Anda di halaman 1dari 19

TUGAS PERKEMBANGAN HUKUM PAJAK

ANALISA KASUS PT. MONAGRO KIMIA DALAM PUTUSAN


MAHKAMAH AGUNG NOMOR. 547/B/PK/PJK/2013

Oleh :

DINA SALSABILA HENIASARI


NIM. 031724253074

PROGRAM STUDI MAGISTER KENOTARIATAN


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2019
1. Latar Belakang

Pajak telah menjadi komponen penting dalam penerimaan negara bahkan

sejak sebelum Indonesia merdeka. Pada jaman kolonial pungutan pajak semata

mata dimaksudkan untuk memenuhi kepentingan pemerintahan jajahan, misalnya

pada jaman tanam paksa, pajak dipungut dalam bentuk penyerahan tanah desa

untuk ditanami tanaman ekspor yang dibutuhkan sekurang-kurangnya dua puluh

persen dari tanah desa. Kepala desa bertanggung jawab untuk mengerahkan petani

dalam melaksanakan kewajiban tersebut bahkan ada pula yang diminta

menyerahkan seperlima hasil panennya kepada pemerintah sebagai pajak natural.

Dalam kemerdekaan pungutan pajak dijiwai oleh pancasila dan Undang-

Undang Dasar tahun 1945 yang merupakan perwujudan kewajiban serta partisipasi

anggota masayarakat dalam pembiayaan negara dan pembangunan nasional untuk

mencapai keadilan sosial dan kemakmuran yang merata, baik materil maupun

spiritual.1 Dalam pembangunan nasional, penerimaan negara menjadi komponen

yang sangat penting dan menentukan keberhasilan pembangunan yang

dilaksnakan. Sejak tahun 1974 sebagian besar pendapatan negara Indonesia

besumber dari sektor minyak bumi dan gas alam.2 Namun, mengingat sifat dari

sumber daya alam tersebut yang tidak dapat diperbarui, dan minyak bumi dan gas

alam yang tidak menentu, maka sebaiknya pemerintah mengubah strategi dengan

menjadikan pajak sebagai sumber pendapatan negara yang utama.

1
Abdul Jabar Yousoef, Kunci Surveyor Membidik Perkembangan Industri Domestik
Meningkatkan Penerimaan Pajak dan Royalti Cetakan Pertama, (Bandung : Elex Kompas
Gremedia, 2013), h 3
2
B. Boediono, Perpajakan Indonesia Cetakan I, (Jakarta : Diadit Media, 2006), h. 6
Dalam pembiayaan negara, pajak memegang peranan yang sangat penting.

Sebagian besar penerimaan negara berasal dari penerimaan pajak dalam negeri,

yang bersumber dari Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai, Pajak Bumi dan

Bangunan, Pajak Ekspor dan pajak lainnya. Sampai tahun 1967, sistem yang

dipakai adalah sistem official assessment. Namun dalam perkembangannya sistem

tersebut ternyata tidak sesuai lagi dengan tingkat sosial ekonomi masyarakat

Indonesia, baik dari segi kegotong-royongan nasional maupun dari laju

pembangunan nasional.

Untuk meningkatkan pendapatan negara dari sektor pajak sekaligus

meningkatkan peran aktif wajib pajak, maka pada tahun 1983 pemerintah

menciptakan sistem perpajakan yang baru dengan dikeluarkannya beberapa

peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan, yaitu Undang-Undang

Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan

Undang-Undang Nomor & tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, Undang-

undang nomor 8 tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan

Pajak Penjualan atas Barang Mewah, Undang-Undang nomor 12 tahun 1985

tentang Pajak Bumi dan Bangunan, dan Undang-Undang nomor 13 tahun 1985

tentang Bea Materai.

