Anda di halaman 1dari 10

PENDAPAT HUKUM (LEGAL OPINION)

PENAHANAN DIREKTUR PT SINAR PEMBANGUNAN ABADI (PSA) DI


MOJOKERTO AKIBAT TIDAK MEMBAYAR PAJAK SEJAK TAHUN
2013
A. PERMASALAHAN
1. Bahwa Direktur Perusahaan Manufaktur PT Sinar Pembangunan
Abadi (PSA) bernama Ronny Widharta telah ditetapkan sebagai
tersangka akibat kasus dugaan perpajakan karena diduga tidak
melakukan pembayaran pajak sejak tahun 2013 sehingga jumlah
tunggakan pajak mencapai Rp 2,5 M.
2. Bahwa kasus tersebut telah diserahkan dari pihak kepolisian
Mojokoerto kepada Kejaksaan Negeri Mojokerto beserta barang bukti
yang telah dinyatakan lengkap pada Rabu, 7 Desember 2022.
3. Bahwa membayar pajak merupakan kewajiban bagi setiap orang yang
telah menjadi wajib pajak dan untuk wajib pajak yang melalaikan
kewajibannya dapat dikenakan hukuman pidana.
4. Bahwa akibat kasus tersebut Ronny Widharta dikenai Pasal 39 ayat
(1) huruf d atau Pasal 39 ayat (1) huruf i Undang-Undang No. 28
tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang No. 6
Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang No. 7
Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.
B. POSISI KASUS
1. Bahwa tersangka, Ronny Widharta yang merupakan seorang Direktur
di Perusahaan Manufaktur PT Sinar Pembangunan Abadi (PSA)
Mojokerto ditangkap oleh Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak
(DPJ) Jawa Timur II, namun setelah bukti lengkap akhirnya tersangka
diserahkan ke Kejaksaan Negeri Kabupaten Mojokerto pada hari
Rabu, 7 Desember 2022.
2. Bahwa tersangka, Ronny Widharta merupakan seorang warga asal
Kelurahan Semolowaru, Kecamatan Sukolilo, Kota Surabaya yang
memiliki perusahaan PT Sinar Pembangunan Abadi (PSA) yang
beralamat di Jalan Raya Perning, Desa Perning, Kecamatan Jetis,
Kabupaten Mojokerto.
3. Bahwa PT Sinar Pembangunan Abadi (PSA) merupakan sebuah
perusahaan manufaktur yang bergerak di usaha industri penggilingan
baja (steel rolling) dengan bahan baku besi rongsokan. Bahan besi itu
kemudian diolah menjadi besi beton polos atau besi beton ulir dengan
merek WSC.
4. Bahwa PT Sinar Pembangunan Abadi (PSA) terdaftar sebagai wajib
pajak dan diwajibkan melaporkan Surat Pemberitahuan (SPT) di
Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Mojokerto.
5. Bahwa tersangka, Ronny Widharta diduga tidak melakukan
pembayaran pajak sejak tahun 2013 dan menimbulkan kerugian
terhadap negara sebesar Rp 2.509.314,426 M.
6. Bahwa tersangka menggunakan modus dengan sengaja tidak
melaporkan Surat Pemberitahuan (SPT) pajak penghasilan (PPh) atau
dengan sengaja menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) yang
isinya tidak benar atau tidak lengkap dan atau tidak menyetorkan
pemungutan pajak pertambahan nilai (PPN) pada bulan Januari-
Februari 2013 dan Mei-Desember 2013. Perusahaan Manufaktur PT
Sinar Pembangunan Abadi (PSA) melakukan transaksi penjualan besi
beton yang menjadi penyerahan terutang PPN kepada PT MJM dan
PT WKI. Tersangka mengatakan kepada PT MJM dan PT WKI bahwa
PPN bisa dibebankan kepada penjual namun tersangka tidak
membuatkan faktur PPN dan ternyata PPN tidak dibayarkan pada
periode tersebut dan terlihat dari sistem yang dimiliki oleh Direktorat
Jenderal Pajak.
7. Bahwa Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak (DPJ) Jawa Timur
II mulai melakukan penyidikan di tahun 2020 dan masih memberikan
kesempatan kepada Ronny Widharta sebagai Direktur Perusahaan
Manufaktur PT Sinar Pembangunan Abadi (PSA) untuk melunasi
tunggakan pajak, namun tersangka justru melarikan diri.
8. Bahwa tersangka, Ronny Widharta melarikan diri sejak tahun 2020.
Kemudian di tahun 2021, berusaha dilakukan pemanggilan namun
tersangka selalu mangkir. Hingga akhirnya tertangkap pada tanggal 1
November 2022.
