Perencanaan Pajak
Definisi Perencanaan Pajak
Misalnya, PPh Pasal 22 atas pembelian solar dan/atau impor dan Fiskal Luar Negeri
atas perjalanan dinas pegawai.
Motivasi dilakukan Tax Planning
1. Kebijakan perpajakan (tax policy)
Disisi pemerintah kebijakan perpajakan merupakan salah satu
bagian atau instrumen kebijakan fiskal yang bertujuan untuk
mengatur perekonomian negara dalam rangka
meningkatkan penerimaan negara. Disisi wajib pajak
sebaliknya, kebijakan perpajakan merupakan pemilihan
alternatif yang dilakukan dengan alasan yang akan dituju
khususnya dalam sistem perpajakan.
Aspek kebijakan pajak yang menjadi dorongan dilakukannya
perencanaan pajak adalah :
• Jenis pajak yang akan dipungut
• Subyek pajak
• Obyek pajak
• Tarif Pajak
Strategi efesiensi PPh Badan akan lebih optimal apabila wajib pajak memahami
timbulnya perhitungan penghasilan kena pajak. Penghasilan kena pajak merupakan laba
yang dihitung berdasarkan peraturan perpajakan yang berlaku di Indonesia, yaitu UU No. 17
tahun 2000 dan peraturan pelaksanannnya. Karena terjadi perbedaan dalam perhitungan
laba akuntansi dan laba kena pajak, perusahaan dapat memilih perlakuan pajak yang tepat
sehingga dapat menghasilkan efisiensi pajak yang besar.
Upaya-upaya yang dapat dilakukan dalam menjalankan perencanaan pajak guna
meminimalkan jumlah pajak penghasilan (PPh) terhutang badan adalah
1. Memperhatikan biaya
Perpajakan membagi biaya menjadi dua kategori yaitu, biaya deductible dan biaya non deductible.
Biaya deductible adalah biaya yang tidak perlu dilakukan koreksi fiskal karena biaya tersebut diakui oleh
peraturan perpajakan, artinya dapat dikurangkan dari laba kotor pada laporan laba rugi perusahaan.
Sedangkan biaya non deductible adalah biaya yang tidak diakui oleh perpajakan artinya biaya tersebut
tidak boleh mengurangi laba kotor perusahaan dan harus dilakukan koreksi fiskal positif.
Dari pengelompokan biaya tersebut maka perusahaan harus mengelola transaksi yang biayanya tidak
boleh dikurangkan secara fiskal. Staff Accounting perusahaan seringkali menggunakan istilah yang kurang
tepat untuk biaya-biaya yang dikeluarkan, sehingga pada waktu pemeriksaan laporan laba rugi, biaya
tersebut tidak dapat dikurangkan dari laba kotor perusahaan.
Contohnya:
1. Biaya promosi, biaya keamanan, dibukukan sebagai biaya sumbangan. Berdasarkan pasal 9(1) huruf g
UU PPh , sumbangan tidak diperkenankan dikurangkan sebagai biaya
2. Biaya latihan pegawai dibukukan sebagai biaya rekreasi pegawai
3. Pengeluaran biaya promosi yang tidak didukung oleh daftar nominative sesuai ketentuan PMK Nomor
02/PMK.03/2010 tanggal 8 Januari 2010
2. Witholding berhubungan dengan pemotongan dan pemungutan pajak. Perusahaan harus mengoptimalkan kredit pajak
dengan cara selalu meminta bukti potong untuk setiap transaksi yang dilakukan. Karena bukti potong tersebut di akhir tahun
dapat dijadikan sebagai kredit pajak yang akan mengurangi PPh badan yang terhutang. Contoh : bukti potong PPh pasal 22,
PPh pasal 23, PPh pasal 24 dan STP PPh pasal 25.
Perusahaan memberikan tunjangan pajak terhadap karyawan. Hal ini diperbolehkan oleh pajak untuk dijadikan sebagai
biaya. Pemberian tunjangan paajak dapat memberikan keuntungan bagi kedua pihak. Karyawan merasa diuntungkan dan
perusahaan dapat memperkecil pajaknya
Merger dengan perusahaan yang mengalami kebangkrutan dapat memperkecil pajak yang harus dibayar. Menurut Surat
Edaran Dirjen Pajak No. SE -21/PJ.42/1999 tanggal 26 Mei 1999, bila kedua perusahaan tersebut digabungkan maka
akumulasi kerugian perusahaan yang merugi tersebut dapat dialihkan ke perusahaan gabungan sepanjang sebelumnya telah
dilakukan revaluasi aktiva tetap.
