Anda di halaman 1dari 5

1.

Tujuan dari perubahan  Undang-undang pajak penghasilan adalah untuk


memudahkan dan memberikan keadilan kepada wajib pajak, jelaskanlah secara
rinci maksud dari hal tersebut !

Dalam sistem perpajakan di Indonesia, pajak digolongkan menjadi dua jenis yaitu pajak langsung dan
pajak tidak langsung. Salah satu bentuk pajak langsung adalah pajak penghasilan atau biasa disingkat
PPh, dimana beban pembayarannya tidak dapat dialihkan kepada orang lain. Seiring dengan terus
bertumbuhnya perekonomian berpengaruh pada semakin meningkatnya kesejahteraan masyarakat
yang akhirnya berimbas pada penerimaan dari sumber pajak penghasilan yang juga terus meningkat dari
tahun ke tahun. Pajak penghasilan menjadi salah satu sumber penerimaan negara yang dominan.

Sistem peraturan perundangan di Indonesia merupakan peraturan hukum peninggalan pemerintah


kolonial Belanda. Banyak peraturan perundangan di Indonesia yang berkali-kali mengalami perubahan
karena tidak sesuai lagi dengan situasi dan tuntutan keadaan jaman, termasuk peraturan perundangan
perpajakan. Tahun 1984 menjadi awal perubahan besar pada sistem perpajakan di Indonesia, hal
tersebut ditandai dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan
Umum dan Tata Cara Perpajakan, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan dan
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa Pajak Penjualan
atas Barang Mewah. Dengan terbitnya Undang-Undang tersebut maka sistem pemungutan pajak di
Indonesia mengalami perubahan dari sistem official-assessment menjadi sistem self-assessment yang
masih diterapkan hingga saat ini.

Undang-Undang yang mengatur Pajak Penghasilan di Indonesia telah beberapa kali mengalami
amandemen perubahan dasar sebagaiman diringkas berikut ini :

1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983, pertama kali mengatur pajak penghasilan.


2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1991, untuk mengakomodir perkembangan dunia usaha
dengan memperhatikan jiwa pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945.
3. Undang-Undang Nomor 10 Tahun1994, secara garis besar untuk menyempurnakan undang-
undang sebelumnya dalam rangka penguatan fungsi pajak sebagai pengatur. Tujuan perubahan
untuk mewujudkan kemandirian bangsa, menunjang kebijakan pemerintah untuk pemerataan
pembangunan. Selain itu untuk meningkatkan pelayanan masyarakat dengan cara
menyederhanakan prosedur perpajakan dan peningkatan pengawasan serta penegakkan hukum
yang berlaku. Sebagian besar perubahan terkait pada ketentuan subjek dan objek pajak. Selain
itu perubahan mengenai tata cara administrasi dan sistem penghitungan pajak.
4. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000, Tujuan utama perubahan adalah untuk memperkuat
fungsi pajak sebagai fungsi anggaran. Pajak didorong menjadi tulang punggung dalam
pembiayan keuangan negara.
5. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, Tujuan pokok perubahan Undang-Undang Pajak
Penghasilan ini adalah :
a. Lebih meningkatkan keadilan pengenaan pajak;
b. Lebih memberikan kemudahan kepada Wajib Pajak;
c. Lebih memberikan kesederhanaan administrasi perpajakan;
d. Lebih membeirkan kepastian hukum, konsistensi, dan transparansi; dan
e. Lebih menunjang kebijakan pemerintah dalam rangka meningkatkan daya saing dalam
menarik investasi langsung di Indonesia baik penanaman modal asing maupun penanaman
modal dalam negeri di bidang-bidang usaha tertentu dan daerah-daerah tertentu yang
mendapat prioritas.

Reformasi perpajakan tersebut merupakan reformasi terbesar terhadap undang-undang pajak


penghasilan sejak pertama kali ditetapkan pada tahun 1983. Sistem administrasi perpajakan lebih
disederhanakan dan diberikan banyak kemudahan dalam tata cara pembayaran pajak sehingga dapat
menjaring lebih banyak wajib pajak. Bahkan kebijakan tersebut terlihat jelas dengan diberlakukannya
sunset policy agar dimanfaatkan oleh wajib pajak yang selama ini menunggak atau bahkan tidak
membayar pajak yaitu dengan penghapusan denda. Berbagai cara dan upaya dilakukan untuk
mendorong masyarakat untuk memiliki NPWP. Demikin untuk bidang-bidang usaha pun diberi fasilitas
atau keringan pajak untuk mendorong perkembangan industri tersebut. Dari seluruh upaya tersebut
dilakukan untuk mempermudah dan mewujudkan keadilan bagi Wajib Pajak yang pada akhirnya
berimbas semakin berkembangnya perekonomian nasional.

