Anda di halaman 1dari 17

PENERAPAN BALANCED SCORECARD

DALAM PENILAIAN KINERJA


PENGELOLA PAJAK BUMI DAN BANGUNAN
PERDESAAN DAN PERKOTAAN (PBB P2)

Amin Subiyakto1)
1
Balai Diklat Yogyakarta
email: amin.subiyakto@gmail.com

Abstract
Dalam pengalihan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB P2)
dari DJP ke Pemerintah Kabupaten/Kota, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
(DJPK) bertugas dan bertanggung jawab menggandakan hasil kompilasi bahan-bahan tersebut
dan selanjutnya menyerahkan hasil kompilasi dimaksud ke Pemerintah Daerah, serta
melakukan pemantauan dan pembinaan pelaksanaan pengalihan kewenangan pemungutan
PBB-P2 ke Pemerintah Daerah. Pihak yang terkait dengan pengalihan adalah DJP sebagai
pihak yang selama ini mengelola PBB P2 dan DJPK sebagai team leader dalam pengalihan
PBB P2. Namun tidak disebutkan secara eksplisit tanggung jawab untuk memberikan panduan
dalam hal bagaimana memastikan tujuan pengelolaan PBB P2 oleh Pemerintah Daerah
tercapai melalui pengelolaan proses bisnis yang tepat dan bagaimana membengun dukungan
sumber daya yang memadai.
Bagaimana membangun acuan melalui penetapan target-target sebagai sasaran
capaian sekaligus mengukur kinerja Pemda dalam mengelola PBB? Melalui Balance
Scorecard, target-target tersebut bisa diterjemahkan. Fokus penelitian ini adalah bagaimana
pengukuran kinerja dalam pengelolaan PBB P2 di Pemerintah Daerah pasca pengalihan PBB
P2 dengan menggunakan BSC melalui pendekatan benchmarking dengan pengukuran kinerja
dalam pengelolaan PBB P2 di DJP dengan menggunakan konsep BSC. Penelitian ini
merupakan penelitian kualitatif yang bertujuan mengembangkan konsep pengukuran kinerja
dengan pendekatan balanced scorecard bagi Pemerintah Kabupaten/Kota khususnya unit
pengelola PBB P2.

Keywords: Balanced Scorecard, Pengalihan PBB P2, Penilaian Kinerja, Indikator Kinerja

1. PENDAHULUAN
Dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan, Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi
atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi terdiri atas daerah-daerah kabupaten dan kota.
Tiap-tiap daerah tersebut mempunyai hak dan kewajiban mengatur dan mengurus sendiri urusan
pemerintahannya untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan
dan pelayanan kepada masyarakat.
Untuk menyelenggarakan pemerintahan tersebut, Daerah berhak mengenakan pungutan
kepada masyarakat. Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
yang menempatkan perpajakan sebagai salah satu perwujudan kenegaraan, ditegaskan bahwa
penempatan beban kepada rakyat, seperti pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa diatur
dengan Undang-Undang. Dengan demikian, pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
harus didasarkan pada Undang-Undang.
Hasil penerimaan Pajak dan Retribusi diakui belum memadai dan memiliki peranan yang
relative kecil terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) khususnya bagi daerah
kabupaten dan kota. Sebagian besar pengeluaran APBD dibiayai dana alokasi dari pusat. Dalam
banyak hal, dana alokasi dari pusat tidak sepenuhnya dapat diharapkan menutup seluruh
kebutuhan pengeluaran Daerah. Oleh karena itu, pemberian peluang untuk mengenakan pungutan
baru yang semula diharapkan dapat meningkatkan penerimaan Daerah, dalam kenyataannya tidak
banyak diharapkan dapat menutupi kekurangan kebutuhan pengeluaran tersebut.
Ketergantungan Daerah yang sangat besar terhadap dana perimbangan dari pusat dalam
banyak hal kurang mencerminkan akuntabilitas Daerah.Pemerintah Daerah tidak terdorong untuk
mengalokasikan anggaran secara efisien dan masyarakat setempat tidak ingin mengontrol
anggaran Daerah karena merasa tidak dibebani dengan Pajak dan Retribusi.
Untuk meningkatkan akuntabilitas penyelenggaraan otonomi daerah, Pemerintah Daerah
seharusnya diberi kewenangan yang lebih besar dalam perpajakan dan retribusi. Berkaitan dengan
pemberian kewenangan tersebut sesuai dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan
Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, perluasan kewenangan
perpajakandan retribusi tersebut dilakukan dengan memperluas basis pajak Daerah dan
memberikan kewenangan kepada Daerah dalam penetapan tarif.
Perluasan basis pajak tersebut dilakukan sesuai dengan prinsip pajak yang baik.Pajak dan
Retribusi tidak menyebabkan ekonomi biaya tinggi dan/atau menghambat mobilitas penduduk,
lalu lintas barang dan jasa antar daerah dan kegiatan ekspor-impor. Pungutan seperti Retribusi
atas izin masuk kota, Retribusi atas pengeluaran/pengiriman barang dari suatu daerah ke daerah
lain dan pungutan atas kegiatan ekspor-impor tidak dapat dijadikan sebagai objek Pajak atau
Retribusi. Berdasarkan pertimbangan tersebut perluasan basis pajak Daerah dilakukan dengan
memperluas basis pajak yang sudah ada, mendaerahkan pajak pusat dan menambah jenis Pajak
baru. Ada 4 (empat) jenis Pajak baru bagi Daerah, yaitu Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan
Perkotaan dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang sebelumnya merupakan pajak
pusat dan Pajak Sarang Burung Walet sebagai Pajak kabupaten/kota serta Pajak Rokok yang
merupakan Pajak baru bagi provinsi.
Terkait dengan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB P2), dengan
pengalihan ini maka seluruh proses bisnis pengelolaan PBB yang sebelumnya dilaksanakan oleh
Pemerintah Pusat cq Direktorat Jenderal Pajak, akan dialihkan kepada pemerintah daerah. Proses
bisnis tersebut meiputipendataan, penilaian, penetapan, pengadministrasian, pemungutan/
penagihan dan pelayanan PBB P2.
Disisi lain, Peraturan Bersama Menteri Keuangan Republik Indonesia Dan Menteri Dalam
Negeri Republik Indonesia Nomor 213/Pmk.07/2010, Nomor 58 Tahun 2010 Tentang Tahapan
Persiapan Pengalihan Pajak Bumi Dan Bangunan Perdesaan Dan Perkotaan Sebagai Pajak Daerah
mengatur bahwa dalam rangka pengalihan kewenangan pemungutan PBB-P2 Direktorat Jenderal
Pajak bertugas dan bertanggung jawab mengkompilasi :
a. peraturan pelaksanaan PBB-P2 sebagai bahan acuan Pemerintah Daerah dalam
menyusun Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah;
b. standard operating procedure (SOP) terkait PBB-P2 sebagai bahan acuan Pemerintah
Daerah dalam menyusun SOP;
c. struktur, tugas, dan fungsi organisasi Direktorat Jenderal Pajak terkait pemungutan
PBB-P2 sebagai bahan acuan Pemerintah Daerah untuk merumuskan struktur
organisasi dan tata kerja pemungutan PBB-P2;
d. data piutang PBB-P2 beserta data pendukungnya;

