KELOMPOK 4 :
ELSA LA ROSE M
EVI YANTI S
HAYU PUSPITA SARI NDARU JAYANTI
JESICA REGINA LUISON
RIFAL HIJIRA
Pengertian Perencanaan Pajak
Pada umumnya, perencanaan pajak (tax planning) merujuk kepada proses merekayasa
usaha dan transaksi wajib Pajak agar utang pajak berada dalam jumlah yang minimal, tetapi
masih dalam bingkai peraturan perpajakan. Namun demikian, perencanaan pajak juga dapat
diartikan sebagai perencanaan pemenuhan kewajiban perpajakan secara lengkap, benar, dan
tepat waktu sehingga dapat secara optimal menghindari pemborosan sumber daya.
Salah satu fungsi manajemen pajak adalah perencanaan pajak (tax planning).
Perencanaan pajak itu sendiri sesungguhnya merupakan tindakan penstrukturan yang terkait
dengan konsekuensi potensi pajaknya. Tujuannya adalah bagaimana pengendalian tersebut
dapat mengefisiensikan jumlah pajak yang akan dibayar. Dalam penyusunan perencanaan
pajak harus sudah memahami secara mendalam tentang peraturan-peraturan perpajakan dan
selalu mengikuti perkembangan dan perubahan agar perencanaan pajak dapat berfungsi
dengan baik dan tidak terjadi suatu kesalahan
Pajak adalah salah satu sumber penerimaan penting yang akan digunakan oleh negara
untuk membiayai pengeluaran rutin maupun pengeluaran pembagunan. Sedangkan bagi
perusahaan pajak merupakan beban yang akan mengurangi laba bersih. Minimalisasi beban
pajak dapat dilakukan berbagai cara, mulai dari yang masih ada didalam bingkai peraturan
perpajakan sampai dengan yang melanggar peraturan perpajakan. Upaya minimalisasi pajak
ini sering disebut dengan perencanaan pajak ( tax planning ). Melaksakan kewajiban
pembayaran dengan jumlah yang sebenarnya sesuai peraturan merupakan hal yang harus
dilakukan setiap subjek pajak suatu negara, diamna tindakan penyelewengan merupakan
tindakan melawan hukum, tetapi melakukan penghrmatan pajak merupakan suatu hal yang
sah – sah saja asalkan tidak melanggar ketentuan perpajakan yang ada.
Untuk dapat meminimalisasi kewajiban pajak, dapat dilakukan berbagai cara, baik yang
masih memenuhi ketentuan perpajakan ( lawful ) maupun yang melanggar peraturan
perpajakan (unlawful), seperti tax avoidance dan tax evasion.
Perencanaan pajak umumnya selalu dimulai dengan meyakinkan apakah suatu transaksi
atau kejadian mempunyai dampak perpajakan. Apabila kejadian tersebut mempunyai dampak
pajak, apakah dampak tersebut dapat diupayakan untuk dikecualikan atau dikurangi jumlah
pajaknya. Selanjutnya, apakah pembayaran pajak tersebut dapat ditunda.
Suatu perencanaan pajak yang tepat akan menghasilkan beban pajak minimal yang
merupakan hasil dari perbuatan penghematan pajak atau penghindaran pajak, bukan karena
penyelundupan pajak yang tidak berdasarkan pada peraturan perundang-undangan
perpajakan.
Tetapi Secara garis besar pengertian Perencanaan Pajak (Tax Planning)
menurutMohammad Zain dalam bukunyaManajemen Perpajakan (2005:43)menyebutkan
bahwa: “Perencanaan Pajak (Tax Planning) adalah proses mengorganisasi usaha wajib pajak
atau sekelompok wajib pajak sedemikian rupa sehingga utang pajaknya, baik pajak
penghasilan maupun pajak lainnya, berada dalam posisi yang paling minimal, sepanjang hal
ini dimungkinkan oleh ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan”.
Tahapan Dalam Perencanaan Pajak
2) Faktor pajak
Model perjanjian internasional dapat melibatkan satu atau lebih atas tindakan-
tindakan berikut:
1) Pemilihan bentuk transaksi yang akan dilakukan oleh perusahaan atau hubungan
internasional.
2) Pemilihan negara asing sebagai tempat melakukan investasi atau menjadi residen
dari negara tersebut.
