Sebagai pemberi kerja, Wajib Pajak melakukan pemotongan PPh 21 atas gaji dan/atau upah yang
dibayarkan kepada karyawannya. Kompensasi yang dibayarkan kepada karyawan memungkinkan
tidak seluruhnya terdaftar pada slip gaji karena di samping memberikan gaji, perusahaan mungkin
memberikan kesejahteraan kepada karyawannya dalam bentuk benda (natura) atau kenikmatan
seperti rekreasi, pajak dibayar perusahaan, tunjangan kesehatan dan sebagainya. Pasal 9 ayat I huruf
e UU Pajak Penghasilan mengisyaratkan bahwa terhadap beban-beban yang berkaitan dengan
penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan dalam bentuk
natura dan kenikmatan, kecuali penyediaan makanan dan minuman bagi seluruh pegawai serta
penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan di daerah tertentu dan yang
berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan; tidak boleh dilkurangkan terhadap perpenghasilan.
Berdasarkan ketentuan dalam aturan ini, semua pemberian dalam bentuk natura dan kenikmatan
tidak diakui sebagai beban fiskal sehingga tidak bisa dikurangkan dalam perhitungan dasar
pengenaan pajak. Dalam praktiknya hal ini menimbulkan adanya koreksi fiskal positif yang
menyebabkan dasar pengenaan pajak dan pajak terutang menjadi lebih besar dan mendorong
terjadinya pengeluaran kas yang lebih besar pula untuk menyelesaikan kewajiban perpajakan ini.
Melalui kebijakan perpajakan yang memasukkan seluruh penghasilan karyawan ke dalam slip gajinya
dan dibayarkan dalam bentuk uang, menjadikan seluruh pemberian kepada karyawan diakui oleh
pajak sebagai penghasilan bagi penerimanya dan sebagai beban bagi yang memberikan. Dengan
kebijakan ini, Wajib Pajak dapat memalksimalkan beban-beban yang terjadi berkaitan dengan
karyawannya menjadi beban fiskal (deductible expense). Pertimbangan lain yang harusdiperhatikan
dalam penetapan kebijakan ini adalah siapa yang membayar PPh 21.
Jika perusahaan menanggung semua pajak karyawannya (net method), perbandingan antara
peningkatan beban pajak karyawan yang harus ditanggung dengan penghematan pajak badan yang
diperoleh, harus memberikan manfaat yang maksimal. Penghematan pajak yang diperoleh harus
lebih besar dari peningkatan beban pajak yang harus ditanggung. Pasal 17 UU No. 36 Thn. 2008,
lapisan tertinggi untuk tarif pajak WP Pribadi adalah 30% sedangkan untuk PPh Badan mulai tahun
2010 ditetapkan tarif tunggal sebesar 25%. Jika penghasilan kena pajak karyawan masih di bawah
Rp250. 000.000 per tahun atau Rp20.900.000 per bulan (tarit 15%), kebijakan ini akan memberi
selisih penghematan pajak yang lebih besar dibandingkan tambahan beban pajak yang terjadi. Tetapi
di samping selisih ini, Wajib Pajak perlu mempertimbangkan Juga nilai waktu dari uang, karena
pembayaran PPh 21 harus diakukan setiap bulan sedangkan penghematan pajak badan baru
diperoleh pada akhir tahun (pada saat penghitungan akhir tahun bersamaan dengan penyelesaian
laporan keuangan).
untuk menyamakan besarnya jumlah tunjangan pajak dengan PPh 21 yang terutang, banyak
perusahaan menggunakan metode "gross up”. Metode ini memasukkan dalam daftar penghasilan
pada slip gaji tunjangan dalam bentuk natura dan kenikmatan yang diberikan kepada karyawan
termasuk tunjangan PPh 21, kemudian menghitung besarnya tunjangan pajak yang harus diberikan
yang sama dengan jumlah PPh 21 terutang. Dalam perhitungannya, metode ini tampak agak rumit,
tetapi memberikan manfaat penghematan pajak yang sangat berarti bagi perusahaan.
Masalah baru yang muncul dalam strategi penghematan pajak ini adalah bagaimana memperlakukan
tunjangan-tunjangan yang praktik pemberiannya terjadi pada waktu-waktu tertentu seperti
tunjangan rekreasi, cuti, pemeliharaan kendaraan, dan sebagainya, tetapi masuk dalam daftar
penghasilan karyawan. Oleh karena masuk dalam dartar penghasilannya, karyawan menganggap
bahwa tunjangan-tunjangan tersebut diterima secara tunai bersamaan dengan penerimaan gajinya.
