Anda di halaman 1dari 31

KEBIJAKAN PENGALIHAN PBB P2 DAN BPHTB SEBAGAI PAJAK

DAERAH DALAM RANGKA MENINGKATKAN PENDAPATAN ASLI


DAERAH (PAD)
Untuk Memenuhi Tugas Kelompok Mata Kuliah Kebijakan Finansial dan Fiskal

Oleh:
Dian Purnama Sari 105030100111123
Putri Permata Taqwa 105030100111127
Fitron Fahmi Faruqi 105030100111129

Kelas : G

JURUSAN ILMU ADMINISTRASI PUBLIK

FAKULTAS ILMU ADMINISTRASI

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

2013
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI....................................................................................................................... ii

BAB 1 PENDAHULUAN .................................................................................................. 1

A. LATAR BELAKANG ............................................................................................ 1

B. RUMUSAN MASALAH ........................................................................................ 3

C. TUJUAN ................................................................................................................. 3

BAB II KAJIAN PUSTAKA .............................................................................................. 4

A. TEORI EMPIRIS .................................................................................................... 4

B. TEORI TEORITIK ................................................................................................. 6

1. Kebijakan Fiskal ................................................................................................. 6

2. Pajak Bumi Dan Bangunan ................................................................................. 8

3. Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan .................................................. 9

4. Konsep Pertumbuhan Ekonomi ........................................................................ 10

5. Pendapatan Asli Daerah .................................................................................... 16

BAB III PEMBAHASAN ................................................................................................. 18

A. KEBIJAKAN PENGALIHAN PBB P2 DAN BPHTB ........................................ 18

B. PENGARUH PENGALIHAN PBB DAN BPHTB SEBAGAI PAJAK DAERAH


PADA PENINGKATAN PAD ..................................................................................... 22

BAB IV PENUTUP .......................................................................................................... 26

A. KESIMPULAN ..................................................................................................... 26

B. SARAN ................................................................................................................. 26

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................... 28

Page | ii
BAB 1
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Sebagai salah satu bentuk continuous improvement, Pemerintah secara
konsisten berupaya memperkuat dan menyempurnakan kebijakan desentralisasi
fiskal untuk mendukung tercapainya peningkatan layanan publik di daerah.
Konsistensi tersebut diwujudkan tidak hanya melalui penguatan desentralisasi
fiskal dari sisi pengeluaran, tetapi juga dari sisi penerimaan berupa perluasan local
taxing power. Salah satu wujud nyata komitmen tersebut adalah dengan
mengalihkan BPHTB dan PBB-P2 menjadi pajak daerah. Pengalihan kedua jenis
pajak tersebut merupakan langkah fundamental yang dilakukan dalam rangka
memperbaiki struktur keuangan daerah.
Apabila dilihat dari karakteristiknya, yakni dari sisi kepada siapa sebagian
besar penerimaannya diserahkan, kedua jenis pajak tersebut merupakan pajak
daerah. Namun, kewenangan dalam hal penentuan basis pajak, pentarifan,
pemberian hasil penerimaan (tax sharing) dan pengelolaan administrasinya masih
berada pada Pemerintah Pusat. Dengan diberlakukan UU 28 Tahun 2009, maka
seluruh kewenangan dalam pemungutan diserahkan kepada Pemda. Dengan
demikian BPHTB dan PBB-P2 diharapkan bisa menjadi salah satu sumber PAD
yang potensial bagi daerah, dibandingkan dengan keseluruhan penerimaan pajak-
pajak daerah yang ada selama ini. Berdasarkan Pasal 185 UU No. 28 Tahun 2009
tentang PDRD, maka sejak tanggal 1 Januari 2010, Pemerintah Kabupaten/Kota
sudah diperbolehkan untuk menerima pengalihan PBB P2 dan BPHTB.
Sedangkan tahapan pengalihan PBB P2 dan BPHTB diatur oleh menteri keuangan
bersama dengan menteri dalam negeri (UU PDRD Pasal 182).
Pengalihan pengelolaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
(BPHTB) dan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) dari
Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah tersebut merupakan suatu bentuk
tindak lanjut kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Bentuk kebijakan
tersebut dituangkan ke dalam Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang
Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Hal ini adalah titik balik dalam pengelolaan
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), dan pengelolaan Pajak

Page | 1
Bumi dan Bangunan sektor Perdesaan dan Perkotaan (PBB P2). Dengan
pengalihan ini maka kegiatan proses pendataan, penilaian, penetapan,
pengadministrasian, pemungutan/penagihan dan pelayanan PBB-P2 akan
diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah (Kabupaten/Kota).
Dilihat dari berbagai aspek, pengalihan BPHTB dan PBB P2 menjadi
pajak daerah merupakan kebijakan yang tepat. Untuk kelancaran pengalihannya
diperlukan perencanaan yang matang, implementasi rencana yang konsisten, serta
monitrong dan evaluasi yang berkesinambugan sebagai landasan untuk melakukan
penyempurnaan. Kebijakan pengalihan BPHTB dan PBB P2 menjadi pajak daerah
dilakukan melalui suatu proses pembahasan rancangan undang-undang yang
cukup panjang antara pemerintah dan dewan perwakilan rakyat. Dengan
mempertimbangkan berbagai faktor strategis serta kondisi daerah yang berbeda-
beda, pemerintah dan dewan perwakilan rakyat akhirnya menyepakati pengalihan
BPHTB dan PBB P2 menjadi pajak daerah dengan beberapa kondisi, antara lain:
(1) pemungutan BPHTB dan PBB P2 dapat dilakukan oleh daerah secara optimal,
dan (2) pelayanan kepada masyarakat tidak mengalami penurunan.
Masa transisi pengalihan BPHTB ditetapkan selama 1 (satu) tahun sejak
berlakunya UU Nomor 28 Tahun 2009 dan mulai efektif menjadi pajak daerah
pada tanggal 1 Januari 2011. Sedangkan PBB P2 masih tetap dikelola oleh
Direktorat Jenderal Pajak paling lama sampai dengan 31 Desember 2013. Selama
masa transisi, Pemerintah melakukan berbagai kegiatan untuk mempersiapkan
daerah menerima pengalihan BPHTB dan PBB P2 dari pemerintah pusat.
Hampir seluruh instansi terkait, utamanya jajaran Kementerian Keuangan
dan Kementerian Dalam Negeri, memberikan kontribusi yang signifikan dalam
memperlancar pemungutan BPHTB dan PBB P2 oleh daerah. Namun demikian,
persiapan yang matang dan partisipasi aktif dari pemerintah daerah dalam
mengimplementasikan UU Nomor 28 Tahun 2009 merupakan faktor penentu
kelancaran pengalihan BPHTB dan PBB P2 menjadi pajak daerah.
Dari paparan di atas,maka kelompok kami mengangkat judul “Pengalihan
PBB P2 dan BPHTB Sebagai Pajak Daerah Dalam Rangka Meningkatkan
Pendapatan Asli Daerah (PAD)”. Dalam makalah ini akan dijelaskan lebih

Page | 2
lanjut mengenai kebijakan pengalihan PBB P2 dan BPHTB sekaligus membahas
pengaruhnya bagi peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD).

