Anda di halaman 1dari 6

TUGAS 2 PRAKTEK PERPAJAKAN

1. Jelaskan dengan jelas apa saja kegiatan dan aktifitas Kantor pajak pusat dengan kantor
pajak wilayah ?

Jawaban :

Pajak pusat dan pajak daerah (wilayah) :

Pajak pusat dan pajak daerah merupakan jenis pajak yang pengelompokannya berdasar
pada lembaga pemungutannya.

Pajak pusat adalah pajak yang dipungut dan dikelola oleh Pemerintah Pusat, dalam hal
ini sebagian besar dikelola oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP).

Hasil dari pungutan jenis pajak ini kemudian digunakan untuk membiayai belanja
negara seperti pembangunan jalan, pembangunan sekolah, bantuan kesehatan dan lain
sebagainya.

Proses administrasi yang berkaitan dengan pajak pusat dilaksanakan di Kantor


Pelayanan Pajak (KPP) atau Kantor Pelayanan Penyuluhan dan Konsultasi Perpajakan
(KP2KP) dan Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak serta Kantor Pusat Direktorat
Jenderal Pajak.

Berbeda dengan pajak pusat/ nasional, pajak daerah merupakan pajak-pajak yang
dipungut dan dikelola oleh Pemerintah Daerah baik di tingkat provinsi maupun
kabupaten/kota.

Hasil dari pungutan jenis pajak ini kemudian digunakan untuk membiayai belanja
pemerintah daerah.

Proses administasinya dilaksanakan di Kantor Dinas Pendapatan Daerah atau Kantor


Pajak Daerah atau kantor sejenis yang dibawahi oleh pemerintah daerah setempat.

Banyak yang mengira jika pajak pusat dan pajak daerah berdiri sendiri karena hasil dari
pajak pusat dan pajak daerah digunakan untuk membiayai rumah tangga masing-
masing.

Nyatanya, pajak pusat dan pajak daerah bersinergi satu sama lain dalam membangun
Indonesia secara nasional dari Aceh hingga Papua.

Pembangunan nasional dapat berjalan dengan baik jika ada kesesuaian program
kegiatan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Contoh Jenis-jenis Pajak Pusat dan Pajak Daerah

Berikut ini pajak yang dikelola oleh pemerintah pusat:

1. Pajak Penghasilan (PPh)


2. Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
3. Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM)
4. Bea Materai
5. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB perkebunan, Perhutanan, Pertambangan)

Berikut ini pajak yang dikelola oleh pemerintah daerah:

1. Pajak provinsi terdiri dari:

- Pajak Kendaraan Bermotor.


- Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor.
- Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor.
- Pajak Air Permukaan.
- Pajak Rokok.

2. Pajak kabupaten/kota terdiri dari:

- Pajak Hotel.
- Pajak Restoran.
- Pajak Hiburan.
- Pajak Reklame.
- Pajak Penerangan Jalan.
- Pajak Mineral Bukan Logam dan Bantuan.
- Pajak Parkir.
- Pajak Air Tanah.
- Pajak Sarang Burung Walet.
- Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan.
- Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan.
- Sekadar informasi saja, mulai tahun 2014, Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)
Perdesaan dan Perkotaan masuk dalam kategori pajak daerah. Sedangkan Pajak
Bumi dan Bangunan (PBB) Perkebunan, Perhutanan dan Pertambangan masih
tetap merupakan pajak pusat.

2. Sebutkan dengan jelas mekanisme penagihan pajak dan resiko tidak membayar pajak ?

Penagihan pajak adalah serangkaian tindakan agar penanggung pajak melunasi utang
pajak mereka. Penagihan pajak dapat dilakukan dengan berbagai cara, seperti
menyampaikan Surat Teguran dan/ Surat Peringatan, melaksanakan Penagihan
Seketika dan Sekaligus, memberitahukan Surat Paksa, melaksanakan Penyitaan,
mengusulkan Pencegahan, melaksanakan Penyanderaan, hingga melakukan penjualan
Barang Sitaan.
Penagihan pajak ditujukan kepada Wajib Pajak yang pajaknya masih terutang dan
belum dibayarkan. Langkah tersebut menjadi salah satu langkah optimalisasi
penerimaan pajak melalui skema intensifikasi.

Tata cara bantuan penagihan pajak dengan negara mitra atau yurisdiksi mitra diatur
pada Pasal 78 sampai dengan Pasal 127, Pasal 131, Pasal 132 ayat (2), Pasal 133 sampai
dengan Pasal 135, Pasal 138, serta Pasal 145 PMK Nomor 61 Tahun 2023. Selain itu,
pemerintah juga menambah ketentuan dukungan pelaksanaan tindakan penagihan pajak
pada Pasal 146 PMK Nomor 61 Tahun 2023. Sebelumnya, ketentuan bantuan
penagihan pajak dengan pemerintah negara mitra atau yurisdiksi mitra diatur dalam
Pasal 77 sampai dengan Pasal 79 PMK Nomor 189/PMK.03/2020.

Tata cara penagihan pajak sesuai PMK 189/PMK.03/2020 dapat Anda simak dalam
artikel berikut ini.

