Dalam sistem perpajakan di Indonesia, pajak digolongkan menjadi dua jenis yaitu pajak langsung dan
pajak tidak langsung. Salah satu bentuk pajak langsung adalah pajak penghasilan atau biasa disingkat
PPh, dimana beban pembayarannya tidak dapat dialihkan kepada orang lain. Seiring dengan terus
bertumbuhnya perekonomian berpengaruh pada semakin meningkatnya kesejahteraan masyarakat
yang akhirnya berimbas pada penerimaan dari sumber pajak penghasilan yang juga terus meningkat dari
tahun ke tahun. Pajak penghasilan menjadi salah satu sumber penerimaan negara yang dominan.
Undang-Undang yang mengatur Pajak Penghasilan di Indonesia telah beberapa kali mengalami
amandemen perubahan dasar sebagaiman diringkas berikut ini :
2. Cara Penghtiungan Pajak Pegawai Harian Lepas dan Tenaga Ahli Perusahaan
Pengenaan tarif pajak penghasilan bagi Wajib Pajak diatur dalam UU Nomor 36 tahun 2008 Pasal 17 ayat
1(a) Tarif pajak yang diterapkan atas PKP bagi Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri sebagai berikut :
Hal yang perlu diperhatikan dalam menghitung PPh 21 Pegawai Harian Lepas sebagai berikut :
1. Tentukan besaran upah harian yang diterima seorang pegawai harian.
2. Apabila upah harian belum melebihi Rp.450.000 dan jumlah kumulatifnya dalam satu bulan
kalender belum melebihi Rp.4.500.000, maka tidak ada pemotongan PPh pasa 21.
3. Apabila upah harian telah melebihi Rp.450.000 dan jumlah kumulatifnya dalam bulan
kalender belum melebihi Rp.4.500.000, PPh pasal 21 adalh upah harian setelah dikurangi
Rp.450.000 dikalikan 5%.
4. Apabila jumlah upah kumulatif dalam bulan kalender telah melebihi Rp,4.500.000 dan
kurang dari Rp.10.200.000, PPh 21 adalah upah harian setelah dikurangi PTKP sehari
dikalikan 5%.
5. Apabila upah kumulatif dalam satu bulan kalender telah melebihi Rp.10.200.000, PPh 21
dihitung dengan menerapkan tarif pasal 17 atas jumlah upah bruto satu bulan yang
disetahunkan dikurang PTKP. PPh pasal 21 yang harus dipotong adalah PPh 21 hasil
perhitungan tersebut dibagi 12.
Contoh :
Budi seorang pemuda belum menikah. Pada bulan Januari dia bekerja sebagai pegawai
harian lepas di CV Sinar Pelangi. Upah yang diterima sebesar Rp.450.000 per hari.
Langkah 1: Upah Sehari – Batas Upah Harian Tidak Dipotong PPh = Penghasilan Kena Pajak
(Rp.450.000 – Rp.450.000 = 0)
Budi akhirnya harus dikenakan PPh 21 setelah upah kumulatif yang sudah dia terima
berjumlah di atas ambang batas Rp.4.500.000. Atau tepatnya di hari ke-11 dia telah
menerima sbear Rp.4.950.000.
Langkah 2 : Upah Selama 11 hari – Pendapatan Tidak Kena Pajak (PTKP) = Pendapatan Kena
Pajak.
Rp.4.950.000 – (11 x Rp.54.000.000:360) = Rp.4.950.000 – Rp.1.650.000 = Rp. 3.300.000
Jadi, Di hari ke-11, penghasilan yang harus dipotong PPh 21 adalah sebesar Rp.165.000
5% x Rp.300.000 = Rp.15.000
Jadi di hari ke-12, Budi dikenakan PPh 21 sebesar Rp.15.000.
Contoh :
Dari contoh data Saudari Ayu di atas, jika yang bersangkutan sudah menikah yang telah
terdaftar sebagai Wajib Pajak serta memiliki NPWP dan bekerja di PT. Telkom. Saudari
Ayu telah menyampaikan copy NPWP Suami, Surat Nikah dan Kartu Keluarga. Saudari
Ayu hanya bekerja di Klinik Kasih Bunda saja yang dibuktikan dengan surat pernyataan
secara tertulis kepada Klinik Kasih Bunda tersebut. Berdasarkan data penghasilan bruto
yang diperoleh Saudari Ayu selama Tahun 2019, maka perhitungan PPh 21 terutang
sebagai berikut :
Contoh :
Pak Taufik berprofesi sebagai seorang konsultan teknologi informasi. Suatu ketika beliau
mendapatkan kontrak dan memperoleh komisi sebesar Rp.350.000.000 dari sebuah Bakn
Swasta di Jakarta. Pak Taufik telah memiliki NPWP. Maka perhitungan PPh Pasal 21 terutang
atas komisi yang diperoleh Pak Taufik adalah sebagai berikut :
- Perhitungan PKP : 50% x Rp.350.000.000 = Rp.175.000.000
- Perhitungan PPh 21 Terutang : (5% x Rp.50.000.000) + (15% x Rp.125.000.000) =
Rp.2.500.000 – Rp.18.750.000 = Rp.21.250.000
Sumber :
- ADBI4330 – Administrasi Perpajakan, Mas Rasmini Suta, Tjip Ismail, Tiesnawati W., Harmanti,
Tangerang Selatan: Universitas Terbuka, 2014
-https://jurnal.dpr.go.id/index.php/ekp/article/view/75/42