Anda di halaman 1dari 31

Tata Cara Penghitungan PPh 21 Metode Gross Up

Setiap perusahaan yang diwajibkan menghitung, menyetor dan melaporkan PPh Pasal 21
karyawannya. Beda perusahaan beda pula metode yang digunakan dalam menghitung PPh Pasal
21. Pada dasarnya terdapat 3 metode penghitungan PPh Pasal 21 yang dapat di terapkan
perusahaan dalam menghitung PPh 21 Karyawan yaitu:
1.
Net Method yaitu metode pemotongan pajak dimana perusahaan menanggung pajak
karyawannya
2.
Gross Method yaitu metode pemotongan pajak dimana karyawan menanggung sendiri
jumlah pajak penghasilannya.
3.
Gross Up Methode yaitu metode pemotongan pajak dimana perusahaan memberikan
tunjangan pajak yang sama besar dengan jumlah pajak yang dipotong dari karyawan
Seperti yang sudah dijelaskan diatas, bahwa metode gross up dimana jumlah tunjangan pajak dan
jumlah pajak yang harus dibayar sama besar dapat di ilustrasikan sebagai berikut.
Penghasilan
Tunjangan Pajak
Total penghasilan bruto
Pengurang:
- Biaya Jabatan
:
- Biaya Jamsostek :
Total Pengurang Penghasilan
Jumlah Penghasilan Neto
PTKP
PKP
PPh terhutang

=X
= 100
= 100+X

=Y
= 100+XY
=Z
= 100+XYZ
= 100

Dalam Menghitung PPh Pasal 21 tarif yang digunakan adalah tarif progresif berdasarkan pasal
17 UU No 36 Tahun 2008 yaitu:
Bagaimana rumus matematis PPh 21 Gross Up?
Secara matematis untuk menghitung PPh Gross Up tersebut adalah sebagai berikut:
Lapisan 1 : Untuk PKP 0 - 47.500.000
Tunjangan PPh = (PKP setahun - 0) x 5/95 + 0
Lapisan 2 : Untuk PKP 47.500.000 - 217.500.000
Tunjangan PPh = (PKP setahun - 47.500.000) x 15/85 + 2.500.000
Lapisan 3 : Untuk PKP 217.500.000 - 405.000.000
Tunjangan PPh = (PKP setahun - 217.500.000) x 25/75 + 32.500.000
Lapisan 4 : Untuk PKP > 405.000.000
Tunjangan PPh = (PKP setahun - 405.000.000) x 30/70 + 95.000.000
Contoh Kasusnya sebagai berikut:
Muthia Rianty berkerja sebagai dokter dengan gaji per bulan 25jt dengan status kawin TK/0,

JKK & JKM 0,54% dari gaji sedangkan JTH 2% dari gaji. Hitunglah berapa tunjangan pajak
yang harus diberikan per tahun jika PPh 21 dihitung berdasarkan metode gross up?
PKP nya adalah 265.320.000 maka masuk dalam kelompok lapisan 4
Maka PPh 21 yang terhutang adalah
Pembuktian kebenaran
jadi terbukti bahwa tunjangan pajak yang harus diberikan 48.440.000

Gaji

3.000.000,00

Premi Jaminan Kecelakaan Kerja

15.000,00

Premi Jaminan Kematian

9.000,00

Penghasilan bruto

3.024.000,00

Pengurangan
1. Biaya jabatan
5%x3.024.000,00

151.200,00

2. Iuran Pensiun

50.000,00

3. Iuran Jaminan Hari Tua

60.000,00
261.200,00

Penghasilan neto sebulan

2.762.800,00

Penghasilan neto setahun


12x2.762.800,00

33.153.600,00

PTKP
- untuk WP sendiri

24.300.000,00

- tambahan WP kawin

2.025.000,00
26.325.000,00

Penghasilan Kena Pajak setahun

6.828.600,00

Pembulatan

6.828.000,00

PPh terutang
5%x6.828.000,00

341.400,00

PPh Pasal 21 bulan Juli


341.400,00 : 12

28.452,00

Catatan:

Biaya Jabatan adalah biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan yang dapat

dikurangkan dari penghasilan setiap orang yang bekerja sebagai pegawai tetap tanpa memandang mempunyai
jabatan ataupun tidak.
Contoh di atas berlaku apabila pegawai yang bersangkutan sudah memiliki NPWP. Dalam hal pegawai yang
bersangkutan belum memiliki NPWP, maka jumlah PPh Pasal 21 yang harus dipotong pada bulan Juli adalah
sebesar: 120% x Rp28.452,00=Rp 34.140,00
*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi dimana penulis bekerja.

Akuntansi PPh Pasal 21


Posted: 15 October 2014 | Author: Nasikhudin | Filed under: Bangga Bayar Pajak | Tags: akuntansi, akuntansi pajak,pasal
6, pasal 9 UU PPh, pencatatan PPh Pasal 21 |Leave a comment

SETELAH kita bisa membedakan utang pajak, piutang pajak, dan pelunasan pajak sebagaimana telah
kita bahas di sini, sudah sepantasnya kita bertanya-tanya, lalu bagaimana cara menjurnalnya? Berikut
akan coba saya uraikan cara penjurnalan pajak-pajak tersebut berdasarkan jenisnya dengan memberikan
contoh kasus agar mempermudah kita dalam memahaminya. Postingan kali ini saya khususkan
membahas akuntansi pajak untuk PPh Pasal 21.
Sebagaimana kita ketahui, lazimnya PPh Pasal 21 dibayar oleh karyawan melalui mekanisme
pemotongan oleh pemberi kerja. Namun pada prakteknya, kadang pemberi kerja menanggung PPh Pasal
21 tersebut, dan tak jarang juga yang memberikan tunjangan PPh. Berikut saya coba uraikan satu per
satu.
a) PPh Pasal 21 ditanggung sendiri oleh penerima penghasilan
Pada tanggal 25 Oktober 2014, PT GOINGSATAN mencatat pembayaran gaji kepada pada karyawannya.
Jumlah gaji yang dibayarkan kepada seluruh karyawan bulan itu adalah Rp300.000.000,-. PT

GOINGSATAN memotong PPh Pasal 21 sebesar Rp18.750.000,-; Premi BPJS Kesehatan Rp3.750.000,dan Iuran Pensiun Rp7.500.000,-. Sehingga jumlah uang yang dibayarkan kepada karyawan sebesar
Rp270.000.000,- .
Maka jurnalnya adalah:

TANGGAL

25 Oktober 2014

URAIAN

Biaya Gaji

DEBIT

KREDIT

300.000.000,-

Utang PPh Pasal 21

18.750.000,-

Utang Premi BPJS Kesehatan

3.750.000,-

Utang Iuran Pensiun

7.500.000,-

Kas

270.000.000,-

Jurnal pada saat penyetoran pajak dan iuran-iuran lainnya adalah:

TANGGAL

25 Oktober 2014

URAIAN

Utang PPh Pasal 21

DEBIT

18.750.000,-

Utang Premi BPJS Kesehatan

3.750.000,-

Utang Iuran Pensiun

7.500.000,-

Kas

b) PPh Pasal 21 Ditanggung oleh Pemberi Kerja

KREDIT

30.000.000,-

Contohnya sama dengan contoh kasus pada huruf a), namun PPh Pasal 21-nya ditanggung oleh pemberi
kerja. Dalam hal PPh ditanggung oleh pemberi kerja, dan dicatat sebagai beban PPh Pasal 21, beban
tersebut harus dikoreksi positif karena tidak diperkenankan untuk dibebankan sebagaimana diatur oleh
UU PPh.
Ayat jurnal pada saat pembayaran gaji:

TANGGAL

25 Oktober 2014

URAIAN

Biaya Gaji

DEBIT

KREDIT

300.000.000,-

Beban PPh Pasal 21

18.750.000,-

Utang PPh Pasal 21

18.750.000,-

Utang Premi BPJS Kesehatan

3.750.000,-

Utang Iuran Pensiun

7.500.000,-

Kas

288.750.000,-

Ayat jurnal pada saat penyetoran pajak dan iuran-iuran lainnya:

TANGGAL

25 Oktober 2014

URAIAN

Utang PPh Pasal 21

DEBIT

18.750.000,-

Utang Premi BPJS Kesehatan

3.750.000,-

Utang Iuran Pensiun

7.500.000,-

Kas

KREDIT

30.000.000,-

c) PPh Pasal 21 diberikan Tunjangan oleh Pemberi Kerja Tidak di-Gross Up


Dalam hal kepada pegawai diberikan tunjangan PPh Pasal 21, maka tunjangan tersebut merupakan
tambahan penghasilan yang juga harus dipotong PPh Pasal 21. Dalam memberikan tunjangan PPh Pasal
21 dikenal istilah di-gross up dan tidak di-gross up. Sebenarnya UU PPh, PP No 94 tahun 2010 dan PER31/PJ/2012 tidak mengenal istilah gross up. Sehingga kita tidak akan menemukan contoh
perhitungannya di lampiran PER-31/PJ/2012. Namun anehnya, seolah-olah direstui, perhitungan
tunjangan PPh Pasal 21 secara gross up justru difasilitasi di e-SPT PPh Pasal 21 tahun 2014, yaitu
melalui e-SPT versi 2.0 ke atas. Di sana ada fitur gross up untuk menghitung agar tunjangan PPh Pasal
21 yang diberikan ke penerima penghasilan sama dengan besarnya PPh Pasal 21 terutang.
Untuk PPh Pasal 21 yang diberikan tunjangan namun tidak di gross up, berikut saya ilustrasikan dengan
contoh:
PT KRISNALDI BERJAYA melakukan pembayaran gaji kepada para karyawan bulan Oktober pada
tanggal 25 Oktober 2014. Gaji yang dibayarkan sebesar Rp300.000.000,- perusahaan memberikan
tunjangan sebesar Rp11.250.000,-. Perusahaan memotong PPh Pasal 21 sebesar Rp 27.000.000,-.
premi BPJS kesehatan Rp3.750.000,- dan iuran pensiun Rp7.500.000,- maka jurnalnya adalah:
Ayat jurnal pada saat pembayaran gaji:

TANGGAL

25 Oktober 2014

URAIAN

Biaya Gaji

Beban PPh Pasal 21

Utang PPh Pasal 21

DEBIT

KREDIT

300.000.000,-

11.250.000,-

27.000.000,-

Utang Premi BPJS Kesehatan

3.750.000,-

Utang Iuran Pensiun

7.500.000,-

Kas

Ayat jurnal pada saat penyetoran pajak dan iuran-iuran lainnya:

273.000.000,-

TANGGAL

25 Oktober 2014

URAIAN

DEBIT

Utang PPh Pasal 21

KREDIT

27.000.000,-

Utang Premi BPJS Kesehatan

3.750.000,-

Utang Iuran Pensiun

7.500.000,-

Kas

38.250.000,-

d) PPh Pasal 21 Diberikan Tunjangan Dengan di-Gross Up


Pada saat diberikan tunjangan pajak yang dihitung secara gross up, sebagaimana telah kita bahas di
atas, artinya jumlah pajak yang akan terutang per karyawan harus sama dengan besarnya
tunjangan PPh Pasal 21. Secara umum rumus untuk menghitung tunjangan PPh Pasal 21 dengan cara
di-gross up adalah:

NO

LAPISAN

PENGHASILAN KENA

RUMUS GROSS UP

PAJAK

Lapisan 1

Rp0 Rp47.500.000

(PKP setahun 0) x 5/95 + 0

Lapisan 2

Rp47.500.000

(PKP Setahun Rp47.500.000) x 15/85 +

Rp217.500.000

Rp2.500.000

Rp217.500.000

(PKP setahun Rp217.500.000) x 25/75 +

Rp405.000.000

Rp32.500.000

>Rp 405.000.000

(PKP setahun Rp405.000.000) x 30/70 +

Lapisan 3

Lapisan 4

Rp95.000.000

Melanjutkan contoh pada huruf c), apabila perusahaan membebankan biaya gaji sebesar
Rp300.000.000,-, maka besarnya tunjangan PPh Pasal 21 dihitung dengan:

(Rp300.000.000,- - Rp217.500.000,-) x 25/75 + Rp 32.500.000,= Rp60.000.000,Mari kita uji rumus tersebut


Penghasilan Kena Pajak = Rp300.000.000,- + Rp60.000.000,=Rp360.000.000,PPh Pasal 21 terutangnya adalah:
5% x Rp50.000.000,- = Rp2.500.000,15% x Rp200.000.000,- = Rp30.000.000,25% x Rp110.000.000,- = Rp27.500.000,Jumlah Rp60.000.000,Hasil pengujian terhadap rumus tersebut menunjukkan bahwa besarnya tunjangan pajak sama dengan
besarnya PPh terutang. Sehingga rumus sudah benar.
Ayat jurnal pada saat pembayaran gaji adalah:

TANGGAL

25 Oktober 2014

URAIAN

Biaya Gaji

Utang PPh Pasal 21

DEBIT

KREDIT

360.000.000,-

60.000.000,-

Utang Premi BPJS Kesehatan

3.750.000,-

Utang Iuran Pensiun

7.500.000,-

Kas

288.750.000,-

Ayat jurnal pada saat penyetoran pajak dan iuran-iuran lainnya:

TANGGAL

25 Oktober 2014

URAIAN

Utang PPh Pasal 21

DEBIT

KREDIT

60.000.000,-

Utang Premi BPJS Kesehatan

3.750.000,-

Utang Iuran Pensiun

7.500.000,-

Kas

71.250.000,-

Seri PPh - Pajak Penghasilan Atas Jasa Konstruksi


Rabu, 27 Juni 2012 - 11:57
Pengertian
1.

Jasa Konstruksi adalah layanan jasa konsultansi perencanaan pekerjaan konstruksi, layanan jasa
pelaksanaan pekerjaan konstruksi, dan layanan jasa konsultansi pengawasan konstruksi;

2.

Pekerjaan Konstruksi adalah keseluruhan atau sebagian rangkaian kegiatan perencanaan dan/atau
pelaksanaan beserta pengawasan yang mencakup pekerjaan arsitektural, sipil, mekanikal, elektrikal, dan tata
lingkungan masingmasing beserta kelengkapannya, untuk mewujudkan suatu bangunan atau bentuk fisik lain.

3.

Perencanaan Konstruksi adalah pemberian jasa oleh orang pribadi atau badan yang dinyatakan ahli yang
profesional di bidang perencanaan jasa konstruksi yang mampu mewujudkan pekerjaan dalam bentuk dokumen
perencanaan bangunan fisik lain.

4.

Pelaksanaan Konstruksi adalah pemberian jasa oleh orang pribadi atau badan yang dinyatakan ahli yang
profesional di bidang pelaksanaan jasa konstruksi yang mampu menyelenggarakan kegiatannya untuk
mewujudkan suatu hasil perencanaan menjadi bentuk bangunan atau bentuk fisik lain, termasuk di dalamnya
pekerjaan konstruksi terintegrasi yaitu penggabungan fungsi layanan dalam model penggabungan

perencanaan, pengadaan, dan pembangunan (engineering, procurement and construction) serta model
penggabungan perencanaan dan pembangunan (design and build).
5.

Pengawasan Konstruksi adalah pemberian jasa oleh orang pribadi atau badan yang dinyatakan ahli yang
profesional di bidang pengawasan jasa konstruksi, yang mampu melaksanakan pekerjaan pengawasan sejak
awal pelaksanaan pekerjaan konstruksi sampai selesai dan diserahterimakan;

6.

Pengguna Jasa adalah orang pribadi atau badan termasuk bentuk usaha tetap yang memerlukan layanan
jasa konstruksi;

7.

Penyedia jasa adalah orang perseorangan atau badan termasuk bentuk usaha tetap, yang kegiatan
usahanya menyediakan layanan jasa kontruksi baik sebagai perencana konstruksi, pelaksana konstruksi, dan
pengawas konstruksi maupun sub-subnya;

8.

