Anda di halaman 1dari 55

Konsep Umum Strategi dan

Perencanaan Pajak
Definisi Perencanaan Pajak

Upaya-upaya manajemen dalam memenuhi


kewajiban perpajakan yang benar, tetapi jumlah
pajak dapat ditekan serendah mungkin untuk
memperoleh laba dan likuiditas yang diharapkan
Pada umumnya, perencanaan pajak (tax planning) merujuk kepada
proses merekayasa usaha dan transaksi Wajib Pajak agar utang pajak berada
dalam jumlah yang minimal, tetapi masih dalam bingkai peraturan perpajakan.
Namun demikian, perencanaan pajak juga dapat diartikan sebagai
perencanaan pemenuhan kewajiban perpajakan secara lengkap, benar, dan
tepat waktu sehingga dapat secara optimal menghindari pemborosan sumber
daya.
Perencanaan pajak merupakan langkah awal dalam manajemen
pajak. Manajemen pajak itu sendiri merupakan sarana untuk memenuhi
kewajiban perpajakan dengan benar, tetapi jumlah pajak yang dibayarkan
dapat ditekan seminimal mungkin untuk memperoleh laba dan likuiditas yang
diharapkan. Langkah selanjutnya adalah pelaksanaan kewajiban perpajakan
(tax implementation) dan pengendalian pajak (tax control).
Pada tahap perencanaan pajak ini, dilakukan pengumpulan dan
penelitian terhadap peraturan perpajakan.
Tujuan Perencanaan Pajak
 Menghilangkan/menghapus pajak sama sekali
 Menghilangkan/menghapus pajak dalam tahun berjalan
 Menunda pengakuan penghasilan
 Mengubah penghasilan rutin berbentuk capital gain
 Memperluas bisnis atau melakukan ekspansi usaha dalam bentuk
badan usaha baru
 Menghindari pengenaan pajak berganda
 Menghindari bentuk penghasilan yang bersifat rutin atau teratur
atau membentuk, memperbanyak atau mempercepat
pengurangan pajak
Tujuannya adalah agar dapat dipilih jenis tindakan penghematan pajak yang akan
dilakukan. Pada umumnya, penekanan perencanaan pajak (tax planning) adalah untuk
meminimimalisasi kewajiban pajak.
Perencanaan pajak umumnya selalu dimulai dengan meyakinkan apakah suatu
transaksi atau kejadian mempunyai dampak perpajakan. Apabila kejadian tersebut
mempunyai dampak pajak, apakah dampak tersebut dapat diupayakan untuk
dikecualikan atau dikurangi jumlah pajaknya. Selanjutnya, apakah pembayaran pajak
tersebut dapat ditunda.
Pada dasarnya, perencanaan pajak harus memenuhi syarat-syarat berikut: (1)
tidak melanggar ketentuan perpajakan, (2) secara bisnis dapat diterima, dan (3) bukti-
bukti pendukungnya memadai. Mohammad Zain (2005 : 43) mendefinisikan bahwa :
“Perencanaan pajak adalah proses mengorganisasi usaha Wajib Pajak atau
kelompok Wajib Pajak sedemikian rupa sehingga utang pajaknya, baik wajib pajak
penghasilan maupun pajak-pajak lainnya, berada dalam posisi yang paling minimal
sepanjang hal ini dimungkinkan oleh ketentuan perundang-undangan perpajakan
maupun secara komersial.”
Tahapan Tax Planning
 Menganalisis informasi yang ada (analyzing the existing data base)
 Membuat satu atau lebih model kemungkinan jumlah pajak
(designing one or more possible tax plans)
 Mengevaluasi pelaksanaan perencanaan pajak (evaluating a tax
plan)
 Mencari kelemahan dan memperbaiki kembali rencana pajak
(debugging the tax plans)
 Memutakhirkan rencana pajak (updating the tax plan)
Strategi Umum Perencanaan Pajak
Tax saving
Tax saving merupakan upaya efisiensi beban pajak melaluipemilihan
alternatif pengenaan pajak dengan tarif yang lebih rendah.

Misalnya, perusahaan yang memiliki penghasilan kena pajak lebih dari


Rp. 100 juta dapat melakukan perubahan pemberian natura kepada
karyawan menjadi tunjangan dalam bentuk uang. Penghematan pajak
atas perubahan ini berkisar antara 5%-25% untuk penghasilan karyawan
sampai dengan Rp200 juta.
Tax avoidance
Tax avoidance merupakan upaya efisiensi beban pajak dengan menghindari
pengenaan pajak melalui transaksi yang bukan merupakan objek pajak.

Misalnya, perusahaan yang masih mengalami kerugian, perlu mengubah tunjangan


karyawan dalam bentuk uang menjadi pemberian natura karena natura bukan
merupakan objek pajak PPh Pasal 21. Dengan demikian, terjadi penghematan pajak
antara 5%-35%.

Menghindari pelanggaran atas peraturan perpajakan


Dengan menguasai peraturan pajak yang berlaku, perusahaan dapat menghindari
timbulnya sanksi perpajakan berupa:
a. Sanksi administrasi: denda, bunga, atau kenaikan;
b. Sanksi pidana: pidana atau kurungan.
Menunda pembayaran kewajiban pajak
Menunda pembayaran kewajiban pajak tanpa melanggar peraturan yang berlaku
dapat dilakukan melalui penundaan pembayaran PPN. Penundaan ini dilakukan
dengan menunda penerbitan faktur pajak keluaran hingga batas waktu yang
diperkenankan, khususnya untuk penjualan kredit. Dalam hal ini, penjual dapat
menerbitkan faktur pajak pada akhir bulan berikutnya setelah bulan penyerahan
barang.

