Metode Gross
Cara menghitung perhitungan potongan PPh 21 dengan menggunakan metode Gross adalah
pemotongan pajak dimana karyawan yang menanggung pajak.
Bagaimana cara menghitungnya? Misalnya, berapa sih pajak yang ditanggung perusahaan
dengan gaji yang ditawarkan Rp11.000.000 per bulan untuk seorang karyawan yang berstatus
tidak kawin dan tanpa tanggungan (PTKP TK/0)?
Gaji Rp 11.000.000
Biaya Jabatan
__________________________________________ –
Hitung Penghasilan Kena Pajak (PKP): Penghasilan Neto Setahun – Pendapatan Tidak Kena
Pajak (PTKP) TK/0
Cara hitung potongan PPh 21 Terutang Setahun Pajak Progresif (Karena Rp 71.400.000 Lebih
dari Rp 50.000.000)
Metode Gross Up
Cara menghitung perhitungan potongan PPh 21 karyawan dengan metode Gross Up adalah
pemotongan pajak dimana perusahaan memberikan tunjangan pajak yang jumlahnya sama besar
dengan jumlah pajak yang dipotong dari karyawan. Metode Gross Up ini lebih rumit.
Adapun tunjangan pajak dihitung berdasarkan besarnya penghasilan kena pajak (PKP) dengan
mengikuti formula Lapisan Penghasilan Kena Pajak (PKP):
Lapisan 1 dengan Penghasilan Kena Pajak (PKP) Rp0 – Rp47.500.000 (PKP setahun – 0) x 5/95
+ 0,
Lapisan 2 dengan Penghasilan Kena Pajak (PKP) Rp47.500.000 – Rp217.500.000 (PKP setahun
– Rp47.500.000) x 15/85 + Rp2.500.000,
Lapisan 4 dengan Penghasilan Kena Pajak (PKP) Lebih dari Rp405.000.000 (PKP setahun –
Rp405.000.000) x 30/70 + Rp95.000.000.
Berikut ini cara menghitungnya dengan gaji Rp11.000.000 per bulan untuk seorang karyawan
yang berstatus tidak kawin dan tanpa tanggungan (PTKP TK/0):
Hitung Penghasilan Kena Pajak (PKP): yaitu (Penghasilan Bersih Setahun – PTKP)
Karena PKP setahun Rp 71.400.000, maka berlaku rumus lapisan kedua untuk mendapatkan
Tunjangan Pajak, yaitu PKP setahun – Rp47.500.000) x 15/85 + Rp2.500.000 =
Setelah itu, masukkan Tunjangan Pajak ke penghasilan bruto untuk menghitung perhitungan
potongan PPh 21 karyawan. Jika benar maka besarnya tunjangan pajak sama dengan potongan
PPh 21.
12 x Rp11.009.803 = Rp132.117.636
Cara Hitung Tarif Potongan PPh 21 Karyawan Setahun dengan tarif progresif:
5% x Rp50.000.000 = Rp2.500.000
Rp 6.717.645 : 12 = Rp 559.803
Karyawan atau Pekerja Harian Lepas (PHL) biasanya melakukan pekerjaan tertentu yang
sifatnya berubah terutama menyangkut waktu dan volume pekerjaan.
Untuk itu, gaji yang diberikan biasanya dihitung berdasarkan pada kehadiran karyawan per
harinya. Sehingga cara menghitung perhitungan PPh 21 juga berbeda.
Karyawan harian lepas diatur dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI No
Kep-100/Men/Vi/2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan perjanjian kerja waktu tertentu.
Kepmen ini merupakan peraturan pelaksanaan dari Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003
mengenai Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT).
Namun demikian, karyawan harian lepas ini memiliki pengecualian di beberapa ketentuan umum
PKWT.
PPh 21 karyawan harian lepas dihitung dengan dasar upah harian dan jumlah akumulasi upah
harian yang diterima karyawan lepas dalam satu bulan (masa pajak).
Menurut ketentuan PPh pasal 21, upah harian adalah upah atau imbalan yang terutang atau
dibayarkan secara harian.
