Anda di halaman 1dari 21

PERENCANAAN PAJAK

“Menjelaskan pengelolaan pajak atas PPh Orang Pribadi dan badan.”


Untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah Perencanaan Pajak yang diampu oleh
Ibu Lintang Venusita, SE, Ak, M.Si, CA.

Oleh
Renica Gunarso (18080694005)
Ira Rahmah Maulia (18080694009)
Dea Nanda Safitri (18080694017)
Lucky Tiara Dewi (18080694050)
Wa Ode Musmiarny Nilammadi (18080694072)
Dwita Ashila Ramadhanty (18080694073)
Aviyanti Putri (18080694075)

UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA


FAKULTAS EKONOMI
JURUSAN AKUNTANSI
2020
A. Perencanaan Pajak untuk Pajak Penghasilan Terutang Wajib Pajak Orang
Pribadi
Suandy (2011:13) menyatakan agar perencanaan pajak dapat berhasil sesuai dengan
yang diharapkan, maka rencana itu seharusnya dilakukan melalui berbagai urutan
tahap-tahap berikut ini :
1. Menganalisis informasi (Basis Data) yang Ada
Tahap pertama dari perencanaan pajak adalah menganalisis komponen yang
berbeda atas pajak yang terlibat dalam suatu proyek dan menghitung seakurat
mungkin beban pajak yang ditaanggung. Hal ini hanya bisa dilakukan dengan
mempertimbangkan masing-masing elemen dari pajak, baik secara sendiri-sendiri
maupun secara total pajak yang harus dapat dirumuskan sebagai perencanaan
pajak yang paling efisien. Penting juga untuk memperhitungkan kemungkinan
besarnya penghasilan dari suatu proyek dan pengeluaran-pengeluaran lain di luar
pajak yang mungkin terjadi. Untuk itu, seorang manajer perpajakan harus
memerhatikan faktorfaktor baik internal maupun eksternal, yaitu : Fakta yang
relevan, Fakta pajak, Faktor non pajak Lainnya.
2. Buat Satu Model atau Lebih Rencana Besarnya Pajak
Pemilihan bentuk transaksi operasi atau hubungan internasional. Pada hampir
semua sistem perpajakan internasional, paling tidak ada dua negara yang
ditentukan lebih dahulu. Dari sudut pandang perpajakan, proses perencanaan tidak
bisa berada diluar dari tahapan pemilihan transaksi, operasi , dan hubungan yang
paling menguntungkan.
3. Evaluasi atas Perencanaan Pajak
Perencanaan pajak sebagai suatu perencanaan yang merupakan bagian kecil dari
seluruh perencanaan strategis perusahaan, oleh karena itu perlu dilakukan evaluasi
untuk melihat sejauh mana hasil pelaksanaan suatu perencanaan pajak terhadap
beban pajak, perbedaan laba kotor, dan pengeluaran selain pajak atas berbagai
alternatif perencaan.
4. Mencari Kelemahan Dan Kemudian Memperbaiki Kembali Rencana Pajak
Untuk mengatakan bahwa hasil suatu perencanaan pajak baik atau tidak, tentu
harus dievaluasi melalui berbagai rencana yang dibuat. Tindakan perubahaan (up
to date planning) harus tetap dijalankan walaupun diperlukan penambahan biaya
atau kemungkinan keberhasilannya sangat kecil. Sepanjang penghematan pajak
masih besar, rencana tersebut harus tetap dijalankan, karena bagaimanapun juga
kerugian yang ditanggung merupakan kerugian minimal. Jadi, akan sangat
membantu jika pembuatan suatu rencana disertai dengan gambaran atau perkiraan
berapa peluang kesuksesan dan berapa laba potensial yang akan diperoleh jika
berhasil maupun kerugian potensial jika terjadi kegagalan.
5. Memutakhirkan Rencana Pajak
Meskipun suatu rencana pajak telah dilaksanakan dan proyek juga telah berjalan,
tetap perlu diperhitungkan setiap perubahan yang terjadi, baik dari undang-undang
maupun pelaksanaannya (negara di mana aktivitas tersebut dilakukan) yang dapat
berdampak terhadap komponen suatu perjanjian.
(media.neliti.com/media/publications/192884-ID-penerapan-strategi-perencanaan-
pajak-tax.pdf)

B. Perencanaan Pajak untuk Pajak Penghasilan Terutang Badan


1. Dasar Hukum PPh Terutang
Semua jenis pajak terutang, termasuk pajak penghasilan, tidak sama dengan utang
pajak. Hal ini dapat dilihat dari dasar hukumnya. Istilah pajak yang terutang dapat
Anda temukan pada beberapa peraturan pajak di bawah ini:
a. UU Nomor 28 Tahun 2007 tentang KUP
Undang-undang ini mengatur ketentuan umum dan tata cara perpajakan
(KUP). Pada pasal 10 undang-undang ini dijabarkan bahwa pajak terutang
adalah pajak yang harus dibayar pada saat tertentu dalam masa pajak, tahun
pajak, atau bagian tahun pajak.
b. UU KUP Pasal 1 Ayat 10
Deskripsi pajak terutang dalam UU KUP Pasal 1 mirip dengan UU Nomor 28
Tahun 2007.
c. UU Nomor 36 Tahun 2008 tentang PPh
Undang-undang ini merupakan versi lebih baru dari UU Nomor 7 Tahun 1983
tentang Pajak Penghasilan. Pasal 17 dalam undang-undang ini memuat tarif
pajak penghasilan untuk orang pribadi dan badan. Wajib pajak membutuhkan
informasi ini untuk menghitung pajak terutang dari penghasilan kena pajak.
d. PER-4/PJ/2009
Peraturan Direktorat Jenderal Pajak Nomor 4 Tahun 2009 tidak secara khusus
menyebut pajak penghasilan terutang. Akan tetapi, peraturan ini memuat
penjelasan serta petunjuk untuk melakukan pencatatan pajak penghasilan,
khususnya bagi Wajib Pajak Orang
e. PER-32/PJ/2015
Peraturan Direktorat Jenderal Pajak Nomor 32 Tahun 2015 juga mengatur tarif
pajak penghasilan, dengan fokus pada pajak penghasilan pribadi. Peraturan ini
juga membedakan tarif yang dikenakan pada wajib pajak yang sudah memiliki
NPWP dan yang belum. Anda dapat menemukannya pada bab VII pasal 20.
Berbeda dengan pajak terutang (yang bukan merupakan tunggakan), deskripsi
utang pajak tercantum di dalam Undang-Undang Penagihan Pajak dengan
Surat Paksa (UU PSPP) khususnya pada pasal 1 Ayat 8. Dengan kata lain, ada
unsur sanksi di dalam utang pajak dan sudah menjadi tunggakan. Anda wajib
membayar utang pajak beserta denda, kenaikan, atau bunga sebagai sanksi
keterlambatan.