B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana pelaksanaan kebijakan pengalihan PBB P2 dan BPHTB?
2. Bagaimana pengaruh pengalihan PBB P2 dan BPHTB pada peningkatan
Pendapatan Asli Daerah (PAD)?

C. TUJUAN
1. Untuk mengetahui kebijakan pengalihan PBB P2 dan BPHTB
2. Untuk memahami pengaruh kebijakan pengalihan PBB P2 dan BPHTB
pada peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD)

Page | 3
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. TEORI EMPIRIS
Berdasarkan jurnal yang berjudul “Implikasi Kebijakan Pengelolaan PBB
Setelah Berlakunya UU Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah” oleh Pamuji Kadar menyatakan bahwa pengelolaan pemerintah
daerah, baik ditingkat propinsi maupun tingkat kabupaten dan kota memasuki era
baru sejalan dengan dikeluarkannya UU No 22 tahun 1999 dan UU no. 25 tahun
1995 yang mengatur tentang otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Kebijakan
ini merupakan tantangan dan peluang bagi pemerintah daerah untuk mengelola
sumber daya yang dimiliki secara efisien dan efektif. Bagi daerah-daerah yang
memiliki potensi sumber daya yang dapat diandalkan, baik sumber daya manusia
maupun sumber daya alam, kebijakan ini disambut baik, mengingat lepasnya
campur tangan pemerintah akan memberikan kesempatan yang lebih cepat untuk
meningkatkan kesejahteraannya.
Pelaksanaan desentralisasi fiskal (yang dimulai per 1 Januari 2001) dipandang
banyak pengamat sebagai pendekatan bing-bang dikarenakan secara radikal
mengubah pola hubungan antara pusat dan daerah (Kuncoro 2004) dengan jangka
waktu persiapan yang sangat pendek untuk negara yang begitu besar dengan kondisi
geografis yang cukup menyulitkan (Brodjonegoro 2003).
Akibatnya, kebijakan ini memunculkan kesiapan daerah yang beragam,
terlebih ditengah-tengah upaya untuk melepaskan diri dari krisis ekonomi yang
berkepanjangan Saragih (2003) menyatakan bahwa sebelum terjadi krisis ekonomi
pertumbuhan ekonomi (PDRB) rata-rata lebih dari 5% (lima persen). Pada tahun
1998 rata-rata daerah mengalami pertumbuhan negatif. Sedangkan pada tahun 1999
dan 2000 (sebelum pelaksanaan otonomi) beberapa daerah sudah menunjukkan
pertumbuhan yang positif, sementara beberapa daerah lain masih kesulitan untuk
melepaskan diri dari belenggu krisis.
Pelaksanaan desentralisasi fiskal, bisa jadi menimbulkan perbedaan orientasi
kebijakan ekonomi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Pemda lebih
menghadapi masalah keterbatasan keuangan (financial constraints) daripada
keterbatasan ekonomi (economic constraints) yang justru menjadi perhatian

Page | 4
pemerintah pusat (Rafinus 2001). Akibatnya pemda akan lebih banyak terkonsentrasi
pada permasalahan alokasi daripada permasalahan stabilisasi (perekonomian).
Dengan kata lain upaya untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan
stabil menjadi terabaikan dikarenakan adanya persoalan keterbatasan (keuangan).
Pengalaman dan kapabilitas pemda dalam pengelolaan keuangan menjadi faktor
penting dalam mengatasi kedua permasalahan tersebut secara simultan.
Myrdal (1957) sebagaimana dikutip Kuncoro (2004) menyatakan bahwa
perbedaan tingkat kemajuan ekonomi antar daerah akan menyebabkan pengaruh yang
merugikan (terjadinya ketidakseimbangan horizontal). Hal ini disebabkan pelaku-
pelaku yang mempunyai kekuatan di pasar akan cenderung meningkat, sehingga
menyebabkan ketimpangan daerah yang semakin tinggi (Arysad 1999). Kuznets
(Kuncoro 2004) menyatakan bahwa pada tahap-tahap awal pertumbuhan, disitribusi
pendapatan cenderung memburuk, namun pada tahap-tahap berikutnya hal ini akan
membaik. Hal ini memberikan indikasi diperlukannya dimensi waktu yang panjang
untuk melihat pengaruh positif pembangunan terhadap pertumbuhan.
Reformasi perpajakan di Indonesia (Tax Reform ) dicetuskan oleh pemerintah
Indonesia pada tahun 1983 atau setelah 38 tahun Indonesia merdeka. Tax Reform
pada dasarnya merupakan kebijakan pemerintah terhadap ketentuan perpajakan yang
bersifat sangat mendasar yaitu mengenai prinsip, sistimatika serta dasar falsafahnya.
Beberapa pertimbangan pemerintah melakukan reformasi perpajakan adalah karena
banyaknya perundang-undangan pajak yang membingungkan rakyat. Pada saat itu
pemerintah sudah mulai memebuat ketentuan mengenai perpajakan sementara
ketentuan produk Hindia Belanda masih efektif berlaku, sehingga hak itu dipandang
sangat membebani rakyat karena banyaknya macam pemungutan pajak.
Kebijakan “pendaerahan” PBB tentunya tidak terlepas dari kebijakan
penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia. Dalam perkembangannya,
penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia telah mengarah kepada pelaksanaan
otonomi luas. Pasca reformasi pemerintahan tahun 1998, Pemerintah memberikan
keleluasaan kepada daerah untuk menentukan arah kebijakan pembangunan bagi
daerahnya, yang dituangkan dalam wujud otonomi daerah seluas–luasnya dalam
mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat. Kebijakan desentralisasi
tersebut akan berhasil jika aparat pemerintah daerah cukup terlembaga sehingga
mampu menciptakan tata pemerintahan yang demokratis. Perjalanan menuju

Page | 5
pelaksanaan desentralisasI tersebut merupakan perwujudan konkrit akan adanya
tuntutan pemberian otonomi yang luas kepada daerah.
Dibandingkan dengan UU PDRD lama, maka terdapat penambahan 3
(tiga) jenis pajak Kabupaten/Kota yang baru, yaitu PBB Pedesaan dan Perkotaan,
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), dan Pajak Sarang
Burung Walet. Jenis pajak yang selama ini di- pungut oleh Pusat, yaitu PBB
Perdesaan dan Perkotaan dan BPHTB. Pemberlakuan pemungutan PBB dan
BPHTB akan dilakukan secara bertahap. BPHTB akan dilaksanakan sepenuhnya
oleh daerah pada tanggal 1 Januari 2011, sedangkan PBB Perdesaan dan
Perkotaan akan dilaksanakan sepenuhnya oleh daerah pada tanggal 1 Januari
2014.