Adapun ciri dan corak sistem pemungutan pajak tersebut adalah :3

1. Pemungutan pajak merupakan perwujudan dari penganbdian dan peran

serta wajib pajak untuk secara langsung dan bersama-sama melaksanakan

3
Mardiasmo, Pepajakan, Edisi Revisi 2011, Cetakan Keenam, h. 13-14.
kewajiban perpajakan yang diperlukan untuk pembiayaan dan

pembangunan nasional.

2. Tanggung jawab atas kewajiban pelaksaaan pemungutan pajak sebagai

pencerminan kewajiban di bidang perpajakan berada pada anggota

masyarakat wajib pajak sendiri, pemerintah dalam hal ini parat pajak sesuai

dengan fungsinya berkewajiban melakukan pembinaan, pelayanan dan

pengawasan terhadap pemenuhan kewajiban perpajakan berdasarkan

ketentuan yang telah digariskan dalam peraturan perundang-undangan

perpajakan,

3. Anggota masyarakat wajib pajak diberi kepercayaan untuk dapat

melaksanakan kegotongroyongan nasional melalui sistem menghitung,

memperhitungkan, membayar dan melaporkan sendiri pajak yang terutang

(self assessment).

Dimana sehingga melalui sistem ini dalam perpajakan diharapkan dapat

dilaksanakan dengan lebih rapi, terkendali, sederhana, dan mudah untuk dipahami

oleh anggota masyarakat wajib pajak. Pajak penghasilan 21 merupakan salah satu

pajak langsung yang dipungut pemerintah pusat atau merupakan pajak negara

yang berasal dari pendapatan rakyat. Dari berbagai jenis pajak penghasilan yang

ada, Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 merupakan salah satu pajak yang

memberikan masukan sangat besar bagi negara. Kebijakan pemerintah dalam

mengatur

Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 antara lain dengan dikeluarkannya

Undang- Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara

Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6


Tahun 2009. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan

sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun

2008. Sebagaimana tentang petunjuk pelaksanaan pemotongan, penyetoran dan

pelaporan PPh Pasal 21 sehubungan dengan pekerjaan jasa dan kegiatan orang

pribadi.

Peran sistem administrasi pajak sangat penting karena hasil dari analisis

digunakan oleh berbagai pihak baik intern maupun ekstern perusahaan dalam

pengambilan keputusan sehingga kondisi keuangan perlu diketahui bagaimana

sebenarnya, khususnya dalam hal ini Pajak Penghasilan Pasal 21. Namun dalam

kenyatan selama ini, sebagian kebijakan pemerintah ternyata masih kurang

dipahami dan belum dapat dilakukan sepenuhnya oleh masyarakat. Masih banyak

wajib pajak yang kebingungan dalam pembayaran terhadap pajak yang terutang

serta pengisian terhadap sarana pembayaran pajak. Wajib pajak sering datang ke

Kantor Pelayanan Pajak tempat wajib pajak terdaftar untuk melakukan

pembayaran pajak Saat penyampaian pelaporan pembayaran terhadap pajak

terutang pajak penghasilan terjadi perselisihan antara wajib pajak dengan pihak

pemotong pajak serta dalam pengadministrasian masih kurang memperhatikan

sistem perpajakan yang baru.

Menurut pendapat Mahkamah Agung terdapat cukup alasan untuk

mengabulkan permohonan dari Pemohon Peninjauan Kembali PT. MONAGRO

KIMIA tersebut dan membatalkan sementara Putusan Pengadilan Pajak tertanggal

25 Juni 2012 Nomor Putusan : 38985/PP/M.IV/10/2012. Atas dasar Pasal 8 ayat

(2A) Undang–Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum

Perpajakan, dimana pembetulan STP mengakibatkan utang pajak menjadi lebih


besar, terhadap wajib pajak dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2%

(dua persen) perbulan atas jumlah pajak yang kurang dibayar, dihitung sejak jatuh

tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran, dan bagian dari bulan

dihitung penuh 1 (satu) bulan. Dalam putusan MA Nomor 547/B/PK/PJK/2013

terdapat permasalahan yang muncul yaitu putusan MA menguatkan putusan dari

Pengadilan Pajak bahwasanya penetapan pajak kurang bayar PPh 21 PT.

