Anda di halaman 1dari 27

KASUS PT.

MONAGRO KIMIA DALAM PUTUSAN


MAHKAMAH AGUNG NOMOR.
547/B/PK/PJK/2013 BERDASARKAN HUKUM
PERPAJAKAN

Debee
22116015
Pendahuluan

Didalam sektor ekonomi, kebijakan diantaranya diarahkan untuk mengembangkan sistem ekonomi kerakyatan, mengupayakan kehidupan yang layak,
mengembangkan perekonomian yang berorientasi global dan menyehatkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) melalui meningkatn disiplin anggaran,
pengurangan subsidi dan pinjaman luar negeri secara betahap, peningkatan penerimaan pajak progresif yang adil dan jujur, serta penghematan pengeluaran.
Pajak telah menjadi komponen penting dalam penerimaan negara bahkan sejak sebelum Indonesia merdeka. Pada jaman kolonial pungutan pajak semata-mata
dimaksudkan untuk memenuhi kepentingan pemerintahan jajahan, misalnya pada jaman tanam paksa, pajak dipungut dalam bentuk penyerahan tanah desa untuk ditanami
tanaman ekspor yang dibutuhkan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari tanah desa. Kepala desa bertanggung jawab untuk mengerahkan petani dalam melaksanakan
kewajiban tersebut bahkan ada pula yang diminta menyerahkan seperlima hasil panennya kepada pemerintah sebagai pajak natural.
Dalam kemerdekaan pungutan pajak dijiwai oleh pancasila dan Undang-undang Dasar tahun 1945 yang merupakan perwujudan kewajiban serta partisipasi anggota
masayarakat dalam pembiayaan negara dan pembangunan nasional untuk mencapai keadilan sosial dan kemakmuran yang merata, baik materil maupun spiritual.
Dalam pembangunan nasional, penerimaan negara menjadi komponen yang sangat penting dan menentukan keberhasilan pembangunan yang dilaksnakan. Sejak
tahun 1974 sebagian besar pendapatan negara Indonesia besumber dari sektor minyak bumi dan gas alam. Namun, mengingat sifat dari sumber daya alam tersebut yang
tidak dapat diperbarui, dan minyak bumi dan gas alam yang tidak menentu, maka sebaiknya pemerintah mengubah strategi dengan menjadikan pajak sebagai sumber
pendapatan negara yang utama.
Dalam pembiayaan negara, pajak memegang peranan yang sangat penting. Sebagian besar penerimaan negara berasal dari penerimaan pajak dalam negeri, yang
bersumber dari Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai, Pajak Bumi dan Bangunan, Pajak Ekspor dan pajak lainnya. Sampai tahun 1967, sistem yang dipakai adalah
sistem official assessment. Namun dalam perkembangannya sistem tersebut ternyata tidak sesuai lagi dengan tingkat sosial ekonomi masyarakat Indonesia, baik dari segi
kegotong- royongan nasional maupun dari laju pembangunan nasional.
Untuk meningkatkan pendapatan negara dari sektor pajak sekaligus meningkatkan peran aktif wajib pajak, maka pada tahun 1983 pemerintah menciptakan sistem
perpajakan yang baru dengan dikeluarkannya beberapa peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan, yaitu Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan
Umum dan Tata Cara Perpajakan Undang-Undang Nomor & tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, Undang- undang nomor 8 tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai
Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, Undang-Undang nomor 12 tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan, dan Undang-Undang nomor 13 tahun
1985 tentang Bea Materai.
Adapun ciri dan corak sistem pemungutan pajak tersebut adalah:
1. Pemungutan pajak merupakan perwujudan dari penganbdian dan peran serta wajib pajak untuk secara langsung dan bersama-sama melaksanakan kewajiban perpajakan
yang diperlukan untuk pembiayaan dan pembangunan nasional.
2. Tanggung jawab atas kewajiban pelaksaaan pemungutan pajak sebagai pencerminan kewajiban di bidang perpajakan berada pada anggota masyarakat wajib pajak
sendiri, pemerintah dalam hal ini parat pajak sesuai dengan fungsinya berkewajiban melakukan pembinaan, pelayanan dan pengawasan terhadap pemenuhan kewajiban
perpajakan berdasarkan ketentuan yang telah digariskan dalam peraturan perundang-undangan perpajakan.
3. Anggota masyarakat wajib pajak diberi kepercayaan untuk dapat melaksanakan kegotongroyongan nasional melalui sistem menghitung, memperhitungkan, membayar
dan melaporkan sendiri pajak yang terutang (self assessment).
Sehingga melalui sistem ini dalam perpajakan diharapkan dapat dilaksanakan dengan lebih rapi, terkendali, sederhana, dan mudah untuk dipahami oleh anggota
masyarakat wajib pajak.
Pajak penghasilan 21 merupakan salah satu pajak langsung yang dipungut pemerintah pusat atau merupakan pajak negara yang berasal dari pendapatan rakyat. Dari
berbagai jenis pajak penghasilan yang ada, Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 merupakan salah satu pajak yang memberikan masukan sangat besar bagi negara. Kebijakan
pemerintah dalam mengatur Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 antara lain dengan dikeluarkannya Undang- Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata
Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan
sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008. Sebagaimana tentang petunjuk pelaksanaan pemotongan, penyetoran dan pelaporan PPh
Pasal 21 sehubungan dengan pekerjaan jasa dan kegiatan orang pribadi.
Peran sistem administrasi pajak sangat penting karena hasil dari analisis digunakan oleh berbagai pihak baik intern maupun ekstern perusahaan dalam pengambilan
keputusan sehingga kondisi keuangan perlu diketahui bagaimana sebenarnya, khususnya dalam hal ini Pajak Penghasilan Pasal 21.
Terkait dengan uraian diatas, penulis mengangkat kasus yang berkaitan dengan sengketa pajak di Indonesia, yaitu kasus pajak kurang bayar PPh 21 PT. MONAGRO
KIMIA. Pada Putusan MA Nomor 547/B/PK/PJK/2013, PT. MONAGRO KIMIA adalah sebuah perusahaan yang bergerak dalam bidang pupuk dan pangan ternak, dalam
kegiatan usahanya tersebut mengalami kekurangan pembayaran pajak pada tahun 2006.
Menurut pendapat Mahkamah Agung terdapat cukup alasan untuk mengabulkan permohonan dari Pemohon Peninjauan Kembali PT. MONAGRO KIMIA tersebut dan
membatalkan sementara Putusan Pengadilan Pajak tertanggal 25 Juni 2012 Nomor Putusan: 38985/PP/M.IV/10/2012. Atas dasar Pasal 8 ayat (2A) Undang – Undang Nomor
6 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum Perpajakan, dimana pembetulan STP mengakibatkan utang pajak menjadi lebih besar, terhadap wajib pajak dikenai sanksi
administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) perbulan atas jumlah pajak yang kurang dibayar, dihitung sejak jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal
pembayaran, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan. Dalam putusan MA Nomor 547/B/PK/PJK/2013 terdapat permasalahan yang muncul yaitu putusan MA
menguatkan putusan dari Pengadilan Pajak bahwasanya penetapan pajak kurang bayar PPh 21 PT. MONAGRO KIMIA adanya indikasi kekurangan bayar PPh 21 pada tahun
2006.
Batasan Masalah

Agar masalah yang akan penulis bahas tidak terlalu meluas sehingga dapat mengakibatkan ketidak jelasan maka penulis membuat

pembatasan masalah yakni, membahas tentang praktik dalam perpajakan sebagai upaya penerimaan pendapatan negara.