Mengoptimalkan kredit pajak yang diperkenankan


Wajib Pajak sering kurang memperoleh informasi mengenai pembayaran pajak
yang dapat dikreditkan yang merupakan pajak dibayar dimuka.

Misalnya, PPh Pasal 22 atas pembelian solar dan/atau impor dan Fiskal Luar Negeri
atas perjalanan dinas pegawai.
Motivasi dilakukan Tax Planning
1. Kebijakan perpajakan (tax policy)
Disisi pemerintah kebijakan perpajakan merupakan salah satu
bagian atau instrumen kebijakan fiskal yang bertujuan untuk
mengatur perekonomian negara dalam rangka
meningkatkan penerimaan negara. Disisi wajib pajak
sebaliknya, kebijakan perpajakan merupakan pemilihan
alternatif yang dilakukan dengan alasan yang akan dituju
khususnya dalam sistem perpajakan.
Aspek kebijakan pajak yang menjadi dorongan dilakukannya
perencanaan pajak adalah :
• Jenis pajak yang akan dipungut

• Subyek pajak

• Obyek pajak

• Tarif Pajak

• Prosedur pembayaran pajak


2. Undang-undang perpajakan (tax law)
Dalam kenyataan tidak ada peraturan yang sempurna. Seringkali
ketidaksempurnaan itu menjadi celah untuk dimanfaatkan. Terlebih apabila salah
satu peraturan diketahui memiliki ketidaksempurnaan jangka waktu dalam
melakukan perubahannya tidak sebentar. Bagi perusahaan selama peraturan
perundang-undangan yang memiliki celah hukum itu belum diubah maka hal itu bisa
dimanfaatkan untuk kepentingan efisensi pajak.

3. Administrasi perpajakan (tax administration)


Luasnya wilayah di Indonesia membuat penerapan adminsitrasi perpajakan tidak
secara merata bisa dilaksanakan. Belum lagi dengan banyaknya jumlah penduduk
membuat adanya perbedaan penafsiran yang terjadi antar fiskus atau antara fiskus
dengan wajib pajak. Hal ini bisa dimanfaatkan untuk kepentingan.
Jenis-jenis Tax Planning
Tax planning dibagi menjadi dua:
1) Tax planning domestic nasional (national tax planning)
National tax planning hanya memperhatikan Undang-Undang Domestik, pemilihan
atas dilaksanakan atau tidak suatu transaksi dalam national tax planning bergantung
pada transaksi tersebut, artinya untuk menghindari/mengurangi pajak, wajib pajak
dapat memilih jenis transaksi apa yang harus dilaksanakan sesuai dengan hukum pajak
yang ada, misalnya akan terkena tarif pajak khusus final atau tidak?.
2) International tax planning
International tax planning selain memperhatikan Undang-Undang Domestik, juga
harus memperhatikan undang-undang atau perjanjian pajak (tax treaty) dari negara-
negara yang terlibat.
PAJAK DAERAH

Pajak Kabupaten/Kota Pajak Provinsi


 Pajak Hotel ◦ Pajak Kendaraan Bermotor

PAJAK PUSAT  Pajak Restoran ◦ Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor


 Pajak Hiburan ◦ Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor
 PPh  Pajak Reklame ◦ Pajak Air Permukaan
 PBB  Pajak Penerangan Jalan ◦ Pajak Rokok
 PPN & PPnBm  Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan
 Bea Materai  Pajak Parkir
 BPHTB  Pajak Air Tanah
 Pajak Sarang Walet
 Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan
 Bea Perolehan Ha katas Tanah dan Bangunan
Jenis-jenis Pajak Berdasarkan Sifatnya
1 ) Pajak subjektif
Pajak subjektif yaitu pajak yang pemungutannya berdasarkan diri wajib pajak, misalnya pajak
penghasilan (PPh).
2 ) Pajak objektif
Pajak objektif yaitu pajak yang pemungutannya berdasarkan objek atau tidak memerhatikan
keadaan wajib pajak.
Contohnya Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM).
Jenis-jenis Pajak Berdasarkan Golongan
1 ) Pajak langsung
Pajak langsung adalah pajak yang harus ditanggung sendiri oleh wajib pajak dan tidak dapat
dilimpahkan kepada orang lain.
Contoh pajak langsung yaitu Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), dan Pajak
Kendaraan Bermotor (PKB).
2 ) Pajak tidak langsung
Pajak tidak langsung adalah pajak yang harus dibayar pihak tertentu, tetapi dapat dilimpahkan
kepada orang lain. Contoh pajak tidak langsung, yaitu Pajak Penjualan (PPn), Pajak Pertambahan
Nilai (PPN), dan bea impor.
STRATEGI MANAJEMEN UNTUK PERUSAHAAN YANG BARU BERDIRI

1. Membuat akte perusahaan di notaris


2. Mendapatkan Surat Keterangan Domisili Usaha
3. mengurus NPWP perusahaan
4. mendapatkan Surat Keputusan pendirian perusahaan dari
Kementerian Hukum dan HAM
5. mengurus SIUP
6. mengurus Tanda Daftar Perusahaan (TDP)
MANAJEMEN PERUSAHAAN DALAM
RANGKA PENINGKATAN EFISIENSI PAJAK
DAN KEUANGAN
a. Menyegerakan pengajuan Nomor Pokok Pengusaha Kena Pajak
(NPPKP) pada perusahaan yang baru bediri.
b. Memilih mendirikan perusahaan di lokasi yang mendapat fasilitas
perpajakan PPN.
c. Mengusahakan membeli bahan baku pada saat akan menjalankan
proses produksi.
d. Mengajukan permohonan sentralisasi PPN bagi perusahaan yang
mempunyai kantor cabang.
e. Penanganan Faktur Pajak dengan baik.
Strategi Perencanaan Pajak Pajak Penghasilan Badan

