Secara umum manajemen pajak didefinisikan sebagai suatu usaha menyeluruh yang
dilakukan menerus oleh wajib pajak agar semua hal yang berkaitan dengan urusan perpajakan
dapat dikelola dengan baik, ekonomis, efektif dan efisien, sehingga dapat memberikan kontribusi
maksimum bagi kelangsungan usaha wajib pajak tanpa mengorbankan kepentingan penerimaan
Negara.
Adapun tujuan akhir yang ingin dicapai dari manajemen pajak adalah optimalisasi dan/atau
meminimalkan beban pajak yang dapat dicapai tidak hanya dengan melakukan suatu perencanaan
yang matang, melainkan juga harus melewati tahap pengorganisasian (organizing), pelaksanaan
(actuating), dan pengawasan (controlling) yang baik dan terkendali.
Jadi pada dasarnya Manajemen Pajak memiliki beberapa fungsi, yaitu:
1. Fungsi Perencanaan pajak (Fungsi Planning)
2. Fungsi Pengorganisasian pajak (Fungsi Organizing)
3. Fungsi Pelaksanaan pajak (Fungsi Actuating)
4. Fungsi Pengawasan pajak (Fungsi Controlling)
Tujuan utama dari dilakukannya manajemen pajak adalah untuk melaksanakan kewajiban
perpajakan dengan benar dan meminimalisasi beban pajak untuk maksimalisasi Net Profit After
Tax. Manajemen pajak tidak dimaksudkan untuk mengelak dari kewajiban perpajakan melalui
cara-cara yang melanggar aturan perpajakan, salah satunya karena banyak ketentuan perpajakan
yang multitafsir.
Gunadi, mengutip Simon James dan Christoper Nobes menyebutkan bahwa motivasi
dilakukannya tax management, diantaranya adalah: (i) tingginya tariff pajak; (ii)
kekuranggamblangan ketentuan, baik rumusan eksplisit ketentuan maupun semangat, maksud dan
tujuan implisitnya; (iii) terlalu kecilnya sanksi; (iv) kekurangwajaran atau kekurangmerataan; dan
(v) distorsi dalam system perpajakan.
Motivasi lain dilakukannya manajemen pajak, menurut Simon James dan Christoper
Nobes, adalah kekurangwajaran dan ketidakmerataan. Faktor ini biasanya dikaitkan dengan
prinsip manfaat/benefit dari pembayaran pajak dalam kaitannya dengan azas keadilan dan
kemerataan. Konsepsi dari prinsip manfaat/benefit yang diterima dati pelayanan public oleh
pemerintah. Sehingga mereka yang mendapatkan manfaat/benefit lebih besar seharusnya
membayar pajak lebih besar. Konsekuensinya, apabila mereka merasa bahwa kualitas pelayanan
dan public goods yang disediakan pemerintah kurang memadai atau tidak setimpal dengan pajak
yang mereka bayarkan, wajib pajak kemudian cenderung untuk melakukan tindak manajemen
pajak.
Tax Management yang baik harus memenuhi 3 persyaratan utama yaitu: (i) tidak
melanggar/bertentangan dengan ketentuan/peraturan yang berlaku; (ii) secara bisnis masuk akal
(reasonable), karena tax management merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari corporate
global strategy; dan (iii) didukung oleh bukti-bukti yang memadai, baik segi pencatatan akuntansi-
keuangannya, maupun segi hokum perjanjian/perikatannya.
Suatu perusahaan melakukan penjualan dengan orientasi ekspor. Sedangkan bahan baku
banyak dibeli di dalam negeri. Dengan demikian maka PPN masukan yang diperoleh lebih besar
daripada PPN keluaran, akibatnya harus dilakukan restitusi, mungkin tiap tahun atau tiap bulan
harus dilakukan proses tersebut. Divisi perpajakan harus melakukan suatu proses tax management
berupa memanage restitusi pajak yang berjalan. Misalnya: memantain suatu rekonsiliasi pajak
antara Penjualan menurut PPh badan dan menurut SPM PPN, merapikan faktur pajak masukan,
serta bank account ataupun voucher pembayaran yang diperlukan. Kita bisa bayangkan jika hal ini
tidak termanage dengan baik, restitusi akan membawa denda dan hutang pajak yang materiil
tentunya.
Perencanaan Pajak (Tax Planning) merupakan langkah awal yang menjadi bagian kritikal
dari keseluruhan manajemen pajak yang lebih besar. Perencanna yang baik juga mensyaratkan
adanya pengendalian terhadap pemenuhan semua kewajiban perpajakan (tax compliance/tax
administration) agar risiko perpajakan karena adanya kesalahan pengurusan (mis-organzing) dapat
dihindari, sehingga penghematan pajak (tax saving) dapat tercapai.
Perencanaan Pajak (Tax Planning) merupakan tahap awal untuk melakukan analisis secara
sistematis berbagai alternative perlakuan perpajakan dengan tujuan untuk mencapai pemenuhan
kewajiban perpajakan yang optimum. Setelah Tax Planning dilakukan, maka tahapan berikutnya
adalah melaksanakan fungsi pengorganisasian, pelaksanaan dan pengendalian perpajakan.
Secara konseptual perencanaan pajak meliputi baik pengurangan pajak secara permanen
maupun kemungkinan penangguhannya. Penghematan pajak dapat diperoleh dari perencanaan
pajak dengan melibatkan beberapa konsep seperti pemanfaatan pengecualian pajak, pengurangan
tariff pajak menyeluruh, maksimalisasi pengurangan penghasilan, percepatan pengeluaran,
penundaan objek pajak, strukturisasi transaksi kena pajak menjadi tidak kena pajak, dan
sebagainya.
Pasal 38
Pasal 39
Pasal 41
(1) Pejabat yang karena kealpaanya tidak memenuhi kewajiban merahasiakan hal sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 34 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda
paling banyak Rp25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah).
(2) Pejabat yang dengan sengaja tidak memenuhi kewajibannya atau seseorang yang menyebabkan
tidak dipenuhinya kewajiban pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 dipidana dengan
pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh
juta rupiah).
(3) Penuntutan terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) hanya
dilakukan atas pengaduan orang yang kerahasiaannya dilanggar.
Pasal 41A
Setiap orang yang wajib memberikan keterangan atau bukti yang diminta sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 35 tetapi dengan sengaja tidak memberi keterangan atau bukti, atau memberi
keterangan atau bukti yang tidak benar dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu)
tahun dan denda paling banyak Rp25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah).