Rumusan Masalah

1. Siapa yang berkewajiban untuk membayar pajak Pajak Penghasilan Pasal 21 Pegawai jika perusahaan menggunakan pegawai
dari perusahaan outsourcing?

2. Bagaimana penyelesaian kasus Putusan MA. Nomor. 574/B/PK/PJK/2013?

Tujuan

3. Untuk mengetahui penerapan sistem pembayaran pajak dalam masyarakat, khususnya masyarakat wajib pajak penghasilan
orang pribadi dalam negeri sesuai dengan PPh 21 apabila perusahaan menggunakan jasa pegawai dari outsourcing.

4. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi penerapan sistem pembayaran pajak dalam pajak penghasilan orang
pribadi dalam negeri.
KASUS PT. MONAGRO KIMIA DALAM
PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG
NOMOR. 547/B/PK/PJK/2013
BERDASARKAN HUKUM PERPAJAKAN
Adanya suatu kasus yang menyangkut sengketa pajak terjadi pada tahun 2007,
dimana PT. MONAGRO KIMIA merupakan perusahaan asisng atau swasta, yang begerak
dalam bidang pupuk dan pangan ternak, dalam kegiatan usahanya tersebut setelah
mengkaji atau menghitung kembali pajaknya, merasa PT. MONAGRO KIMIA pembayaran
pajak yang dilakukan tahun 2006 menunjukan posisi lebih bayar sebesar Rp
8,738,888,746. terbilang (Delapan Miliar Tujuh Ratus Tiga Puluh Delapan Juta Delapan
Ratus Delapan Puluh Delapan Ribu Tujuh Ratus Empat Puluh Enam Rupiah).
Dengan alasan terebut maka pihak PT. MONAGRO KIMIA mengajukan SPT
Tahunan PPh Badan tersebut kepada Kantor Pelayanan Pajak Penanaman Modal Asing
Satu (KPP PMA I) pada tanggal 13 Juli 2007 dan diterima oleh kantor KKP PMA I.
Sebelumnya KPP PMA I menerbitkan Surat Perintah Pemeriksaan Pajak (SP3) No.
PRINT-PSL-330/WPJ.07/KP.02052007 tertanggal 30 Mei 2007 dengan tujuan untuk
menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan Tahun Pajak 2006 yang meliputi
semua jenis pajak. Pada tanggal 11 Agustus 2008 hasil yang dilakukan oleh
fiskus/pegawai pajak yang datang untuk memeriksa sebagaimana kepatuhan wajib Hasil Keterangan Pajak Kurang Bayar PPh Pasal 21 PT MONAGRO
pajak, menyatakan dengan surat Nomor: 00042/201/06/052/08 tanggal 11 Juli 2008. KIMIA Nomor: 00042/201/06/052/08 tanggal 11 Juli 2008
Bahwasanya PT. MONAGRO KIMIA memiliki perbedaan atau selisih dalam penghitungan
PPh 21nya pada tahun pajak 2006
Atas hasil tersebut PT. MONAGRO KIMIA tidak sependapat dengan hasil
Perlu diketahui bahwa selama proses keberatan, peneliti telah mengirimkan
fiskus, oleh karena itu PT. MONAGRO KIMIA mengajukan upaya hukum pertama
undangan untuk diskusi dengan surat Nomor:S-3621/ PJ.0711/2009 tanggal
dalam sengketa pajak yaitu keberatan kepada KPP PMA I pada tanggal 3 September
21 April 2009 yang PT. MONAGRO KIMIA terima pada tanggal 29 April 2009.
2008 melalui surat permohongan Nomor : MK/Sep-08/57 tertanggal 3 September
Namun, dikarenakan keterlambatan pengiriman undangan tersebut, pihak
2008.
dari PT. MONAGRO KIMIA tidak dapat menghadiri diskusi dengan peneliti /
Dengan surat tersebut KPP PMA I menanggapi hal tersebut dengan fiskus pajak. Hal tersebut pun telah sampaikan kepada Peneliti.
menerbitkan Keputusan Terbanding Nomor: KEP-695/PJ.07/2009 tanggal 1
Dimana selanjutnya, peneliti atau fiskus dari KPP PMA I kembali
September 2009 tentang keberatan atas SKPKB PPh 21 Nomor:
mengirimkan undangan dengan surat Nomor: S-4575/PJ.0711/2009 tanggal
00042/201/06/052/08 tanggal 11 Juli 2008, terbanding menolak atas tindakan
5 Juni 2009, yang terima pada tanggal 23 Juni 2009 oleh pihak yang terkait
keberatan tersebut. Dengan hasil :
yaitu PT. MONAGRO KIMIA untuk dapat menghadiri undangan Peneliti
tersebut. Namun undangan tersebut ternyata tidak untuk mendiskusikan
materi keberatan dan setelahnya PT. MONAGRO KIMIA diminta untuk
menandatangani Daftar Hasil Akhir Penelitian Keberatan tanpa adanya
diskusi terlebih dahulu, hasil ini dinggap telah menyalahi aturan yang ada
oleh PT. MONAGRO KIMIA sebagaimana hukum tidak berjalan sesuai yang
diharapkan.
Putusan Hakim Pengadilan
Nomor PUT
38985/PP/M.IV/10/2012

Dalam hal ini PT. MONAGRO KIMIA melakukan upaya hukum sesusai dengan pasal 23 ayat (1)

Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yaitu dengan banding. Sesuai dengan

pasal 36 ayat (4) Undang-Undang Pengadilan Pajak, sebelumnya wajib pajak diwajibkan membayar

50% (lima puluh persen) dari utang pajaknya sebagai prasayarat sebelum mengajukan

permohonan banding. Hal ini dinyatakan bahwa PT. MONAGRO KIMIA sebagai Pemohon Banding.

