MAKALAH
Disusun untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah
Manajemen Perpajakan
Oleh
Fransiska Marselina Dwi S.
Himatul Mubaiyah
Nadian Kusuma Dewi
untuk
berbagai
lain
yang
akan
untuk lari atau menghindarkan diri dari pengenaan pajak, sedangkan penghindaran
pajak berkenaan dengan pengaturan sesuatu peristiwa sedemikian rupa untuk
meminimalkan atau menghilangkan beban pajak dengan memperhatikan ada atau
tidaknya akibat-akibat pajak yang ditimbulkannya. Oleh karena itu, penghindaran
pajak tidak merupakan pelanggaran atas perundang-undangan perpajakan atau
secara etik tidak dianggap salah dalam rangka usaha wajib pajak untuk
mengurangi, menghindari, meminimalkan, atau meringankan beban pajak dengan
cara-cara yang dimungkinkan oleh undang-undang pajak.
Pendapat lain menyangkut penghindaran pajak juga disampaikan oleh Drs.
Chairil Anwar Pohan, Msi, M. B. A dalam Ayuningtyas (2013) adalah sebagai
berikut:
adalah upaya penghindaran pajak yang dilakukan secara legal dan aman
bagi wajib pajak tanpa bertentangan dengan ketentuan perpajakan yang berlaku
dimana metode dan teknik yang digunakan cenderung memanfaatkan kelemahankelemahan (grey area) yang terdapat di dalam undang-undang dan peraturan
perpajakan itu sendiri untuk memperkecil jumlah pajak yang terhutang
Dari definisi diatas dapat disimpulkan bahwa penyelundupan pajak adalah
upaya wajib pajak untuk meminimumkan beban pajak terutang yang dilakukan
dengan cara melanggar undang-undang perpajakan, terutama terjadi dengan
penghilangan atau kurang melaporkan objek pajak yang didukung dengan
rekayasa legal, akuntansi dan administratif lainnya. Sedangkan penghindaran
pajak adalah upaya yang dilakukan untuk meminimumkan beban pajaknya dengan
cara memanfaatkan celah-celah (loops) pada peraturan perundang-undangan
perpajakan yang berlaku sehingga dapat dikatakan penghindaran pajak tidak
melanggar konteks hukum perpajakan yang berlaku.
Penghindaran pajak dapat dilakukan dengan tiga cara, yaitu:
a
Menahan diri, yaitu wajib pajak tidak melakukan sesuatu yang bisa dikenai
pajak
Pindah lokasi, adalah memindahan lokasi usaha atau domisili yang tarif
a. tidak mendaftarkan diri untuk diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak atau tidak
melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak;
b. menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak Nomor Pokok Wajib Pajak atau
Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak;
c. tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan;
d. menyampaikan Surat Pemberitahuan dan/atau keterangan yang isinya tidak
benar atau tidak lengkap;
e. menolak untuk dilakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29;
f. memperlihatkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen lain yang palsu atau
dipalsukan seolah-olah benar, atau tidak menggambarkan keadaan yang
sebenarnya;
g. tidak menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan di Indonesia, tidak
memperlihatkan atau
tidak meminjamkan buku, catatan, atau dokumen lain;
h. tidak menyimpan buku, catatan, atau dokumen yang menjadi dasar pembukuan
atau pencatatan dan dokumen lain termasuk hasil pengolahan data dari
pembukuan yang dikelola secara elektronik atau diselenggarakan secara program
aplikasi online di Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (11); atau
i. tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipungut sehingga dapat
menimbulkan kerugian pada pendapatan negara dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling
sedikit 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar dan
paling banyak 4 (empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang
dibayar.
(2) Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambahkan 1 (satu) kali
menjadi 2 (dua) kali sanksi pidana apabila seseorang melakukan lagi tindak
pidana di bidang perpajakan sebelum lewat 1 (satu) tahun, terhitung sejak
selesainya menjalani pidana penjara yang dijatuhkan.