9. Bahwa akibat kasus tersebut Ronny Widharta dikenai Pasal 39 ayat
(1) huruf d atau Pasal 39 ayat (1) huruf i Undang-Undang No. 28
tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang No. 6
Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang No. 7
Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan
C. DASAR HUKUM
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang No. 28 tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas
Undang-Undang No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan
Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir dengan
Undang-Undang No. 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan
Perpajakan;
3. Undang-Undang No. 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan;
4. Undang-Undang No. 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga atas
Undang-Undang No. 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai
Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah.
D. ANALISA HUKUM
Bahas pemerintah hrsnya sadar
1. Bahwa pajak merupakan iuran yang memang wajib dibayarkan oleh
setiap warga negara yang telah memenuhi kriteria tertentu
sebagaimana dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan
sehingga dapat disebut sebagai wajib pajak kepada negara setiap
periode tahun pajak dengan tarif yang ditentukan oleh negara dengan
tidak mendapatkan jasa atau timbal balik atas iuran yang dibayarkan
secara langsung karena pada hakikatnya pajak itu sendiri akan
digunakan untuk membiayai seluruh kegiatan operasional ataupun
pembangunan dari negeri.
2. Bahwa berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 16 Tahun
2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, pajak
adalah “kontrubusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang
pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-
undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsaung dan
digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat.”
3. Bahwa pemungutan pajak dilakukan atas dasar perintah peraturan
perundang-undangan dimana tercantum dalam Pasal 23A Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 yang berbunnyi
“segala pajak dan pungutan lain yang sifatnya memaksa untuk
keperluan negara berdasar peraturan perundang-undangan.” Frasa
“memaksa” dalam hal ini berarti “harus” dan keharusan merupakan
sebuah kewajiban yang mana jika tidak dilakaksanakan akan dikenai
sanksi tertentu sebagaimana telah ditentukan. Dengan adanya rumusan
pasal tersebut, membayar pajak merupakan sebuah keharusan atau
kewajiban yang dilakukan oleh wajib pajak kepada negara.
4. Bahwa kewajiban untuk membayar pajak juga disebutkan dalam Pasal
12 ayat (1) Undang-Undang No. 28 tahun 2007 tentang Perubahan
Ketiga atas Undang-Undang No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan
Umum dan Tata Cara Perpajakan yang menyebutkan bahwa “setiap
wajib pajak wajib membayar pajak yang terutang sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajaka dengan tidak
menggantungkan pada adanya surat ketetapan pajak”.
5. Bahwa berdasarkan Undang-Undang No. 16 Tahun 2009 tentang
Perubahaan Keempat atas Undang-Undang No. 6 Tahun 1983 tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, terdapat beberapa
macam jenis pajak yang pemungutannya dilakukan oleh Pemerintah
Pusat yaitu diantaranya Pertama, Pajak Penghasilan (PPh) yang
merupakan pajak yang dikenakan kepada orang pribadi atau badan
atas penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam suatu Tahun
Pajak; Kedua, Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) yaitu
pengenaan pajak pada barang yang bukan merupakan barang
kebutuhan pokok, dikonsumsi oleh masyarakat tertentu yang rata-rata
berpenghasilan tinggi; Ketiga, Bea Materai yang merupakan pajak
yang dikenakan atas pemanfaatan dokumen seperti surat perjanjian,
akta notaris, serta kwitansi, dan surat-surat berharga lainnya;
Keempat, Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) merupakan pajak yang
dikenakan atas kepemilikan atau pemannfaatan tanah dan bangunan;
Kelima, yang akan menjadi pokok bahasan kita kali ini adalah Pajak
Pertambahan Nilai (PPN) merupakan pajak yang dikenakan atas
konsumsi Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak di dalam Daerah
Pabean dalam wilayah Indonesia terhadap orang pribadi, perusahaan,
maupun pemerintah yang mengkonsumsi Barang Kena Pajak atau Jasa
Kena Pajak.
6. Bahwa sistem pemungutan pajak di Indonesia memberikan kebebasan
kepada wajib pajaknya untuk mendapatkan hak dan melaksanakan
kewajiban mengenai pajak. Namun sebelum seorang wajib pajak
menuntut haknya, harus terlebih dahulu memenuhi kewajibannya.
