Anda di halaman 1dari 43

PENGERTIAN DASAR MANAJEMEN PAJAK

1. Pengertian Manajemen Pajak dan Perencanaan Pajak


Perpajakan sama hal nya dengan ilmu pengetahuan yang lain memiliki perkembangan yang
sangat pesat. Perkembangan tersebut nantinya akan memunculkan beberapa spesialisasi. Pada
bagian ini akan dibahas mengenai Tax Planning dan Tax Management.
Banyak pendapat yang menyatakan bahwa tax planning akan membawa lebih banyak
keuntungan daripada memfokuskan diri pada spesialisasi pajak yang lain seperti tax management.
Dengan tax planning yang unggul perusahaan akan mendapatkan tax savings jutaan rupiah,
keuntungan akan jutaan rupiah ini dapat dimanfaatkan untuk berbagai macam expenditure yang
lain yang akan meningkatkan produktivitas perusahaan.
Pendapat lain menyatakan bahwa Tax Management lebih penting karena dengan
melakukan suatu management yang terkontrol atas tata laksana kewajiban perpajakan maka akan
menghindarkan risiko ketidakpatuhan perpajakan dan dengan demikian akan meminimalisasi
risiko hutang pajak yang tidak terduga. Dalam setiap ilmu, semua spesialisasi adalah penting, dan
masing-masing mempunyai keunggulan sendiri-sendiri. Untuk lebih jelasnya berikut perbedaan
masing-masing.

1.1 Manajemen Pajak (Tax Management)

1.1.1 Pengertian Manajemen Pajak

Secara umum manajemen pajak didefinisikan sebagai suatu usaha menyeluruh yang
dilakukan menerus oleh wajib pajak agar semua hal yang berkaitan dengan urusan perpajakan
dapat dikelola dengan baik, ekonomis, efektif dan efisien, sehingga dapat memberikan kontribusi
maksimum bagi kelangsungan usaha wajib pajak tanpa mengorbankan kepentingan penerimaan
Negara.
Adapun tujuan akhir yang ingin dicapai dari manajemen pajak adalah optimalisasi dan/atau
meminimalkan beban pajak yang dapat dicapai tidak hanya dengan melakukan suatu perencanaan
yang matang, melainkan juga harus melewati tahap pengorganisasian (organizing), pelaksanaan
(actuating), dan pengawasan (controlling) yang baik dan terkendali.
Jadi pada dasarnya Manajemen Pajak memiliki beberapa fungsi, yaitu:
1. Fungsi Perencanaan pajak (Fungsi Planning)
2. Fungsi Pengorganisasian pajak (Fungsi Organizing)
3. Fungsi Pelaksanaan pajak (Fungsi Actuating)
4. Fungsi Pengawasan pajak (Fungsi Controlling)

1.1.2 Motivasi Manajemen Pajak

Tujuan utama dari dilakukannya manajemen pajak adalah untuk melaksanakan kewajiban
perpajakan dengan benar dan meminimalisasi beban pajak untuk maksimalisasi Net Profit After
Tax. Manajemen pajak tidak dimaksudkan untuk mengelak dari kewajiban perpajakan melalui
cara-cara yang melanggar aturan perpajakan, salah satunya karena banyak ketentuan perpajakan
yang multitafsir.
Gunadi, mengutip Simon James dan Christoper Nobes menyebutkan bahwa motivasi
dilakukannya tax management, diantaranya adalah: (i) tingginya tariff pajak; (ii)
kekuranggamblangan ketentuan, baik rumusan eksplisit ketentuan maupun semangat, maksud dan
tujuan implisitnya; (iii) terlalu kecilnya sanksi; (iv) kekurangwajaran atau kekurangmerataan; dan
(v) distorsi dalam system perpajakan.
Motivasi lain dilakukannya manajemen pajak, menurut Simon James dan Christoper
Nobes, adalah kekurangwajaran dan ketidakmerataan. Faktor ini biasanya dikaitkan dengan
prinsip manfaat/benefit dari pembayaran pajak dalam kaitannya dengan azas keadilan dan
kemerataan. Konsepsi dari prinsip manfaat/benefit yang diterima dati pelayanan public oleh
pemerintah. Sehingga mereka yang mendapatkan manfaat/benefit lebih besar seharusnya
membayar pajak lebih besar. Konsekuensinya, apabila mereka merasa bahwa kualitas pelayanan
dan public goods yang disediakan pemerintah kurang memadai atau tidak setimpal dengan pajak
yang mereka bayarkan, wajib pajak kemudian cenderung untuk melakukan tindak manajemen
pajak.

1.1.3 Syarat Manajemen Pajak yang Baik

Tax Management yang baik harus memenuhi 3 persyaratan utama yaitu: (i) tidak
melanggar/bertentangan dengan ketentuan/peraturan yang berlaku; (ii) secara bisnis masuk akal
(reasonable), karena tax management merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari corporate
global strategy; dan (iii) didukung oleh bukti-bukti yang memadai, baik segi pencatatan akuntansi-
keuangannya, maupun segi hokum perjanjian/perikatannya.

1.1.4 Contoh Manajemen Pajak

Suatu perusahaan melakukan penjualan dengan orientasi ekspor. Sedangkan bahan baku
banyak dibeli di dalam negeri. Dengan demikian maka PPN masukan yang diperoleh lebih besar
daripada PPN keluaran, akibatnya harus dilakukan restitusi, mungkin tiap tahun atau tiap bulan
harus dilakukan proses tersebut. Divisi perpajakan harus melakukan suatu proses tax management
berupa memanage restitusi pajak yang berjalan. Misalnya: memantain suatu rekonsiliasi pajak
antara Penjualan menurut PPh badan dan menurut SPM PPN, merapikan faktur pajak masukan,
serta bank account ataupun voucher pembayaran yang diperlukan. Kita bisa bayangkan jika hal ini
tidak termanage dengan baik, restitusi akan membawa denda dan hutang pajak yang materiil
tentunya.

1.2 Perencanaan Pajak (Tax Planning)

1.2.1 Pengertian Perencanaan Pajak

Perencanaan Pajak (Tax Planning) merupakan langkah awal yang menjadi bagian kritikal
dari keseluruhan manajemen pajak yang lebih besar. Perencanna yang baik juga mensyaratkan
adanya pengendalian terhadap pemenuhan semua kewajiban perpajakan (tax compliance/tax
administration) agar risiko perpajakan karena adanya kesalahan pengurusan (mis-organzing) dapat
dihindari, sehingga penghematan pajak (tax saving) dapat tercapai.
Perencanaan Pajak (Tax Planning) merupakan tahap awal untuk melakukan analisis secara
sistematis berbagai alternative perlakuan perpajakan dengan tujuan untuk mencapai pemenuhan
kewajiban perpajakan yang optimum. Setelah Tax Planning dilakukan, maka tahapan berikutnya
adalah melaksanakan fungsi pengorganisasian, pelaksanaan dan pengendalian perpajakan.
Secara konseptual perencanaan pajak meliputi baik pengurangan pajak secara permanen
maupun kemungkinan penangguhannya. Penghematan pajak dapat diperoleh dari perencanaan
pajak dengan melibatkan beberapa konsep seperti pemanfaatan pengecualian pajak, pengurangan
tariff pajak menyeluruh, maksimalisasi pengurangan penghasilan, percepatan pengeluaran,
penundaan objek pajak, strukturisasi transaksi kena pajak menjadi tidak kena pajak, dan
sebagainya.

1.2.2 Tahapan Perencanaan Pajak

Tahapan-tahapan yang harus dilaksanakana dalam Perencanaan Pajak (Tax Planning)


antara lain adalah sebagai berikut:
a. Menganalisis informasi yang ada
b. Membuat satu atau lebih model kemungkinan jumlah pajak
c. Mengevaluasi pelaksanaan perencanaan pajak
d. Mencari kelemahan dan memperbaiki kembali rencana pajak
e. Menutakhirkan rencana pajak.

2. Pengertian Penghindaran Pajak (Tax Avoidance) dan Penyelundupan Pajak (Tax


Evasion)
Pada umumnya penghindaran pajak dan penyelundupan pajak mempunyai tujuan yang
sama, yaitu mengurangi beban pajak, akan tetapi cara penyelundupan pajak dalam mengurangi
beban pajaknya termasuk perbuatan ilegal atau perbuatan melanggar hukum. Pengertian
penyelundupan pajak dan penghindaran pajak menurut Harry Graham Balter yang dikutip dalam
Zain (2005) adalah “Penyelundupan pajak mengandung arti sebagai usaha yang dilakukan oleh
wajib pajak untuk mengurangi atau sama sekali menghapus utang pajak yang tidak berdasarkan
ketentuan perundang-undangan perpajakan yang berlaku, sedangkan penghindaran pajak
merupakan usaha yang sama, yang tidak melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan”
Menurut Ernest R. Mortenson dalam Zain (2005), penyelundupan pajak adalah usaha yang
tidak dapat dibenarkan berkenaan dengan kegiatan wajib pajak untuk lari atau menghindarkan diri
dari pengenaan pajak, sedangkan penghindaran pajak berkenaan dengan pengaturan sesuatu
peristiwa sedemikian rupa untuk meminimalkan atau menghilangkan beban pajak dengan
memperhatikan ada atau tidaknya akibat-akibat pajak yang ditimbulkannya. Oleh karena itu,
penghindaran pajak tidak merupakan pelanggaran atas perundang-undangan perpajakan atau
secara etik tidak dianggap salah dalam rangka usaha wajib pajak untuk mengurangi, menghindari,
meminimalkan, atau meringankan beban pajak dengan cara-cara yang dimungkinkan oleh undang-
undang pajak.
Pendapat lain menyangkut penghindaran pajak juga disampaikan oleh Drs. Chairil Anwar
Pohan, Msi, M. B. A dalam Ayuningtyas (2013) adalah sebagai berikut:
“adalah upaya penghindaran pajak yang dilakukan secara legal dan aman bagi wajib pajak
tanpa bertentangan dengan ketentuan perpajakan yang berlaku dimana metode dan teknik yang
digunakan cenderung memanfaatkan kelemahan-kelemahan (grey area) yang terdapat di dalam
undang-undang dan peraturan perpajakan itu sendiri untuk memperkecil jumlah pajak yang
terhutang”
Dari definisi diatas dapat disimpulkan bahwa penyelundupan pajak adalah upaya wajib
pajak untuk meminimumkan beban pajak terutang yang dilakukan dengan cara melanggar undang-
undang perpajakan, terutama terjadi dengan penghilangan atau kurang melaporkan objek pajak
yang didukung dengan rekayasa legal, akuntansi dan administratif lainnya. Sedangkan
penghindaran pajak adalah upaya yang dilakukan untuk meminimumkan beban pajaknya dengan
cara memanfaatkan celah-celah (loops) pada peraturan perundang-undangan perpajakan yang
berlaku sehingga dapat dikatakan penghindaran pajak tidak melanggar konteks hukum perpajakan
yang berlaku.
Penghindaran pajak dapat dilakukan dengan tiga cara, yaitu:
a. Menahan diri, yaitu wajib pajak tidak melakukan sesuatu yang bisa dikenai pajak
b. Pindah lokasi, adalah memindahan lokasi usaha atau domisili yang tarif pajaknya tinggi ke
lokasi yang tariff pajaknya rendah
c. Penghindaran pajak secara yuridis, yaitu melakukan perbuatan sedemikian rupa sehingga
perbuatan-perbatan yang dilakukan tersebut tidak terkena pajak. Biasanya perbuatan tersebut
memanfaatkan kekosongan atau ketidakjelasan dari undang-undang yang dimaksud.
Penyelundupan pajak merupakan suatu tindakan untuk meminimalkan beban pajak dengan
cara melawan ketentuan pajak (ilegal) yang dapat dihukum dengan sanksi pidana. Merupakan
usaha aktif wajib pajak dalam hal mengurangi, menghapus, manipulasi illegal terhadap utang pajak
atau meloloskan diri untuk tidak membayar pajak sebagaimana yang telah terutang menurut aturan
perundang-undangan.
Contoh penyelundupan pajak adalah memperkecil laporan jumlah (under declare revenue)
atau bahkan melaporkan kerugian (manipulate the losses) sehingga penghasilan kena pajak
berkurang dan otomatis jumlah pajak terutang lebih kecil atau bahkan tidak membayar pajak sama
sekali. Sedangkan pada kenyataannya jumlah pendapatan yang diterima lebih besar dan tidak
mengalami kerugian
Terkait dengan aspek legalitas tax management untuk kasus Indonesia, rambu-rambu yang
dapat digunakan untuk menentukan apakah tax management itu legal (tax avoidance) atau tidak
(tax evasion) adalah ketentuan pidana pasal 38, 39, 41, 41A, 41B, dan 43 Undang-undang Nomor
6 tahun 1983 sebagaimana diubah terakhir oleh Undang-undang Nomor 28 tahun 2007 mengenai
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.