2. Metode Perhitungan
a. Metode Perhitungan PPh Pasal 21 Dibayar Perusahaan PT. RSA
Metode perhitungan PPh Pasal 21 dibayar perusahaan secara akuntansi
komersialnilai ini dapat ditambahkan sebagai salah satu elemen biaya. Akan
tetapi secara fiskal, penyesuaian akan dilakukan dengan melakukan koreksi
positif dengan mengurangkan biaya PPh Pasal 21 dari elemen biaya pada
penghitungan pajakpenghasilan badan, karena biaya tersebut tidak diakui
secara fiskal (Non DeductibleExpense).
Beban biaya PPh Pasal 21 PT.RSA pada tahun 2015 adalah sebesar
Rp18.335.606 dengan menggunakan metode PPh Pasal 21 dibayar oleh
perusahaan. Pada metode ini perusahaan akan menambah pengeluaran sebesar
Rp 18.335.606,-untuk pembayaran PPh Pasal 21. Secara fiskal, penyesuaian
akan dilakukan dengan melakukan koreksi positif dengan mengurangkan biaya
PPh Pasal 21 dari elemen biaya pada penghitungan pajak penghasilan badan,
karena biaya tersebut tidak diakui secara fiskal (Non Deductible Expense).
Sehingga laba fiskal yang didapatkan akan naik dan pembayaran pajak akan
bertambah karena koreksi positif tersebut. Perushaan juga tidak boleh
membiayakan PPh Pasal 21 yang ditanggung tadi kedalam SPT Tahunan
Badan, sebab biaya tersebut dikategorikan kedalam imbalan ataupemberian
kenikmatan tidak diperkenankan dikurangkan dari penghasilan brutopemberi
kerja saat menghitung penghasilan kena pajak.Sementara itu penghasilan yang
diterima oleh karyawan tidak berkurangbesarnya karena tidak ada pemotongan
untuk pajak dan fasilitas ini tidak termasukdalam perhitungan penghasilan. Hal
ini tentu akan merugikan perusahaan. Berikut perhitungan PPh Pasal 21
dibayar perusahaan yang diterapkan PT. RSA sebelum taxplanning.

b. Metode Perhitungan PPh Pasal 21 jika Di Gross Up Perusahaan Alternatif


yang digunakan dalam perencanaan pajak perhitungan dan pemotongan PPh
Pasal 21 ialah metode Gross Up. Pada tabel 2 akan memperlihatkan
perhitungan Pajak Penghasilan Pasal 21 dengan menggunakan alternatif
metode Gross up.

Dari tabel.2 diatas terlihat bahwa jumlah tunjangan pajak sebesar


Rp15.410.047 adalah sama besar dengan jumlah PPh Pasal 21 terutang,
sehinggakaryawan tidak akan dipotong PPh Pasal 21, karena seluruh PPh Pasal
21 kiniditanggung oleh perusahaan dalam bentuk tunjangan pajak. Namun
harus diingat,pada metodegross upbiaya tambahan yang dikeluarkan oleh
Perusahaan dalambentuk tunjangan pajak ialah paling besar dibanding dengan
alternatif lainnya, namunmemiliki sisi positif yakni semua biaya tambahan
tersebut diakui baik secarakomersial maupun fiskal. Pemilihan metodegross
upPPh Pasal 21 ini dalamperencanaan pajak adalah dengan mengeluarkan
tunjangan makan dan tunjanganpulsa yang akan meyebabkan penghasilan kena
pajak pun berkurang

c. Dampak Perhitungan PPh Terutang Badan jika PPh Pasal 21 Dibayar


PerusahaanSetelah Perencanaan Pajak
Pada tabel 3akan memperlihatkan laporan laba-rugi sebelum dan
sesudahdilakukakannya perencanaan pajak jika biaya tunjangan karyawan
dikeluarkan dariperhitungan Pasal 21 ditanggung oleh perusahaan.
Dari tabel 3 dapat dilihat bahwa laba sebelum dilakukannya
penerapanperencanaan pajak mengalami kenaikan sebesar Rp. 38.059.657, hal
ini karena adapenambahan biaya yang sebelumnya tunjangan pulsa dan makan
menjadi take home paykaryawan dan kini tunjangan tersebut dijadikan elemen
biaya pada perusahaan sebagaipengurang pada laba perusahaan, dan PPh Pasal
21 terutang kini dibebankan keperusahaan sebesar Rp 15.410.047. Jumlah laba
setelah penerapan perencanaan pajakadalah sebesar Rp 2.471.469.330 lebih
kecil dibandingkan laba alternatif perhitungan danpemotongan dibayar
perusahaan. Selain itu, berbeda dengan metode PPh Pasal 21dibayarkan
perusahaan, biaya atas menanggung PPh Pasal 21 tersebut dalam bentuk
tunjangan pajak dapat dikurangkan dalam perhitungan laba fiskal, sehingga
dapatmengecilkan laba perusahaan dan pada akhirnya dapat mengecilkan PPh
terutang.Setelah dilakukan penerapan pajak maka didapat laba sebelum pajak,
inilah dasardalam perhitungan PPh Terutang Badan jika mengggunakan kedua
metode tersebut
Dengan menggunakan metode PPh Pasal 21 dibayar karyawan, jumlah PPh
tertutangyang wajib dibayarkan oleh PT. RSA adalah sebesar Rp 513.343.180,
sedangkanpenghitungan PPh Terutang jika mengggunakan metode PPh Pasal
21 ditunjangkanperusahaan(gross up)adalah:

Setelah menghitung dan menganalisa atas alternatif perhitungan dan


pemotonganPPh pasal 21 kita dapat mengetahui kelebihan maupun
kekurangan atas masing-masing alternatif. Pada metode PPh Pasal 21 dibayar
perusahaan dengan memberikanfasilitas PPh Pasal 21 kepada perusahaan
merupakan salah satu bentuk usaha dalammensejahterahkan karyawan dengan
harapan karyawan akan bekerja lebih baiklagi.Dari segicash flow, Perusahaan
mengeluarkan biaya tambahan yaitu biaya PPhPasal 21 sebesar Rp.
18.335.606. Beban biaya tersebut tetapi tidak dapat diakui secarafiskal yang
mengakibatkan perusahaan merugi sebesar jumlah tersebut. Besar PPhbadan
terutang yang wajib dibayarkan jika dengan metode tersebut menjadi
Rp358.105.833.Setelah PT. RSAmelakukan perencanaan pajak dengan
menggunakan metodePPh Pasal 21digross upbiaya atas PPh Pasal 21dengan
metode tersebut adalahsebesar Rp 15.410.047 dan PPh terutang yang wajib
dibayarkan PT. RSA adalahsebesar Rp 349.936.257
d. Kesimpulan :
1. Metode perhitungan dan pemotongan pemilihan alternatif pada PPh Pasal
21 PT RSAsebelumnya menggunakan metode dibayar perusahaan, dengan
beberapa elementunjangan sebagai penambah pada take home pay
karyawan. Hal ini menjadikan PPhPasal 21 yang dibayarkan PT. RSA
adalah sebesar Rp 18.335.606. Metode yangdibandingkan adalah metode
gross up dengan beberapa elemen tunjangan tidakdimasukan sebagai
penambah pada take home pay karyawan, Hal ini menjadikanPPh Pasal 21
yang dibayarkan PT. RSA adalah sebesar Rp 15.410.047.
2. Alternatif pemotongan PPh Pasal 21 yang memberikan manfaatpaling
besar bagi PT.RSA adalah metode gross up. Metode ini dengan
mengeluarkan tunjangan makandan tunjangan pulsa karyawan dari
perhitungan take home pay melainkan dirubahmenjadi pemberian catering
dan voucher. Beban biaya tersebut dapat menjadipengurang pada laba rugi
perusahaan, dan dapat diakui secara fiskal sebagaipengurang pada PPh
terutangnya.