MONAGRO KIMIA adanya indikasi kekurangan bayar PPh 21 pada tahun 2006.

2. Isu Hukum

1. Wajib Pajak Penghasilan 21 jika PT. MONAGRO KIMIA menggunakan

pegawai dari perusahaan outsourcing?

2. Penyelesaian kasus Putusan MA. Nomor 574/B/PK/PJK/2013?

3. Pembahasan

1. Wajib Pajak PPh 21 Pegawai Outsorcing PT. MONAGRO KIMIA

Dalam Kasus Sengketa Pajak

Pekerja PT. MONAGRO KIMIA dalam kasus pajak Putusan

Mahakamah Agung Nomor. 574/B/PK/PJK/2013 alasan PT. MONAGRO

KIMIA menggunakan pekerja outsourcing. Outsourcing terbagi atas dua

suku kata out dan sourcing. Sourcing berarti mengalihkan kerja, tanggung

jawab dan keputusan kepada orang lain. Outsourcing dalam bahasa

Indonesia berarti alih daya. Dalam dunia bisnis, outsourcing atau alih daya

dapat diartikan sebagai penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan yang

sifatnya non-core atau penunjang oleh suatu perusahaan kepada perusahaan

lain melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa

pekerja/buruh.
Dasar hukum outsourcing adalah Undang-Undang No.13 Tahun

2003 Tentang Ketenagakerjaan, Pasal 64 dengan isi “Perusahaan dapat

menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya

melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa

Pekerja/Buruh yang dibuat secara tertulis. Berdasarkan ketentuan pasal di

atas, outsourcing dibagi menjadi dua jenis:

a. Pemborongan pekerjaan

Yaitu pengalihan suatu pekerjaan kepada vendor outsourcing,

dimana vendor bertanggung jawab sepenuhnya terhadap

pekerjaan yang dialihkan beserta hal-hal yang bersifat teknis

(pengaturan oerasional) maupun hal-hal yang bersifat non-teknis

(administrasi kepegawaian). Pekerjaan yang dialihkan adalah pekerjaan

yang bisa diukur volumenya, dan fee yang dikenakan oleh vendor

adalah rupiah per satuan kerja (Rp/m2, Rp/kg, dsb.). Contoh:

pemborongan pekerjaan cleaning service, jasa pembasmian hama, jasa

katering, dsb.

b. Penyediaan jasa Pekerja/Buruh

Yaitu pengalihan suatu posisi kepada vendor outsourcing, dimana

vendor menempatkan karyawannya untuk mengisi posisi tersebut.

Vendor hanya bertanggung jawab terhadap manajemen karyawan

tersebut serta hal-hal yang bersifat non-teknis lainnya, sedangkan hal-

hal teknis menjadi tanggung jawab perusahaan selaku pengguna dari

karyawan vendor. Jadi kegiatan outsourcing adalah kegiatan

penyediaan jasa pekerja / buruh, dimana pekerja / buruh dikontrak oleh


perusahaan penyedia jasa dan ditempatkan pada perusahaan pengguna

jasa. Karyawan outsourcing merupakan karyawan perusahaan penyedia

jasa bukan karyawan perusahaan pengguna jasa, dan perusahaan

penyedia jasa melakukan pembayaran secara langsung gaji, upah,

honorarium, tunjangan dan sejenisnya kepada karyawan outsourcing-

nya. Sesuai peraturan perundangan, karyawan outsourcing setidaknya

memiliki hak sebagai berikut:

1) Upah minimum

Sesuai dengan Peraturan Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia

Nomor: PER-01/MEN/1999 Tentang Upah Minimum.