Pasal 38

Setiap orang yang karena kealpaannya:


a. tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan; atau
b. menyampaikan Surat Pemberitahuan, tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau
melampirkan keterangan yang isinya tidak benar sehingga dapat menimbulkan kerugian pada
pendapatan negara dan perbuatan tersebut merupakan perbuatan setelah perbuatan yang pertama
kali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13A, didenda paling sedikit 1 (satu) kali jumlah pajak
terutang yang tidak atau kurang dibayar dan paling banyak 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang
tidak atau kurang dibayar, atau dipidana kurungan paling singkat 3 (tiga) bulan atau paling lama 1
(satu) tahun.

Pasal 39

(1) Setiap orang yang dengan sengaja:


a. tidak mendaftarkan diri untuk diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak atau tidak melaporkan
usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak;
b. menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak Nomor Pokok Wajib Pajak atau Pengukuhan
Pengusaha Kena Pajak;
c. tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan;
d. menyampaikan Surat Pemberitahuan dan/atau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak
lengkap;
e. menolak untuk dilakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29;
f. memperlihatkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen lain yang palsu atau dipalsukan seolah-
olah benar, atau tidak menggambarkan keadaan yang sebenarnya;
g. tidak menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan di Indonesia, tidak memperlihatkan atau
tidak meminjamkan buku, catatan, atau dokumen lain;
h. tidak menyimpan buku, catatan, atau dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan
dan dokumen lain termasuk hasil pengolahan data dari pembukuan yang dikelola secara elektronik
atau diselenggarakan secara program aplikasi online di Indonesia sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 28 ayat (11); atau
i. tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipungut sehingga dapat menimbulkan
kerugian pada pendapatan negara dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan
dan paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang
tidak atau kurang dibayar dan paling banyak 4 (empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau
kurang dibayar.
(2) Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambahkan 1 (satu) kali menjadi 2 (dua) kali
sanksi pidana apabila seseorang melakukan lagi tindak pidana di bidang perpajakan sebelum lewat
1 (satu) tahun, terhitung sejak selesainya menjalani pidana penjara yang dijatuhkan.
(3) Setiap orang yang melakukan percobaan untuk melakukan tindak pidana menyalahgunakan
atau menggunakan tanpa hak Nomor Pokok Wajib Pajak atau Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, atau menyampaikan Surat Pemberitahuan dan/atau
keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
d, dalam rangka mengajukan permohonan restitusi atau melakukan kompensasi pajak atau
pengkreditan pajak, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama
2 (dua) tahun dan denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah restitusi yang dimohonkan dan/atau
kompensasi atau pengkreditan yang dilakukan dan paling banyak 4 (empat) kali jumlah restitusi
yang dimohonkan dan/atau kompensasi atau pengkreditan yang dilakukan.

Pasal 41

(1) Pejabat yang karena kealpaanya tidak memenuhi kewajiban merahasiakan hal sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 34 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda
paling banyak Rp25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah).
(2) Pejabat yang dengan sengaja tidak memenuhi kewajibannya atau seseorang yang menyebabkan
tidak dipenuhinya kewajiban pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 dipidana dengan
pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh
juta rupiah).
(3) Penuntutan terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) hanya
dilakukan atas pengaduan orang yang kerahasiaannya dilanggar.

Pasal 41A

Setiap orang yang wajib memberikan keterangan atau bukti yang diminta sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 35 tetapi dengan sengaja tidak memberi keterangan atau bukti, atau memberi
keterangan atau bukti yang tidak benar dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu)
tahun dan denda paling banyak Rp25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah).

Pasal 41B

Setiap orang yang dengan sengaja menghalangi atau mempersulit penyidikan tindak pidana di
bidang perpajakan dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling
banyak Rp75.000.000,00 (tujuh puluh lima juta rupiah).

Pasal 43

(1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 dan Pasal 39A, berlaku juga bagi wakil,
kuasa, pegawai dari Wajib Pajak, atau pihak lain yang menyuruh melakukan, yang turut serta
melakukan, yang menganjurkan, atau yang membantu melakukan tindak pidana di bidang
perpajakan.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41A dan Pasal 41B berlaku juga bagi yang
menyuruh melakukan, yang menganjurkan, atau yang membantu melakukan tindak pidana di
bidang perpajakan

Penghindaran Pajak yang Diperbolehkan dan Penghindaran Pajak yang Tidak


Diperbolehkan

Rohtagi menyebutkan bahwa di banyak Negara, penghindaran pajak dibedakan menjadi


dua yaitu penghindaran pajak yang diperbolehkan (acceptable tax avoidance/tax planning/tax
mitigation) dan penghindaran pajak yang tidak diperbolehkan (unacceptable tax avoidance).
Artinya penghindaran pajak dapat dianggap illegal apabila transaksi yang dilakukan semata-mata
untuk tujuan penghindaran pajak atau tidak mempunyai tujuan bisnis yang baik (bonafide business
purpose).
Antara satu Negara dengan Negara lainnya dapat saja mempunyai pandangan yang berbeda
tentang skema apa saja yang dapat dikategorikan sebagai penghindaran pajak yang diperbolehkan
atau tidak diperbolehkan. Suatu transaksi akan disebut sebagai penghindaran pajak yang tidak
diperbolehkan apabila mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
a. Tidak memiliki tujuan usaha yang baik
b. Semata-mata untuk menghindari pajak
c. Tidak sesuai dengan spirit intension of parliament
d. Adanya transaksi yang direkayasa agar menimbulkan biaya-biaya atau kerugian.
Suatu transaksi akan disebut sebagai penghindaran pajak yang diperbolehkan apabila
mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
a. Memiliki tujuan usaha yang baik
b. Bukan semata-mata untuk menghindari pajak
c. Sesuai dengan spirit intension of parliament
d. Tidak melakukan transaksi yang direkayasa.
3. Kebijakan Anti Tax Avoidance
Pajak adalah beban bagi perusahaan, sehingga wajar jika tidak satupun perusahaan(wajib
pajak) yang dengan senang hati dan suka rela membayar pajak. Karena pajak adalah iuran yang
sifatnya memaksa, maka negara juga tidak membutuhkan “kerelaan wajib pajak.” Yang
dibutuhkan negara adalah ketaatan wajib pajak. Suka maupun tidak suka, rela maupun tidak rela,
yang penting bagi negara adalah perusahaan tersebut telah membayar pajak sesuai dengan
ketentuan yang berlaku. Lain halnya dengan sumbangan, infak maupun zakat, kesadaran dan
kerelaan pembayar diperlukan dalam hal ini.
Penghindaran pajak merupakan suatu praktik yang secara umum disepakati sebagai suatu
tindakan yang tidak dapat diterima dan harus dicegah serta dilawan. Akan tetapi, kenyataan bahwa
penghindaran pajak dilakukan dengan memanfaatkan celah dalam peraturan perpajakan sehingga
secara literal tidak melanggar hukum yang membuat isu tersebut menjadi isu diskusi yang tak
kunjung usai.
Dalam upaya menghadapi praktik-praktik penghindaran pajak khususnya yang dilakukan
oleh perusahaan multinasional, pada umumnya suatu negara menerbitkan ketentuan pencegahan
penghindaran pajak yang bersifat khusus (Specific Anti Avoidance Rule/SAAR) yang diatur dalam
undang-undang domestiknya, seperti: controlled foreign company, arm’s length rule, advance
pricing agreement, dan debt to equity ratio.
Secara umum dikenal dua pendekatan yang dapat dilakukan untuk memerangi praktik
penghindaran pajak menurut Arnold (2008). Yang pertama adalah pendekatan tanpa menggunakan
ketentuan khusus dalam peraturan melalui judicial general anti avoidance doctrine yang
dikembangkan terutama oleh putusan pengadilan. Yang kedua melalui statutory general anti
avoidance rule yang dicantumkan dalam peraturan perpajakan.
Dalam menafsirkan peraturan terutama sehubungan dengan penghindaran pajak, dikenal
dua pendekatan yang berlawanan. Pertama adalah pendekatan literal, yang peraturan ditafsirkan
berdasarkan apa yang secara eksplisit tercantum dalam naskah peraturan. Kedua adalah
pendekatan purposive, yang dalam menafsirkan peraturan juga mempertimbangkan latar belakang
dari dibuatnya peraturan tersebut. Di Indonesia, pendekatan pertama sulit diterapkan karena
penafsiran perundangan di Indonesia masing cenderung secara literal, sehingga untuk melawan
terjadinya penghindaran pajak diperlukan sebuah dasar hukum yang secara eksplisit tertulis dalam
Undang-Undang Perpajakan.
Dalam praktik di beberapa negara, SAAR efektif dalam upaya menangkal praktik-praktik
penghindaran pajak dan memberikan kepastian hukum bagi wajib pajak. Selain ketentuan yang
bersifat khusus tersebut, di banyak negara juga diterbitkan ketentuan pencegahan penghindaran
pajak yang bersifat umum (General Anti Avoidance Rule/GAAR). Tujuan dibuatnya ketentuan
pencegahan penghindaran pajak yang bersifat umum ini adalah untuk mengantisipasi praktik
penghindaran pajak yang belum diatur dalam ketentuan yang bersifat khusus atau untuk melawan
tindakan tax avoidance yang pada saat dibuatnya peraturan belum dikenal. Hal tersebut dilakukan
dengan alasan bahwa terdapat kecenderungan praktik penghindaran pajak dari tahun ke tahun
semakin canggih dan sulit untuk dideteksi serta ditangkal hanya dengan mengandalkan SAAR.
Dalam hal ini tax planning yang dilakukan oleh wajib pajak tidak lagi bersifat defensive tax
planning, melainkan sudah semakin offensive yang sering dikenal dengan istilah aggresive tax
planning. Lebih jauh Cooper mengatakan bahwa GAAR harus memuat pembedaan antara
transaksi yang tergolong acceptable tax avoidance dan yang tergolong unacceptable tax avoidance
karena tidak semua penghindaran pajak bersifat offensive.
Saat ini, untuk meminimalisir praktik penghindaran pajak dalam Undang-Undang
perpajakan sudah dikenal peraturan SAAR dalam Pasal 18 Undang-Undang Pajak Penghasilan,
akan tetapi sering semakin kompleksnya skema-skema penghindaran pajak yang digunakan,
ketentuan dalam Pasal 18 tersebut tentu tidak mungkin dapat mencakup seluruh jenis transaksi
penghindaran pajak. Oleh karena itu, mencegah dan melawan praktik penghindaran pajak,
pembuat kebijakan perlu mempertimbangkan untuk menyusun dan memperkenalkan suatu
Statutory General Anti Avoidance Rule di Undang-Undang perpajakan di Indonesia, dengan
mengambil pelajaran dari negara lain yang telah menerapkan ketentuan tersebut dalam peraturan
mereka.
Dalam pasal 18 ayat Undang-Undang Pajak Penghasilan yang isinya:
(1) Menteri Keuangan berwenang mengeluarkan keputusan mengenai besarnya perbandingan
antara utang dan modal perusahaan untuk keperluan penghitungan pajak berdasarkan
Undang-Undang ini.
(2) Menteri Keuangan berwenang menetapkan saat diperolehnya dividen oleh Wajib Pajak
dalam negeri atas penyertaan modal pada badan usaha di luar negeri selain badan usaha yang
menjual sahamnya di bursa efek, dengan ketentuan sebagai berikut:
a. besarnya penyertaan modal Wajib Pajak dalam negeri tersebut paling rendah 50% (lima
puluh persen) dari jumlah saham yang disetor; atau
b. secara bersama-sama dengan Wajib Pajak dalam negeri lainnya memiliki penyertaan
modal paling rendah 50% (lima puluh persen) dari jumlah saham yang disetor.
(3) Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan kembali besarnya penghasilan dan
pengurangan serta menentukan utang sebagai modal untuk menghitung besarnya
Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak yang mempunyai hubungan istimewa dengan
Wajib Pajak lainnya sesuai dengan kewajaran dan kelaziman usaha yang tidak dipengaruhi
oleh hubungan istimewa dengan menggunakan metode perbandingan harga antara pihak
yang independen, metode harga penjualan kembali, metode biaya-plus, atau metode lainnya.
(3a) Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan perjanjian dengan Wajib Pajak dan bekerja
sama dengan pihak otoritas pajak negara lain untuk menentukan harga transaksi antar pihak-
pihak yang mempunyai hubungan istimewa sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), yang
berlaku selama suatu periode tertentu dan mengawasi pelaksanaannya serta melakukan
renegosiasi setelah periode tertentu tersebut berakhir.
(3b) Wajib Pajak yang melakukan pembelian saham atau aktiva perusahaan melalui pihak lain
atau badan yang dibentuk untuk maksud demikian (special purpose company), dapat
ditetapkan sebagai pihak yang sebenarnya melakukan pembelian tersebut sepanjang Wajib
Pajak yang bersangkutan mempunyai hubungan istimewa dengan pihak lain atau badan
tersebut dan terdapat ketidakwajaran penetapan harga.
(3c) Penjualan atau pengalihan saham perusahaan antara (conduit company atau special purpose
company) yang didirikan atau bertempat kedudukan di negara yang memberikan
perlindungan pajak (tax haven country) yang mempunyai hubungan istimewa dengan badan
yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia atau bentuk usaha tetap di Indonesia
dapat ditetapkan sebagai penjualan atau pengalihan saham badan yang didirikan atau
bertempat kedudukan di Indonesia atau bentuk usaha tetap di Indonesia.