(3) Setiap orang yang melakukan percobaan untuk melakukan tindak pidana
menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak Nomor Pokok Wajib Pajak atau
Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b,
atau menyampaikan Surat Pemberitahuan dan/atau keterangan yang isinya tidak
benar atau tidak lengkap, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, dalam
rangka mengajukan permohonan restitusi atau melakukan kompensasi pajak atau
pengkreditan pajak, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan
dan paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah
restitusi yang dimohonkan dan/atau kompensasi atau pengkreditan yang dilakukan
dan paling banyak 4 (empat) kali jumlah restitusi yang dimohonkan dan/atau
kompensasi atau pengkreditan yang dilakukan.
Pasal 41
(1) Pejabat yang karena kealpaanya tidak memenuhi kewajiban merahasiakan hal
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 dipidana dengan pidana kurungan paling
lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp25.000.000,00 (dua puluh lima
juta rupiah).
(2) Pejabat yang dengan sengaja tidak memenuhi kewajibannya atau seseorang
yang menyebabkan tidak dipenuhinya kewajiban pejabat sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 34 dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan
denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
(3) Penuntutan terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) hanya dilakukan atas pengaduan orang yang kerahasiaannya dilanggar.
Pasal 41A
Setiap orang yang wajib memberikan keterangan atau bukti yang diminta
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 tetapi dengan sengaja tidak memberi
keterangan atau bukti, atau memberi keterangan atau bukti yang tidak benar
dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling
banyak Rp25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah).
Pasal 41B
Setiap orang yang dengan sengaja menghalangi atau mempersulit penyidikan
tindak pidana di bidang perpajakan dipidana dengan pidana penjara paling lama 3
(tiga) tahun dan denda paling banyak Rp75.000.000,00 (tujuh puluh lima juta
rupiah).
Pasal 43
(1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 dan Pasal 39A, berlaku juga
bagi wakil, kuasa, pegawai dari Wajib Pajak, atau pihak lain yang menyuruh
melakukan, yang turut serta melakukan, yang menganjurkan, atau yang membantu
melakukan tindak pidana di bidang perpajakan.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41A dan Pasal 41B berlaku
juga bagi yang menyuruh melakukan, yang menganjurkan, atau yang membantu
melakukan tindak pidana di bidang perpajakan
Penghindaran Pajak yang Diperbolehkan dan Penghindaran Pajak yang
Tidak Diperbolehkan
Rohtagi menyebutkan bahwa di banyak Negara, penghindaran pajak
dibedakan menjadi dua yaitu penghindaran pajak yang diperbolehkan (acceptable
tax avoidance/tax planning/tax mitigation) dan penghindaran pajak yang tidak
diperbolehkan (unacceptable tax avoidance). Artinya penghindaran pajak dapat
dianggap illegal apabila transaksi yang dilakukan semata-mata untuk tujuan
penghindaran pajak atau tidak mempunyai tujuan bisnis yang baik (bonafide
business purpose).
Antara satu Negara dengan Negara lainnya dapat saja mempunyai
pandangan yang berbeda tentang skema apa saja yang dapat dikategorikan sebagai
penghindaran pajak yang diperbolehkan atau tidak diperbolehkan. Suatu transaksi
akan disebut sebagai penghindaran pajak yang tidak diperbolehkan apabila
mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
a
b
c
d
Pajak adalah beban bagi perusahaan, sehingga wajar jika tidak satupun
perusahaan(wajib pajak) yang dengan senang hati dan suka rela membayar pajak.
Karena pajak adalah iuran yang sifatnya memaksa, maka negara juga tidak
membutuhkan kerelaan wajib pajak. Yang dibutuhkan negara adalah ketaatan
wajib pajak. Suka maupun tidak suka, rela maupun tidak rela, yang penting bagi
negara adalah perusahaan tersebut telah membayar pajak sesuai dengan ketentuan
yang berlaku. Lain halnya dengan sumbangan, infak maupun zakat, kesadaran dan
kerelaan pembayar diperlukan dalam hal ini.