Pasal 41B
Setiap orang yang dengan sengaja menghalangi atau mempersulit penyidikan tindak pidana di
bidang perpajakan dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling
banyak Rp75.000.000,00 (tujuh puluh lima juta rupiah).
Pasal 43
(1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 dan Pasal 39A, berlaku juga bagi wakil,
kuasa, pegawai dari Wajib Pajak, atau pihak lain yang menyuruh melakukan, yang turut serta
melakukan, yang menganjurkan, atau yang membantu melakukan tindak pidana di bidang
perpajakan.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41A dan Pasal 41B berlaku juga bagi yang
menyuruh melakukan, yang menganjurkan, atau yang membantu melakukan tindak pidana di
bidang perpajakan
(3d) Besarnya penghasilan yang diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri dari pemberi
kerja yang memiliki hubungan istimewa dengan perusahaan lain yang tidak didirikan dan
tidak bertempat kedudukan di Indonesia dapat ditentukan kembali, dalam hal pemberi kerja
mengalihkan seluruh atau sebagian penghasilan Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri
tersebut ke dalam bentuk biaya atau pengeluaran lainnya yang dibayarkan kepada
perusahaan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia tersebut.
(3e) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3b), ayat (3c), dan ayat (3d) diatur
lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
(4) Hubungan istimewa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sampai dengan ayat (3d), Pasal 9
ayat (1) huruf f, dan Pasal 10 ayat (1) dianggap ada apabila:
a. Wajib Pajak mempunyai penyertaan modal langsung atau tidak langsung paling rendah
25% (dua puluh lima persen) pada Wajib Pajak lain; hubungan antara Wajib Pajak dengan
penyertaan paling rendah 25% (dua puluh lima persen) pada dua Wajib Pajak atau lebih;
atau hubungan di antara dua Wajib Pajak atau lebih yang disebut terakhir;
b. Wajib Pajak menguasai Wajib Pajak lainnya atau dua atau lebih Wajib Pajak berada di
bawah penguasaan yang sama baik langsung maupun tidak langsung; atau
c. terdapat hubungan keluarga baik sedarah maupun semenda dalam garis keturunan lurus
dan/atau ke samping satu derajat.
Penjelasan Pasal 18
Ayat (1)
Undang-Undang ini memberi wewenang kepada Menteri Keuangan untuk memberi keputusan
tentang besarnya perbandingan antara utang dan modal perusahaan yang dapat dibenarkan untuk
keperluan penghitungan pajak. Dalam dunia usaha terdapat tingkat perbandingan tertentu yang
wajar mengenai besarnya perbandingan antara utang dan modal (debt to equity ratio). Apabila
perbandingan antara utang dan modal sangat besar melebihi batas-batas kewajaran, pada umumnya
perusahaan tersebut dalam keadaan tidak sehat. Dalam hal demikian, untuk penghitungan
Penghasilan Kena Pajak, Undang-Undang ini menentukan adanya modal terselubung. Istilah
modal di sini menunjuk kepada istilah atau pengertian ekuitas menurut standar akuntansi,
sedangkan yang dimaksud dengan “kewajaran atau kelaziman usaha” adalah adat kebiasaan atau
praktik menjalankan usaha atau melakukan kegiatan yang sehat dalam dunia usaha.
Ayat (2)
Dengan makin berkembangnya ekonomi dan perdagangan internasional sejalan dengan era
globalisasi dapat terjadi bahwa Wajib Pajak dalam negeri menanamkan modalnya di luar negeri.
Untuk mengurangi kemungkinan penghindaran pajak, terhadap penanaman modal di luar negeri
selain pada badan usaha yang menjual sahamnya di bursa efek, Menteri Keuangan berwenang
untuk menentukan saat diperolehnya dividen. Contoh: PT A dan PT B masing-masing memiliki
saham sebesar 40% dan 20% pada X Ltd. yang bertempat kedudukan di negara Q. Saham X Ltd.
tersebut tidak diperdagangkan di bursa efek. Dalam tahun 2009 X Ltd. memperoleh laba setelah
Pajak sejumlah Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Dalam hal demikian, Menteri Keuangan
berwenang menetapkan saat diperolehnya dividen dan dasar penghitungannya.
Ayat (3)
Maksud diadakannya ketentuan ini adalah untuk mencegah terjadinya penghindaran pajak yang
dapat terjadi karena adanya hubungan istimewa. Apabila terdapat hubungan istimewa,
kemungkinan dapat terjadi penghasilan dilaporkan kurang dari semestinya ataupun pembebanan
biaya melebihi dari yang seharusnya. Dalam hal demikian, Direktur Jenderal Pajak berwenang
untuk menentukan kembali besarnya penghasilan dan/atau biaya sesuai dengan keadaan
seandainya di antara para Wajib Pajak tersebut tidak terdapat hubungan istimewa. Dalam
menentukan kembali jumlah penghasilan dan/atau biaya tersebut digunakan metode perbandingan
harga antara pihak yang independen (comparable uncontrolled price method), metode harga
penjualan kembali (resale price method), metode biaya-plus (cost-plus method), atau metode
lainnya seperti metode pembagian laba (profit split method) dan metode laba bersih transaksional
(transactional net margin method). Demikian pula kemungkinan terdapat penyertaan modal secara
terselubung, dengan menyatakan penyertaan modal tersebut sebagai utang maka Direktur Jenderal
Pajak berwenang untuk menentukan utang tersebut sebagai modal perusahaan. Penentuan tersebut
dapat dilakukan, misalnya melalui indikasi mengenai perbandingan antara modal dan utang yang
lazim terjadi di antara para pihak yang tidak dipengaruhi oleh hubungan istimewa atau berdasar
data atau indikasi lainnya. Dengan demikian, bunga yang dibayarkan sehubungan dengan utang
yang dianggap sebagai penyertaan modal itu tidak diperbolehkan untuk dikurangkan, sedangkan
bagi pemegang saham yang menerima atau memperoleh bunga tersebut dianggap sebagai dividen
yang dikenai pajak.