Dalam dalil-dalil alasan koreksi terbanding yang diajukan kepada pengadilan pajak, pada pokoknya

mengajukan dalil-dalil gugatan sebagai berikut. Bahwa selisih tersebut diperhitungkan sebagai

koreksi obyek pajak dan dialokasikan pada KPP PMA I Jakarta dan KPP Madya Tangerang.

Pengadilan pajak menjawab hasil dari analisa tersebut dinyatakan tidak falid karena, terdapat

objek pajak yang belum dilaporkan sebesar Rp 3.497.139.472 terbilang (Tiga Miliar Empat Ratus
Alasan PT. MONAGRO KIMIA dalam Persidangan Pajak Berdasarkan
Sembilan Puluh Tujuh Juta Seratus Tiga Puluh Sembilan Ribu Empat Ratus Tujuh Puluh Dua
Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan (“SPHP”) Nomor: PHP-PSL-
Rupiah). 418/WPJ.07/WPJ.07/ KP.0205/2008 tanggal 30 Juni 2008
Putusan Hakim Pengadilan
Nomor PUT Alasan Pemohon Banding / PT MONAGRO KIMIA, bahwasnya
38985/PP/M.IV/10/2012 pihaknya mengajukan banding atas koreksi pada DPP PPh Pasal 21
sebesar Rp. 2,159,779,821 dengan alasan, berdasarkan SPHP, total
koreksi Terbanding atas DPP PPh Pasal 21 adalah sebesar Rp.
3,497,139,472 yang dialokasikan ke masing-masing tempat
kedudukan / KPP di mana perusahaan Pemohon Banding terdaftar
yaitu KPP PMA I, KPP Madya Tangerang dan KPP Tebing Tinggi.
Terbanding mengalokasikan besarnya DPP PPh Pasal 21 menurut
Terbanding berdasarkan persentase DPP PPh Pasal 21 sebagaimana
tercantum pada SPT Tahunan PPh Pasal 21 yang Pemohon Banding
laporkan ke masing-masing KPP.

Berdasarkan pendekatan tersebut, maka koreksi untuk kantor Jakarta


adalah Rp. 2,159,779,821 terbilang (Dua Miliar Seratus Lima Puluh
Sembilan Juta Tujuh Ratus Tujuh Puluh Sembilan Juta Delapan Ratus
Dua Puluh Satu Rupiah), koreksi untuk kantor Tangerang adalah Rp.
1,337,359,651 tebillang (Satu Miliar Tiga Ratus Tiga Puluh Tujuh Juta
Tiga Ratus Lima Puluh Sembilan Ribu Enam Ratus Lima Puluh Satu
Rupiah) dan koreksi untuk kantor Tebing Tinggi dinyatakan nihil.
Putusan Hakim Pengadilan Koreksi PPh Pasal 21 pada SPT PPh Badan:

Nomor PUT 1. Pada HPP


Direct Labor Rp 4.798.499.621
38985/PP/M.IV/10/2012 Less: Pay OVH – Astek Rp (126.995.948)
Salaries & Wages Rp 1.156.861.604
Less: Pay OVH – Astek Rp (20.116.805)
Dikarenakan PT. MONAGRO KIMIA mengalokasikan besarnya DPP
Rp 5.808.248.47
PPh Pasal 21 menurutnya berdasarkan sistem persentasi, maka
2. Pada Biaya Usaha:
Pemohon Banding tidak dapat mengetahui rincian DPP PPh Pasal 21 Salaries & wages (selling) Rp 5,979,392,945
sebesar Rp. 11,066,054,192, Rp. 6,852,223,652, Rp. 89,804,543 yang Add: Salaries & Wages Rp 675,782,445

dialokasikan terbanding ke kantor Jakarta, kantor Tangerang dan Less: Pay OVH-Astek Rp (93,797,867)
Less: Pay OVH-Insurance Rp (2,114,004)
kantor Tebing Tinggi.
Salaries & Wages (Gen & Adm) Rp 2,777,620,965
Bahwa alasan koreksi peneliti berdasarkan Daftar Hasil Akhir Less: Pay OVH-Astek Rp (75,812,815)
Penelitian Keberatan Nomor: BA-462/PJ.071/2009 tanggal 18 Juni Less: Pay OVH-Insurance Rp (11,834,802)
2009 PT. MONAGRO KIMIA tidak menyertakan bukti-bukti dan Rp 9,249,236,867
Management Incentives : Rp 960,240,664
perhitungan equalisasi antara biaya-biaya yang dimungkinkan
Stock Appreciation (SOP) Rp 1,990,356,385
menjadi obyek PPh Pasal 21 di SPT PPh badan dengan SPT Tahunan
Rp 2,950,597,049
PPh Pasal 21 dan tidak dapat membuktikan bahwa rincian biaya yang Jumlah Rp 18,008,082,388
bukan merupakan obyek PPh Pasal 21 Tahun 2006 menurut PT.  

MONAGRO KIMIA, sebesar Rp 3,715,337,532 adalah obyek PPh Pasal Objek PPh Pasal 21 pada SPT PPh Ps. 21: Pada KPP Rp 8,906,274,371
Pada KPP Madya Tangerang Rp 5,514,864,001
21 yang dikoreksi oleh Pemeriksa / Fiskus, sebagai berikut rincian
Pada KPP Tebingtinggi Rp 89,804,543
dari pemeriksaan tersebut : Jumlah Rp 14,510,942,915
Selisih (a – b) = Rp 18,008,082,388 - Rp 14,510,942,915 = Rp 3,497,139,473
Putusan Hakim Pengadilan Nomor
PUT 38985/PP/M.IV/10/2012

Koreksi menurut Daftar Hasil Akhir Penelitian Keberatan, alasan koreksi Peneliti atau Fiskus berdasarkan Daftar
Hasil Akhir Penelitian Keberatan Nomor: BA-462/PJ.071/2009 tanggal 18 Juni 2009. Dimana selisih yg terjadi sebesar
Rp 3,715,337,532 adalah obyek PPh Pasal 21.