Pajak penghasilan upah harian dikenakan atas jumlah penghasilan yang melebihi Rp450.000
sehari.
Setelah jumlah kumulatif upah harian melebihi Rp4.500.000, PPh pasal 21 dikenakan atas upah
harian secara penuh.
Tarif yang digunakan untuk menghitung potongan PPh 21 karyawan harian lepas adalah lapisan
pertama tarif PPh pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh, yaitu 5%.
Cara menghitung perhitungan potongan PPh 21 karyawan harian lepas dilakukan dengan
langkah-langkah berikut:
Cakra belum menikah. Pada bulan Januari 2020 dia bekerja sebagai karyawan harian di PT Kali
Besar.
Dengan memperhatikan ketentuan PPh pasal 21, penghasilan kena pajak (PKP) dengan dasar
upah yang diterima setiap hari adalah nihil.
__________________________________________________
Cakra akhirnya harus dikenakan potongan PPh 21 di hari ke 11 karyawan bekerja. Saat itu, upah
kumulatif yang sudah diterima sebesar Rp4.950.000, atau di atas ambang batas Rp4.500.000.
____________________________________________________
5% x Rp 3.300.000 Rp 165.000
Sehingga, di hari ke 11 tersebut Cakra hanya menerima upah bersih sebesar Rp285.000. Lantas
bagaimana untuk hari-hari selanjutnya?
____________________________________________________
Rp 300.000
Jadi, PPh 21 yang dipotong di hari ke 12 adalah sebesar Rp 15.000. Angka tersebut didapat dari
5% x Rp300.000. Sehingga upah bersih Cakra di hari ke 12 adalah Rp435.000.
Cara menghitung perhitungan PPh 21 dengan gaji di atas Rp450.000 per Hari
Bagaimana cara menghitung potongan PPh 21 untuk karyawan harian lepas dengan gaji di atas
Rp450.000 per hari? Misalnya, Cakra mendapatkan upah sebesar Rp650.000 per hari. Dengan
upah tersebut, Cakra dikenakan potongan PPh 21 dengan dasar upah harian:
5% x Rp 200.000 = Rp 10.000
Sehingga, gaji harian bersih yang diterima Cakra hingga hari keenam bekerja adalah Rp 640.000
(hasil dari Rp 650.000 – Rp 10.000).
Pada hari ketujuh selama bekerja di bulan Januari itu, Cakra telah menerima penghasilan sebesar
Rp 4.550.000 (7 × Rp 650.000). Gaji yang diterima telah melebihi ambang batas yaitu sebesar
Rp 4.500.000.
Langkah-langkah cara menghitung penghitungan potongan PPh 21 karyawan pada hari ketujuh
adalah sebagai berikut:
7 × Rp 650.000 = Rp 4.550.000
PTKP:
5% × Rp 3.500.000 = Rp 175.000
6 × Rp 10.000 = Rp 60.000
Cara Hitung PPh 21 yang dipotong pada hari ketujuh (langkah 4 – langkah 5):
Sehingga, gaji harian bersih yang diterima Cakra pada hari ketujuh hanya sebesar Rp 535.000
yang didapat dari Rp 650.000 – Rp 115.000.
Pada hari kerja kedelapan dan seterusnya dalam bulan kalender yang bersangkutan, pemotongan
harian dilakukan dengan tahap-tahap penghitungan berikut:
PTKP harian:
5% × Rp 500.000 = Rp 25.000
Dengan demikian, upah bersih yang diterima Cakra pada hari kerja kedelapan dan seterusnya
selama masa pajak Januari adalah Rp 625.000 yang didapat dari Rp 650.000 – Rp 25.000.
Perusahaan tidak perlu menambah karyawan baru, hanya menambah jam kerja karyawan yang
sudah ada.
Kalau dilihat dari sisi kepentingan perusahaan, overtime atau kerja lembur bisa diasumsikan
sebagai upaya untuk meningkatkan produktivitas.