Perencanaan pajak sebagai suatu perencanaan yang merupakan bagian kecil dari
seluruh perencanaan strategis perusahaan, oleh karena itu perlu dilakukan evaluasi untuk
melihat sejauh mana hasil pelaksanaan suatu perencanaan pajak terhadap beban pajak
yang harus dibayar oleh perusahaan. Beban pajak tersebut akan dihitung dengan
menggunakan hipotesis sebagai berikut:
b. Bagaimana jika perencanaan pajak tersebut dilaksanakan dan berhasil dengan baik
Untuk mengatakan bahwa hasil suatu perencanaan baik atau tidak, tentu harus
dievaluasi melalu berbagai rencana yang dibuat. Dengan demikian keputusan yang
terbaik atas suatu perencaan pajak harus sesuai dengan bentuk transaksi dengan tujuan
operasi. Perbandingan berbagai rencana harus dibuat sebanyak mungkin sesuai dengan
bentuk perencanaan pajak yang inginkan. Kadang suatu rencana harus diubah mengingat
adanya perubahan perundang-undangan atau peraturan. Tindakan perubahan harus tetap
dijalankan walaupun diperlukan penambahan biaya atau kemungkinan keberhasilan
sangat kecil.
Meskipun suatu rencana pajak telah dilaksanakan dan proyek juga telah berjalan,
namun juga masih perlu memperhitungkan setiap perubahan yang terjadi baik dari
undang-undang maupun pelaksanaannya di negara dimana aktivitas tersebut dilakukan
Membayar pajak
b) Aspek Material
Basis perhitungan pajak adalah objek pajak. Dalam rangka optimalisasi alokasi
sumber dana , Manajemen akan merencanakan pembayaran pajak yang tidak lebih dan
tidak kurang . Untuk itu, objek pajak harus dilaporkan secara benar dan lengkap.
Agar dapat mencapai tujuan, setiap perusahaan melakukan dua fungsi pokok, yaitu :
a. Fungsi bisnis yang meliputi bidang pemasaran, produksi, keuangan, SDM, penelitian
dan pengembangan, dan sebagainya
Resiko perusahaan
3) Resiko keuangan, timbul karena ketikpastian tingkat biaya bunga atas dana
pinjaman akibatnya mungkin perusahaan tidak mampu membayar kembali
pinjaman dan bunganya.
4) Resiko inflasi, timbul karena ketidakpastian tingkat inflasi pada masa yang
akan datang. Ia akan berpengaruh terhadap penghasilan dan biaya untuk
menganti aset perusahaan dimasa yang akan datang.
5) Resiko atas kepusan yang tidak dapat diubah, timbul karna penbelian aset atau
biaya yang sudah dikeluarkan tidak dapat digunakan untuk keperluan lain. Oleh
karena itu investor harus betul-betul memperhitungkan masalah waktu.
Secara ekonomis, pajak merupakan unsur pengurang laba yang tersedia untuk
dibagi atau diinvestasikan kembali oleh perusahaan.
Strategi Umum Perencanaan Pajak
a) Tax Saving
Tax saving merupakan upaya efisiensi beban pajak melalui pemilihan alternatif
pengenaan pajak dengan tarif yang lebih rendah. Misalnya, perusahaan dapat
melakukan perubahan pemberian natura kepada karyawan menjadi tunjangan dalam
bentuk uang.
b) Tax Avoidance
Bea materai
2. Subjek Pajak
3. Objek pajak
4. Tarif pajak
Indonesia merupakan negara yang begitu luas wilayahnya dan begitu banyak
penduduknya, dan sebagai negara yang sedang membangun (developing country) masih
mengalami kesulitan dalam melaksanakan secara memadai (property). Hal yang
mendorong perusahaan untuk melaksanakan perencanaan perpajakan (tax planning0
dengan baik agar terhindar dari sanksi administrasi maupun pidana karena adanya
perbedaan penafsiran antara aparat fikus dengan Wajib pajak akibat dari begitu luasnya
peraturan perpajakan yang berlaku dan system informasi yang belum efektif.
Kegiatan sebuah perusahaan umumnya didanai oleh dua sumber utama, yaitu dari pemegang
saham (equity financing) dan dari utang (debt financing). Dana dari pemegang saham (equity)
adalah dalam bentuk setoran modal dan akumulasi laba yang tidak dibagikan sebagai dividen
tetapi ditahan (retained earning).