(3d) Besarnya penghasilan yang diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri dari pemberi
kerja yang memiliki hubungan istimewa dengan perusahaan lain yang tidak didirikan dan
tidak bertempat kedudukan di Indonesia dapat ditentukan kembali, dalam hal pemberi kerja
mengalihkan seluruh atau sebagian penghasilan Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri
tersebut ke dalam bentuk biaya atau pengeluaran lainnya yang dibayarkan kepada
perusahaan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia tersebut.
(3e) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3b), ayat (3c), dan ayat (3d) diatur
lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
(4) Hubungan istimewa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sampai dengan ayat (3d), Pasal 9
ayat (1) huruf f, dan Pasal 10 ayat (1) dianggap ada apabila:
a. Wajib Pajak mempunyai penyertaan modal langsung atau tidak langsung paling rendah
25% (dua puluh lima persen) pada Wajib Pajak lain; hubungan antara Wajib Pajak dengan
penyertaan paling rendah 25% (dua puluh lima persen) pada dua Wajib Pajak atau lebih;
atau hubungan di antara dua Wajib Pajak atau lebih yang disebut terakhir;

b. Wajib Pajak menguasai Wajib Pajak lainnya atau dua atau lebih Wajib Pajak berada di
bawah penguasaan yang sama baik langsung maupun tidak langsung; atau

c. terdapat hubungan keluarga baik sedarah maupun semenda dalam garis keturunan lurus
dan/atau ke samping satu derajat.

Penjelasan Pasal 18

Ayat (1)
Undang-Undang ini memberi wewenang kepada Menteri Keuangan untuk memberi keputusan
tentang besarnya perbandingan antara utang dan modal perusahaan yang dapat dibenarkan untuk
keperluan penghitungan pajak. Dalam dunia usaha terdapat tingkat perbandingan tertentu yang
wajar mengenai besarnya perbandingan antara utang dan modal (debt to equity ratio). Apabila
perbandingan antara utang dan modal sangat besar melebihi batas-batas kewajaran, pada umumnya
perusahaan tersebut dalam keadaan tidak sehat. Dalam hal demikian, untuk penghitungan
Penghasilan Kena Pajak, Undang-Undang ini menentukan adanya modal terselubung. Istilah
modal di sini menunjuk kepada istilah atau pengertian ekuitas menurut standar akuntansi,
sedangkan yang dimaksud dengan “kewajaran atau kelaziman usaha” adalah adat kebiasaan atau
praktik menjalankan usaha atau melakukan kegiatan yang sehat dalam dunia usaha.

Ayat (2)

Dengan makin berkembangnya ekonomi dan perdagangan internasional sejalan dengan era
globalisasi dapat terjadi bahwa Wajib Pajak dalam negeri menanamkan modalnya di luar negeri.
Untuk mengurangi kemungkinan penghindaran pajak, terhadap penanaman modal di luar negeri
selain pada badan usaha yang menjual sahamnya di bursa efek, Menteri Keuangan berwenang
untuk menentukan saat diperolehnya dividen. Contoh: PT A dan PT B masing-masing memiliki
saham sebesar 40% dan 20% pada X Ltd. yang bertempat kedudukan di negara Q. Saham X Ltd.
tersebut tidak diperdagangkan di bursa efek. Dalam tahun 2009 X Ltd. memperoleh laba setelah
Pajak sejumlah Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Dalam hal demikian, Menteri Keuangan
berwenang menetapkan saat diperolehnya dividen dan dasar penghitungannya.

Ayat (3)

Maksud diadakannya ketentuan ini adalah untuk mencegah terjadinya penghindaran pajak yang
dapat terjadi karena adanya hubungan istimewa. Apabila terdapat hubungan istimewa,
kemungkinan dapat terjadi penghasilan dilaporkan kurang dari semestinya ataupun pembebanan
biaya melebihi dari yang seharusnya. Dalam hal demikian, Direktur Jenderal Pajak berwenang
untuk menentukan kembali besarnya penghasilan dan/atau biaya sesuai dengan keadaan
seandainya di antara para Wajib Pajak tersebut tidak terdapat hubungan istimewa. Dalam
menentukan kembali jumlah penghasilan dan/atau biaya tersebut digunakan metode perbandingan
harga antara pihak yang independen (comparable uncontrolled price method), metode harga
penjualan kembali (resale price method), metode biaya-plus (cost-plus method), atau metode
lainnya seperti metode pembagian laba (profit split method) dan metode laba bersih transaksional
(transactional net margin method). Demikian pula kemungkinan terdapat penyertaan modal secara
terselubung, dengan menyatakan penyertaan modal tersebut sebagai utang maka Direktur Jenderal
Pajak berwenang untuk menentukan utang tersebut sebagai modal perusahaan. Penentuan tersebut
dapat dilakukan, misalnya melalui indikasi mengenai perbandingan antara modal dan utang yang
lazim terjadi di antara para pihak yang tidak dipengaruhi oleh hubungan istimewa atau berdasar
data atau indikasi lainnya. Dengan demikian, bunga yang dibayarkan sehubungan dengan utang
yang dianggap sebagai penyertaan modal itu tidak diperbolehkan untuk dikurangkan, sedangkan
bagi pemegang saham yang menerima atau memperoleh bunga tersebut dianggap sebagai dividen
yang dikenai pajak.

Ayat (3a)

Kesepakatan harga transfer (Advance Pricing Agreement/APA) adalah kesepakatan antara Wajib
Pajak dan Direktur Jenderal Pajak mengenai harga jual wajar produk yang dihasilkannya kepada
pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa (related parties) dengannya. Tujuan
diadakannya APA adalah untuk mengurangi terjadinya praktik penyalahgunaan transfer pricing
oleh perusahaan multi nasional. Persetujuan antara Wajib Pajak dan Direktur Jenderal Pajak
tersebut dapat mencakup beberapa hal, antara lain harga jual produk yang dihasilkan, dan jumlah
royalti dan lain-lain, tergantung pada kesepakatan. Keuntungan dari APA selain memberikan
kepastian hukum dan kemudahan penghitungan pajak, Fiskus tidak perlu melakukan koreksi atas
harga jual dan keuntungan produk yang dijual Wajib Pajak kepada perusahaan dalam grup yang
sama. APA dapat bersifat unilateral, yaitu merupakan kesepakatan antara Direktur Jenderal Pajak
dengan Wajib Pajak atau bilateral, yaitu kesepakatan Direktur Jenderal Pajak dengan otoritas
perpajakan negara lain yang menyangkut Wajib Pajak yang berada di wilayah yurisdiksinya.

Ayat (3b)

Ketentuan ini dimaksudkan untuk mencegah penghindaran pajak oleh Wajib Pajak yang
melakukan pembelian saham/penyertaan pada suatu perusahaan Wajib Pajak dalam negeri melalui
perusahaan luar negeri yang didirikan khusus untuk tujuan tersebut (special purpose company).

Ayat (3c)
Contoh: X Ltd. yang didirikan dan berkedudukan di negara A, sebuah negara yang memberikan
perlindungan pajak (tax haven country), memiliki 95% (sembilan puluh lima persen) saham PT X
yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia. X Ltd. ini adalah suatu perusahaan antara
(conduit company) yang didirikan dan dimiliki sepenuhnya oleh Y Co., sebuah perusahaan di
negara B, dengan tujuan sebagai perusahaan antara dalam kepemilikannya atas mayoritas saham
PT X. Apabila Y Co. menjual seluruh kepemilikannya atas saham X Ltd. kepada PT Z yang
merupakan Wajib Pajak dalam negeri, secara legal formal transaksi di atas merupakan pengalihan
saham perusahaan luar negeri oleh Wajib Pajak luar negeri. Namun, pada hakikatnya transaksi ini
merupakan pengalihan kepemilikan (saham) perseroan Wajib Pajak dalam negeri oleh Wajib Pajak
luar negeri sehingga atas penghasilan dari pengalihan ini terutang Pajak Penghasilan.

Ayat (3d)

Cukup jelas.

Ayat (3e)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Hubungan istimewa di antara Wajib Pajak dapat terjadi karena ketergantungan atau keterikatan
satu dengan yang lain yang disebabkan:

a. kepemilikan atau penyertaan modal; atau

b. adanya penguasaan melalui manajemen atau penggunaan teknologi.

Selain karena hal-hal tersebut, hubungan istimewa di antara Wajib Pajak orang pribadi dapat pula
terjadi karena adanya hubungan darah atau perkawinan.

Huruf a

Hubungan istimewa dianggap ada apabila terdapat hubungan kepemilikan yang berupa penyertaan
modal sebesar 25% (dua puluh lima persen) atau lebih secara langsung ataupun tidak langsung.
Misalnya, PT A mempunyai 50% (lima puluh persen) saham PT B. Pemilikan saham oleh PT A
merupakan penyertaan langsung. Selanjutnya, apabila PT B mempunyai 50% (lima puluh persen)
saham PT C, PT A sebagai pemegang saham PT B secara tidak langsung mempunyai penyertaan
pada PT C sebesar 25% (dua puluh lima persen). Dalam hal demikian, antara PT A, PT B, dan PT
C dianggap terdapat hubungan istimewa. Apabila PT A juga memiliki 25% (dua puluh lima persen)
saham PT D, antara PT B, PT C, dan PT D dianggap terdapat hubungan istimewa. Hubungan
kepemilikan seperti di atas dapat juga terjadi antara orang pribadi dan badan.

Huruf b

Hubungan istimewa di antara Wajib Pajak dapat juga terjadi karena penguasaan melalui
manajemen atau penggunaan teknologi walaupun tidak terdapat hubungan kepemilikan. Hubungan
istimewa dianggap ada apabila satu atau lebih perusahaan berada di bawah penguasaan yang sama.
Demikian juga hubungan di antara beberapa perusahaan yang berada dalam penguasaan yang sama
tersebut.

Huruf c

Yang dimaksud dengan “hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat”
adalah ayah, ibu, dan anak, sedangkan “hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan ke
samping satu derajat” adalah saudara. Yang dimaksud dengan “keluarga semenda dalam garis
keturunan lurus satu derajat” adalah mertua dan anak tiri, sedangkan “hubungan keluarga semenda
dalam garis keturunan ke samping satu derajat” adalah ipar.

Perlu diingat bahwa dalam menyusun sebuah Statutory General Anti Avoidance Rule perlu
dipertimbangkan keseimbangan antara penegakan hukum dengan kepastian hukum bagi Wajib
pajak. Ketentuan Statutory General Anti Avoidance Rule memberikan diskresi yang sangat luas
bagi otoritas perpajakan untuk melakukan penelitian yang mendalam atas sebuah skema transaksi
dan melakukan koreksi apabila skema tersebut disimpulkan sebagai sebuah transaksi penghindaran
pajak.
PEMILIHAN BENTUK USAHA

