Author :
Pada tahap pertama perdagangan karbon, 99 PLTU yang mencakup 86% pembangkit listrik
tenaga batubara di Indonesia berpartisipasi dalam skema cap and trade. Setiap PLTU
mempunyai jatah maksimum atau kuota emisi yang ditetapkan berdasarkan kriteria kinerja dan
unit sebelumnya. Bagi mereka yang mengeluarkan emisi kurang dari ambang batas, mereka
dapat menukarkan sisa kuota ke perusahaan lain yang melebihi batas maksimum. Ketika emisi
PLTU telah melebihi kuota yang diberikan, maka mereka harus mengurangi emisi tersebut
dengan membeli kuota dari PLTU lain atau membeli kredit karbon.
Dengan terbentuknya pasar karbon, maka produk perdagangan yang akan diperjualbelikan
adalah kuota karbon dari sektor yang memenuhi syarat yang disebut PTBAE-PU dan kredit
karbon atau SPE-GRK. PTBAE-PU hanya dapat diperjualbelikan oleh sektor wajib yang
mempunyai batas maksimum emisi emisi, sedangkan kredit dapat diberikan dari berbagai
proyek, misalnya proyek restorasi gambut dan energi terbarukan, di mana seluruh peserta dapat
membeli kredit tersebut untuk menghindari emisi. Untuk berpartisipasi dalam pertukaran karbon,
semua entitas, baik penghasil emisi atau bukan, harus mendapatkan izin dari National Standard
Registry (SRN), sebuah platform yang dikelola oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan sebagai database emisi nasional dan memvalidasi kredibilitas produk dan peserta
yang terlibat dalam pertukaran karbon. Dengan besarnya harapan, pemantauan dan evaluasi
emisi yang cermat dapat dengan mudah diintegrasikan antar sektor dalam satu platform dan
meningkatkan akuntabilitas dan transparansi data yang diperlihatkan kepada publik.
Peluncuran pertukaran karbon hanya satu bulan setelah OJK mengeluarkan peraturannya telah
menimbulkan beberapa pertanyaan, salah satunya adalah apakah Indonesia cukup siap untuk
mengelolanya. Dengan tidak adanya ekosistem pasar yang komprehensif, diperlukan
perencanaan dan implementasi yang matang oleh pemerintah, khususnya regulator dan
kementerian terkait. Meski antusiasme ditunjukkan oleh 13 transaksi dengan total volume setara
459.914 metrik ton CO2 dengan harga satuan sekitar USD 4,51 yang didominasi oleh BUMN
pada hari pertama peluncurannya, pembelajaran dari beberapa sistem perdagangan emisi (ETS) ),
seperti Tiongkok, menunjukkan bahwa dibutuhkan waktu yang cukup lama, hampir satu dekade,
untuk membangun ekosistem pasar yang kuat dan matang. Validasi, kredibilitas, dan transparansi
data merupakan aspek fundamental yang patut diwaspadai oleh berbagai pemangku kepentingan,
antara lain OJK, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Energi dan
Sumber Daya Mineral, dan lainnya. Integrasi pasar antara perdagangan karbon sektor tenaga
listrik dan sektor kepatuhan yang akan datang dengan pasar karbon yang baru dirilis harus
diterapkan untuk mencapai satu sistem dan mekanisme penetapan harga yang sama, karena pihak
sukarela mendominasi pasar saat ini.
Penting juga untuk menjaga keseimbangan antara pasokan dan permintaan di pasar guna
menjaga antusiasme pasar dan menjamin kelancaran transaksi. Mengingat pengalaman awal
Skema Perdagangan Emisi Uni Eropa (EU ETS), di mana kelebihan pasokan menyebabkan
harga karbon mendekati nol pada tahun 2007, maka tindakan pencegahan harus diambil untuk
mencegah harga karbon menjadi tidak kompetitif. Selain itu, pasar karbon akan segera
memungkinkan perusahaan-perusahaan di luar Indonesia untuk berpartisipasi dalam perdagangan
karbon, yang dapat menyebabkan kebocoran karbon jika harga tidak kompetitif dan perusahaan-
perusahaan dalam negeri tidak mendapatkan manfaat dari insentif yang diberikan oleh pasar
karbon.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM) yang mengatur kuota dan ambang
emisi di bidang ketenagalistrikan harus membatasi emisi yang diperbolehkan oleh setiap
perusahaan pemilik pembangkit listrik. Dengan rencana kuota maksimal 85% pada tahun 2024,
diharapkan dapat mendorong setiap operator untuk menyusun strategi penurunan emisi. Saat ini,
kuota masih didasarkan pada intensitas emisi dan rata-rata emisi tahun sebelumnya, sehingga
dapat menyebabkan alokasi yang lebih tinggi pada tahun berikutnya. Oleh karena itu,
pemantauan berkala diperlukan untuk mengurangi kuota emisi setiap pembangkit listrik.