Ayat (3a)
Kesepakatan harga transfer (Advance Pricing Agreement/APA) adalah kesepakatan antara Wajib
Pajak dan Direktur Jenderal Pajak mengenai harga jual wajar produk yang dihasilkannya kepada
pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa (related parties) dengannya. Tujuan
diadakannya APA adalah untuk mengurangi terjadinya praktik penyalahgunaan transfer pricing
oleh perusahaan multi nasional. Persetujuan antara Wajib Pajak dan Direktur Jenderal Pajak
tersebut dapat mencakup beberapa hal, antara lain harga jual produk yang dihasilkan, dan jumlah
royalti dan lain-lain, tergantung pada kesepakatan. Keuntungan dari APA selain memberikan
kepastian hukum dan kemudahan penghitungan pajak, Fiskus tidak perlu melakukan koreksi atas
harga jual dan keuntungan produk yang dijual Wajib Pajak kepada perusahaan dalam grup yang
sama. APA dapat bersifat unilateral, yaitu merupakan kesepakatan antara Direktur Jenderal Pajak
dengan Wajib Pajak atau bilateral, yaitu kesepakatan Direktur Jenderal Pajak dengan otoritas
perpajakan negara lain yang menyangkut Wajib Pajak yang berada di wilayah yurisdiksinya.
Ayat (3b)
Ketentuan ini dimaksudkan untuk mencegah penghindaran pajak oleh Wajib Pajak yang
melakukan pembelian saham/penyertaan pada suatu perusahaan Wajib Pajak dalam negeri melalui
perusahaan luar negeri yang didirikan khusus untuk tujuan tersebut (special purpose company).
Ayat (3c)
Contoh: X Ltd. yang didirikan dan berkedudukan di negara A, sebuah negara yang memberikan
perlindungan pajak (tax haven country), memiliki 95% (sembilan puluh lima persen) saham PT X
yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia. X Ltd. ini adalah suatu perusahaan antara
(conduit company) yang didirikan dan dimiliki sepenuhnya oleh Y Co., sebuah perusahaan di
negara B, dengan tujuan sebagai perusahaan antara dalam kepemilikannya atas mayoritas saham
PT X. Apabila Y Co. menjual seluruh kepemilikannya atas saham X Ltd. kepada PT Z yang
merupakan Wajib Pajak dalam negeri, secara legal formal transaksi di atas merupakan pengalihan
saham perusahaan luar negeri oleh Wajib Pajak luar negeri. Namun, pada hakikatnya transaksi ini
merupakan pengalihan kepemilikan (saham) perseroan Wajib Pajak dalam negeri oleh Wajib Pajak
luar negeri sehingga atas penghasilan dari pengalihan ini terutang Pajak Penghasilan.
Ayat (3d)
Cukup jelas.
Ayat (3e)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Hubungan istimewa di antara Wajib Pajak dapat terjadi karena ketergantungan atau keterikatan
satu dengan yang lain yang disebabkan:
Selain karena hal-hal tersebut, hubungan istimewa di antara Wajib Pajak orang pribadi dapat pula
terjadi karena adanya hubungan darah atau perkawinan.
Huruf a
Hubungan istimewa dianggap ada apabila terdapat hubungan kepemilikan yang berupa penyertaan
modal sebesar 25% (dua puluh lima persen) atau lebih secara langsung ataupun tidak langsung.
Misalnya, PT A mempunyai 50% (lima puluh persen) saham PT B. Pemilikan saham oleh PT A
merupakan penyertaan langsung. Selanjutnya, apabila PT B mempunyai 50% (lima puluh persen)
saham PT C, PT A sebagai pemegang saham PT B secara tidak langsung mempunyai penyertaan
pada PT C sebesar 25% (dua puluh lima persen). Dalam hal demikian, antara PT A, PT B, dan PT
C dianggap terdapat hubungan istimewa. Apabila PT A juga memiliki 25% (dua puluh lima persen)
saham PT D, antara PT B, PT C, dan PT D dianggap terdapat hubungan istimewa. Hubungan
kepemilikan seperti di atas dapat juga terjadi antara orang pribadi dan badan.
Huruf b
Hubungan istimewa di antara Wajib Pajak dapat juga terjadi karena penguasaan melalui
manajemen atau penggunaan teknologi walaupun tidak terdapat hubungan kepemilikan. Hubungan
istimewa dianggap ada apabila satu atau lebih perusahaan berada di bawah penguasaan yang sama.
Demikian juga hubungan di antara beberapa perusahaan yang berada dalam penguasaan yang sama
tersebut.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat”
adalah ayah, ibu, dan anak, sedangkan “hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan ke
samping satu derajat” adalah saudara. Yang dimaksud dengan “keluarga semenda dalam garis
keturunan lurus satu derajat” adalah mertua dan anak tiri, sedangkan “hubungan keluarga semenda
dalam garis keturunan ke samping satu derajat” adalah ipar.
Perlu diingat bahwa dalam menyusun sebuah Statutory General Anti Avoidance Rule perlu
dipertimbangkan keseimbangan antara penegakan hukum dengan kepastian hukum bagi Wajib
pajak. Ketentuan Statutory General Anti Avoidance Rule memberikan diskresi yang sangat luas
bagi otoritas perpajakan untuk melakukan penelitian yang mendalam atas sebuah skema transaksi
dan melakukan koreksi apabila skema tersebut disimpulkan sebagai sebuah transaksi penghindaran
pajak.
PEMILIHAN BENTUK USAHA
BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
PEMBAHASAN
Memilih bentuk usaha/business vehicle yang tepat merupakan hal pertama yang harus
diperhatikan oleh investor/pengusaha, selain untuk menentukan bentuk usaha apa yang dapat
memberikan kontribusi profit paling besar dengan tingkat risiko yang paling rendah. Terkait
ketentuan perpajakan yang berlaku, investor/pengusaha juga harus menentukan bentuk usaha
yang mana yang memberikan kontribusi profit yang paling besar namun dengan beban pajak
yang paling kecil, dan yang paling penting dari pemilihan bentuk usaha adalah tentu saja untuk
mempertimbangkan keberlangsungan usaha dalam jangka panjang.
Pohan (Zain, 2003:97) memberikan faktor-faktor yang harus dipertimbangkan dalam
pemilihan bentuk usaha, diantaranya:
1. bagaimana hubungan antara tarif pajak penghasilan orang pribadi dan tarif pajak
penghasilan wajib pajak badan, termasuk ketentuan khusus yang mengatur hal itu
2. pengenaan pajak penghasilan secara berganda, baik atas laba bruto usaha, maupun
penghasilan dari pembagian keuntungan (dividen) kepada para pemegang sahamnya
3. kesempatan untuk menunda pembayaran pajak pada tarif pajak penghasilan lebih
kecil/besar apabila dibandingkan dengan kesempatan yang terdapat pada tarif pajak
penghasilan dari akumulasi penghasilan perusahaan
4. adanya ketentuan mengenai kerugian hasil usaha neto (kompensasi kerugian) dan kredit
investasi yang berlaku bagi bentuk usaha tertentu
5. kemungkinan pengajuan perlakuan khusus terhadap pajak atas akumulasi laba, pajak
atas penghasilan personal, holding company, dan seterusnya
6. liberalisasi ketentuan yang mengatur fringe benefit dan atau payment in kind.