B. TEORI TEORITIK
1. Kebijakan Fiskal
Kebijakan fiskal merujuk pada kebijakan yang dibuat pemerintah untuk
mengarahkan ekonomi suatu negara melalui pengeluaran dan pendapatan (berupa
pajak) pemerintah. Kebijakan fiskal berbeda dengan kebijakan moneter, yang
bertujuan menstabilkan perekonomian dengan cara mengontrol tingkat bunga dan
jumlah uang yang beredar. Instrumen utama kebijakan fiskal adalah pengeluaran
dan pajak. (Wikipedia : 2013).
Instrumen kebijakan fiskal adalah penerimaan dan pengeluaran pemerintah
yang berhubungan erat dengan pajak. Dari sisi pajak jelas jika mengubah tarif
pajak yang berlaku akan berpengaruh pada ekonomi. Jika pajak diturunkan maka
kemampuan daya beli masyarakat akan meningkat dan industri akan dapat
meningkatkan jumlah output. Dan sebaliknya kenaikan pajak akan menurunkan
daya beli masyarakat serta menurunkan output industri secara umum.
Contoh kebijakan fiskal adalah apabila perekonomian nasional mengalami
inflasi, pemerintah dapat mengurangi kelebihan permintaan masyarakat dengan
cara memperkecil pembelanjaan dan atau menaikkan pajak agar tercipta
kestabilan lagi. Cara demikian disebut dengan pengelolaan anggaran. Tujuan
kebijakan fiskal adalah untuk mempengaruhi jalannya perekonomian. Hal ini
dilakukan dengan jalan memperbesar dan memperkecil pengeluaran komsumsi

Page | 6
pemerintah, jumlah transfer pemerintah, dan jumlah pajak yang diterima
pemerintah sehingga dapat mempengaruhi tingkat pendapatan nasional dan
tingkat kesempatan kerja.
Jenis-jenis kebijakan fiskal jika ditinjau dari sisi teori, ada tiga macam
kebijakan anggaran, yaitu:
a. Kebijakan anggaran pembiayaan fungsional (functional finance).
Kebijakan yang mengatur pengeluaran pemerintah dengan melihat
berbagai akibat tidak langsung terhadap pendapatan nasional dan
bertujuan untuk meningkatkan kesempatan kerja.
b. Kebijakan pengelolaan anggaran (the finance budget approach).
Kebijakan untuk mengatur pengeluaran pemerintah, perpajakan, dan
pinjaman untuk mencapai ekonomi yang mantap.
c. Kebijakan stabilisasi anggaran otomatis (the stabilizing budget).
Kebijakan yang mengatur pengeluaran pemerintah dengan melihat
besarnya biaya dan manfaat dari berbagai program. Tujuan kebijakan
ini adalah agar terjadi penghematan dalam pengeluaran pemerintah.
Jika dilihat dari perbandingan jumlah penerimaan dengan jumlah
pengeluaran, kebijakan fiskal/anggaran dapat dibedakan menjadi empat jenis.
a. Kebijakan Anggaran Seimbang.
Kebijakan anggaran seimbang, adalah kebijakan anggaran yang
menyusun pengeluaran sama besar dengan penerimaan.
b. Kebijakan Anggaran Defisit.
Kebijakan anggaran defisit yaitu kebijakan anggaran dengan cara
menyusun pengeluaran lebih besar daripada penerimaan.
c. Kebijakan Anggaran Surplus.
Kebijakan anggaran surplus, yaitu kebijakan anggaran dengan cara
menyusun pengeluaran lebih kecil dari penerimaan.
d. Kebijakan Anggaran Dinamis.
Kebijakan anggaran dinamis, yaitu kebijakan anggaran dengan cara
terus menambah jumlah penerimaan dan pengeluaran sehingga
semakin lama semakin besar (tidak statis).

Page | 7
2. Pajak Bumi Dan Bangunan
Pajak bumi dan bangunan (PBB) adalah pajak yang dipungut atas tanah
dan bangunan karena adanya keuntungan dan/atau kedudukan sosial ekonomi
yang lebih baik bagi orang atau badan yang mempunyai suatu hak atasnya atau
memperoleh manfaat dari padanya. Dasar pengenaan pajak dalam PBB adalah
Nilai Jual Objek Pajak (NJOP). NJOP ditentukan berdasarkan harga pasar per
wilayah dan ditetapkan setiap tahun oleh menteri keuangan. (Wikipedia : 2013).
Besarnya PBB yang terutang diperoleh dari perkalian tarif (0,5%) dengan
NJOP. Nilai Jual Kena Pajak ditetapkan sebesar 20% dari NJOP (jika NJOP
kurang dari 1 miliar rupiah) atau 40% dari NJOP (jika NJOP senilai 1 miliar
rupiah atau lebih). Besaran PBB yang terutang dalam satu tahun pajak
diinformasikan dalam Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT). Wajib pajak
PBB adalah orang pribadi atau badan yang memiliki hak dan/atau memperoleh
manfaat atas tanah dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat
atas bangunan. Wajib pajak memiliki kewajiban membayar PBB yang terutang
setiap tahunnya. PBB harus dilunasi paling lambat 6 (enam) bulan sejak tanggal
diterimanya SPPT oleh wajib pajak. Pembayaran PBB dapat dilakukan melalui
bank persepsi, bank yang tercantum dalam SPPT PBB tersebut, atau melalui
ATM, melalui petugas pemungut dari pemerintah daerah serta dapat juga melalui
kantor pos.
Obyek Pajak yang tidak dikenakan Pajak Bumi dan Bangunan adalah (UU
Nomor 12 Tahun 1994) :
 digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum di bidang
ibadah, sosial, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan nasional, yang tidak
dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan.
 digunakan untuk kuburan, peninggalan purbakala, atau yang sejenis
dengan itu;
 merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman nasional,
tanah penggembalaan yang dikuasai oleh desa, dan tanah negara yang
belum di bebani suatu hak;
 digunakan oleh perwakilan diplomatik, konsulat berdasarkan asas
perlakuan timbal balik.

Page | 8
 digunakan oleh badan atau perwakilan organisasi internasional yang
ditentukan oleh Menteri Keuangan.

3. Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan


Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) adalah pungutan
atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan. Perolehan hak atas tanah dan
atau bangunan adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan
diperolehnya hak atas tanah dan atau bangunan oleh orang pribadi atau badan.
Hak atas tanah adalah hak atas tanah termasuk hak pengelolaan, berserta
bangunan di atasnya sebagaimana dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, Undang-undang Nomor 16
tentang Rumah Susun dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lainnya.
Dasar pengenaan atas bea perolehan hak atas tanah dan bangunan dari nilai
perolehan obyek pajak dengan besaran tarif sebesar 5% dari nilai perolehan obyek
pajak. (Wikipedia : 2013).
Pada dasarnya obyek dari bea perolehan hak atas tanah dan bangunan
adalah setiap upaya pemindahan hak atau pemberian hak atas tanah dan bangunan.
Obyek bea perolehan hak atas tanah dan bangunan dapat dijabarkan sebagai
berikut:
 Jual beli
 Tukar menukar
 Hibah
 Hibah wasiat
 Waris
 Pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lain
 Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan
 Penunjukan pembeli pada lelang
 Pelaksanaan putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap
 Penggabungan usaha
 Peleburan usaha
 Pemekaran usaha
 Hadiah.

Page | 9
Objek pajak yang tidak dikenakan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan adalah objek pajak yang diperoleh :
 Perwakilan diplomatik, konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik
 Negara untuk penyelenggaraan pemerintahan dan atau untuk pelaksanaan
pembangunan guna kepentingan umum
 Badan atau perwakilan organisasi Internasional yang ditetapkan oleh
Menteri
 Orang pribadi atau badan karena konversi hak dan perbuatan hukum lain
dengan tidak adanya perubahan nama
 Karena wakaf
 Karena warisan
 Untuk digunakan kepentingan ibadah.

4. Konsep Pertumbuhan Ekonomi


Pertumbuhan ekonomi adalah proses perubahan kondisi perekonomian
suatu negara secara berkesinambungan menuju keadaan yang lebih baik selama
periode tertentu. Pertumbuhan ekonomi dapat diartikan juga sebagai proses
kenaikan kapasitas produksi suatu perekonomian yang diwujudkan dalam bentuk
kenaikan pendapatan nasional. Adanya pertumbuhan ekonomi merupakan indikasi
keberhasilan pembangunan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi suatu negara dapat
diukur dengan cara membandingkan, misalnya untuk ukuran nasional, Gross
National Product (GNP), tahun yang sedang berjalan dengan tahun sebelumnya.
Teori dibangun berdasarkan pengalaman empiris, sehingga teori dapat
dijadikan sebagai dasar untuk memprediksi dan membuat suatu kebijakan.
Terdapat beberapa teori yang mengungkapkan tentang konsep pertumbuhan
ekonomi, secara umum teori tersebut sebagai berikut:
a. Teori pertumbuhan ekonomi historis.
1) Werner Sombart (1863-1947)
Menurut Werner Sombart pertumbuhan ekonomi suatu bangsa
dapat dibagi menjadi tiga tingkatan:

Page | 10
a) Masa perekonomian tertutup
Pada masa ini, semua kegiatan manusia hanya semata-mata
untuk memenuhi kebutuhannya sendiri. Individu atau
masyarakat bertindak sebagai produsen sekaligus konsumen
sehingga tidak terjadi pertukaran barang atau jasa. Masa
pererokoniam ini memiliki ciri-ciri:
I. Kegiatan manusia untuk memenuhi kebutuhan
sendiri.
II. Setiap individu sebagai produsen sekaligus sebagai
konsumen.
III. Belum ada pertukaran barang dan jasa.
b) Masa kerajinan dan pertukangan.
Pada masa ini, kebutuhan manusia semakin meningkat, baik
secara kuantitatif maupun secara kualitatif akibat
perkembangan peradaban. Peningkatan kebutuhan tersebut
tidak dapat dipenuhi sendiri sehingga diperlukan pembagian
kerja yang sesuai dengan keahlian masing-masing.
Pembagian kerja ini menimbulkan pertukaran barang dan
jasa. Pertukaran barang dan jasa pada masa ini belum
didasari oleh tujuan untuk mencari keuntungan, namun
semata-mata untuk saling memenuhi kebutuhan. Masa
kerajinan dan pertukangan memiliki beberapa ciri-ciri
sebagai berikut:
I. Meningkatnya kebutuhan manusia.
II. Adanya pembagian tugas sesuai dengan keahlian.
III. Timbulnya pertukaran barang dan jasa.
IV. Pertukaran belum didasari profit motive.
c) Masa kapitalis.
Pada masa ini muncul kaum pemilik modal (kapitalis).
Dalam menjalankan usahanya kaum kapitalis memerlukan
para pekerja (kaum buruh). Produksi yang dilakukan oleh
kaum kapitalis tidak lagi hanya sekedar memenuhi

Page | 11
kebutuhanya, tetapi sudah bertujuan mencari laba. Werner
Sombart membagi masa kapitalis menjadi empat masa
sebagai berikut:
I. Pada masa ini muncul kaum pemilik modal
(kapitalis). Dalam menjalankan usahanya kaum
kapitalis memerlukan para pekerja (kaum buruh).
Produksi yang dilakukan oleh kaum kapitalis tidak
lagi hanya sekedar memenuhi kebutuhanya, tetapi
sudah bertujuan mencari laba. Werner Sombart
membagi masa kapitalis menjadi empat masa
sebagai berikut:
 Tingkat prakapitalis.
 Tingkat kapitalis.
 Tingkat kapitalisme raya.
 Tingkat kapitalisme akhir.

2) Friedrich List (1789-1846).


Menurut Friendrich List, pertumbuhan ekonomi suatu bangsa dapat
dibagi menjadi empat tahap sebagai berikut:
a) Masa berburu dan pengembaraan.
b) Masa beternak dan bertani.
c) Masa bertani dan kerajinan.
d) Masa kerajinan, industri, perdagangan.

3) Karl Butcher (1847-1930).


Menurut Karl Bucher, pertumbuhan ekonomi suatu bangsa dapat
dibedakan menjadi empat tingkatan sebagai berikut:
a) Masa rumah tangga tertutup.
b) Rumah tangga kota.
c) Rumah tangga bangsa.
d) Rumah tangga dunia.