Selanjutnya utang dapat meliputi utang dagang ke pihak pemasok barang dan penyedia jasa
(supplier/vendor), utang ke bank jangka pendek maupun jangka panjang serta utang kepada
pihak-pihak yang berelasi (affiliated companies) seperti pemegang saham atau perusahaan
induk.
Dalam manajemen keuangan, antara jumlah utang dan modal diperbandingkan untuk melihat
sejauh mana sebuah perusahaan mampu melunasi utang jangka panjangnya (solvency).
Perbandingan atau rasio tersebut disebut sebagai Debt to Equity Ratio (DER).
Jika DER kurang dari 1, misalnya 1:2, itu berarti bahwa kegiatan perusahaan lebih banyak
didanai oleh modal daripada utang. Di sisi lain, perusahaan tersebut dipandang akan mampu
melunasi utang jangka panjangnya. Sebaliknya jika DER lebih dari 1, misalnya 3:1, maka
utang lebih dominan atau tiga kali lipat besarnya dalam mendanai operasi perusahaan
dibandingkan modal.
Secara umum perusahaan yang mempunyai DER tinggi lebih memiliki risiko dikaitkan
dengan kewajiban kepada pihak ketiga dan dalam praktiknya DER itu sendiri bervariasi
untuk berbagai perusahaan, tergantung dari jenis kegiatan, karakteristik usaha, serta
kemampuan dan kemauan perusahaan tersebut dalam menanggung risiko.
Bagi perusahaan seperti bank atau perusahaan pembiayaan yang aktivitasnya mengumpulkan
dana nasabah dan menyalurkannya dalam bentuk kredit, DER-nya wajar lebih tinggi
dibandingkan dengan misalnya perusahaan jasa yang relatif tidak membutuhkan banyak
modal kerja dalam kegiatan operasinya.
Meski aspek komersial menjadi pertimbangan utama dalam perimbangan antara utang dan
modal dalam sebuah perusahaan, pemilihan penggunaan utang lebih banyak dibandingkan
modal dalam praktiknya dapat dijadikan strategi untuk menghemat pajak.
Hal ini dimungkinkan karena terdapat perbedaan perlakuan atas dividen sebagai imbalan
modal dibandingkan dengan bunga sebagai imbalan atas utang dalam kaitannya dengan
penghitungan penghasilan kena pajak. Dividen bukanlah merupakan biaya sehingga tidak
dapat menjadi pengurang penghasilan kena pajak, beda halnya dengan biaya pinjaman atau
bunga.
Dalam hal ini DER pada anak perusahaan akan diupayakan setinggi mungkin. Dalam
terminologi perpajakan, upaya ini disebut dengan thin capitalization yang merupakan salah
satu cara penghindaran pajak khususnya oleh perusahaan-perusahaan multinasional.
Setelah pernah menetapkan ketentuan DER 3:1 melalui Keputusan Menteri Keuangan Nomor
1002/KMK.04/1984 tanggal 8 Oktober 1984 namun kemudian ditunda pemberlakuannya
sesuai Keputusan Menteri Keuangan Nomor 254/KMK.01/1985.
Akhirnya berdasarkan kewenangan yang diperoleh dalam Pasal 18 ayat (1) UU No.7 Tahun
1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 (UU PPh), Menteri Keuangan menerbitkan Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 169/PMK.010/2015 tentang Penentuan Besarnya Perbandingan
Antara Utang Dan Modal Perusahaan Untuk Keperluan Penghitungan Pajak Penghasilan
sekaligus mencabut kedua KMK yang terbit sebelumnya.
Beberapa hal pokok yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan tersebut adalah
sebagai berikut:
1. Ketentuan besarnya perbandingan antara utang dan modal (DER) berlaku bagi Wajib Pajak
Badan yang dididirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia yang modalnya terbagi atas
saham-saham
2. Utang dan modal dihitung dari saldo rata-rata pada satu tahun pajak atau bagian tahun
pajak yang bersangkutan
3. Besarnya perbandingan utang dan modal paling tinggi empat banding satu (4:1)
4. Terdapat pengecualian DER tersebut terhadap beberapa kelompok Wajib Pajak, antara
lain, bank, lembaga pembiayaan, asuransi dan reasuransi, pertambangan dan yang atas
seluruh penghasilannya dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final dan wajib pajak yang
menjalankan usaha di bidang infrastruktur
5. Dalam hal DER melebihi 4:1 maka biaya pinjaman yang dapat diperhitungkan adalah
sebesar biaya pinjaman sesuai dengan rasio 4:1
6. Biaya pinjaman meliputi bunga pinjaman, diskonto dan premium serta biaya tambahan
terkait pinjaman, beban keuangan dalam sewa pembiayaan, imbalan karena jaminan
pengembalian utang dan selisih kurs dari pinjaman mata uang asing
7. Dalam hal wajib pajak mempunyai saldo ekuitas nol atau kurang dari nol, maka seluruh
biaya pinjaman tidak dapat diperhitungkan dalam penghitungan penghasilan kena pajak.