2) Upah kerja lembur

Sesuai dengan Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi

Republik Indonesia Nomor: KEP-102/MEN/VI/2004 Tentang

Waktu Kerja Lembur dan Upah Kerja Lembur.

3) Tunjangan Hari Raya (THR)

Sesuai dengan Peraturan Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia

Nomor: PER-04/MEN/1994 Tentang Tunjangan Hari Raya

Keagamaan Bagi Pekerja di Perusahaan

4) Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek)

Sesuai dengan Keputusan Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia

Nomor: KEP-150/MEN/1999 Tentang Penyelenggaraan Program

Jaminan Sosial Tenaga Kerja Bagi Tenaga Kerja Harian Lepas,

Borongan dan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu.


5) Oleh karena itu, sesuai dengan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak

Nomor: SE-05 / PJ.53 / 2003, outsourcing tidak masuk kedalam jenis

barang dan jasa yang tidak dikenakan PPN, sehingga wajib

membayar PPN. Dasar pengenaan pajak adalah sebesar seluruh

tagihan yang diminta oleh vendor outsourcing kepada perusahaan

termasuk tagihan atas upah dan perjanjian dari sistem keuangan yang

di perjanjikan sebelumnya (management fee).

Sesuai dengan Pasal 1 ayat 2 huruf k Peraturan Menteri Keuangan Nomor:

244/PMK.03/2008, jasa penyedia tenaga kerja (outsourcing services)

termasuk jasa lain yang dipotong Pajak Penghasilan sebesar 2% (dua

persen) dari jumlah bruto tidak termasuk PPN. Lebih lanjut dalam Surat

Edaran Nomor: SE-53/PJ/2009 yang dimaksud dengan jumlah bruto adalah

jumlah seluruh penghasilan tidak termasuk pembayaran gaji, upah,

honorarium, tunjangan dan pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan

dengan pekerjaan yang dibayarkan oleh penyedia tenaga kerja kepada

tenaga kerja yang melakukan pekerjaan, berdasarkan kontrak dengan

pengguna jasa.4 Pembayaran tersebut harus dapat dibuktikan dengan

kontrak kerja dan daftar pembayaran gaji, upah, honorarium, tunjangan dan

pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan

sebagaimana dimaksud.

Berdasarkan peraturan diatas, maka jumlah bruto yang dimaksud

adalah jasa manajemen (management fee) dalam perusahaan penyedia jasa

outsourcing tidak termasuk gaji karyawan. Contoh : Misalnya dalam

4
M.Nur Rianto Al Arif, dkk, Teori Mikroekonomi Suatu Perbandingan Ekonimi Islam dan
Ekonomi Konvensional, Cetakan Pertama, (Jakarta : Kencana, 2010), h. 26.
kontrak yang diterbitkan oleh perusahaan penyedia jasa tenaga kerja

(outsourcing services), menyebutkan upah karyawan Rp 10.000 dan

manajemen fee Rp 1.000 maka penghitungan pajaknya sebagai berikut:

Upah Karyawan : Rp 10.000,-

Manajemen Fee : Rp 1.000,-

Jumlah tagihan : Rp 11.000,-

PPN 10% dari tagihan : (Rp 11.000 x 10%) = Rp 1.100,-

PPh Pasal 23 yang harus dipotong 2% dari manajemen fee: (Rp 1.000,-

x 2%)

= Rp 20 jadi jumlah yang dibayarkan setelah dipotong PPh Pasal 23: (Rp

11.000 + Rp 1.100 - Rp 20) = Rp 12.080,-

2. Penyelesaian Kasus Putusan MA. Nomor 574/B/PK/PJK/2013

Setelah PT. MONAGRO KIMIA menggunakan hak-haknya dalam

sengketa pajak, pada akhirnya peninjauan kembali PT MONAGRO KIMIA

dapat diselesaikan di Mahkamah Agung dan telah mendapatkan kekuatan

hukum tetap dengan Kasus Putusan MA. Nomor. 574/B/PK/PJK/2013 dalam

peninjauan kembali ini Mahkamah Agung menolak atas peninjauan kembali

PT MONGRO KIMIA pada tanggal 24 Januari 2014.