file:///C:/Users/HP/AppData/Local/Temp/172182-ID-penerapan-perencanaan-pajak-tax-
planning.pdf

C. Perencanaan Pajak untuk Angsuran Pajak Penghasilan (badan contohnya PPh 25 dan
yang lainnya)
Besarnya angsuran PPh Pasal 25 dalam tahun berjalan (tahun pajak berikutnya setelah
tahun yang dilaporkan di SPT tahunan PPh) dihitung sebesar PPh yang terutang pajak
tahun lalu, yang dikurangi dengan:
Pajak penghasilan yang dipotong sesuai Pasal 21 (yaitu sesuai tarif pasal 17 ayat (1)
bagi pemilik NPWP dan tambahan 20% bagi yang tidak memiliki NPWP) dan Pasal
23 (15% berdasarkan dividen, bunga, royalti, dan hadiah – serta 2% berdasarkan sewa
dan penghasilan lain serta imbalan jasa) – serta pajak penghasilan yang dipungut
sesuai pasal 22 (pungutan 100% bagi yang tidak memiliki NPWP);
Pajak penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri yang boleh dikreditkan
sesuai pasal 24; lalu dibagi 12 atau total bulan dalam pajak masa setahun.
1. Tarif PPh Pasal 25
Terdapat dua (2) jenis pembayaran angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 (PPh
Pasal 25) untuk Wajib Pajak Orang Pribadi (WPOP), yaitu:
a. Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu (WP – OPPT), yaitu yang
melakukan usaha penjualan barang, baik grosir maupun eceran, serta jasa –
dengan satu atau lebih tempat usaha. PPh 25 bagi OPPT = 0.75% x omzet
bulanan tiap masing-masing tempat usaha.
b. Wajib Pajak Orang Pribadi Selain Pengusaha Tertentu (WP – OPSPT), yaitu
pekerja bebas atau karyawan, yang tidak memiliki usaha sendiri. PPh 25 bagi
OPSPT = Penghasilan Kena Pajak (PKP) x Tarif PPh 17 ayat (1) huruf a UU
PPh (12 bulan).
Tarif PPh 17 ayat (1) huruf a UU PPh adalah:
Sampai Rp 50.000.000 = 5%
Rp 50.000.000 – Rp 250.000.000 = 15%
Rp 250.000.000 – Rp 500.000.000 = 25%
Di atas Rp 500.000.000 = 30%
Pembayaran angsuran PPh 25 untuk wajib pajak badan yaitu = Penghasilan Kena
Pajak (PKP) x 25% (Tarif Pasal 17 ayat (1) huruf b UU PPh).
2. Batas Waktu Pembayaran PPh Pasal 25
Misalnya: untuk bulan Februari 2014, angsuran PPh 25 harus dibayar paling
lambat 15 Maret 2014.
Jika batas waktu penyetoran jatuh pada hari libur (termasuk Sabtu, Minggu, hari
libur nasional, dan Pemilihan Umum), maka pembayaran masih dapat dilakukan
pada hari berikutnya – sesuai Pasal 3 Peraturan Menteri Keuangan
No.184/PMK.03/2007, yang kemudian diubah lagi sesuai Peraturan Menteri
Keuangan No. 242/PMK.03/2014 tentang Tata Cara Pembayaran dan Penyetoran
Pajak.
Sesuai Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-22/PJ/2008 pada 21 Mei
2008, pembayaran harus dilakukan dengan membawa Surat Setoran Pajak (SSP)
atau dokumen sejenisnya.
Untuk melakukan setoran pajak, Anda harus membuat ID Billing terlebih dahulu.
OnlinePajak menyediakan layanan pembuatan ID Billing secara online yang
mudah, cepat dan akurat.
3. Sanksi-sanksi Keterlambatan Pembayaran PPh Pasal 25
Apabila wajib pajak terlambat membayar, maka WP akan dikenai bunga sebesar
2% per bulan, dihitung dari tanggal jatuh tempo hingga tanggal pembayaran.
Misalnya: untuk bulan Februari 2014, WP terlambat dan baru membayarnya pada
16 Maret. Sesuai Pasal 9 ayat (2a) UU KUP, WP dikenai bunga 2%.
OnlinePajak adalah aplikasi hitung, setor, dan lapor pajak menyediakan
kemudahan dalam membuat laporan PPN, PPh Pasal 23 dan PPh Pasal 21 yang
Anda butuhkan sebelum membuat laporan Pajak Penghasilan Pasal 25 (PPh Pasal
25).

https://www.online-pajak.com/tentang-pajak-pribadi/pph-pajak-penghasilan-pasal-25