8. Ketentuan baru ini berlaku sejak tahun pajak 2016
9. Ketentuan pelaksanaan lebih lanjut akan diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak
Dapat dimengerti bahwa ketentuan DER tesebut dibutuhkan sebagai salah satu anti
penghindaran pajak yang selama ini marak dilakukan oleh perusahaan-perusahaan
multinasional di Indonesia melalui thin capitalization selain dengan cara transfer pricing.
Dualisme Fixed Ratio dan Arm’s Length Approach
Pada dasarnya terdapat dua cara mengatur pembatasan DER dalam ketentuan perpajakan
(Roy Rohatgi, 2002). Pertama, Fixed Ratio Approach di mana besaran maksimum DER yang
diperkenankan diatur secara.
Kedua adalah Arm’s Length Ratio, di mana tidak diatur besaran DER tetapi otoritas pajak
mengacu pada rata-rata DER pada perusahaan dalam bidang sejenis.
Faktanya, kedua pendekatan tersebut terdapat dalam UU PPh. Pasal 18 ayat (1) UU PPh
mengatur bahwa Menteri Keuangan berwenang mengeluarkan keputusan mengenai besarnya
perbandingan antara utang dan modal perusahaan untuk keperluan penghutungan pajak.
Selanjutnya Pasal 18 ayat (3) mengatur bahwa Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk
menentukan kembali besarnya penghasilan dan pengurangan serta menentukan utang sebagai
modal untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak yang
mempunyai hubungan istimewa dengan Wajib Pajak lainnya sesuai dengan kewajaran dan
kelaziman usaha yang tidak dipengaruhi oleh hubungan istimewa.
Kemudian, penjelasan pasal ini menegaskan bahwa bunga yang dibayarkan sehubungan
dengan utang yang dianggap sebagai penyertaan modal tidak diperbolehkan untuk
dikurangkan sebagai biaya, sedangkan bagi pemegang saham yang menerima bunga tersebut
dianggap sebagai dividen.
Acuan Direktorat Jenderal Pajak dalam hal ini pemeriksa pada saat melakukan pemeriksaan
terhadap Wajib Pajak selama ini adalah pasal 18 ayat (3) UU PPh yaitu menggunakan range
rata-rata DER perusahaan sejenis dari hasil melakukan pembandingan sebagai patokan.
Tidak jarang seorang pemeriksa melakukan koreksi biaya bunga yang dibayarkan kepada
pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa seperti ke perusahaan induk (parent
company) dan memperlakukannya sebagai dividen terselubung (disguised dividends).
Koreksi tersebut tidak serta merta dapat diterima oleh Wajib Pajak dan menjadi sengketa di
tingkat keberatan dan banding. Timbulnya sengketa bisa jadi karena terdapat
ketidaksepahaman akan perusahaan-perusahaan yang dijadikan sebagai pembanding oleh
pemeriksa. Hal ini mungkin karena proses melakukan kesebandingan untuk DER tidak diatur
secara tegas dalam ketentuan perpajakan yang berlaku saat ini.
Penerapan Pasal 18 ayat (3) UU PPh dalam menentukan DER yang wajar selama ini oleh
pemeriksa adalah karena Menteri Keuangan belum mengatur besaran DER tersebut. Setelah
terbitnya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 169/PMK.010/2015 yang menetapkan DER
4:1 berdasarkan kewenangan dalam Pasal 18 ayat (1), maka timbul dualisme
dalam penentuan DER.
Belum jelas benar apakah Direktorat Jenderal Pajak hanya berpatokan pada 4:1 (fixed ratio
approach) sesuai Pasal 18 (1) UU PPh atau dapat juga menerapkan DER dengan arm’s length
approachberdasarkan Pasal 18 (3).