Strategi efesiensi PPh Badan akan lebih optimal apabila wajib pajak memahami
timbulnya perhitungan penghasilan kena pajak. Penghasilan kena pajak merupakan laba
yang dihitung berdasarkan peraturan perpajakan yang berlaku di Indonesia, yaitu UU No. 17
tahun 2000 dan peraturan pelaksanannnya. Karena terjadi perbedaan dalam perhitungan
laba akuntansi dan laba kena pajak, perusahaan dapat memilih perlakuan pajak yang tepat
sehingga dapat menghasilkan efisiensi pajak yang besar.
Upaya-upaya yang dapat dilakukan dalam menjalankan perencanaan pajak guna
meminimalkan jumlah pajak penghasilan (PPh) terhutang badan adalah
1. Memperhatikan biaya
Perpajakan membagi biaya menjadi dua kategori yaitu, biaya deductible dan biaya non deductible.
Biaya deductible adalah biaya yang tidak perlu dilakukan koreksi fiskal karena biaya tersebut diakui oleh
peraturan perpajakan, artinya dapat dikurangkan dari laba kotor pada laporan laba rugi perusahaan.
Sedangkan biaya non deductible adalah biaya yang tidak diakui oleh perpajakan artinya biaya tersebut
tidak boleh mengurangi laba kotor perusahaan dan harus dilakukan koreksi fiskal positif.
Dari pengelompokan biaya tersebut maka perusahaan harus mengelola transaksi yang biayanya tidak
boleh dikurangkan secara fiskal. Staff Accounting perusahaan seringkali menggunakan istilah yang kurang
tepat untuk biaya-biaya yang dikeluarkan, sehingga pada waktu pemeriksaan laporan laba rugi, biaya
tersebut tidak dapat dikurangkan dari laba kotor perusahaan.
Contohnya:
1. Biaya promosi, biaya keamanan, dibukukan sebagai biaya sumbangan. Berdasarkan pasal 9(1) huruf g
UU PPh , sumbangan tidak diperkenankan dikurangkan sebagai biaya
2. Biaya latihan pegawai dibukukan sebagai biaya rekreasi pegawai
3. Pengeluaran biaya promosi yang tidak didukung oleh daftar nominative sesuai ketentuan PMK Nomor
02/PMK.03/2010 tanggal 8 Januari 2010
2. Witholding berhubungan dengan pemotongan dan pemungutan pajak. Perusahaan harus mengoptimalkan kredit pajak
dengan cara selalu meminta bukti potong untuk setiap transaksi yang dilakukan. Karena bukti potong tersebut di akhir tahun
dapat dijadikan sebagai kredit pajak yang akan mengurangi PPh badan yang terhutang. Contoh : bukti potong PPh pasal 22,
PPh pasal 23, PPh pasal 24 dan STP PPh pasal 25.

3. Groos up tunjangan PPh 21

Perusahaan memberikan tunjangan pajak terhadap karyawan. Hal ini diperbolehkan oleh pajak untuk dijadikan sebagai
biaya. Pemberian tunjangan paajak dapat memberikan keuntungan bagi kedua pihak. Karyawan merasa diuntungkan dan
perusahaan dapat memperkecil pajaknya

4. Merger dengan perusahaan yang memiliki kerugian yang besar

Merger dengan perusahaan yang mengalami kebangkrutan dapat memperkecil pajak yang harus dibayar. Menurut Surat
Edaran Dirjen Pajak No. SE -21/PJ.42/1999 tanggal 26 Mei 1999, bila kedua perusahaan tersebut digabungkan maka
akumulasi kerugian perusahaan yang merugi tersebut dapat dialihkan ke perusahaan gabungan sepanjang sebelumnya telah
dilakukan revaluasi aktiva tetap.

5. Melakukan revaluasi aktiva tetap perusahaan

Revaluasi adalah penilaian kembali aktiva dan bertujuan untuk memunculkan lagi aktiva yang sudah habis nilai manfaatnya.
Hal ini bertujuan agar biaya depresiasi atas aktiva tersebut masih ada dan dapat mengurangi laba kotor perusahaan.
Strategi dalam Perencanaan
Pajak PERTAMBAHAN NILAI
Strategi PADA SAAT PENDIRIAN PERUSAHAAN
 Menganalisis kebijakan PPN agar terhindar dari sanksi administrasi yang dapat
memboroskan keuangan perusahaan.
 Mengefisienkan cashflow perusahaan dengan memanfaatkan berbagai fasilitas
dibidang PPN dan/atau PPn BM.
 Mengefisienkan biaya administrasi terkait dengan kewajiban sebagai pengusaha
kena pajak.
 Memastikan barang dan/atau jasa yang akan dihasilkan merupakan BKP
dan/atau JKP yang terhutang PPN atau tidak terhutang PPN atau termasuk BKP
dan/atau JKP yang penyerahannya mendapat pembebasan PPN
Strategi Saat pelaksanaan kegiatan
usaha

 Mampu mengendalikan pajak keluaran sehingga perusahaan


terhindar dari pemborosan akibat sanksi administrasi dan
pemborosan cashflow akibat kewajiban untuk menyetor
terlebih dahulu PPN atas faktur pajak yang telah diterbitkan.
 Mampu mengendalikan pajak masukan sehingga dapat
memaksimalkan pengelolaan cashflow dimana pajak masukan
yang seharusnya dikreditkan telah dapat dikreditkan dengan
benar dan terhindar dari cacat material dan formal.
HAL – HAL YANG PERLU DIPERHATIKAN

Kapan seharusnya mendaftar sebagai PKP?