Secara umum terdapat empat bentuk usaha yang legal, yaitu:
1. partnership yang berupa persekutuan perdata (maatschap), persekutuan komanditer
(commanditaire vennootschap = CV), dan firma;
2. perseroan terbatas (PT)
3. koperasi, asosiasi, yayasan, dan badan usaha lain
4. usaha orang pribadi/individual basis
Fokus penjelasan tulisan ini hanya akan menekankan pada pemilihan badan usaha berbentuk
usaha orang pribadi (individual basis), CV dan PT. Dan disini kita hanya mendiskusikan masalah
pemilihan bentuk usaha dilihat dari aspek perpajakannya. Banyak pilihan bentuk usaha yang
dapat dipertimbangkan investor, itu semua akan bermuara pada besarnya pajak yang akan
ditanggung.
2.1 USAHA ORANG PRIBADI/ PERSEORANGAN
Warga Negara Indonesia diberikan kebebasan seluas-luasnya untuk berusaha selama
tidak bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan. Untuk melakukan usaha secara
pribadi, seseorang tidak memerlukan izin khusus dalam pendiriannya, karena bukan berupa
badan usaha atau badan hukum. Usaha perseorangan ini bisa dijalankan dengan membuat
usaha dagang (UD) atau usaha lainnya, tanpa harus memiliki nama usaha. Contoh usaha yang
dijalankan pun bisa beragam, dari berdagang, manufaktur skala kecil, jasa, dsb.
Keuntungan yang diperoleh dari suatu usaha yang dijalankan secara perorangan
seluruhnya akan dinikmati dan masuk ke kantong pribadi perorangan. Keuntungan tersebut akan
dikenai pajak sesuai dengan lapisan tarif pajak perorangan. Jika keuntungan yang diperoleh di
atas Rp500.000.000,00 kelebihannya akan dikenai tarif tertinggi perpajakan sebesar 30%.
Keuntungan usaha berupa selisih penerimaan dengan biaya dihitung berdasarkan
pembukuan yang diselenggarakan oleh perorangan. Dalam usaha perorangan tidak dikenal
adanya pemisahan harta usaha dengan harta pribadi perorangan, keseluruhannya adalah harta
miliknya perorangan. Namun demikian untuk keperluan penghitungan keuntungan usaha tetap
harus dibedakan antara harta untuk usaha dengan harta bukan untuk usaha, sehingga dapat
dipisahkan biaya penyusutan harta yang berhubungan dengan usaha. Karena tidak adanya
pemisahan antara harta usaha dengan harta pribadi maka dari sudut perpajakan kewajiban
mendaftar NPWP hanya melekat pada diri perorangannya. Begitu pula dengan kewajiban
melaporkan pajaknya.
Pengeluaran-pengeluaran untuk kepentingan pribadi tidak diperkenankan, seperti biaya
gaji pemilik, pengeluaran berupa prive dan sebagainya. Bagi perorangan yang omzet setahunnya
belum melebihi Rp4.800.000.000,00 tidak wajib menyelenggarakan pembukuan, sehingga
keuntungan dihitung dengan menggunakan norma penghitungan penghasilan neto. Konsekuensi
menggunakan norma penghitungan penghasilan neto adalah tidak pernah diakui adanya
kerugian usaha.
Dalam menghitung besarnya pajak penghasilan, usaha perorangan wajib melakukan pembukuan
atau hanya melakukan pencatatan dengan Norma Penghitungan jika peredaran brutonya kurang
dari Rp. 1.800.000.000 (satu miliar delapan ratus juta rupiah).
Terkait dengan ketentuan perpajakan, ada beberapa hal yang menjadi pertimbangan
dalam memilih bentuk usaha Perseorangan adalah:
Maka penghitungan besarnya PPh terutang Tuan Anas selama tahun 2015 adalah sebagai
berikut:
Laba Usaha Rp700.000.000,-
Penghasilan Tidak Kena Pajak (K/2) * Rp67.500.000,-
Penghasilan Kena Pajak (PKP) Rp632.500.000,-
PPh Terutang
5% x Rp50.000.000,- = Rp 2.500.000,-
15% x Rp200.000.000 = Rp30.000.000,- Rp134.750.000,-
25% x Rp250.000.000,- = Rp62.500.000,-
30% x Rp132.500.000,- = Rp39.750.000,-
Persentase PPh Terutang terhadap laba usaha 19,3%
*) 54.000.000 + 4.500.000 + (2×4.500.000) = Rp67.500.000
Dari analisis di atas, ada beberapa hal penting yang perlu di catat :
1. Beban pajak yang ditanggung investor melalui persekutuan ternyata lebih kecil dibandingkan
daripada usaha berbentuk PT
2. Bisnis perseorangan tersebut bisa memberikan tingkat efisiensi pajak yang jauh lebih besar
dari pada bentuk badan usaha lainnya. Namun kita tidak boleh tergesa-gesa mengambil
keputusan atas dasar pertimbangan ini semata, harus memperhatikan pertimbangan lainnya.
3. Pemihan salah satu entitas bisnis dapat dijadikan referensi dalam pengambilan keputusan oeh
para investor untuk meminimalkan beban pajak. Namun demikian faktor pajak bukan satu-
satunya pertimbangan dalam pengambilan keputusan bisnis. Masih banyak variabel lain yang
harus diperhatikan investor.