D. Maksimalisasi Pengurangan Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi


Pengurang penghasilan bruto adalah biaya biaya yang daoat mengurangi penghasilan
bruto atau kotor, seperti :
1. Biaya yang Secara Langsung atau Tidak Langsung Berkaitan dengan Kegiatan
Usaha
Biaya-biaya ini disebut biaya sehari-hari yang boleh dibebankan pada tahun
pengeluaran. Untuk dapat dibebankan sebagai biaya, pengeluaran-pengeluaran
tersebut harus mempunyai hubungan langsung maupun tidak langsung dengan
kegiatan usaha atau kegiatan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara
penghasilan yang merupakan objek pajak. Contoh :
a. Biaya jabatan
Biaya jabatan adalah biaya yang diasumsikan petugas perpajakan sebagai
biaya yag dikeluarkan selama setahun yang berhubungan dengan pekerjaan.
Peraturan Direktur Jenderal Pajak No. PER-16/PJ/2016 menetapkan, biaya
jabatan adalah sebesar 5% dari penghasilan bruto setahun dan setinggi-
tingginya Rp 500.000 sebulan atau Rp 6 juta setahun. Dari staf biasa hingga
direktur berhak mendapatkan pengurang penghasilan bruto ini.
b. Iuran BPJS yang Dibayarkan Karyawan
Dalam hal iuran BPJS yang persentasenya dibayarkan karyawan, maka
komponen dimasukkan sebagai pengurang penghasilan bruto. Iuran BPJS
yang termasuk sebagai pengurang penghasilan bruto tersebut adalah:
- Jaminan Hari Tua (JHT)
Program ini ditujukan sebagai pengganti terputusnya penghasilan tenaga
kerja karena meninggal, cacat atau hari tua dan diselenggarakan dengan
sistem tabungan hari tua. Misal, Jumlah iuran program jaminan hari tua
yang ditanggung perusahaan adalah 3,7%, sedangkan yang ditanggung
pekerja adalah 2%. Premi JHT yang dibayar sendiri oleh karyawan
merupakan pengurang penghasilan bruto.
- Jaminan Pensiun (JP)
Jaminan pensiun adalah jaminan sosial yang bertujuan memberikan
derajat kehidupan yang layak bagi pesertanya dan/atau ahli warisnya
dengan memberikan penghasilan setelah peserta memasuki usia pensiun,
cacat total atau meninggal dunia. Jaminan Pensiun (JP) berlaku sejak Juli
2015. Iuran program JP adalah 3%, yang terdiri atas 2% iuran pemberi
kerja dan 1% iuran pekerja.
- Jaminan Kesehatan (JKes)
Sejak 1 Juli 2015, tarif iuran Jaminan Kesehatan yang dibayarkan pegawai
adalah 1%.

2. Biaya Sumbangan
Pada prinsipnya, pengeluaran sumbangan tidak dapat dibiayakan atau tidak dapat
mengurangi penghasilan bruto. Namun, UU PPh mengecualikan lima jenis
sumbangan yang dapat dibiayakan. Kelima sumbangan yang dimaksud adalah:
- sumbangan dalam rangka penanggulangan bencana nasional, yang
merupakan sumbangan untuk korban bencana nasional yang disampaikan
secara langsung melalui badan penanggulangan bencana atau disampaikan
secara tidak langsung melalui lembaga atau pihak yang telah mendapat izin
dari instansi/lembaga yang berwenang untuk pengumpulan dana
penanggulangan bencana;
- sumbangan dalam rangka penelitian dan pengembangan, yang merupakan
sumbangan untuk penelitian dan pengembangan yang dilakukan di wilayah
Republik Indonesia yang disampaikan melalui lembaga penelitian dan
pengembangan;
- sumbangan fasilitas pendidikan, yang merupakan sumbangan berupa fasilitas
pendidikan yang disampaikan melalui lembaga Pendidikan;
- sumbangan dalam rangka pembinaan olahraga, yang merupakan sumbangan
untuk membina, mengembangkan dan mengoordinasikan suatu atau
gabungan organisasi cabang/jenis olahraga prestasi yang disampaikan
melalui lembaga pembinaan olah raga; dan
- biaya pembangunan infrastruktur sosial yang merupakan biaya yang
dikeluarkan untuk keperluan membangun sarana dan prasarana untuk
kepentingan umum dan bersifat nirlaba.

Kemudian, PMK No. 76/PMK.03/2011 mengatur lebih detail terkait syarat-syarat


pengeluaran sumbangan yang dapat dibiayakan, yaitu:

- wajib pajak mempunyai penghasilan neto fiskal berdasarkan surat


pemberitahuan (SPT) tahunan PPh tahun pajak sebelumnya;
- pemberian sumbangan dan/atau biaya tidak menyebabkan rugi pada tahun
pajak sumbangan diberikan;
- didukung oleh bukti yang sah;
- lembaga yang menerima sumbangan dan/atau biaya memiliki Nomor Pokok
Wajib Pajak, (NPWP) kecuali badan yang dikecualikan sebagai subjek pajak
sebagaimana diatur dalam UU PPh;
- besarnya nilai sumbangan dan/atau biaya pembangunan infrastruktur sosial
yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto untuk satu tahun dibatasi
tidak melebihi 5% dari penghasilan neto fiskal tahun pajak sebelumnya; dan
- pemberi dan penerima tidak memiliki hubungan istimewa
Selain persyaratan di atas, PMK 76/ 2011 juga mengatur nilai sumbangan, tata
cara pencatatan dan pelaporan biaya sumbangan.
3. Sumbangan Keagamaan
Menurut Pasal 9 ayat (1) huruf g UU PPh, zakat atau sumbangan keagamaan yang
sifatnya wajib yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto apabila memenuhi
persyaratan. Hal ini diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun
2010 dan PMK No. 254/PMK.03/2010.
Syarat-syarat yang harus dipenuhi adalah sebagai berikut:
- Zakat atas penghasilan yang dibayarkan oleh wajib pajak orang pribadi
pemeluk agama Islam dan/atau oleh wajib pajak badan dalam negeri yang
dimiliki oleh pemeluk agama Islam kepada badan amil zakat atau lembaga
amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah.
- Sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi wajib pajak orang pribadi
pemeluk agama selain agama Islam dan/ atau oleh wajib pajak badan dalam
negeri yang dimiliki oleh pemeluk agama selain agama Islam, yang diakui di
Indonesia yang dibayarkan kepada lembaga keagamaan yang dibentuk atau
disahkan oleh Pemerintah.
- Badan amil zakat atau lembaga amil zakat adalah badan atau lembaga yang
dibentuk berdasarkan UU yang mengatur tentang pengelolaan zakat dan
perubahannya.
- Zakat atau sumbangan keagamaan berupa uang atau yang disetarakan dengan
uang. Yang disetarakan dengan uang adalah zakat atau sumbangan
keagamaan yang diberikan dalam bentuk selain uang yang dinilai dengan
harga pasar pada saat dibayarkan.
- Zakat atau sumbangan keagamaan harus didukung oleh bukti-bukti yang sah
yang diterbitkan oleh lembaga yang disahkan oleh Pemerintah. Jika
dikeluarkan oleh lembaga yang belum disahkan, maka tidak boleh
dibiayakan.
Dalam Peraturan Dirjen Pajak No. 05/PJ/2019 ditetapkan lembaga-lembaga
keagamaan penerima sumbangan atau zakat yang dapat pengeluarannya dapat
dibiayakan secara fiskal.
https://www.online-pajak.com/wp-content/uploads/2020/03/Gated-Content-PPh21-.pdf

https://news.ddtc.co.id/biaya-biaya-pengurang-penghasilan-bruto-16310?page_y=7737

