Anda di halaman 1dari 23

Contoh soal perpajakan

Metode Gross

Cara menghitung perhitungan potongan PPh 21 dengan menggunakan metode Gross adalah
pemotongan pajak dimana karyawan yang menanggung pajak.

Bagaimana cara menghitungnya? Misalnya, berapa sih pajak yang ditanggung perusahaan
dengan gaji yang ditawarkan Rp11.000.000 per bulan untuk seorang karyawan yang berstatus
tidak kawin dan tanpa tanggungan (PTKP TK/0)?

Hitung Penghasilan Neto: Pendapatan Bruto – Biaya Jabatan =

Gaji                                                  Rp     11.000.000

Biaya Jabatan

5% x Gaji:                                        Rp          550.000

__________________________________________ –

Penghasilan Neto Sebulan           Rp     10.450.000

Penghasilan Neto Setahun           Rp   125.400.000

Hitung Penghasilan Kena Pajak (PKP): Penghasilan Neto Setahun – Pendapatan Tidak Kena
Pajak (PTKP) TK/0

Rp 125.400.000 – Rp 54.000.000 =  Rp 71.400.000

Cara hitung potongan PPh 21 Terutang Setahun Pajak Progresif (Karena Rp 71.400.000 Lebih
dari Rp 50.000.000)

(5% x 50.000.000 = Rp 2.500.000) + (15% x 21.400.000 = Rp 3.210.000) = Rp 5.710.000.

Cara hitung potongan PPh 21 Karyawan Terutang Sebulan: Rp 5.710.000 : 12 = Rp 475.833

Metode Gross Up

Cara menghitung perhitungan potongan PPh 21 karyawan dengan metode Gross Up adalah
pemotongan pajak dimana perusahaan memberikan tunjangan pajak yang jumlahnya sama besar
dengan jumlah pajak yang dipotong dari karyawan. Metode Gross Up ini lebih rumit.
Adapun tunjangan pajak dihitung berdasarkan besarnya penghasilan kena pajak (PKP) dengan
mengikuti formula Lapisan Penghasilan Kena Pajak (PKP):

Lapisan 1 dengan Penghasilan Kena Pajak (PKP) Rp0 – Rp47.500.000 (PKP setahun – 0) x 5/95
+ 0,

Lapisan 2 dengan Penghasilan Kena Pajak (PKP) Rp47.500.000 – Rp217.500.000 (PKP setahun
– Rp47.500.000) x 15/85 + Rp2.500.000,

Lapisan 3 dengan Penghasilan Kena Pajak (PKP) Rp217.500.000 – Rp405.000.000 (PKP


setahun – Rp217.500.000) x 25/75 + Rp32.500.000,

Lapisan 4 dengan Penghasilan Kena Pajak (PKP) Lebih dari Rp405.000.000 (PKP setahun –
Rp405.000.000) x 30/70 + Rp95.000.000.

Berikut ini cara menghitungnya dengan gaji Rp11.000.000 per bulan untuk seorang karyawan
yang berstatus tidak kawin dan tanpa tanggungan (PTKP TK/0):

Hitungan gaji pokok setahun: 12 x Rp11.000.000 = Rp132.000.000

Hitung Penghasilan Bersih Setahun: Gaji Pokok Setahun – Pengurang

Pengurang didapat dari biaya jabatan setahun yaitu 12 x 5% x Rp11.000.000 = Rp6.600.000.


Sehingga  Penghasilan bersih setahun adalah Rp132.000.000 – Rp6.600.000 = Rp125.400.000

Hitung Penghasilan Kena Pajak (PKP): yaitu (Penghasilan Bersih Setahun – PTKP)

Rp125.400.000 – Rp54.000.000 = Rp71.400.000

Karena PKP setahun Rp 71.400.000, maka berlaku rumus lapisan kedua untuk mendapatkan
Tunjangan Pajak, yaitu PKP setahun – Rp47.500.000) x 15/85 + Rp2.500.000 =

Rp71.400.000 – Rp47.500.000 x 15/85 + Rp2.500.000 = Rp6.717.647

Hitung Tunjangan Pajak Sebulan Rp6.717.647 : 12= Rp559.803

Setelah itu, masukkan Tunjangan Pajak ke penghasilan bruto untuk menghitung perhitungan
potongan PPh 21 karyawan. Jika benar maka besarnya tunjangan pajak sama dengan potongan
PPh 21.

Hitung Gaji Pokok: Gaji Pokok + Tunjangan PPh 21

Rp11.000.000 + Rp559.803 = Rp11.559.803

Hitung Penghasilan Bersih: Gaji Pokok – Biaya Jabatan =


Biaya jabatan: 5% x Rp11.000.000 = Rp550.000 —>

Rp11.559.803 – Rp 550.000 = Rp11.009.803

Hitung Penghasilan Bersih Setahun: 

12 x Rp11.009.803 = Rp132.117.636

Hitung Penghasilan Kena Pajak: Penghasilan Bersih Setahun – PTKP =

Rp132.117.636 – Rp54.000.000 = Rp78.117.636

Cara Hitung Tarif Potongan PPh 21 Karyawan Setahun dengan tarif progresif:

5% x Rp50.000.000 = Rp2.500.000

15% x Rp28.117.636 = Rp4.217.645

(Rp2.500.000 + Rp4.217.645 =  Rp6.717.645)

Cara Hitung Tarif Potongan PPh 21 Karyawan Dalam Sebulan:

Rp 6.717.645 : 12 =  Rp 559.803

Contoh Cara Menghitung Perhitungan Pajak Penghasilan


PPh 21 Karyawan dari Berbagai Macam Gaji
Sebagai berikut.

Cara Menghitung Perhitungan Potongan PPh 21 Karyawan Harian Lepas

Karyawan atau Pekerja Harian Lepas (PHL) biasanya melakukan pekerjaan tertentu yang
sifatnya berubah terutama menyangkut waktu dan volume pekerjaan.

Untuk itu, gaji yang diberikan biasanya dihitung berdasarkan pada kehadiran karyawan per
harinya. Sehingga cara menghitung perhitungan PPh 21 juga berbeda.

Dasar Aturan Karyawan Harian Lepas

Karyawan harian lepas diatur dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI No
Kep-100/Men/Vi/2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan perjanjian kerja waktu tertentu.

Kepmen ini merupakan peraturan pelaksanaan dari Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003
mengenai Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT).
Namun demikian, karyawan harian lepas ini memiliki pengecualian di beberapa ketentuan umum
PKWT.