Kelebihan dan kekurangan bentuk usaha CV, sebagaimana diuraikan Santoso dan Rahayu,
(2013:91) antara lain:
Kelebihan
1. relatiif mudah dalam proses pendiriannya
2. kebutuhan akan modal dapat lebih dipenuhi
3. cenderung lebih mudah memperoleh kredit
4. dari segi kepemimpinan, CV relatif lebih baik
5. lebih fleksibel karena bagi sekutu pasif akan lebih mudah untuk menginvestasikan maupun
mencairkan kembali modalnya
6. tidak ada ketentuan memakai nama CV seperti halnya dengan PT
7. Anggaran dasar tidak perlu mendapat pengesahan dari Kementerian Hukum dan HAM
Kekurangan:
1. kelangsungan hidup tidak menentu karena banyak tergantung dari sekutu aktif yang
bertindak sebagai sekutu pemimpin CV
2. tanggung jawab para sekutu komanditer yang terbatas dapat berpengaruh terhadap
semangat untuk memajukan perusahaan
3. kewajiban sekutu yang tidak terbatas
4. perlindungan hukumnya masih dianggap minim
Sebagai sebuah badan usaha maka CV atau Firma berkewajiban untuk mendaftarkan
NPWP yang terpisah dengan kewajiban para pemiliknya. Keuntungan usaha merupakan
penghasilannya CV atau Firma yang akan dikenai pajak dan dilaporkan oleh CV atau Firma
sebagai Wajib Pajak. Sedangkan penghasilan seorang investor dari penanaman modal di CV
atau Firma adalah penghasilan berupa pembagian laba. Jika seorang investor juga aktif
menjalankan usaha, investor dapat saja menerima tambahan penghasilan lain berupa gaji dan
tunjangan-tunjangan lainnya.
Dalam ketentuan perpajakan, bergesernya aliran penghasilan dari CV atau Firma kepada
pemilik tidak dianggap sebagai terjadinya aliran penghasilan, sehingga pajak tidak mengakui
adanya pengurangan berupa biaya gaji pemilik di CV atau Firma. Sebaliknya penerimaan berupa
gaji oleh pemilik tidak dianggap sebagai adanya penghasilan bagi si pemilik. Demikian juga atas
pembagian laba yang diterima oleh pemilik.
Pajak memandang bahwa antara anggota atau pemilik dengan CV atau Firma
diperlakukan sebagai satu kesatuan dalam penghitungan PPh atas keuntungan usaha. Satu
kesatuan dalam hal ini adalah tambahan kemampuan ekonomis dari usaha CV atau Firma hanya
akan dikenai PPh satu kali yaitu di CV atau Firma.
Dengan demikian antara CV dengan usaha perorangan memiliki persamaan perlakuan
perpajakan yaitu keuntungan usaha sama-sama diperlakukan sebagai satu kesatuan dengan
penghasilan pemiliknya. Hanya bedanya keuntungan usaha perorangan dikenai pajak di sisi
perorangan sebagai WPOP sedangkan keuntungan usaha CV dikenai pajak di sisi CV sebagai
WP badan.
Keduanya sama-sama tidak diperkenankan memperhitungkan pengurangan biaya berupa
gaji pemilik dan pembagian keuntungannya. Dipandang dari sudut penghematan pajak, CV
memiliki keunggulan jika dibandingkan dengan usaha perorangan yaitu dari sisi tarif pajak.
Sebagaimana dijelaskan di atas, tarif pajak bagi CV adalah 28% sedangkan tarif pajak
perorangan tertinggi adalah 30%. Dengan demikian dengan membentuk CV dapat timbul
penghematan pajak sebesar 2%.
Dipandang dari sudut penghematan pajak, CV memiliki keunggulan jika dibandingkan
dengan usaha perorangan yaitu dari sisi tarif pajak
Atas keuntungan CV dikenakan pajak penghasilan badan dengan tarif pasal 17 undang-
undang Pajak Penghasilan (sama dengan PT). Pembagian keuntungan kepada pemegang
saham (pesero) tidak bisa dibebankan sebagai biaya CV, tidak dipotong PPh pasal 23 dan bagi
yang menerima bukan sebagai obyek pajak. Dengan kata lain, Pajak penghasilan hanya
dikenakan pada Perusahaan (Badan) saja dan tidak ada double taxation.
Contoh
CV Aurora bergerak dalam usaha perdagangan besar, laba rugi tahun 2015 menunjukkan
informasi sebagai berikut:
Peredaran usaha Rp60.000.000.000,-
Harga Pokok Penjualan Rp58.800.000.000,-
Laba Bruto Rp1.200.000.000,-
Biaya Operasi (tidak termasuk gaji para sekutu) Rp500.000.000,-
Laba Usaha Sebelum Pajak Rp700.000.000,-
Kelebihan dan kelemahan PT sebagaimana diuraikan oleh Santoso dan Rahayu (2013:100-
101) adalah sebagai berikut :
Kelebihan
1. kewajiban dan tanggung jawab terbatas
2. masa hidup abadi
3. efisiensi manajemen karena adanya pemisahan antara pemilik dan pengurus
4. modal dapat diperoleh dengan menjual saham
Kekurangan
1. kerumitan perizinan dan organisasi
2. besarnya biaya pengorganisasian perusahaan
3. bidang usaha PT relative susah diubah karena harus mengubah akta pendirian dan sulit
mengubah investasi yang telah ditanamkan
4. hubungan antarperorangan lebih formal dan terkesan kaku
Perpajakan memandang bahwa antara pemegang saham dengan PT adalah dua Wajib
Pajak yang berbeda dan terpisah. Sehingga jika ada pengalihan kekayaan atau harta baik berupa
sumber daya atau resources dari perusahaan kepada pemilik dianggap telah terjadi arus
mengalirnya penghasilan. Dengan demikian dividen yang diterima oleh pemegang saham
dianggap sebagai penghasilan yang akan dikenai pajak. Sebaliknya karena dividen itu dihitung
dari laba setelah pajak, maka di sisi perusahaan dividen tersebut tidak berpengaruh terhadap
besarnya keuntungan usaha atau laba usaha yang dikenai pajak. Bisa dikatakan bahwa atas
keuntungan atau laba usaha akan dikenai pajak di PT dan ketika keuntungan atau laba tersebut
dibagi kepada para pemegang saham akan dikenai pajak lagi di pemegang saham (perorangan).
Pembagian dividen kepada pemegang saham (pesero) tidak bisa dibebankan sebagai
biaya perusahaan, dikenakan pemotongan PPh pasal 23 sebesar 15% dan sebagai kredit pajak
bagi pihak yang dipotong (tidak final). Dengan demikian terdapat double taxation.