BAB I
PENDAHULUAN

2.1 LATAR BELAKANG


Pajak merupakan salah satu sumber penerimaan APBN di Indonesia yang paling besar.
Keberadaan pajak secara langsung telah mempengaruhi jalannya pertumbuhan ekonomi dan
kegiatan-kegiatan usaha di indonesia. Salah satu unsur objek pajak adalah penghasilan, maka
tentu saja pemungutan pajak ini mencakup bentuk-bentuk usaha baik yang perseorangan
maupun berbentuk badan.
Setiap perusahaan pasti berharap untuk menjadi salah satu perusahaan yang maju dan
besar. Salah satu faktor yang paling mempengaruhi adalah faktor awal pendiriannya yaitu pada
saat pemilihan bentuk perusahaan tersebut. Oleh karena itu pemilihan bentuk perusahaan
adalah tahap awal dari pendirian suatu perusahaan harus dengan benar demi kemajuan
perusahaan tersebut. Untuk memilih bentuk perusahaan, tentunya harus melalui pertimbangan
yang matang dan perlu diperhatikan dengan cermat bagaimana bentuk perusahaan tersebut.
Bentuk-bentuk usaha di Indonesia sendiri terdiri dari 3 macam yaitu BUMN, Koperasi dan
Swasta. Namun yang tentunya menjadi objek pajak penghasilan adalah bentuk usaha Swasta,
yang mana hal itu bertujuan semata-mata untuk mencari keuntungan dan menambah kekayaan.
Bentuk usaha Swasta sendiri terbagi 5 yaitu perseorangan, CV(persekutuan komanditer), Firma,
PT(Perseroan Terbatas) dan Yayasan. Di antara semua itu tentunya memiliki perlakuan pajak
yang berbeda-beda. Perusahaan perseorangan yang pemiliknya hanya satu orang tentu akan
mendapat pemungutan pajak yang berbeda dengan perusahaan yang pemiliknya lebih dari satu
orang seperti CV, Firma, PT dan Yayasan.
Dalam ketentuan umum perpajakan, Wajib Pajak dapat dibagi dua yaitu Wajib Pajak
perorangan dan Wajib Pajak badan. Pajak Penghasilan (PPh) dikenakan kepada setiap Wajib
Pajak, baik Wajib Pajak perorangan maupun Wajib Pajak badan atas penghasilan yang
diterimanya dalam setahun. Perbedaan utama antara Wajib Pajak perorangan dan Wajib Pajak
badan dalam penghitungan PPh adalah besarnya tarif pajak. Lapisan terendah tarif pajak bagi
perorangan adalah 5% dan lapisan tertinggi bagi perorangan adalah 30% sedangkan bagi Wajib
Pajak Badan tarifnya 25%.
Penghasilan dalam pengertian perpajakan memiliki makna yang sangat luas, yaitu setiap
tambahan kemampuan ekonomis yang dapat dikonsumsi atau menambah kekayaan.
Sehubungan dengan usaha maka penghasilan sebagai tambahan kemampuan ekonomis adalah
laba usaha, yaitu penerimaan bruto dikurangi biaya-biaya, yang dalam perpajakan disebut
dengan penghasilan neto. Dalam menghitung besarnya laba usaha, perpajakan mempunyai
ketentuan mengenai penghasilan yang diperhitungkan dan biaya yang tidak dapat dikurangkan
yang diatur dalam UU PPh.
Laba usaha yang diterima oleh badan usaha maupun perorangan itulah yang akan dikenai
PPh. Namun demikian, bagi Wajib Pajak perorangan, sebelum laba dikenakan pajak terlebih
dahulu dikurangkan dengan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) yang besarnya ditetapkan
dan bergantung pada jumlah tanggungan keluarganya.
Sebenarnya, pihak yang memiliki sebuah usaha berbentuk badan adalah juga perorangan
sebagai investor. Hasil yang akan diterima oleh investor sebagai pemilik usaha merupakan
penghasilan kembali yang merupakan Objek PPh bagi perorangan. Namun karena prinsip usaha
adalah “going concern” maka keuntungan dari sebuah badan usaha tidak selalu langsung
dinikmati oleh investor (pemilik) tetapi dapat ditanamkan kembali untuk memperbesar usaha.
Sehingga penghasilan yang diterima oleh perorangan atas investasinya di badan usaha bisa
ditunda sampai keuntungan tersebut dibagikan ke perorangan.
Selain itu dalam memungut pajak juga ditentukan dari omzet yang didapat. Semakin besar
omzet/penghasilan yang didapat maka semakin besar pula pajak yang dikenakan. Karena kondisi
itulah menyebabkan terjadi cara-cara yang dilakukan Wajib pajak untuk menghindari pajak atau
meringankan beban pajak pajak yang didapat dengan cara-cara yang tidak melanggar hukum.
Sehingga perencanaan perpajakan (tax planning) dapat digunaan oleh badan usaha tersebut
dalam melakukan kewajiban perpajakannya..

BAB II
PEMBAHASAN

Memilih bentuk usaha/business vehicle yang tepat merupakan hal pertama yang harus
diperhatikan oleh investor/pengusaha, selain untuk menentukan bentuk usaha apa yang dapat
memberikan kontribusi profit paling besar dengan tingkat risiko yang paling rendah. Terkait
ketentuan perpajakan yang berlaku, investor/pengusaha juga harus menentukan bentuk usaha
yang mana yang memberikan kontribusi profit yang paling besar namun dengan beban pajak
yang paling kecil, dan yang paling penting dari pemilihan bentuk usaha adalah tentu saja untuk
mempertimbangkan keberlangsungan usaha dalam jangka panjang.
Pohan (Zain, 2003:97) memberikan faktor-faktor yang harus dipertimbangkan dalam
pemilihan bentuk usaha, diantaranya:
1. bagaimana hubungan antara tarif pajak penghasilan orang pribadi dan tarif pajak
penghasilan wajib pajak badan, termasuk ketentuan khusus yang mengatur hal itu
2. pengenaan pajak penghasilan secara berganda, baik atas laba bruto usaha, maupun
penghasilan dari pembagian keuntungan (dividen) kepada para pemegang sahamnya
3. kesempatan untuk menunda pembayaran pajak pada tarif pajak penghasilan lebih
kecil/besar apabila dibandingkan dengan kesempatan yang terdapat pada tarif pajak
penghasilan dari akumulasi penghasilan perusahaan
4. adanya ketentuan mengenai kerugian hasil usaha neto (kompensasi kerugian) dan kredit
investasi yang berlaku bagi bentuk usaha tertentu
5. kemungkinan pengajuan perlakuan khusus terhadap pajak atas akumulasi laba, pajak
atas penghasilan personal, holding company, dan seterusnya
6. liberalisasi ketentuan yang mengatur fringe benefit dan atau payment in kind.
Secara umum terdapat empat bentuk usaha yang legal, yaitu:
1. partnership yang berupa persekutuan perdata (maatschap), persekutuan komanditer
(commanditaire vennootschap = CV), dan firma;
2. perseroan terbatas (PT)
3. koperasi, asosiasi, yayasan, dan badan usaha lain
4. usaha orang pribadi/individual basis
Fokus penjelasan tulisan ini hanya akan menekankan pada pemilihan badan usaha berbentuk
usaha orang pribadi (individual basis), CV dan PT. Dan disini kita hanya mendiskusikan masalah
pemilihan bentuk usaha dilihat dari aspek perpajakannya. Banyak pilihan bentuk usaha yang
dapat dipertimbangkan investor, itu semua akan bermuara pada besarnya pajak yang akan
ditanggung.
2.1 USAHA ORANG PRIBADI/ PERSEORANGAN
Warga Negara Indonesia diberikan kebebasan seluas-luasnya untuk berusaha selama
tidak bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan. Untuk melakukan usaha secara
pribadi, seseorang tidak memerlukan izin khusus dalam pendiriannya, karena bukan berupa
badan usaha atau badan hukum. Usaha perseorangan ini bisa dijalankan dengan membuat
usaha dagang (UD) atau usaha lainnya, tanpa harus memiliki nama usaha. Contoh usaha yang
dijalankan pun bisa beragam, dari berdagang, manufaktur skala kecil, jasa, dsb.
Keuntungan yang diperoleh dari suatu usaha yang dijalankan secara perorangan
seluruhnya akan dinikmati dan masuk ke kantong pribadi perorangan. Keuntungan tersebut akan
dikenai pajak sesuai dengan lapisan tarif pajak perorangan. Jika keuntungan yang diperoleh di
atas Rp500.000.000,00 kelebihannya akan dikenai tarif tertinggi perpajakan sebesar 30%.
Keuntungan usaha berupa selisih penerimaan dengan biaya dihitung berdasarkan
pembukuan yang diselenggarakan oleh perorangan. Dalam usaha perorangan tidak dikenal
adanya pemisahan harta usaha dengan harta pribadi perorangan, keseluruhannya adalah harta
miliknya perorangan. Namun demikian untuk keperluan penghitungan keuntungan usaha tetap
harus dibedakan antara harta untuk usaha dengan harta bukan untuk usaha, sehingga dapat
dipisahkan biaya penyusutan harta yang berhubungan dengan usaha. Karena tidak adanya
pemisahan antara harta usaha dengan harta pribadi maka dari sudut perpajakan kewajiban
mendaftar NPWP hanya melekat pada diri perorangannya. Begitu pula dengan kewajiban
melaporkan pajaknya.
Pengeluaran-pengeluaran untuk kepentingan pribadi tidak diperkenankan, seperti biaya
gaji pemilik, pengeluaran berupa prive dan sebagainya. Bagi perorangan yang omzet setahunnya
belum melebihi Rp4.800.000.000,00 tidak wajib menyelenggarakan pembukuan, sehingga
keuntungan dihitung dengan menggunakan norma penghitungan penghasilan neto. Konsekuensi
menggunakan norma penghitungan penghasilan neto adalah tidak pernah diakui adanya
kerugian usaha.

Keuntungan dari Perseorangan mempunyai keuntungan:


1. Mudah dan murah dalam proses pembentukannya
2. Pemilik perusahaan mengendalian secara langsung perusahaannya, yang dengan
demikian memungkinkan pengusaha untuk bertindak lanjut cepat
3. Tidak terlalu dipengaruhi oleh peraturan pemerintahan
4. Pemilik menerima semua keuntungan dan menanggung semua kerugian usaha
5. Bebas dari pajak penghasilan apabila pengasilannya masih dibawah PTKP

Kelemahan Perseorangan yaitu Keterbatasa dalam mendapatkan modal

Dalam melaksanakan hak dan menjalankan kewajiban perpajakannya, usaha perseorangan:


1. menggunakan nomor pokok wajib pajak (NPWP) orang pribadi, yaitu pemilik yang
sebenarnya dari usaha tersebut untuk keperluan perpajakan.
2. pengusaha wajib menjalankan pembukuan dalam menjalankan kegiatan usahanya, namun
dalam hal peredaran usaha pengusaha dalam satu tahun pajak tidak melebihi Rp4,8 miliar,
pengusaha boleh tidak melakukan pembukuan, namun wajib membuat pencatatan. Dalam
menghitung penghasilan neto untuk keperluan perpajakan, pengusaha menggunakan
norma. Ketentuan mengenai pembukuan diatur dalam Pasal 28 UU KUP, ketentuan
mengenai norma penghitungan penghasilan neto diatur dalam Pasal 14 UU PPh dan
Peraturan Direktur Jenderal Pajak nomor PER-17/PJ/2015.
3. selain boleh dikurangkan dengan biaya-biaya yang dapat dikurangkan sesuai ketentuan UU
PPh, pengusaha juga boleh mengurangkan penghasilan netonya dengan Penghasilan Tidak
Kena Pajak (PTKP) yang dihitung berdasarkan keadaan/status perkawinan Wajib Pajak dan
jumlah tanggungannya. Ketentuan mengenai biaya yang dapat dikurangkan diatur dalam
Pasal 6 UU PPh, ketentuan mengenai PTKP diatur dalam Pasal 7 UU PPh.
4. dalam penghitungan pajak terutang, berlaku tarif pajak progresif, yaitu tarif pajak yang
semakin meningkat seiring besarnya penghasilan kena pajak. Ketentuan mengenai tarif
pajak diatur dalam Pasal 17 UU PPh.
5. apabila usaha yang dilakukan memenuhi ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan
Pemerintah nomor 46/2013, bagi pengusaha yang dalam satu tahun pajak peredaran
usahanya tidak lebih dari Rp4,8 miliar, pengusaha wajib menghitung pajaknya secara final
dengan tariff 1% dari peredaran usaha setiap bulannya.

Dalam menghitung besarnya pajak penghasilan, usaha perorangan wajib melakukan pembukuan
atau hanya melakukan pencatatan dengan Norma Penghitungan jika peredaran brutonya kurang
dari Rp. 1.800.000.000 (satu miliar delapan ratus juta rupiah).

Terkait dengan ketentuan perpajakan, ada beberapa hal yang menjadi pertimbangan
dalam memilih bentuk usaha Perseorangan adalah:

1. Tarif PPh untuk Wajib Pajak Perseorangan


No Batasan Penghasilan kena Pajak % Tarif PPh Progresif
1 s.d 50 Juta 5%
2 Lebih 50 juta s.d 250 juta 15 %
3 Lebih 250 Juta s.d 500 Juta 25 %
4 Lebih 500 Juta 30 %

2. Pengurang Penghasilan Kena Pajak


Pertimbangan memilih bentuk usaha perseorangan adalah adanya pegurang
penghasilan kena pajak yang hanya diberikan kepada wajib pajakperseorangan.
Penghasilan Tidak Kena Pajak
No Status PTKT Setahun
1 Tidak kawin anak 0 Rp 54.000.000,-
2 Kawin Anak 0 Rp 58.500.000,-
3 Kawin Anak 1 Rp 63.000.000,-
4 Kawin Anak 2 Rp 67.500.000,-
5 Kawin Anak 3 Rp 72.000.000,-