Pasar karbon juga membuka peluang untuk menginformasikan prinsip-prinsip taksonomi hijau
secara luas, terutama kepada lembaga keuangan, investor, dan pemilik proyek. Hal ini dapat
memungkinkan identifikasi apakah suatu proyek dapat diperdagangkan di pasar karbon dan
termasuk dalam klasifikasi taksonomi hijau. Hal ini dapat meningkatkan transparansi dalam
penilaian dan kepercayaan sekaligus membantu investor dan lembaga keuangan dalam
memobilisasi pendanaan untuk proyek-proyek berkelanjutan. Namun, koordinasi dan
kesepakatan kelembagaan lebih lanjut juga diperlukan untuk mencapai hal ini.
Meskipun pasar karbon di Indonesia masih tergolong baru, penerapannya yang efektif
diharapkan dapat mendorong perubahan perilaku industri, khususnya pada sub-sektor
pembangkit listrik dan sektor energi secara keseluruhan. Penyebaran informasi kepada khalayak
yang lebih luas penting untuk menarik lebih banyak pembeli dan pedagang untuk berpartisipasi
dalam pertukaran karbon di luar sektor energi. Pada tahap awal ini, diperlukan insentif dari
pemerintah karena untuk bisa lolos kriteria ‘hijau’, diperlukan proses tambahan yang
menimbulkan biaya tambahan dan berpotensi menjadi beban, sehingga membuat pasar karbon
menjadi tidak menarik. Pasar ini juga menciptakan peluang bagi Indonesia untuk memenuhi
kebutuhan pendanaan iklim, sekaligus mendorong peluncuran pajak karbon sebagai alat
pelengkap yang penting. Pemantauan dan evaluasi berkala diperlukan untuk menjaga semua
kegiatan pada jalur yang benar, sementara peningkatan dan pengembangan lebih lanjut
diperlukan agar pasar memenuhi syarat di tingkat internasional.
https://indonesia.go.id/kategori/editorial/6930/jualan-baru-bernama-perdagangan-karbon?lang=1
Indonesia berharap bisa menurunkan emisi dan emisi efek rumah kaca (CO2e) lebih dari 36
juta ton CO2e pada 2030 dan netral karbon pada 2060.
Sebagai wujud komitmen dalam mendukung pencapaian net zero emission (netral karbon) dan
menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK), Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral
(ESDM) secara resmi telah memulai perdagangan karbon. Tentu, memulai langkah itu tidaklah
mudah.
Namun, dalam konteks netral karbon dan menurunkan emisi gas rumah kaca, Indonesia telah
memulai langkahnya, sebagai wujud komitmennya kepada dunia. Bahkan, inisiasi itu tertuang
dalam wujud peta jalan perdagangan karbon subsektor pembangkit tenaga listrik.
Melalui peranti itu, Indonesia berharap bisa menurunkan emisi dan emisi efek rumah kaca
(CO2e) lebih dari 36 juta ton CO2e pada 2030 dan netral karbon pada 2060. Semua itu dipayungi
lewat Peraturan Presiden (Perpres) nomor 98 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nilai
Ekonomi Karbon untuk Pencapaian Target Kontribusi yang Ditetapkan Secara Nasional dan
Pengendalian Emisi Gas Rumah Kaca dalam Pembangunan Nasional.
“Kami berharap, perdagangan karbon dapat didukung oleh para pelaku usaha di subsektor
pembangkitan tenaga listrik,” ujar Arifin Tasrif, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral
(ESDM), dalam rangka peluncuran perdagangan karbon subsektor pembangkit tenaga listrik,
pada Rabu (22/2/2023).
Apakah sebenarnya perdagangan karbon itu? Perdagangan karbon (carbon trading) adalah
pembelian dan penjualan kredit atas pengeluaran karbon dioksida atau gas rumah kaca. Melalui
perdagangan itu, harapannya tingkat emisi di bumi bisa berkurang. Selain, meminimalkan
dampak perubahan iklim.
