Anda di halaman 1dari 2

PLAGIARISM SCAN REPORT

Date 2023-09-08

2% 98%
Words 1000
Plagiarised Unique

Characters 7705

Content Checked For Plagiarism

Dalam rilis Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan bahwa jumlah penduduk Indonesia pada pertengahan 2023 akan
mencapai 278,6 juta jiwa(1). Jumlah penduduk tersebut akan selaras dengan permintaan dan konsumsi berbagai
kebutuhan pokok maupun kebutuhan penunjang lainnya. Tidak dapat dipungkiri dengan peningkatan jumlah penduduk
dan jumlah kebutuhan ini akan membawa dampak yang cukup besar di berbagai aspek salah satunya yaitu aspek
lingkungan. Isu lingkungan mulai dari pemanasan global, polusi udara, kerusakaan lingkungan, hingga penyakit penyakit
pada manusia yang diakibatkan oleh kerusakan lingkungan semakin meprihatinkan. Bahkan berdasarkan data aqicn.org
polusi udara di Jakarta pada periode 2023 ini semakin memprihatinkan dan sudah masuk dalam kategori tidak sehat. Oleh
karena itu diperlukan langkah nyata untuk mengurangi polusi udara yang sudah terjadi ini.
Masifnya isu pencemaran lingkungan ini mendorong negara-negara di seluruh dunia Bersatu dan bertukar pikiran
Menyusun dan menerapkan suatu ide yang akan diyakini mampu mengurangi bahkan mengatasi permasalahan
lingkungan yang ada. Konsep ini juga sangat diharapkan untuk mampu meningkatkan perekonomian negara melalui
pengelolaan sumber daya alam yang baik. Konsep ini dikenal sebagai “Green Economy” atau ekonomi hijau. Menurut
Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (Perserikatan Bangsa-Bangsa, 2023), Green Economy atau Ekonomi Hijau
memiliki pengertian sebagai ekonomi yang didasarkan pada pengurangan emisi karbon, penggunaan sumber daya energi
yang efisien, dan perlindungan keanekaragaman lingkungan.(2)
Indonesia sebagai suatu bangsa yang juga peduli terhadap isu lingkungan juga telah mengimplementasikan Green
Economy. Pada tahun 2021 pemerintah Indonesia telah menerbitkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang
Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Dalam aturan tersebut disebutkan bahwa pajak karbon dikenakan atas
pembelian barang yang mengandung karbon atau aktivitas yang menghasilkan emisi karbon (Undang-Undang RI, 2021).(3)
Aturan ini menunjukan keseriusan dan dukungan dari pemerintah khususnya Kementerian Keuangan untuk mewujudkan
Ekonomi Hijau dan net zero emission pada tahun 2050.
Pajak karbon adalah jenis pajak atas polusi yang dikenakan pada penggunaan bahan bakar fosil untuk memperbaiki
kegagalan pasar yang timbul akibat eksternalitas negatif seperti perubahan iklim dan polusi udara (Ratnawati, 2016)(4).
Bahan bakar fosil adalah bahan bakar yang mengandung hidrokarbon yang sifat alamiahnya tidak dapat diperbaharui
seperti minyak bumi, batu bara dan gas alam. Dengan adanya pajak karbon ini maka harga jual bahan bakar fosil akan
meningkatkan harga jual sehingga permintaan atas bahan bakar fosil akan menurun. Berdasarkan Pasal 13 UU HPP, subjek
pajak karbon merupakan orang pribadi atau badan yang membeli barang yang mengandung karbon dan/atau
menghasilkan emisi karbon. Objek Pajak karbon menurut UU HPP terdiri atas pemberlian barang yang mengandung
karbon atau aktivitas yang menghasilkan emisi karbon dengan jumlah tertentu pada periode tertentu (Undang-Undang RI,
2021).(2)
Adapun tarif pajak karbon yang ditetapkan oleh pemerintah adalah lebih tinggi atau sama dengan harga karbon di pasar
karbon per kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO2e). Ketika harga karbon di pasar karbon lebih rendah dari Rp30 per
kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO2e), maka tarif pajak yang ditetapkan paling rendah adalah Rp30 per kilogram
karbon dioksida ekuivalen (CO2e). Jurnal Pajak Indonesia Vol.6,No.2,(2022).Hal.372 menghitung potensi penerimaan pajak
karbon di Indonesia menggunakan metode exponential smoothing menemukan bahwa terdapat potensi pajak sebesar
Rp23,651 triliun di tahun 2025.(5) Pendapatan dari pajak karbon selain sebagai sumber penerimaan negara juga dapat
digunakan sebagai earmarking untuk pengendalian perubahan iklim, earmarking ini sejalan dengan pendekatan