3. Pertimbangan Kewajiban Pembukuan


Pembukuan adalah salah satu cara yang dipergunakan oleh wajib pajak untuk dapat
mnghitung penghasilan neto yang berkaitan dengan perhitungan besarnya PPh terutang atas
kegiatan usahanya. Selain menggunakan pembukuan, untuk menghitung penghasilan neto
juga dapat menggunakan norma perhitungan penghasilan neto.
Bagi wajib pajak badan, pembukuan adalah kewajiban. Untuk wajib pajak peribadi
dengan peredaran usaha sampai dengan 4.800.000.000 diberi pilihan untuk menghitung
besarnya penghasilan neto dapat menggunakan pembukuan atau menggunakan norma
perhitungan penghasilan.
Kewajiban pembukuan merupakan beban tersendiri bagi wajib pajak, apalagi jika
wajib pajak tidak mempunyai karyawan yang khusus menangani pembukuan tersebut secara
khusus. Biasanya untuk menghindari kewajiban melaksanakan pembukuan maka wajib
pajak biasanya menggunakan bentuk orang pribadi, yang cukup dilakukan dengan
mencaatat peredaran bruto setialp bulan tanpa harus membuat laporan keuangan.
Wajib pajak pribadi yang memiliki omset diatas 4.800.000.000 wajib melakukan
pembukuan, jika wajib pajak tersebut tidak menyelenggarakan pembukuan dengan benar
maka penghasilan netonya akan dihitung dengan norma khusus dan dikenakan sanki
kenaikan sebesar 50% dari PPh yang kurang atau tidak dibayar.
4. Pertimbangan kewajiban pemungutan pajak
Wajib pajak badan yang bergerak dibidang industri semen, rokok, kertas, baja, dan
otomotif ditunjuk sebagai pemungut PPh pasal 22 atas penjualan produknya. Namun
pemungutan PPh Pasal 22 tersebut tidak dikenakan kepada wajib pajak perorangan yang
mempunyai industri diatas.
5. Pertimbangan Pertanggung-jawaban Utang Pajak
Aktiva yang dimiliki oleh wajib pajak perseorangan tidak terpisahkan dengan aktiva
dari kegitan usahanya, sehingga keuntungan yang didapat dari semua kegiatan usaha dalam
bentuk perseorangan itu akan diakuinya sendiri. Sebaliknya untuk kerugian, semua kesulitan
dalam kegiatan usaha dari bentuk perseorangan sepenuhnya menjadi tanggung jawab
pribadi wajib pajak. Berbeda halnya dengan badan usaha yang harus memisahkan aktiva
yang dimiliki oleh pemilik dan aktiva yang dimiliki perusahaan berbentuk badan usaha
dimana keuntungan maupun kerugian akan diakui sesuai dengan perjanjian yang telah
disepakati baik yang dimasukkan kedalam anggaran dasar atau tidak.
Namun dalam ketentuan perpajakan ada beberapa tanggung jawab bagi badan
usaha yang tidak dapat dipisahkan dengan tanggung jawab pemiliknya yaitu utang pajak.
Harta pemilik modal badan usaha merupakan barang yang dapat disita apabila terdapat
utang pajak dari wajib pajak badan yang tidak dibayar walaupun telah dilakukan tindakan
surat paksa oleh juru sita pajak Negara.
Jika seseorang ingim memutuskan untuk menanamkan modal pada badan usaha
atau berusaha sendiri melalui bentuk perseorangan, selain mempertimbangkan
kemungkinan besarnya laba yang akan diterima juga harus mempertimbangkan seandainya
terjadi kerugian atau mempunyai utang pajak.
Penanggung utang pajak tetap harus dilakukan walaupun pemilik modal badan usaha
tersebut bersifat pasif. Kalau terjadi perrmasalahan dengan utang pajak, hartanya dapat
dimint untuk membayar utng pjak dari badan usah dimmana dia menanamkan modalnya.
Contoh
Tuan Anas memiliki usaha perdagangan bahan-bahan bangunan. Selama tahun 2015 laporan
laba/rugi usaha tuan Anas tersebut adalah:
Peredaran usaha Rp60.000.000.000,-
Harga Pokok Penjualan Rp58.800.000.000,-
Laba Bruto Rp1.200.000.000,-
Biaya Operasi Rp500.000.000,-
Laba Usaha Sebelum Pajak Rp700.000.000,-

Maka penghitungan besarnya PPh terutang Tuan Anas selama tahun 2015 adalah sebagai
berikut:
Laba Usaha Rp700.000.000,-
Penghasilan Tidak Kena Pajak (K/2) * Rp67.500.000,-
Penghasilan Kena Pajak (PKP) Rp632.500.000,-
PPh Terutang
5% x Rp50.000.000,- = Rp 2.500.000,-
15% x Rp200.000.000 = Rp30.000.000,- Rp134.750.000,-
25% x Rp250.000.000,- = Rp62.500.000,-
30% x Rp132.500.000,- = Rp39.750.000,-
Persentase PPh Terutang terhadap laba usaha 19,3%
*) 54.000.000 + 4.500.000 + (2×4.500.000) = Rp67.500.000

Dari analisis di atas, ada beberapa hal penting yang perlu di catat :
1. Beban pajak yang ditanggung investor melalui persekutuan ternyata lebih kecil dibandingkan
daripada usaha berbentuk PT
2. Bisnis perseorangan tersebut bisa memberikan tingkat efisiensi pajak yang jauh lebih besar
dari pada bentuk badan usaha lainnya. Namun kita tidak boleh tergesa-gesa mengambil
keputusan atas dasar pertimbangan ini semata, harus memperhatikan pertimbangan lainnya.
3. Pemihan salah satu entitas bisnis dapat dijadikan referensi dalam pengambilan keputusan oeh
para investor untuk meminimalkan beban pajak. Namun demikian faktor pajak bukan satu-
satunya pertimbangan dalam pengambilan keputusan bisnis. Masih banyak variabel lain yang
harus diperhatikan investor.

2.2 PERSEKUTUAN KOMANDITER (COMMANDITAIRE VENNOOTSCHAP = CV)


CV merupakan salah satu bentuk partnership yang paling umum di Indonesia. CV
merupakan suatu persekutuan yang didirikan oleh seorang atau beberapa orang yang
mempercayakan uang atau barang kepada seorang atau beberapa orang yang menjalankan
perusahaan dan bertindak sebagai pemimpin. Dalam pendiriannya, CV cukup didaftarkan di
Kepaniteraan Pengadilan Negeri dan diumumkan dalam Tambahan Berita Negara RI, namun
tidak perlu disahkan oleh Kementerian Hukum dan HAM.
Atau Persekutuan Komanditer (CV) atau Firma pada dasarnya adalah bentuk usaha yang
didirikan oleh dua orang atau lebih yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham. Atas bentuk
usaha tersebut dan bentuk usaha lain yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham
mempunyai perlakuan yang sama dari sudut perpajakan.

Anggota perseroan kommanditer ada dua golongan :


1. Persero Pengusaha atau pesero aktif/bekerja. Pesero ini selain menyerahkan modal ke
dalam perseroan, jika perseroan jatuh pailit atau bangkrut, pesero pengusaha
bertanggungjawab penuh atas seluruh harta-harta pribadinya terhadap hutang-hutang
perusahaan.
2. Persero Kommanditer atau pesero diam. Pesero ini hanya menyerahkan modal ke dalam
perseroan dan tidak bertanggung jawab tentang jalannya perseroan. Jika perseroan jatuh
pailit/bangkrut, pesero ini hanya bertanggungjawab sebesar modal penyertaannya.

Kelebihan dan kekurangan bentuk usaha CV, sebagaimana diuraikan Santoso dan Rahayu,
(2013:91) antara lain:
Kelebihan
1. relatiif mudah dalam proses pendiriannya
2. kebutuhan akan modal dapat lebih dipenuhi
3. cenderung lebih mudah memperoleh kredit
4. dari segi kepemimpinan, CV relatif lebih baik
5. lebih fleksibel karena bagi sekutu pasif akan lebih mudah untuk menginvestasikan maupun
mencairkan kembali modalnya
6. tidak ada ketentuan memakai nama CV seperti halnya dengan PT
7. Anggaran dasar tidak perlu mendapat pengesahan dari Kementerian Hukum dan HAM

Kekurangan:
1. kelangsungan hidup tidak menentu karena banyak tergantung dari sekutu aktif yang
bertindak sebagai sekutu pemimpin CV
2. tanggung jawab para sekutu komanditer yang terbatas dapat berpengaruh terhadap
semangat untuk memajukan perusahaan
3. kewajiban sekutu yang tidak terbatas
4. perlindungan hukumnya masih dianggap minim

Sebagai sebuah badan usaha maka CV atau Firma berkewajiban untuk mendaftarkan
NPWP yang terpisah dengan kewajiban para pemiliknya. Keuntungan usaha merupakan
penghasilannya CV atau Firma yang akan dikenai pajak dan dilaporkan oleh CV atau Firma
sebagai Wajib Pajak. Sedangkan penghasilan seorang investor dari penanaman modal di CV
atau Firma adalah penghasilan berupa pembagian laba. Jika seorang investor juga aktif
menjalankan usaha, investor dapat saja menerima tambahan penghasilan lain berupa gaji dan
tunjangan-tunjangan lainnya.
Dalam ketentuan perpajakan, bergesernya aliran penghasilan dari CV atau Firma kepada
pemilik tidak dianggap sebagai terjadinya aliran penghasilan, sehingga pajak tidak mengakui
adanya pengurangan berupa biaya gaji pemilik di CV atau Firma. Sebaliknya penerimaan berupa
gaji oleh pemilik tidak dianggap sebagai adanya penghasilan bagi si pemilik. Demikian juga atas
pembagian laba yang diterima oleh pemilik.
Pajak memandang bahwa antara anggota atau pemilik dengan CV atau Firma
diperlakukan sebagai satu kesatuan dalam penghitungan PPh atas keuntungan usaha. Satu
kesatuan dalam hal ini adalah tambahan kemampuan ekonomis dari usaha CV atau Firma hanya
akan dikenai PPh satu kali yaitu di CV atau Firma.
Dengan demikian antara CV dengan usaha perorangan memiliki persamaan perlakuan
perpajakan yaitu keuntungan usaha sama-sama diperlakukan sebagai satu kesatuan dengan
penghasilan pemiliknya. Hanya bedanya keuntungan usaha perorangan dikenai pajak di sisi
perorangan sebagai WPOP sedangkan keuntungan usaha CV dikenai pajak di sisi CV sebagai
WP badan.
Keduanya sama-sama tidak diperkenankan memperhitungkan pengurangan biaya berupa
gaji pemilik dan pembagian keuntungannya. Dipandang dari sudut penghematan pajak, CV
memiliki keunggulan jika dibandingkan dengan usaha perorangan yaitu dari sisi tarif pajak.
Sebagaimana dijelaskan di atas, tarif pajak bagi CV adalah 28% sedangkan tarif pajak
perorangan tertinggi adalah 30%. Dengan demikian dengan membentuk CV dapat timbul
penghematan pajak sebesar 2%.
Dipandang dari sudut penghematan pajak, CV memiliki keunggulan jika dibandingkan
dengan usaha perorangan yaitu dari sisi tarif pajak

Secara umum ketentuan perpajakan terkait CV diantaranya:


1. CV merupakan subjek pajak badan dalam negeri. Dalam UU PPh dijelaskan pengertian
subjek pajak badan, bahwa subjek pajak badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal
yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha
yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha
milik negara atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma,
kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa,
organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga, dan bentuk badan lainnya
termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap
2. Karena CV merupakan subjek pajak badan, maka CV harus mendaftarkan diri untuk
memperoleh NPWP dan/atau dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP)
3. Selain harus mendaftarkan NPWP dan/atau PKP atas nama CV, CV juga harus
menyelenggarakan pembukuan.
4. Laba yang didistribusikan kepada sekutu tidak dikenai pajak. Hal ini sebagaimana diatur
dalam Pasal 4 ayat (3) UU PPh yang menyebutkan bahwa bagian laba yang diterima atau
diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham-
saham, persekutuan, perkumpulan, firma, dan kongsi, termasuk pemegang unit penyertaan
kontrak investasi kolektif dikecualikan sebagai objek pajak
5. Gaji yang dibebankan oleh CV kepada para sekutu tidak dapat menjadi pengurang
sebagaimana diatur dalam Pasal 9 UU PPh
6. Dalam mengitung PPh nya CV menggunakan tarif tunggal 25% atau 12,5% apabila
memenuhi ketentuan Pasal 31E UU PPh.

Atas keuntungan CV dikenakan pajak penghasilan badan dengan tarif pasal 17 undang-
undang Pajak Penghasilan (sama dengan PT). Pembagian keuntungan kepada pemegang
saham (pesero) tidak bisa dibebankan sebagai biaya CV, tidak dipotong PPh pasal 23 dan bagi
yang menerima bukan sebagai obyek pajak. Dengan kata lain, Pajak penghasilan hanya
dikenakan pada Perusahaan (Badan) saja dan tidak ada double taxation.

Contoh
CV Aurora bergerak dalam usaha perdagangan besar, laba rugi tahun 2015 menunjukkan
informasi sebagai berikut:
Peredaran usaha Rp60.000.000.000,-
Harga Pokok Penjualan Rp58.800.000.000,-
Laba Bruto Rp1.200.000.000,-
Biaya Operasi (tidak termasuk gaji para sekutu) Rp500.000.000,-
Laba Usaha Sebelum Pajak Rp700.000.000,-

Penghitungan besarnya PPh terutang adalah sebagai berikut:


Laba Usaha Sebelum Pajak Rp700.000.000,-
PPh Terutang Tarif x 25% Rp175.000.000,-
Laba Bersih Setelah Pajak Rp525.000.000
Persentase PPh Terutang terhadap laba usaha 25%
Pada saat laba usaha dibagikan kepada para sekutu tidak lagi dikenai Pajak.