Bagi Indonesia, pilihan melakukan perdagangan karbon merupakan salah satu tahapan penting
untuk mencapai target tersebut. Pemerintah meyakini, perdagangan karbon diharapkan dapat
memantik potensi bisnis sejalan yang menjanjikan.
Melalui skema tersebut, perusahaan yang mampu menekan emisi, dapat menjual kredit karbon
mereka ke perusahaan yang melampaui batas emisi. Alhasil, sumber penerimaan perusahaan
yang berhasil menekan emisi bakal bertambah.
Dalam konteks itulah, pemerintah akan membaginya dalam beberapa fase. Sebagai tahap awal,
pemerintah menyebutnya sebagai fase 1. Lantas, bagaimana pencapaian pengurangan emisi
Indonesia? Data Kementerian ESDM menyebutkan capaian penurunan emisi CO2 sebesar 40,6
juta ton (2018), 54,8 juta ton (2019), 64,4 juta ton (2020), 70 juta ton (2021), 91,5 juta ton
(2022), dan pada 2023 diproyeksikan bisa 116 juta ton.
Berkaitan dengan tahapan itu, pemerintah memulai perdagangan karbon dengan hanya
melibatkan 99 pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) dengan kapasitas 33.569 megawatt (MW).
Perdagangan karbon tahun ini juga hanya dilakukan mandatori pada PLTU yang terhubung ke
jaringan tenaga listrik PT PLN (Persero) dengan kapasitas lebih besar atau sama dengan 100
MW.
Aturan Baru
Seiring itulah, seperti dikemukakan Menteri ESDM Arifin Tasrif, pemerintah juga telah
menerbitkan aturan mengenai penyelenggaraan nilai ekonomi karbon. Dia menegaskan,
perdagangan karbon tersebut berjalan sesuai mekanisme pasar. Nilai ekonomi karbon yang diatur
tersebut, katanya, menjadi insentif bagi perusahaan yang bisa mengurangi emisi gas rumah kaca.
Arifin mengatakan, peningkatan pendapatan dari nilai ekonomi karbon itu juga dapat digunakan
untuk mendukung ekonomi berkelanjutan, serta membiayai reformasi fiskal. “Namun,
adopsi carbon pricing bakal menghadapi tantangan. Khususnya, di tengah peningkatan inflasi
dan harga energi saat ini,” katanya,
Di Indonesia, nilai transaksi perdagangan karbon fase 1 diperkirakan menembus USD9 juta per
tahun, dengan asumsi jumlah karbon yang potensial untuk diperdagangkan secara langsung
antarperusahaan sebesar 500.000 ton CO2e, dan harga kredit karbon yang diproyeksi sebesar
USD2 hingga USD18 per ton CO2e.
Adapun, ke depan harga akan mengacu pada mekanisme pasar saat bursa karbon terbentuk.
Pembentukan bursa karbon kini masih menjadi salah satu agenda penting Otoritas Jasa Keuangan
(OJK).
Jika ditelusuri, tren transisi energi yang dilakukan oleh banyak negara menjadikan perdagangan
karbon sebagai salah satu peluang usaha dengan prospek cerah. Bank Dunia mencatat,
pendapatan global dari carbon pricing pada 2022 mencapai USD84 miliar, naik hampir 60
persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
PT PLN Nusantara Power, salah satu subholding PLN, berencana menerbitkan kredit karbon
sertifikat pengurangan emisi (SPE) sebesar 1,57 juta ton CO2e tahun ini. Rencana penerbitan
kredit karbon SPE yang terbilang besar itu menandakan peluang bisnis yang terbuka lebar untuk
perdagangan faktor pengurang emisi di tanah air.
Pasalnya, kredit karbon SPE itu nantinya bisa dijual ke pembangkit yang menghasilkan emisi
karbon melebihi batas yang telah ditentukan. “Kami punya potensi SPE sebesar 1,57 juta ton
CO2e yang bisa diperdagangkan,” kata Direktur Utama PLN Nusantara Power Rully
Firmansyah.
Adapun, potensi kredit karbon SPE PLN Nusantara Power itu berasal dari tiga proyek
pembangkit, yakni pembangkit listrik tenaga gas dan uap di Blok 3 Muara Karang dengan
potensi kredit karbon SPE mencapai 1,2 juta ton CO2e.
Kemudian, pembangkit listrik tenaga air (PLTA) Sipansihaporas dan PLTA Renun yang
diproyeksikan memiliki potensi kredit karbon SPE sebesar 363.957 ton CO2e. Tidak hanya PLN,
pengusaha listrik swasta juga melihat peluang bisnis yang prospektif dari perdagangan karbon
fase 1 resmi diluncurkan belum lama ini.