Menimbang alasan-alasan peninjauan kembali tersebut tidak dapat

dibenarkan karena pertimbangan hukum dan putusan Pengadilan Pajak yang

sebelumnya mengabulkan banding yang dilyangkan oleh pihak PT.

MONAGRO KIMIA terhadap Keputusan Direktur Jenderal Pajak. Keputusan

Direktur Jenderal Pajak Nomor : KEP-695/PJ.07/2009 tanggal 1 September

2009 tentang Keberatan atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Pajak
Penghasilan Pasal 21 Tahun Pajak 2006 Nomor: 00042/201/06/052/08

tertanggal 11 Juli 2008, atas nama Pemohon Banding (PT MOAGRO

KIMIA) sekarang Termohon Peninjauan Kembali, sehingga jumlah PPh yang

masih harus dibayar dihitung kembali menjadi Rp. 818.534.430 terbilang

(Delapan Ratus Delapan Belas Juta Lima Ratus Tiga Puluh Empat Ribu

Empat Ratus Tiga Puluh Rupiah), menurut penulis adalah sudah tepat dan

benar dengan pertimbangan. Bahwa alasan koreksi / peneliti / fiskus obyek

PPh Pasal 21 sebesar Rp. 1.774.878.360 terbilang (Satu Miliar Tujuh Ratus

Juta Tujuh Puluh Empat Juta Delapan Ratus Tujuh Puluh Delapan Ribu dan

Tiga Ratus Enam Puluh Rupiah) tidak dapat dibenarkan, serta hakim

menimbang selama proses keberatan bahwasanya dengan, peneliti dari KPP

PMA I kembali mengirimkan undangan dengan surat Nomor: S-

4575/PJ.0711/2009 tanggal 5 Juni 2009, yang terima pada tanggal 23 Juni

2009 oleh pihak yang terkait yaitu PT. MONAGRO KIMIA untuk dapat

menghadiri undangan Peneliti tersebut. Namun undangan tersebut ternyata

tidak untuk mendiskusikan materi keberatan dan setelahnya PT. MONAGRO

KIMIA diminta untuk menandatangani Daftar Hasil Akhir Penelitian

Keberatan tanpa adanya diskusi terlebih dahulu, hasil ini dinggap telah

menyalahi aturan yang ada oleh PT. MONAGRO KIMIA sebagaimana

hukum tidak berjalan sesuai yang diharapkan.

Berdasarkan fakta-fakta hukum (fundamentum petendi) tersebut di atas

secara keseluruhan telah membuktikan secara jelas dan nyata-nyata bahwa

Majelis Hakim Pengadilan Pajak telah memutus perkara a quoterkait

sengketa koreksi DPP PPh Pasal 21 sebesar Rp1.774.878.360 tidak


berdasarkan pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan

tidak berdasarkan hasil penilaian pembuktian, sehingga pertimbangan dan

amar putusan Majelis Hakim pada Pemohon Peninjauan Kembali (semula

Terbanding) sengketa banding dipengadilan pajak dengan nyata-nyata telah

salah dan keliru serta tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan yang berlaku (contra legem), khususnya dalam bidang perpajakan

Karena dominus litis5 yang terungkap dari bukti-bukti yang disampaikan

Pemohon Banding (Termohon Peninjauan Kembali / PT. MONAGRO

KIMIA) dalam persidangan dari sebagian bukti sebesar a quo6 telah diyakini

kebenarannya oleh Mejelis Pengadilan Pajak, oleh karenanya koreksi

Terbanding (Pemohon Peninjauan Kembali / PT. MONAGRO KIMIA) untuk

sebagian sebesar dari alasan-alasan terkait degan penijauan kembali yang

hinggal 11 butir tersebut a quo tidak dapat dipertahankan.