Revaluasi adalah penilaian kembali aktiva dan bertujuan untuk memunculkan lagi aktiva yang sudah habis nilai manfaatnya.
Hal ini bertujuan agar biaya depresiasi atas aktiva tersebut masih ada dan dapat mengurangi laba kotor perusahaan.
Strategi dalam Perencanaan
Pajak PERTAMBAHAN NILAI
Strategi PADA SAAT PENDIRIAN PERUSAHAAN
Menganalisis kebijakan PPN agar terhindar dari sanksi administrasi yang dapat
memboroskan keuangan perusahaan.
Mengefisienkan cashflow perusahaan dengan memanfaatkan berbagai fasilitas
dibidang PPN dan/atau PPn BM.
Mengefisienkan biaya administrasi terkait dengan kewajiban sebagai pengusaha
kena pajak.
Memastikan barang dan/atau jasa yang akan dihasilkan merupakan BKP
dan/atau JKP yang terhutang PPN atau tidak terhutang PPN atau termasuk BKP
dan/atau JKP yang penyerahannya mendapat pembebasan PPN
Strategi Saat pelaksanaan kegiatan
usaha
Fasilitas PPN 0%
Fasilitas Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) diatur Peraturan Pemerintah (PP) No.2 Tahun 2011
tentang Penyelenggaraan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK)
PPN & PPnBM tidak dipungut atas Pemasukkan Barang Kena Pajak (BKP) tertentu dari Tempat
Lain di Dalam Daerah Pabean (TLDDP) atau dari selain TLDDP oleh Badan atau Pelaku Usaha di
KEK,
PPN & PPnBM tidak dipungut atas pemasukan BKP tertentu dari KEK lainnya, oleh Pelaku Usaha
di KEK; atau
PPN & PPnBM tidak dipungut atas penyerahan BKP tertentu antar Pelaku Usaha di KEK.
PPN dibebaskan atas impor dan penyerahan BKP Tertentu, Jasa Kena Pajak (JKP)
Tertentu, dan BKP Tertentu yang bersifat strategis yang dibebaskan dari pengenaan PPN
sesuai peraturan perpajakan yang berlaku;
Kawasan Pengembangan Ekonomi
Terpadu (KAPET)
Peraturan Pemerintah Pasal 2 nomor 20 tahun 2000 mengatur:
Kepada Pengusaha di Kawasan Berikat (PDKB) di dalam wilayah KAPET dapat diberikan fasilitas perpajakan
berupa Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa, dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah tidak dipungut
atas :
impor barang modal atau peralatan lain oleh PDKB yang berhubungan langsung dengan kegiatan
produksi;
impor barang dan/atau bahan untuk diolah di PDKB;
pemasukan Barang Kena Pajak dari Daerah Pabean Indonesia Lainnya, untuk selanjutnya disebut DPIL, ke
PDKB untuk diolah lebih lanjut;
pengiriman barang hasil produksi PDKB ke PDKB lainnya untuk diolah lebih lanjut;
pengeluaran barang dan atau bahan dari PDKB ke perusahaan industri di DPIL atau PDKB lainnya dalam
rangka subkontrak;
penyerahan kembali Barang Kena Pajak hasill pekerjaan subkontrak oleh Pengusaha Kena Pajak di DPIL
atau PDKB lainnya kepada Pengusaha Kena Pajak PDKB asal;
peminjaman mesin dan atau peralatan pabrik dalam rangka subkontrak dari PDKB kepada perusahaan
industri di DPIL atau PDKB lainnya dan pengembaliannya ke PDKB asal.
Fasilitas PPN 0%
Fasilitas PPN dengan tarif 0% diterapkan atas kegiatan ekspor.
Sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang No. 42
Tahun 2009 (UU PPN) tarif PPN sebesar 0% dikenakan atas ekspor BKP
berwujud, ekspor BKP tidak berwujud, dan ekspor JKP.