PT. MONAGRO KIMIA tidak menyertakan bukti-bukti dan perhitungan equalisasi antara biaya-biaya yang
dimungkinkan menjadi obyek PPh Pasal 21 di SPT PPh badan dengan SPT Tahunan PPh Pasal 21 serta tidak dapat
membuktikan bahwa rincian biaya yang bukan merupakan obyek PPh Pasal 21 Tahun 2006 menurut Pemohon
Banding sebesar Rp3,715,337,532 adalah obyek PPh Pasal 21 yang dikoreksi oleh Pemeriksa

Dengan hasil terebut bahwasanya hakim dalam pengadilan pajak menyatakan dan memutuskan dengan surat
Nomor Put 38985 / PP / M.IV / 10 / 2012 untuk menolak koreksi pemohon banding (PT. MONAGRO KIMIA), karena
dianggap tidak adanya bukti perhitungan objek PPh 21 yang dimasukan dan dialokasian kedalam pajak badan.
Putusan Mahkamah Agung Nomor
547/B/PK/PJK/2013
Putusan MA Nomor 547/B/PK/PJK/2013 dimana Direktur Jendral SPT Tahunan PPh Badan tersebut, KPP PMA I menerbitkan Surat Perintah Pemeriksaan Pajak
Pajak, bekedudukan di Jalan Jendral Gatot Subroto No. 40-42 Jakarta, (“SP3”) Nomor: PRINT-PSL-330 / WPJ.07 / KP.0205/2007 tertanggal 30 Mei 2007 dengan tujuan
dalam hal ini memberi kuasa kepada: pemeriksaan adalah untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan Tahun Pajak 2006
1. Catur Rini Widosari, Direktur Keberatan dan banding Direktorat yang meliputi semua jenis pajak. Sebagai hasil dari pemeriksaan tersebut, KPP PMA I menerbitkan
Jendral Pajak. surat ketetapan pajak atas semua jenis pajak. Salah satu dari ketetapan pajak tersebut adalah SKPKB
2. Budi Christiadi, Kasubid Peninjauan Kembali dan Evaluasi PPh Pasal 21 Nomor: 00042 / 201 / 06 / 052 / 08 tanggal 11 Juli 2008. Berikut perincian atas pajak
Direktorat Keberatan dan Banding. kurang bayar yang di layangkan KKP PMA I:
3. Heru Marhanto Utomo, Kepala Seksi Peninjauan Kembali, Subdit
Peninjauan Kembali dan Evaluasi, Direktorat Keberatan dan Banding.
4. Sary Laviningrum, Penelaah Keberatan, Subdit Peninjauan Kembali
dan Evaluasi, Direktorat Keberatan dan Banding.
Keempatnya berkedudukan di Kantor Pusat Direktorat Jenderal
Pajak Jalan Jenderal Gatot Subroto No. 40-42 Jakarta. Melawan PT.
MONAGRO KIMIA, beralamat di Wisma Pondok Indah 2 Lantai 6, Jl. Sultan
Iskandar Muda Kav V-TA Pondok Indah, Jakarta 12310, yang menggunakan
haknya sesuai dengan Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan RI No. 6 Tahun 2009 Pasal 25.
Putusan Mahkamah Agung Nomor
547/B/PK/PJK/2013

Dengan kekurangan pembayaran pajak sebagaimana tercantum di SKPKB (Surat Keterangan Pajak Kurang Bayar) PPh Pasal 21 dengan

tabel tesebut, Pemohon Banding telah melunasinya melalui Surat Setoran Pajak (“SSP”) ke Kas Negara degan cara mengangsur pada tanggal

pada tanggal 11 Agustus 2008 sejumlah Rp. 684,290,573 dan pada tanggal 15 Oktober 2008 Rp.684,290,573, terbilang (Enam Ratus

Delapan Puluh Empat Juta Dua Ratus Sembilan Puluh Ribu Lima Ratus Tujuh Puluh Tiga Rupiah). Setelah itu Pemohon Banding tidak setuju

dengan hasil pemeriksaan sebagaimana tercantum di SKPKB PPh Pasal 21 Nomor: 00042 / 201 / 06 / 052 / 08 tanggal 11 Juli 2008

tersebut. Oleh karena itu, PT. MONAGRO KIMIA mengajukan keberatan ke KPP PMA I pada tanggal 3 September 2008 melalui surat

permohonan Nomor: MK / Sep-08 / 57 tertanggal 3 September 2008 yang diterima oleh KPP PMA I pada hari yang sama.
Putusan Mahkamah Agung Nomor Perlu diketahui bahwa selama proses keberatan, Peneliti (Fiskus) telah mengirimkan undangan untuk

547/B/PK/PJK/2013 diskusi dengan surat Nomor: S-3621/PJ.0711/2009 tanggal 21 April 2009 yang Pemohon Banding terima

pada tanggal 29 April 2009. Namun, dikarenakan keterlambatan pengiriman undangan tersebut, Pemohon

Banding tidak dapat menghadiri diskusi dengan Peneliti. Hal tersebut pun telah Pemohon Banding

sampaikan kepada Peneliti.

Selanjutnya, Peneliti kembali mengirimkan undangan dengan surat Nomor: S-4575 / PJ.0711 / 2009

tanggal 5 Juni 2009, yang Pemohon Banding terima pada tanggal 23 Juni 2009 dan Pemohon Banding

Sebagaimana tanggapan atas surat keberatan tersebut, dapat menghadiri undangan Peneliti (Fiskus) tersebut. Namun undangan tersebut ternyata tidak untuk

mendiskusikan materi keberatan Pemohon Banding dan Pemohon Banding diminta untuk menandatangani
Terbanding menerbitkan Keputusan Terbanding Nomor: KEP- Daftar Hasil Akhir Penelitian Keberatan tanpa adanya diskusi terlebih dahulu.

695 / PJ.07 / 2009 tanggal 1 September 2009 tentang keberatan Dasar Hukum yang sesuai dengan Pasal 27 Undang-Undang (“UU”) Nomor: 9 Tahun 1994 stdd. UU

Nomor: 16 Tahun 2000 tentang Ketentuan Umum Perpajakan dan UU Nomor: 14 Tahun 2002 tentang
atas SKPKB PPh Pasal 21 Nomor: 00042 / 201 / 06 / 052 / 08 Pengadilan Pajak, Pemohon Banding mengajukan banding atas keputusan Terbanding Nomor: KEP-695 /

PJ.07 / 2009 tanggal 1 September 2009 tentang Keberatan atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar PPh
tanggal 11 Juli 2008, yang menolak keberatan Pemohon
Pasal 21 Nomor: 00042 / 201 / 06 / 052 / 08 tanggal 11 Juli 2008 Tahun Pajak 2006.

Banding. Berikut ini perincian tersebut: Dimana PT. MONAGRO KIMIA mengajukan banding atas koreksi pada Dasar Pengenaan Pajak

Penghasilan Pasal 21 (“DPP PPh Pasal 21”) sebesar Rp. 2,159,779,821 sebagaimana tercantum di SKPKB

PPh Pasal 21 Nomor: 00042 / 201 / 06 / 052 / 08 tanggal 11 Juli 2008 Tahun Pajak 2006. Sebelumnya

Pemohon Banding tidak dapat membuktikan sebagaimana rincian biaya yang bukan merupakan obyek PPh

Pasal 21 Tahun 2006, menurut Pemohon Banding sebesar Rp. 3,715,337,532 adalah obyek PPh Pasal 21

yang dikoreksi oleh Pemeriksa.