2. Cara Penghtiungan Pajak Pegawai Harian Lepas dan Tenaga Ahli Perusahaan

Pengenaan tarif pajak penghasilan bagi Wajib Pajak diatur dalam UU Nomor 36 tahun 2008 Pasal 17 ayat
1(a) Tarif pajak yang diterapkan atas PKP bagi Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri sebagai berikut :

Lapisan Penghasilan Kena Pajak (PKP) Tarif Pajak


a. Sampai dengan Rp. 50.000.000,00 5%
b. Di atas Rp.50.000.000,00-Rp.250.000.000,00 15%
c. Di atas Rp.250.000.000,00-Rp.500.000.000,00 25%
d. DI atas Rp.500.000.000,00 30%

a. PPh 21 Pegawai Harian Lepas


Berdasarkan ketentuan PPh pasal 21 yang dimaksudkan upah harian adalah upah atau imbalan
yang terutang atau dibayarkan secara harian. Penerimanya adalah pegawai tidak tetap atau
lepas.
PPh 21 Pegawai Harian Lepas dihitung dengan dasar upah harian dan jumlah akumulasi harian
yang diterima pegawai harian lepas dalam satu bulan (masa pajak). Pajak penghasilan pegawai
harian lepas dikenakan atas jumlah penghasilan yang melebihi Rp. 450.000 sehari. Setelah
jumlah kumulatif upah harian melebihi Rp.4.500.000, PPh pasal 21 dikenakan atas upah harian
secara penuh dengan besaran tarif yang dikenakan sesuai lapisan pertama tarif PPh pasal 17
ayat (1) huruf a yaitu sebesar 5%.

Hal yang perlu diperhatikan dalam menghitung PPh 21 Pegawai Harian Lepas sebagai berikut :
1. Tentukan besaran upah harian yang diterima seorang pegawai harian.
2. Apabila upah harian belum melebihi Rp.450.000 dan jumlah kumulatifnya dalam satu bulan
kalender belum melebihi Rp.4.500.000, maka tidak ada pemotongan PPh pasa 21.
3. Apabila upah harian telah melebihi Rp.450.000 dan jumlah kumulatifnya dalam bulan
kalender belum melebihi Rp.4.500.000, PPh pasal 21 adalh upah harian setelah dikurangi
Rp.450.000 dikalikan 5%.
4. Apabila jumlah upah kumulatif dalam bulan kalender telah melebihi Rp,4.500.000 dan
kurang dari Rp.10.200.000, PPh 21 adalah upah harian setelah dikurangi PTKP sehari
dikalikan 5%.
5. Apabila upah kumulatif dalam satu bulan kalender telah melebihi Rp.10.200.000, PPh 21
dihitung dengan menerapkan tarif pasal 17 atas jumlah upah bruto satu bulan yang
disetahunkan dikurang PTKP. PPh pasal 21 yang harus dipotong adalah PPh 21 hasil
perhitungan tersebut dibagi 12.

Contoh :
Budi seorang pemuda belum menikah. Pada bulan Januari dia bekerja sebagai pegawai
harian lepas di CV Sinar Pelangi. Upah yang diterima sebesar Rp.450.000 per hari.

Langkah 1: Upah Sehari – Batas Upah Harian Tidak Dipotong PPh = Penghasilan Kena Pajak
(Rp.450.000 – Rp.450.000 = 0)

Budi akhirnya harus dikenakan PPh 21 setelah upah kumulatif yang sudah dia terima
berjumlah di atas ambang batas Rp.4.500.000. Atau tepatnya di hari ke-11 dia telah
menerima sbear Rp.4.950.000.

Langkah 2 : Upah Selama 11 hari – Pendapatan Tidak Kena Pajak (PTKP) = Pendapatan Kena
Pajak.
Rp.4.950.000 – (11 x Rp.54.000.000:360) = Rp.4.950.000 – Rp.1.650.000 = Rp. 3.300.000

Langkah 3 : Hitung PPh 21 Terutang untuk 11 Hari

5% x Rp.3.300.000 (PKP) = Rp.165.000

Jadi, Di hari ke-11, penghasilan yang harus dipotong PPh 21 adalah sebesar Rp.165.000

Lalu untuk hari-hari selanjutnya, maka akan diperhitungkan

Misal hari ke-12


Upah Harian – PTKP Sehari =
Rp.450.000 – (Rp.54.000.000 : 360) =
Rp.450.000 – Rp.150.000 = Rp.300.000

5% x Rp.300.000 = Rp.15.000
Jadi di hari ke-12, Budi dikenakan PPh 21 sebesar Rp.15.000.