Perusahaan bisa mengadopsi masalah ini dalam kebijakan akuntansinya, di mana untuk tunjangan-
tunjangan seperti ini diakui sebagai beban bersamaan dengan beban gaji dan upah, tetapi masih
terutang sampai dengan waktu realisasinya. Jadi pada saat pembayaran gaji, perusahaan akan
mencatat besarnya beban gaji dan upah sebesar seluruh kompensasi yang diberikan kepada
karyawannya (termasuk natura dan kenikmatan) dan mengakui adanya utang atas tunjangan
tersebut, sampai waktu realisasinya. "Bagaimana menentukan nilainya karena realisasi atas
kenikmatan tersebut sangat tergantung pada kondisi waktu terjadinya?" Untuk hal ini, perusahaan
bisa mengestimasi nilai pada saat terjadinya dan membagi berdasarkan waktu pembayaran gaji
tersebut.
Tax Review
Tax review dilakukan untuk menelaah dan menilai bagaimana kemampuan perusahaan dalam
memenuhi seluruh kewajiban perpajakannya. Hasil dari tax review ini dapat memberikan penjelasan
tentang bagaimana tingkat ketaatan perusahaan dalam memenuhi kewajiban perpajakannya. Agar
nmampu memberikan gambaran yang komprehensif, tax review dilakukan terhadap seluruh
kewajiban perpajakan yang dimiliki perusahaan. Berdasarkan Laporan Keuangan dan SPT (Masa
dan/atau Tahunan) seorang tax reviewer melakukan analisis untuk menentukan ketaatan
perusahaan dalam memenuhi kewajiban perpajakannya. Secara garis besar, kewajiban perpajakan
untuk Wajib Pajak meliputi:
Untuk memberikan hasil yang maksimal, tax review seharusnya dilakukan setiap pelaporan
kewajiban perpajakan tersebut timbul, tidak hanya setiap akhir tahun. Beberapa manfaat yang
diperoleh Wajib Pajak dari pelaksanaan tax review di antaranya adalah sebagai berikut:
Secara umum sanksi perpajakan dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok besar, yaitu sanksi
sebelum pemeriksaan (sanksi dalam tahun berjalan) dan sanksi perpajakan akibat pemeriksaan
pajak. Sanksi perpajakan dalam tahun berjalan terdiri atas:
a. Sanksi perpajakan seperti denda keterlambatan pembayaran pajak pasal 14 ayat 3 sebesar 29%
per bulan maksimal 24 bulan dikalikan jumlah bulan yang terlambat dibayar.
b. Denda keterlambatan pelaporan SPT Masa pasal 7 dan keterlambatan pelaporan SPT Tahunan.
c. Sanksi bunga penagihan pasal 19 ayat 1 sebesar 2% per bulan (tanpa ada batas maksimal).
d. Sanksi pasal 14 ayat 4 berupa denda 2% kali Dasar Pengenaan Pajak PPN akibat tidak, terlambat,
atau salah membuat faktur pajak.
e. Sanksi pasal 13 ayat 3 berupa kenaikan 50% akibat tidak menyampaikan SPT Tahunan walaupun
sudah diperingatkan dengan Surat Teguran.
a. Sanksi pasal 13 ayat 2 sebesar 2% kali jumlah pajak yang kurang bayar yang ditemukan pada saat
dilakukan pemeriksaan.
b. Sanksi pasal 13 ayat 3 berupa kenaikan 100% dari jumlah Lebih Bayar yang seharusnya tidak
dikompensasikan.
c. Sanksi pasal 13 ayat 3 berupa denda 100% karena PPh yang dipotong atau dipungut tidak
dibayarkan.
2. Menghindari adanya pajak masukan yang tidak dapat dikreditkan karena baru ditemukan pada
saat pemeriksaan.
4. Menghindari adanya pajak masukan yang tidak bisa dikreditkan karena pajak masukan tersebut
tidak dapat dikonfirmasikan oleh pemeriksa.