Adapun beberapa syarat perjanjian kerja harian lepas antara lain:

1. Perjanjian Kerja Harian Lepas dilaksanakan untuk pekerjaan-pekerjaan tertentu yang


berubah-ubah dalam hal waktu dan volume pekerjaan serta upah didasarkan pada
kehadiran,
2. Perjanjian kerja harian lepas dilakukan dengan ketentuan pekerja/buruh bekerja kurang
dari 21 (dua puluh satu) hari dalam satu bulan,
3. Dalam hal pekerja/buruh bekerja 21 (dua puluh satu) hari atau lebih selama 3 (tiga) bulan
berturut-turut atau lebih maka perjanjian kerja harian lepas berubah menjadi PKWTT.

Cara Menghitung Perhitungan Potongan PPh 21 Karyawan Harian Lepas 

PPh 21 karyawan harian lepas dihitung dengan dasar upah harian dan jumlah akumulasi upah
harian yang diterima karyawan lepas dalam satu bulan (masa pajak).

Menurut ketentuan PPh pasal 21, upah harian adalah upah atau imbalan yang terutang atau
dibayarkan secara harian.

Penerimanya adalah karyawan tidak tetap atau lepas.

Pajak penghasilan upah harian dikenakan atas jumlah penghasilan yang melebihi Rp450.000
sehari.

Setelah jumlah kumulatif upah harian melebihi Rp4.500.000, PPh pasal 21 dikenakan atas upah
harian secara penuh.

Tarif yang digunakan untuk menghitung potongan PPh 21 karyawan harian lepas adalah lapisan
pertama tarif PPh pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh, yaitu 5%.

Berikut adalah penjelasannya lebih lanjut.

Tarif dan Dasar Pengenaan


Penghasilan 1 Hari Penghasilan Kumulatif 1 bulan
Pajak (DPP)
< Rp 450.000 < Rp 4.500.000 Tidak Dikenakan PPh 21
> Rp 450.000 < Rp 4.500.000 5% x (Upah – Rp 450.000)
< Rp 450.000 > Rp 4.500.000 5% x {Upah – (PTKP/360)}
> Rp 450.000 > Rp 4.500.000 5% {Upah – (PTKP/360)}
Tarif pada undang-undang
< Rp 450.000 > Rp 10.200.000 pajak penghasilan pasal 17 ayat
(1) huruf (a)
 

Metode Cara Menghitung Perhitungan PPh 21 Karyawan Harian Lepas

Cara menghitung perhitungan potongan PPh 21 karyawan harian lepas dilakukan dengan
langkah-langkah berikut:

1. Tentukan besarnya upah harian yang diterima seorang karyawan lepas,


2. Apabila upah harian belum melebihi Rp 450.000 dan jumlah kumulatifnya dalam satu
bulan kalender belum melebihi Rp 4.500.000, tidak ada pemotongan PPh pasal 21,
3. Jika upah harian telah melebihi Rp 450.000 dan jumlah kumulatifnya dalam bulan
kalender belum melebihi Rp 4.500.000, PPh pasal 21 adalah upah harian setelah
dikurangi Rp 450.000 dikalikan 5%,
4. Jika jumlah upah kumulatif dalam bulan kalender telah melebihi Rp 4.500.000 dan
kurang dari Rp 10.200.000, PPh 21 adalah upah harian setelah dikurangi PTKP sehari,
dikalikan 5%,
5. Jika upah kumulatif dalam satu bulan kalender telah melebihi Rp 10.200.000, PPh 21
dihitung dengan menerapkan tarif pasal 17 atas jumlah upah bruto satu bulan yang
disetahunkan dikurangi PTKP. PPh pasal 21 yang harus dipotong adalah PPh Pasal 21
hasil perhitungan tersebut dibagi 12.

Contoh soal pph pasal 21 dan jawabannya :

Cakra belum menikah. Pada bulan Januari 2020 dia bekerja sebagai karyawan harian di PT Kali
Besar.

Upah harian yang diberikan sebesar Rp 450.000 per hari.

Dengan memperhatikan ketentuan PPh pasal 21, penghasilan kena pajak (PKP) dengan dasar
upah yang diterima setiap hari adalah nihil.

Upah Sehari                                                      Rp 450.000

Batas Upah Harian Tidak Dipotong PPh   Rp 450.000

__________________________________________________

Penghasilan Kena Pajak                                 Rp    –

Cakra akhirnya harus dikenakan potongan PPh 21 di hari ke 11 karyawan bekerja. Saat itu, upah
kumulatif yang sudah diterima sebesar Rp4.950.000, atau di atas ambang batas Rp4.500.000.

Upah Selama 11 Hari                                      Rp 4.950.000

Pendapatan Tidak Kena Pajak (PTKP)


11 x (Rp 54.000.000: 360)                           Rp 1.650.000

____________________________________________________

Pendapatan Kena Pajak 11 Hari                  Rp 3.300.000

Cara Hitung Potongan PPh 21 Karyawan Terutang untuk 11 Hari

5% x Rp 3.300.000                                        Rp   165.000

Sehingga, di hari ke 11 tersebut Cakra hanya menerima upah bersih sebesar Rp285.000. Lantas
bagaimana untuk hari-hari selanjutnya?

Misalnya untuk hari ke 12, maka perhitungannya:

Upah Harian                                                   Rp   450.000

PTKP Sehari (Rp 54.000.000 : 360)         Rp   150.000

____________________________________________________

Rp   300.000

Jadi, PPh 21 yang dipotong di hari ke 12 adalah sebesar Rp 15.000. Angka tersebut didapat dari
5% x Rp300.000. Sehingga upah bersih Cakra di hari ke 12 adalah Rp435.000.

Contoh soal pph pasal 21 dan jawabannya :

Cara menghitung perhitungan PPh 21 dengan gaji di atas Rp450.000 per Hari

Bagaimana cara menghitung potongan PPh 21 untuk karyawan harian lepas dengan gaji di atas
Rp450.000 per hari? Misalnya, Cakra mendapatkan upah sebesar Rp650.000 per hari. Dengan
upah tersebut, Cakra dikenakan potongan PPh 21 dengan dasar upah harian:

Dasar Perhitungan PPh Upah Harian:

Rp 650.000 – Rp 450.000 = Rp 200.000

Cara Hitung PPh 21 Terutang:

5% x Rp 200.000 = Rp 10.000

Sehingga, gaji harian bersih yang diterima Cakra hingga hari keenam bekerja adalah Rp 640.000
(hasil dari Rp 650.000 – Rp 10.000).
Pada hari ketujuh selama bekerja di bulan Januari itu, Cakra telah menerima penghasilan sebesar
Rp 4.550.000 (7 × Rp 650.000). Gaji yang diterima telah melebihi ambang batas yaitu sebesar
Rp 4.500.000.