Contoh
PT Angkasa bergerak sebagai distributor mainan anak yang terbuat dari bahan yang aman dan
berkualitas. Laba/rugi PT Angkasa tahun 2015 menunjukkan informasi sebagai berikut:
Peredaran usaha Rp60.000.000.000,-
Harga Pokok Penjualan Rp58.800.000.000,-
Laba Bruto Rp1.200.000.000,-
Biaya Operasi Rp500.000.000,-
Laba Usaha Sebelum Pajak Rp700.000.000,-
Pada saat laba usaha dibagikan kepada para pemegang saham, dikenai PPh atas dividen
sebesar 10%, yaitu:
Laba usaha yang akan dibagikan sebagai dividen Rp525.000.000,-
PPh atas dividen (Pasal 17 ayat(2c) UU PPh Rp52.500.000,-
Sehingga total pajak terutang oleh PT dan persentasenya terhadap peredaran usaha dapat
dihitung sebagai berikut:
Jumlah PPh terutang Rp227.500.000,-
Persentase PPh Terutang terhadap laba usaha 32,5%
Contoh:
Tuan A adalah pemilik CV. Maksi y bang modalnya tidak terbagi atas saham. Ia sekaligus
sebagai direkturnya dan mendapat gaji Rp. 400.000.000 untuk setahun. Bagaimana
erbandinngan PPh terutang perusahaan itu menggunakan bentuk PT. Penghasilan kena pajak
CV. Maksi adalah Rp. 500.000.000,- setelah memperhitungkan gaji Tuan A tersebut.
Besarnya PPh terutang dihitung sebagai CV dan sebagai PT adalah sebagai berikut:
Keterangan Bentuk PT Bentuk CV Selisih
Penghasilan Bersih 500.000.000 500.000.000 0
Koreksi Gaji 0 400.000.000 400.000.000
Penghasilan Kena Pajak 500.000.000 900.000.000 400.000.000
PPh terhutang 95.000.000 215.000.000 120.000.000
Dari perhitungan diatas tampak bahwa PPh terutang bentuk usaha CV lebih Besar dibandingkan
dengan bentuk usaha PT.
2. Perlakuan keuntungan
Keuntungan yang didapat oleh badan udaha, apabila dibagikan kepada pemegang saham
berupa deviden akan terutang PPh. Namun bagi wajib pajak berbentuk CV akan modalnya tidak
dibagikan atas saham maka atas deviden yang dibagikan tidak terutang PPh. Sedangkan bagi
PT yang sahamnya dimiliki oleh badan usaha termasuk koperasi yang aktif atas pembagian
devidennya tidak dipotong PPh.
Dari pertimbangan itu apabila wajib pajak mendirikan usaha dalam bentuk perseroan
terbatas CV maka lebih menguntungkan kalau modalnya tidak dijual bebas dalam bentuk saham.
Demikian pula apabila bentuk usahanya berupa Perseroan Terbatas, maka pemegang saham
cenderung berupa badan usaha yang jumlahnya tidak banyak tetapi modalnya rata-rata 25 %
Contoh:
Keseluruhan laba bersih CV. Maksi yang telah menjadi laba ditahan sebesar Rp.
500.000.000,- dibagi sebagai deviden kepada pemegang anggotanya.
Bagaimana perbandingan PPh terhutang atas deviden yang dibagikan oleh CV. Maksi
disbanding kalau CV. Maksi sebagai PT. dan yang menerima deviden adalah sama yaitu Tuan
A.
Dari perhitungan tersebut tampak besarnya PPh terutang atas deviden jauh lebih tinggi kalau
berbentuk PT
Tabel 1: Perbandingan Beban Pajak Penghasilan untuk Penjualan Rp. 1,5 Miliar
Perorangan Dgn
Perorangan Dgn Norma
Keterangan PT CV
Pembukuan Penghitungan
*1)
Penjualan 1.500.000.000 1.500.000.000 1.500.000.000 1.500.000.000
Beban Usaha *2) 1.200.000.000 1.200.000.000 1.200.000.000 0
Laba Usaha 300.000.000 300.000.000 300.000.000 450.000.000
PTKP *3) 0 0 18.000.000 18.000.000
Penghasilan Kena Pajak 300.000.000 300.000.000 282.000.000 432.000.000
PPh Terutang 75.000.000 75.000.000 40.500.000 78.000.000
Laba Sesudah PPh 225.000.000 225.000.000 241.500.000 354.000.000
PPh 23 Atas Dividen *4) 33.750.000 – – –
Total Beban Pajak 108.750.000 75.000.000 40.500.000 78.000.000
Persentase Beban Pajak
48,33% 33,33% 16,77% 22,03%
terhadap Laba Usaha
Asumsi:
*1) Norma Penghitungan Untuk Pedagang Eceran 30% dari Peredaran Bruto
*2) Beban Usaha 80% dari Penjualan
*3) PTKP K/3 = Rp. 18.000.000
*4) Semua laba dibagikan dalam bentuk dividen, dipotong PPh Pasal 23 dengan tarif 15%
Dari Tabel 1 di atas, terlibat bahwa total Beban PPh Terutang terendah adalah usaha
perorangan dengan pembukuan sebesar Rp. 40.500.000, sedangkan total Beban PPh Terutang
terbesar adalah pada usaha perorangan dengan Norma penghitungan sebesar Rp. 78.000.000.
Hal ini terjadi karena secara umum Norma Penghitungan menetapkan margin keuntungan usaha
yang lebih besar (30%) daripada keuntungan usaha sebenarnya (20% dengan pembukuan).
Pada prakteknya, usaha perorangan/orang pribadi mengalami dilemma, jika menggunakan
Pencatatan peredaran bruto (yang mudah/sederhana) dengan Norma penghitungan, Persentase
keuntungan yang sebenarnya masih jauh lebih kecil daripada % Keuntungan yang diterapkan
dalam Norma penghitungan. Sebaliknya, jika mau melakukan pembukuan, masih sulit dan
membutuhkan biaya yang cukup besar.
Secara umum (seperti ilustrasi di Tabel 1), total beban pajak PT akan selalu lebih besar
dari CV ataupun perorangan, karena adanya tambahan PPh pasal 23 yang harus dipotong dari
dividen yang dibayarkan oleh PT, sedangkan pembagian hasil untuk CV tidak dikenakan pajak
(bukan obyek pajak). Maka motivasi sesorang untuk lebih memilih bentuk usaha PT dari pada
CV adalah factor-faktor lain selain factor pajak.