5. Menghindari daluwarsa pengajuan keberatan pajak yakni tiga bulan setelah penerbitan SKP
6. Mengusahakan persetujuan pengurangan angsuran PPh Pasal 25 bila berdasarkan hasil review,
syarat-syarat pengurangan angsuran PPh Pasal 25 sudah bisa dipenuhi.
7. Mengusahakan Surat Keterangan Bebas pajak bila berdasarkan hasil review, syarat-syarat
pemberian SKB sudah terpenuhi.
1. Wajib Pajak dapat memperpanjang jangka waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan
Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) untuk paling lama 2 (dua) bulan dengan cara
menyampaikan pemberitahuan secara tertulis atau dengan cara lain kepada Direktur Jenderal Pajak
yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (pasal 3 ayat 4)
2. Wajib Pajak dengan kemauan sendiri dapat membetulkan Surat Pemberitahuan yang telah
disampaikan dengan menyampaikan pernyataan tertulis, dengan syarat Direktur Jenderal Pajak
belum melakukan tindakan pemeriksaan (pasal 8 ayat 1).
1. setiap Wajib Pajak yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan wajib mendaftarkan diri pada Kantor
Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan
Wajib Pajak dan kepadanya diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak (pasal 2 ayat 1).
2. setiap wajib pajak sebagai pengusaha yang dikenai pajak berdasarkan Undang-undang Pajak
Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya, wajib melaporkan usahanya pada Kntor Direktorat
Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan Pengusaha
dan tempat kegiatan usaha dilakukan untuk dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak (pasal 2 ayat
2).
3. setiap Wajib Pajak mengisi Surat Pemberitahuan dengan benar, lengkap, dan jelas, dalam bahasa
Indonesia dengan menggunakan huruf Latin, angka Arab, satuan mata uang Rupiah dan
menandatangani serta menyampaikannya ke kantor Direktorat Jenderal Pajak tempat Wajib Pajak
terdaftar atau dikukuhkan atau tempat lain yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak (pasal 3
ayat 1)
4. Wajib Pajak wajjib mengisi dan menyampaikan Surat Pemberitahuan dengan benar, lengkap, jelas
dan menandatanganinya (pasal 4 ayat 1)
5. Wajib Pajak wajib membayar atau menyetor pajak yang terutang dengan menggunakan Surat
Setoran Pajak ke kas negara melalui tempat pembayaran yang diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan (pasal 10 ayat 1)
Berbagai fasilitas dan insentif pajak yang diberikan pemerintah (seperti yang disajikan pada lampiran
bab ini) baik untuk PPh badan maupun PPh pribadi, dapat dijadikan rujukan oleh Wajib Pajak untuk
mengatur transaksi, operasional dan bentuk usahanya agar dapat menikmati faslitas dan insentif
pajak tersebut.
Pasal 21: Pemotongan pajak atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau Kegiatan
dengan nama dan dalam bentuk apa pun yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi
dalam negeri wajib dilakukan oleh:
1. pemberi kerja yang membayar gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain sebagai
imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan oleh pegawai atau bukan pegawai
2. Bendahara pemerintah yang membayar gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain
sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan
3. dana pensiun atau badan lain yang membayarkan uang pensiun dan pembayararn lain dengan
nama apapun dalam rangka pensiun
4. badan yang membayar honorarium atau pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan
jasa termasuk jasa tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas dan
Tidak termasuk sebagai pemberi kerja yang wajib melakukan pemotongan pajak adalah kantor
perwakilan negara asing dan organisasi-organisasi internasional.
