Anda di halaman 1dari 2

1.

Peraturan perundang-undangan perpajakan yang mengatur tentang Pajak Penghasilan


yang berlaku sejak 1 Januari 1984 adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983
tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan. Undang-Undang Pajak
Penghasilan ini dilandasi falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 yang di dalamnya tertuang ketentuan yang menjunjung
tinggi hak warga negara dan menempatkan kewajiban perpajakan sebagai kewajiban
kenegaraan dan merupakan sarana peran serta rakyat dalam pembiayaan negara dan
pembangunan nasional.
Dengan pesatnya perkembangan sosial ekonomi sebagai hasil pembangunan nasional
dan globalisasi serta reformasi di berbagai bidang dipandang perlu untuk dilakukan
perubahan Undang-Undang tersebut guna meningkatkan fungsi dan peranannya dalam
rangka mendukung kebijakan pembangunan nasional khususnya di bidang ekonomi.
Perubahan Undang-Undang Pajak Penghasilan dimaksud tetap, berpegang pada
prinsip-prinsip perpajakan yang dianut secara universal, yaitu keadilan, kemudahan, dan
efisiensi administrasi, serta peningkatan dan optimahsasi penerimaan negara dengan
tetap mempertahankan sistem self assessment.

untuk lebih memberikan kemudahan kepada Wajib Pajak, sistem self assessment tetap
dipertahankan dan diperbaiki. Perbaikan terutama dilakukan pada sistem pelaporan dan
tata cara pembayaran pajak dalam tahun berjalan agar tidak mengganggu likuiditas
Wajib Pajak dan lebih sesuai dengan perkiraan pajak yang akan terutang. Bagi Wajib
Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas, kemudahan yang
diberikan berupa peningkatan batas peredaran bruto untuk dapat menggunakan norma
penghitungan penghasilan neto. Peningkatan batas peredaran bruto untuk
menggunakan norma ini sejalan dengan realitas dunia usaha saat ini yang makin
berkembang tanpa melupakan usaha dan pembinaan Wajib Pajak agar dapat
melaksanakan pembukuan dengan tertib dan taat asas.

2. A) Cakra belum menikah. Pada bulan Januari 2020 dia bekerja sebagai pegawai harian lepas di
PT Kali Besar. Upah harian yang diberikan sebesar Rp 450.000 per hari. Dengan memperhatikan
ketentuan PPh pasal 21, penghasilan kena pajak (PKP) dengan dasar upah yang diterima setiap
hari adalah nihil.

Upah Sehari – Batas Upah Harian Tidak Dipotong PPh = Penghasilan Kena Pajak
(Rp 450.000 – Rp 450.000 = 0)
Cakra akhirnya harus dikenakan PPh 21 di hari ke 11 dia bekerja. Saat itu, upah kumulatif yang
sudah dia terima sebesar Rp 4.950.000, atau di atas ambang batas Rp 4.500.000.

Upah Selama 11 hari – Pendapatan Tidak Kena Pajak (PTKP) = Pendapatan Kena Pajak

Rp 4.950.000 – (11 x (Rp 54.000.000: 360) =

Rp 4.950.000 – Rp 1.650.000 = Rp 3.300.000


PPh 21 Terutang untuk 11 Hari

5% x Rp 3.300.000 (Pendapatan Kena Pajak) = Rp 165.000

Sehingga, di hari ke 11, Cakra hanya menerima upah bersih sebesar Rp 450.000 – Rp 165.000 =
Rp 285.000.

B) Hayati adalah seorang dokter umum yang membuka praktek di Rumah Sakit Amanda. Atas
jasa tersebut sesuai dengan perjanjian tertulis, Beliau mendapatkan bagi hasil (Profit Sharing)
sebesar 75%, sisanya 25% adalah bagian penerimaan untuk Rumah Sakit tersebut. Selain itu,
saudara Hayati juga membuka praktek dokter di Rumah Sakit Islam. Total penghasilan bruto
yang diperoleh saudara Hayati dari praktek di Rumah Sakit selama tahun 2017 adalah Rp
582.500.000. Dari data penghasilan yang diperoleh, maka besaran PPh Pasal 21 terutang adalah
sebagai berikut:

Perhitungan Penghasilan Kena Pajak: 50% X Rp 582.500.000 = Rp 291.250.000


Perhitungan PPh 21 Terutang: (5% x Rp 50.000.000) + (15% x Rp 200.000.000) + (25% x Rp
41.250.000) = Rp 42.812.500.

Anda mungkin juga menyukai