Dari sini penulis sependapat dengan pertimbangan Hakim yang telah

disebutkan di atas. Sebelumnya alasan peninjauan kembali ini berkaitan

dengan ini merupakan hasil dari kesalahan hitung atau SPT Tahunan,

mungkin terdapat kekeliriuan atau kesalahan dalam pengisian dari pihak PT.

MONAGRO KIMIA dalam perihal pajak PPh 21, sistem penerapan dari

sistem self assesment dari PT. MONAGRO KIMIA kurang tepat dalam

menghitung besarnya pajak yang terkait dalam pengeluran pajak mereka.

5
Dalam kamus hukum berarti Hakim yang menentukan suatu perkara layak diperiksa atau
tidak
6
Dalam kamus hukum berarti “tersebut”. Perkara a quo berarti perkara tersebut, perkara
yang sedang diperselisihkan.
Bahwasanya apabila berdasarkan pembetulan SPT, ternyata terdapat

kekurangan pembayaran pajak, maka terhadap Wajib Pajak dikenakan

sanksi bunga berdasarkan Pasal 8 Ayat (2) dan Ayat (2a) Undang-Undang

Ketentuan Umum Perpajakan. Selanjutnya dimana fakta dari

persidangan Mahkamah Agung menunjukkan bahwa sebagian besar

Wajib Pajak masih enggan membayar pajak dengan benar, karena

menggangap perhitungan sudah benar. Mereka akan selalu berusaha untuk

mengelak dari pembayaran pajak. Oleh karena itu, dalam sistem self

assessment ini keberadaan basis data perpajakan yang lengkap dan akurat

sangat penting bagi Direktorat Jenderal Pajak (DJP).

Data ini akan digunakan untuk membuktikan bahwa penghitungan,

penyetoran dan pelaporan pajak yang dilakukan sendiri oleh Wajib Pajak

sudah benar. Apabila diketahui masih salah, maka data tersebut akan

digunakan sebagai dasar tindakan koreksi.

Selanjutnya dari segi pembuktian, Pihak pemohohon peninjauan

kembali atau PT. MONAGRO KIMIA yang sebelumnya di saat banding

atau pengadilan pajak tidak bisa menunjukan surat kontrak kerja / perjanjian

outsourching dengan PT Mulyti Global Adikarindo beserta bukti

Pembayarannya. Bahwa dalm Kitab Undang-Undang Hukum Perdata; Buku

ke-IV tentang pembuktian dn daluwarsa; Bab II pembuktian dengan tulisan,

Pasal 1888, menyatakan; kekuatan pembuktian suatu bukti tulisan adalah

pada akta aslinya.


Hakim Mahkamah Agung menganggap bahwasanya bukti yang di

perlihatkan pada siding sekarang mungkin barulah dibuat dalam jangka

waktu setelah Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor: KEP-

695/PJ.07/2009 tanggal 1 September 2009 tentang Keberatan atas Surat

Ketetapan Pajak Kurang Bayar Pajak Penghasilan Pasal 21 Tahun Pajak

2006 tersebut. Dengan kata lain PT. MONAGRO KIMIA tidak ingin

merelakan sebagian hartanya untuk membayar pajak demi menjaga profit

atau keuntungan semata, dan bahwasanya membayar pajak itu termasuk

kedalam pembangunan Negara, yang selanjutnya akn dinikmati oleh PT.

MONAGRO KIMIA sendiri.

Memperhatikan pasal-pasal dari Undang-Undang Nomor 48 Tahun

2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang Nomor 14 Tahun

1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dengan Undang-

Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-

Undang Nomor 3 Tahun 2009 dan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002

tentang Pengadilan Pajak serta peraturan perundang-undangan lain yang

bersangkutan, maka dari itu Bahwa alasan-alasan peninjauan kembali

tersebut tidak dapat dibenarkan karena pertimbangan hukum.