Nilai Kontrak Jasa Konstruksi adalah nilai yang tercantum dalam suatu kontrak jasa konstruksi secara
keseluruhan;

Subjek dan Objek Pajak


Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap yang menerima penghasilan dari usaha di bidang jasa konstruksi.
Tarif
Wajib Pajak dalam negeri dan Bentuk Usaha Tetap (BUT) yang menerima penghasilan dari jasa konstruksi dikenakan
Pajak Penghasilan sebagai berikut :
Memiliki Klasifikasi Usaha

Bentuk Pekerjaan

Klasifikasi Usaha

Tarif

Sifat

Kecil

2% (*)

Final

Menengah dan Besar

3% (*)

Final

Kecil, Menengah dan Besar

4% (*)

Final

Pelaksanaan Konstruksi

Perencanaan dan Pengawasan

Tidak Memiliki Klasifikasi Usaha

Bentuk Pekerjaan

Tarif

Sifat

Pelaksanaan Konstruksi

4% (*)

Final

Bentuk Pekerjaan

Tarif

Sifat

Perencanaan dan Pengawasan

6% (*)

Final

(*) dari jumlah/penerimaan pembayaran tidak termasuk PPN


Ketentuan ini berlaku 1 Agustus 2008, dalam hal :
1.

Kontrak yg ditandatangani sebelum 1 Agustus 2008 dan pembayaran dari kontrak atau bagian dari kontrak
tersebut dilakukan s.d tgl 31 Desember 2008 tunduk pada ketentuan lama;

2.

Kontrak yg ditandatangani sebelum 1 Agustus 2008 dan pembayaran dari kontrak atau bagian dari kontrak
tersebut setelah tgl 31 Desember 2008, maka :
a.

Berita acara serah terima penyelesaian pekerjaan ditandatangani penyedia jasa s.d 31 Desember
2008, maka tunduk pada ketentuan lama;

b.

Berita acara serah terima penyelesaian pekerjaan ditandatangani penyedia jasa setelah 31
Desember 2008, maka tunduk pada ketentuan baru.

Tata Cara Pemotongan


1.

Bila pengguna jasa adalah badan pemerintah, subjek pajak badan dalam negeri, bentuk usaha tetap atau
Wajib Pajak Orang Pribadi dalam negeri yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak, dipotong oleh pengguna
jasa pada saat pembayaran uang muka dan termin.

2.

Bila pengguna jasa adalah selain huruf a, disetor sendiri oleh penerima penghasilan pada saat pembayaran
uang muka dan termin.

Tata Cara Pembayaran dan Pelaporan


1.

Dalam hal Pajak Penghasilan yang terutang melalui pemotongan, maka Pembayaran atau penyetoran pajak
disetor ke bank persepsi atau kantor pos, paling lama tanggal 10 bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir;

2.

Dalam hal Pajak Penghasilan terutang harus disetor sendiri oleh yang penyedia jasa, maka wajib menyetor
ke bank persepsi atau kantor pos, paling lama tanggal 15 bulan berikutnya setelah masa masa pajak berakhir;

3.

Wajib Pajak wajib menyampaikan laporan pemotongan dan atau penyetoran pajaknya melalui Surat
Pemberitahuan Masa ke Kantor Pelayan Pajak atau KP2KP, paling lama 20 hari setelah masa pajak berakhir.
Dalam hal jatuh tempo penyetoran atau batas akhir pelaporan pajak bertepatan dengan hari libur termasuk hari
sabtu atau hari libur nasional, penyetoran atau pelaporan dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya.

Seri PPh - Pajak Penghasilan Pasal 15


Jumat, 19 Oktober 2012 - 15:25
Ketentuan ini terkait dengan Norma Perhitungan Khusus untuk menghitung penghasilan neto dari Wajib Pajak
tertentu yang tidak dapat dihitung berdasarkan ketentuan Pasal 16 ayat (1) atau ayat (3) UU PPh dan ditetapkan
Menteri keuangan.
Ketentuan ini mengatur tentang Norma Perhitungan Khusus untuk golongan Wajib Pajak tertentu, antara lain
perusahaan pelayaran atau penerbangan internasional, perusahaan asuransi luar negeri, perusahaan pengeboran
minyak, gas dan panas bumi, perusahaan dagang asing, perusahaan yang melakukan investasi dalam bentuk
bangunan-guna-serah ("build, operate, and transfer")
Untuk menghindari kesukaran dalam menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi golongan Wajib Pajak
tertentu tersebut, berdasarkan pertimbangan praktis, atau sesuai dengan kelaziman pengenaan pajak dalam bidangbidang usaha tersebut, Menteri Keuangan diberi wewenang untuk menetapkan Norma Perhitungan Khusus guna
menghitung besarnya penghasilan neto dari Wajib Pajak tertentu tersebut.
Tabel Tarif PPh Pasal 15

N
o

Uraian

Tarif x DPP

Penyetoran & Pelaporan

Dasar Hukum

Disetor oleh pemotong paling


lambat tanggal 10 bulan
berikutnya.

Charter
Penerbangan
Dalam Negeri

1,8%x Peredaran
Bruto yang diterima
berdasarkan perjanjian
charter.

TIDAK FINAL

Setor dengan menggunakan SSP,


dengan:
KAP: 411129,

KJS: 101
Dilaporkan dalam SPT Masa PPh
Pasal 15, dilaporkan paling lambat
tanggal 20 bulan berikutnya.

KMK
475/KMK.04/19
96
SE
35/PJ.4/1996

Disetor oleh pemotong: disetor


paling lambat tanggal 10 bulan
berikutnya.
Disetor sendiri:disetor paling
lambat tanggal 15 bulan
berikutnya

Perusahaan
Pelayaran
Dalam Negeri

1,2% x Peredaran bruto

Setor dengan menggunakan SSP,


dengan:

FINAL

KAP: 411128

KMK
416/KMK.04/19
96
SE
29/PJ.4/1996

KJS: 410
Dilaporkan dalam SPT Masa PPh
Pasal 15, dilaporkan paling
lambattanggal 20 bulan
berikutnya.

Disetor oleh pemotong:disetor


paling lambat tanggal 10 bulan
berikutnya.

Perusahaan
pelayaran dan
penerbangan
Luar Negeri

Disetor sendiri:disetor paling


lambat tanggal 15 bulan
berikutnya
2,64% x Peredaran Bruto
FINAL

Setor dengan menggunakan SSP,


dengan:

KAP: 411128,
KJS: 411
Dilaporkan dalam SPT Masa PPh
Pasal 15, dilaporkan paling lambat
tanggal 20 bulan berikutnya.

KMK
417/KMK.04/19
96
SE
32/PJ.4/1996

Untuk negara yang tidak


ada P3B dengan
Indonesia:

WPLN yang
mempunyai
kantor
perwakilan
dagang di
Indonesia

0,44% x nilai ekspor


bruto

Disetor sendiri paling


lambattanggal 15 bulan
berikutnya setelah bulan diterima
penghasilan.

Penghasilan neto= 1% x
nilai ekspor bruto

Disetor dengan menggunakan SSP


dengan:

Untuk negara yang


mempunyai P3B dengan
Indonesia:

KAP: 411128

disesuaikan dengan tarif


P3B, untuk contoh
penghitungan lihat di SE
2/PJ.03/2008.
FINAL

WP yang
melakukan
kegiatan usaha
jasa maklon
(Contract
Manufacturing)
Internasional di
bidang
produksi
mainan anakanak.

7% x tarif tertinggi Pasal


17 ayat (1) huruf b UU
PPh x total biaya
pembuatan atau perakitan
barang tidak termasuk
biaya pemakaian bahan
baku (direct materials).
Didalam SE
02/PJ.31/2003 disebutkan:
7% x 30% x total biaya
pembuatan atau perakitan
barang tidak termasuk
biaya pemakaian bahan

KJS: 413
Dilaporkan paling lambat tanggal
20bulan berikutnya dengan
menggunakan Formulir dalam
Lampiran I KEP
667/PJ./2001 dan dilampiri SSP
lembar ke-3.

Disetor dengan menggunakan SSP


PPh Final paling lambat tgl 15

bulan berikutnya.
KAP: 411128
KJS: 499 (krn tdk ada disebutkan
secara spesifik ttg jasa maklon ini)
Dilaporkan paling lambat tgl 20
bulan berikutnya. Tetapi tidak ada
formulir khusus utk pelaporannya.

KMK
634/KMK.04/19
94, berlaku
mulai 1 Januari
1995
KEP
667/PJ/2001,ber
laku mulai 29
Oktober 2001
SE
2/PJ.03/2008,
ditetapkan tgl
31 Juli 2008.

