal 24 September 1980. Sehingga apabila melampaui batas waktu pendaftaran,
maka tanah tersebut akan menjadi tanah negara, akan tetapi dalam implementasinya di
masyarakat sampai saat ini masih banyak tanah-tanah bekas hak barat khususnya tanah hak
Eigendom yang masih berada dalam penguasaan pemiliknya. Jadi tidak semua tanah-tanah bekas
hak barat yang tidak didaftarkan konversinya menjadi tanah negara setelah jangka waktu
pendaftaran berakhir, hal ini menunjukan bahwa Keppres No 32 Tahun 1979 tersebut masih
belum menjamin kepastian hukum.
Hak Eigendom merupakan hak atas tanah individu tertinggi dalam KUHPerdata. Oleh
karena hak Eigendom masih bersumber dari KUHPerdata, maka diperlukan konversi atas hak
tanah tersebut. Konversi hak-hak atas tanah adalah penyesuaian hak lama atas tanah menjadi hak
baru menurut UUPA, yang mana konversi bertujuan untuk agar terbentuknya unifikasi hukum
pertanahan nasional dan menghapus konsep individu dalam hukum pertanahan nasional.
Untuk penyelesaian kasus, dapat dijabarkan sebagai berikut:
1. Pengaduan
Dalam pengaduan ini biasanya berisi hal-hal dan peristiwa-peristiwa yang
menggambarkan bahwa pemohon/pengadu adalah yang berhak atas tanah sengketa dengan
lampirannya bukti-bukti dan mohon penyelesaian disertai harapan agar terhadap tanah
tersebut dapat dicegah mutasinya, sehingga tidak merugikan dirinya.
2. Penelitian
Penelitian dapat dilakukan baik berupa pengumpulan data/administratif maupun hasil
penelitian fisik dilapangan (mengenai penguasaannya). Dari hasil penelitian ini dapat
disimpulkan sementara apakah pengaduan tersebut beralasan atau tidak untuk diproses lebih
lanjut. Pengaduan masalah pertanahan pada dasarnya merupakan suatu fenomena yang
mempersoalkan kebenaran suatu hukum yang berkaitan dengan pertanahan. Hal ini dapat
berupa produk-produk pertanahan tersebut, riwayat perolehan tanah, penguasaan, pemilikan,
penggunaan dan pemanfaatan tanah, pembebasan tanah dan sebagainya. Hampir semua aspek
pertanahan dapat menjadi sumber sengketa pertanahan, seperti halnya kekeliruan dalam
menentukan batas-batas tanah. Oleh karenanya diperlukan adanya pengaturan tentang
lembaga negara yang dapat menyelesaikan permasalahan tersebut.
Terhadap pengaduan yang diproses lebih lanjut, berdasarkan Peraturan Menteri
Agraria dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 21 Tahun 2020 tentang
Penanganan dan Penyelesaian Kasus Pertanahan (selanjunya disebut Permen ATR/BPN No
21 Tahun 2020). Di dalam ketentuan Pasal 6 Ayat (1) disebutkan bahwa penanganan
sengketa dan konflik dilakukan melalui tahapan sebagai berikut:
a. Pengkajian Kasus
b. Gelar awal
c. Penelitian
d. Ekspos hasil Penelitian
e. Rapat Koordinasi
f. Gelar akhir
g. Penyelesaian Kasus
Setelah ahli waris AB melalui kuasanya melakukan pelaporan kepada BPN,
selanjutnya BPN memproses pengaduan tersebut sesuai dengan prosedur yang ditentukan
dalam Pasal 6 Ayat (1) Permen ATR/BPN No 21 Tahun 2020. Kuasa hukum ahli waris AB
selanjutnya harus membawa legalitas daripada kepemilikan tanah yang akan menguatkan
dasar kepemilikannya dalam proses ini, yang mana bukti legalitas tersebut diantaranya hak
Eigendom 55XX, Surat pembayaran PBB atas nama AB beserta nomor objek pajak, surat
perintah penghentian penyidikan (SP3) dari Polres Semarang Selatan yang menyatakan
bahwa ahli waris AB dalam hal ini tidak terbukti melakukan tindak pidana memasuki
pekarangan tanpa izin yang dilaporkan oleh pihak PT. OC, dan surat pengembalian batas
yang dikeluarkan oleh BPN kantor wilayah Semarang atas permintaan Polres Semarang
Selatan setelah mengeluarkan SP3.
Setelah masuk ke dalam proses terakhir yaitu penyelesaian kasus, BPN mengeluarkan
hasil sebagaimana yang diatur dalam Pasal 17 Permen ATR/BPN No 21 Tahun 2020 bahwa
penanganan kasus dinyatakan dengan kriteria:
a. Kriteria Satu (K1) jika penyelesaian bersifat final, berupa:
1) keputusan pembatalan
2) perdamaian
3) surat penolakan tidak dapat dikabulkannya permohonan
b. Kriteria Dua (K2) berupa:
1) surat petunjuk Penyelesaian Kasus atau surat penetapan pihak yang berhak tetapi
belum dapat ditindaklanjuti keputusan penyelesaiannya karena terdapat syarat yang
harus dipenuhi yang merupakan kewenangan instansi lain
2) surat rekomendasi Penyelesaian Kasus dari Kementerian kepada Kantor Wilayah atau
Kantor Pertanahan sesuai kewenangannya dan Kantor Wilayah kepada Kantor
Pertanahan atau usulan Penyelesaian dari Kantor Pertanahan kepada Kantor Wilayah
dan Kantor Wilayah kepada Menteri
c. Kriteria Tiga (K3) berupa surat pemberitahuan bukan kewenangan Kementerian.
Oleh karena kasus sengketa kepemilikan tanah antara ahli waris AB dengan PT. OC
bukan termasuk tumpang tindih, sehingga kriteria satu dalam Pasal 17 huruf a tidak relevan
mengingat keadaannya. Adapun hasil yang sesuai dengan ketentuan tersebut adalah dengan
dikeluarkannya Surat Penetapan Pihak yang berhak akan tetapi belum dapat ditindaklanjuti
keputusan penyelesaiannya.