2.3 PERSEROAN TERBATAS ( PT)


Dalam tatanan ketentuan perundangan di Indonesia, pendirian dan pengelolaan PT diatur
dalam undang-undang Republik Indonesia No. 1 tahun 1995 yang telah mengalami perubahan
menjadi UU No 40/2007 tentang Perseroan Terbatas. Untuk mendirikan sebuah perusahaan
berbentuk PT, berdasarkan akte notaris yang didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri dan
diumumkan dalam Tambahan Berita Negara RI, diperlukan adanya pengesahan dari Kementrian
Hukum dan HAM.PT merupakan badan hukum yang merupakan persekutuan modal yang
didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar dan seluruhnya
terbagi atas saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh UU serta peraturan
pelaksanaannya (Pohan, 2015:54).
Berbeda dari usaha berbentuk CV atau Firma, Perseroan Terbatas (PT) adalah bentuk
usaha yang modalnya terdiri atas saham-saham. Kepada pemilik biasanya diberikan sertifikat
atau tanda kepemilikan atas sahamnya di perusahaan. Saham yang dimiliki tersebut dikenal
sebagai surat berharga (marketable securities) yang dapat diperjualbelikan kepada pihak lain.
Keuntungan yang diperoleh pemegang saham adalah hanya dari pembagian keuntungan atau
dividen saja, meskipun dalam beberapa kasus –dan sebenarnya tidak dibenarkan secara aturan–
, ada beberapa pemegang saham yang merangkap juga sebagai pengurus yang ikut aktif
menjalankan roda usaha sehingga kepadanya juga diberikan penghasilan lain berupa gaji.

Kelebihan dan kelemahan PT sebagaimana diuraikan oleh Santoso dan Rahayu (2013:100-
101) adalah sebagai berikut :
Kelebihan
1. kewajiban dan tanggung jawab terbatas
2. masa hidup abadi
3. efisiensi manajemen karena adanya pemisahan antara pemilik dan pengurus
4. modal dapat diperoleh dengan menjual saham

Kekurangan
1. kerumitan perizinan dan organisasi
2. besarnya biaya pengorganisasian perusahaan
3. bidang usaha PT relative susah diubah karena harus mengubah akta pendirian dan sulit
mengubah investasi yang telah ditanamkan
4. hubungan antarperorangan lebih formal dan terkesan kaku

Perpajakan memandang bahwa antara pemegang saham dengan PT adalah dua Wajib
Pajak yang berbeda dan terpisah. Sehingga jika ada pengalihan kekayaan atau harta baik berupa
sumber daya atau resources dari perusahaan kepada pemilik dianggap telah terjadi arus
mengalirnya penghasilan. Dengan demikian dividen yang diterima oleh pemegang saham
dianggap sebagai penghasilan yang akan dikenai pajak. Sebaliknya karena dividen itu dihitung
dari laba setelah pajak, maka di sisi perusahaan dividen tersebut tidak berpengaruh terhadap
besarnya keuntungan usaha atau laba usaha yang dikenai pajak. Bisa dikatakan bahwa atas
keuntungan atau laba usaha akan dikenai pajak di PT dan ketika keuntungan atau laba tersebut
dibagi kepada para pemegang saham akan dikenai pajak lagi di pemegang saham (perorangan).

Beberapa ketentuan perpajakan terkait PT diantaranya:


1. sama seperti CV, PT juga merupakan subjek pajak dalam negeri berbentuk badan
2. PT juga wajib menyelenggarakan pembukuan
3. PT harus mendaftarkan NPWP dan/atau pengukuhan PKP atas nama PT
4. Pengenaan pajak pada PT terjadi dua kali, yaitu pada saat diakui sebagai laba usaha oleh
PT dan pada saat laba usaha tersebut dibagikan kepada para pemegang saham dalam
bentuk dividen, dikenai PPh Final sesuai Pasal 4 ayat (3) UU PPh dan Pasal 17 ayat (2c)
sebesar 10%
5. Gaji yang dibayarkan kepada para pemegang saham dan komisaris dapat dibiayakan oleh
PT
6. Penghitungan PPh terutang mengikuti tarif Pasal 17 UU PPh atau Pasal 31E UU PPh.

Pembagian dividen kepada pemegang saham (pesero) tidak bisa dibebankan sebagai
biaya perusahaan, dikenakan pemotongan PPh pasal 23 sebesar 15% dan sebagai kredit pajak
bagi pihak yang dipotong (tidak final). Dengan demikian terdapat double taxation.
Contoh
PT Angkasa bergerak sebagai distributor mainan anak yang terbuat dari bahan yang aman dan
berkualitas. Laba/rugi PT Angkasa tahun 2015 menunjukkan informasi sebagai berikut:
Peredaran usaha Rp60.000.000.000,-
Harga Pokok Penjualan Rp58.800.000.000,-
Laba Bruto Rp1.200.000.000,-
Biaya Operasi Rp500.000.000,-
Laba Usaha Sebelum Pajak Rp700.000.000,-

Penghitungan PPh terutang PT Angkasa adalah:


Laba Usaha Sebelum Pajak Rp700.000.000,-
PPh Terutang (PPh Badan) Tarif x 25% Rp175.000.000,-
Laba Bersih Setelah Pajak Rp525.000.000,-

Pada saat laba usaha dibagikan kepada para pemegang saham, dikenai PPh atas dividen
sebesar 10%, yaitu:
Laba usaha yang akan dibagikan sebagai dividen Rp525.000.000,-
PPh atas dividen (Pasal 17 ayat(2c) UU PPh Rp52.500.000,-

Sehingga total pajak terutang oleh PT dan persentasenya terhadap peredaran usaha dapat
dihitung sebagai berikut:
Jumlah PPh terutang Rp227.500.000,-
Persentase PPh Terutang terhadap laba usaha 32,5%

2.4 PEMILIHAN BADAN USAHA


Berdasarkan contoh-contoh di atas, dapat kita bandingkan besarnya PPh terutang yang
harus ditanggung oleh masing-masing bentuk usaha sebagai berikut:
Uraian PT CV Usaha Perorangan
Peredaran Usaha Rp60.000.000.000, Rp60.000.000.000, Rp60.000.000.000,
Laba Usaha Rp700.000.000,- Rp700.000.000,- Rp700.000.000,-
PPh Terutang Rp227.500.000,- Rp175.000.000,- Rp134.750.000,-
Persentase PPh Terutang 32,5% 25% 19,3%
terhadap laba usaha

A. Pemilihan antara bentuk usaha persekutuan komanditer (Commanditaire


Vennootschap = CV) atau Perseroan Terbatas (PT)
Perseroan komanditer (CV) maupun PT adalah dua bentuk badan usaha yang berorientasi
pada profit motive yang sangat diminati oleh para pengusaha.Hal-hal yang harus
dipertimbangkan dalam memilih antara CV dengan PT yaitu:
1. Pengakuan Biaya gaji bagi pemiliknya
Bagi perusahaan yang berbentuk perseroan komanditer (CV) yang modalnya tidak terbagi
atas saham, biaya gaji yang dibayarkankepada anggota atau pemilik CV tersebut bukan
merupakan biaya. Sedangkan untuk perseroan terbatas (PT) yang modalnya tidak terbagi atas
saham maupun yang tidak terbagi atas saham, biaya gaji pemilik tersebut diakui sebagai biaya.
Dengan adanya perbedaan atas pengakuan gaji bagi pemiliknya antara CV ataupun PT
yang modalnya tidak terbagi atas saham, sehingga hal terbeut bisa dijadikan pertimbangan badan
usaha mana yang akan dipilih.
Bagi Pemilik CV ataupun PT yang ikut melaksanakan kegiatan usaha, baik sebagai direktur
maupun komisaris mendapatkan gaji atau sejenisnya, tentu memilih bentuk PT disbanding CV,
karena dengan dapat dikurangkannya pembayaran gaji atau sejenisnya kepada pemilik hal
tersebut akan membuat laba kena pajak perusahaan lebih rendah.
Gaji dari pemilik CV yang modalnya tidak terbagi atas saham diperlakukan sebagai
pembagaian keuntungan, tentu saja pengakuan penghasilannya diakui oleh pemilik CV tersebut,
sedangkan untuk PT selain harus diakui oleh orang pribadi pemilik PT, Penghasilan tersebut
pajaknya sudah dihitung pada saat pembayaran gaji.

Contoh:
Tuan A adalah pemilik CV. Maksi y bang modalnya tidak terbagi atas saham. Ia sekaligus
sebagai direkturnya dan mendapat gaji Rp. 400.000.000 untuk setahun. Bagaimana
erbandinngan PPh terutang perusahaan itu menggunakan bentuk PT. Penghasilan kena pajak
CV. Maksi adalah Rp. 500.000.000,- setelah memperhitungkan gaji Tuan A tersebut.
Besarnya PPh terutang dihitung sebagai CV dan sebagai PT adalah sebagai berikut:
Keterangan Bentuk PT Bentuk CV Selisih
Penghasilan Bersih 500.000.000 500.000.000 0
Koreksi Gaji 0 400.000.000 400.000.000
Penghasilan Kena Pajak 500.000.000 900.000.000 400.000.000
PPh terhutang 95.000.000 215.000.000 120.000.000
Dari perhitungan diatas tampak bahwa PPh terutang bentuk usaha CV lebih Besar dibandingkan
dengan bentuk usaha PT.

2. Perlakuan keuntungan
Keuntungan yang didapat oleh badan udaha, apabila dibagikan kepada pemegang saham
berupa deviden akan terutang PPh. Namun bagi wajib pajak berbentuk CV akan modalnya tidak
dibagikan atas saham maka atas deviden yang dibagikan tidak terutang PPh. Sedangkan bagi
PT yang sahamnya dimiliki oleh badan usaha termasuk koperasi yang aktif atas pembagian
devidennya tidak dipotong PPh.
Dari pertimbangan itu apabila wajib pajak mendirikan usaha dalam bentuk perseroan
terbatas CV maka lebih menguntungkan kalau modalnya tidak dijual bebas dalam bentuk saham.
Demikian pula apabila bentuk usahanya berupa Perseroan Terbatas, maka pemegang saham
cenderung berupa badan usaha yang jumlahnya tidak banyak tetapi modalnya rata-rata 25 %

Contoh:
Keseluruhan laba bersih CV. Maksi yang telah menjadi laba ditahan sebesar Rp.
500.000.000,- dibagi sebagai deviden kepada pemegang anggotanya.
Bagaimana perbandingan PPh terhutang atas deviden yang dibagikan oleh CV. Maksi
disbanding kalau CV. Maksi sebagai PT. dan yang menerima deviden adalah sama yaitu Tuan
A.

Keterangan Bentuk PT Bentuk CV Selisih


Deviden 500.000.000 500.000.000 0
PPh Terutang 75.000.000 0 75.000.000

Dari perhitungan tersebut tampak besarnya PPh terutang atas deviden jauh lebih tinggi kalau
berbentuk PT

B. PERBANDINGAN BEBAN PAJAK PENGHASILAN ANTARA PT, CV, DAN


PERSEORANGAN

Walaupun masing-masing bentuk usaha tersebut di atas mempunyai karakter yang


berbeda-beda beserta keunggulan dan kelemahannya, penulis akan mencoba memberikan
perbandingan atas beban pajak untuk masing-masing bentuk usaha. Supaya perbandingan
beban pajak ini dapat dilakukan secara obyektif, penulis mencoba memberikan asumsi-asumsi
pendapatan, pembebanan biaya dan pembagian keuntungan yang sama untuk masing-masing
bentuk usaha tersebut, seperti yang ada di tabel 1 dibawah ini:

Tabel 1: Perbandingan Beban Pajak Penghasilan untuk Penjualan Rp. 1,5 Miliar
Perorangan Dgn
Perorangan Dgn Norma
Keterangan PT CV
Pembukuan Penghitungan
*1)
Penjualan 1.500.000.000 1.500.000.000 1.500.000.000 1.500.000.000
Beban Usaha *2) 1.200.000.000 1.200.000.000 1.200.000.000 0
Laba Usaha 300.000.000 300.000.000 300.000.000 450.000.000
PTKP *3) 0 0 18.000.000 18.000.000
Penghasilan Kena Pajak 300.000.000 300.000.000 282.000.000 432.000.000
PPh Terutang 75.000.000 75.000.000 40.500.000 78.000.000
Laba Sesudah PPh 225.000.000 225.000.000 241.500.000 354.000.000
PPh 23 Atas Dividen *4) 33.750.000 – – –
Total Beban Pajak 108.750.000 75.000.000 40.500.000 78.000.000
Persentase Beban Pajak
48,33% 33,33% 16,77% 22,03%
terhadap Laba Usaha

Asumsi:
*1) Norma Penghitungan Untuk Pedagang Eceran 30% dari Peredaran Bruto
*2) Beban Usaha 80% dari Penjualan
*3) PTKP K/3 = Rp. 18.000.000
*4) Semua laba dibagikan dalam bentuk dividen, dipotong PPh Pasal 23 dengan tarif 15%

Dari Tabel 1 di atas, terlibat bahwa total Beban PPh Terutang terendah adalah usaha
perorangan dengan pembukuan sebesar Rp. 40.500.000, sedangkan total Beban PPh Terutang
terbesar adalah pada usaha perorangan dengan Norma penghitungan sebesar Rp. 78.000.000.
Hal ini terjadi karena secara umum Norma Penghitungan menetapkan margin keuntungan usaha
yang lebih besar (30%) daripada keuntungan usaha sebenarnya (20% dengan pembukuan).
Pada prakteknya, usaha perorangan/orang pribadi mengalami dilemma, jika menggunakan
Pencatatan peredaran bruto (yang mudah/sederhana) dengan Norma penghitungan, Persentase
keuntungan yang sebenarnya masih jauh lebih kecil daripada % Keuntungan yang diterapkan
dalam Norma penghitungan. Sebaliknya, jika mau melakukan pembukuan, masih sulit dan
membutuhkan biaya yang cukup besar.