Langkah-langkah cara menghitung penghitungan potongan PPh 21 karyawan pada hari ketujuh
adalah sebagai berikut:

Upah harian selama 7 hari pertama:

7 × Rp 650.000 = Rp 4.550.000

PTKP:

7 × (Rp 54.000.000 : 360) = Rp 1.050.000

PKP (langkah 1 – langkah 2):

Rp 4.550.000 – Rp 1.050.000 = Rp 3.500.000

Penerapan tarif PPh:

5% × Rp 3.500.000 = Rp 175.000

PPh pasal 21 yang sudah dipotong selama 6 hari pertama:

6 × Rp 10.000 = Rp 60.000

Cara Hitung PPh 21 yang dipotong pada hari ketujuh (langkah 4 – langkah 5):

Rp 175.000 – Rp 60.000 = Rp 115.000

Sehingga, gaji harian bersih yang diterima Cakra pada hari ketujuh hanya sebesar Rp 535.000
yang didapat dari Rp 650.000 – Rp 115.000.

Pada hari kerja kedelapan dan seterusnya dalam bulan kalender yang bersangkutan, pemotongan
harian dilakukan dengan tahap-tahap penghitungan berikut:

Upah harian: Rp 650.000

PTKP harian:

Rp 54.000.000 : 360 = Rp 150.000

PKP (tahap 1 – tahap 2):

Rp 650.000 – Rp 150.000 = Rp 500.000


Cara Hitung PPh 21 terutang:

5% × Rp 500.000 = Rp 25.000

Dengan demikian, upah bersih yang diterima Cakra pada hari kerja kedelapan dan seterusnya
selama masa pajak Januari adalah Rp 625.000 yang didapat dari Rp 650.000 – Rp 25.000.

Cara Menghitung Perhitungan Potongan Pajak Penghasilan PPh 21 Uang


Lembur Karyawan

Dari sudut pandang perusahaan OT bentuk upaya peningkatan produktivitas.

Perusahaan tidak perlu menambah karyawan baru, hanya menambah jam kerja karyawan yang
sudah ada.

Kalau dilihat dari sisi kepentingan perusahaan, overtime atau kerja lembur bisa diasumsikan
sebagai upaya untuk meningkatkan produktivitas.

Pertimbangannya adalah perusahaan tidak perlu menambah karyawan baru, hanya cukup
menambah jam kerja karyawan yang sudah ada.

Setiap perintah kerja lembur tentu harus mengikuti ketentuan. Aturannya ada dalam Undang
Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Pada Pasal 78 Ayat (1) huruf a menyatakan bahwa pengusaha yang mempekerjakan karyawan
melebihi standar waktu kerja maka harus memenuhi syarat, yaitu ada persetujuan karyawan yang
bersangkutan untuk mau kerja lembur.

Karyawan wajib mendapatkan tambahan upah yg di sebut upah lembur . Ketentuan tentang
waktu kerja lembur dan upah lembur diatur dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan pasal 78 ayat 2 dan 4 dan pasal 85.

Uang lembur yang diterima pekerja adalah termasuk penghasilan teratur yang diberikan secara
periodik berdasar ketentuan yang ditetapkan oleh pengusaha. Uang lembur dihitung dengan
mengalikan tambahan jam kerja dengan tarif uang lembur yang ditetapkan pemberi kerja.

Walaupun ditambahkan ke dalam gaji pekerja, upah lembur juga dikenakan pajak penghasilan
atau PPh 21 Uang Lembur.

Cara menghitung perhitungan potongan PPh 21 pajak penghasilanatas uang lembur karyawan
tidak jauh berbeda karena dasar hukumnya tetap mengacu Peraturan Direktur Jenderal
(Perdirjen) Pajak Nomor PER-32/PJ/2015 yang diperbarui menjadi Peraturan Dirjen Pajak
Nomor: PER-16/PJ/2016 tentang Tarif Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP).

Berikut adalah contoh soal menghitung pajak penghasilan :


Rani adalah karyawati PT Maju Pantang Mundur. Statusnya sudah menikah dan belum memiliki
anak. Gaji pokok yang diterima Rani adalah Rp8.500.000 per bulan. Sementara itu, Rani rutin
membayar iuran pensiun per bulannya sebesar Rp50.000.

Pada bulan Januari 2020, Rani mendapatkan uang lembur sebesar Rp2.000.000. Berapa PPh
pasal 21 yang harus dia bayar?

Langkah 1: Gaji Pokok + Uang Lembur = Pendapatan Kotor

Rp  8.500.000 + Rp  2.000.000 = Rp  10.500.000

Langkah 2: Biaya Jabatan + Iuran Pensiun = Komponen Pengurang

Rp 500.000 + Rp 50.000 = Rp 550.000

Langkah 3: Pendapatan Kotor – Komponen Pengurang = Gaji Bersih

Rp 10.500.000 – Rp 550.000 = Rp 9.950.000

Langkah 4 – Hitung Gaji Bersih Setahun

12 x Rp 9.950.000 = Rp 119.400.000

Langkah 5 – Hitung Penghasilan Tidak Kena Pajak

Rp 54.000.000 (PTKP/0) + Rp 4.500.000 (tambahan 1 suami) = Rp 58.500.000

Langkah 6 – Hitung Penghasilan Kena Pajak Setahun yaitu Gaji Bersih Setahun –
Penghasilan Tidak Kena Pajak

Rp 119.400.000 – Rp  58.500.000 = Rp 60.900.000

Langkah 7 – Hitung Potongan PPh 21 Karyawan Terutang Setahun

5% x Rp 50.000.000 = Rp 2.500.000

15% x Rp 10.900.000 = Rp 1.635.000

Rp 2.500.000 + Rp 1.635.000 = Rp 4.135.000

Langkah 8 – Hitung PPh 21 Terutang Sebulan

Rp 4.135.000 : 12 Bulan = Rp 344.583

Jadi PPh pasal 21 yang harus Rani bayar di bulan Januari 2020 adalah Rp 344.583.
Cara Menghitung Perhitungan Pajak Penghasilan PPh 21 Kenaikan Gaji
Karyawan

Cara perhitungan pajak penghasilan akan berbeda ketika sebuah perusahaan memberikan
kenaikan gaji kepada karyawannya

Pertimbangan lainnya juga jatuh kepada metode yang digunakan perusahaan dalam perhitungan
PPh 21 kenaikan gaji yaitu surut (retrospektif) dan prospektif atau tidak surut.