b. PPh 21 Tenaga Ahli dibedakan menjadi 2 golongan sebagai berikut :


1. Tenaga Ahli Dengan Penghasilan Berkesinambungan
a. Tenaga Ahli Dengan Penghasilan Lebih Dari Satu Pemberi Kerja
Rumus perhitungan yang dikenakan :
(Penghasilan Bruto x 50%) x Tarif PPh 21
Contoh :
Saudari Ayu adalah seorang dokter spesialis anak. Dia membuka praktek di Klinik Kasih
Bunda. Ayu mengikat perjanjian dengan manajemen Klinik tersebut bahwa dia akan
menerima bagi hasil atas imbal jasa prakteknya sebesar 75%, dan sisanya 25 % adalah
bagian penerimaan Klinik tersebut. Penghasilan bruto yang didapatkan Saudari Ayu dari
praktek di Klinik tersebut selama tahun 2019 adalah Rp.450.500.000. Dari data
penghasilan yang diperoleh, maka besara PPh pasal 21 terutang adalah sebagai berikut :
- Perhitungan Penghasilan Kenak Pajak : 50% x Rp.450.500.000 = Rp.225.250.000
- Perhitungan PPh 21 Terutang : (5% x Rp.50.000.000) + (15% x Rp.175.250.000) =
Rp.2.500.000 + Rp. 26.287.500 = Rp.28.787.500
Jadi, PPh 21 terutang yang harus dibayar sebesar Rp.28.787.500

b. Tenaga Ahli Dengan Penghasilan Dari Satu Pemberi Kerja

Rumus perhitungan yang dikenakan :


((Penghasilan Bruto x 50%) – PTKP x Tarif Pasal 17

Tenaga Ahli yang memperoleh penghasilan berkesinambungan hanya dari satu


pemeberi kerja selama satu tahun periode pajak berhak mengajukan pengurangan
penghasilan kena pajak berupa tunjangan PTKP dengan persyaratan sebagai berikut :
mendapat penghasilan hanya dari satu pemberi kerja, memiliki NPWP (copy NPWP
Suami bagi wanita kawin beserta Surat Nikah), dan Kartu Keluarga.

Contoh :
Dari contoh data Saudari Ayu di atas, jika yang bersangkutan sudah menikah yang telah
terdaftar sebagai Wajib Pajak serta memiliki NPWP dan bekerja di PT. Telkom. Saudari
Ayu telah menyampaikan copy NPWP Suami, Surat Nikah dan Kartu Keluarga. Saudari
Ayu hanya bekerja di Klinik Kasih Bunda saja yang dibuktikan dengan surat pernyataan
secara tertulis kepada Klinik Kasih Bunda tersebut. Berdasarkan data penghasilan bruto
yang diperoleh Saudari Ayu selama Tahun 2019, maka perhitungan PPh 21 terutang
sebagai berikut :

- (50% x Penghasilan Bruto) – PTKP = Penghasilan Kena Pajak


- (50% x Rp.450.500.000) – Rp.54.000.000 = Rp.225.500.000 – Rp.54.000.000 =
Rp.171.500.000
- Perhitungan PPh 21 Terutang : (5% x Rp.50.000.000) + (15% x Rp. 121.500.000) =
Rp.2.500.000 + Rp.18.225.000 = Rp.20.725.000

2. Tenaga Ahli Dengan Penghasilan Tidak Berkesinambungan


Rumus Perhitungan PPh 21 Tenaga Ahli Atas Penghasilan Tidak Bersifat Berkesinambungan
adalah (Penghasilan Bruto x 50% x Tarif Pasal 17).

Contoh :
Pak Taufik berprofesi sebagai seorang konsultan teknologi informasi. Suatu ketika beliau
mendapatkan kontrak dan memperoleh komisi sebesar Rp.350.000.000 dari sebuah Bakn
Swasta di Jakarta. Pak Taufik telah memiliki NPWP. Maka perhitungan PPh Pasal 21 terutang
atas komisi yang diperoleh Pak Taufik adalah sebagai berikut :
- Perhitungan PKP : 50% x Rp.350.000.000 = Rp.175.000.000
- Perhitungan PPh 21 Terutang : (5% x Rp.50.000.000) + (15% x Rp.125.000.000) =
Rp.2.500.000 – Rp.18.750.000 = Rp.21.250.000

Sumber :

- ADBI4330 – Administrasi Perpajakan, Mas Rasmini Suta, Tjip Ismail, Tiesnawati W., Harmanti,
Tangerang Selatan: Universitas Terbuka, 2014

-https://jurnal.dpr.go.id/index.php/ekp/article/view/75/42

Anda mungkin juga menyukai