Pertimbangannya adalah perusahaan tidak perlu menambah karyawan baru, hanya cukup
menambah jam kerja karyawan yang sudah ada.
Setiap perintah kerja lembur tentu harus mengikuti ketentuan. Aturannya ada dalam Undang
Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Pada Pasal 78 Ayat (1) huruf a menyatakan bahwa pengusaha yang mempekerjakan karyawan
melebihi standar waktu kerja maka harus memenuhi syarat, yaitu ada persetujuan karyawan yang
bersangkutan untuk mau kerja lembur.
Karyawan wajib mendapatkan tambahan upah yg di sebut upah lembur . Ketentuan tentang
waktu kerja lembur dan upah lembur diatur dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan pasal 78 ayat 2 dan 4 dan pasal 85.
Uang lembur yang diterima pekerja adalah termasuk penghasilan teratur yang diberikan secara
periodik berdasar ketentuan yang ditetapkan oleh pengusaha. Uang lembur dihitung dengan
mengalikan tambahan jam kerja dengan tarif uang lembur yang ditetapkan pemberi kerja.
Walaupun ditambahkan ke dalam gaji pekerja, upah lembur juga dikenakan pajak penghasilan
atau PPh 21 Uang Lembur.
Cara menghitung perhitungan potongan PPh 21 pajak penghasilanatas uang lembur karyawan
tidak jauh berbeda karena dasar hukumnya tetap mengacu Peraturan Direktur Jenderal
(Perdirjen) Pajak Nomor PER-32/PJ/2015 yang diperbarui menjadi Peraturan Dirjen Pajak
Nomor: PER-16/PJ/2016 tentang Tarif Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP).
Pada bulan Januari 2020, Rani mendapatkan uang lembur sebesar Rp2.000.000. Berapa PPh
pasal 21 yang harus dia bayar?
12 x Rp 9.950.000 = Rp 119.400.000
Langkah 6 – Hitung Penghasilan Kena Pajak Setahun yaitu Gaji Bersih Setahun –
Penghasilan Tidak Kena Pajak
5% x Rp 50.000.000 = Rp 2.500.000
Jadi PPh pasal 21 yang harus Rani bayar di bulan Januari 2020 adalah Rp 344.583.
Cara Menghitung Perhitungan Pajak Penghasilan PPh 21 Kenaikan Gaji
Karyawan
Cara perhitungan pajak penghasilan akan berbeda ketika sebuah perusahaan memberikan
kenaikan gaji kepada karyawannya
Pertimbangan lainnya juga jatuh kepada metode yang digunakan perusahaan dalam perhitungan
PPh 21 kenaikan gaji yaitu surut (retrospektif) dan prospektif atau tidak surut.
Sebagai departemen HRD, Anda harus cermat memperhatikan penghitungan karena ada
kemungkinan besar pajak yang dipotong dan dibayarkan mengalami penambahan untuk masa
pajak setelah kenaikan gaji.
Sementara itu, bagi para karyawan yang baru saja mengalami kenaikan gaji, ada baiknya Anda
juga menyimak penghitungan ini untuk mengetahui proses distribusi gaji secara transparan.
Sebagai informasi, untuk kenaikan gaji yang berlaku surut (retrospektif), penghasilan selama
beberapa bulan sebelumnya akan diakumulasikan. Sistem ini disebut rapel.
Sebagai contoh, kenaikan gaji ditetapkan pada bulan Agustus dan berlaku surut dari Januari.
Kemudian, pada bulan Agustus, karyawan akan menerima akumulasi kenaikan gaji (rapel) tujuh
bulan sebelumnya dan gaji baru yang sudah naik.
Agar lebih jelas cara menghitung perhitungan potongan PPh 21 atas rapel kenaikan gaji
karyawan, dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:
1. Jumlah rapel dibagi dengan jumlah bulan perolehan rapel (contoh: 7 bulan).
2. Jumlah rapel per bulan harus sama dengan jumlah naik gaji yang ditetapkan. Contoh, gaji
ditetapkan naik Rp 1.000.000 pada bulan Agustus dan berlaku surut dari Januari. Rapel
yang diterima di bulan Agustus adalah Rp 7.000.000. Jumlah rapel yang dibagikan 7
bulan (Januari – Juli), hasilnya harus sama dengan besar kenaikan gaji, yaitu Rp
1.000.000.
