Anda di halaman 1dari 5

Nama : Rizki Putra Agusta

NIM : 043265493
Matkul: Administrasi Perpajakan

Diskusi 5

1. Tujuan dari perubahan  Undang-undang pajak penghasilan adalah untuk


memudahkan dan memberikan keadilan kepada wajib pajak, jelaskanlah secara
rinci maksud dari hal tersebut !
2. Berikanlah contoh perhitungan pajak penghasilan untuk pegawai harian lepas
dan tenaga ahli sebuah perusahaan!

Jawab

1. Tujuan dari perubahan  Undang-undang pajak penghasilan adalah untuk


memudahkan dan memberikan keadilan kepada wajib pajak

Perubahan UU PPh memberikan kemudahan kepada Wajib Pajak, yaitu dengan


berubahnya dari sistem official assessment menjadi sistem self assessment yang
sampai sekarang tetap dipertahankan dan diperbaiki. Perbaikan terutama dilakukan
pada sistem pelaporan dan tata cara pembayaran pajak dalam tahun berjalan agar
tidak mengganggu likuiditas Wajib Pajak dan lebih sesuai dengan perkiraan pajak yang
akan terutang.

Bagi Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas,
kemudahan yang diberikan berupa peningkatan batas peredaran bruto untuk dapat
menggunakan norma penghitungan penghasilan neto. Contoh:

Pasal 14 Ayat (1); Untuk memberikan kemudahan dalam menghitung besarnya


penghasilan neto bagi Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau
pekerjaan bebas dengan peredaran bruto tertentu, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan
norma penghitungan. Norma Penghitungan adalah pedoman untuk menentukan
besarnya penghasilan neto yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak dan
disempurnakan terus-menerus. Penggunaan Norma Penghitungan tersebut pada
dasarnya dilakukan dalam hal-hal:

1. tidak terdapat dasar penghitungan yang lebih baik, yaitu pembukuan yang
lengkap, atau
2. pembukuan atau catatan peredaran bruto Wajib Pajak ternyata diselenggarakan
secara tidak benar.

Norma Penghitungan akan sangat membantu Wajib Pajak yang belum mampu
menyelenggarakan pembukuan untuk menghitung penghasilan neto. Norma
Penghitungan disusun sedemikian rupa berdasarkan hasil penelitian atau data lain, dan
dengan memperhatikan kewajaran.

Perubahan UU PPh memberikan keadilan, dalam rangka meningkatkan keadilan


pengenaan pajak maka dilakukan perluasan subjek dan objek pajak dalam hal-hal
tertentu dan pembatasan pengecualian atau pembebasan pajak dalam hal lainnya.
Contoh:

Pasal 2 Ayat (2):Subjek pajak dibedakan menjadi subjek pajak dalam negeri dan subjek
pajak luar negeri.

Perbedaan yang penting antara Wajib Pajak dalam negeri dan Wajib Pajak luar negeri
terletak dalam pemenuhan kewajiban pajaknya, antara lain:

1. Wajib Pajak dalam negeri dikenai pajak atas penghasilan baik yang diterima atau
diperoleh dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, sedangkan Wajib Pajak
luar negeri dikenai pajak hanya atas penghasilan yang berasal dari sumber
penghasilan di Indonesia;
2. Wajib Pajak dalam negeri dikenai pajak berdasarkan penghasilan neto dengan
tarif umum, sedangkan Wajib Pajak luar negeri dikenai pajak berdasarkan
penghasilan bruto dengan tarif pajak sepadan; dan
3. Wajib Pajak dalam negeri wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan
Pajak Penghasilan sebagai sarana untuk menetapkan pajak yang terutang dalam
suatu tahun pajak, sedangkan Wajib Pajak luar negeri tidak wajib menyampaikan
Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan karena kewajiban pajaknya
dipenuhi melalui pemotongan pajak yang bersifat final.

Pasal 3 Ayat 1: Sesuai dengan kelaziman internasional, kantor perwakilan negara asing
beserta pejabat-pejabat perwakilan diplomatik, konsulat dan pejabat-pejabat lainnya, di
kecualikan sebagai subjek pajak di tempat mereka mewakili negaranya.

Pengecualian sebagai subjek pajak bagi pejabat-pejabat tersebut tidak berlaku apabila
mereka memperoleh penghasilan lain di luar jabatannya atau mereka adalah Warga
Negara Indonesia. Dengan demikian apabila pejabat perwakilan suatu negara asing
memperoleh penghasilan lain di Indonesia di luar jabatan atau pekerjaannya tersebut,
maka ia termasuk subjek pajak yang dapat dikenai pajak atas penghasilan lain tersebut.