Tax Planning atas pembuatan Faktur Pajak
Tax Planning pemilihan tempat pajak
terutang
Rekonsiliasi omzet PPN dengan Peredaran
Usaha dalam SPT PPh Badan
PERENCANAAN DALAM PEMANFAATAN
BERAGAM FASILITAS PERPAJAKAN
Mengetahui beragam fasilitas pajak penghasilan
yang ada secara lengkap, pihak yang mendapat
fasilitas, syarat dan tatacara memperoleh fasilitas
sehingga bisa dimanfaatkan secara optimal.
Mengetahui beragam fasilitas Pajak
Pertambahan Nilai dan bea masuk yang ada
secara lengkap sehingga bisa dimanfaatkan
secara optimal.
Fasilitas ppn
Kawasan Ekonomi Khusus (KEK)

Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET)

Fasilitas PPN 0%

Fasilitas Tidak Dikenakan PPN

Fasilitas PPN Dibebaskan

Fasilitas PPN Tidak Dipungut


Kawasan Ekonomi Khusus (KEK)

 Fasilitas Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) diatur Peraturan Pemerintah (PP) No.2 Tahun 2011
tentang Penyelenggaraan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK)
 PPN & PPnBM tidak dipungut atas Pemasukkan Barang Kena Pajak (BKP) tertentu dari Tempat
Lain di Dalam Daerah Pabean (TLDDP) atau dari selain TLDDP oleh Badan atau Pelaku Usaha di
KEK,
 PPN & PPnBM tidak dipungut atas pemasukan BKP tertentu dari KEK lainnya, oleh Pelaku Usaha
di KEK; atau
 PPN & PPnBM tidak dipungut atas penyerahan BKP tertentu antar Pelaku Usaha di KEK.
 PPN dibebaskan atas impor dan penyerahan BKP Tertentu, Jasa Kena Pajak (JKP)
Tertentu, dan BKP Tertentu yang bersifat strategis yang dibebaskan dari pengenaan PPN
sesuai peraturan perpajakan yang berlaku;
Kawasan Pengembangan Ekonomi
Terpadu (KAPET)
 Peraturan Pemerintah Pasal 2 nomor 20 tahun 2000 mengatur:
Kepada Pengusaha di Kawasan Berikat (PDKB) di dalam wilayah KAPET dapat diberikan fasilitas perpajakan
berupa Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa, dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah tidak dipungut
atas :
 impor barang modal atau peralatan lain oleh PDKB yang berhubungan langsung dengan kegiatan
produksi;
 impor barang dan/atau bahan untuk diolah di PDKB;
 pemasukan Barang Kena Pajak dari Daerah Pabean Indonesia Lainnya, untuk selanjutnya disebut DPIL, ke
PDKB untuk diolah lebih lanjut;
 pengiriman barang hasil produksi PDKB ke PDKB lainnya untuk diolah lebih lanjut;
 pengeluaran barang dan atau bahan dari PDKB ke perusahaan industri di DPIL atau PDKB lainnya dalam
rangka subkontrak;
 penyerahan kembali Barang Kena Pajak hasill pekerjaan subkontrak oleh Pengusaha Kena Pajak di DPIL
atau PDKB lainnya kepada Pengusaha Kena Pajak PDKB asal;
 peminjaman mesin dan atau peralatan pabrik dalam rangka subkontrak dari PDKB kepada perusahaan
industri di DPIL atau PDKB lainnya dan pengembaliannya ke PDKB asal.
Fasilitas PPN 0%
 Fasilitas PPN dengan tarif 0% diterapkan atas kegiatan ekspor.
Sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang No. 42
Tahun 2009 (UU PPN) tarif PPN sebesar 0% dikenakan atas ekspor BKP
berwujud, ekspor BKP tidak berwujud, dan ekspor JKP.
 PPN merupakan pajak yang dikenakan atas konsumsi BKP di dalam
daerah pabean. Oleh karena itu, BKP atau JKP dari dalam daerah
pabean yang dimanfaatkan di luar daerah pabean, selayaknya tidak
dikenakan PPN.
 Pengenaan tarif 0% ini tidak berarti sebagai pembebasan PPN. Dengan
demikian, pajak masukan yang telah dibayar untuk perolehan BKP
dan/atau JKP yang berkaitan dengan kegiatan tersebut dapat
dikreditkan.
Fasilitas Tidak Dikenakan PPN
 Fasilitas tidak dikenakan PPN ini diterapkan atas penyerahan barang dan
jasa yang tidak termasuk objek PPN. Jenis barang dan jasa yang tidak
menjadi objek PPN ini diatur dalam Pasal 4A UU PPN. Sebagaimana
dipahami, UU PPN mengadopsi sistem negative-list, sehingga barang dan
jasa lain yang tidak termasuk dalam Pasal 4A maka secara otomatis
menjadi objek PPN.
 Untuk itu, jika pengusaha hanya memiliki usaha yang penyerahannya
tidak dikenakan PPN, maka pengusaha tersebut tidak wajib untuk
dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP). Selain itu, pajak
masukan atas perolehan BKP dan/atau JKP terkait kegiatan tersebut
tidak dapat dikreditkan.
Fasilitas PPN Dibebaskan
 Fasilitas PPN dibebaskan diberikan untuk kegiatan usaha tertentu maupun penyerahan BKP dan/atau JKP
tertentu. Berdasarkan Pasal 16B ayat (1) UU PPN, fasilitas berupa pembebasan PPN dapat diberikan untuk :
 kegiatan di kawasan tertentu atau tempat tertentu di dalam daerah pabean;
 penyerahan BKP tertentu atau penyerahan JKP tertentu;
 impor BKP tertentu;
 pemanfaatan BKP tidak berwujud tertentu dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean; dan
 pemanfaatan JKP tertentu dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean.