KMK
543/KMK.03/20
02
SE
02/PJ.31/2003

baku (direct materials).


FINAL
berlaku sejak 1 Januari
2003

PAJAK PENGHASILAN FINAL PASAL 15


PPh Pasal 15 atas Charter Penerbangan Dalam Negeri
1.

Objek Pajak
Semua imbalan atau nilai pengganti berupa uang atau nilai uang yang diterima atau diperoleh
Wajib Pajak berdasarkan perjanjian charter dari pengangkutan orang dan/atau barang yang
dimuat dari satu pelabuhan ke pelabuhan lain di Indonesia dan/atau dari pelabuhan di
Indonesia ke pelabuhan di luar negeri.

Wajib Pajak perusahaan penerbangan dalam negeri adalah WP perusahaan penerbangan yang
bertempat kedudukan di Indonesia (SPDN Badan) yang memperoleh penghasilan berdasarkan
perjanjian charter.

Yang dimaksud dengan perjanjian charter meliputi semua bentuk charter, termasuk sewa
ruangan pesawat udara baik untuk orang dan/atau barang ("space charter").

2.

Tarif
PPh terutang = 30% x norma Penghitungan Penghasilan Netto.
Norma Penghitungan Penghasilan Netto = 6% x Peredaran Bruto
Sehingga tariff efektif PPh Terutang = 1,8 % x Peredaran Bruto (1,8% berasal dari 6% x 30%)
Pelunasan PPh sebesar 1,8% ini merupakan pembayaran PPh Pasal 23 yang dapat dikreditkan
terhadap PPh yang terutang dalam SPT Tahunan PPh untuk tahun pajak yang bersangkutan.

3.

Pemotong
Pemotong yaitu pencharter yang merupakan Badan pemerintah, Subjek Pajak Badan Dalam
Negeri, Penyelenggara Kegiatan, BUT, atau Perwakilan Perusahaan Luar Negeri Lainnya.

PPh Pasal 15 atas Pelayaran Dalam Negeri

1.

Objek Pajak
WP perusahaan pelayaran dalam negeri dikenakan PPh atas seluruh penghasilan yang
diterima atau diperolehnya baik dari Indonesia maupun dari luar Indonesia.
Oleh karena itu penghasilan yang menjadi Objek pengenaan PPh meliputi Penghasilan yang
diterima atau diperoleh WP dari pengangkutan orang dan/atau barang termasuk penyewaan
kapal dari:

a.

Pelabuhan di Indonesia ke pelabuhan lain di Indonesia,

b.

Pelabuhan di Indonesia ke luar pelabuhan Indonesia,

c.

Pelabuhan di luar Indonesia ke pelabuhan di Indonesia,

d.

pelabuhan di luar Indonesia ke pelabuhan lain di luar Indonesia

2.

Tarif
PPh terutang = 30 % x Norma Penghitungan Penghasilan Netto.
Norma Penghitungan Penghasilan Netto = 4% x Peredaran Bruto
Sehingga tariff efektif PPh Terutang =
30% x 4% x Peredaran bruto = 1,2% x Peredaran Bruto dan bersifat final.
Peredaran bruto adalah semua imbalan atau nilai pengganti berupa uang atau nilai uang yang
diterima atau diperoleh WP perusahaan pelayaran dalam negeri dari pengangkutan orang
dan/atau barang yang dimuat dari satu pelabuhan ke pelabuhan lain di Indonesia dan/atau dari
pelabuhan di Indonesia ke pelabuhan luar negeri dan/atau sebaliknya.

3.

Pemotong
Dalam hal penghasilan diperoleh berdasarkan perjanjian persewaan atau charter dengan
pemotong pajak : pihak yang membayar atau terutang hasil tersebut wajib melakukan
pemotongan pada saat pembayaran atau terutang.

Dalam hal penghasilan diperoleh bukan berdasarkan perjanjian persewaan atau charter
dengan pemotong pajak,maka Wajib Pajak perusahaan pelayaran dalam negeri wajib menyetor
sendiri PPh yang terutang.

Dalam hal Pengguna jasa adalah bukan pemotong pajak, maka Wajib Pajak perusahaan
pelayaran dalam negeri wajib menyetor sendiri PPh yang terutang.

Pasal 15 atas Pelayaran dan/atau Penerbangan Luar Negeri


1.

Objek Pajak
Objek PPh-nya adalah Semua nilai pengganti atau imbalan berupa uang atau nilai uang dari
pengangkutan orang dan/atau barang yang dimuat dari suatu pelabuhan ke pelabuhan lain di
Indonesia dan/atau dari pelabuhan di Indonesia ke pelabuhan di luar negeri.

Dengan demikian yang tidak termasuk penggantian atau imbalan yang diterima atau diperoleh
perusahaan pelayaran dan/atau penerbangan luar negeri tersebut adalah yang dari
pengangkutan orang dan/atau barang dari pelabuhan di luar negeri ke pelabuhan di Indonesia.

2.

Tarif
Penghasilan neto bagi Wajib Pajak Perusahaan Pelayaran dan/atau Penerbangan Luar Negeri
ditetapkan sebesar 6% (enam persen) dari peredaran bruto.

Pengertian peredaran bruto di sini adalah semua imbalan atau nilai pengganti berupa uang atau
nilai uang yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak Perusahaan Pelayaran dan/atau
Penerbangan luar negeri dari pengangkutan orang dan/atau barang yang dimuat dari satu
pelabuhan ke pelabuhan lain di Indonesia dan/atau dari pelabuhan di Indonesia ke pelabuhan di
luar negeri.

Besarnya Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak Perusahaan Pelayaran dan/atau


Penerbangan luar negeri adalah sebesar 2,64% (dua koma enam puluh empat persen)
dari peredaran bruto dan bersifat final.

3.

Pemotong
Dalam hal penghasilan diperoleh berdasarkan perjanjian charter, maka pihak yang
membayar/mencharter wajib melakukan pemotongan pada saat pembayaran atau terutang.

Penghasilan selain berdasarkan perjanjian charter, maka Wajib Pajak Perusahaan Pelayaran
dan/atau Penerbangan luar Negeri Wajib menyetor sendiri.

PPh Pasal 15 atas Kantor Perwakilan Dagang Asing (representative


office/liaison office) di Indonesia
1.

Subjek Pajak
Wajib Pajak Luar Negeri yang mempunyai kantor perwakilan dagang (representative
office/liaison office), selanjutnya disingkat KPD, di Indonesia yang berasal dari negara yang
belum mempunyai Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) dengan Indonesia.

2.

Objek Pajak
nilai ekspor bruto yaitu semua nilai pengganti atau imbalan yang diterima atau diperoleh Wajib
Pajak luar negeri yang mempunyai kantor perwakilan dagang di Indonesia dari penyerahan
barang kepada orang pribadi atau badan yang berada atau bertempat kedudukan di Indonesia.

3.

Tarif
Penghasilan neto = 1% dari nilai ekspor bruto
Pajak Penghasilan Terutang sebesar 0,44% dari nilai ekspor bruto dan bersifat final.
Khusus untuk Kantor Perwakilan Dagang (KPD) yang berasal dari negara mitra P3B
maka besarnya tarif pajak yang terutang disesuaikan dengan tarif BPT (Branch Proftit Tax) dari
suatu Bentuk Usaha Tetap tersebut sebagaimana dimaksud dalam P3B terkait.

4.

Pemotong
Pembayaran dilakukan dengan mekanisme penyetoran sendiri oleh kantor perwakilan dagang
selambat-lambatnya tanggal 15 bulan berikut setelah bulan diterima atau diperolehnya
penghasilan.

PPh Pasal 15 atas WP yang melakukan kegiatan usaha jasa maklon


internasional di bidang produksi mainan anak-anak

1.

2.

Subjek Pajak
Wajib Pajak yang melakukan kegiatan usaha jasa maklon (contract
manufacturing) internasional adalah Wajib Pajak badan dalam negeri yang melakukan jasa
pembuatan atau perakitan barang berupa produk mainan anak-anak, dengan bahan-bahan,
spesifikasi, petunjuk teknis dan penentuan imbalan jasa dari pihak pemesan yang
berkedudukan di luar negeri dan mempunyai hubungan istimewa dengan Wajib Pajak.