Secara umum (seperti ilustrasi di Tabel 1), total beban pajak PT akan selalu lebih besar
dari CV ataupun perorangan, karena adanya tambahan PPh pasal 23 yang harus dipotong dari
dividen yang dibayarkan oleh PT, sedangkan pembagian hasil untuk CV tidak dikenakan pajak
(bukan obyek pajak). Maka motivasi sesorang untuk lebih memilih bentuk usaha PT dari pada
CV adalah factor-faktor lain selain factor pajak.

Tabel 2: Perbandingan Beban Pajak Penghasilan Dengan Penjualan Rp. 3 Miliar


Perorangan Dgn
Keterangan PT CV
Pembukuan
Penjualan 3.000.000.000 3.000.000.000 3.000.000.000
Beban Usaha *a) 1.200.000.000 1.200.000.000 1.200.000.000
Laba Usaha 1.800.000.000 1.800.000.000 1.800.000.000
PTKP *b) 0 0 18.000.000
Penghasilan Kena Pajak 1.800.000.000 1.800.000.000 1.782.000.000
PPh Terutang 450.000.000 450.000.000 479.600.000
Laba Sesudah PPh 1.350.000.000 1.350.000.000 1.302.400.000
PPh 23 Atas Dividen *c) 202.500.000 0 0
Total Beban Pajak 652.500.000 450.000.000 479.600.000
Persentase Beban Pajak
48,33% 33,33% 36,82%
terhadap Laba Usaha

Asumsi :
*a) Beban Usaha 80% dari Penjualan
*b) PTKP K/3 = Rp. 18.000.000
*c) Semua laba dibagikan dalam bentuk dividen dengan tarif 15%

Dari Tabel 2 di atas terlihat bahwa total beban pajak penghasilan terkecil adalah CV
sebesar Rp. 450.000.000, diikuti Usaha Perorangan Rp. 479.600.000 dan yang terbesar adalah
PT sebesar Rp. 652.500.000. Dengan demikian perbedaan besarnya total beban pajak yang
dibayar oleh usaha perorangan dan PT/CV tergantung pada besarnya Penghasilan kena pajak
(laba). Hal ini dapat terjadi karena adanya perbedaan tarif PPh pasal 17 untuk badan (dengan
tariff maximum 25%) dan orang pribadi (dengan tariff maximum 30%).

PPh pasal 23 yang dipotong oleh PT atas dividen yang dibagikan sebesar 15% adalah tidak
final, sehingga besarnya tariff efektif akan tergantung pada besarnya penghasilan pemegang
saham (sebagai perorangan). Contoh: jika penghasilan kena pajak pemegang saham
(perorangan) diluar dividen ini sudah mencapai Rp. 200.000.000, maka tariff efektif atas dividen
ini menjadi 35% sehingga total beban pajak atas PT menjadi lebih besar lagi.

Manajemen Pajak atas Struktur Inbound and Outbound investment

ASPEK PERPAJAKAN UNTUK CABANG


Definisi Wajib Pajak Berstatus Cabang
 Dasar Hukum
Ketentuan yang mengatur hal ini adalah pasal 2 ayat (1) UU Nomor 28 Tahun 2007 tentang
Ketentuan Umum Perpajakan (UU KUP). Dalam ayat tersebut disebutkan bahwa Setiap
Wajib Pajak yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan wajib mendaftarkan diri pada kantor
Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat
kedudukan Wajib Pajak dan kepadanya diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).
Tempat kedudukan ditafsirkan sebagai semua tempat usaha wajib pajak yang dapat
berbentuk kantor cabang, kantor perwakilan, kantor menejeman, pabrik, gerai, kios dan
lain sebagainya. Dari paparan ayat ini dapat disimpulkan bahwa “cabang” yang didirikan
di wilayah kerja kantor Ditjen pajak atau Kantor Pelayanan Pajak (KPP) yang berbeda
dengan “pusat” maka wajib bagi “cabang” untuk mendaftarkan sebagai wajib pajak di
Kantor Pelayanan Pajak (KPP) sesuai dengan wilayah tempat “cabang” didirikan.
 Apabila cabang tidak mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP Cabang
Dalam Pasal 2 ayat (4) UU KUP ditegaskan bahwa terhadap wajib pajak atau pengusaha
kena pajak yang tidak memenuhi kewajiban untuk mendaftarkan diri dan/atau melaporkan
usahanya dapat diterbitkan NPWP dan/atau pengukuhan PKP secara jabatan. Hal ini dapat
dilakukan apabila berdasarkan data yang diperoleh atau dimiliki oleh Ditjen Pajak ternyata
orang pribadi atau badan atau Pengusaha tersebut telah memenuhi syarat subjektif dan
objektif untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau dikukuhkan sebagai
Pengusaha Kena Pajak.
 NPWP Pusat dan NPWP Cabang
Ketika orang pribadi atau badan baru mulai menjalankan usaha, mereka mendaftarkan diri
untuk memperoleh NPWP ke KPP dimana tempat tinggal/kedudukan wajib pajak/tempat
usaha tersebut berada. NPWP ini sering disebut sebagai NPWP pusat. Ciri utama NPWP
pusat adalah 3 digit terakhirnya 000. Bila kemudian hari usaha tersebut berekspansi dengan
membuka cabang baru, maka cabang tersebut harus ber-NPWP juga. NPWP inilah yang
disebut NPWP Cabang. NPWP Cabang terdiri dari 9 digit awal NPWP sama dengan NPWP
Pusat, 3 digit kode KPP tempat cabang tersebut berada, dan 3 digit terakhir merupakan
kode cabang.
 Bagi perusahaan yang sudah memiliki cabang atau anak perusahaan, kegiatan yang
dilakukan oleh cabang umumnya akan berdiri sendiri meskipun masih terkait dengan
operasional kantor pusat. Semisal, cabang akan mempunyai customer sendiri sehingga bisa
menjalankan transaksi jual beli, cabang akan mempunyai karyawan sendiri, ataupun
transaksi-transaksi cabang lainnya yang didalamnya terdapat aspek perpajakan. Berikut
ringkasan terkait kewajiban perpajakan bagi perusahaan/ WP Badan berstatus cabang :
a. PPh pasal 21. Dalam hal ini, Cabang wajib memotong, membayarkan, dan melaporkan
PPh Pasal 21 atas penghasilan karyawan yang telah melebihi batas Penghasilan Tidak
Kena Pajak (PTKP)
b. PPh pasal 22. Dalam hal Cabang ditunjuk sebagai Pemungut PPh Pasal 22, maka wajib
memungut, membayarkan, dan melaporkan PPh Pasal 22.
c. PPh pasal 23. Dalam hal ini Cabang wajib memotong, membayarkan, dan melaporkan
PPh Pasal 23 apabila terdapat transaksi yang terutang PPh Pasal 23 di lokasi usaha
perusahaan cabang.
d. Dalam kasus perusahaan dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP) serta tidak
melakukan sentralisasi PPN, maka Cabang wajib memungut, membayarkan, dan
melaporkan Pajak Pertambahan Nilai atas transaksi penyerahan barang yang terjadi di
wilayah kerja perusahaan cabang.
e. PPh pasal 4 (2). Dalam hal terdapat transaksi di cabang yang terkait dengan pajak PPh
pasal 4 ayat 2, maka cabang wajib memotong, membayarkan, dan melaporkan PPh
Pasal 4 ayat (2).
Pada dasarnya, terkait kewajiban SPT Tahunan PPh Badan, WP Badan berstatus cabang
hanya berkewajiban memberikan data laporan keuangan kepada WP Badan berstatus pusat
untuk dapat dilakukan konsolidasi laporan keuangan perusahaan serta diperoleh peredaran
usaha secara keseluruhan. Kemudian kewajiban untuk menghitung, membayarkan, dan
melaporkan SPT Tahunan PPh Badan dilakukan oleh WP Badan pusat dengan NPWP
pusat.
ASPEK PERPAJAKAN UNTUK ANAK PERUSAHAAN
Pajak Anak Perusahaan Selama Spin-off
Selama spin-off perusahaan, anak perusahaan juga dapat menghindari pajak anak
perusahaan selama bertransaksi. Karena pemegang saham anak perusahaan menerima saham
secara rata dari perusahaan induk sebagai pengganti uang tunai untuk penjualan perusahaan, maka
pajak penghasilan biasa dan pajak capital gain tidak berlaku. Sebagai gantinya, pemilik perusahaan
induk menjadi pemilik anak perusahaan melalui pengalihan saham sebagai alternatif yang lebih
hemat biaya dibandingkan menerima kompensasi untuk perusahaan baru melalui dividen saham.
IRC Section 355 mensyaratkan bahwa perusahaan induk dan anak perusahaan harus memenuhi
persyaratan untuk mempertahankan manfaat bebas pajak dari spin-off. Sebuah spin-off merupakan
peristiwa yang tidak kena pajak ketika perusahaan induk mempertahankan kendali sekurang-
kurangnya 80% saham pemungutan suara entitas yang baru dibentuk dan kelas saham tanpa saham.
Sebuah spin-off perusahaan tidak boleh digunakan semata-mata sebagai mekanisme untuk
mendistribusikan laba atau laba induk perusahaan/anak perusahaan, dan perusahaan induk
mungkin tidak mengendalikan anak perusahaan dengan cara yang sama dalam 5 tahun operasi
terakhir. Jika perusahaan induk atau anak perusahaan tidak memenuhi persyaratan yang ditetapkan
dalam IRC Section 355, tindakan spin-off dianggap dikenakan pajak yaitu pajak perusahaan induk
dan pajak anak perusahaan dengan tarif pajak perusahaan yang berlaku.
Struktur anak perusahaan meski mengharuskan melakukan tax reporting sebanyak anak
perusahaan sehingga cenderung memerlukan biaya tax compliance yang cukup tinggi (costly)
tetapi memiliki beberapa keutamaan, seperti :
a. Melokalisir problematika perpajakan hanya pada satu perusahaan anak saja sehingga
dampaknya tidak meluas kepada induk;
b. Memungkinkan penerapan insentif pengurangan (discount) tarif PPh Badan sesuai
ketentuan Pasal 31E UU PPh sepanjang memenuhi persyaratan;
c. Memungkinkan diberlakukannya insentif pajak berbentuk inter-corporate dividend tax free
sepanjang memenuhi persyaratan untuk induk dari anak perusahaanya yang didirikan di
Indonesia.
ALTERNATIF STRUKTUR MODAL
Dalam memenuhi kebutuhan dana, setiap perusahaan bisa menggunakan sumber modal
sendiri yang berasal dari modal saham, laba ditahan, dan cadangan. Jika dalam pendanaan
perusahaan yang berasal dari modal sendiri masih mengalami kekurangan atau mengalami defisit,
maka perlu dipertimbangkan pendanaan perusahaan yang berasal dari luar seperti utang atau debt-
financing. Namun dalam pemenuhan kebutuhan dana, perusahaan harus mencari alternatif
pendanaan yang efisien. Pasalnya, pendanaan yang efisien akan terjadi bila perusahaan
mempunyai struktur modal yang optimal. Dalam sebuah teori, struktur modal diasumsikan bahwa
perubahaan struktur modal berasal dari penerbitan obligasi dan pembelian kembali saham biasa
atau penerbitan saham baru. Menurut Martono dan D. Agus Harjito struktur modal dibagi menjadi
beberapa pendekatan sepertu pendekatan laba operasi bersih, pendekatan tradisional, pendekatan
Modigliani dan Miller.

A. Pendekatan Laba Operasi Bersih


Pendekatan laba operasi bersih dikemukakan oleh David Durand pada tahun 1952. Pendekatan
ini menggunakan asumsi bahwa investor memiliki reaksi yang berbeda terhadap penggunaan
utang perusahaan. Pendekatan ini melihat bahwa biaya modal rata-rata berimbang dan bersifat
konstan berapapun tingkat utang yang digunakan oleh perusahaan. Artinya apabila perusahaan
menggunakan utang yang lebih besar, maka pemilik saham akan memperoleh laba yang
semakin kecil. Oleh karena itu tingkat keuntungan yang disyaratkan oleh pemilik modal
sendiri akan meningkat sebagai risiko perusahaan. Akibatnya biaya modal rata-rata terimbang
akan berubah.
B. Pendekatan Tradisional
Pada pendekatan tradisional diasumsikan terjadi perubahan struktur modal yang optimal dan
peningkatan nilai total perusahaan melalui penggunaan financial leverage (utang dibagi modal
sendiri). Dengan menggunakan pendekatan tradisional, bisa diperoleh struktur modal yang
optimal yaitu struktur modal yang memberikan biaya modal keseluruhan yang terendah dan
memberikan harga saham yang tertinggi. Hal ini disebabkan karena berubahnya tingkat
kapitalisasi perusahaan.
C. Pendekatan Modligiani dan Miller (MM)
Berdasarkan teori ini, struktur modal tidak berpengaruh terhadap perusahaan. Ada dua jenis
struktur modal dalam teori ini, yaitu teori MM tanpa pajak dan teori MM dengan pajak. Teori
MM tanpa pajak berpendapat bahwa struktur modal tidak relevan terhadap nilai perusahaan.
Ada beberapa asumsi yang mendukung pernyataan tersebut, yaitu tidak ada agency cost, tidak
ada pajak, investor dapat berutang dengan suku bunga yang sama dengan perusahaan, dan
investor mendapatkan informasi seperti manajemen terkait masa depan perusahaan. Menurut
teori ini pula, tidak ada biaya kebangkrutan dalam struktur modal, aset dapat dijual dengan
market value jika terjadi kebangkrutan, Earning Before Interest and Taxes (EBIT) tidak
dipengaruhi utang, dan investor adalah price-takers.
Jenis kedua adalah teori MM dengan pajak. Karena teori tanpa pajak dianggap tidak masuk
akal, Franco Modigliani dan Merton Howard Miller, pencipta teori MM, memasukkan faktur
pajak. Pajak yang dibayar kepada pemerintah adalah aliran kas keluar. Nah, utang dapat
menghemat pajak karena bunga dapat digunakan menjadi pengurang pajak.