Page | 12
4) Walt Whiteman Rostow (1916-1979).
W.W.Rostow mengungkapkan teori pertumbuhan ekonomi dalam
bukunya yang bejudul The Stages of Economic Growth
menyatakan bahwa pertumbuhan perekonomian dibagi menjadi 5
(lima) sebagai berikut:
a) Masyarakat Tradisional (The Traditional Society)
I. Merupakan masyarakat yang mempunyai struktur
pekembangan dalam fungsi-fungsi produksi yang
terbatas.
II. Belum ada ilmu pengetahuan dan teknologi modern.
III. Terdapat suatu batas tingkat output per kapita yang
dapat dicapai.
b) Masyarakat pra kondisi untuk periode lepas landas (the
preconditions for take off).
I. Merupakan tingkat pertumbuhan ekonomi dimana
masyarakat sedang berada dalam proses transisi.
II. Sudah mulai penerapan ilmu pengetahuan modern
ke dalam fungsi-fungsi produksi baru, baik di
bidang pertanian maupun di bidang industri.
c) Periode Lepas Landas (The take off).
I. Merupakan interval waktu yang diperlukan untuk
emndobrak penghalang-penghaang pada
pertumbuhan yang berkelanjutan.
II. Kekuatan-kekuatan yang dapat mendorong
pertumbuhan ekonomi diperluas.
III. Tingkat investasi yang efektif dan tingkat produksi
dapat meningkat.
IV. Investasi efektif serta tabungan yang bersifat
produktif meningkat atau lebih dari jumlah
pendapatan nasional.

Page | 13
V. Industri-industri baru berkembang dengan cepat dan
industri yang sudah ada mengalami ekspansi dengan
cepat.
d) Gerak Menuju Kedewasaan (Maturity).
I. Merupakan perkembangan terus menerus daimana
perekonoian tumbuh secaa teratur serta lapangan
usaha bertambah luas dengan penerapan teknologi
modern.
II. Investasi efektif serta tabungan meningkat dari 10 %
hingga 20 % dari pendapatan nasional dan investasi
ini berlangsung secara cepat.
III. Output dapat melampaui pertamabahn jumlah
penduduk.
IV. Barang-barang yang dulunya diimpor, kini sudah
dapat dihasilkan sendiri.
V. Tingkat perekonomian menunjukkkan kapasitas
bergerak melampau kekuatan industri pad masa take
off dengan penerapan teknologi modern.
e) Tingkat Konsumsi Tinggi (high mass consumption)
I. Sektor-sektor industri emrupakan sektor yang
memimpin (leading sector) bergerak ke arah
produksi barang-barang konsumsi tahan lama dan
jasa-jasa.
II. Pendapatn riil per kapita selalu meningkat sehingga
sebagian besar masyarakat mencapai tingkat
konsumsi yang melampaui kebutuhan bahan pangan
dasar, sandang, dan pangan.
III. Kesempatan kerja penuh sehingga pendapata
nasional tinggi.
IV. Pendapatan nasional yang tinggi dapat memenuhi
tingkat konsumsi tinggi.

Page | 14
b. Teori Klasik Dan Neo-Klasik.
1) Teori Klasik
a) Adam Smith.
Teori Adam Smith beranggapan bahwa pertumbuhan
ekonomi sebenarnya bertumpu pada adanya pertambahan
penduduk. Dengan adanya pertambahan penduduk maka
akan terdapat pertambahan output atau hasil. Teori Adam
Smith ini tertuang dalam bukunya yang berjudul An Inquiry
Into the Nature and Causes of the Wealth of Nations.
b) David Ricardo.
Ricardo berpendapat bahwa faktor pertumbuhan penduduk
yang semakin besar sampai menjadi dua kali lipat pada
suatu saat akan menyebabkan jumlah tenaga kerja
melimpah. Kelebihan tenaga kerja akan mengakibatkan
upah menjadi turun. Upah tersebut hanya dapat digunakan
untuk membiayai taraf hidup minimum sehingga
perekonomian akan mengalami kemandegan (statonary
state). Teori David Ricardo ini dituangkan dalam bukunya
yang berjudul The Principles of Political and Taxation.
2) Teori Neoklasik.
a) Robert Solow.
Robert Solow berpendapat bahwa pertumbuhan ekonomi
merupakan rangkaian kegiatan yang bersumber pada
manusia, akumulasi modal, pemakaian teknologi modern
dan hasil atau output. Adapun pertumbuhan penduduk dapat
berdampak positif dan dapat berdampak negatif. Oleh
karenanya, menurut Robert Solow pertambahan penduduk
harus dimanfaatkan sebagai sumber daya yang positif. b.
Harrord Domar Teori ini beranggapan bahwa modal harus
dipakai secara efektif, karena pertumbuhan ekonomi sangat
dipengaruhi oleh peranan pembentukan modal tersebut.

Page | 15
Teori ini juga membahas tentang pendapatan nasional dan
kesempatan kerja.
5. Pendapatan Asli Daerah
Pendapatan asli daerah adalah penerimaan yang diperoleh dari sektor pajak
daerah, retribusi daerah, hasil perusahaan milik daerah, hasil pengeloalaan
kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah.
Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan salah satu komponen sumber
pendapatan daerah sebagaimana yang telah diatur dalam pasal 79 undang-undang
nomor 22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah, berdasarkan pasal 79 UU
22/1999 disimpulkan bahwa sesuatu yang diperoleh pemerintah daerah yang dapat
diukur denga uang karena kewenangan (otoritas) yang diberikan masyarakat dapat
berupa hasil pajak daerah dan retribusi daerah. Sumber pendapatan daerah terdiri
dari:
a. Hasil pajak Daerah.
b. Hasil retribusi Daerah.
c. Hasil perusahaan milik Daerah dan hasil pengelolaan kekayaan Daerah
lainnya yang dipisahkan.
d. lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang sah.
Kebijakan keuangan daerah diarahkan untuk meningkatkan pendapatan
asli daerah sebagai sumber utama pendapatan daerah yang dapat dipergunakan
oleh daerah dalam rnelaksanakan pemerintahan dan pembangunan daerah sesuai
dengan kebutuhannya guna memperkecil ketergantungan dalam mendapatkan
dana dan pemerintah tingkat atas (subsidi). Dengan demikian usaha peningkatan
pendapatan asli daerah seharusnya dilihat dari perspektif yang Iebih luas tidak
hanya ditinjau dan segi daerah masing-masing tetapi daham kaitannya dengan
kesatuan perekonomian Indonesia. Pendapatan asli daerah itu sendiri, dianggap
sebagai alternatif untuk memperoleh tambahan dana yang dapat digunakan untuk
berbagai keperluan pengeluaran yang ditentukan oleh daerah sendiri khususnya
keperluan rutin. Oleh karena itu peningkatan pendapatan tersebut merupakan hal
yang dikehendaki setiap daerah.
Dalam upaya memperbesar peran pemerintah daerah dalam pembangunan,
pemerintah daerah dituntut untuk lebih mandiri dalam membiayai kegiatan

Page | 16
operasionah rumah tangganya. Berdasarkan hal tersebut dapat dilihat bahwa
pendapatan daerah tidak dapat dipisahkan dengan belanja daerah, karena adanya
saling terkait dan merupakan satu alokasi anggaran yang disusun dan dibuat untuk
melancarkan roda pemerintahan daerah.
Sebagaimana halnya dengan negara, maka daerah dimana masing-rnasing
pemerintah daerah mempunyai fungsi dan tanggung jawab untuk meningkatkan
kehidupan dan kesejahteraan rakyat dengan jalan melaksanakan pembangunan
disegala bidang sebagaimana yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah bahwa “Pemerintah daerah berhak dan
berwenang menjalankan otonomi, seluas-Iuasnya untuk mengatur dan mengurus
sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan.
Adanya hak, wewenang, dan kewajiban yang diberikan Kepada daerah
untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri, merupakan satu upaya
untuk meningkatkan peran pemerintah daerah dalam mengembangkan potensi
daerahnya dengan mengelola sumber-sumber pendapatan daerah secara efisien
dan efektif khususnya Pendapatan asli daerah sendiri.