Objek Pajak
Jumlah seluruh biaya pembuatan atau perakitan barang tidak termasuk biaya pemakaian bahan
baku (direct materials).
Pengertian biaya pembuatan atau perakitan barang mencakup seluruh pengeluaran yang
merupakan biaya pabrikasi langsung (selain bahan baku milik prinsipal) dan tidak langsung
serta biaya umum dan administrasi sesuai dengan pembukuan komersial Wajib Pajak;

3.

Tarif (Final)
penghasilan neto sebesar 7% (tujuh persen) dari jumlah seluruh biaya pembuatan atau
perakitan barang tidak termasuk biaya pemakaian bahan baku (direct materials).

PPh terutang sebesar 2,1% (dua koma satu persen) dari jumlah seluruh biaya pembuatan atau
perakitan barang tidak termasuk biaya pemakaian bahan baku (direct materials)

Ketentuan tarif norma sebesar 7% (tujuh persen) berlaku sepanjang Wajib Pajak tidak
mengadakan Perjanjian Penentuan Harga Transfer (Advance Pricing Agreement) dengan
Direktur Jenderal Pajak.

Pengertian biaya pembuatan atau perakitan barang mencakup seluruh pengeluaran yang
merupakan biaya pabrikasi langsung (selain bahan baku milik prinsipal) dan tidak langsung
serta biaya umum dan administrasi sesuai dengan pembukuan komersial Wajib Pajak.

4.

Pemotong
PPh terutang wajib disetor sendiri oleh Wajib Pajak dengan cara pembayaran setiap bulan
paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir.

Besarnya pembayaran PPh setiap bulan dihitung berdasarkan jumlah realisasi seluruh biaya
pembuatan atau perakitan barang setiap bulannya tidak termasuk biaya pemakaian bahan buku
(direct material).

Selasa, 17 April 2012 - 12:41


CONTOH PENGHITUNGAN ANGSURAN PPh PASAL 25 WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI
Si A adalah Pengusaha Warung Makan di Jogjakarta yang memiliki penjualan pada tahun 2010 sebesar
Rp180.000.000,-. Si A statusnya kawin dan mempunyai 2 (dua) orang anak. Si A menyelenggarakan pencatatan
untuk menghitung pajaknya. Besarnya Pajak Penghasilan Pasal 25 yang harus dibayar sebagai angsuran dalam
tahun berjalan dihitung sebagai berikut:

Jumlah peredaran setahun Rp180.000.000,Presentase penghasilan norma (lihat daftar presentase norma) = 20%
Penghasilan neto setahun = 20% x Rp 180.000.000,- = Rp 3.000.000,Penghasilan Kena Pajak = penghasilan neto dikurangi PTKP Rp 36.000.000,- Rp 19.800.000,- = Rp
6.200.000,Pajak Penghasilan yang terutang : 5% x Rp 6.200.000,- = Rp 310.000,PPh Pasal 25 (angsuran) yang harus dibayar si A setiap bulan: Rp 310.000,- : 12 = Rp 25.833,-

CONTOH PENGHITUNGAN ANGSURAN PPh PASAL 25 WAJIB PAJAK BADAN


Koperasi Unit Desa A bergerak dibidang simpan pinjam. Pada tahun 2010 memiliki penerimaan bruto dalam setahun
sebesar Rp 500.000.000,- dan seluruh biaya-biaya yang berkaitan dengan usaha (sesuai ketentuan perpajakan)
sebesar Rp 4.250.000.000,-.

Dengan demikian, penghasilan netonya adalah : Rp 500.000.000,- Rp 425.000.000,- = Rp 75.000.000,Pajak Penghasilan yang terutang : Rp75.000.000,- x 25% x 50% = Rp9.375.000,Tarif 50% di atas dikarenakan Koperasi Unit Desa A mendapat fasilitas.
PPh Pasal 25 (angsuran) yang harus dibayar KUD A setiap bulan: Rp9.375.000,- : 12 = Rp781.250,-

CONTOH PENGHITUNGAN PELUNASAN PPh PASAL 29 WAJIB ORANG PRIBADI


Si A adalah pengusaha restoran (UMKM) di Jakarta yang tergolong sebagai Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha
Tertentu dan menggunakan pencatatan dalam penghitungan besarnya PPh.

Jumlah peredaran usaha (omzet) selama setahun adalah Rp 510.500.000,PPh Pasal 25 (WP OPPT) yang sudah dilunasi (0,75 x Rp 510.500.000,-) adalah Rp 3.828.750,Setelah dihitung PPh yang terutang selama setahun adalah Rp 10.975.750,PPh Pasal 29 yang harus dilunasi oleh si A adalah sebesar : Rp 10.975.750,- Rp 3.828.750,- = Rp
7.147.000,-

CONTOH PENGHITUNGAN PELUNASAN PPh PASAL 29 WAJIB PAJAK BADAN


Koperasi Unit Desa A, setelah menghitung PPh terutang tahun pajak 2010 diketahui PPh terutang setahun sebesar
Rp 12.000.000,-.

Angsuran PPh Pasal 25 selama tahun 2010 (12 bulan) sebesar : Rp 781.250,- x 12 = Rp 9.375.000,PPh Pasal 29 yang harus dilunasi oleh KUD A adalah sebesar : PPh yang terutang angsuran PPh Pasal
25 Rp12.000.000, Rp9.375.000,- = Rp2.625.000,00
CONTOH PEMOTONGAN DAN PENGHITUNGAN PPh PASAL 21 ATAS GAJI KARYAWAN
Polan (tidak kawin) yang telah memiliki NPWP adalah karyawan Koperasi, menerima gaji Rp 1.700.000,-/bulan,
tunjangan beras Rp 300.000,-/bulan. Penghitungan PPh pasal 21 adalah sebagai berikut:

Penghasilan bruto : (1.700.000,- + 300.000,-) = Rp 2.000.000,Biaya jabatan : (5% x Rp 2.000.000) = Rp 100.000,Iuran pensiun : = Rp 100.000,Penghasilan neto sebulan = Rp 1.800.000,Penghasilan neto setahun : (12 x Rp 1.800.000,-) = Rp 21.600.000,Penghasilan Tidak Kena Pajak(TK/-) = Rp 15.840.000,Penghasilan Kena Pajak = Rp 5.760.000,PPh Pasal 21 setahun : 5% x Rp5.760.000,- = Rp 288.000,PPh Pasal 21 sebulan : Rp288.000,- : 12 = Rp 24.000,CONTOH PEMOTONGAN DAN PENGHITUNGAN PPh PASAL 21 ATAS GAJI KARYAWAN
Polan (kawin tanpa tanggungan) yang telah memiliki NPWP adalah karyawan Tuan A (UMKM) yang telah ditunjuk
KPP sebagai pemotong PPh Pasal 21 , menerima gaji Rp 2.000.000,-/bulan, Penghitungan PPh pasal 21 adalah
sebagai berikut:

Penghasilan bruto : (2.000.000,- ) = Rp 2.000.000,Biaya jabatan : (5% x Rp 2.000.000) = Rp 100.000,Iuran pensiun : = Rp 100.000,Penghasilan neto sebulan = Rp 1.800.000,Penghasilan neto setahun : (12 x Rp 1.800.000,-) = Rp 21.600.000,Penghasilan Tidak Kena Pajak(TK/-) = Rp 17.160.000,Penghasilan Kena Pajak = Rp 4.440.000,PPh Pasal 21 setahun : 5% x Rp 4.440.000,- = Rp 222.000,PPh Pasal 21 sebulan : Rp 222.000,- : 12 = Rp 18.500,CONTOH PEMOTONGAN DAN PENGHITUNGAN PPh PASAL 22 ATAS PEMBELIAN BAHAN-BAHAN UNTUK
KEPERLUAN INDUSTRI
Polin adalah UMKM perseorangan (memiliki NPWP) yang telah ditunjuk KPP sebagai pemungut PPh Pasal 22,
membayar Rp10.000.000,- untuk pembelian kayu dari pedagang pengumpul. Besarnya PPh Pasal 22 yang dipungut
oleh Polin : Rp10.000.000,- x 0,25 = Rp25.000,CONTOH PEMUNGUTAN DAN PENGHITUNGAN PPh PASAL 22 ATAS IMPOR BARANG
CV Polan (badan memiliki NPWP) melakukan import barang dengan nilai impor Rp50.000.000,-. CV Polan tidak
mempunyai Angka Pengenal Impor (API). Besarnya PPh Pasal 22 yang harus disetor oleh CV Polan :
Rp50.000.000,- x 7,5% = Rp3.750.000,-