3. Hasil pembagian rapel tersebut ditambahkan pada gaji setiap bulan sebelum kenaikan
gaji.
4. Hitung PPh 21 atas gaji untuk bulan-bulan sebelumnya dihitung kembali atas dasar gaji
baru setelah ada kenaikan.
5. Hitung PPh 21 atas kenaikan gaji untuk beberapa bulan sebelum ditetapkannya kenaikan
adalah selisih antara jumlah pajak yang memperhitungkan kenaikan gaji dengan jumlah
pajak yang sudah dipotong pada bulan-bulan yang sama.
Gaji Rp 6.750.000
__________________________________________ –
Cara hitung Penghasilan Kena Pajak (PKP): Penghasilan Neto Setahun – Pendapatan
Tidak Kena Pajak (PTKP) K/0 : Rp 74.550.000 – Rp 58.500.000 = Rp 16.050.000
Sementara itu, di bulan Agustus Budi mendapatkan kenaikan gaji sebesar Rp1.000.000 menjadi
Rp7.750.000.
Dengan adanya kenaikan gaji yang berlaku surut tersebut maka Budi menerima rapel sejumlah
Rp7.000.000 (selisih gaji yang seharusnya diterima untuk masa Januari – Agustus 2019).
__________________________________________ –
Penghasilan Neto Sebulan Rp 7.162.500
Cara hitung Penghasilan Kena Pajak (PKP): Penghasilan Neto Setahun – Pendapatan
Tidak Kena Pajak (PTKP) K/0 : Rp85.950.000 – Rp58.500.000 = Rp27.450.000
Sehingga jumlah Rp332.500 ditambahkan dengan perhitungan PPh 21 untuk bulan Agustus yaitu
sebesar Rp114.375 untuk kemudian dipotongkan terhadap gaji Budi di bulan itu ketika terjadi
kenaikan gaji dan penerimaan rapel. Sehingga gaji yang didapat Budi setelah kenaikan gaji
adalah Rp7.750.000 – Rp332.500 – Rp114.375 = Rp7.303.125.
Menghitung Pajak Penghasilan orang pribadi Bukan Pegawai atau PPh 21 Bukan Pegawai sangat
berbeda tetapi tidak terlalu sulit
Alasannya adalah, penghasilan yang diperoleh orang pribadi Bukan Pegawai merupakan imbalan
jasa yang dilakukan berdasarkan perintah atau permintaan dari pemberi penghasilan.
Singkatnya adalah imbalan kepada Bukan Pegawai adalah penghasilan yang terutang atau
diberikan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan yang dilakukan.
Contoh penghasilan yang diterima orang pribadi Bukan Pegawai adalah honorarium, komisi, dan
fee.
Adapun jenis pekerjaannya seperti pengajar, notaris, pengacara, dokter, hingga distributor
perusahaan MLM (Multi Level Marketing).
Pajak jenis ini dihitung dengan menerapkan tarif pasal 17 ayat (1) huruf a Undang Undang PPh
atas jumlah kumulatif penghasilan kena pajak dalam tahun kalender yang bersangkutan.
Besarnya penghasilan kena pajak adalah sebesar 50% dari jumlah penghasilan bruto dikurangi
PTKP per bulan.
Di dalam aturan tersebut, ketentuan potongan PPh 21 karyawan Bukan Pegawai membedakan
imbalan kepada Bukan Pegawai dalam dua kategori. Pertama adalah yang bersifat
berkesinambungan dan kedua adalah tidak berkesinambungan.
Berkesinambungan berarti imbalan yang dibayar atau terutang lebih dari satu kali dalam satu
tahun kalender.