https://www.pajak.go.id/id/biaya-yang-diakui-sebagai-pengurang-penghasilan-bruto

E. Maksimalisasi Pengurangan Penghasilan Badan


Langkah – Langkah untuk memaksimalisasi pengurangan penghasilan Badan yaitu
dengan memperbesar atau memaksimalkan beban beban yang sebagai pengurang
Objek pajak.
Ketentuan tentang Biaya Yang Diijinkan Undang-Undang Sebagai Pengurang
Penghasilan (biaya Deduktibel/ Deductible Cost) berdasarkan pada UU Pajak
Penghasilan No 36 th 2008, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 93
TAHUN 2010, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 02/PMK.03/2010, Keputusan
Dirjen Pajak Nomor KEP-220/PJ./2002
Beban-beban yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto disebut (biaya
deduktibel (dedectible cost) dapat dibagi dalam 2 (dua) golongan,
yaitu pertama, beban atau biaya yang mempunyai masa manfaat tidak lebih dari 1
(satu) tahun dan yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun. Kedua,
beban yang mempunyai masa manfaat tidak lebih dari 1 (satu) tahun merupakan biaya
pada tahun yang bersangkutan, misalnya gaji, biaya administrasi dan bunga, biaya
rutin pengolahan limbah dan sebagainya, sedangkan pengeluaran yang mempunyai
masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun, pembebanannya dilakukan melalui penyusutan
atau melalui amortisasi. Di samping itu, apabila dalam suatu tahun pajak didapat
kerugian karena penjualan harta atau karena selisih kurs, kerugian-kerugian tersebut
dapat dikurangkan dari penghasilan bruto.
Biaya-biaya yang diijinkan Undang-Undang untuk dikurangkan terhadap Penghasilan
(biaya deduktibel/ deductible cost) adalah sebagai berikut:
1. Biaya yang secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengan kegiatan usaha
 Biaya pembelian bahan;
 Biaya berkenaan dengan pekerjaan atau jasa termasuk upah, gaji,
honorarium, bonus, gratifikasi, dan tunjangan yang diberikan dalam bentuk
uang;
 Bunga, sewa, dan royalti;
 Biaya perjalanan;
 Biaya pengolahan limbah;
 Premi asuransi;
 Biaya promosi dan penjualan yang diatur dengan atau berdasarkan peraturan
menteri keuangan;
 Biaya administrasi; dan
 Pajak kecuali pajak penghasilan;
2. Pembayaran premi asuransi oleh pemberi kerja untuk kepentingan pegawainya
boleh dibebankan sebagai biaya perusahaan, tetapi bagi pegawai yang
bersangkutan premi tersebut merupakan penghasilan.
3. Pengeluaran-pengeluaransehubungan dengan pekerjaan yang boleh dikurangkan
dari penghasilan bruto harus dilakukan dalam bentuk uang. Pengeluaran yang
dilakukan dalam bentuk natura atau kenikmatan, misalnya fasilitas menempati
rumah dengan cuma-cuma, tidak boleh dibebankan sebagai biaya, dan bagi pihak
yang menerima atau menikmati bukan merupakan penghasilan. Namun,
pengeluaran dalam bentuk natura atau kenikmatan tertentu  boleh dibebankan
sebagai biaya dan bagi pihak yang menerima atau menikmati bukan merupakan
penghasilan.
4. Pengeluaran dalam bentuk natura atau kenikmatan 
Pengeluaran dalam bentuk natura atau kenikmatan yang dapat dikurangkan
sebagai biaya diatur dalam peraturan menteri keuangan Republik Indonesia nomor
83/ PMK/.03/ 2009 tentang penyediaan makanan dan minuman bagi seluruh
pegawai serta penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan di
daerah tertentu dan yang berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan yang dapat
dikurangkan dari penghasilan bruto Pemberi Kerja. Dalam peraturan tersebut
menyatakan bahwa:
a. Pemberian natura dan kenikmatan yang dapat dikurangkan dari penghasilan
bruto pemberi kerja dan bukan merupakan penghasilan bagi Pegawai yang
menerimanya adalah :                        
 Pemberian atau penyediaan makanan dan/atau minuman bagi seluruh
Pegawai yang berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan.                  
 Penggantian atau imbalan dalam bentuk natura atau kenikmatan yang
diberikan berkenaan dengan pelaksanaan pekerjaan di daerah tertentu
dalam rangka menunjang kebijakan pemerintah untuk mendorong
pembangunan di daerah tersebut.                    
 Pemberian natura dan kenikmatan yang merupakan keharusan dalam
pelaksanaan pekerjaan sebagai sarana keselamatan kerja atau karena sifat
pekerjaan tersebut mengharuskannya.                    
b. Pengeluaran untuk penyediaan makanan dan/atau minuman bagi Pegawai
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a meliputi:                        
 pemberian makanan dan/atau minuman yang disediakan oleh pemberi
kerja di tempat kerja, atau                    
 pemberian kupon makanan dan/atau minuman bagi Pegawai yang karena
sifat pekerjaannya tidak dapat memanfaatkan pemberian sebagaimana
dimaksud pada huruf a, meliputi Pegawai bagian pemasaran, bagian
transportasi, dan dinas luar lainnya.
c. Penggantian atau imbalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b
adalah sarana dan fasilitas di lokasi kerja untuk :                    
 tempat tinggal, termasuk perumahan bagi Pegawai dan
keluarganya             
 pelayanan kesehatan;                
 pendidikan bagi Pegawai dan keluarganya;                
 peribadatan;                
 pengangkutan bagi Pegawai dan keluarganya;                
 olahraga bagi Pegawai dan keluarganya tidak termasuk golf, power
boating, pacuan kuda, dan terbang layang,
d. sepanjang sarana dan fasilitas tersebut tidak tersedia, sehingga pemberi kerja
harus menyediakannya sendiri   
 Daerah tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b adalah
daerah yang secara ekonomis mempunyai potensi yang layak
dikembangkan tetapi keadaan prasarana ekonomi pada umumnya kurang
memadai dan sulit dijangkau oleh transportasi umum, baik melalui darat,
laut maupun udara, sehingga untuk mengubah potensi ekonomi yang
tersedia menjadi kekuatan ekonomi yang nyata, penanam modal
menanggung risiko yang cukup tinggi dan masa pengembalian yang
relatif panjang, termasuk daerah perairan laut yang mempunyai
kedalaman lebih dari 50 (lima puluh) meter yang dasar lautnya memiliki
cadangan mineral.
 Pengeluaran untuk pembangunan sarana dan fasilitas sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1
(satu) tahun disusutkan sesuai dengan ketentuan Pasal 11 Undang-
Undang Pajak Penghasilan
 Pemberian natura dan kenikmatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
huruf c meliputi pakaian dan peralatan untuk keselamatan kerja, pakaian
seragam petugas keamanan (satpam), sarana antar jemput Pegawai, serta
penginapan untuk awak kapal, dan yang sejenisnya.                        
 Ketentuan mengenai pedoman teknis tata cara pemberian dan penetapan
besaran kupon makanan dan/atau minuman bagi Pegawai, kriteria dan
tata cara penetapan daerah tertentu, dan batasan mengenai sarana dan
fasilitas di lokasi kerja, diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal
Pajak.                 
 Pengeluaran-pengeluaran yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto
harus dilakukan dalam batas-batas yang wajar sesuai dengan adat
kebiasaan pedagang yang baik. Dengan demikian, apabila pengeluaran
yang melampaui batas kewajaran tersebut dipengaruhi oleh hubungan
istimewa, jumlah yang melampaui batas kewajaran tersebut tidak boleh
dikurangkan dari penghasilan bruto.
 Pajak-pajak yang menjadi beban perusahaan dalam rangka usahanya
selain Pajak Penghasilan, misalnya Pajak Bumi dan Bangunan (PBB),
Bea Meterai (BM), Pajak Hotel, dan Pajak Restoran, dapat dibebankan
sebagai biaya.
e. Pengeluaran untuk promosi 
Perlu dibedakan antara biaya yang benar-benar dikeluarkan untuk promosi dan
biaya yang pada hakikatnya merupakan sumbangan. Biaya yang benar-benar
dikeluarkan untuk promosi boleh dikurangkan dari penghasilan
bruto. Besarnya biaya promosi dan penjualan yang diperkenankan sebagai
pengurang penghasilan bruto diatur dengan atau berdasarkan Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 02/PMK.03/2010 yang mulai berlaku pada tanggal