Penghindaran pajak merupakan suatu praktik yang secara umum
disepakati sebagai suatu tindakan yang tidak dapat diterima dan harus dicegah
serta dilawan. Akan tetapi, kenyataan bahwa penghindaran pajak dilakukan
dengan memanfaatkan celah dalam peraturan perpajakan sehingga secara literal
tidak melanggar hukum yang membuat isu tersebut menjadi isu diskusi yang tak
kunjung usai.
Dalam upaya menghadapi praktik-praktik penghindaran pajak khususnya
yang dilakukan oleh perusahaan multinasional, pada umumnya suatu negara
menerbitkan ketentuan pencegahan penghindaran pajak yang bersifat khusus
(Specific Anti Avoidance Rule/SAAR) yang diatur dalam undang-undang
domestiknya, seperti: controlled foreign company, arms length rule, advance
pricing agreement, dan debt to equity ratio.
Secara umum dikenal dua pendekatan yang dapat dilakukan untuk
memerangi praktik penghindaran pajak menurut Arnold (2008). Yang pertama
adalah pendekatan tanpa menggunakan ketentuan khusus dalam peraturan melalui
judicial general anti avoidance doctrine yang dikembangkan terutama oleh
putusan pengadilan. Yang kedua melalui statutory general anti avoidance rule
yang dicantumkan dalam peraturan perpajakan.
Dalam menafsirkan peraturan terutama sehubungan dengan penghindaran
pajak, dikenal dua pendekatan yang berlawanan. Pertama adalah pendekatan
literal, yang peraturan ditafsirkan berdasarkan apa yang secara eksplisit tercantum
dalam naskah peraturan. Kedua adalah pendekatan purposive, yang dalam
menafsirkan peraturan juga mempertimbangkan latar belakang dari dibuatnya
peraturan tersebut. Di Indonesia, pendekatan pertama sulit diterapkan karena
tertentu
dan
mengawasi
pelaksanaannya
serta
melakukan
Penjelasan Pasal 18
Ayat (1)
Undang-Undang ini memberi wewenang kepada Menteri Keuangan untuk
memberi keputusan tentang besarnya perbandingan antara utang dan modal
perusahaan yang dapat dibenarkan untuk keperluan penghitungan pajak. Dalam
dunia usaha terdapat tingkat perbandingan tertentu yang wajar mengenai besarnya
perbandingan antara utang dan modal (debt to equity ratio). Apabila perbandingan
antara utang dan modal sangat besar melebihi batas-batas kewajaran, pada
umumnya perusahaan tersebut dalam keadaan tidak sehat. Dalam hal demikian,
untuk penghitungan Penghasilan Kena Pajak, Undang-Undang ini menentukan
adanya modal terselubung. Istilah modal di sini menunjuk kepada istilah atau
pengertian ekuitas menurut standar akuntansi, sedangkan yang dimaksud dengan
kewajaran atau kelaziman usaha adalah adat kebiasaan atau praktik
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan yang sehat dalam dunia usaha.
Ayat (2)
Dengan makin berkembangnya ekonomi dan perdagangan internasional sejalan
dengan era globalisasi dapat terjadi bahwa Wajib Pajak dalam negeri menanamkan
modalnya di luar negeri. Untuk mengurangi kemungkinan penghindaran pajak,
terhadap penanaman modal di luar negeri selain pada badan usaha yang menjual
sahamnya di bursa efek, Menteri Keuangan berwenang untuk menentukan saat
diperolehnya dividen. Contoh: PT A dan PT B masing-masing memiliki saham
sebesar 40% dan 20% pada X Ltd. yang bertempat kedudukan di negara Q. Saham
X Ltd. tersebut tidak diperdagangkan di bursa efek. Dalam tahun 2009 X Ltd.
memperoleh laba setelah Pajak sejumlah Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Dalam hal demikian, Menteri Keuangan berwenang menetapkan saat diperolehnya
dividen dan dasar penghitungannya.