Sedangkan Tidak Berkesinambungan adalah imbalan yang dibayar atau terutang hanya satu kali
saja dalam setahun kalender.
Sementara itu, dalam SPT PPh Bukan Pegawai dapat dicek pada formulir 1721-VI Bukti Potong
Tidak Final. P
Sementara itu, imbalan untuk jenis pekerjaan yang termasuk bukan pegawai akan menerima
pengurangan berupa PTKP sepanjang yang bersangkutan mempunyai NPWP dan hanya
memperoleh penghasilan dari hubungan kerja dengan satu pemotong PPh 21 dan 26 serta
memperoleh penghasilan lainnya.
Agar dapat mendapatkan pengurangan berupa PTKP, penerima penghasilan bukan pegawai laki-
laki harus menyerahkan fotokopi kartu NPWP, dan bagi wanita kawin harus menyerahkan
fotokopi kartu NPWP suami serta fotokopi surat nikah dan KK.
Sedangkan bagi penerima penghasilan Bukan Pegawai yang tidak memiliki NPWP maka
dikenakan tarif 120% lebih tinggi.
Ada tiga cara menghitung perhitungan potongan PPh 21 Bukan Karyawan atau Pegawai, yaitu:
Berapa PPh 21 yang harus dibayar Delima yang sudah memiliki NPWP?
Besarnya PPh 21 terutang dengan NPWP: (50% x Penghasilan Bruto) x Tarif Pasal 17
Pajak Penghasilan atau PPh21. Pegawai tdk tetap memiliki perhitungan pajak tersendiri
Skema penghitungannya mirip dengan PPh 21 Pegawai Harian Lepas. Lantas bagaimana
caranya?
Sebelum melangkah lebih jauh, kenali dulu apa yang dimaksud dengan Pegawai tidak tetap.
Pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas adalah pegawai yang hanya menerima penghasilan
jika bekerja berdasarkan jumlah hari bekerja, jumlah unit pekerjaan yang dihasilkan, atau
menyelesaikan suatu jenis pekerjaan yang diminta oleh pemberi kerja.
Istilah yang digunakan bagi penghasilan pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas adalah
imbalan atau upah harian, mingguan, atau upah borongan. Sementara itu, upah satuan yang
diterima pegawai tidak tetap adalah upah atau imbalan yang dibayarkan berdasarkan jumlah unit
output pekerjaan yang dihasilkan.
Dasar aturan PPh 21 Pegawai Tidak Tetap adalah Peraturan Menteri Keuangan RI Nomor 102/
PMK.010/2016 tentang Penetapan Bagian Penghasilan Sehubungan dengan Pekerjaan dari
Pegawai Harian dan Mingguan serta Pegawai Tidak Tetap Lainnya yang Tidak Dikenakan
Pemotongan Pajak Penghasilan.
Tidak dilakukan pemotongan PPh 21 jika penghasilan sehari belum melebihi Rp 300.000,
Dilakukan pemotongan PPh 21 jika penghasilan sehari sebesar atau melebihi Rp 450.000
merupakan jumlah yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto,
Bila pegawai tidak tetap memperoleh penghasilan kumulatif dalam 1 bulan kalender
melebihi Rp 4.500.000, maka jumlah tersebut dapat dikurangkan dari penghasilan bruto,
Rata-rata penghasilan sehari adalah rata-rata upah mingguan, upah satuan, atau upah
borongan untuk setiap hari kerja yang digunakan,
PTKP sebenarnya adalah untuk jumlah hari kerja yang sebenarnya,
PTKP sehari sebagai dasar untuk menetapkan PTKP yang sebenarnya adalah sebesar
PTKP per tahun Rp 54.000.000 dibagi 360 hari,
Bila pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas tersebut mengikuti program jaminan atau
tunjangan hari tua, maka iuran yang dibayar sendiri dapat dikurangkan dari penghasilan
bruto.