1 Januari 2009.
f. Penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dan
amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh hak dan atas biaya lain yang
mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun 
Pengeluaran-pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dan harta tak
berwujud serta pengeluaran lain yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1
(satu) tahun, pembebanannya dilakukan melalui penyusutan atau
amortisasi.Pengeluaran yang menurut sifatnya merupakan pembayaran di
muka, misalnya sewa untuk beberapa tahun yang dibayar sekaligus,
pembebanannya dapat dilakukan melalui alokasi.
g. Iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri
Keuangan;
Iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri
Keuangan boleh dibebankan sebagai biaya, sedangkan iuran yang dibayarkan
kepada dana pensiun yang pendiriannya tidak atau belum disahkan oleh
Menteri Keuangan tidak boleh dibebankan sebagai biaya.
h. Kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki dan digunakan
dalam perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih, dan
memelihara penghasilan;
Kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang menurut tujuan semula
tidak dimaksudkan untuk dijual atau dialihkan yang dimiliki dan dipergunakan
dalam perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih dan
memelihara penghasilan dapat dikurangkan dari penghasilan bruto.
Kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki tetapi tidak
digunakan dalam perusahaan, atau yang dimiliki tetapi tidak digunakan untuk
mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan, tidak boleh dikurangkan
dari penghasilan bruto.
i. Kerugian selisih kurs mata uang asing;
Kerugian karena fluktuasi kurs mata uang asing diakui berdasarkan sistem
pembukuan yang dianut dan dilakukan secara taat asas sesuai dengan Standar
Akuntansi Keuangan yang berlaku di Indonesia.
j. Biaya penelitian dan pengembangan perusahaan yang dilakukan di Indonesia;
Biaya penelitian dan pengembangan perusahaan yang dilakukan di Indonesia
dalam jumlah yang wajar untuk menemukan teknologi atau sistem baru bagi
pengembangan perusahaan boleh dibebankan sebagai biaya perusahaan.
k. Biaya beasiswa, magang, dan pelatihan;
Biaya yang dikeluarkan untuk keperluan beasiswa, magang, dan pelatihan
dalam rangka peningkatan kualitas sumber daya manusia dapat dibebankan
sebagai biaya perusahaan dengan memperhatikan kewajaran, termasuk
beasiswa yang dapat dibebankan sebagai biaya adalah beasiswa yang
diberikan kepada pelajar, mahasiswa, dan pihak lain.
l. Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dengan syarat:
 Telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan laba rugi komersial;
 Wajib Pajak harus menyerahkan daftar piutang yang tidak dapat ditagih
kepada Direktorat Jenderal Pajak; dan
 Telah diserahkan perkara penagihannya kepada Pengadilan Negeri atau
instansi pemerintah yang menangani piutang negara; atau adanya
perjanjian tertulis mengenai penghapusan piutang/pembebasan utang
antara kreditur dan debitur yang bersangkutan; atau telah dipublikasikan
dalam penerbitan umum atau khusus; atau adanya pengakuan dari
debitur bahwa utangnya telah dihapuskan untuk jumlah utang tertentu;
 Syarat sebagaimana dimaksud pada angka 3 tidak berlaku untuk
penghapusan piutang tak tertagih debitur kecil yang pelaksanaannya
diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan;
Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dapat dibebankan sebagai
biaya sepanjang Wajib Pajak telah mengakuinya sebagai biaya dalam
laporan laba-rugi komersial dan telah melakukan upaya-upaya penagihan
yang maksimal atau terakhir.
m. Sumbangan dalam rangka penanggulangan bencana nasional,  sumbangan
dalam rangka penelitian dan pengembangan yang dilakukan di
Indonesia, sumbangan fasilitas pendidikan, sumbangan dalam rangka
pembinaan olahraga  dan biaya pembangunan infrastruktur sosial yang
ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah
n. Biaya Telepone seluler dan pemeliharaan kendaraan
 Atas biaya perolehan atau pembelian telepon seluler yang dimiliki dan
dipergunakan perusahaan untuk pegawai tertentu karena jabatan atau
pekerjaannya, dapat dibebankan sebagai biaya perusahaan sebesar 50%
(lima puluh persen) dari jumlah biaya perolehan atau pembelian melalui
penyusutan aktiva tetap kelompok I sebagaimana dimaksud dalam
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 520/KMK.04/2000 Lampiran I
butir 1 huruf c sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Menteri
Keuangan Nomor 138/KMK.03/2002.
 Atas biaya berlangganan atau pengisian ulang pulsa dan perbaikan
telepon seluler yang dimiliki dan dipergunakan perusahaan untuk
pegawai tertentu karena jabatan atau pekerjaannya, dapat dibebankan
sebagai biaya perusahaan sebesar 50% (lima puluh persen) dari jumlah
biaya berlangganan atau pengisian ulang pulsa dan perbaikan dalam
tahun pajak yang bersangkutan.
 Atas biaya perolehan atau pembelian atau perbaikan besar kendaraan
bus, minibus, atau yang sejenisyang dimiliki dan dipergunakan
perusahaan untuk antar jemput para pegawai, dapat dibebankan
seluruhnya sebagai biaya perusahaan melalui penyusutan aktiva tetap
kelompok II sebagaimana dimaksud dalam Keputusan Menteri keuangan
Nomor 520/KMK.04/2000 Lampiran II butir 1 huruf b sebagaimana
telah diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor
138/KMK.03/2002.
 Atas biaya pemeliharaan atau perbaikan rutin kendaraan bus, minibus,
atau yang sejenis yang dimiliki dan dipergunakan perusahaan untuk
antar jemput para pegawai, dapat dibebankan seluruhnya sebagai biaya
perusahaan dalam tahun pajak yang bersangkutan.
 Atas biaya perolehan atau pembelian atau perbaikan besar kendaraan
sedan atau yang sejenis yang dimiliki dan dipergunakan perusahaan
untuk pegawai tertentu karena jabatan atau pekerjaannya, dapat
dibebankan sebagai biaya perusahaan sebesar 50% (lima puluh persen)
dari jumlah biaya perolehan atau pembelian atau perbaikan besar melalui
penyusutan aktiva tetap kelompok II sebagaimana dimaksud dalam
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 520/KMK.04/2000 Lampiran II
butir 1 huruf b sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Menteri
Keuangan Nomor 138/KMK.03/2002.
 Atas biaya pemeliharaan atau perbaikan rutin kendaraan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) yang dimiliki dan dipergunakan perusahaan
untuk pegawai tertentu karena jabatan atau pekerjaannya dapat
dibebankan sebagai biaya perusahaan sebesar 50% (lima puluh persen)
dari jumlah biaya pemeliharaan atau perbaikan rutin dalam tahun pajak
yang bersangkutan.
 Apabila atas penghasilan Wajib Pajak yang dapat dibebani biaya-biaya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1, Pasal 2 dan Pasal 3 dikenakan
Pajak Penghasilan yang bersifat final atau berdasarkan norma
penghitungan khusus, maka pembebanan biaya-biaya tersebut telah
termasuk dalam penghitungan Pajak Penghasilan yang bersifat final atau
berdasarkan norma penghitungan khusus.
 Atas biaya-biaya yang dapat dibebankan sebagai biaya perusahaan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1, Pasal 2 dan Pasal 3, tidak
merupakan penghasilan bagi para pegawai perusahaan yang
bersangkutan
o. Apabila penghasilan bruto setelah pengurangan  didapat kerugian, kerugian
tersebut dikompensasikan dengan penghasilan mulai tahun pajak berikutnya
berturut-turut sampai dengan 5 (lima) tahun.
Jika pengeluaran-pengeluaran yang diperkenankan setelah dikurangkan dari
penghasilan bruto didapat kerugian, kerugian tersebut dikompensasikan
dengan penghasilan neto atau laba fiskal selama 5 (lima) tahun berturut-turut
dimulai sejak tahun berikutnya sesudah tahun didapatnya kerugian tersebut.
https://www.online-pajak.com/wp-content/uploads/2020/03/Gated-Content-PPh21-.pdf