Asumsi :
*a) Beban Usaha 80% dari Penjualan
*b) PTKP K/3 = Rp. 18.000.000
*c) Semua laba dibagikan dalam bentuk dividen dengan tarif 15%
Dari Tabel 2 di atas terlihat bahwa total beban pajak penghasilan terkecil adalah CV
sebesar Rp. 450.000.000, diikuti Usaha Perorangan Rp. 479.600.000 dan yang terbesar adalah
PT sebesar Rp. 652.500.000. Dengan demikian perbedaan besarnya total beban pajak yang
dibayar oleh usaha perorangan dan PT/CV tergantung pada besarnya Penghasilan kena pajak
(laba). Hal ini dapat terjadi karena adanya perbedaan tarif PPh pasal 17 untuk badan (dengan
tariff maximum 25%) dan orang pribadi (dengan tariff maximum 30%).
PPh pasal 23 yang dipotong oleh PT atas dividen yang dibagikan sebesar 15% adalah tidak
final, sehingga besarnya tariff efektif akan tergantung pada besarnya penghasilan pemegang
saham (sebagai perorangan). Contoh: jika penghasilan kena pajak pemegang saham
(perorangan) diluar dividen ini sudah mencapai Rp. 200.000.000, maka tariff efektif atas dividen
ini menjadi 35% sehingga total beban pajak atas PT menjadi lebih besar lagi.
Ketentuan Pajak Internasional suatu negara menurut Gunadi (2007) meliputi 2 dimensi:
1. Pemajakan terhadap wajib pajak dalam negeri (WPDN) atas penghasilan dari luar negeri
(outward, outbound transactions).
2. Pemajakan terhadap wajib pajak luar negeri (WPLN) atas penghasilan dari dalam
negeri/domestik. (inward, inbound transactions)
Kedua dimensi di atas selanjutnya dijelaskan Gunadi, bahwa Dimensi pertama merujuk
pada pemajakan atas penghasilan luar negeri atau transaksi (ke) luar batas negara (outward,
outbound transaction) karena umumnya melibatkan eksportasi modal ke manca negara sedangkan
dimensi kedua merujuk pada pemajakan atas penghasilan domestik atau transaksi (ke) dalam batas
negara (inward, inbound transaction) karena umumnya melibatkan importasi modal dari manca
negara. Dalam aplikasinya, pemajakan penghasilan luar negeri dilakukan oleh negara domisili
(residence country), sedangkan pemajakan penghasilan domestik dilakukan oleh negara sumber
(source country).
Setiap kebijakan tentu mempunyai tujuan tertentu yang ingin dicapai, begitu juga dengan
kebijakan perpajakan internasional sudah tentu mempunyai tujuan yang ingin dicapai. Tujuan yang
dimaksud yaitu memajukan perdagangan antar negara, dan mendorong laju investasi di masing-
masing negara. Sementara pemajakan atas suatu penghasilan secara bersamaan oleh negara
domisili dan sumber seperti yang diungkapkan Gunadi di atas menimbulkan pajak ganda
internasional (international double taxation). Kondisi ini dipandang oleh para investor dan
pengusaha pajak kurang memperlancar/menghambat mobilitas arus investasi, perdagangan, dan
bisnis. Untuk mengatasi dan memberikan solusi atas masalah yang dihadapai oleh para investor
dan pengusaha maka pemerintah melakukan upaya dan berusaha untuk meminimalkan atau
meringankan pajak berganda yang menghambat perdagangan dan investasi tersebut. Upaya
dimaksud berhasil dituangkan dalam bentuk aturan yaitu selain diatur dalam ketentuan pajak
domestik, keringanan pajak ganda juga pada umumnya diatur dalam P3B.
Sementara itu, Gunadi menjelaskan bahwa ketentuan pajak internasional suatu negara pada
umumnya disusun untuk mencapai sekurang-kurangnya 4 (empat) tujuan:
1. memperoleh bagian penerimaan dari transaksi lintas perbatasan secara adil,
2. meningkatkan keadilan (fairness) dalam perpajakan,
3. memperkuat daya saing ekonomi domestik, dan
4. netralitas ekspor modal (capital-export neutrality) dan netralitas impor modal (capital-import
neutrality).
Pengumpulan penerimaan negara merupakan tujuan utama semua sistem perpajakan di
setiap negara, termasuk penerimaan pajak dari penghasilan transaksi lintas perbatasan. Agar terjadi
pembagian penerimaan yang adil antar negara (inter-nation equity), suatu negara harus
mengamankan basis pajak domestik dengan menyusun ketentuan pajak yang handal, dan
menghindari penutupan P3B yang menggerus atau secara kurang proporsional menghilangkan atau
membatasi hak pemajakan atas penghasilan sumber domestik.
Keadilan dalam sistem perpajakan dapat dicapai dengan membebankan pajak dalam
jumlah yang sama terhadap para wajib pajak dengan jumlah penghasilan yang sama, membuat
sedemikian rupa sehingga beban tersebut sepadan (commensurate) dengan kemampuan bayarnya.
Demikian juga terhadap suatu grup perusahaan yang saling terkait, prinsip keadilan menghendaki
pembebanan pajak sejumlah yang sama seandainya suatu perusahaan tunggal melakukan aktivitas
sebanding.
Selanjutnya, terhadap WPDN yang menjalankan usaha atau kegiatan di manca negara,
keadilan perpajakan menghendaki agar penghasilan domestik dan luar negeri, baik diperoleh
langsung maupun tidak langsung harus dikenakan pajak. Kontribusi pengembangan standar dan
ketentuan pajak yang proporsional pengenaan pajak sesuai dengan standar dimaksud, dan
kerjasama pengenaan dan penagihan pajak terhadap WPDN dengan negara asing dapat
meningkatkan keadilan perpajakan internasional. Setiap negara bertujuan untuk meningkatkan
kemakmuran dan kesejahteraan rakyatnya.
Dalam persaingan ekonomi global, negara tersebut harus menghindari ketentuan pajak
yang dapat memperlemah daya saing ekonomi negerinya. Untuk itu, investasi, perdagangan dan
kegiatan ekonomi baik yang berasal dari domestik maupun manca negara yang dapat menciptakan
kerja dan kemakmuran bangsa harus dipertahankan jangan sampai terusir karena masalah
ketentuan perpajakan.
Akhirya agar tercapai netralitas ekspor modal, ketentuan perpajakaan internasional harus
di disain tanpa mendorong atau menghambat arus keluar modal, walaupun dalam praktik ini
dianggap sebagai tujuan sekunder karena dapat menggerus kesempatan kerja dan kemakmuran
domestik. Sementara itu, agar tercapai netralitas impor modal, suatu negara (pengekspor modal)
tidak sepantasnya mendisain ketentuan pajak internasional yang menyebabkan perusahaan
multinasionalnya menanggung beban pajak yang lebih besar di pasar luar negeri (negara
pengimpor modal) dibanding dengan beban pajak perusahaan multinasional negara lain.