Potongan PPh 21 Pegawai atau karyawan Tidak Tetap atau tenaga kerja lepas yang
penghasilannya kurang dari Rp 450.000 per hari tidak dikenakan pemotongan
penghasilan,
Ketentuan penghasilan tidak kena pajak tidak berlaku jika:
Contoh Soal Menghitung Potongan Pajak Penghasilan PPh 21 Pegawai Atau Karyawan
Tidak Tetap
Marini adalah seorang pegawai tidak tetap yang bekerja sebagai pembuat guci keramik di PT
Keramik Anti Pecah. Gaji yang dibayar dihitung dari jumlah guci keramik yang diselesaikan.
Jumlah bayarannya sebesar Rp100.000 per guci keramik dan dibayarkan tiap minggu.
Dalam waktu 1 minggu (6 hari kerja) dihasilkan 30 guci keramik dengan upah sebesar
Rp3.000.000
Berapa PPh 21 upah satuan Marini yang diterima mingguan?
1. Upah sehari berjumlah Rp 500.000 (Rp 3.000.000 : 6 hari). Sesuai ketentuan, jumlah
upah sebesar Rp 500.000 lebih besar ketimbang ambang batas maksimal Rp 450.000
yang tidak dipotong pajak.
2. Kelebihan kena pajak adalah Rp 500.000 – Rp 450.000 = Rp 50.000
3. Upah seminggu yang terutang pajak adalah Rp 50.000 x 6 = Rp 300.000
4. Cara Hitung PPh 21 yang dipotong mingguan adalah 5% x Rp 300.000 = Rp 15.000.
Ketika melamar ke kantor baru dan sampai ke tahap penandatanganan kontrak, departemen HR
pasti akan menanyakanNPWP.
Menurut Direktur Jenderal Pajak (DJP) NPWP adalah nomor yang diberikan kepada Wajib Pajak
atau pembayar pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan, berfungsi sebagai identitas
Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan kewajibannya.
NPWP diberikan kepada Wajib Pajak yang sudah memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan di
dalam Undang Undang Perpajakan dan tidak akan berubah meskipun Wajib Pajak berpindah
domisili.
Selama ini, NPWP selalu digunakan untuk persyaratan administrasi; membuka rekening bank,
mengajukan kartu kredit, menjual tanah dan juga keperluan lainnya.
Namun, NPWP juga memiliki peran penting dalam proses penghitungan NPWP, maka itu
pastikan Anda sudah memiliki NPWP atau membuat baru sesegera mungkin apabila belum ada.
Tarif yang dikenakan bagi Penghasilan Kena Pajak (PKP) yang diberikan oleh pemberi gaji akan
lebih besar dibandingkan dengan Wajib Pajak yang sudah memiliki NPWP.
Agar lebih jelas, berikut adalah contoh soal cara menghitung perhitungan potongan PPh 21
karyawan.
Gaji Rp 11.000.000
Biaya Jabatan
__________________________________________ –
Hitung Penghasilan Kena Pajak (PKP): Penghasilan Neto Setahun – Pendapatan Tidak Kena
Pajak (PTKP) TK/0
Cara Hitung PPh 21 Terutang Setahun Pajak Progresif (Karena Rp 71.400.000 Lebih dari Rp
50.000.000)
Kepemilikan NPWP penting untuk seluruh pekerja, karena hal tersebut membantu mereka dari
pembayaran pajak yang jauh lebih tinggi.
Setiap pekerja yang tidak memiliki NPWP dibebankan pajak sebesar 120%.
Berikut penjelasannya!
Karyawan Indonesia memiliki pendapatan tambahan yang biasa diberikan setahun sekali
bernama (THR).
Menariknya, THR ini hanya ada di Indonesia dan rutin diberikan perayaan hari besar keagamaan,
seperti Idul Fitri dan Natal.
THR pertama kali diperkenalkan di Indonesia pada era kabinet Soekirman Wirjosandjojo pada
1950-an.
Jafar Suryomenggolo dalam bukunya “Politik Perburuhan Era Demokrasi Liberal 1950-an”
menjelaskan bahwa THR muncul sebagai akibat kemiskinan absolut yang dialami oleh kaum
buruh pada era tersebut.