Page 1 of 2
Environmental Spending pada UNH. Pendekatan ini mendorong penggunaan pajak karbon untuk membiayai keperluan
penanganan perubahan iklim.
Dampak positif yang cukup besar baik dibidang lingkungan maupun dalam hal penerimaan negara atas penerapan pajak
karbon ini harus segera direalisasikan. Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Keuangan dan Kementerian lainnya terus
menggodog dan membahasa mengenai implementasi penerepan pajak karbon. Namun hingga tulisan ini dibuat
Pemerintah Indonesai belum menerbitkan aturan teknis sehingga penerapan pengenaan pajak karbon pun tertunda.
Undang-Undang yang sudah terbit sejak tahun 2021 masih hanya menjadi sebuah wacana belaka tanpa sebuah realisasi
nyata oleh pemerintah. Pada 1 Juli 2022 seharusnya menjadi sebuah tanggal istimewa, tanggal berlakunya penerapan pajak
karbon namun saying penerapan ini kembali ditunda.
Menteri Keuangan, Sri Mulyani, kondisi pemulihan ekonomi nasional dan kondisi politik dunia menjadi dua alasan
penundaan penerapan pajak karbon. Sri Mulyani juga berpendapat masih perlunya pembahasan lanjut teknis maupun dari
segi aturan pada pajak karbon ini, mengingat kurangnya kepedulian masyarakat pada emisi karbon (Putri, 2022).(6)
Langkah yang diambil oleh pemerintah ini merupakan sebuah langkah hati hati karena didalam penerapan pajak karbon ini
akan menghadapi beberapa tantangan. Penerapan pajak karbon di Indonesia akan menghadapi berbagai tantangan yang
perlu diatasi dengan cermat dan bijaksana. Berikut adalah beberapa tantangan utama yang dapat muncul dalam
mengimplementasikan pajak karbon di Indonesia:
1. Resistensi Industri : Sektor industri, terutama yang sangat bergantung pada bahan bakar fosil, mungkin akan merasa
terbebani oleh pajak karbon.
2. Dampak Sosial dan Ekonomi : Pajak karbon dapat mengakibatkan kenaikan harga bahan bakar fosil dan barang-barang
lain yang memerlukan energi besar. Ini dapat mempengaruhi kelompok masyarakat yang lebih rentan secara ekonomi.
Oleh karena itu, perlu ada langkah-langkah untuk melindungi kelompok ini melalui kompensasi atau bantuan sosial.
3. Kehandalan Data : Untuk mengenakan pajak karbon secara efektif, pemerintah memerlukan data yang akurat tentang
emisi karbon dari berbagai sektor. Mengumpulkan data yang konsisten dan valid bisa menjadi tantangan, terutama jika
sektor-sektor tertentu tidak bekerja sama dengan baik.
4. Ketidaksetaraan Regional : Beberapa wilayah di Indonesia mungkin lebih tergantung pada bahan bakar fosil daripada
yang lain. Penerapan pajak karbon harus mempertimbangkan ketidaksetaraan regional ini dan mencari cara untuk
mengimbangi dampaknya.
5. Penegakan Hukum : Menegakkan kepatuhan terhadap pajak karbon dapat menjadi tugas yang sulit. Diperlukan sistem
penegakan hukum yang kuat dan efisien untuk mencegah penghindaran atau pelanggaran pajak.
6. Hubungan Internasional : Penerapan pajak karbon dapat mempengaruhi hubungan perdagangan internasional
Indonesia. Negara-negara lain mungkin memiliki kebijakan serupa atau berlawanan yang dapat memengaruhi ekspor dan
impor Indonesia. Oleh karena itu, perlu ada koordinasi internasional yang baik.
Penerapan pajak karbon di Indonesia adalah langkah penting dalam mengatasi perubahan iklim dan bergerak menuju
keberlanjutan. Namun, penting untuk mengatasi tantangan-tantangan ini dengan bijaksana melalui konsultasi yang luas
dengan berbagai pemangku kepentingan dan dengan mempertimbangkan dampak ekonomi dan sosial yang mungkin
timbul. Untuk itu sangat diharapkan langkah nyata dari pemerintah untuk segera menyusun dan menerapkan aturan terkait
pajak karbon ini. Pajak Karbon akan membawa Indonesia menuju Green Economy dan Net Zero Emission.

Matched Source

Similarity 10%
Title:Analisis Skema Pengenaan Pajak Karbon di Indonesia ...

https://jurnal.pknstan.ac.id/index.php/JPI/article/download/1843/947/8592

Page 2 of 2

Anda mungkin juga menyukai