Ketua Umum Asosiasi Produsen Listrik Swasta (APLSI) Arthur Simatupang mengatakan,
komitmen perusahaan pembangkit listrik untuk menekan emisi berpeluang menjadi sumber
pemasukan baru dari kehadiran perdagangan karbon. Pelaku usaha kini memiliki gambaran yang
lebih konkret soal batasan gas buang yang mesti diperhitungkan untuk menentukan perdagangan
kredit karbon nantinya.
“Sebuah kehormatan bagi UNDP untuk berpartisipasi dalam Transisi Energi Indonesia dengan
pendanaan dari Pemerintah Jepang," ungkap Norimasa.
Asap keluar dari pembangkit listrik tenaga uap batubara (PLTI) di Neurath, Jerman, 8
Juni 2023.
t
JAKARTA (VOA) —
Pada 23 Agustus lalu, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) merilis Peraturan OJK
Nomor 14 Tahun 2023 tentang Perdagangan Karbon melalui Bursa Karbon
(POJK Bursa Karbon) yang disusul dengan penerbitan Surat Edaran (SE)
Otoritas Jasa Keuangan Republik Indonesia Nomor 12/SEOJK.04/2023
tentang Tata Cara Penyelenggaraan Perdagangan Karbon Melalui Bursa
Karbon pada 6 September.
Mekanisme perdagangan karbon adalah satu dari tiga cara penurunan emisi
yang ditetapkan oleh perjanjian iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB),
Protokol Kyoto, pada 11 Desember 1997.
Nah, siapa pembeli dan penjual kredit karbon? Pembeli kredit karbon
atau allowance adalah industri, negara atau perusahaan yang menghasilkan
emisi karbon dalam jumlah tinggi karena menggunakan bahan bakar fosil
atau mengkonsumsi energi dalam jumlah besar. Misalnya, pabrik baja,
pembangkit listrik batu bara (PLTU) atau pembangkit listrik gas, pusat data
(data center) dan sektor transportasi.
Para penjual kredit karbon adalah perusahaan atau negara yang kegiatannya
mampu menyerap emisi CO2 atau yang kegiatannya menghasilkan sedikit
sekali CO2. Contohnya antara lain, perusahaan konservasi hutan; pembangkit
energi terbarukan – pembangkit tenaga surya PLTS, pembangkit tenaga bayu
(PLTB), atau kegiatan pengolahan sampah organik.
“Tanpa disertifikasi, (kredit karbon) tidak bisa dijual karena barangnya tidak
kelihatan. Yang dijual adalah kemampuan penyerapan karbonnya. Harga
kredit karbon akan menarik jika proyeknya berintegritas tinggi, surveilansnya
jelas, dan bukan hoaks,” papar Riza.
Sebaliknya, pada pasar karbon wajib atau yang dikenal dengan Emission
Trading System (ETS) atau "cap-and-trade system", pihak berwenang
menetapkan batas emisi karbon yang dihasilkan oleh setiap peserta ETS.
Batasan itu akan dikurangi setiap tahunnya dan diberikan dalam bentuk
alokasi kuota emisi.
Asap membubung dari kebakaran hutan di Kubu Raya, dekat Pontianak, Kalimantan
Barat, 25 Agustus 2016. (Foto: Jessica Helena Wuysang/Antara via Reuters)
Jika belum terbentuk harga di pasar karbon, pemerintah bisa menentukan
harga karbon dengan cara menetapkan harga dasar (floor price) atau
melakukan pelelangan.
Pada akhir periode, peserta yang melewati batas emisi bisa membeli kuota
tambahan dari peserta lain yang surplus kuota karena menghasilkan emisi
lebih sedikit. Bila tidak membeli kuota tambahan, peserta dengan emisi
karbon tinggi itu harus membayar denda.
Secara sederhana, cara kerja ETS kira-kira seperti ini: pemerintah
menetapkan jumlah total emisi CO2 yang dikeluarkan oleh para peserta yang
berpartisipasi dalam pasar karbon wajib, sebanyak 5 unit.
Perusahaan yang bisa menghasilkan emisi lebih sedikit dari batas total emisi
tadi bisa menjual kelebihan kuota itu ke perusahaan yang tidak bisa
mengurangi emisi.
Saat ini, European Union Emission Trading System (EU ETS) adalah pasar
wajib karbon dan masih terbesar di dunia.