CONTOH PEMOTONGAN DAN PENGHITUNGAN PPh PASAL 23 ATAS JASA TERTENTU (SERVICE MESIN
ATAU KOMPUTER)
PT Polan (badan memiliki NPWP) membayar ke perusahaan yang bergerak di bidang service komputer dengan nilai
jasa Rp5.000.000,-. Besarnya PPh Pasal 23 yang harus dipotong PT Polan : Rp5.000.000,- x 2% = Rp100.000,CONTOH PEMOTONGAN DAN PENGHITUNGAN PPh PASAL 23 ATAS JASA TERTENTU (SERVICE MESIN
ATAU KOMPUTER)
PT Polan (badan memiliki NPWP) menerima penghasilan dari PT Delta karena memberikan jasa cleaning service
dengan nilai kontrak Rp50.000.000,-. Besarnya penghasilan yang diterima PT Polan tersebut yang harus dipotong
PPh Pasal 23 oleh PT Delta adalah sebagai berikut : Rp50.000.000,- x 2% = Rp1.000.000,CONTOH PEMOTONGAN DAN PENGHITUNGAN PPh PASAL 26 ATAS PENGHASILAN TERTENTU (ROYALTI)
PT Polan (badan) membayar royalty ke perusahaan yang berada di luar negeri dengan jumlah Rp100.000.000,-.
Besarnya PPh Pasal 26 yang harus dipotong PT Polan : Rp100.000.000,- x 20% = Rp20.000.000,CONTOH PEMOTONGAN DAN PENGHITUNGAN PPh PASAL 4 AYAT (2) ATAS PENGHASILAN DARI
PERSEWAAN TANAH DAN ATAU BANGUNAN
CV Polan (badan memiliki NPWP) membayar kepada Tuan A sebesar Rp10.000.000,-. atas sewa toko. Besarnya
PPh Pasal 4 ayat (2) yang harus dipotong CV Polan : Rp10.000.000,- x 10% = Rp1.000.000,CONTOH PEMOTONGAN DAN PENGHITUNGAN PPh PASAL 4 AYAT (2) ATAS PENGHASILAN DARI USAHA
JASA KONSTRUKSI
CV Polan (badan memiliki NPWP) menerima penghasilan atas jasa kosntruksi yang diserahkannya ke Dinas
Pendidikan kota A sebesar Rp500.000.000,-. Besarnya PPh Pasal 4 ayat (2) yang harus dipotong Dinas Pendidikan
Kota A atas penghasilan yang diterima CV Polan : Rp500.000.000,- x 2% = Rp10.000.000,CONTOH PENYETORAN SENDIRI DAN PENGHITUNGAN PPh PASAL 4 AYAT (2) ATAS PENGHASILAN DARI
PENGALIHAN HAK ATAS TANAH DAN ATAU BANGUNAN
Tuan Bonar (perseorangan memiliki NPWP) menerima penghasilan atas penjualahan tanah berikut bangunannya
sebesar Rp1.000.000.000,-. Besarnya PPh Pasal 4 ayat (2) yang harus disetor sendiri oleh Tuan B atas penghasilan
yang diterimanya : Rp1.000.000.000,- x 5% = Rp50.000.000,CONTOH PEMOTONGAN DAN PENGHITUNGAN PPh PASAL 15 ATAS PENGHASILAN SEWA KAPAL MILIK
PERUSAHAAN PELAYARAN DALAM NEGERI
CV Polan (badan memiliki NPWP) membayar kepada PT C yang merupakan perushaan pelayaran sebesar
Rp50.000.000,-. Atas sewa kapal (charter). Besarnya PPh Pasal 15 yang harus dipotong oleh CV Polan
:Rp50.000.000,- x 1,2% = Rp600.000,CONTOH PENYETORAN SENDIRI DAN PENGHITUNGAN PPh PASAL 15 ATAS PENGHASILAN DARI USAHA
PELAYARAN
CV Utama (badan) memiliki usaha perkapalan dan menerima penghasilan atas sewa kapal selama sebulan dari
perseorangan (bukan pemotongan) sebesar Rp10.000.000,-. Besarnya PPh Pasal 15 yang harus disetor sendiri oleh
CV Utama atas penghasilan yang diterimanya :Rp10.000.000,- x 1,2% = Rp120.000,CONTOH PEMOTONGAN DAN PENGHITUNGAN PPN ATAS PENJUALAN BARANG KENA PAJAK
CV Polan (sudah dikukuhkan sebagai PKP) menyerahkan (menjual) Barang Kena Pajak berupa Alatalat tulis kepada
pembelinya seharga Rp2.000.000,-. Besarnya PPN yang harus dipungut oleh CV Polan dari pembeli: Rp2.000.000,-

x 10% = Rp200.000,- Sehingga total yang ditagih CV Polan kepada pembelinya : Rp2.000.000,- + Rp200.000,=Rp2.200.000,CONTOH PEMOTONGAN DAN PENGHITUNGAN PPN ATAS PENJUALAN BARANG KENA PAJAK KEPADA
KANTOR PEMERINTAHAN (PEMUNGUT PPN)
CV Polan (sudah dikukuhkan sebagai PKP) menyerahkan jasa catering kepada Bendahara Kementerian Keuangan
dengan kontrak harga Rp20.000.000,-. Besarnya PPN yang harus dipungut oleh CV Polan dari pembeli (Kementrian
Keuangan): Rp20.000.000,- x 10% = Rp2.000.000,- Sehingga total yang ditagih CV Polan kepada Bendahara
Kementerian Keuangan: Rp2.000.000,- + Rp200.000, =Rp2.200.000,- Namun karena Bendahara Kementerian
Keuangan ditunjuk sebagai pemungut, maka PPN yang ditagih CV Polan (sebesar Rp200.000), disetor sendiri oleh
Bandahara Kementerian Keuangan tersebut ke bank atau kantor pos
CONTOH PEMOTONGAN DAN PENGHITUNGAN PPN ATAS PEMBELIAN BARANG KENA PAJAK ATAU JASA
KENA PAJAK
CV Polan (sudah dikukuhkan sebagai PKP) membeli mesin cetak (Barang Kena Pajak) dari PT Bagus (PKP) seharga
Rp50.000.000,-. Besarnya PPN yang harus dibayar oleh CV Polan dari pembeli: Rp50.000.000,- x 10% =
Rp5.000.000,- Sehingga total yang dibayar CV Polan kepada PT bagus : Rp50.000.000,- + Rp5.000.000,=Rp55.000.000,-

Wajib Pajak Tertentu Pasal 15 :


1.
Wajib Pajak Pelayaran Dalam negeri
* Untuk penghasilan neto = 4% x peredaran bruto
* Untuk PPh terhutang = 1,2% x peredaran bruto dan final
Tertuang dalam KepMenKeu 416/KMK.04/1996
2.
Wajib Pajak Penerbangan Dalam Negeri
* untuk penghasilan neto = 6% x peredaran bruto
* untuk PPh terhutang = 1,8% x peredaran bruto dan tidak final
Tertuang dalam KepMenKeu 475/KMK.04/1996
3.
Wajib Pajak Pelayaran dan Penerbangan Luar Negeri
* untuk penghasilan neto = 6% x peredaran bruto
* untuk PPh terhutang = 0,44% x Peredaran bruto dan Final
Tertuang dalam KepMenKeu 417/KMK.04/1996
4.
Wajib Pajak Kantor Perwakilan Dagang Asing
* untuk penghasilan neto = 1% x ekspor bruto ke Indonesia
* PPh terhutang = 0,44% x ekspor bruto dan Final
Tertuang dalam KepMenKeu 634/KMK.04/1996.
5.
Wajib Pajak Kerja Sama Telkom
* untuk PPh terhutang = 5% x peredaran bruto dan Final
* Penghasilan Neto = 14,285% x peredaran bruto. Tarif 35%
Tertuang dalam KepMenKeu 88/KMK.04/1994
6.
Wajib Pajak Jasa Maklon Internasional
* untuk penghasilan neto = 7% x peredaran bruto
* untuk PPh terhutang = tarif tertinggi pasal 17 x penghasilan neto.
Tertuang dalam KepMenKeu 543/KMK.03/2002