PPN merupakan pajak yang dikenakan atas konsumsi BKP di dalam
daerah pabean. Oleh karena itu, BKP atau JKP dari dalam daerah
pabean yang dimanfaatkan di luar daerah pabean, selayaknya tidak
dikenakan PPN.
Pengenaan tarif 0% ini tidak berarti sebagai pembebasan PPN. Dengan
demikian, pajak masukan yang telah dibayar untuk perolehan BKP
dan/atau JKP yang berkaitan dengan kegiatan tersebut dapat
dikreditkan.
Fasilitas Tidak Dikenakan PPN
Fasilitas tidak dikenakan PPN ini diterapkan atas penyerahan barang dan
jasa yang tidak termasuk objek PPN. Jenis barang dan jasa yang tidak
menjadi objek PPN ini diatur dalam Pasal 4A UU PPN. Sebagaimana
dipahami, UU PPN mengadopsi sistem negative-list, sehingga barang dan
jasa lain yang tidak termasuk dalam Pasal 4A maka secara otomatis
menjadi objek PPN.
Untuk itu, jika pengusaha hanya memiliki usaha yang penyerahannya
tidak dikenakan PPN, maka pengusaha tersebut tidak wajib untuk
dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP). Selain itu, pajak
masukan atas perolehan BKP dan/atau JKP terkait kegiatan tersebut
tidak dapat dikreditkan.
Fasilitas PPN Dibebaskan
Fasilitas PPN dibebaskan diberikan untuk kegiatan usaha tertentu maupun penyerahan BKP dan/atau JKP
tertentu. Berdasarkan Pasal 16B ayat (1) UU PPN, fasilitas berupa pembebasan PPN dapat diberikan untuk :
kegiatan di kawasan tertentu atau tempat tertentu di dalam daerah pabean;
penyerahan BKP tertentu atau penyerahan JKP tertentu;
impor BKP tertentu;
pemanfaatan BKP tidak berwujud tertentu dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean; dan
pemanfaatan JKP tertentu dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean.
Ketentuan lebih detail mengenai fasilitas PPN dibebaskan ini diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP), di
antaranya PP Nomor 81 Tahun 2015 tentang Impor dan/atau Penyerahan BKP Tertentu yang Bersifat Strategis
yang Dibebaskan dari Pengenaan PPN dan PP No. 2 Tahun 2009 tentang Perlakuan Kepabeanan, Perpajakan,
dan Cukai serta Pengawasan atas Pemasukan dan Pengeluaran Barang ke dan dari serta Berada di Kawasan
yang telah Ditunjuk Sebagai Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas.Selain itu, perlu diketahui,
adanya perlakukan khusus berupa pembebasan dari pengenaan PPN mengakibatkan tidak adanya pajak
keluaran, sehingga pajak masukan yang berkaitan dengan penyerahan BKP dan/atau JKP yang memperoleh
pembebasan tersebut tidak dapat dikreditkan. Hal ini diatur dalam Pasal 16B ayat (3) UU PPN.
Fasilitas PPN Tidak Dipungut
Fasilitas PPN tidak dipungut juga diberikan untuk kegiatan usaha tertentu
maupun penyerahan BKP dan/atau JKP tertentu. Hal ini diatur dalam
Pasal 16B ayat (1) UU PPN. Hanya saja, berbeda dengan fasilitas PPN
dibebaskan, dalam fasilitas PPN tidak dipungut, pajak masukan yang
berkaitan dengan penyerahan BKP dan/atau JKP yang mendapat
fasilitas dimaksud tetap dapat dikreditkan.
Ketentuan lebih teknis mengenai fasilitas PPN dibebaskan ini diatur
dalam bentuk PP, di antaranya PP No. 85 Tahun 2015 tetang Perubahan
PP No. 32 Tahun 2009 tentang tempan penimbunan berikat serta PP No.
147 Tahun 2000 tentang Perlakuan Perpajakan di Kawasan
Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET) sebagaimana telah diubah
dengan PP No. 20 Tahun 2000.