Sebagai departemen HRD, Anda harus cermat memperhatikan penghitungan karena ada
kemungkinan besar pajak yang dipotong dan dibayarkan mengalami penambahan untuk masa
pajak setelah kenaikan gaji.

Sementara itu, bagi para karyawan yang baru saja mengalami kenaikan gaji, ada baiknya Anda
juga menyimak penghitungan ini untuk mengetahui proses distribusi gaji secara transparan.

Sebagai informasi, untuk kenaikan gaji yang berlaku surut (retrospektif), penghasilan selama
beberapa bulan sebelumnya akan diakumulasikan. Sistem ini disebut rapel.

Sebagai contoh, kenaikan gaji ditetapkan pada bulan Agustus dan berlaku surut dari Januari.
Kemudian, pada bulan Agustus, karyawan akan menerima akumulasi kenaikan gaji (rapel) tujuh
bulan sebelumnya dan gaji baru yang sudah naik.

Agar lebih jelas cara menghitung perhitungan potongan PPh 21 atas rapel kenaikan gaji
karyawan, dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:

1. Jumlah rapel dibagi dengan jumlah bulan perolehan rapel (contoh: 7 bulan).
2. Jumlah rapel per bulan harus sama dengan jumlah naik gaji yang ditetapkan. Contoh, gaji
ditetapkan naik Rp 1.000.000 pada bulan Agustus dan berlaku surut dari Januari. Rapel
yang diterima di bulan Agustus adalah Rp 7.000.000. Jumlah rapel yang dibagikan 7
bulan (Januari – Juli), hasilnya harus sama dengan besar kenaikan gaji, yaitu Rp
1.000.000.
3. Hasil pembagian rapel tersebut ditambahkan pada gaji setiap bulan sebelum kenaikan
gaji.
4. Hitung PPh 21 atas gaji untuk bulan-bulan sebelumnya dihitung kembali atas dasar gaji
baru setelah ada kenaikan.
5. Hitung PPh 21 atas kenaikan gaji untuk beberapa bulan sebelum ditetapkannya kenaikan
adalah selisih antara jumlah pajak yang memperhitungkan kenaikan gaji dengan jumlah
pajak yang sudah dipotong pada bulan-bulan yang sama.

Contoh penghitungan rapel pajak kenaikan gaji

Budi berstatus sebagai karyawan tetap di PT Angin Ribut.


Pada Januari 2019, dia memperoleh gaji bulanan sebesar Rp 6.750.000 dan membayar iuran
pensiun sebesar Rp 200.000. Budi sudah kawin tetapi belum dikaruniai anak.

Berapa PPh 21 yang harus dibayar Budi?

 Menghitung Penghasilan Bersih (Neto Sebulan):

Gaji                                                  Rp       6.750.000

Biaya Jabatan (5% x Gaji):         Rp          337.500

Biaya Pensiun                               Rp          200.000

__________________________________________ –

Penghasilan Neto Sebulan          Rp       6.212.500

Penghasilan Neto Setahun         Rp     74.550.000

 Cara hitung Penghasilan Kena Pajak (PKP): Penghasilan Neto Setahun – Pendapatan
Tidak Kena Pajak (PTKP) K/0 : Rp 74.550.000 – Rp 58.500.000 =  Rp 16.050.000

 Cara hitung Potongan PPh 21 Karyawan Terutang Setahun Pajak Progresif : 5% x


16.050.000 = Rp 802.500

 Cara hitung PPh 21 Terutang Sebulan: Rp 802.500 : 12 = Rp 66.875

Sementara itu, di bulan Agustus Budi mendapatkan kenaikan gaji sebesar Rp1.000.000 menjadi
Rp7.750.000.

Kenaikan gaji tersebut berlaku surut sejak 1 Januari 2019.

Dengan adanya kenaikan gaji yang berlaku surut tersebut maka Budi menerima rapel sejumlah
Rp7.000.000 (selisih gaji yang seharusnya diterima untuk masa Januari – Agustus 2019).

Berapa PPh 21 yang harus dibayar?

 Menghitung Penghasilan Bersih setelah kenaikan gaji (Neto Sebulan):

Gaji (naik Rp 1.000.000)                Rp       7.750.000

Biaya Jabatan (5% x Gaji):              Rp          387.500

Biaya Pensiun                                    Rp          200.000

__________________________________________ –
Penghasilan Neto Sebulan              Rp       7.162.500

Penghasilan Neto Setahun             Rp     85.950.000

 Cara hitung Penghasilan Kena Pajak (PKP): Penghasilan Neto Setahun – Pendapatan
Tidak Kena Pajak (PTKP) K/0 : Rp85.950.000 – Rp58.500.000 =  Rp27.450.000

 Cara hitung PPh 21 Terutang Setahun Pajak Progresif : 5% x Rp27.450.000 =


Rp1.372.500

 Cara hitung Potongan PPh 21 Karyawan Terutang Sebulan yaitu Rp1.372.500 : 12 =


Rp114.375
 Potongan Januari – Juli yang seharusnya yaitu 7 x Rp114.375 = Rp800.625
 Potongan Januari – Juli yang sudah dilakukan yaitu 7 x Rp66.875 = Rp468.125
 Cara Perhitungan PPh 21 rapel kenaikan gaji yaitu Rp800.625 – Rp468.125 = Rp332.500

Sehingga jumlah Rp332.500 ditambahkan dengan perhitungan PPh 21 untuk bulan Agustus yaitu
sebesar Rp114.375 untuk kemudian dipotongkan terhadap gaji Budi di bulan itu ketika terjadi
kenaikan gaji dan penerimaan rapel. Sehingga gaji yang didapat Budi setelah kenaikan gaji
adalah Rp7.750.000 – Rp332.500 – Rp114.375 = Rp7.303.125.