Ayat (3)
Maksud diadakannya ketentuan ini adalah untuk mencegah terjadinya
penghindaran pajak yang dapat terjadi karena adanya hubungan istimewa. Apabila
terdapat hubungan istimewa, kemungkinan dapat terjadi penghasilan dilaporkan
kurang dari semestinya ataupun pembebanan biaya melebihi dari yang
harga
transfer
(Advance
Pricing
Agreement/APA)
adalah
kesepakatan antara Wajib Pajak dan Direktur Jenderal Pajak mengenai harga jual
wajar produk yang dihasilkannya kepada pihak-pihak yang mempunyai hubungan
istimewa (related parties) dengannya. Tujuan diadakannya APA adalah untuk
mengurangi terjadinya praktik penyalahgunaan transfer pricing oleh perusahaan
multi nasional. Persetujuan antara Wajib Pajak dan Direktur Jenderal Pajak
tersebut dapat mencakup beberapa hal, antara lain harga jual produk yang
dihasilkan, dan jumlah royalti dan lain-lain, tergantung pada kesepakatan.
Keuntungan dari APA selain memberikan kepastian hukum dan kemudahan
penghitungan pajak, Fiskus tidak perlu melakukan koreksi atas harga jual dan
keuntungan produk yang dijual Wajib Pajak kepada perusahaan dalam grup yang
sama. APA dapat bersifat unilateral, yaitu merupakan kesepakatan antara Direktur
Jenderal Pajak dengan Wajib Pajak atau bilateral, yaitu kesepakatan Direktur
Jenderal Pajak dengan otoritas perpajakan negara lain yang menyangkut Wajib
Pajak yang berada di wilayah yurisdiksinya.
Ayat (3b)
Ketentuan ini dimaksudkan untuk mencegah penghindaran pajak oleh Wajib Pajak
yang melakukan pembelian saham/penyertaan pada suatu perusahaan Wajib Pajak
dalam negeri melalui perusahaan luar negeri yang didirikan khusus untuk tujuan
tersebut (special purpose company).
Ayat (3c)
Contoh: X Ltd. yang didirikan dan berkedudukan di negara A, sebuah negara yang
memberikan perlindungan pajak (tax haven country), memiliki 95% (sembilan
puluh lima persen) saham PT X yang didirikan dan bertempat kedudukan di
Indonesia. X Ltd. ini adalah suatu perusahaan antara (conduit company) yang
didirikan dan dimiliki sepenuhnya oleh Y Co., sebuah perusahaan di negara B,
dengan tujuan sebagai perusahaan antara dalam kepemilikannya atas mayoritas
saham PT X. Apabila Y Co. menjual seluruh kepemilikannya atas saham X Ltd.
kepada PT Z yang merupakan Wajib Pajak dalam negeri, secara legal formal
transaksi di atas merupakan pengalihan saham perusahaan luar negeri oleh Wajib
Pajak luar negeri. Namun, pada hakikatnya transaksi ini merupakan pengalihan
kepemilikan (saham) perseroan Wajib Pajak dalam negeri oleh Wajib Pajak luar
negeri sehingga atas penghasilan dari pengalihan ini terutang Pajak Penghasilan.
Ayat (3d)
Cukup jelas.
Ayat (3e)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Hubungan istimewa di antara Wajib Pajak dapat terjadi karena ketergantungan
atau keterikatan satu dengan yang lain yang disebabkan:
DAFTAR PUSTAKA
Ayuningtyas, Noorina. 2013. Pengaruh Faktor Pendidikan, Faktor Pengalaman
Kerja dan Pelatihan Terhadap Pengetahuan Aparatur Pajak Tentang Tax
Avoidance (Studi Kasus atas Aparatur Pajak pada KPP Pratama Batu),
Online, http://digilibfeb.ub.ac.id/mlg_serial/e-jurnal/0910233104_pass.pdf),
diakses pada 12 Maret 2016.
Zain, Mohammad. 2005. Manajemen Perpajakan. Jakarta: Salemba Empat.
Modul Chartered Accountant Manajemen Perpajakan. 2015.
www.ortax.org