Putusan Mahkamah Agung Nomor
547/B/PK/PJK/2013

Pihak PT. MONAGRO KIMIA mengajukan banding atas koreksi pada DPP PPh Pasal 21 sebesar Rp. 2,159,779,821 dengan alasan SPHP, total koreksi Terbanding atas DPP PPh

Pasal 21 adalah sebesar Rp. 3,497,139,472 yang dialokasikan ke masing-masing tempat kedudukan / KPP di mana perusahaan Pemohon Banding terdaftar yaitu KPP PMA I, KPP

Madya Tangerang dan KPP Tebing Tinggi. Terbanding mengalokasikan besarnya DPP PPh Pasal 21 menurut Terbanding berdasarkan persentase DPP PPh Pasal 21 sebagaimana

tercantum pada SPT Tahunan PPh Pasal 21 yang Pemohon Banding laporkan ke masing-masing KPP / 052 / 08 tanggal 11 Juli 2008.
Putusan Mahkamah Agung Nomor
547/B/PK/PJK/2013
Alasan koreksi PT. MONAGRO KIMIA Terbanding berdasarkan Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan (“SPHP”)

Nomor: PHP-PSL-418/WPJ.07/WPJ.07/KP.0205/2008 tanggal 30 Juni 2008. Berdasarkan hasil perhitungan

equalisasi, terdapat obyek pajak yang belum dilaporkan sebesar Rp.3,497,139,472. Argumentasi Pemohon Banding

akan Pemohon Banding lakukan berdasarkan pendekatan nilai total DPP PPh Pasal 21. Berikut ini equalisasi PPh

Pasal 21 yang Pemohon Banding buat dengan menggunakan pendekatan nilai total tersebut:

1. Pembayaran ke PT Adikarindo (Pemberi Jasa Outsourcing) pembayaran ke PT Adikarindo sebesar


Rp.2,952,510,717 (Rp.2,717,850,181 + Rp. 234,660,536) merupakan pembayaran atas jasa penyalur tenaga kerja

(outsourcing) dan Pemohon Banding telah memotong PPh Pasal 23 atas pembayaran tersebut. Dikarenakan

tenaga kerja yang disalurkan merupakan karyawan PT Adikarindo sehingga Pemohon Banding tidak mempunyai

kewajiban untuk memotong PPh Pasal 21 atas pembayaran gaji dan THR tersebut.

2. Housing subsidy Bahwa Pemohon Banding telah membuat koreksi fiskal di SPT Tahunan PPh Badan atas biaya
housing subsidy sehingga biaya tersebut harus dikeluarkan dari rekonsiliasi PPh Pasal 21.

3. Salaries allocated bahwa salaries allocated merupakan biaya penyesuaian atas total pembayaran gaji yang
Pemohon Banding lakukan sehingga harus diperhitungkan di rekonsiliasi PPh Pasal 21.

• Jamsostek JKM dan JKK Bahwa Terbanding seharusnya memperhitungkan pembayaran Jamsostek untuk JKM dan

JKK sebesar Rp. 67,552,848 (Rp. 58,600,812 + Rp. 8,952,036) di rekonsiliasi PPh Pasal 21 sehingga Pemohon

• Banding menambahkannya ke dalam rekonsiliasi PPh Pasal 21 dari penjelasan Pemohon Banding di atas, maka

koreksi pada DPP PPh Pasal 21 sebesar Rp. 2,159,779,821 harus dibatalkan.
Putusan Mahkamah Agung Nomor
547/B/PK/PJK/2013
Hasil dari kesimpulan tersebut berdasarkan hasil uji bukti materi dipersidangan diketahui sebagai berikut :

 Dari Objek PPh Pasal 21 cfm yang di periksa oleh pemeriksa sebesar Rp.18.008.082.387 Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) menunjukkan Ledger
terkait Direct Labour sebesar Rp.4.798.499.621 Salary Wages (Selling) sebesar Rp.5.979.392.945 Salary & Wages (Gen & Adm.) sebesar Rp.2.779.138.965 yang didalamnya
terdapat beberapa akun Salary Third Party Contract sebesar Rp.2.717.850.181.

 Dari data/bukti/dokumen yang disampaikan Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding / PT. MONAGRO KIMIA) tersebut, sehingga akun-akun yang terkait
sebesar Rp.2.717.850.181 merupakan pembayaran atas outsourcing penyediaan tenaga kerja kepada pihak ketiga, yaitu PT. Multi Global Adikarindo, yang menurut Termohon
Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding)sudah dipotong PPh Pasal 23 baik di KPP PMA Satu maupun KPP Madya Tangerang.

 Didalam proses uji bukti dipersidangan tersebut, Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding / PT. MONAGRO KIMIA) tidak dapat menunjukkan asli
kontrak/perjanjian outsourcing dengan PT. Multi Global Adikarindo beserta bukti/dokumen pembayarannya, Secara material, terdapat perbedaan rincian biaya yang bukan
objek PPh Pasal 21 menurut Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) dengan koreksi Objek PPh Pasal 21 menurut Pemohon Peninjauan Kembali (semula
Terbanding) termasuk jumlah nominalnya.

Setelah dinyatakan Pembuktian Termohon Peninjauan Kembali tidak dapat menunjukkan asli kontrak/perjanjian outsourcing dengan PT. Multi Global Adikar indo beserta
bukti/dokumen pembayarannya, dalam Kitab Undang - undang Hukum Perdata; Buku ke Empat Tentang Pembuktian Dan Daluwarsa; Bab II tentang Pembuktian Dengan Tulisan;
Pasal 1888, menyatakan “Kekuatan pembuktian suatu bukti tulisan adalah pada akta aslinya.” Apabila akta yang asli itu ada, maka salinan-salinan serta ikhtisar-ikhtisar hanyalah
dapat dipercaya, sekadar salinan-salinan serta ikhtisar-ikhtisar itu sesuai dengan aslinya, yang mana senantiasa dapat diperintahkan mempertunjukkannya.
Putusan Mahkamah Agung Nomor
547/B/PK/PJK/2013

Berdasarkan fakta-fakta hukum (fundamentum petendi) tersebut di atas secara keseluruhan telah membuktikan secara jelas dan nyata-nyata bahwa Majelis Hakim
Pengadilan Pajak telah memutus perkara terkait sengketa koreksi DPP PPh Pasal 21 sebesar Rp1.774.878.360 tidak berdasarkan pada ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku dan tidak berdasarkan hasil penilaian pembuktian, sehingga pertimbangan dan amar putusan Majelis Hakim pada PT. MONAGRO KIMIA sengketa banding di
Pengadilan Pajak nyata-nyata telah salah dan keliru serta tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku (contra legem), khususnya dalam bidang
perpajakan. Oleh karena itu maka Putusan Pengadilan Pajak Nomor: Put. 38985/PP/M.IV/10/2012 tanggal 28 Juni 2012 menyangkut sengketa koreksi DPP PPh Pasal 21 sebesar
Rp1.774.878.360.