SEP

25

penerapan norma khusus ( PPh Pasal 15) terhadap biadang usaha


tertentu
Norma Penghitungan Khusus

Pasal 15 Undang undang Pajak Penghasilan diatur bahwa untuk golongan Wajib Pajak
tertentu seperti perusahaan pelayaran atau penerbangan internasional, perusahaan asuransi
luar negeri, perusahaan pengeboran minyak, gas dan panas bumi, perusahaan dagang asing,
perusahaan yang melakukan investasi dalam bentuk bangun guna serah (built, operate, and
transfer). Maksud pengaturan ini adalah untuk memberikan kemudahan dalam menghitung
besarnya Penghasilan Kena Pajak, pertimbangan praktis,atau sesuai dengan kelaziman
pengenaan pajak dalam bidang bidang usaha tesebut.
Wewenang pengaturan lebih lanjut ada pada Menteri Keuangan. Berikut jenis usaha yang
penghasilan neto dan pajak terutang dihitung dengan menggunakan norma penghitungan
khusus:

1.

Pelayaran Dalam Negeri

Perlakuan PPh atas penghasilan Wajib Pajak yang bergerak dibidang usaha pelayaran dalam
negeri diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan RI No.416 /KMK.04/1996 yang mulai berlaku
tahun 1996 dan Surat Edaran Dijen Pajak Nomor: SE - 29/PJ.4/1996.

Wajib Pajak Perusahaan Pelayaran Dalam Negeri adalah orang yang bertempat tinggal atau
badan yang didirikan dan berkedudukan di Indonesia yang melakukan usaha pelayaran dengan
kapal yang didaftarkan baik di Indonesia maupun di luar negeri atau dengan kapal pihak lain
Objek pengenaan PPh termasuk penghasilan penyewaan kapal yang dilakukan dari:
-

pelabuhan di Indonesia ke pelabuhan lainnya di Indonesia;

pelabuhan di Indonesia ke pelabuhan di luar Indonesia;

pelabuhan di luar Indonesia ke pelabuhan di Indonesia; dan

pelabuhan di luar Indonesia ke pelabuhan lainnya di luar Indonesia

peredaran bruto adalah semua imbalan atau nilai pengganti berupa uang atau nilai uang yang
diterima atau diperoleh Wajib Pajak perusahaan pelayaran dalam negeri dari pengangkutan
orang dan/atau barang yang dimuat dari satu pelabuhan ke pelabuhan lain di Indonesia
dan/atau dari pelabuhan di Indonesia ke pelabuhan luar negeri dan/atau sebaliknya.
Penghasilan neto = 4% (empat Persen) dari peredaran bruto
Pajak Penghasilan = 1,2% (satu koma dua persen) dari peredaran bruto dan bersifat final

Pelunasan PPh yang terutang sebagaimana dimaksud pada butir 4 dilakukan sebagai berikut:

Dalam hal penghasilan diperoleh berdasarkan perjanjian persewaan atau charter dengan
pemotong pajak, maka pihak yang membayar atau terutang hasil tersebut wajib memotong
PPh yang terutang, memberikan Bukti Pemotongan, menyetor PPh yang terutang,
Melaporkan pemotongan dan penyetoran. Jika tidak dengan pemotong maka dilaksanakan
self assessment.

Dalam hal Wajib Pajak membayar pajak di Luar negeri (PPh Pasal 24), dapat
diperhitungkan dengan PPh, untuk masing-masing negara setinggi-tingginya 1,2% (satu
koma dua persen) dari penghasilan yang diterima atau diperolehnya diluar negeri
tersebut.

Dalam hal Wajib Pajak juga menerima atau memperoleh penghasilan lainnya selain
penghasilan sebagaimana dimaksud pada butir 3 di atas, maka atas penghasilan lainnya
dikenakan PPh berdasarkan ketentuan perpajakan yang berlaku
Surat Dirjen Pajak Nomor S - 852/PJ.341/2003 Tentang Penegasan Perlakuan PPh Atas Sewa
Kapal:
Dalam terminologi jasa angkutan kapal (lautan dan udara), dikenal beberapa jenis
charter/sewa, yaitu:
a.

Sewa berdasarkan pemakaian ruang (space charter);

b.

Sewa berdasarkan pemakaian waktu (time charter);

c.

Sewa kapal tanpa awak (bareboat charter);

d.

Sewa kapal dengan awak (fully-manned basis).

Apabila charter/sewa atas pemakaian ruang, waktu dan/atau sewa dengan awaknya
dan digunakan untuk pengangkutan orang dan atau barang yang dimuat dari satu pelabuhan ke
pelabuhan lain di Indonesia dan/atau dari pelabuhan di Indonesia ke pelabuhan di luar negeri,
maka perlakuan perpajakannya sesuai ketentuan Pasal 15 UU PPh jo Keputusan Menteri
Keuangan Nomor 417/KMK.04/1996 sebagaimana ditegaskan lebih lanjut dengan Surat Edaran
Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-32/PJ.4/1996.

Apabila charter/sewa kapal didasarkan atas sewa kapal tanpa awak, maka perlakuan
perpajakannya sesuai ketentuan Pasal 23 Ayat (1) Huruf c UU PPh.

2.

Pelayaran atau Penerbangan LN

.Keputusan Menteri Keuangan RI No .417/KMK.04/1996 yang mulai berlaku 14 Juni 1996


Besarnya PPh bagi perusahaan pelayaran atau penerbangan luar negeri adalah sebesar 2,64%
dari peredaran bruto dan bersifat final .

Peredaran bruto adalah semua imbalan atau nilai pengganti berupa uang atau nilai uang
yang diterima atau diperolehWajib Pajak Perusahaan Pelayaran dan/atau
Penerbangan luar negeri dari pengangkutan orang dan/atau barang yang dimuat dari
satu pelabuhan ke pelabuhan lain di Indonesia dan/atau dari pelabuhan di Indonesia
ke pelabuhan di luar negeri

PPh

= 30% X 6%

= 1,8%

PPh Pasal 26 = 20% X 1,8% = 0,84%


PPh JPLN

= 2,64%

PPh Pasal 15
No Penghasilan
Uru
t

Tarif

Imbalan yang diterima/diperoleh


sehubungan dengan
pengangkutan orang dan/atau
barang, termasuk penyewaan
kapal laut oleh perusahaan
pelayaran dalam negeri ^

1.2

Imbalan Charter Kapal Laut


dan/atau Pesawat Udara yang
Dibayarkan/Terutang Kepada
Perusahaan Pelayaran dan/atau
Penerbangan Luar Negeri *

2,64

DPP

Ketentuan
Berlaku

Bersifat
final

Penghasilan NOMOR
Bruto
416/KMK.04/199
6

Penghasilan NOMOR
Bruto
417/KMK.04/199
6
bersifat final

jo NOMOR SE
32/PJ.4/1996

Imbalan yang Diterima/Diperoleh 2,64


Sehubungan dengan
Pengangkutan Orang dan/atau
bersifat
Barang Termasuk Charter Kapal final.
Laut dan/atau Pesawat Udara
Oleh Perusahaan Pelayaran
dan/atau Penerbangan Luar
Negeri *

Penghasilan s.d.a.
Bruto

Imbalan Charter Pesawat Udara 1.8


Yang Dibayarkan/Terutang
Kepada Perusahaan Penerbangan
Dalam Negeri

Penghasilan NOMOR
Bruto

WP LN yang mempunyai Kantor


0.44
Perwakilan Dagang di Indonesia **

Nilai Ekspor KEPBruto


667/PJ./2001

Pihak-pihak yang melakukan


5
kerjasama dalam bentuk
Perjanjian Bangunan Guna Serah Final bagi
(Built Operate and Transfer)
WP OP

jumlah
248/KMK.04/199
bruto nilai 5
yang
tertinggi
antara nilai
pasar
dengan
Nilai Jual
Obyek Pajak
(NJOP)

475/KMK.04/1996

Keterangan

Jika perusahaan pelayaran/penerbangan luar negeri tidak


memiliki BUT di indonesia maka tarif 20% atau sesuai dengan P3B
bersifat final

tidak termasuk penggantian atau imbalan yang diterima atau


diperoleh perusahaan pelayaran atau penerbangan luar negeri
tersebut dari pengangkutan orang dan/atau barang di luar negeri
dan dari pelabuhan diluar negeri ke pelabuhan di Indonesia.
yang dimaksud dengan peredaran bruto adalah semua imbalan atau
nilai pengganti berupa uang atau nilai uang yang diterima atau
diperoleh Wajib Pajak perusahaan pelayaran dalam negeri dari
pengangkutan orang dan/atau barang yang dimuat dari satu pelabuhan
ke pelabuhan lain di Indonesia dan/atau dari pelabuhan di Indonesia ke
pelabuhan luar negeri dan/atau sebaliknya.