Kewajiban yang dimaksud adalah sebagai berikut:
a. Mendaftarkan diri sebagai wajib pajak apabila telah memenuhi
syarat sebagai wajib pajak guna mendapatkan Nomor Pokok
Wajib Pajak dan Nomor Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak;
b. Mengisi dan menyampaikan Surat Pajak Tahunan (SPT) yang
berisi jumlah pajak terutang dalam satu masa pajak untuk
selanjutnya ditandangani oleh kepala KPP setempat dengan
waktu yang telah ditentukan;
c. Membayar atau menyetor pajak, karena PPN dan PPh
menerapakan sistem self assement maka dari itu jumlah pajak
terutang dihitung sendiri oleh wajib pajak yang bersangkutan;
d. Membuat pembukuan atau pencatatan yang memuat keterangan-
keterangan yang cukup untuk menghitung penghasilan kena
pajak;
e. Memberikan keterangan apabila dilakukan pemeriksaan oleh
Dirjen Pajak dalam rangka menetapkan besarnya jumlah pajak
yang terutang yang mana wajib pajak harus memperlihatkan
pembukuan yang telah dibuat
7. Bahwa atas beberapa kewajiban yang telah disebutkan pada poin
sebelumnya, Tersangka, Ronny Widharta tidak melakukan beberapa
kewajiban diantaranya:
a. Tidak mengisi dan menyampaikan Surat Pajak Tahunan (SPT)
yang berisi jumlah pajak terutang dalam satu masa pajak untuk
selanjutnya ditandangani oleh kepala KPP setempat dengan
waktu yang telah ditentukan sebagaimana disebutkan dalam
Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang No. 28 tahun 2007 tentang
Perubahan Ketiga atas Undang-Undang No. 6 Tahun 1983
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang
berbunyi “Setiap Wajib Pajak wajib mengisi Surat
Pemberitahuan dengan benar, lengkap, dan jelas, dalam bahasa
Indonesia dengan menggunakan huruf Latin, angka Arab,
satuan mata uang Rupiah, dan menandatangani serta
menyampaikannya ke kantor Direktorat Jenderal Pajak tempat
Wajib Pajak terdaftar atau dikukuhkan atau tempat lain yang
ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak”;
b. Tidak membayar atau menyetor pajak, karena PPN dan PPh
menerapakan sistem self assement maka dari itu jumlah pajak
terutang dihitung sendiri oleh wajib pajak yang bersangkutan
sebagaimana diatur dalam Pasal 10 ayat (1) UU No. 28 Tahun
2007 yang menyebutkan bahwa “Wajib Pajak wajib membayar
atau menyetor pajak yang terutang dengan menggunakan Surat
Setoran Pajak ke kas negara melalui tempat pembayaran yang
diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan”,
itu artinya dengan jelas bahwa tersangka, Ronny Widharta telah
melakukan pelanggaran terhadap kewajibannya sebagai wajib
pajak;
c. Tidak memberikan keterangan apabila dilakukan pemeriksaan
oleh Dirjen Pajak dan justru memilih untuk melarikan diri ketika
diminta untuk membayar tagihan pajak terutang. Padahal Dirjen
pajak berdasrakan Pasal 29 ayat (1) UU N0. 28 Tahun 2007
memiliki wewenang untuk melakukan pemeriksaan untuk
menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib
Pajak dan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Dan
selanjutnya diatur dalam Pasal 29 ayat (3) menyebutkan bahwa
“wajib pajak yang diperiksa wajib: a. memperlihatkan dan/atau
meminjamkan buku atau catatan, dokumen yang menjadi
dasarnya, dan dokumen lain yang berhubungan dengan
penghasilan yang diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan bebas
Wajib Pajak, atau objek yang terutang pajak; b. memberikan
kesempatan untuk memasuki tempat atau ruang yang dipandang
perlu dan memberi bantuan guna kelancaran pemeriksaan;
dan/atau c. memberikan keterangan lain yang diperlukan”.
Tersangka dikatakan melanggar karena justru ketika Dirjen
Pajak berusaha untuk meminta keterangan, tersangka memilih
untuk kabur.
8. Bahwa akibat kasus tersebut Ronny Widharta dikenai Pasal 39 ayat
(1) huruf d atau Pasal 39 ayat (1) huruf i Undang-Undang No. 28
tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang No. 6
Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang No. 7
Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.
9. Bahwa Pasal 39 ayat (1) huruf d berbunyi “Setiap orang yang dengan
sengaja menyampaikan Surat Pemberitahuan dan/atau keterangan
yang isinya tidak benar atau tidak lengkap sehingga dapat
menimbulkan kerugian pada pendapatan negara dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6
(enam) tahun dan denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah pajak
terutang yang tidak atau kurang dibayar dan paling banyak 4 (empat)
kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar”.
10. Bahwa Pasal 39 ayat (1) huruf i berbunyi “Setiap orang yang dengan
sengaja tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipungut
sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan
paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling sedikit 2 (dua) kali
jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar dan paling
banyak 4 (empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang
dibayar”.