Latar belakangnya, para buruh melakukan mogok kerja dan menuntut diberikannya THR untuk
semua pekerja di Indonesia pada 13 Februari 1952.
Sampai ke pengaturan THR saat ini yang diakomodir dalam kerangka peraturan perundang-
undangan ketenagakerjaan yang terdiri dari:
Menurut Pasal 1 Permenaker Nomor 6 Tahun 2016, THR adalah pendapatan non-upah yang
wajib dibayarkan oleh Pengusaha (Perusahaan).
Jika perusahaan terlambat membayarkan THR karyawan ,maka akan dikenakan denda sebesar 5
persen dari total THR yang harus dibayar sejak berakhirnya batas waktu kewajiban Pengusaha
untuk membayar atau tujuh hari sebelum hari raya keagamaan.
Jika Pengusaha tidak membayarkan THR, maka sanksi yang diberikan dapat berupa: teguran
tertulis, dan pembekuan kegiatan usaha, pembatasan kegiatan usaha, penghentian sementara
sebagian atau seluruh alat produksi.
Terdapat pula ketentuan mengenai besaran THR yang wajib dibayarkan, yakni:
1. Untuk karyawan yang bekerja terus-menerus selama 12 bulan, maka berhak atas THR
dengan besaran minimal 1 kali upah;
2. Sementara karyawan yang bekerja lebih dari 1 bulan secara terus-menerus tetapi belum
mencapai 12 bulan, maka THR yang dibayarkan adalah dengan perhitungan proporsional.
Istilah bonus sendiri memang sudah tercantum dalam Peraturan Pemerintah (PP) tentang
Pengupahan, tetapi pengertiannya tidak dijabarkan secara lebih lanjut dan lebih jelas.
Bonus hanya di artikan sebagai salah satu jenis pendapatan non-upah selain THR
Aturan mengenai bonus juga diatur dalam Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja Nomor SE-
07/MEN/1990 Tahun 1990 tentang pengelompokan komponen upah dan Pendapatan Non Upah.
Dalam surat edaran tersebut menyebutkan bahwa bonus bukan termasuk bagian dari upah,
melainkan pembayaran yang diterima pekerja dari hasil keuntungan perusahaan atau karena
pekerja menghasilkan hasil kerja lebih besar dari target produksi yang normal atau karena
peningkatan produktivitas.
Peraturan mengenai besaran bonus yang wajib perusahaan bayarkan tidak diatur lebih lanjut
dalam peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan.
Jika merujuk pada Pasal 71 ayat (1) Undang Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas yang menyebutkan bahwa :
“Penggunaan laba bersih termasuk penentuan jumlah penyisihan untuk cadangan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 70 ayat (1) diputuskan oleh RUPS” dan penjelasan pasal tersebut yang
berbunyi “Berdasarkan keputusan RUPS tersebut dapat ditetapkan sebagian atau seluruh laba
bersih digunakan untuk pembagian dividen kepada pemegang saham, cadangan, dan/atau
pembagian lain seperti tantiem (tantieme) untuk anggota Direksi dan Dewan Komisaris, serta
bonus untuk karyawan.”
Perhitungan mengenai bonus pun juga masih belum diatur dalam kerangka hukum
ketenagakerjaan hingga saat ini. Pasal 8 Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2018 tentang
Pengupahan jo. Angka 2 huruf b Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja Nomor SE-07/MEN/1990
tentang Pengelompokan Komponen Upah dan Pendapatan Non Upah menyebutkan bahwa
penentuan besaran bonus ada pada masing-masing perusahaan.
Oleh karena itu, penentuan perhitungan bonus karyawan didasarkan pada best practices setiap
dan pasar tenaga kerja.
Sebelumnya, perlu diketahui terlebih dahulu bahwa pada sistem perpajakan di Indonesia,
khususnya pajak penghasilan dikenal dalam dua tipe.
Pertama adalah pajak atas penghasilan yang bersifat teratur dan kedua adalah pajak atas
penghasilan yang sifatnya tidak teratur.