Agar lebih mudah mengendalikan, perusahaan seharusnya memiliki rekening tersendiri untuk setiap
objek PPh 21. Rekening-rekening ini akan menampung setiap objek PPh 21 yang menjadi sumber
pemotongan dan pemungutan dari pajak tersebut. Nilai dari masing-masing rekening ini akan sangat
dibutuhkan pada saat pembuatan SPT PPh 21 baik SPT Masa maupun SPT Tahunan. Jika terdapat
perbedaan nilai PPh 21 yang disetor dan dilaporkan dengan nilai
objek pajaknya, berarti terdapat penghasilan karyawan yang bukan objek PPh 21 atau masih di
bawah PTKP Hal ini harus disiapkan perincian dan penjelasannya sehingga pada saat dilakukan
pemeriksaan oleh aparat perpajakan, perusahaan dapat memberi penjelasan dengan cepat dan
tepat.Kewajiban perpajakan terkait PPh 21, selain menghitung dan memotong pajak denganbenar
adalah waktu penyetoran dan pelaporan SPT masa PPh 21. Pasal 2 dan Pasal 7 PMK
No.80/PMK.03/2010 mengatur tentang batas waktu penyetoran dan pelaporan pajak. Untuk
PPh 21, penyetoran pajak Paling lama tanggal 10 bulan berikutnya dari waktu pemotongan dan
pelaporan SPT Masa PPh 21 Paling lama 20 hari setelah Masa Pajak berakhir. Untuk menghindari
internal audit perpajakan harus memastikan bahwa data-data karyawan yang dihitung pajaknya
adalah data yang terbarukan (up to date), penerapan tarif PTKP dan tarif pajaknya serta pengisian
Audit atas PPh Pasal 26Pasal 26: Alas penghasilan tersebut di bawah ini, dengan nan1a dan dalam
bentuk apa pun,
yang dibayarkan, disediakan untuk dibayarkan, atau telah jatuh tempo pembayarannya oleh
badan pemerintah, Subjek Pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap,
atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak luar negeri selain bentuk
usaha tetap di Indonesia:1. Dipotong pajak sebesar 20% (dua puluh persen) dari jumlah bruto oleh
pihak yang wajibmembayarkan:
a. dividen;
h. keuntungan karena pembebasan utang.2. Atas penghasilan dari penjualan atau pengalihan harta
di Indonesia, kecuali yang diatdalam Pasal 4 ayat (2), yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak luar
negeri selain bentususaha tetap di Indonesia, dan premi asuransi yang dibayarkan kepada
perusahaan asuluar negeri dipotong pajak 20% (dua puluh persen) dari perkiraan penghasilan neto3.
Atas penghasilan dari penjualan atau pengalihan saham sebagaimana dimaksud dalanm18 ayat (3c)
dipotong pajak sebesar 20% (dua puluh persen) dari perkiraan peng
heto,asilan
4. Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi pajak dari suatu bentuk usaha tetap di Indonesia
dikenai pajak sebesar 20% (dua puluh persen), kecuali penghasilan tersebut ditanamkan
kembali di Indonesia, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkanPeraturan
Menteri Keuangan.5. Pemotongan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (2a),
dan ayat (4bersifat final, kecualiapemotongan atas penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
5 ayat (1) hurut bdan huruf c; danpemotongan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang
pribadi atau badan
luar negeri yang berubah status menjadi Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha
tetap.b.Sebagai pemotong, Wajib Pajak harus menyetor PPh 26 yang dipotong pajak paling lama
tanggal 10 bulan berikutnya dari waktu pemotongan dan melaporkannya paling lama 20 hari
setelah Masa Pajak berakhir. Mengingat adanya kemiripan objek pajak PPh 23 dan PPh 26,
perusahaan harus berhati-hati agar tidak tercampur dalam penyeioran dan pelaporannya
Pastikan bahwa PPh 26 hanya dipotong dan dipungut dari Wajib Pajak Luar Negeri (WPLN)
Program audit untuk audit PPh 21 dan 26
Pasal 22: Menteri Keuangan dapat menetapkan:Dendanara pemerintah untuk memungut pajak
sehubungan dengan pemoayau
penyerahan barangas. Dadan-badan tertentu untuk memungut pajak dari Wajib Pajak yang
melakukandi bidang impor atau kegiatan usaha di bidang lain; dan. Wajib Pajak badan tertentu
untuk memungut pajak dari pembeli atas penjualan Dataigyang tergolong sangat mewah.Besarnya
pungutan yang diterapkan terhadap Wajib Pajak yang tidak memiliki Nomor PokokWajib Pajak lebih
tinggi 100% (seratus persen) daripada tarif yang diterapkan terhadap Wajib
Pajak yang dapat menunjukkan Nomor Pokok Wajib Pajak. PPh Pasal 22 yang pemungutannya
dilakukan oleh Wajib Pajak badan tertentu sebagai pemungut pajak, penyetorannya paling lanma
tanggal 10 bulan berikutnya dan pelaporannya paling lama 20 hari setelah Masa Pajak beralkhi
Sebagai pemungut, Wajib Pajak harus menyerahkan bukti pemungutan kepaada Wajib Pajak
yang dipungut sesuai dengan aturan yang berlaku.Sebagai yang dipungut, Wajib Pajak harus
mendapat bukti pemungutan yang cukupsesuai dengan peraturan yang berlaku dan memisahkan
pencatatannya antara Uang
Muka PPh 22 Final dan tidak final. PPh yang tidak final akan dapat dikreditkan dan
bukti pungutnya digunakan sebagai bukti untuk mengkreditkan PPh Pasal 22 pada saat
dilakukan perhitungan akhir tahun kewajiban perpajakan. Sementara PPh 22 Final tidak
dapat dikreditkan, maka dari itu penghasilan yang Sudah dipungut PPh 22 Final dikeluarkan
dari pendapatan perusahaan pada saat menghitung besarnya pajak terutang (koreksi fiskal
negatit).