 Ketentuan lebih detail mengenai fasilitas PPN dibebaskan ini diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP), di
antaranya PP Nomor 81 Tahun 2015 tentang Impor dan/atau Penyerahan BKP Tertentu yang Bersifat Strategis
yang Dibebaskan dari Pengenaan PPN dan PP No. 2 Tahun 2009 tentang Perlakuan Kepabeanan, Perpajakan,
dan Cukai serta Pengawasan atas Pemasukan dan Pengeluaran Barang ke dan dari serta Berada di Kawasan
yang telah Ditunjuk Sebagai Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas.Selain itu, perlu diketahui,
adanya perlakukan khusus berupa pembebasan dari pengenaan PPN mengakibatkan tidak adanya pajak
keluaran, sehingga pajak masukan yang berkaitan dengan penyerahan BKP dan/atau JKP yang memperoleh
pembebasan tersebut tidak dapat dikreditkan. Hal ini diatur dalam Pasal 16B ayat (3) UU PPN.
Fasilitas PPN Tidak Dipungut
 Fasilitas PPN tidak dipungut juga diberikan untuk kegiatan usaha tertentu
maupun penyerahan BKP dan/atau JKP tertentu. Hal ini diatur dalam
Pasal 16B ayat (1) UU PPN. Hanya saja, berbeda dengan fasilitas PPN
dibebaskan, dalam fasilitas PPN tidak dipungut, pajak masukan yang
berkaitan dengan penyerahan BKP dan/atau JKP yang mendapat
fasilitas dimaksud tetap dapat dikreditkan.
 Ketentuan lebih teknis mengenai fasilitas PPN dibebaskan ini diatur
dalam bentuk PP, di antaranya PP No. 85 Tahun 2015 tetang Perubahan
PP No. 32 Tahun 2009 tentang tempan penimbunan berikat serta PP No.
147 Tahun 2000 tentang Perlakuan Perpajakan di Kawasan
Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET) sebagaimana telah diubah
dengan PP No. 20 Tahun 2000.
KETENTUAN UNDANG-UNDANG DALAM
MANAJEMEN UNTUK MENGHEMAT PAJAK

Memaksimalkan Biaya Fiskal dan Meminimalkan Biaya


yang Tidak Diperkenankan Sebagai Pengurang.
Misalnya biaya kesejahteraan atau makan/minum berdasarkan
pasal 9 ayat (1) huruf e UU PPh N0.36 tahun 2008, penggantian atau
imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan
dalam bentuk natura atau kenikmatan tidak dapat dibebankan
sebagai biaya, kecuali penyediaan makanan dan minuman bagi
seluruh pegawai. Artinya pemberian makanan dan minuman
bersama walaupun bentuknya natura, dapat dibiayakan oleh
perusahaan, dan dapat mengurangi PPh Badan terutang untuk
pihak perusahaan.
 Pasal 4 ayat (1) UU Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan,
dinyatakan bahwa Wajib Pajak wajib mengisi dan menyampaikan Surat Pemberitahuan
dengan benar, lengkap, jelas, dan menandatanganinya.
 Pasal 4 ayat (1) UU Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan Mengatur tentang Objek
Pajak Penghasilan
 Pasal 4 ayat (3) Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan Mengatur tentang Yang Bukan
Objek Penghasilan
 Pasal 21 UU Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan
Mengatur tentang pemotongan pajak atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau
kegiatan dengan nama dan dalam bentuk apa pun yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang
pribadi dalam negeri
 Pasal 17 UU Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan tentang Tarif Pajak Penghasilan
 Peraturan Dirjen Pajak Nomor 31/PJ./2009 Jo Peraturan Dirjen Pajak Nomor 57/PJ/2009 tentang
Pedoman Teknis Tata Cara Pemotongan, Penyetoran dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21
dan/atau Pajak Penghasilan Pasal 26 sehubungan dengan pekerjaan, jasa dan kegiatan Orang
Pribadi
 Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor Kep-536/PJ./2000 tentang Norma Penghitungan
Penghasilan Neto bagi Wajib Pajak yang dapat menghitung norma penghasilan neto dengan
norma penghitungan.
Restitusi pajak dan perlakuan
mengenai imbalan bunganya
Restitusi Pajak adalah pembayaran kembali pajak yang telah dibayar oleh Wajib
Pajak. Artinya, Negara membayar kembali atau mengembalikan pajak yang
telah dibayar. Adanya peraturan tentang restitusi pajak bertujuan
untuk melindungi hak wajib pajak. Pelaporan kelebihan pembayaran pajak ini
juga sebagai jaminan kepercayaan yang diberikan pemerintah kepada wajib
pajak.
Pengembalian kelebihan pembayaran pajak atau restitusi dapat dilakukan atas
dua kondisi:
Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak yang Seharusnya Tidak Terutang
(kondisi ini terjadi dimana Wajib Pajak membayar pajak padahal seharusnya
tidak terutang pajak), dan
Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak PPh, PPN, dan/atau PPnBM (kondisi
ini terjadi dimana Wajib Pajak membayar pajak lebih besar dari yang
semestinya).
Persyaratan yang harus dipenuhi dalam rangka pengajuan permohonan pengembalian
kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang dipisahkan berdasarkan hal
yang menyebabkan terjadinya kelebihan pembayaran sebagai berikut:
 Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak Atas Pembayaran Pajak Oleh Pihak
Pembayar
 Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak Atas Kelebihan Pajak Dalam Rangka Impor
 Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak Atas Kesalahan Pemotongan Atau
Pemungutan