Namun demikian, terdapat beberapa perubahan dalam tata cara penagihan pajak sesuai
PMK Nomor 61 Tahun 2023. Perubahan tersebut termasuk menambah, memperjelas,
dan menyederhanakan ketentuan yang sebelumnya diatur dalam PMK Nomor
189/PMK.03/2020.

Ketentuan baru tata cara penagihan yang ditambahkan dalam PMK Nomor 61 Tahun
2023 diantaranya yaitu:

1. Menambah wewenang Menteri Keuangan dalam menunjuk pejabat lain untuk


penagihan pajak pusat. Hal ini diatur dalam Pasal 2 Ayat (2) huruf d PMK
Nomor 61 Tahun 2023;
2. Menambah wewenang pejabat untuk mengajukan kembali permintaan
pemberitahuan saldo harta kekayaan yang tersimpan pada nomor Rekening
Keuangan Penanggung Pajak dalam hal diketahui bahwa saldo harta
kekayaan Penanggung Pajak kurang dari Utang Pajak dan Biaya Penagihan
Pajak. Hal ini diatur dalam Pasal 30 Ayat (5) PMK Nomor 61 Tahun 2023;
3. Menambahkan ketentuan bahwa jurusita dapat meminta bantuan penilaian
kepada Penilai Pajak dalam memperkirakan nilai pajak yang disita. Hal ini
diatur dalam Pasal 24 Ayat (5) PMK Nomor 61 Tahun 2023;
4. Menambah pajak karbon sebagai jenis pajak yang atas utang pajaknya wajib
dibayar dan dapat dilakukan tindak penagihan pajak yang diatur dalam Pasal
4 Ayat (2) huruf g PMK Nomor 61 Tahun 2023;

5. Menambah spesifikasi kriteria penanggung pajak orang pribadi, khususnya


untuk seorang ahli waris, para ahli waris, wali bagi anak yang belum dewasa,
dan pengampu bagi orang yang berada dalam pengampuan. Hal ini diatur
dalam Pasal 8 PMK Nomor 61 Tahun 2023;
6. Menambah spesifikasi kriteria penanggung pajak badan, khususnya dalam
hal ketentuan penanggung pajak untuk Wajib Pajak Badan yang memiliki
cabang dan Wajib Pajak badan satuan kerja instansi pemerintah. Hal ini diatur
dalam Pasal 9 PMK Nomor 61 Tahun 2023;
7. Menambah kriteria pengecualian ketentuan urutan penanggung pajak atas
Wajib Pajak Badan, yaitu dalam hal:
- dilakukan tindakan Penagihan Seketika dan Sekaligus; dan
- terdapat tanda-tanda bahwa Penanggung Pajak akan menghentikan
atau mengecilkan kegiatan perusahaan atau pekerjaan yang dilakukan
di Indonesia.
Hal ini diatur dalam Pasal 9 Ayat (10) PMK Nomor 61 Tahun 2023;
8. Menambah kriteria isi surat perintah melaksanakan penyitaan dalam Pasal 20
ayat (6) PMK Nomor 61 Tahun 2023;

9. Menambahkan kendaraan bermotor, yacht, dan pesawat terbang dalam daftar


objek sita barang bergerak dalam Pasal 23 Ayat (4) PMK Nomor 61 Tahun
2023;
10. Mengatur keadaan tertentu yang mengakibatkan barang tidak bergerak dapat
disita sebelum penyitaan barang bergerak, yaitu apabila barang bergerak
tidak ditemukan atau barang bergerak yang ditemui tidak memiliki nilai atau
harganya tidak memadai dibandingkan dengan utang pajaknya. Hal ini diatur
dalam Pasal 24 Ayat (2) PMK Nomor 61 Tahun 2023;
11. Menambah tempat lain penyimpanan barang sitaan dalam hal menurut juru
sita barang sitaan tersebut harus disimpan di kantor Pejabat atau tempat lain,
yaitu kantor aparat Pemerintah Daerah setempat yang menjadi saksi dalam
pelaksanaan sita dalam hal Penyitaan tidak dihadiri oleh Penanggung Pajak
dan Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara. Hal ini diatur dalam Pasal
25 Ayat (3) huruf d dan e PMK Nomor 61 Tahun 2023;
12. Menambah dua kondisi tertentu pencabutan sita, yaitu dalam hal:
a. Barang sitaan yang dijual secara lelang maupun tidak secara lelang tidak
terjual dan Pejabat mendapatkan Barang lain dengan nilai paling sedikit
sama dengan Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak; dan/atau
b. Wajib Pajak telah mendapatkan keputusan persetujuan pengangsuran
pembayaran Pajak atas Utang Pajak yang menjadi dasar dilakukan
Penyitaan.
Hal ini diatur dalam Pasal 26 Ayat (2) PMK Nomor 61 Tahun 2023;