Page | 17
BAB III
PEMBAHASAN

A. KEBIJAKAN PENGALIHAN PBB P2 DAN BPHTB


1. Konsep Kebijakan Pengalihan PBB P2 dan BPHTB
Pajak di Indonesia, berdasarkan pengelolaannya dibagi menjadi 2, yaitu
Pajak Pusat dan Pajak Daerah. Pajak Pusat adalah pajak-pajak yang dikelola oleh
Pemerintah Pusat yang dalam hal ini sebagian besar dikelola oleh Direktorat
Jenderal Pajak - Kementerian keuangan. Yang termasuk Pajak Pusat adalah Pajak
Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak atas Penjualan Barang
Mewah (PPnBM), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea Perolehan Hak atas
Tanah dan Bangunan (BPHTB) dan Bea Materai. Sedangkan Pajak Daerah adalah
pajak-pajak yang dikelola oleh Pemerintah Daerah baik di tingkat Propinsi
maupun Kabupaten/Kota. Yang termasuk Pajak Daerah adalah Pajak Kendaraan
Bermotor (PKB), Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor, Pajak Bahan Bakar
Kendaraan Bermotor, Pajak Air Permukaan, Pajak Rokok, Pajak Hotel, Pajak
Restoran, Pajak Hiburan, Pajak Reklame, Pajak Penerangan Jalan, Pajak Mineral
Bukan Logam dan Batuan, Pajak Parkir, Pajak Air Tanah, dan Pajak Sarang
Burung Walet.
PBB sendiri terdiri dari 5 Sektor, yaitu:
a) PBB sektor Pedesaan
b) PBB sektor Perkotaan
c) PBB sektor Perkebunan
d) PBB sektor Perhutanan
e) PBB sektor Pertambangan
Dengan disahkannya UU PDRD pada tanggal 15 Desember 2009, dan
berlaku mulai 1 Januari 2010, maka PBB sektor Pedesaan dan Perkotaan (PBB
P2) dan BPHTB dialihkan menjadi pajak daerah. Tujuan pengalihan PBB P2 dan
BPHTB kepada pemerintah Kabupaten / Kota adalah agar Pendapatan Asli
Daerah (PAD) meningkat, sehingga daerah akan lebih mampu mengurus dan

Page | 18
mengelola rumah tangganya secara mandiri, termasuk menyangkut penyediaan
sumber dana penyelenggaraan pemerintahan dan penerimaan pajak.
Dasar pemikiran dan alasan pokok pengalihan BPHTB dan PBB-P2 menjadi
pajak daerah, antara lain: pertama berdasarkan teori, property tax lebih bersifat
lokal (local origin), visibilitas, objek pajak tidak berpindah-pindah (immobile),
dan terdapat hubungan erat antara pembayar pajak dan yang menikmati hasil
pajak tersebut (the benefit tax-link principle). Kedua, pengalihan kedua jenis pajak
tersebut diharapkan akan meningkatkan PAD dan sekaligus memperbaiki struktur
APBD. Ketiga, untuk meningkatkan pelayanan masyarakat (public services),
akuntabilitas, dan transparasi dalam pengelolaan BPHTB dan PBB-P2. Keempat,
bahwa berdasarkan praktek di banyak negara, BPHTB dan PBB-P2 termasuk
dalam jenis local tax.
Diserahkannya BPHTB dan PBB-P2 kepada daerah, tidak hanya sekedar
untuk meningkatkan kemampuan daerah dalam memenuhi kebutuhan
pengeluarannya dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan, namun juga untuk
lebih mengefektifkan pengelolaan BPHTB dan PBB-P2. Pemerintah Daerah
tentunya lebih memahami karakteristik daerahnya dan mengetahui apa yang
terbaik yang akan dilakukan bagi masyarakat setempat. Sehingga dengan
dialihkannya BPHTB dan PBB-P2 menjadi pajak daerah diharapkan pelayanan
kepada Wajib Pajak akan menjadi lebih baik, efektif, efisien dan akuntabel.
BPHTB sepenuhnya dialihkan ke Pemerintah Kabupaten / Kota mulai 1
Januari 2011. Ini didasarkan pada Pasal 82 Ayat 2 UU PDRD yang mengatur
bahwa Menteri Keuangan bersama-sama menteri Dalam Negeri mengatur tahapan
persiapan pengalihan BPHTB sebagai pajak daerah dalam waktu paling lama 1
tahun sejak berlakunya UU PDRB. Sedangkan untuk PBB P2 masih tetap dikelola
DJP paling lama sampai dengan 31 Desember 2013, sepanjang belum ada
Peraturan Daerah tentang PBB yang terkait dengan Pedesaan dan Perkotaan.
Adapun tujuan kebijakan pengalihan PBB P2 dan BPHTB sebagai Pajak
Daerah adalah sebagai berikut:
a. Memperluas objek pajak daerah dan retribusi daerah
b. Menambah jenis pajak daerah dan retribusi daerah (termasuk pengalihan
PBB Perdesaan dan Perkotaan dan BPHTB menjadi Pajak Daerah)

Page | 19
c. Memberikan diskresi penetapan tarif pajak kepada daerah
d. Menyerahkan fungsi pajak sebagai instrumen penganggaran dan pengaturan
pada daerah
Dengan terbitnya Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak
Daerah dan Retribusi Daerah, Pemerintah Daerah kini mempunyai tambahan
sumber pendapatan asli daerah (PAD) yang berasal dari Pajak Daerah, sehingga
saat ini Jenis Pajak Kabupaten/Kota terdiri dari sebelas jenis pajak, yaitu Pajak
Hotel, Pajak Restoran, Pajak Hiburan, Pajak Reklame, Pajak Penerangan Jalan,
Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan, Pajak Parkir, Pajak Air Tanah, dan
Pajak Sarang Burung Walet, Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan,
dan Bea perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan. Matriks penambahan jenis
Pajak Kabupaten/Kota dapat dilihat pada tabel berikut ini:

UU 34/2000 UU 28/2009
1) Pajak Hotel 1) Pajak Hotel
2) Pajak Hiburan 2) Pajak Hiburan
3) Pajak Restoran 3) Pajak Restoran
4) Pajak Reklame 4) Pajak Reklame
5) Pajak Penerangan Jalan 5) Pajak Penerangan Jalan
6) Pajak parkir 6) Pajak parkir
7) Pajak Pengambilan Bahan 7) Pajak Mineral Bukan
Galian Golongan C Logam dan Batuan
(perubahan nomenklatur)
8) Pajak Air Tanah
(pengalihan dari Prov)
9) Pajak Sarang Burung Walet
(baru)
10) PBB Pedesaan & Perkotaan
(baru)
11) Bea Perolehan Hak Atas
Tanah dan Bangunan (baru)

Page | 20
2. Tugas Pihak Terkait dalam Pengalihan Pengelolaan PBB dan BPHTB
Pihak-pihak yang berperan dalam persiapan pengalihan PBB-P2 seperti
tercantum pada Peraturan Bersama Menteri Keuangan dan Menteri Dalam Negeri
adalah Kementerian Keuangan, Kementerian Dalam Negeri, dan Pemerintah
Daerah. Tugas dan tanggung jawab masing-masing pihak dijabarkan sebagai
berikut:
a) Direktorat Jenderal Pajak
 Menyampaikan salinan Peraturan BPBHTB dan PBB-P2
 Menyampaikan Standard Operating Procedures Pengelolaan BPHTB
dan PBB-P2
 Menyampaikan Struktur, Tugas dan Fungsi Pengelolaan BPBHTB dan
PBB-P2
 Menyampaikan Data Tunggakan BPHTB dan PBB-P2
 Menyampaikan Data NJOP, NJOPTKP, NPOPTKP, Peta, SISMIOP
 Aplikasi SISMIOP dan sourcecode
 Sosialisasi ke Stakeholder (Wajib Pajak, Kantor Pertanahan, Kantor
Lelang, Bank, Pemerintah Daerah)
 Asistensi ke Pemerintah Daerah
b) Kementerian dalam Negeri
 penyiapan pedoman struktur organisasi dan tata kerja pemerintah
daerah,
 pemberian bimbingan, konsultasi, pendidikan dan pelatihan teknis, dan
 pelaksanaan supervisi dalam rangka pengalihan kewenangan
pemungutan PBB-P2.
c) Pemerintahan Daerah
Pemerintah Daerah bertugas dan bertanggung jawab menyiapkan:
 Sarana dan prasarana,
 Struktur organisasi dan tata kerja,
 Sumber daya manusia,
 Peraturan daerah, peraturan kepala daerah, dan sop,

Page | 21
 Kerja sama dengan pihak terkait, antara lain, kantor pelayanan pajak,
perbankan, kantor pertanahan, dan notaris/pejabat pembuat akta
tanah, dan
 Pembukaan rekening penerimaan pbb-p2 pada bank yang sehat.

B. PENGARUH PENGALIHAN PBB DAN BPHTB SEBAGAI PAJAK


DAERAH PADA PENINGKATAN PAD
1. PBB P2

Pengalihan PBB-P2 didesain tidak dilakukan serentak pada seluruh


Pemda, namun dilakukan sesuai dengan kesiapan Pemda antara lain dalam
menyiapkan peraturan pelaksanaan sebagai payung hukum, perangkat lunak
dan keras, dan sumber daya manusia yang akan mengelolanya sehingga
pengalihan PBB-P2 tidak menimbulkan permasalahan baru yang membebani
Wajib Pajak dan Pemda.
Sampai dengan 31 Juli 2012, terdapat 245 daerah atau 49,8 persen dari
jumlah daerah yang telah menetapkan Perda PBB-P2. Kelompok daerah ini
memiliki potensi PBB-P2 sekitar 91,2 persen dari total penerimaan PBB-P2
tahun 2010. Sementara itu, terdapat 64 daerah atau 13,0 persen dari jumlah
daerah, yang masih dalam proses menetapkan Perda PBB-P2. Kelompok
daerah ini memiliki potensi penerimaan PBB-P2 sekitar 2,3 persen dari total

Page | 22
penerimaan PBB-P2 tahun 2010. Sedangkan daerah yang belum menyusun
Perda PBB-P2 sebanyak 183 daerah atau 37,2 persen dari jumlah daerah yang
ada. Kelompok daerah ini memiliki potensi penerimaan PBB-P2 sekitar 6,5
persen dari total penerimaan tahun 2010.
Dari 245 daerah yang telah menetapkan Perda PBB-P2, terdapat 1 daerah,
yaitu Kota Surabaya yang telah memungut PBB-P2 tahun 2011 dan 17 daerah
mulai memungut PBB-P2 tahun 2012. Sementara sekitar 110 daerah lainnya
merencanakan akan mulai memungut PBB-P2 tahun 2013 dan 117 daerah akan
memungut tahun 2014.
Dengan pengalihan ini, penerimaan PBB-P2 akan sepenuhnya masuk ke
pemerintah kabupaten/kota sehingga diharapkan mempu meningkatkan jumlah
pendapatan asli daerah. Pada saat PBB-P2 dikelola oleh pemerintah pusat,
pemerintah kabupaten/kota hanya mendapatkan bagian sebesar 64,8 %. Setelah
pengalihan ini, semua pendapatan dari sektor PBB-P2 akan masuk ke dalam
kas pemerintah daerah. Salah satu contoh daerah yang mengalami kenaikan
pendapatan asli daerah pasca pengalihan PBB-P2 adalah kota Surabaya.
Walikota Surabaya, Ir. Tri Rismaharini, MT. menyatakan bahwasanya pada
tahun 2010, PAD kota Surabaya hanya Rp.1 Triliun. Di tahun 2011, PAD kota
Surabaya akan menjadi Rp.2 Triliun. Beliau manambahkan bahwa penyebab
kenaikan PAD tersebut berasal dari PBB dan BPHTB.

2. BPHTB
Salah satu indikator keberhasilan pengalihan BPHTB menjadi pajak
daerah adalah kemampuan daerah untuk memungut seluruh potensi BPHTB di
daerahnya. Karena potensi BPHTB sangat ditentukan oleh kegiatan ekonomi
yang berlangsung di daerahnya, maka tolok ukur yang digunakan sebagai
pembanding adalah realisasi penerimaan BPHTB pada tahun sebelum
pengalihan. Dilihat dari sisi penerimaan, secara nasional pengalihan BPHTB
memberikan kontribusi terhadap penerimaan daerah yang cukup besar, yaitu
kurang lebih Rp8,2 triliun atau meningkat sebesar 4 persen dari penerimaan
sebelum pengalihan, meskipun masih terdapat 16 daerah yang belum
melaksanakan pemungutan PBB-P2 pada tahun 2011.