Serba-serbi perdagangan karbon
Menurut Bank Dunia dalam laporan “State and Trends of Carbon Pricing
2023” yang dirilis pada 23 Mei, saat ini, hampir seperempat emisi gas rumah
kaca global atau 23 persen sudah tercakup oleh 73 instrumen pengurangan
karbon, baik dalam bentuk ETS maupun pajak karbon. Cakupan itu
meningkat dari 7 persen pada satu dasawarsa lalu ketika Bank Dunia memulai
laporan itu.
Bank Dunia mencatat pemasukan dari pajak karbon dan ETS secara global
mencapai rekor tertinggi sepanjang sejarah pada 2022, yaitu $95 miliar.
Tahun ini, sejumlah negara, termasuk Australia, Indonesia, Malaysia dan
Vietnam dijadwalkan akan memulai pasar karbon dengan sistem ETS.
Dengan peluncuran dua aturan tersebut, pelaku pasar yang berminat bisa
mengajukan permohonan untuk menjadi penyelenggara bursa karbon. Sejauh
ini, dikutip dari Kontan, baru Bursa Efek Indonesia (BEI) yang sudah
mengajukan permohonan resmi untuk menjadi penyelenggara bursa karbon.
Lalu, siapa peserta bursa lainnya? Dalam webinar mengenai ekonomi hijau
awal Juni, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan perdagangan karbon
dengan sistem ETS dilakukan bertahap, dimulai dari sektor pembangkit
listrik.
Sebelumnya pada Februari, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral
(ESDM) meluncurkan perdagangan wajib karbon untuk pembangkit listrik
batu bara (PLTU). Ada 99 unit PLTU atau 42 perusahaan yang akan
berpartisipasi dalam perdagangan dengan total kapasitas terpasang 33.569
MW.
Menurut laporan iklim Uni Eropa yang dirilis Desember 2022, sektor-sektor
yang tercakup dalam EU ETS berhasil mengurangi emisi karbon sebesar
34,6% sejak pasar karbon Uni Eropa itu diluncurkan pada 2005.
Saudi🇸🇦Brazil🇧🇷Meksiko🇲🇽Australia🇦🇺Afrika Selatan🇿🇦Turki🇹🇷Inggris🇬🇧Italia🇮🇹Prancis🇫🇷Polandia🇵🇱
Sumber: Emission Database for Global Atmospheric Research (EDGAR), CO2 Emissions from
Fuel Combustion - IEA, World Population Prospects: The 2019 Revision - United Nations
Population Division • Diolah dari Worldometer
https://www.cnbcindonesia.com/news/20220217170142-4-316253/perdagangan-karbon-ri-berpotensi-
tembus-rp-4290-triliun
Foto: PT Indonesia Power melalui Unit Pembangkitan (UP) Suralaya menegaskan jika Pembangkit Listrik Tenaga
Uap (PLTU) ini tidak menyumbang polusi untuk Jakarta. (CNBC Indonesia/Nia)
Hal itu diungkapkan Ketua Umum Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia
(APBI) Pandu Sjahrir. Pandu menyebut, nilai perdagangan karbon tersebut
berasal dari sejumlah faktor, antara lain kegiatan menanam kembali hutan yang
gundul, lalu penggunaan energi baru terbarukan (EBT), peralatan rumah tangga,
sampai pembuangan limbah.
"Bagi pengusaha, ini merupakan opportunity sebesar US$ 300 miliar per tahun
melalui carbon trading, baik dari sisi hutan/land use seperti reforestation, energi
terbarukan, peralatan rumah tangga, sampai pembuangan limbah," tuturnya
dalam diskusi Indonesia Energy Outlook 2022 yang diselenggarakan Asosiasi
Pemasok Energi dan Batu Bara Indonesia (Aspebindo), Kamis (17/02/2022).
"OJK bersama Self Regulatory Organization (SRO) yang terdiri dari BEI, KSEI,
dan KPEI, bersama dengan pemerintah sedang mengakselerasi kerangka
pengaturan bursa karbon di Indonesia," ujar Wimboh dalam kegiatan Pertemuan
Tahunan Industri Jasa Keuangan (PTIJK), Kamis (20/1/2022).
Dalam taksonomi yang tengah disusun, OJK mengkaji 2.733 klasifikasi sektor
dan subsektor ekonomi. Sekitar 919 diantaranya telah OJK konfirmasi oleh
kementerian terkait, yakni Kemeterian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
(KLHK).