2. Contoh perhitungan pajak penghasilan untuk pegawai harian lepas dan tenaga
ahli

Pegawai Harian Lepas:


Mengacu pada Peraturan Dirjen Pajak No PER-16/PJ/2016 tentang Tata Cara
Pelaporan PPh 21, apabila penghasilan kumulatif Pegawai Tidak Tetap atau Tenaga
Kerja Lepas dalam 1 bulan kalender belum melebihi Rp 4.500.000, berlaku ketentuan
berikut:

1. Tidak dilakukan pemotongan PPh 21, jika penghasilan sehari atau rata-rata
sehari belum melebihi Rp 450.000
2. Dilakukan pemotongan PPh 21, jika penghasilan sehari atau rata-rata sehari
melebihi Rp 450.000, dan jumlah Rp 450.000 tersebut merupakan jumlah yang
dapat dikurangkan dari penghasilan bruto.

Mangku belum menikah. Pada bulan Januari 2020 dia bekerja sebagai pegawai harian
lepas di PT Untung Unggas Sejahtera. Upah harian yang diberikan sebesar Rp 450.000
per hari. Dengan memperhatikan ketentuan PPh pasal 21, penghasilan kena pajak
(PKP) dengan dasar upah yang diterima setiap hari adalah nihil. 

Langkah 1:

Upah Sehari – Batas Upah Harian Tidak Dipotong PPh = Penghasilan Kena Pajak 

(Rp 450.000 – Rp 450.000 = 0)

Mangku akhirnya harus dikenakan PPh 21 di hari ke 11 dia bekerja. Saat itu, upah
kumulatif yang sudah diterima sebesar Rp 4.950.000, atau di atas ambang batas Rp
4.500.000. 

Langkah 2:

Upah Selama 11 hari – Pendapatan Tidak Kena Pajak (PTKP) = Pendapatan Kena
Pajak

Rp 4.950.000 – (11 x (Rp 54.000.000: 360)  =

Rp 4.950.000 – Rp 1.650.000 = Rp 3.300.000

Langkah 3: 

Hitung PPh 21 Terutang untuk 11 Hari

5% x Rp 3.300.000 (Pendapatan Kena Pajak) = Rp 165.000

Sehingga, di hari ke 11, Mangku hanya menerima upah bersih sebesar Rp 450.000 –
Rp 165.000 = Rp 285.000.

Untuk hari-hari selanjutnya:


Misalnya untuk hari ke 12, maka perhitungannya:

Upah Harian – PTKP Sehari =

Rp 450.000 – (Rp 54.000.000 : 360)  =

Rp 450.000 – Rp 150.000 =  Rp 300.000

Jadi, PPh 21 yang dipotong di hari ke 12 adalah sebesar Rp 15.000. Angka tersebut
didapat dari 5% x Rp 300.000. Sehingga upah bersih Mangku di hari ke 12 adalah Rp
435.000 (Rp 450.000 – Rp 15.000).

Tenaga Ahli

Tarif PPh 21 bukan pegawai berdasarkan Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang
Pajak Penghasilan diterapkan atas:

 50% (lima puluh persen) dari jumlah penghasilan bruto untuk setiap pembayaran
imbalan kepada bukan pegawai yang tidak bersifat berkesinambungan; dan
 Jumlah penghasilan bruto untuk setiap kali pembayaran yang bersifat utuh dan
tidak dipecah, yang diterima oleh peserta kegiatan.

Contoh perhitungan PPh Pasal 21 Tenaga ahli dengan penghasilan tidak bersifat
berkesinambungan

Bapak Harjo berprofesi sebagai seorang pengacara. Suatu saat beliau menangani
kasus dan memperoleh komisi sebesar Rp 620 juta dari PT Cipta Karya yang berlokasi
di Bali. Bapak Harjo telah terdaftar sebagai Wajib Pajak dan memiliki kartu NPWP.

Rumus Menghitung PPh 21 Tenaga Ahli atas Penghasilan Tidak Bersifat


Berkesinambungan adalah (Penghasilan Bruto X 50%) X Tarif Pasal 17. Maka
perhitungan PPh Pasal 21 Terutang atas komisi yang diperoleh Bapak Gading adalah
sebagai berikut:

 Perhitungan Penghasilan Kena Pajak : 50% X Rp 620.000.000 = Rp


310.000.000
 Perhitungan PPh 21 Terutang: (5% x Rp 50.000.000) + (15% x Rp 200.000.000)
+ (25% x Rp 60.000.000) = Rp 47.500.000,-

Sumber Referensi:

https://jdih.esdm.go.id/peraturan/UU%20No.%2036%20Thn%202008.pdf.
Undang Undang Republik Indonesia Nomor 36 tahun 2008 tentang Perubahan
Keempat atas Undang Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan dan
Penjelasannya

https://www.gadjian.com/blog/wp-content/uploads/2017/11/Peraturan-Direktorat-
Jenderal-pajak-Nomor-PER-16-PJ-2016.pdf.
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor Per-16/PJ/2016 Tentang Pedoman Teknis
Tata Cara Pemotongan, Penyetoran Dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21
Dan/Atau Pajak Penghasilan Pasal 26 Sehubungan Dengan Pekerjaan, Jasa, Dan
Kegiatan Orang Pribadi

Anda mungkin juga menyukai