13. Menambah dua kondisi tertentu pencabutan blokir, yaitu dalam hal:
a. Wajib Pajak telah mendapatkan keputusan persetujuan pengangsuran
pembayaran Pajak atas Utang Pajak yang menjadi dasar dilakukan
Pemblokiran;, dan/ atau
b. Telah dilakukan Pemblokiran yang melebihi jumlah Utang Pajak dan
Biaya Penagihan Pajak.
Hal ini diatur dalam Pasal 33 Ayat (1) huruf h dan i PMK Nomor 61
Tahun 2023;
14. Menambah ketentuan tata cara pemblokiran dalam rangka melaksanakan
penyitaan terhadap surat berharga yang diatur dalam Pasal 43, 44, dan 45
PMK Nomor 61 Tahun 2023;
15. Menambah ketentuan tata cara penyitaan surat berharga yang tidak
diperdagangkan di Pasar Modal, Piutang, dan Penyertaan Modal, yang diatur
dalam Pasal 48 dan 49 PMK Nomor 61 Tahun 2023;
16. Menambah ketentuan tata cara pelaksanaan penjualan baik secara lelang
maupun penjualan yang tidak dilakukan dengan cara lelang, yang diatur
dalam Pasal 51, 52, dan 53 PMK Nomor 61 Tahun 2023;
17. Menambah ketentuan tata cara penyampaian dokumen terkait penagihan
pajak, yang diatur dalam Pasal 133 sampai dengan Pasal 138 PMK Nomor
61 Tahun 2023.

Selain itu, PMK Nomor 61 Tahun 2023 juga memperjelas beberapa ketentuan yang
sebelumnya telah diatur. Terkait ketentuan jangka waktu yang sebelumnya
beredaksikan “mendekati daluwarsa penagihan”, aturan ini mengatur jangka waktu
lebih jelas menjadi “daluwarsa dalam jangka waktu kurang dari 2 (dua) tahun” dalam
Pasal 6 Ayat (8) huruf b, Pasal 6 Ayat (10) huruf a, dan Pasal 9 Ayat (10) huruf d PMK
Nomor 61 Tahun 2023. Aturan ini juga memperjelas kriteria pegawai yang dapat
menerima pemberitahuan surat paksa atas Wajib Pajak Badan, yaitu pegawai tetap yang
meliputi pegawai perusahaan yang membidangi keuangan, pembukuan, perpajakan,
personalia, hubungan masyarakat, atau bagian umum dan bukan pegawai harian yang
diatur dalam Pasal 15 Ayat (4) huruf b PMK Nomor 61 Tahun 2023.

Ketentuan yang lebih spesifik juga diatur dalam kaitannya dengan kriteria pemerintah
daerah sebagai pihak yang menerima surat paksa dalam hal pemberitahuan surat paksa
tidak dapat dilaksanakan. Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud yaitu sekurang-
kurangnya setingkat Sekretaris Kelurahan atau Sekretaris Desa yang diatur dalam Pasal
18 Ayat (1) PMK Nomor 61 Tahun 2023. Selain itu, dalam Pasal 18 Ayat (3) PMK
Nomor 61 Tahun 2023, pemerintah juga mengatur adanya cara lain mengumumkan
surat paksa yaitu melalui situs resmi Direktorat Jenderal Pajak atau situs lain yang
ditunjuk oleh Pejabat.

Resiko tidak membayar pajak


Resiko tidak membayar pajak yaitu dikenakan sanksi pajak, sanksi pajak dibagi 2, yaitu sanksi
administrasi dan sanksi pidana,
Sanksi administrasi yaitu sanksi berupa pembayaran kerugian kepada negara, yaitu denda,
bunga, dan kenaikan. Sanksi diatur dalam undang- undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang
perubahan ketiga atas Undang- undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang ketentuan umum dan tata
cara perpajakan.
Perbuatan yang dikenai sanksi administrasi, seperti terlambat membayar pajak, tidak
membayar pajak penghasilan (PPh) tahun berjalan dan menyampaikan Surat Pemberitahuan
Tahunan (SPT) yang isinya tidak lengkap karena kealpaan dan baru pertama kali.
Menurut Undang- undang tersebut, denda yang harus dibayarkan akibat terkena sanksi
administrasi minimal Rp.100 rb dan maksimal 100% dari jumlah pajak.
Untuk bunga, sanksi yang harus dibayar minimal 2% dari pajak yang ditagih dan maksimal
48% dari jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar. Sementara sanksi kenaikan diberi
minimal 50% dari pajak yang kurang bayar dan maksimal 200% jika melanggar aturan.
Sanksi pidana, menurut Undang- undang, ada tiga macam sanksi pidana terhadap wajib pajak
yang melakukan pelanggaran, yaitu denda pidana, kurungan dan penjara. Selain wajib pajak
denda pidana juga diberikan kepada pejabar pajak atau pihak ketiga yang melanggar
perpajakan. Contoh pelanggaran yang dapat dikenakan denda pidana adalah tidak
menyampaikan SPT atau menyampaikan SPT yang isinya tidak benar lebih dari sekali.
Ancaman sanksi denda mulai dari satu kali jumlah pajak terutang hingga 1 M. Contoh
perbuatan yang dapat dihukum dengan penjara, yaitu tidak menyetorkan pajak yang telah
dipungut sehingga menimbulkan kerugian negara.

Sumber referensi : pajak.go.id

Anda mungkin juga menyukai