Cara Menghitung Pajak Penghasilan PPh Pasal 21 Bukan Karyawan

Menghitung Pajak Penghasilan orang pribadi Bukan Pegawai atau PPh 21 Bukan Pegawai sangat
berbeda tetapi tidak terlalu sulit

Alasannya adalah, penghasilan yang diperoleh orang pribadi Bukan Pegawai merupakan imbalan
jasa yang dilakukan berdasarkan perintah atau permintaan dari pemberi penghasilan.

Singkatnya adalah imbalan kepada Bukan Pegawai adalah penghasilan yang terutang atau
diberikan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan yang dilakukan.

Contoh penghasilan yang diterima orang pribadi Bukan Pegawai adalah honorarium, komisi, dan
fee.

Adapun jenis pekerjaannya seperti pengajar, notaris, pengacara, dokter, hingga distributor
perusahaan MLM (Multi Level Marketing).

Pajak jenis ini dihitung dengan menerapkan tarif pasal 17 ayat (1) huruf a Undang Undang PPh
atas jumlah kumulatif penghasilan kena pajak dalam tahun kalender yang bersangkutan.

Besarnya penghasilan kena pajak adalah sebesar 50% dari jumlah penghasilan bruto dikurangi
PTKP per bulan.
Di dalam aturan tersebut, ketentuan potongan PPh 21 karyawan Bukan Pegawai membedakan
imbalan kepada Bukan Pegawai dalam dua kategori. Pertama adalah yang bersifat
berkesinambungan dan kedua adalah tidak berkesinambungan.

Berkesinambungan berarti imbalan yang dibayar atau terutang lebih dari satu kali dalam satu
tahun kalender.

Sedangkan Tidak Berkesinambungan adalah imbalan yang dibayar atau terutang hanya satu kali
saja dalam setahun kalender.

Sementara itu, dalam SPT PPh Bukan Pegawai dapat dicek pada formulir 1721-VI Bukti Potong
Tidak Final. P

enggolongan Bukan Pegawai telah disederhanakan lagi menjadi 6 kategori, yaitu:

 Imbalan kepada Distributor Multi Level Marketing (MLM),


 Imbalan kepada Petugas Dinas Luar Asuransi,
 Imbalan kepada para Penjaja Barang Dagangan,
 Imbalan kepada Tenaga Ahli,
 Imbalan kepada Bukan Pegawai yang menerima Penghasilan/gaji bersifat
berkesinambungan.

Sementara itu, imbalan untuk jenis pekerjaan yang termasuk bukan pegawai akan menerima
pengurangan berupa PTKP sepanjang yang bersangkutan mempunyai NPWP dan hanya
memperoleh penghasilan dari hubungan kerja dengan satu pemotong PPh 21 dan 26 serta
memperoleh penghasilan lainnya.

Agar dapat mendapatkan pengurangan berupa PTKP, penerima penghasilan bukan pegawai laki-
laki harus menyerahkan fotokopi kartu NPWP, dan bagi wanita kawin harus menyerahkan
fotokopi kartu NPWP suami serta fotokopi surat nikah dan KK.

Sedangkan bagi penerima penghasilan Bukan Pegawai yang tidak memiliki NPWP maka
dikenakan tarif 120% lebih tinggi.

Ada tiga cara menghitung perhitungan potongan PPh 21 Bukan Karyawan atau Pegawai, yaitu:

 PPh 21 Bukan Pegawai Berkesinambungan : {(50% x Penghasilan Bruto) – PTKP 1


bulan} x Tarif Pasal 17
 PPh 21 Bukan Pegawai Berkesinambungan Tidak Menerima PTKP : {(50% x
Penghasilan Bruto) x Tarif Pasal 17}
 PPh 21 Bukan Pegawai Tidak Berkesinambungan : {(50% x Penghasilan Bruto) x
Tarif Pasal 17}

Berikut adalah contoh perhitungan tidak berkesinambungan:


Delima merupakan pengajar di sebuah bimbel bernama PT Kamu Harus Pintar dengan bayaran
sebesar Rp6.000.000.

Berapa PPh 21 yang harus dibayar Delima yang sudah memiliki NPWP?

Besarnya PPh 21 terutang dengan NPWP: (50% x Penghasilan Bruto) x Tarif Pasal 17

(50% x Rp 6.000.000) x 5% = Rp 150.000

Cara Menghitung Perhitungan Potongan PPh 21 Karyawan Tidak Tetap

Pajak Penghasilan atau PPh21. Pegawai tdk tetap memiliki perhitungan pajak tersendiri

Skema penghitungannya mirip dengan PPh 21 Pegawai Harian Lepas. Lantas bagaimana
caranya?

Pengertian Pegawai Tidak Tetap

Sebelum melangkah lebih jauh, kenali dulu apa yang dimaksud dengan Pegawai tidak tetap.

Pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas adalah pegawai yang hanya menerima penghasilan
jika bekerja berdasarkan jumlah hari bekerja, jumlah unit pekerjaan yang dihasilkan, atau
menyelesaikan suatu jenis pekerjaan yang diminta oleh pemberi kerja.

Istilah yang digunakan bagi penghasilan pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas adalah
imbalan atau upah harian, mingguan, atau upah borongan. Sementara itu, upah satuan yang
diterima pegawai tidak tetap adalah upah atau imbalan yang dibayarkan berdasarkan jumlah unit
output pekerjaan yang dihasilkan.

Dasar Aturan Pengenaan Potongan PPh 21 Pegawai Tidak Tetap

Dasar aturan PPh 21 Pegawai Tidak Tetap adalah Peraturan Menteri Keuangan RI Nomor 102/
PMK.010/2016 tentang Penetapan Bagian Penghasilan Sehubungan dengan Pekerjaan dari
Pegawai Harian dan Mingguan serta Pegawai Tidak Tetap Lainnya yang Tidak Dikenakan
Pemotongan Pajak Penghasilan.