https://news.ddtc.co.id/biaya-biaya-pengurang-penghasilan-bruto-16310?page_y=7737

https://www.pajak.go.id/id/biaya-yang-diakui-sebagai-pengurang-penghasilan-bruto

F. Minimalisasi Penghasilan Kena Pajak Wajib Pajak Orang Pribadi


Kebijakan/metode pemotongan PPh Pasal 21 dapat dipilih oleh Wajib Pajak:
1. PPh Pasal 21 ditanggung oleh karyawan (potong gaji)
Metode ini lazimnya disebut METODE GROSS. Dalam hal ini jumlah PPh Pasal
21 yang terutang akan ditanggung oleh karyawan itu sendiri sehingga benar-benar
mengurangi penghasilan. Istilah yang sering digunakan adalah bahwa PPh Pasal
21 dipotong oleh perusahaan.
2. PPh Pasal 21 ditanggung perusahaan (ditanggung)
 Metode ini lazimnya disebut METODE NET. Dalam hal ini, jumlah PPh Pasal
21 yang terutang akan ditanggung oleh perusahaan yang bersangkutan. Gaji
yang diterima oleh karyawan tersebut tidak dikurangi dengan PPh Pasal 21
karena perusahaanlah yang menanggung biaya/beban PPh Pasal 21.
Penghitungan PPh Pasal 21 tersebut tidak dilakukan dengan cara gross up. PPh
Pasal 21 yang ditanggung perusahaan tersebut tidak boleh dikurangkan dari
penghasilan bruto perusahaan karena tidak dimasukkan sebagai faktor
penambahan pendapatan dalam SPT PPh Pasal 21.
 PPh Pasal 21 diberikan dalam bentuk tunjangan (ditunjang) Metode ini
lazimnya disebut METODE GROSS UP. Jika PPh Pasal 21 diberikan dalam
bentuk Tunjangan, maka jumlah tunjangan tersebut akan menambah
penghasilan karyawan dan kemudian baru dikenakan PPh Pasal 21. Dalam hal
ini penghitungan PPh dilakukan dengan cara gross up di mana besarnya
tunjangan pajak sama dengan jumlah PPh Pasal 21 terutang untuk masing-
masing karyawan.
 Sepintas lalu kebijakan PPh Pasal 21 metode GROSS akan terlihat
memberatkan perusahaan karena jumlah penghasilan karyawan akan
bertambah besar sebagai akibat dari penambahan tunjangan pajak. Namun
demikian beban perusahaan tersebut akan tereliminasi karena PPh Pasal 21-
nya dapat dibiayakan.
 Di samping memberikan tunjangan PPh Pasal 21 yang besarnya sama dengan
PPh terutang untuk masing-masing karyawan (metode gross up), perusahaan
juga bisa memberikan tunjangan PPh Pasal 21 yang besarnya berbeda dengan
PPh terutang.
 Dalam hal besarnya PPh Pasal 21 yang terutang lebih besar daripada tunjangan
PPh Pasal 21, maka kekurangannya bisa ditanggung karyawan (dipotong) dari
karyawan atau ditanggung perusahaan. Jika kekurangannya ditanggung oleh
perusahaan, maka perlakuan perpajakannya menjadi non deductible expenses.

Berbagai Modus Menghindari Pajak Modus yang banyak dilakukan para konglomerat
atau pengusaha nakal (Yunus, 2009)12) , antara lain:

1. Biasanya pengusaha nakal akan membentuk anak usaha di negara tax havens.
Melalui anak usaha ini, oknum pengusaha melakukan tindakan seperti transfer
pricing dan lainnya.
2. Selain itu, oknum juga menggunakan trust company, atau jasa perusahaan asing
yang mengelola dana pengusaha Indonesia. Sehingga dana tersebut bisa lepas dari
kewajiban pajak di Indonesia.
3. Biasanya anak usaha tersebut bergantiganti nama. Jika tidak, pengusahanya
memiliki rumah tinggal di negara tax heavens agar memperoleh keringanan pajak
dari status residen dia.