Dasar pengenaan pajak atas penghasilan tidak teratur tersebut ada pada Pasal 4 ayat (1) huruf a
UU No. 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1983
tentang Pajak Penghasilan, yang menyebutkan bahwa objek pajak penghasilan adalah setiap
tambahan kemampuan ekonomis yang diterima wajib pajak.
Ketentuan yang lebih eksplisit juga dapat ditemukan pada Pasal 14 ayat (3) Peraturan Direktur
Jenderal Pajak Nomor: PER–31/PJ/2012 tentang Pedoman Teknis Tata Cara Pemotongan,
Penyetoran Dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pajak Penghasilan Pasal 26
Sehubungan Dengan Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang Pribadi.
Sebagai gambaran, berikut adalah contoh kasus penghitungan pajak penghasilan tidak teratur.
Contoh cara menghitungpajak thr perbulan karyawan bernama Imam yang sudah bekerja di PT
Cahaya Bersinar selama 10 tahun.
Gaji setiap bulan yang diterimanya adalah sebesar Rp8.000.000. Status Imam sekarang sudah
berkeluarga tetapi belum memiliki anak.
Jadi PPh terutang Imam adalah sebesar Rp 1.665.000 per tahun atau Rp 136.250 per bulan.
Sementara, normalnya THR diperoleh satu kali dalam jangka waktu satu tahun, sehingga
perhitungan PPh-nya tidak perlu disetahunkan.
Namun, jika THR atau bonus ternyata dibayarkan lebih dari satu kali dalam satu periode pajak,
maka total penghasilan neto atas penghasilan tidak teratur tersebut tetap harus disetahunkan.
Tenaga kerja asing baik buruh maupun staf manajerial menjadi suatu kebutuhan perusahaan yang
terkadang tak terelakkan. Hal ini tentu berdasarkan kebutuhan bisnis dari perusahaan tersebut.
Sebagai tenaga kerja, gaji yang diterima tenaga kerja asing tetap akan dikenai pajak penghasilan
(PPh 21) Warga Negara Asing.
Ini diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak (DJP) Nomor Per-43/PJ/2011 tentang
Penentuan Subjek Pajak Dalam Negeri (SPDN) dan Subjek Pajak Luar Negeri (SPLN). Berikut
ini rinciannya.
Orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia, atau berada di Indonesia lebih dari
183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau
dalam suatu Tahun Pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat
tinggal di Indonesia,
Badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia,
Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak.
Pada dasarnya, Warga Negara Asing termasuk SPLN. Namun, saat WNA telah memenuhi
kriteria pertama di atas hingga menjadi SPDN, maka secara otomatis WNA tersebut akan
dikenakan PPh Pasal 21 dan bukan lagi PPh Pasal 26.
SPDN ditetapkan sebagai Wajib Pajak karena memperoleh penghasilan yang bersumber dari
Indonesia, yang dibayarkan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia. Penghasilannya pun sudah
melampaui Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) yaitu Rp 54 juta.
Selanjutnya, kewajiban perpajakan WNA yang telah menjadi SPDN dapat mengacu pada
ketentuan perpajakan di Indonesia tentang Pajak Penghasilan orang pribadi.
Hanya saja, catatan penting untuk diperhatikan saat perhitungan potongan PPh 21 Karyawan
WNA, terutama bagi WNA yang bekerja mulai pertengahan tahun, penghitungan PPh Pasal 21-
nya harus disetahunkan.
contoh soal
Tom Hanks adalah seorang pria lajang dengan kewarganegaraan Amerika Serikat. Ia mulai
bekerja di negara Indonesia yaitu di PT Mobil Bekas Sejahtera pada 1 September 2019. Di
perusahaan tersebut, ia mendapat gaji Rp 19.000.000. Berapa pajak penghasilan PPh pasal 21
yang harus Tom bayarkan?
___________________________________________________________________-
Pengurangan:
___________________________________________________________________-
_______________________________________+
Rp 20.200.000