Hakim Menyatakan bahwa, terhadap alasan-alasan peninjauan kembali tersebut, Mahkamah Agung berpendapat bahwasanya, alasan-alasan dari peninjauan kembali
tersebut tidak dapat dibenarkan karena pertimbangan hukum dan putusan Pengadilan Pajak yang mengabulkan sebagian permohonan banding Pemohon Banding terhadap
Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor : KEP-695/PJ.07/2009 tanggal 1 September 2009 tentang Keberatan atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Pajak Penghasilan Pasal
21 Tahun Pajak 2006.

Nomor: 00042/201/06/052/08 tanggal 11 Juli 2008, atas nama Pemohon Banding sekarang Termohon Peninjauan Kembali / PT. MONAGRO KIMIA, sehingga jumlah PPh
yang masih harus dibayar dihitung kembali menjadi Rp. 818.534.430 adalah sudah tepat dan benar. Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut diatas,
maka permohonan peninjauan kembali yang diajukan oleh Pemohon Peninjauan Kembali : Direktur Jenderal Pajak tersebut adalah tidak beralasan, sehingga harus ditolak.
ANALISA KASUS SENGKETA PAJAK PT. MONAGRO
KIMIA PUTUSAN MA Nomor. 574/BPJK/2013

Pekerja PT. MONAGRO KIMIA dalam kasus pajak Putusan Mahakamah Agung Nomor. 574/B/PK/PJK/2013 alasan PT. MONAGRO KIMIA menggunakan pekerja outsourcing.
Outsourcing terbagi atas dua suku kata out dan sourcing. Sourcing berarti mengalihkan kerja, tanggung jawab dan keputusan kepada orang lain. Outsourcing dalam bahasa
Indonesia berarti alih daya. Dalam dunia bisnis, outsourcing atau alih daya dapat diartikan sebagai penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan yang sifatnya non-core atau
penunjang oleh suatu perusahaan kepada perusahaan lain melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/buruh.
Dasar hukum outsourcing adalah Undang-Undang No.13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, Pasal 64 dengan isi “Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan
pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa Pekerja/Buruh yang dibuat secara tertulis. Berdasarkan ketentuan pasal di
atas, outsourcing dibagi menjadi dua jenis:
1. Pemborongan pekerjaan
2. Penyediaan jasa Pekerja/Buruh
Jadi kegiatan outsourcing adalah kegiatan penyediaan jasa pekerja / buruh, dimana pekerja / buruh dikontrak oleh perusahaan penyedia jasa dan ditempatkan pada
perusahaan pengguna jasa. Karyawan outsourcing merupakan karyawan perusahaan penyedia jasa bukan karyawan perusahaan pengguna jasa, dan perusahaan penyedia jasa
melakukan pembayaran secara langsung gaji, upah, honorarium, tunjangan dan sejenisnya kepada karyawan outsourcing-nya. Sesuai peraturan perundangan, karyawan
outsourcing setidaknya memiliki hak sebagai berikut:

3. Upah minimum - sesuai dengan Peraturan Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia Nomor: PER-01/MEN/1999 Tentang Upah Minimum.
4. Upah kerja lembur - sesuai dengan Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor: KEP-102/MEN/VI/2004 Tentang Waktu Kerja Lembur dan
Upah Kerja Lembur.

5. Tunjangan Hari Raya (THR) - sesuai dengan Peraturan Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia Nomor: PER-04/MEN/1994 Tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan Bagi
Pekerja di Perusahaan.
ANALISA KASUS SENGKETA PAJAK PT. MONAGRO
KIMIA PUTUSAN MA Nomor. 574/BPJK/2013

4. Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek) - sesuai dengan Keputusan Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia Nomor: KEP-150/MEN/1999 Tentang Penyelenggaraan Program
Jaminan Sosial Tenaga Kerja Bagi Tenaga Kerja Harian Lepas, Borongan dan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu.

Sesuai dengan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor: SE-05 / PJ.53 / 2003, outsourcing tidak masuk kedalam jenis barang dan jasa yang tidak dikenakan PPN, sehingga
wajib membayar PPN. Dasar pengenaan pajak adalah sebesar seluruh tagihan yang diminta oleh vendor outsourcing kepada perusahaan termasuk tagihan atas upah dan perjanjian
dari sistem keuangan yang di perjanjikan sebelumnya (management fee).

Sesuai dengan Pasal 1 ayat 2 huruf k Peraturan Menteri Keuangan Nomor: 244/PMK.03/2008, jasa penyedia tenaga kerja (outsourcing services) termasuk jasa lain yang dipotong
Pajak Penghasilan sebesar 2% (dua persen) dari jumlah bruto tidak termasuk PPN. Lebih lanjut dalam Surat Edaran Nomor: SE-53/PJ/2009 yang dimaksud dengan jumlah bruto
adalah jumlah seluruh penghasilan tidak termasuk pembayaran gaji, upah, honorarium, tunjangan dan pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang
dibayarkan oleh penyedia tenaga kerja kepada tenaga kerja yang melakukan pekerjaan, berdasarkan kontrak dengan pengguna jasa.

Pembayaran tersebut harus dapat dibuktikan dengan kontrak kerja dan daftar pembayaran gaji, upah, honorarium, tunjangan dan pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan
dengan pekerjaan sebagaimana dimaksud.

Dalam kasus ini PT. MONAGRO KIMIA menjelaskan kedalam pembukuan perhitungan keuntungan (profit) dan perpajakannya dalam perhitungan sebulan, bahwasanya
menggunakan pekerja outsourcing, dalam kasus pajak Putusan Mahakamah Agung Nomor. 574/B/PK/PJK/2013 yang telah dijelaskan sebelumnya
Penyelesaian Kasus Putusan MA Nomor. 574
/B/PK/PJK/2013

Setelah PT. MONAGRO KIMIA menggunakan hak-haknya dalam sengketa pajak, pada akhirnya peninjauan kembali PT MONAGRO KIMIA dapat diselesaikan di
Mahkamah Agung dan telah mendapatkan kekuatan hukum tetap dengan Kasus Putusan MA. Nomor. 574/B/PK/PJK/2013 dalam peninjauan kembali ini Mahkamah Agung
menolak atas peninjauan kembali PT MONGRO KIMIA pada tanggal 24 Januari 2014.