Maka sesuai dengan keputusan hakim Mahkamah Agung kembali

menetapkan dan menguatkan putusan pengadilan jak sebelumnya, bahwa

PT MONAGRO KIMIA dikenakan sanksi bunga / administrasi dalam

pembayaran pajak berdasarkan Pasal 8 Ayat (2) dan Ayat (2a) dan pasal 18
Undang-Undang Ketentuan Umum Perpajakan “Surat Tagihan

Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayr, serta surat Keputusan

keberatan, putusan banding, serta surat Putusan Peninjauan Kembali, yang

menyebabkan jumlah pajak yang masih harus dibayar bertambah,

merupakan dasar penagihan pajak”.

Selanjutnya dimana sanksi tersebut dapat diangsur sesuai dengan

pasal 19 ayat (1) dan (2) “ apabila surat ketetapan pajak kurang bayar atau

surat ketetapan kurang bayar, serta surat keputusan pembetulan, surat

keputusan keberatan, surat putusan banding atau putusan peninjauan

kembali, yang menyebabkan jumlah pajak yang masih harus dibayar

bertambah, pada saat jatuh tempo pelunasan tidak atau kurang dibayar atas

jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar itu dikenai sanksi administrasi

berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan untuk seluruh masa, yang

dihitung dari tanggal jatuh tempo sampai dengan tanggal pelunasan atau

tanggal diterbitkannya Surat Tagihan Pajak, dan bagian dari bulan dihitung

penuh 1 (satu) bulan.”

“Dalam hal Wajib Pajak diperbolehkan mengangsur atau menunda

pembayaran pajak juga dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar

2% (dua persen) perbulan dari jumlah pajak yang masih harus dibayar dan

bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.”

Dengan demikian, putusan pengadilan pajak adalah perbuatan

hukum yang dilakukan oleh hakim sebagai akhir dari penyelesaian sengketa

pajak Dan merupakan manifestasi dari kewenanagannya. Sekalipun putusan


merupakan manifestasi tanggung jawab hakim dalam memeriksa sengketa

pajak. Putusan ditetapkan karena hasil penilaian pembuktian, berdasarkan

peraturan perundang-undangan perpajakan yang bersangkutan, dan

keyakinan hakim.

4. Daftar Pustaka

Buku

Abdul Jabar Yousoef, Kunci Surveyor Membidik Perkembangan Industri Domestik


Meningkatkan Penerimaan Pajak dan Royalti Cetakan Pertama, Bandung ,
Elex Kompas Gremedia, 2013

B. Boediono, Perpajakan Indonesia Cetakan I, Jakarta, Diadit Media, 2006

Mardiasmo, Pepajakan, Edisi Revisi 2011, Cetakan Keenam

M.Nur Rianto Al Arif, dkk, Teori Mikroekonomi Suatu Perbandingan Ekonimi


Islam dan Ekonomi Konvensional, Cetakan Pertama, (Jakarta : Kencana,
2010), h. 26.

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Burgerlick Wetboek

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana


telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan
kedua dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 dan Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak

Undang-Undang Ketentuan Umum Perpajakan Republik Indonesia Nomor 16


Tahun 2009

Peraturan Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia Nomor PER-01/MEN/1999


tentang Upah Minimum

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 244/PMK.03/2008 tentang Pembayaran


Pajak Outsourching.
Peraturan Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia Nomor PER-04/MEN/1994
tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan Bagi Pekerja di Perusahaan.

Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor


KEP-150/MEN/1994 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial
Tenaga Kerja Bagi Tenaga Kerja Harian Lepas, Borongan dan Perjanjian
Kerja Waktu Tertentu.

Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor


KEP-102/MEN/VI/2004 tentang Waktu Kerja Lembur dan Upah Kerja
Lembur.

Anda mungkin juga menyukai