Menurut Undang-Undang nomor 28 Tahun 2007 dan Peraturan Pemerintah nomor 74 Tahun
2011, untuk mendapatkan pengembalian kelebihan pajak terdapat tiga pintu yaitu:
1. Verivikasi
2. Pemeriksaan, dan
3. Penelitian
Dalam pengajuan pengembelian kelebihan bayar, bisa dilakukan melalui proses Pengembalian
Pendahuluan maupun proses Restitusi biasa.
Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pembayaran Pajak atau yang disebut Pengembalian Pendahuluan
adalah pengembalian kelebihan pembayaran pajak yang diberikan kepada Wajib Pajak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 17C atau Pasal 17D Undang-Undang KUP, atau Pasal 9 ayat (4c) Undang-Undang
PPN.
Pengembalian Pendahuluan dapat diberikan kepada:
a. Pengusaha Kriteria Tertentu
Untuk dapat ditetapkan sebagai Wajib Pajak Kriteria Tertentu, Wajib Pajak harus memenuhi persyaratan
sebagai berikut:
• Tepat Waktu Dalam Menyampaikan Surat Pemberitahuan
• Tidak Mempunyai Tunggakan Pajak Untuk Semua Jenis Pajak, Kecuali Tunggakan Pajak Yang Telah
Memperoleh Izin Mengangsur Atau Menunda Pembayaran Pajak
• Laporan Keuangan Diaudit Oleh Akuntan Publik Atau Lembaga Pengawasan Keuangan Pemerintah
Dengan Pendapat Wajar Tanpa Pengecualian Selama 3 (Tiga) Tahun Berturut-Turut
• Tidak Pernah Dipidana Karena Melakukan Tindak Pidana Di Bidang Perpajakan Berdasarkan Putusan
Pengadilan Yang Telah Mempunyai Kekuatan Hukum Tetap Dalam Jangka Waktu 5 (Lima) Tahun Terakhir
b. Pengusaha Persyaratan Tertentu
Wajib Pajak Persyaratan Tertentu adalah Wajib Pajak yang memenuhi persyaratan
tertentu yang dapat diberikan Pengembalian Pendahuluan terhadap kelebihan
pembayaran Pajak Penghasilan maupun Pajak Pertambahan Nilai. Wajib pajak tersebut
meliputi :
 Wajib Pajak orang pribadi yang tidak menjalankan usaha atau pekerjaan bebas yang
menyampaikan SPT Tahunan Pajak Penghasilan lebih bayar restitusi
 Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas yang
menyampaikan SPT Tahunan Pajak Penghasilan lebih bayar restitusi dengan jumlah
lebih bayar paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah)
 Wajib Pajak Badan yang menyampaikan SPT Tahunan Pajak Penghasilan lebih bayar
restitusi dengan jumlah lebih bayar paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah); atau
 Pengusaha Kena Pajak yang menyampaikan SPT Masa Pajak Pertambahan Nilai lebih
bayar restitusi dengan jumlah lebih bayar paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah)
c. Pengusaha Kena Pajak Berisiko Rendah
Pengusaha Kena Pajak Berisiko Rendah merupakan Pengusaha Kena Pajak yang melakukan
kegiatan tertentu dan ditetapkan sebagai Pengusaha Kena Pajak Berisiko Rendah yang dapat
diberikan Pengembalian Pendahuluan atas kelebihan pembayaran Pajak Pertambahan Nilai pada
setiap Masa Pajak. Pengusaha yang dimaksud meliputi:
 perusahaan yang sahamnya diperdagangkan di bursa efek di Indonesia
 perusahaan yang saham mayoritasnya dimiliki secara langsung oleh pemerintah pusat dan/atau
pemerintah daerah
 Pengusaha Kena Pajak yang telah ditetapkan sebagai Mitra Utama Kepabeanan sesuai dengan
ketentuan dalam Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur mengenai Mitra Utama Kepabeanan
 Pengusaha Kena Pajak yang telah ditetapkan sebagai Operator Ekonomi Bersertifikat (Authorized
Economic Operator) sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur
mengenai Operator Ekonomi Bersertifikat
 pabrikan atau produsen selain Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam huruf a
sampai dengan huruf d, yang memiliki tempat untuk melakukan kegiatan produksi; atau
 Pengusaha Kena Pajak yang memenuhi persyaratan tertentu.
Imbalan Bunga

Ketentuan umum perpajakan tentang Imbalan Bunga Pajak :


- Apabila pengajuan keberatan, permohonan banding, atau permohonan peninjauan kembali
dikabulkan sebagian atau seluruhnya, selama pajak yang masih harus dibayar dalam Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar dan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan yang telah
dibayar menyebabkan kelebihan pembayaran pajak, kelebihan pembayaran dimaksud
dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan untuk paling
lama 24 (dua puluh empat) bulan.