Ada beberapa cara bagi seseorang atau suatu perusahaan memelihara keamanan dan
kenyamanan kekayaannya dengan memanfaatkan keberadaan tax havens. Menurut
buku Tolley's Offshore Service (2006), antara lain ada empat cara untuk
melakukannya, yakni:

1. Personal residency, yaitu dengan memindahkan domisili ke negara tax havens.


Sejak abad ke-20 banyak orang kaya yang berpindah dari negara/yurisdiksi pajak
yang tinggi pajaknya ke negara/yurisdiksi yang pajaknya yang rendah karena di
banyak negara dasar pengenaan pajak adalah tempat tinggal wajib pajak. Para
pengusaha Indonesia pun ada yang memindahkan domisili perseorangan dan
perusahaannya ke Singapura atau negara lain.
2. Trading and other business activity. Banyak bisnis yang tidak memerlukan lokasi
geografis tertentu atau tenaga kerja yang banyak yang didirikan di tax havens,
untuk meminimalkan pembayaran pajak dengan cara transfer pricing. Mungkin
ilustrasi terbaik dari ini adalah jumlah perusahaan reasuransi yang telah bermigrasi
ke Bermuda selama bertahuntahun. Contoh lain termasuk layanan berbasis internet
dan perusahaan grup pembiayaan. Pada 1970-an dan 1980-an banyak grup
perusahaan mendirikan perusahaan lokal atau special purpose vehicle company
(SPV) sebagai entitas offshore untuk tujuan "reinvoicing". Perusahaan-perusahaan
reinvoicing ini hanya membuat/mendapat margin tanpa melakukan apapun fungsi
ekonomi, sehingga memungkinkan grup perusahaan tersebut melakukan "skim"
keuntungan dari yurisdiksi pajak yang tinggi.
3. Asset holding, yaitu dengan memanfaatkan offshore trust atau offshore company
atau kepemilikan trust dari suatu perusahaan untuk mengelola kekayaannya di luar
negeri. Perusahaan atau trust didirikan dalam satu tax havens, dan biasanya akan
diadministrasikan dan residen-nya di tempat lain. Fungsinya adalah untuk
menguasai aset (asset holding) yang dapat terdiri dari portofolio investasi di
bawah penguasaan manajemen, perusahaan perdagangan atau kelompok, aset fisik
seperti real estate atau barang bergerak yang berharga. Inti dari pengaturan
tersebut adalah bahwa dengan mengubah kepemilikan aset menjadi entitas yang
bukan tax resident di wilayah/yurisdiksi hukum pajak yang tinggi (the high-tax
jurisdiction) mereka tidak dikenakan pajak di wilayah/yurisdiksi hukum itu.
Misalnya yang dilakukan oleh salah satu tersangka kasus Bank Century.
4. Financial intermediary. Sebagian besar kegiatan ekonomi di tax havens saat ini
terdiri dari jasa keuangan profesional seperti reksa dana, perbankan, asuransi jiwa
dan dana pensiun. Umumnya dana disimpan dengan perantara di yurisdiksi pajak
rendah, dan perantara kemudian meminjamkan atau menginvestasikan uang
(sering kembali ke yurisdiksi pajak yang tinggi). Jadi, dana yang dihimpun di
negara/yurisdiksi pajak yang rendah kemudian disalurkan ke berbagai negara yang
pajaknya lebih tinggi. Hal ini berhasil dilakukan Cayman Island, wilayah kecil
dengan penduduk tidak lebih dari 60.000 orang, tetapi memiliki sekitar 350
offshore bank. Cara ini sarat dengan pencucian uang dan penggelapan pajak.
Biasanya pertukaran informasi terkait dengan tindak pidana pencucian uang yang
berasal dari tindak pidana perpajakan sangat sulit dilakukan. Mengingat beberapa
ciri negara tax havens sebagaimana disebutkan di atas, negara tax havens biasanya
juga dimanfaatkan oleh pelaku tindak pidana untuk melakukan pencucian uang.

Jurnal Ilmiah Untuk Mewujudkan Masyarakat Madani ISSN 2355-309X 149, Chairil Anwar
Pohan

G. Minimalisasi Penghasilan Kena Pajak Badan


Dapat dilakukan dengan beberapa, tetapi yang paling umum diterapkan ialah
melakukan Perencanaan pajak (Tax Planning). Dengan melakuakan Tax Planning kita
dapat membayar dan memenuhi kewajiban pajak dengan benar dan efektif, sehingga
perusahaan tidak perlu menanggung beban pajak yang seharusnya tidak perlu dibayar
oleh perusahaan.
Dalam melakukan minimalisasi penghasilan kena pajak suatu perusahaan melalui cara
perencanaan pajak terdapat beberapa startegi, yaitu:
 Tax Saving
adalah upaya untuk mengefisiensikan beban pajak melalui pemilihan alternatif
pengenaan pajak dengan tarif yang lebih rendah. Lewat tax saving, Anda jadi
lebih selektif untuk  mengatur objek pajak yang akan Anda bebankan atau
kurangi pengenaan pajaknya.
Contoh Penerapan  Tax Saving
1. Pengalihan bentuk natura menjadi pendapatan karyawan yang akan memberi
dampak pada penurunan PPh Badan dan dampak kenaikan pada PPh 21.
2. Merekomendasikan Angka Pengenal Importir (API) untuk PPh 22 untuk
memperbesar penghematan pajak sebesar 5%

 Tax Avoidance
adalah penghindaran pajak yang dilakukan oleh Wajib Pajak dengan cara
meringankan beban pajak atau menghindari pajak secara legal (tidak melanggar
UU). Memanfaatkan celah yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan
perpajakan, tax avoidance bisa dilakukan dengan cara menghindari pengenaan
pajak bukan objek pajak.
Contoh Penerapan Tax Avoidance
1. Membentuk Badan Usaha Baru sebagai revenue dan profit centre untuk
menurunkan lapisan PPh tarif tertinggi.
2. Untuk kesejahteraan karyawan, dapat mengalokasikan dana dalam bentuk
natura apabila ingin memberikan tunjangan tambahan , pemberian atau
hadiah. Mengingat pemberian natura pada perusahaan yang tidak terkena PPh
final bukan merupakan objek Pajak Penghasilan Pasal 21.

 Memaksimalkan Biaya yang Dapat Digunakan sebagai Pengurang Laba Kena


Pajak Perusahaan
Biaya pengurang pajak sangat erat hubungannya dengan penghasilan kena pajak
yang nanti dihasilkan oleh suatu perusahaan. Seorang Tax Planner harus bisa
memanfaatkan biaya pengurang tersebut dan berkoordinasi dengan devisi terkait
untuk memanfaatkan biaya pengurangnya secara optimal yang telah di atur
Pemerintah dalam Pasal 6 UU No.36 Th 2008 tentang Perubahan Keempat atas
UU No.7 Th 1983 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh). Tetapi , ada beberapa
jenis biaya yang diatur sendiri, seperti Pasal 5 untuk bentuk usaha teteap (BUT) ,
Pasal 11 dan 11A untuk penyusutan dan amortisasi.

Sumber:
https://klikpajak.id/blog/tips-pajak/tax-planning-pada-objek-pajak/

Anda mungkin juga menyukai