KETENTUAN UNDANG-UNDANG DALAM
MANAJEMEN UNTUK MENGHEMAT PAJAK
Menurut Undang-Undang nomor 28 Tahun 2007 dan Peraturan Pemerintah nomor 74 Tahun
2011, untuk mendapatkan pengembalian kelebihan pajak terdapat tiga pintu yaitu:
1. Verivikasi
2. Pemeriksaan, dan
3. Penelitian
Dalam pengajuan pengembelian kelebihan bayar, bisa dilakukan melalui proses Pengembalian
Pendahuluan maupun proses Restitusi biasa.
Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pembayaran Pajak atau yang disebut Pengembalian Pendahuluan
adalah pengembalian kelebihan pembayaran pajak yang diberikan kepada Wajib Pajak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 17C atau Pasal 17D Undang-Undang KUP, atau Pasal 9 ayat (4c) Undang-Undang
PPN.
Pengembalian Pendahuluan dapat diberikan kepada:
a. Pengusaha Kriteria Tertentu
Untuk dapat ditetapkan sebagai Wajib Pajak Kriteria Tertentu, Wajib Pajak harus memenuhi persyaratan
sebagai berikut:
• Tepat Waktu Dalam Menyampaikan Surat Pemberitahuan
• Tidak Mempunyai Tunggakan Pajak Untuk Semua Jenis Pajak, Kecuali Tunggakan Pajak Yang Telah
Memperoleh Izin Mengangsur Atau Menunda Pembayaran Pajak
• Laporan Keuangan Diaudit Oleh Akuntan Publik Atau Lembaga Pengawasan Keuangan Pemerintah
Dengan Pendapat Wajar Tanpa Pengecualian Selama 3 (Tiga) Tahun Berturut-Turut
• Tidak Pernah Dipidana Karena Melakukan Tindak Pidana Di Bidang Perpajakan Berdasarkan Putusan
Pengadilan Yang Telah Mempunyai Kekuatan Hukum Tetap Dalam Jangka Waktu 5 (Lima) Tahun Terakhir
b. Pengusaha Persyaratan Tertentu
Wajib Pajak Persyaratan Tertentu adalah Wajib Pajak yang memenuhi persyaratan
tertentu yang dapat diberikan Pengembalian Pendahuluan terhadap kelebihan
pembayaran Pajak Penghasilan maupun Pajak Pertambahan Nilai. Wajib pajak tersebut
meliputi :
Wajib Pajak orang pribadi yang tidak menjalankan usaha atau pekerjaan bebas yang
menyampaikan SPT Tahunan Pajak Penghasilan lebih bayar restitusi
Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas yang
menyampaikan SPT Tahunan Pajak Penghasilan lebih bayar restitusi dengan jumlah
lebih bayar paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah)
Wajib Pajak Badan yang menyampaikan SPT Tahunan Pajak Penghasilan lebih bayar
restitusi dengan jumlah lebih bayar paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah); atau
Pengusaha Kena Pajak yang menyampaikan SPT Masa Pajak Pertambahan Nilai lebih
bayar restitusi dengan jumlah lebih bayar paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah)
c. Pengusaha Kena Pajak Berisiko Rendah
Pengusaha Kena Pajak Berisiko Rendah merupakan Pengusaha Kena Pajak yang melakukan
kegiatan tertentu dan ditetapkan sebagai Pengusaha Kena Pajak Berisiko Rendah yang dapat
diberikan Pengembalian Pendahuluan atas kelebihan pembayaran Pajak Pertambahan Nilai pada
setiap Masa Pajak. Pengusaha yang dimaksud meliputi:
perusahaan yang sahamnya diperdagangkan di bursa efek di Indonesia
perusahaan yang saham mayoritasnya dimiliki secara langsung oleh pemerintah pusat dan/atau
pemerintah daerah
Pengusaha Kena Pajak yang telah ditetapkan sebagai Mitra Utama Kepabeanan sesuai dengan
ketentuan dalam Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur mengenai Mitra Utama Kepabeanan
Pengusaha Kena Pajak yang telah ditetapkan sebagai Operator Ekonomi Bersertifikat (Authorized
Economic Operator) sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur
mengenai Operator Ekonomi Bersertifikat
pabrikan atau produsen selain Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam huruf a
sampai dengan huruf d, yang memiliki tempat untuk melakukan kegiatan produksi; atau
Pengusaha Kena Pajak yang memenuhi persyaratan tertentu.
Imbalan Bunga