- Apabila pengajuan keberatan, permohonan banding, atau permohonan peninjauan kembali


sehubungan dengan Surat Ketetapan Pajak Nihil dan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar
dikabulkan sebagian atau seluruhnya dan menyebabkan kelebihan pembayaran pajak, kelebihan
pembayaran dimaksud dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebesar 2% (dua persen)
per bulan untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan.
- Apabila terdapat Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan
Pengurangan Ketetapan Pajak, atau Surat Keputusan Pembatalan
Ketetapan Pajak yang mengabulkan sebagian atau seluruhnya sehingga
menyebabkan kelebihan pembayaran pajak, kelebihan pembayaran
dimaksud dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebesar 2% (dua
persen) per bulan untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan.

- Imbalan bunga juga diberikan atas pembayaran lebih sanksi administrasi


berupa denda dan/atau bunga berdasarkan Surat Keputusan Pengurangan
Sanksi Administrasi atau Surat Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi
sebagai akibat diterbitkan Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding,
atau Putusan Peninjauan Kembali yang mengabulkan sebagian atau seluruh
permohonan Wajib Pajak.
Contoh Penghitungan Pemberian Imbalan Bunga kepada Wajib Pajak
Imbalan bunga berkaitan dengan keterlambatan penerbitan SKPLB
PT PKK telah menyampaikan SPT Tahunan PPh Badan tahun 2015 pada tanggal 27 Maret
2016 yang menyatakan lebih besar sebesar Rp.500.000.000,00. Setelah diadakan
pemeriksaan ternyata sampai dengan batas waktu 12 (dua belas) bulan (tanggal 26 Maret
2017) belum diterbitkan surat ketetapan pajak. Atas keterlambatan ini permohonan Wajib Pajak
dianggap dikabulkan dan SKPLB sebesar Rp500.000.000,00 (sama dengan SPT Wajib Pajak)
diterbitkan tanggal 2 Mei 2017 yang seharusnya paling lambat tanggal 26 April 2017.
Perhitungan imbalan bunga adalah sebagai berikut:
- Dasar Penghitungan imbalan bunga sebesar Rp100.000.000,00.
- Jumlah bulan dihitung sejak tanggal 27 April 2003 sampai dengan 3 Mei 2003 adalah 1
(satu) bulan.
- Besarnya imbalan bunga yang diberikan kepada PT PKK adalah:
2%x1xRp.100.000.000,00=Rp.2.000.000,00
PEMERIKSAAN PAJAK

Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan


mengolah data, keterangan, dan/atau bukti yang dilaksanakan
secara objektif dan profesional berdasarkan suatu standar
pemeriksaan.

Tujuan Pemeriksaan adalah untuk menguji kepatuhan


pemenuhan kewajiban perpajakan dan untuk tujuan lain.
TAHAPAN PEMERIKSAAN

Pemeriksaan dimulai dengan penyampaian Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Lapangan atau


pengiriman surat panggilan dalam rangka pemeriksaan kantor.
Hasil pemeriksaan harus diberitahukan kepada Wajib Pajak melalui penyampaian Surat
Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan (SPHP) yang dilampiri dengan daftar temuan hasil
pemeriksaan dengan mencantumkan dasar hukum atas temuan tersebut. Pemeriksaan dalam
pengujian kepatuhan Wajib Pajak diakhiri dengan pembuatan Laporan Hasil Pemeriksaan
(LHP) dan produk hukum yang dapat berupa:
1. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB)
2. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT)
3. Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN)
4. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB)
Pemeriksaan untuk tujuan lain ditutup dengan diterbitkannya LHP yang berisi usulan diterima
atau ditolaknya permohonan WP.
Hak dan Kewajiban Wajib Pajak Dalam Rangka Pemeriksaan

Wajib Pajak berhak:


a. meminta Pemeriksa Pajak untuk :
 memperlihatkan tanda pengenal dan Surat Perintah Pemeriksaan
 memberikan Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Lapangan
 memperlihatkan surat yang berisi perubahan tim pemeriksa apabila susunan keanggotaan
mengalami perubahan
 memberikan penjelasan tentang alasan dan tujuan pemeriksaan
a. menerima Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan
b. menghadiri pembahasan akhir hasil pemeriksaan bersama dengan pemeriksa pada waktu yang
telah ditentukan
c. mengajukan permohonan Quality Assurance Pemeriksaan dalam hal belum disepakati dasar
hukum koreksi pemeriksaan, dan
d. mengisi kuesioner terkait pelaksanaan pemeriksaan.
Wajib Pajak berkewajiban:
a. memenuhi panggilan untuk datang menghadiri pemeriksaan tepat waktu
b. memperlihatkan dan/atau meminjamkan dokumen yang menjadi dasar
penghitungan penghasilan
c. memberikan kesempatan untuk mengakses dan/atau mengunduh data yang
dikelola secara elektronik
d. memberikan kesempatan tim pemeriksa untuk memasuki dan memeriksa
ruangan yang menjadi tempat penyimpanan dokumen serta meminjamkannya
e. memberi bantuan guna kelancaran pemeriksaan
f. meminjamkan Kertas Kerja Pemeriksaan yang dibuat oleh akuntan public
g. menyampaikan tanggapan secara tertulis atas Surat Pemberitahuan Hasil
Pemeriksaan, dan
h. memberikan keterangan lisan dan/atau tertulis yang diperlukan.
HASIL PEMERIKSAAN
Berdasarkan hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh Direktorat
Jenderal Pajak, maka akan diterbitkan suatu surat ketetapan pajak,
yang dapat mengakibatkan pajak terutang menjadi kurang bayar,
lebih bayar, atau nihil. Berdasarkan pemeriksaan, jenis-jenis
ketetapan yag dikeluarkan adalah: Surat Ketetapan Pajak Lebih
Bayar (SKPLB), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB),
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT), dan
Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN). Disamping itu dapat diterbitkan
pula Surat Tagihan Pajak (STP) dalam hal dikenakannya sanksi
administrasi dapat berupa denda, bunga, dan kenaikan.
Contoh Kasus :
Karena tidak tahu, Budi tidak pernah menyetorkan sendiri PPh Final atas
penghasilan sewa rumah miliknya yang disewa oleh Selamet. Seharusnya Budi
wajib menyetor sendiri PPh Final itu karena Selamet yang menyewa rumahnya
bukan pemotong PPh. Roni memperoleh penghasilan itu misalnya sejak 2016
tetapi sekali lagi karena tidak tahu peraturannya, dia tidak pernah menyetorkan
PPh Final tadi dan tidak pernah menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 4 ayat
(2). Jika misalnya di bulan Desember 2018 ini Budi baru menyadari akan
kewajiban tersebut dan berniat melunasi PPh Final yang terutang mulai tahun
2016, maka atas kekurangan pembayaran PPh Final tadi juga dapat dikenai
sanksi administrasi bunga 2% sebulan dengan hitungan bulan yang tidak
terhingga. Dan ini dinyatakan secara tegas dalam Pasal 9 ayat (1), ayat (2) dan
ayat (2a) UU KUP.
Misalkan Budi berniat baik untuk menyetor melaporkan SPT Masa PPh dan
menyetorkan PPh Final atas penghasilan sewa rumahnya di bulan Januari 2016,
maka atas kekurangan pembayaran PPh Final itu Roni dapat dikenai sanksi
bunga hingga 44 bulan (terhitung sejak saat terutangnya pajak bulan Januari
2016 hingga penyetoran pada bulan Desember 2018). Sedangkan untuk PPh
Final bulan Februari 2016 akan dikenai sanksi bunga selama 43 bulan, dan
begitu seterusnya hingga PPh Final bulan November 2018 yang akan dikenai
sanksi bunga 2% (karena batas akhir penyetoran sendiri PPh Final adalah
tanggal 15 bulan berikutnya).
Tetapi jika seandainya Budi tidak tahu akan kewajiban tersebut kemudian
pemeriksa menemukan kondisi seperti itu, maka sesuai dengan ketentuan Pasal
13 ayat (1) huruf a dan ayat (2) UU KUP, Budi hanya akan dikenai sanksi bunga
maksimal selama 24 bulan (48%). Jadi sekali lagi, ada kendala saat Budi berniat
baik untuk menyetorkan PPh Final yaitu bunganya bisa tak terhingga.
MANAJEMEN PAJAK UNTUK PERUSAHAAN
MULTINASIONAL
Dasar Hukum Pajak Internasional di Indonesia
 Pajak internasional yang diberlakukan di Indonesia diatur sepenuhnya dalam beberapa
peraturan perpajakan nasional, di antaranya:
 Peraturan Perpajakan Nasional yang mengatur Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (Pasal
32 A Undang Undang PPh) mengenai pemerintah berwenang untuk melakukan perjanjian
dengan pemerintah negara lain dalam rangka penghindaran pajak berganda dan
pencegahan pengelakan pajak.
 Peraturan Perpajakan Nasional (Pasal 3 UU PPh) tentang: Tidak termasuk Subjek Pajak.
 Peraturan Perpajakan Nasional (Pasal 2 UU PPh) tentang Subjek Pajak Luar Negeri dan Bentuk
Usaha Tetap (BUT).
 Peraturan Perpajakan Nasional (Pasal 18 UU PPh) tentang: Hubungan Istimewa, Bilamana
terdapat Ketidakwajaran dalam Perpajakan.
 Peraturan Perpajakan Nasional (Pasal 24 UU PPh) tentang: Kredit Pajak Luar Negeri.
Transfer pricing yang dilakukan melalui Tax avoidance dapat berupa :
 Penjualan, pengalihan, pembelian, atau peralihan barang berwujud maupun barang tidak
berwujud ( intangible goods);
 Sewa, royalti atau imbalan lain yang timbul akibat penyediaan / pemanfaatan harta berwujud dan
tidak berwujud;
 Penghasilan atau pengeluaran sehubungan dengan penyerahan atau pemanfaatan jasa;
 Alokasi biaya;
 Penyerahan atau perolehan harta dalam bentuk instrument keuangan dan penghasilan /
pengeluaran yang timbul akibat penyerahan harta dalam bentuk instrument tersebut.

Konsep untuk melakukan penghindaran tax avoidence tersebut antara lain :


Menentukan nilai yang wajar atau yang lazim dengan :
 1) Metode harga sebanding
 2) Metode harga jual kembali
 3) Metode harga pokok plus
 4) Metode laba bersih transaksional
 5) Metode pembagian laba berupa indikator tingkat laba atau laba bersih operasi

Anda mungkin juga menyukai