Menimbang alasan-alasan peninjauan kembali tersebut tidak dapat dibenarkan karena pertimbangan hukum dan putusan Pengadilan Pajak yang sebelumnya
mengabulkan banding yang dilyangkan oleh pihak PT. MONAGRO KIMIA terhadap Keputusan Direktur Jenderal Pajak. Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor :
KEP-695/PJ.07/2009 tanggal 1 September 2009 tentang Keberatan atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Pajak Penghasilan Pasal 21 Tahun Pajak 2006 Nomor:
00042/201/06/052/08 tertanggal 11 Juli 2008, atas nama Pemohon Banding (PT MOAGRO KIMIA) sekarang Termohon Peninjauan Kembali, sehingga jumlah PPh yang masih
harus dibayar dihitung kembali menjadi Rp. 818.534.430 terbilang (Delapan Ratus Delapan Belas Juta Lima Ratus Tiga Puluh Empat Ribu Empat Ratus Tiga Puluh Rupiah),
menurut penulis adalah sudah tepat dan benar dengan pertimbangan.

Bahwa alasan koreksi / peneliti / fiskus obyek PPh Pasal 21 sebesar Rp. 1.774.878.360 terbilang (Satu Miliar Tujuh Ratus Juta Tujuh Puluh Empat Juta Delapan Ratus
Tujuh Puluh Delapan Ribu dan Tiga Ratus Enam Puluh Rupiah) tidak dapat dibenarkan, serta hakim menimbang selama proses keberatan bahwasanya dengan, peneliti dari
KPP PMA I kembali mengirimkan undangan dengan surat Nomor: S-4575/PJ.0711/2009 tanggal 5 Juni 2009, yang terima pada tanggal 23 Juni 2009 oleh pihak yang terkait
yaitu PT. MONAGRO KIMIA untuk dapat menghadiri undangan Peneliti tersebut. Namun undangan tersebut ternyata tidak untuk mendiskusikan materi keberatan dan
setelahnya PT. MONAGRO KIMIA diminta untuk menandatangani Daftar Hasil Akhir Penelitian Keberatan tanpa adanya diskusi terlebih dahulu, hasil ini dinggap telah
menyalahi aturan yang ada oleh PT. MONAGRO KIMIA sebagaimana hukum tidak berjalan sesuai yang diharapkan.
Penyelesaian Kasus Putusan MA Nomor. 574
/B/PK/PJK/2013

Berdasarkan fakta-fakta hukum (fundamentum petendi) tersebut di atas secara keseluruhan telah membuktikan secara jelas dan nyata-nyata bahwa Majelis
Hakim Pengadilan Pajak telah memutus perkara terkait sengketa koreksi DPP PPh Pasal 21 sebesar Rp1.774.878.360 tidak berdasarkan pada ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku dan tidak berdasarkan hasil penilaian pembuktian, sehingga pertimbangan dan amar putusan Majelis Hakim pada
Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) sengketa banding dipengadilan pajak dengan nyata-nyata telah salah dan keliru serta tidak sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang- undangan yang berlaku (contra legem), khususnya dalam bidang perpajakan.

Karena dominus litis yang terungkap dari bukti-bukti yang disampaikan Pemohon Banding (Termohon Peninjauan Kembali / PT. MONAGRO KIMIA) dalam
persidangan dari sebagian bukti sebesar a quo3 telah diyakini kebenarannya oleh Mejelis Pengadilan Pajak, oleh karenanya koreksi Terbanding (Pemohon
Peninjauan Kembali / PT. MONAGRO KIMIA) untuk sebagian sebesar dari alasan-alasan terkait degan penijauan kembali yang hinggal 11 butir tersebut tidak
dapat dipertahankan.
Penyelesaian Kasus Putusan MA Nomor. 574
/B/PK/PJK/2013
Sebelumnya alasan peninjauan kembali ini berkaitan dengan hasil dari kesalahan hitung atau SPT Tahunan, mungkin terdapat kekeliriuan atau kesalahan dalam
pengisian dari pihak PT. MONAGRO KIMIA dalam perihal pajak PPh 21, sistem penerapan dari sistem self assesment dari PT. MONAGRO KIMIA kurang tepat dalam
menghitung besarnya pajak yang terkait dalam pengeluran pajak mereka. Bahwasanya apabila berdasarkan pembetulan SPT, ternyata terdapat kekurangan pembayaran
pajak, maka terhadap Wajib Pajak dikenakan sanksi bunga berdasarkan Pasal 8 Ayat (2) dan Ayat (2a) Undang-Undang Ketentuan Umum Perpajakan.

Selanjutnya dimana fakta dari persidangan Mahkamah Agung menunjukkan bahwa sebagian besar Wajib Pajak masih enggan membayar pajak dengan benar, karena
menggangap perhitungan sudah benar. Mereka akan selalu berusaha untuk mengelak dari pembayaran pajak. Oleh karena itu, dalam sistem self assessment ini keberadaan
basis data perpajakan yang lengkap dan akurat sangat penting bagi Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Data ini akan digunakan untuk membuktikan bahwa penghitungan,
penyetoran dan pelaporan pajak yang dilakukan sendiri oleh Wajib Pajak sudah benar. Apabila diketahui masih salah, maka data tersebut akan digunakan sebagai dasar
tindakan koreksi.

Selanjutnya dari segi pembuktian, Pihak pemohohon peninjauan kembali atau PT. MONAGRO KIMIA yang sebelumnya di saat banding atau pengadilan pajak tidak
bisa menunjukan surat kontrak kerja atau perjanjian outsourching dengan PT Mulyti Global Adikarindo beserta bukti pembayarannya. Bahwa dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata; Buku ke Empat Tentang Pembuktian Dan Daluwarsa; Bab II tentang Pembuktian Dengan Tulisan; Pasal 1888, menyatakan: Kekuatan pembuktian suatu
bukti tulisan adalah pada akta aslinya.
Hakim Mahkamah Agung mengangap bahwasanya bukti yang di perlihatkan pada sidang sekarang mungkin barulah dibuat dalam jangka waktu setelah Keputusan
Direktur Jenderal Pajak Nomor : KEP- 695/PJ.07/2009 tanggal 1 September 2009 tentang Keberatan atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Pajak Penghasilan Pasal 21
Tahun Pajak 2006 tersebut. Dengan kata lain PT. MONAGRO KIMIA tidak ingin merelakan sebagian hartanya untuk membayar pajak demi menjaga profit atau keuntungan
semata, dan bahwasnya membayar pajak itu termasuk kedalam pembangunan negara, yang selanjutnya akan dinikmati oleh PT. MONAGRO KIMIA sendiri.
Penyelesaian Kasus Putusan MA Nomor. 574
/B/PK/PJK/2013