Lanjut Gunadi, perlu disadari bahwa dari keempat tujuan tersebut di atas, suatu negara
belum tentu dapat mencapai semuanya karena terdapat kurang kesesuaian bahkan saling
bertentangan antar tujuan tersebut. Misalnya, antara tujuan perolehan bagian penerimaan dari
penghasilan perusahaan multinational yang mempunyai kegiatan di luar negeri dengan tujuan
netralitas impor modal. Berbeda dengan tujuan pertama yang menghendaki pengenaan pajak atas
penghasilan luar negeri, netralitas impor modal menghendaki pembebasan pajak (tax exempt) atas
penghasilan manca negara. Untuk itu, skala prioritas, preferensi, dan relevansi tujuan sesuai
dengan situasi dan kondisi yang sedang atau akan dihadapi perlu dipertimbangkan.
Tujuan umum pajak internasional adalah untuk mengeliminasi gejala pajak ganda, hal ini
dapat dilakukan dengan 3 cara:
1. Dengan cara unilateral, mana kala negara yang bersangkuatan memasukkan dalam perundang-
undangan pajaknya ketentuan untuk menghindari pajak berganda seperti:
a. Exemption yang didasarkan pada pure territorial principle atau restricted terrirorial principle
b. Tax credit yang dapat dibedakan menjadi direct tax credit, indirect tax credit, dan fictious tax
credit/tax sparing
2. Dengan cara bilateral, dilakukan dengan melakukan perjanjian pajak antar negara yang dikenal
dengan isilah tax treaty atau perjanjian penghindaran pajak berganda (P3B). Untuk negara
Indonesia telah memiliki Tax Treaty dengan 57 negara.
3. Perjanjian multilateral, misalnya General Agreement Tariffs and Trade (GATT) yang sekarang
lebih dikenal dengan sebutan WTO. Regulasi-regulasi yang dihasilkan oleh WTO bertujuan untuk
semakin membebaskan aktivitas perdagangan dan mereduksi segala bentuk tekanan dari
pemerintah terhadap kegiatan perdagangan internasional. WTO di sini memposisikan untuk
bertindak netral dalam mengelola persetujuan perdagangan, bertindak sebagai forum dalam
negosiasi perdagangan, membantu menyelesaikan perselisihan perdagangan, meninjau kebijakan
perdagangan nasional, menyediakan bantuan untuk negara berkembang dalam isu kebijakan
perdagangan melalui bantuan teknis dan program pelatihan, serta bekerjasama dengan organisasi
internasional lainnya
Pada Tanggal 1 Januari tahun 1995 sesuai dengan hasil kesepakatan dari Putaran Uruguay,
di Jenewa Swiss, WTO resmi berdiri dengan beranggotakan 146 negara termasuk Indonesia.
Berdasarkan hasil kesepakatan Putaran Uruguay, terdapat beberapa hal yang bersifat new issues,
antara lain; trade in services, intellectual property rights, dan trade-related investment measures
(TRIMs). Beberapa hal yang menjadi perhatian Indonesia sebagai konsekuensi logis dari
keikutsertaannya dalam WTO antara lain; masalah tarif, akses pasar, komoditas tekstil, produk
pertanian, regulasi dan penyelesaian sengketa, hak atas kekayaan intelektual, bidang jasa dan
investasi. Mengenai fungsi atau tujuan WTO dapat dilihat dalam Article III WTO yaitu:
a. mendukung pelaksanaan, pengaturan, dan penyelenggaraan persetujuan yang telah dicapai untuk
mewujudkan sasaran perjanjian tersebut,
b. sebagai forum perundingan bagi negara-negara anggota mengenai perjanjian-perjanjian yang
telah dicapai beserta lampiran-lampirannya, termasuk keputusan-keputusan yang ditentukan
kemudian dalam Perundingan Tingkat Menteri,
c. mengatur pelaksanaan ketentuan mengenai penyelesaian sengketa perdagangan;
d. mengatur mekanisme peninjauan kebijakan di bidang perdagangan, dan
e. menciptakan kerangka penentuan kebijakan ekonomi global bekerja sama dengan Dana Moneter
Internasional (IMF) dan Bank Dunia (World Bank), serta badan-badan yang berafiliasi.
Gunadi (2007) menyampaikan bahwa pada umumnya, suatu negara tidak akan
memaksakan diri untuk mengenakan pajak atas penghasilan yang tidak mempunyai pertalian (tax
connection) apa pun dengan negara tersebut. Sehubungan dengan perpajakan internasional,
kebanyakan negara menganut prinsip teritorial. Penghasilan yang bersumber di suatu negara
(selalu) dikenakan pajak tanpa memperhatikan tempat kedudukan (residensi) pemilik (penerima)
penghasilan apakah yang bersangkutan WPDN atau WPLN. Sementara itu, penghasilan yang
bersumber di negara lain (di luar wilayah teritorial) dikecualikan dari pemajakan. Perlakuan
teritorial membenarkan aplikasi yurisdiksi pemajakan teritorial (sumber pemajakan) karena Wajib
Pajak diharapkan ikut berpartisipasi dalam pembiayaan negara yang telah memungkinkan
terjadinya produksi atau perolehan penghasilan, pemeliharaannya, dan pemanfaatannya apakah
dikonsumsi atau diinvestasikan (ditabung).
Indonesia merupakan salah satu dari beberapa negara yang tidak secara terbatas hanya
mengaplikasikan prinsip pemajakan teritorial. Berlandaskan pertalian personal (subjektif),
Indonesia juga akan mengenakan pajak atas penghasilan luar negeri yang diperoleh Orang Pribadi
yang bertempat tinggal atau Badan yang bertempat kedudukan di Indonesia (WPDN). Pemajakan
berdasarkan pertalian personal dapat dibenarkan berdasarkan manfaat yang tersedia bagi orang
yang berada di luar negeri. Mereka bebas untuk datang dan pergi setiap saat, mendapat
perlindungan dan hak politik (pemilihan umum) dari pemerintah.
Norma dalam sistem perpajakan internasional yang diterima dan diikuti secara global untuk
hal berikut.
1. Menyerahkan hak pemajakan utama (primary taxing rights) kepada negara sumber penghasilan
yang memiliki pertalian teritorial (sumber),
2. Mempertahankan wewenang pemajakan residual (residual tax claim) kepada negara domisili
dengan pertalian personal.