Page | 23
Tabel di atas memperlihatkan bahwa dalam semester I Tahun 2011,
beberapa daerah dapat merealisir pemungutan BPHTB dengan baik
(proporsional dengan realisasi penerimaan semester I tahun sebelumnya) dan
bahkan ada diantaranya yang telah dapat melampaui realisasi penerimaan
BPHTB tahun 2010. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah daerah pada
dasarnya siap dan mampu untuk memungut BPHTB sebagaimana halnya

Page | 24
dengan yang selama ini dilakukan oleh pemerintah pusat. Hal ini tidak terlepas
dari strategi yang tepat dari pemerintah pusat dalam mempersiapkan
pengalihan BPHTB serta dukungan dan kerjasama pemerintah daerah dalam
pelaksanaan pemungutannya.
Berdasarkan tabel diatas dapat disimpulkan bahwa pengalihan BPHTB
sebagai pajak daerah juga berhasil meningkatkan Pendapatan Asli Daerah
(PAD) kabupaten atau kota. Salah satu contohnya adalah kabupaten
Bojonegoro yang pada tahun 2010 (sebelum diberlakukannya UU PDRD)
meningkatkan pendapatan daerah sebesar 170% pada semester pertama tahun
2011.
Namun begitu ditemukan juga beberapa daerah yang memiliki peningkatan
pendapatan yang tidak signifikan. Contohnya adalah Kabupaten Cianjur.
Selama semester pertama tahun 2011, Cianjur memiliki realisasi penerimaan
BPHTB terendah di Indonesia yaitu sebesar 29%. Sedangkan Kabupaten
dengan realisasi penerimaan BPHTB tertinggi dimiliki oleh Kabupaten Kutai
Barat yang mencapai angka 542%.

Page | 25
BAB IV
PENUTUP

A. KESIMPULAN
1) Dengan disahkannya UU PDRD pada tanggal 15 Desember 2009, dan
berlaku mulai 1 Januari 2010, maka PBB sektor Pedesaan dan Perkotaan
(PBB P2) dan BPHTB dialihkan menjadi pajak daerah
2) BPHTB sepenuhnya dialihkan ke Pemerintah Kabupaten / Kota mulai 1
Januari 2011, sedangkan untuk PBB P2 masih tetap dikelola DJP paling
lama sampai dengan 31 Desember 2013, sepanjang belum ada Peraturan
Daerah tentang PBB yang terkait dengan Pedesaan dan Perkotaan.
3) Dengan terbitnya Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak
Daerah dan Retribusi Daerah, Pemerintah Daerah kini mempunyai
tambahan sumber pendapatan asli daerah (PAD) yang berasal dari Pajak
Daerah.
4) Pihak-pihak yang berperan dalam persiapan pengalihan PBB-P2 seperti
tercantum pada Peraturan Bersama Menteri Keuangan dan Menteri Dalam
Negeri adalah Kementerian Keuangan, Kementerian Dalam Negeri, dan
Pemerintah Daerah.
5) Pengalihan PBB P2 menjadi Pajak Daerah terbukti berhasil meningkatkan
PAD Kabupaten/Kota. Contoh nyatanya yaitu Kota Surabaya yang
mengalami peningkatan PAD yang signifikan.
6) Dilihat dari sisi penerimaan, secara nasional pengalihan BPHTB
memberikan kontribusi terhadap penerimaan daerah yang cukup besar,
yaitu kurang lebih Rp8,2 triliun atau meningkat sebesar 4 persen dari
penerimaan sebelum pengalihan, meskipun masih terdapat 16 daerah yang
belum melaksanakan pemungutan PBB-P2 pada tahun 2011.

B. SARAN
Bagi Pemerintah Daerah
1) Membangun kerja sama dengan semua pihak yang terkait dengan
pengalihan PBB-P2 dan BPHTB seperti Badan Pertanahan Nasional

Page | 26
(BPN), Notaris, Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), dan Dispenda dari
tingkat kota sampai dengan kelurahan, serta Kantor Wilayah Pajak dan
Kantor Pelayanan Pajak yang ada di wilayah masing-masing.
2) Segera membuat peraturan daerah mengenai PBB-P2 dan BPHTB, karena
jika sampai akhir 2013 daerah tersebut masih belum siap, maka daerah
tersebut akan berpotensi kehilangan salah satu sumber pendapatan asli
daerah karena pada saat itu pemerintah pusat sudah tidak boleh melakukan
pemungutan terhadap kedua jenis pajak tersebut,
3) Menyiapkan struktur organisasi dan tata kerja.
4) Menyiapkan Sumber Daya Manusia dengan training dan memagangkan
staf-stafnya secara bergantian, dari tingkat kota sampai dengan tingkat
kelurahan,
5) Melakukan pengadaan sarana dan prasarana seperti peralatan dan
pengadaan barang percetakan, serta menyiapkan aplikasi pendataan yang
online dengan data yang dimiliki oleh BPN dan notaris PPAT.

Page | 27
DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 2012. Belajar Pajak (online). pajak.go.id. Diakses pada 17 Februari


2013.

Anonim, 2012. Pengalihan PBB Menjadi Pajak Daerah (online). pajak.go.id.


Diakses pada 17 Februari 2013.

Anonim, 2012. Pengalihan PBB Pedesaan dan Perkotaan Sebagai Pajak Daerah
(online). pajak.go.id. Diakses pada 17 Februari 2013.

Anonim. 2012. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (Online).
id.wikipedia.org. Diakses pada 17 Februari 2013

Anonim. 2012. Objek dan Subjek Pajak (Online). www.pajakonline.com. Diakses


pada 17 Februari 2013

Anonim. 2012. Pajak Bumi dan Bangunan (Online). id.wikipedia.org. Diakses


pada 17 Februari 2013

Anonim. 2013. Kebijakan Fiskal (Online). id.wikipedia.org. Diakses pada 17


Februari 2013

Anonim. 2013. Pertumbuhan Ekonomi (Online). id.wikipedia.org. Diakses pada


17 Februari 2013

Anonim. Pendapatan Asli Daerah (Online). www.negarahukum.com. Diakses


pada 19 februari 2013

Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan. 2011. Tinjauan Pelaksanaan


Pengalihan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan BPHTB Menjadi Pajak
Daerah. Jakarta: Kemenkeu

Nota Keuangan dan Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun
Anggaran 2013

Pamuji, Kadar. Implikasi Kebijakan “Pendaerahan” Pengelolaan PBB Setelah


Berlakunya UU nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan

Page | 28
Retribusi Daerah. (Online). Fh.unsoed.ac.id. Diakses pada 17 Februari
2013.

Undang - Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1994 Tentang Pajak


Bumi dan Bangunan

Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak


Daerah dan Retribusi Daerah

Page | 29

Anda mungkin juga menyukai