Berikut ini ketentuan khusus PPh 21 Pegawai Tidak Tetap:

 Tidak dilakukan pemotongan PPh 21 jika penghasilan sehari belum melebihi Rp 300.000,
 Dilakukan pemotongan PPh 21 jika penghasilan sehari sebesar atau melebihi Rp 450.000
merupakan jumlah yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto,
 Bila pegawai tidak tetap memperoleh penghasilan kumulatif dalam 1 bulan kalender
melebihi Rp 4.500.000, maka jumlah tersebut dapat dikurangkan dari penghasilan bruto,
 Rata-rata penghasilan sehari adalah rata-rata upah mingguan, upah satuan, atau upah
borongan untuk setiap hari kerja yang digunakan,
 PTKP sebenarnya adalah untuk jumlah hari kerja yang sebenarnya,
 PTKP sehari sebagai dasar untuk menetapkan PTKP yang sebenarnya adalah sebesar
PTKP per tahun Rp 54.000.000 dibagi 360 hari,
 Bila pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas tersebut mengikuti program jaminan atau
tunjangan hari tua, maka iuran yang dibayar sendiri dapat dikurangkan dari penghasilan
bruto.

Ada beberapa ketentuan khusus yang diatur, seperti:

 Potongan PPh 21 Pegawai atau karyawan Tidak Tetap atau tenaga kerja lepas yang
penghasilannya kurang dari Rp 450.000 per hari tidak dikenakan pemotongan
penghasilan,
 Ketentuan penghasilan tidak kena pajak tidak berlaku jika:

1. Penghasilan bruto dimaksud jumlahnya melebihi Rp 4.500.000 sebulan,


2. Penghasilan dimaksud dibayar secara bulanan,
3. Penghasilan berupa honorarium,
4. Komisi yang dibayarkan kepada penjaja barang dan petugas dinas luar asuransi.

Tarif PPh 21 Pegawai Tidak Tetap

Penghasilan Kumulatif Tarif dan Dasar Pengenaan


Jumlah Penghasilan Harian
Sebulan Pajak (DPP)
< Rp 450.000 < Rp 4.500.000 Tidak Dipotong PPh 21
> Rp 450.000 < Rp 4.500.000 5% x (Upah – Rp 450.000)
< Rp 450.000 > Rp 4.500.000 5% x (Upah – PTKP/360)
> Rp 450.000 > Rp 4.500.000 5% x (Upah – PTKP/360)
Tarif pada UU PPh Pasal 17
< Rp 450.000 > Rp 10.200.000
ayat (1) huruf (a) atau 5%
Tarif pada UU PPh Pasal 17
> Rp 450.000 > Rp 10.200.000
ayat (1) huruf (a) atau 5%

Contoh Soal Menghitung Potongan Pajak Penghasilan PPh 21 Pegawai Atau Karyawan
Tidak Tetap 

Marini adalah seorang pegawai tidak tetap yang bekerja sebagai pembuat guci keramik di PT
Keramik Anti Pecah. Gaji yang dibayar dihitung dari jumlah guci keramik yang diselesaikan.
Jumlah bayarannya sebesar Rp100.000 per guci keramik dan dibayarkan tiap minggu.

Dalam waktu 1 minggu (6 hari kerja) dihasilkan 30 guci keramik dengan upah sebesar
Rp3.000.000
Berapa PPh 21 upah satuan Marini yang diterima mingguan?

1. Upah sehari berjumlah Rp 500.000 (Rp 3.000.000 : 6 hari). Sesuai ketentuan, jumlah
upah sebesar Rp 500.000 lebih besar ketimbang ambang batas maksimal Rp 450.000
yang tidak dipotong pajak.
2. Kelebihan kena pajak adalah Rp 500.000 – Rp 450.000 = Rp 50.000
3. Upah seminggu yang terutang pajak adalah Rp 50.000 x 6 = Rp 300.000
4. Cara Hitung PPh 21 yang dipotong mingguan adalah 5% x Rp 300.000 = Rp 15.000.

Cara Menghitung Perhitungan Potongan PPh 21 Karyawan yang Tidak Punya


NPWP

Ketika melamar ke kantor baru dan sampai ke tahap penandatanganan kontrak, departemen HR
pasti akan menanyakanNPWP.

Menurut Direktur Jenderal Pajak (DJP) NPWP adalah nomor yang diberikan kepada Wajib Pajak
atau pembayar pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan, berfungsi sebagai identitas
Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan kewajibannya.

NPWP diberikan kepada Wajib Pajak yang sudah memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan di
dalam Undang Undang Perpajakan dan tidak akan berubah meskipun Wajib Pajak berpindah
domisili.

Selama ini, NPWP selalu digunakan untuk persyaratan administrasi; membuka rekening bank,
mengajukan kartu kredit, menjual tanah dan juga keperluan lainnya.

Namun, NPWP juga memiliki peran penting dalam proses penghitungan NPWP, maka itu
pastikan Anda sudah memiliki NPWP atau membuat baru sesegera mungkin apabila belum ada.

Apa konsekuensi bagi wajib pajhak yg belum memiliki NPWP?

Tarif yang dikenakan bagi Penghasilan Kena Pajak (PKP) yang diberikan oleh pemberi gaji akan
lebih besar dibandingkan dengan Wajib Pajak yang sudah memiliki NPWP.

Agar lebih jelas, berikut adalah contoh soal cara menghitung perhitungan potongan PPh 21
karyawan.

Gaji                                                  Rp     11.000.000

Biaya Jabatan

5% x Gaji:                                        Rp          550.000

__________________________________________ –

Penghasilan Neto Sebulan              Rp     10.450.000


Penghasilan Neto Setahun              Rp   125.400.000

Hitung Penghasilan Kena Pajak (PKP): Penghasilan Neto Setahun – Pendapatan Tidak Kena
Pajak (PTKP) TK/0

Rp 125.400.000 – Rp 54.000.000 =  Rp 71.400.000

Cara Hitung PPh 21 Terutang Setahun Pajak Progresif (Karena Rp 71.400.000 Lebih dari Rp
50.000.000)

(5% x 50.000.000 = Rp 2.500.000) + (15% x 21.400.000 = Rp 3.210.000) = Rp 5.710.000.

Cara Hitung PPh 21 Terutang Sebulan: Rp 5.710.000 : 12 = Rp 475.833

Kepemilikan NPWP penting untuk seluruh pekerja, karena hal tersebut membantu mereka dari
pembayaran pajak yang jauh lebih tinggi.

Setiap pekerja yang tidak memiliki NPWP dibebankan pajak sebesar 120%.

Berikut adalah contoh perbandingannya.

Karyawan dengan NPWP Karyawan Tidak Memiliki NPWP


120% x 5% x Rp
5% x Rp 50.000.000 Rp 2.500.000 Rp 3.000.000
50.000.000
120% x 15% x Rp
15% x Rp 21.400.000 Rp 3.210.000 Rp 3.852.000
21.400.000
PPh 21 setahun Rp 5.710.000 PPh 21 setahun Rp 6.852.000
PPh 21 sebulan Rp 475.833 PPh 21 sebulan Rp 571.000

Cara Menghitung Perhitungan Potongan PPh 21 THR dan Bonus Karyawan

Berikut penjelasannya!