11. Bahwa yang dimaksud dengan Surat Pemberitahuan (SPT)
berdasarkan Pasal 1 angka 11 adalah “surat yang oleh Wajib Pajak
digunakan untuk melaporkan penghitungan dan/atau pembayaran
pajak, objek pajak dan/atau bukan objek pajak, dan/atau harta dan
kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan
perpajakan”.
12. Bahwa disebutkan dalam Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang No. 28
tahun 2007 bahwah “jumlah pajak yang terutang menurut Surat
Pemberitahuan yang disampaikan oleh wajib pajak adalah jumlah
pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan”. Namun nyatanya tersangka, Ronny Widharta justru
melakukan hal yang sebaliknya dimana tersangka terbukti mengisi
SPT dengan informasi yang tidak benar.
13. Bahwa dalam Pasal 12 ayat (3) UU No. 28 Tahun 2007 disebutkan
“Apabila Direktur Jenderal Pajak mendapatkan bukti jumlah pajak
yang terutang menurut Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) tidak benar, Direktur Jenderal Pajak menetapkan
jumlah pajak yang terutang”. Apa yang disebutkan di dalam pasal
tersebut cukup menarik mengingat tersangka mangkir dari
kewajibannya sejak tahun 2013 hingga tahun 2022 namun nyatanya
Direktorat Jenderal Pajak belum berhasil untuk membuat tersangai
melunasi pajak terutangnya padahal menurut mekanisme di dalam
peraturan perundang-undangan jika wajib pajak menolak untuk
melakukan pembayaran pajak maka Dirjen Pajak dapat melakukan
penyitaan atas aset yang dimiliki oleh wajib pajak dan nyatanya upaya
tersebut tidak dilakukan oleh Dirjen Pajak.
14. Bahwa dalam kasus ini bukan hanya tersangka, Ronny Widharta yang
telah melakukan pelanggaran namun juga Direktorat Jenderal Pajak
setempat dikarenakan tidak mengeluarkan tagihan pajak sebagaimana
diatur dalam Pasal 14 huruf d dimana pengusaha yang telah
dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak tetapi tidak membuat faktur
pajak atau membuat faktur pajak tetapi tidak tepat waktu.
15. Bahwa sebenarnya upaya pihak kepolisian untuk melakukan
penahanan terhadap tersangka, Ronny Widharta tidka berdasar
dikarenakan berdasarkan Pasal 22 ayat (1) UU No. 28 tahun 2007
menyebutkan bahwa “Hak untuk melakukan penagihan pajak,
termasuk bunga, denda, kenaikan, dan biaya penagihan pajak,
daluwarsa setelah melampaui waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak
penerbitan Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang
Bayar, serta Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan
Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan
Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali”, yang mana dalam
jangka waktu 2013 hingga 2022 tentunya telah melebihi 5 tahun
pajak.
16. Bahwa diketahui pula bahwa tersangka tidak membayarkan pajaknya
dari tahun 2013 namun Dirjen Pajak baru melakukan penyelidikan
atas kasus ini di tahun 2021 hingga kemudian tersangka kabur dan
baru diketemukan di November 2022, itu artinya memang ada
keterlambatan dari pihak Dirjen Pajak untuk mengetahui adanya
indikasi pelanggaran yang dilakukan oleh wajib pajak.
E. KESIMPULAN
1. Bahwa benar telah terjadi pelanggaran atas kwajiban wajib pajak yang
dilakukan oleh tersangka, Ronny Widharta yaitu diantaranya tidak
melaporkan dengan benar Surat Pemberitahuan, tidak menyetorkan
pajak dan tidak bersedia memberikan keterangan kepada Direktorat
Jenderal Pajak ketika dimintai keterangan. Untuk tiu atas tindakannya
tersangka telah tepat jika dikenai Pasal 39 ayat (1) huruf d atau Pasal
39 ayat (1) huruf i Undang-Undang No. 28 tahun 2007 tentang
Perubahan Ketiga atas Undang-Undang No. 6 Tahun 1983 tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah
terakhir dengan Undang-Undang No. 7 Tahun 2021 tentang
Harmonisasi Peraturan Perpajakan.
2. Bahwa selain tersangka yang melakukan pelanggaran, menurut analisa
hukum yang telah dilakukan, Direktorat Jenderal Pajak juga telah
melakukan pelanggaran dimana Tersangka tidak menyetorkan
pajaknya sejak tahun 2013 namun penyelidikan baru dilakukan di
tahun 2020, sedangkan masa kadaluwarsa penagihan pajak adalah 5
tahun itu artinya dapat dikatakan bahwa Dirjen Pajak tidak lagi
memiliki hak untuk melakukan penarikan pajak terhadap tersangka.

Anda mungkin juga menyukai