Jika Dirjen Pajak hendak menggunakan kedua approach tersebut, maka ketika range rata-rata
industri tertentu yang sejenis berada pada DER 2: 1, bisa jadi berdasarkan Pasal 18 ayat (3)
UU PPh pemeriksa dapat melakukan koreksi biaya pinjaman terhadap perusahaan yang
diperiksa apabila DER nya di atas 2:1 meskipun tidak lebih dari ketentuan DER 4:1.
Sebaliknya jika DER suatu perusahaan misalnya 5:1 dan rasio tersebut sama dengan range
rata-rata DER industri di bidangnya, timbul pertanyaan apakah pemeriksa akan melakukan
koreksi karena melebihi DER 4:1. Peraturan Menteri Keuangan tersebut tidak menjelaskan
hal dualisme ini sehingga terdapat ketidakpastian dalam praktiknya nanti jika dikaitkan
dengan UU PPh.
Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, bahwa dalam penjelasan Pasal 18 ayat (3) UU
PPh dinyatakan bahwa bunga yang dibayarkan sehubungan dengan utang yang dianggap
sebagai penyertaan modal tidak diperbolehkan untuk dikurangkan sebagai biaya, sedangkan
bagi pemegang saham yang menerima bunga tersebut dianggap sebagai dividen.
Re-karakterisasi biaya bunga menjadi dividen kepada pemegang saham akan membawa
konsekuensi tersendiri dalam penerapan tarif pemotongan PPh Pasal 26 khususnya apabila
terdapat perbedaan tarif pemotongan antara dividen dan bunga dalam Perjanjian
Penghindaran Pajak Berganda (P3B) atau yang umum dikenal dengan tax treaty antara
Indonesia dengan negara di mana peusahaan penerima bunga terdaftar sebagai penduduk
(residence country).
Sehubungan dengan tax planning, dalam hal ini diangkat kasus sebagai berikut :
PT.X melakukan revaluasi aset sesuai aturan perpajakan tahun 2015. Tujuan melakukan
revaluasi aset untuk meningkatkan DER perusahaan. Selain itu perusahaan mempunyai
kompensasi pajak senilai 20M. Sebelum mengikuti Tax Amnesty, DER perusahaan masih
dalam batas 4:1, sehingga biaya bunga atas pinjaman masih bisa dibiayakan ( deductible
expense ). Kemudian untuk tax planning perusahaan, PT.X mengikuti program tax amnesty (
mengindari pemeriksaan sampai tahun 2015). Namun konsekuensi dari program Tax
Amnesty tersebut kompensasi perusahaan dihapuskan yang berpengaruh kepada Laba ditahan
(Retained Earning). Laba ditahan berkurang maka mengurangi ekuitas sehingga DER
perusahaan menjadi lebih dari 4:1.
Perusahaan lalai dengan tidak memperhitungan DER, sehingga tetap mengakui seluruh biaya
bunga pinjaman. Menurut aturan perpajakan, biaya bunga yang dapat dibiayakan yakti
terbatas pada poin 4:1, dan sisanya harus dikoreksi. Akibatnya menjadi sebuah temuan oleh
DJP dan perusahaan diharuskan membayar kurang bayar beserta sanksi dan bunganya.
Pembahasan :
Dilihat dari kasus tersebut, sebenarnya perusahaan telah melakukan tax planning di awal,
namun karena kelalaian tidak memperhitungkan DER sehingga terjadi kerugian pada
perusahaan sehingga perusahaan harus membayar pajak diluar dari perencanaan semula.
Kesimpulan :
Berdasarkan kasus yang diangkat diatas, dapat disimpulkan bahwa PT. X belum menerapkan
tax planning secara maksimal karena masih adanya kelalaian untuk menjaga rasio DER (Debt
to Equity Ratio) sehingga hal ini menyebabkan perusahaan harus mendapatkan sanksi,
membayar bunga dan denda.
Saran :
Sebaiknya pada saat melakukan tax planning, PT. X juga turut memperhitungkan rasio Debt
to Equity (DER) terjaga maksimum sebesar 4:1. Dan apabila melebihi rasio tersebut, maka
PT. X seharusnya melakukan koreksi fiskal sehingga pembayaran pajaknya sesuai dengan
aturan perpajakan yang berlaku.