edur dan inpiemertaAudit atas PPh Pasal 23dibayarkan, disediakan untuk dibayarkan,
Pemerintah, Subjek Pajak badan dalam negeghasilan tersebut di bawah ini dengan nama dan dalam
bentuk apa pun yang
Jadk Dadan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap,Wakllan perusahaan luar
negeri lainnya kepada Wajib Pajak dalam negeri atau bentukusaha tetap, dipotong pajak oleh pihak
yang wajib membayarkalsebesar 15% (lima belas persen) dari jumlana.
Dbunga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) hurut
dVIen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huru Sroyalti; dan
adiah, penghargaan, bonus, dan sejenisnya selain yang telah dipotong Pajak
Fenghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21l ayat (1) hurut e2. Sebesar 26 (dua persen) dari
jumlah bruto atas:d,Sewa dian penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, kecuali sewa
danpenghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta yang telah dikenai pajak
imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa
konsultan, dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong pajak penghasilan sebagaimana
ak, besarnya tarif pemotongan adalah lebih tinggi 1006 (seratus persen)
yang seharusnya. Orang pribadi sebagai Wajib Pajak dalam negeri dapat ditunjukDalam hal Wajib
Pajak yang menerima atauNomor Pokok Wajib Pajak, besarnya
daripada tarif yangoleh Direktur Jenderal Pajak untuk memotong pajak sebagaimana ketentuan yang
berlaku.Temotongan pajak sebagaimana dimaksud tidak dilakukaatas:penghasilan yang dibayar atau
terutang kepada bank;
yng dibayarkan atau terutang sehubungan dengan sewa guna usaha dengan hakopsi
dividen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf f dan dividen yang ditenima
oleh orang pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2c).4. bagian laba sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf i;
5. sisa hasil usaha koperasi yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggotanya;
6. penghasilan yang dibayar atau terutang kepada badan usaha atas jasa keuangan yangberfungsi
sebagai penyalur pinjaman dan/atau pembiayaan yang diatur dengan Peraturan
Menteri Keuangan.Sebagai pemotong, Wajib Pajak harus menerbitkan bukti potong yang cukup
sesuai denganobjek pemotongannya dan menyerahkan kepada Wajib Pajak yang dipotong.
Penyetoran PPh
bukti pada saat mengkreditlkan pajak terutang pada siatBab 9: Audit Perpajakan tdanpallng lama
tanggal 10 bulan berikutnyaPajak berakhir. Sebagai pihak yang dipungutari pemungut, yang akan
digunakan sebagaltahun.Untuk menghindari terjadinya perbedaan antara ou
cdil Dlaya-biaya yang menjadi objek pemotongan PPDtang pada saat dibuat laporan pajak akintara
objek pajak pada SPT masa PPn
23. Flal ini sangat bermanfaat dalam menyelaraskan hubungan antard octdt dah antara biaya-biaya
yang merupakan objek pemotongan PPh - yas
padalterim yang dibuat perusahaan. Jika masih terdapat perbedaan, seoclldsa dlaporkan harus dicari
penyebabnya Apakah pemotongan pajak dilakuSL pengakuan prepaid expenses atau terdapat
pengakuan provisi biaya atau accrued experises
yang delum menimbulkan kewajiban pemotongan pajak. Atas perbedaan-perbedaan ini harus
disiapkan data dan penjelasan yang memadai dan jika perlu dilakukan perbaikan terlebih dahulu
sebelum SPT dilaporkan, sehingga pada saat terjadi pemeriksaan atas masalah ini, perusahaan
telah memiliki data dan penjelasan yang memadai untuk disampaikan kepada petugas pajak