Sekilas tentang Tunjangan Hari Raya

Karyawan Indonesia memiliki pendapatan tambahan yang biasa diberikan setahun sekali
bernama (THR).

Menariknya, THR ini hanya ada di Indonesia dan rutin diberikan perayaan hari besar keagamaan,
seperti Idul Fitri dan Natal.

THR pertama kali diperkenalkan di Indonesia pada era kabinet Soekirman Wirjosandjojo pada
1950-an.
Jafar Suryomenggolo dalam bukunya “Politik Perburuhan Era Demokrasi Liberal 1950-an”
menjelaskan bahwa THR muncul sebagai akibat kemiskinan absolut yang dialami oleh kaum
buruh pada era tersebut.

Latar belakangnya, para buruh melakukan mogok kerja dan menuntut diberikannya THR untuk
semua pekerja di Indonesia pada 13 Februari 1952.

Setelah itu, implementasinya mengalami perkembangan dari masa ke masa.

Sampai ke pengaturan THR saat ini yang diakomodir dalam kerangka peraturan perundang-
undangan ketenagakerjaan yang terdiri dari:

1. Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;


2. Peraturan Pemerintah Nomor Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan, dan
3. Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 6 Tahun 2016 tentang Tunjangan Hari Raya
Keagamaan Bagi Pekerja/Buruh di Perusahaan;

Menurut Pasal 1 Permenaker Nomor 6 Tahun 2016, THR adalah pendapatan non-upah yang
wajib dibayarkan oleh Pengusaha (Perusahaan).

Jika perusahaan terlambat membayarkan THR karyawan ,maka akan dikenakan denda sebesar 5
persen dari total THR yang harus dibayar sejak berakhirnya batas waktu kewajiban Pengusaha
untuk membayar atau tujuh hari sebelum hari raya keagamaan.

Jika Pengusaha tidak membayarkan THR, maka sanksi yang diberikan dapat berupa: teguran
tertulis, dan pembekuan kegiatan usaha, pembatasan kegiatan usaha, penghentian sementara
sebagian atau seluruh alat produksi.

Terdapat pula ketentuan mengenai besaran THR yang wajib dibayarkan, yakni:

1. Untuk karyawan yang bekerja terus-menerus selama 12 bulan, maka berhak atas THR
dengan besaran minimal 1 kali upah;
2. Sementara karyawan yang bekerja lebih dari 1 bulan secara terus-menerus tetapi belum
mencapai 12 bulan, maka THR yang dibayarkan adalah dengan perhitungan proporsional.

Bagaimana Pengaturan Bonus di Indonesia?

Istilah bonus sendiri memang sudah tercantum dalam Peraturan Pemerintah (PP) tentang
Pengupahan, tetapi pengertiannya tidak dijabarkan secara lebih lanjut dan lebih jelas.

Bonus hanya di artikan sebagai salah satu jenis pendapatan non-upah selain THR

Aturan mengenai bonus juga diatur dalam Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja Nomor SE-
07/MEN/1990 Tahun 1990 tentang pengelompokan komponen upah dan Pendapatan Non Upah.
Dalam surat edaran tersebut menyebutkan bahwa bonus bukan termasuk bagian dari upah,
melainkan pembayaran yang diterima pekerja dari hasil keuntungan perusahaan atau karena
pekerja menghasilkan hasil kerja lebih besar dari target produksi yang normal atau karena
peningkatan produktivitas.

Peraturan mengenai besaran bonus yang wajib perusahaan bayarkan tidak diatur lebih lanjut
dalam peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan.

Jika merujuk pada Pasal 71 ayat (1) Undang Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas yang menyebutkan bahwa :

“Penggunaan laba bersih termasuk penentuan jumlah penyisihan untuk cadangan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 70 ayat (1) diputuskan oleh RUPS” dan penjelasan pasal tersebut yang
berbunyi “Berdasarkan keputusan RUPS tersebut dapat ditetapkan sebagian atau seluruh laba
bersih digunakan untuk pembagian dividen kepada pemegang saham, cadangan, dan/atau
pembagian lain seperti tantiem (tantieme) untuk anggota Direksi dan Dewan Komisaris, serta
bonus untuk karyawan.”

Perhitungan mengenai bonus pun juga masih belum diatur dalam kerangka hukum
ketenagakerjaan hingga saat ini. Pasal 8 Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2018 tentang
Pengupahan jo. Angka 2 huruf b Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja Nomor SE-07/MEN/1990
tentang Pengelompokan Komponen Upah dan Pendapatan Non Upah menyebutkan bahwa
penentuan besaran bonus ada pada masing-masing perusahaan.

Oleh karena itu, penentuan perhitungan bonus karyawan didasarkan pada best practices setiap
dan pasar tenaga kerja.

Pajak THR, Pajak Bonus, dan Cara Menghitungnya

Sebelumnya, perlu diketahui terlebih dahulu bahwa pada sistem perpajakan di Indonesia,
khususnya pajak penghasilan dikenal dalam dua tipe.

Pertama adalah pajak atas penghasilan yang bersifat teratur dan kedua adalah pajak atas
penghasilan yang sifatnya tidak teratur.

Dasar pengenaan pajak atas penghasilan tidak teratur tersebut ada pada Pasal 4 ayat (1) huruf a
UU No. 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1983
tentang Pajak Penghasilan, yang menyebutkan bahwa objek pajak penghasilan adalah setiap
tambahan kemampuan ekonomis yang diterima wajib pajak.

Ketentuan yang lebih eksplisit juga dapat ditemukan pada Pasal 14 ayat (3) Peraturan Direktur
Jenderal Pajak Nomor: PER–31/PJ/2012 tentang Pedoman Teknis Tata Cara Pemotongan,
Penyetoran Dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pajak Penghasilan Pasal 26
Sehubungan Dengan Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang Pribadi.

Sebagai gambaran, berikut adalah contoh kasus penghitungan pajak penghasilan tidak teratur.
Contoh cara menghitungpajak thr perbulan karyawan bernama Imam yang sudah bekerja di PT
Cahaya Bersinar selama 10 tahun.