ISU LAIN ATAS STRUKTUR INBOUND AND OUTBOUND INVESTMENT

Ketentuan Pajak Internasional suatu negara menurut Gunadi (2007) meliputi 2 dimensi:
1. Pemajakan terhadap wajib pajak dalam negeri (WPDN) atas penghasilan dari luar negeri
(outward, outbound transactions).
2. Pemajakan terhadap wajib pajak luar negeri (WPLN) atas penghasilan dari dalam
negeri/domestik. (inward, inbound transactions)
Kedua dimensi di atas selanjutnya dijelaskan Gunadi, bahwa Dimensi pertama merujuk
pada pemajakan atas penghasilan luar negeri atau transaksi (ke) luar batas negara (outward,
outbound transaction) karena umumnya melibatkan eksportasi modal ke manca negara sedangkan
dimensi kedua merujuk pada pemajakan atas penghasilan domestik atau transaksi (ke) dalam batas
negara (inward, inbound transaction) karena umumnya melibatkan importasi modal dari manca
negara. Dalam aplikasinya, pemajakan penghasilan luar negeri dilakukan oleh negara domisili
(residence country), sedangkan pemajakan penghasilan domestik dilakukan oleh negara sumber
(source country).
Setiap kebijakan tentu mempunyai tujuan tertentu yang ingin dicapai, begitu juga dengan
kebijakan perpajakan internasional sudah tentu mempunyai tujuan yang ingin dicapai. Tujuan yang
dimaksud yaitu memajukan perdagangan antar negara, dan mendorong laju investasi di masing-
masing negara. Sementara pemajakan atas suatu penghasilan secara bersamaan oleh negara
domisili dan sumber seperti yang diungkapkan Gunadi di atas menimbulkan pajak ganda
internasional (international double taxation). Kondisi ini dipandang oleh para investor dan
pengusaha pajak kurang memperlancar/menghambat mobilitas arus investasi, perdagangan, dan
bisnis. Untuk mengatasi dan memberikan solusi atas masalah yang dihadapai oleh para investor
dan pengusaha maka pemerintah melakukan upaya dan berusaha untuk meminimalkan atau
meringankan pajak berganda yang menghambat perdagangan dan investasi tersebut. Upaya
dimaksud berhasil dituangkan dalam bentuk aturan yaitu selain diatur dalam ketentuan pajak
domestik, keringanan pajak ganda juga pada umumnya diatur dalam P3B.

Sementara itu, Gunadi menjelaskan bahwa ketentuan pajak internasional suatu negara pada
umumnya disusun untuk mencapai sekurang-kurangnya 4 (empat) tujuan:
1. memperoleh bagian penerimaan dari transaksi lintas perbatasan secara adil,
2. meningkatkan keadilan (fairness) dalam perpajakan,
3. memperkuat daya saing ekonomi domestik, dan
4. netralitas ekspor modal (capital-export neutrality) dan netralitas impor modal (capital-import
neutrality).
Pengumpulan penerimaan negara merupakan tujuan utama semua sistem perpajakan di
setiap negara, termasuk penerimaan pajak dari penghasilan transaksi lintas perbatasan. Agar terjadi
pembagian penerimaan yang adil antar negara (inter-nation equity), suatu negara harus
mengamankan basis pajak domestik dengan menyusun ketentuan pajak yang handal, dan
menghindari penutupan P3B yang menggerus atau secara kurang proporsional menghilangkan atau
membatasi hak pemajakan atas penghasilan sumber domestik.
Keadilan dalam sistem perpajakan dapat dicapai dengan membebankan pajak dalam
jumlah yang sama terhadap para wajib pajak dengan jumlah penghasilan yang sama, membuat
sedemikian rupa sehingga beban tersebut sepadan (commensurate) dengan kemampuan bayarnya.
Demikian juga terhadap suatu grup perusahaan yang saling terkait, prinsip keadilan menghendaki
pembebanan pajak sejumlah yang sama seandainya suatu perusahaan tunggal melakukan aktivitas
sebanding.
Selanjutnya, terhadap WPDN yang menjalankan usaha atau kegiatan di manca negara,
keadilan perpajakan menghendaki agar penghasilan domestik dan luar negeri, baik diperoleh
langsung maupun tidak langsung harus dikenakan pajak. Kontribusi pengembangan standar dan
ketentuan pajak yang proporsional pengenaan pajak sesuai dengan standar dimaksud, dan
kerjasama pengenaan dan penagihan pajak terhadap WPDN dengan negara asing dapat
meningkatkan keadilan perpajakan internasional. Setiap negara bertujuan untuk meningkatkan
kemakmuran dan kesejahteraan rakyatnya.
Dalam persaingan ekonomi global, negara tersebut harus menghindari ketentuan pajak
yang dapat memperlemah daya saing ekonomi negerinya. Untuk itu, investasi, perdagangan dan
kegiatan ekonomi baik yang berasal dari domestik maupun manca negara yang dapat menciptakan
kerja dan kemakmuran bangsa harus dipertahankan jangan sampai terusir karena masalah
ketentuan perpajakan.
Akhirya agar tercapai netralitas ekspor modal, ketentuan perpajakaan internasional harus
di disain tanpa mendorong atau menghambat arus keluar modal, walaupun dalam praktik ini
dianggap sebagai tujuan sekunder karena dapat menggerus kesempatan kerja dan kemakmuran
domestik. Sementara itu, agar tercapai netralitas impor modal, suatu negara (pengekspor modal)
tidak sepantasnya mendisain ketentuan pajak internasional yang menyebabkan perusahaan
multinasionalnya menanggung beban pajak yang lebih besar di pasar luar negeri (negara
pengimpor modal) dibanding dengan beban pajak perusahaan multinasional negara lain.
Lanjut Gunadi, perlu disadari bahwa dari keempat tujuan tersebut di atas, suatu negara
belum tentu dapat mencapai semuanya karena terdapat kurang kesesuaian bahkan saling
bertentangan antar tujuan tersebut. Misalnya, antara tujuan perolehan bagian penerimaan dari
penghasilan perusahaan multinational yang mempunyai kegiatan di luar negeri dengan tujuan
netralitas impor modal. Berbeda dengan tujuan pertama yang menghendaki pengenaan pajak atas
penghasilan luar negeri, netralitas impor modal menghendaki pembebasan pajak (tax exempt) atas
penghasilan manca negara. Untuk itu, skala prioritas, preferensi, dan relevansi tujuan sesuai
dengan situasi dan kondisi yang sedang atau akan dihadapi perlu dipertimbangkan.
Tujuan umum pajak internasional adalah untuk mengeliminasi gejala pajak ganda, hal ini
dapat dilakukan dengan 3 cara:
1. Dengan cara unilateral, mana kala negara yang bersangkuatan memasukkan dalam perundang-
undangan pajaknya ketentuan untuk menghindari pajak berganda seperti:
a. Exemption yang didasarkan pada pure territorial principle atau restricted terrirorial principle
b. Tax credit yang dapat dibedakan menjadi direct tax credit, indirect tax credit, dan fictious tax
credit/tax sparing
2. Dengan cara bilateral, dilakukan dengan melakukan perjanjian pajak antar negara yang dikenal
dengan isilah tax treaty atau perjanjian penghindaran pajak berganda (P3B). Untuk negara
Indonesia telah memiliki Tax Treaty dengan 57 negara.
3. Perjanjian multilateral, misalnya General Agreement Tariffs and Trade (GATT) yang sekarang
lebih dikenal dengan sebutan WTO. Regulasi-regulasi yang dihasilkan oleh WTO bertujuan untuk
semakin membebaskan aktivitas perdagangan dan mereduksi segala bentuk tekanan dari
pemerintah terhadap kegiatan perdagangan internasional. WTO di sini memposisikan untuk
bertindak netral dalam mengelola persetujuan perdagangan, bertindak sebagai forum dalam
negosiasi perdagangan, membantu menyelesaikan perselisihan perdagangan, meninjau kebijakan
perdagangan nasional, menyediakan bantuan untuk negara berkembang dalam isu kebijakan
perdagangan melalui bantuan teknis dan program pelatihan, serta bekerjasama dengan organisasi
internasional lainnya
Pada Tanggal 1 Januari tahun 1995 sesuai dengan hasil kesepakatan dari Putaran Uruguay,
di Jenewa Swiss, WTO resmi berdiri dengan beranggotakan 146 negara termasuk Indonesia.
Berdasarkan hasil kesepakatan Putaran Uruguay, terdapat beberapa hal yang bersifat new issues,
antara lain; trade in services, intellectual property rights, dan trade-related investment measures
(TRIMs). Beberapa hal yang menjadi perhatian Indonesia sebagai konsekuensi logis dari
keikutsertaannya dalam WTO antara lain; masalah tarif, akses pasar, komoditas tekstil, produk
pertanian, regulasi dan penyelesaian sengketa, hak atas kekayaan intelektual, bidang jasa dan
investasi. Mengenai fungsi atau tujuan WTO dapat dilihat dalam Article III WTO yaitu:
a. mendukung pelaksanaan, pengaturan, dan penyelenggaraan persetujuan yang telah dicapai untuk
mewujudkan sasaran perjanjian tersebut,
b. sebagai forum perundingan bagi negara-negara anggota mengenai perjanjian-perjanjian yang
telah dicapai beserta lampiran-lampirannya, termasuk keputusan-keputusan yang ditentukan
kemudian dalam Perundingan Tingkat Menteri,
c. mengatur pelaksanaan ketentuan mengenai penyelesaian sengketa perdagangan;
d. mengatur mekanisme peninjauan kebijakan di bidang perdagangan, dan
e. menciptakan kerangka penentuan kebijakan ekonomi global bekerja sama dengan Dana Moneter
Internasional (IMF) dan Bank Dunia (World Bank), serta badan-badan yang berafiliasi.
Gunadi (2007) menyampaikan bahwa pada umumnya, suatu negara tidak akan
memaksakan diri untuk mengenakan pajak atas penghasilan yang tidak mempunyai pertalian (tax
connection) apa pun dengan negara tersebut. Sehubungan dengan perpajakan internasional,
kebanyakan negara menganut prinsip teritorial. Penghasilan yang bersumber di suatu negara
(selalu) dikenakan pajak tanpa memperhatikan tempat kedudukan (residensi) pemilik (penerima)
penghasilan apakah yang bersangkutan WPDN atau WPLN. Sementara itu, penghasilan yang
bersumber di negara lain (di luar wilayah teritorial) dikecualikan dari pemajakan. Perlakuan
teritorial membenarkan aplikasi yurisdiksi pemajakan teritorial (sumber pemajakan) karena Wajib
Pajak diharapkan ikut berpartisipasi dalam pembiayaan negara yang telah memungkinkan
terjadinya produksi atau perolehan penghasilan, pemeliharaannya, dan pemanfaatannya apakah
dikonsumsi atau diinvestasikan (ditabung).
Indonesia merupakan salah satu dari beberapa negara yang tidak secara terbatas hanya
mengaplikasikan prinsip pemajakan teritorial. Berlandaskan pertalian personal (subjektif),
Indonesia juga akan mengenakan pajak atas penghasilan luar negeri yang diperoleh Orang Pribadi
yang bertempat tinggal atau Badan yang bertempat kedudukan di Indonesia (WPDN). Pemajakan
berdasarkan pertalian personal dapat dibenarkan berdasarkan manfaat yang tersedia bagi orang
yang berada di luar negeri. Mereka bebas untuk datang dan pergi setiap saat, mendapat
perlindungan dan hak politik (pemilihan umum) dari pemerintah.
Norma dalam sistem perpajakan internasional yang diterima dan diikuti secara global untuk
hal berikut.
1. Menyerahkan hak pemajakan utama (primary taxing rights) kepada negara sumber penghasilan
yang memiliki pertalian teritorial (sumber),
2. Mempertahankan wewenang pemajakan residual (residual tax claim) kepada negara domisili
dengan pertalian personal.

Anda mungkin juga menyukai