Perlu diperhatikan bahwa yang dimaksud dengan perjanjian charter


kapal atau pesawat udara meliputi semua bentuk charter. Khusus
mengenai sewa ruangan kapal atau pesawat udara baik untuk orang
dan/atau barang (space charter), apabila sewa tersebut meliputi lebih
dari 50% (lima puluh Persen) dari kapasitas angkut atau pesawat
terbang yang disewa, maka sewa tersebut digolongkan sebagai charter.
**

nilai ekspor bruto adalah semua nilai pengganti atau imbalan yang
diterima atau diperoleh Wajib Pajak luar negeri yang mempunyai kantor
perwakilan dagang di Indonesia dari penyerahan barang kepada orang
pribadi atau badan yang berada atau bertempat kedudukan di
Indonesia.

Pasal 15 UU PPh
Norma Penghitungan Khusus untuk menghitung penghasilan netto dari Wajib Pajak tertentu yang
tidak dapat dihitung berdasarkan ketentuan Pasal 16 ayat (1) atau ayat (3) ditetapkan Menteri
Keuangan.
Penjelasan Pasal 15 UU PPh
Ketentuan ini mengatur tentang Norma Penghitungan Khusus untuk golongan Wajib Pajak tertentu,
antara lain perusahaan pelayaran atau penerbangan internasional, perusahaan asuransi luar negeri,
perusahaan pengeboran minyak, gas dan panas bumi, perusahaan dagang asing, perusahaan yang
melakukan investasi dalam bentuk bangun-guna-serah (build, operate, and transfer).

Untuk menghitung kesukaran dalam menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi golongan
Wajib Pajak tertentu tersebut, berdasarkan pertimbangan praktis atau sesuai dengan kelaziman
pengenaan pajak dalam bidang-bidang usaha tersebut, Menteri Keuangan diberi wewenang untuk
menetapkan Norma Penghitungan Khusus guna menghitung besarnya penghasilan netto dari Wajib
Pajak tertentu tersebut.

Pajak
atas
Dividen
Pemberi dividen akan memotong jenis PPh dan tarif yang berbeda-beda tergantung siapa penerima
dividennya. Jenis objek pajak penghasilan yang dikenakan penerima dividen adalah sebagai berikut:

1.
Dividen
Sebagai
Objek
Pemotongan
PPh
Pasal
23
Wajib Pajak Badan Dalam Negeri atau Bentuk Usaha Tetap (BUT) yang menerima atau memperoleh
penghasilan berupa dividen, maka atas penghasilan dividen tersebut dipotong PPh Pasal 23 sebesar
15% dari penghasilan bruto sebagaimana diatur dalam Pasal 23 ayat (1) huruf a UU PPh. Dividen
tersebut dikenakan PPh Pasal 23 sepanjang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana disebutkan dalam
pasal
4
ayat
3
huruf
f
UU
PPh.
2.
Dividen
Sebagai
Objek
Pemotongan
PPh
Final
Pasal
4
ayat
(2)
Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri yang menerima atau memperoleh penghasilan berupa dividen,
maka atas penghasilan dividen tersebut dipotong PPh Pasal 4 ayat (2) yang bersifat final sebesar 10%
dari penghasilan bruto sebagaimana diatur dalam PP No. 19 Tahun 2009 tanggal 9 Februari 2009.
3.
Dividen
Sebagai
Objek
Pemotongan
PPh
Pasal
26
Wajib Pajak Luar Negeri yang menerima atau memperoleh penghasilan yang bersumber dari Indonesia
berupa dividen, maka atas penghasilan dividen tersebut dipotong PPh Pasal 26 sebesar 20% dari

penghasilan bruto sebagaimana diatur dalam Pasal 26 ayat (1) huruf a UU PPh. Namun, apabila
penerima dividen ini adalah WPLN dimana Negara domisili yang bersangkutan mempunyai perjanjian
perpajakan dengan Indonesia dan terdapat Surat Keterangan Domisili (COD), maka tarif yang dikenakan
adalah
tarif
yang
sesuai
dengan
Tax
Treaty.
Dividen
yang
Dikecualikan
dari
Objek
Pajak
Pada penjelasan sebelumnya, sudah dijelaskan mengenai pengertian dividen serta dividen yang
termasuk objek pajak penghasilan. Namun, UU PPh memberikan pengecualian atas dividen tertentu yang
tidak termasuk objek pajak penghasilan. Berdasarkan Pasal 4 ayat (3) huruf f UU PPh, bahwa yang
dikecualikan dari objek pajak adalah dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan
terbatas sebagai Wajib Pajak dalam negeri, koperasi, badan usaha milik negara, atau badan usaha milik
daerah, dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia
dengan syarat:
1.
2.

Dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan; dan


Bagi perseroan terbatas, badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah yang
menerima dividen, kepemilikan saham pada badan yang memberikan dividen paling rendah 25%
(dua puluh lima persen) dari jumlah modal yang disetor.

Saat
terutang
Berdasarkan PP No. 94 Tahun 2010 dalam penjelasan pasal 15 ayat 3 dijelaskan bahwa saat
terutangnya Pajak Penghasilan Pasal 23 Undang-Undang Pajak Penghasilan adalah pada saat
pembayaran, saat disediakan untuk dibayarkan (seperti: dividen) dan jatuh tempo (seperti: bunga dan
sewa), saat yang ditentukan dalam kontrak atau perjanjian atau faktur (seperti: royalti, imbalan jasa teknik
atau
jasa
manajemen
atau
jasa
lainnya).
Yang dimaksud dengan "saat disediakan untuk dibayarkan":
1.

untuk perusahaan yang tidak go public, adalah saat dibukukan sebagai utang dividen yang akan
dibayarkan, yaitu pada saat pembagian dividen diumumkan atau ditentukan dalam Rapat Umum
Pemegang Saham (RUPS) Tahunan. Demikian pula apabila perusahaan yang bersangkutan dalam
tahun berjalan membagikan dividen sementara (dividen interim), maka Pajak Penghasilan Pasal 23
Undang-Undang Pajak Penghasilan terutang pada saat diumumkan atau ditentukan dalam Rapat
Direksi atau pemegang saham sesuai dengan Anggaran Dasar perseroan yang bersangkutan.

2.

untuk perusahaan yang go public, adalah pada tanggal penentuan kepemilikan pemegang
saham yang berhak atas dividen (recording date). Dengan perkataan lain pemotongan Pajak
Penghasilan atas dividen sebagaimana diatur dalam Pasal 23 Undang-Undang Pajak Penghasilan
baru dapat dilakukan setelah para pemegang saham yang berhak "menerima atau memperoleh"
dividen tersebut diketahui, meskipun dividen tersebut belum diterima secara tunai.

Contoh Kasus
PT. ABC (tidak terdaftar di Bursa Efek Indonesia) pada tanggal 4 Mei 2014 mengumumkan pembagian
dividen dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Pada tanggal 13 Agustus 2014 perusahaan
membagikan dividen tunai kepada para pemegang sahamnya, yang mana dividen tersebut berasal dari
cadangan laba yang ditahan. Total jumlah dividen yang dibagikan adalah sebesar Rp.1.000.000.000,-.
Susunan pemegang saham beserta prosentase kepemilikan sahamnya adalah sbb :

Jawaban

Anda mungkin juga menyukai