Maka sesuai dengan keputusan hakim Mahkamah Agung kembali menetapkan dan menguatkan putusan pengadilan jak sebelumnya, bahwa PT MONAGRO KIMIA
dikenakan sanksi bunga / administrasi dalam pembayaran pajak berdasarkan Pasal 8 Ayat (2) dan Ayat (2a) dan pasal 18Undang-Undang Ketentuan Umum Perpajakan.
“Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, serta Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan
Keberatan, Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali, yang menyebabkan jumlah pajak yang masih harus dibayar bertambah, merupakan dasar penagihan pajak”

Selanjutnya dimana sanksi tersebut dapat diangsur sesuai dengan pasal 19 ayat (1) dan (2) “Apabila Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau Surat Ketetapan Pajak
Kurang Bayar Tambahan, serta Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding atau Putusan Peninjauan Kembali, yang menyebabkan jumlah
pajak yang masih harus dibayar bertambah, pada saat jatuh tempo pelunasan tidak atau kurang dibayar, atas jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar itu dikenai sanksi
administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan untuk seluruh masa, yang dihitung dari tanggal jatuh tempo sampai dengan tanggal pelunasan atau tanggal
diterbitkannya Surat Tagihan Pajak, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.” “Dalam hal Wajib Pajak diperbolehkan mengangsur atau menunda pembayaran
pajak juga dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) perbulan dari jumlah pajak yang masih harus dibayar dan bagian dari bulan dihitung penuh 1
(satu) bulan.”

Dengan demikian, utusan pengadilan pajak adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh hakim sebagai akhir dari penyelesaian sengketa pajak dan merupakan
manifestasi dari kewenangannya. Sekalipun putusan merupakan manifestasi tanggung jawab hakim dalam memeriksa sengketa pajak. Putusan ditetapkan karena hasil
penilaian pembuktian, berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan yang bersangkutan, dan keyakinan hakim.
Kesimpulan
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan pada bab – bab sebelumnya, dapat ditarik kesimpulan diantaranya sebagai berikut:
1. Karyawan outsourcing merupakan karyawan perusahaan penyedia jasa bukan karyawan perusahaan pengguna jasa, dan perusahaan penyedia jasa melakukan
pembayaran secara langsung gaji, upah, honorarium, tunjangan dan sejenisnya kepada karyawan outsourcing-nya. Untuk Pajak (PPh Pasal 21) perihal
karyawan outsourcing dipotong dan dilaporkan oleh Perusahaan penyedia outsourcing tersebut. Perusahaan sebagai pengguna jasa hanya memotong PPh
Pasal 23 atas gaji karyawan (Fee) yang ditagih oleh Perusahaan outsourcing Sedangkan PPN Masukan yang ditagih olehnya atas Tagihan Salary ditambah Fee.
Pembayaran tersebut harus dapat dibuktikan dengan kontrak kerja dan daftar pembayaran gaji, upah, honorarium, tunjangan dan pembayaran lain sebagai
imbalan sehubungan dengan pekerjaan sebagaimana dimaksud.
2. Bahwasanya apabila berdasarkan pembetulan SPT, ternyata terdapat kekurangan pembayaran pajak, maka terhadap Wajib Pajak dikenakan sanksi bunga
berdasarkan Pasal 8 Ayat (2) dan Ayat (2a) Undang-Undang Ketentuan Umum Perpajakan. Berdasarkan Pasal 8 Ayat (2a) Undang- Undang KUP Nomor 6
Tahun 2009, pembetulan SPT Masa yang mengakibatkan utang pajak menjadi lebih besar, terhadap Wajib Pajak dikenai sanksi administrasi berupa bunga
sebesar 2% (dua persen) per bulan atas jumlah pajak yang kurang dibayar, dihitung sejak jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran, dan
bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan. Dalam Pengajuan Persyaratan di tingkat keberatan, pemenuhan persyaratan keberatan, wajib pajak hanya
memperhatikan tenggang waktu yang ditentukan yakni 3 (tiga) bulan serta kelengkapan penyampaian atau isi surat keberatan tersebut. Walaupun keberatan
tidak menunda tindakan penagihan, akan tetapi wajib pajak bisa menginformasikan ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) setempat untuk mempertimbangkan
pengajuan keberatan yang sedang diprosesnya. Dan wajib pajak tidak perlu untuk melunasi dahulu utang pajaknya. Di tingkat banding, persyaratan formal
suatu sengketa untuk dapat diproses selain format surat banding yang diajukan, wajib pajak harus melaksanakan pelunasan pajak terutangnya sebesar 50%
(lima puluh persen). Sebagaimana bahwa dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata; Buku ke Empat Tentang Pembuktian Dan Daluwarsa; Bab II tentang
Pembuktian Dengan Tulisan; Pasal 1888, menyatakan: Kekuatan pembuktian suatu bukti tulisan adalah pada akta aslinya.
Saran

Solusi untuk mengurangi kesalahan dalam pengisian SPT terhadap para pelaku usaha / Wajib Pajak dan pemerintah untuk mengurangi kesalahan-
kesalahan yang terjadi. :
Untuk Pemerintah dan Kantor Pelayanan Pajak
1. Dengan melakukan sosialisasi peraturan perpajakan melalui forum- forum penyuluhan, selebaran pamflet, papan pengumuman di KPP masing-masing
daerah, maupun penjelasan langsung kepada Wajib Pajak pada saat melaporkan SPT masa ke KPP.
2. Memberi buku petunjuk untuk pengisian SPT Tahunan bersamaan dengan pengiriman SPT Tahunan kepada Wajib Pajak.
3. Upaya persuasif dengan memanggil Wajib Pajak untuk memperbaiki SPT Tahunannya disertai dengan pemberian penjelasan tata cara pengisian SPT Tahunan
yang benar.
4. Terus meningkatkan kemampuan aparatur pajak dalam melaksanakan tugas membantu dan melayani Wajib Pajak untuk dapat menunaikan kewajibannya.
5. Upaya yang bersifat eksternal yaitu dengan cara berhubungan dengan dunia luar, baik wajib pajak maupun instansi-instansi yang terlibatSedikit upaya
koordiansi internal, yang diwujudkan dalam bentuk Rapat Pembinaan (rapem). Rapat Pembinaan itu sendiri ada Rapat Pembinaan I dan Rapat Pembinaan II,
Selain Rapat Pembinaan, ada juga yang disebut Pengawasan internal.
Untuk Wajib Pajak
Sementara upaya yang harus dilakukan oleh Wajib Pajak adalah dengan berpartisipasi aktif untuk mengetahui segala macam perubahan atau peraturan yang
baru/up to date. Hal ini bisa dilakukan dengan bertanya kepada pihak-pihak yang terkait, mencari, membaca, mendengarkan informasi terkait dengan
perpajakan melalui berbagai media yang ada.

 
Sekian dan Terima
Kasih 

Anda mungkin juga menyukai