Gaji setiap bulan yang diterimanya adalah sebesar Rp8.000.000. Status Imam sekarang sudah
berkeluarga tetapi belum memiliki anak.

Berapakah jumlah THR yang Imam dapatkan setelah dipotong pajak?

Pajak Penghasilan Imam


Keterangan Perhitungan Total
Penghasilan dalam 1 bulan – 8,000,000
Penghasilan Bruto dalam
12 x Rp 8,000,000 96,000,000
Setahun
Biaya Jabatan 5% x Rp 96,000,000 4,800,000
Penghasilan  Neto Rp 96,000,000 – Rp 4,800,000 91,200,000
Menikah dan belum memiliki
PTKP (K/0) 58,500,000
anak
PKP Rp 91,200,000 – Rp 58,500,000 32,700,000
PPh Terutang Setahun 5% x Rp 32,700,000 1,635,000
PPH Terutang Sebulan Rp 1,635,000 / 12 136,250

Jadi PPh terutang Imam adalah sebesar Rp 1.665.000 per tahun atau Rp 136.250 per bulan.

Pajak atas THR Imam


Keterangan Perhitungan Total
THR (Sama dengan 1 kali gaji) – 8,000,000
Penghasilan Bruto Rp 96,000,000 + Rp 8,000,000 104,000,000
Biaya Jabatan 5% x Rp 104,000,000 5,200,000
Penghasilan Neto Bonus Rp 104,000,000 – Rp 5,200,000 98,800,000
Menikah dan belum memiliki
PTKP (K/0) 58,500,000
anak
PKP Rp 98,800,000 – Rp 58,500,000 40,300,000
PPh Terutang Setahun 5% x Rp 40,300,000 2,015,000
Pph THR Terutang Setahun Rp 2,015,000 – Rp 1,635,000 380,000

Jadi PPh THR terutang Imam adalah sebesar Rp 380.000.


Perhitungan pajak penghasilan dilakukan untuk penghasilan yang diperoleh selama satu tahun.

Sementara, normalnya THR diperoleh satu kali dalam jangka waktu satu tahun, sehingga
perhitungan PPh-nya tidak perlu disetahunkan.

Namun, jika THR atau bonus ternyata dibayarkan lebih dari satu kali dalam satu periode pajak,
maka total penghasilan neto atas penghasilan tidak teratur tersebut tetap harus disetahunkan.

Cara Menghitung Perhitungan Potongan PPh 21 Jika Karyawan Warga Negara


Asing

Tenaga kerja asing baik buruh maupun staf manajerial menjadi suatu kebutuhan perusahaan yang
terkadang tak terelakkan. Hal ini tentu berdasarkan kebutuhan bisnis dari perusahaan tersebut.

Sebagai tenaga kerja, gaji yang diterima tenaga kerja asing tetap akan dikenai pajak penghasilan
(PPh 21) Warga Negara Asing.

Ini diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak (DJP) Nomor Per-43/PJ/2011 tentang
Penentuan Subjek Pajak Dalam Negeri (SPDN) dan Subjek Pajak Luar Negeri (SPLN). Berikut
ini rinciannya.

Orang Pribadi sebagai SPDN

 Orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia, atau berada di Indonesia lebih dari
183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau
dalam suatu Tahun Pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat
tinggal di Indonesia,
 Badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia,
 Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak.

Pada dasarnya, Warga Negara Asing termasuk SPLN. Namun, saat WNA telah memenuhi
kriteria pertama di atas hingga menjadi SPDN, maka secara otomatis WNA tersebut akan
dikenakan PPh Pasal 21 dan bukan lagi PPh Pasal 26.

SPDN ditetapkan sebagai Wajib Pajak karena memperoleh penghasilan yang bersumber dari
Indonesia, yang dibayarkan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia. Penghasilannya pun sudah
melampaui Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) yaitu Rp 54 juta.

Artinya, WNA tersebut telah terkena kewajiban subjektif dan objektif.

Berikut kriteria SPDN:

 Bertempat tinggal di Indonesia: mempunyai tempat tinggal (place of residence) yang


tetap (permanent) untuk menjalani kehidupan secara biasa (ordinary course of life).
 Berniat untuk bertempat tinggal di Indonesia, yang ditunjukkan dengan dokumen berupa
visa bekerja atau Kartu Izin Tinggal Terbatas (KITAS), lalu menyewa tempat tinggal di
Indonesia, bahkan memindahkan anggota keluarga ke Indonesia.
 Menyetujui, atau memperpanjang kontrak/perjanjian, selama lebih dari 183 hari (seratus
delapan puluh tiga) hari.

Selanjutnya, kewajiban perpajakan WNA yang telah menjadi SPDN dapat mengacu pada
ketentuan perpajakan di Indonesia tentang Pajak Penghasilan orang pribadi.

Hanya saja, catatan penting untuk diperhatikan saat perhitungan potongan PPh 21 Karyawan
WNA, terutama bagi WNA yang bekerja mulai pertengahan tahun, penghitungan PPh Pasal 21-
nya harus disetahunkan.

contoh soal

Tom Hanks adalah seorang pria lajang dengan kewarganegaraan Amerika Serikat. Ia mulai
bekerja di negara Indonesia yaitu di PT Mobil Bekas Sejahtera pada 1 September 2019. Di
perusahaan tersebut, ia mendapat gaji Rp 19.000.000. Berapa pajak penghasilan PPh pasal 21
yang harus Tom bayarkan?

Penghasilan bruto                    Rp  19.000.000

Penghasilan bruto setahun     Rp  19.000.000 x 12    Rp 228.000.000

Biaya jabatan                                                                     Rp      6.000.000

___________________________________________________________________-

Penghasilan neto disetahunkan                                     Rp 222.000.000

Pengurangan:

Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP)                         Rp   54.000.000

___________________________________________________________________-

Penghasilan Kena Pajak (PKP)                                       Rp 168.000.000

Hitung PPH 21 Disetahunkan:

(5% x Rp 50.000.000)      =      Rp  2.500.000


(15% x Rp 118.000.000) =      Rp 17.700.000

_______________________________________+

Rp 20.200.000

Hitung PPh 21 Setahun (4 Bulan):

(4/12 x Rp 20.200.000) =     Rp   6.733.333,33

Hitung PPH 21 terutang Tom Hanks di September 2019:

(1/4 x Rp 6.733.333,33 =        Rp  1.683.333,33

Anda mungkin juga menyukai