2
e. Surat Keputusan Menteri Keuangan mengenai penetapan Nilai Jual Objek Pajak Tidak
Kena Pajak (NJOPTKP) yang berlaku dalam kurun waktu 10 (sepuluh) tahun sebelum
Tahun Pengalihan;
f. salinan Peta Desa/Kelurahan, Peta Blok, dan Peta Zona Nilai Tanah dalam bentuk
softcopy;
g. hasil penggandaan basis data PBB-P2 sebelum Tahun Pengalihan; dan
h. hasil penggandaan sistem aplikasi terkait PBB-P2 beserta source code-nya;
untuk diserahkan ke Pemerintah Daerah.
Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK) bertugas dan bertanggung jawab
menggandakan hasil kompilasi bahan-bahan tersebut dan selanjutnya menyerahkan hasil
kompilasi dimaksud ke Pemerintah Daerah, serta melakukan pemantauan dan pembinaan
pelaksanaan pengalihan kewenangan pemungutan PBB-P2 ke Pemerintah Daerah.
Jika dilihat dari tanggung jawab DJP sebagai pihak yang selama ini mengelola PBB P2 dan
DJPK sebagai team leader dalam pengalihan PBB P2, tidak tampak tanggung jawab untuk
memberikan panduan dalam hal bagaimana memastikan tujuan pengelolaan PBB P2 oleh
Pemerintah Daerah tercapai melalui pengelolaan proses bisnis yang tepat dan bagaimana
membengun dukungan sumber daya yang memadai. Bagaimana membangun acuan melalui
penetapan target-target sebagai sasaran capaian sekaligus mengukur kinerja Pemda dalam
mengelola PBB?
Melalui Balance Scorecard, penulis bermaksud untuk menerjemahkan target-target tersebut.
Adapun yang dimaksud dengan Balance Scorecard (BSC) adalah alat mengukur stategi secara
komprehensif dengan pola manajemen strategis. Dalam hal ini, BSC mengukur kinerja
pengelolaan PBB P2 di Pemerintah Daerah yang meliputi sasaran strategis, ukuran keberhasilan,
dan inisiatif strategis yang mendorong pencapaian kinerja yang diharapkan. Hal inilah yang
mendorong penulis untuk melakukan penelitian dengan judul “PENERAPAN BALANCED
SCORCARD DALAM PENILAIAN KINERJA PENGELOLA PAJAK BUMI DAN
BANGUNAN PERDESAAN DAN PERKOTAAN (PBB P2)”
Berdasarkan latar belakang sebelumnya, permasalahan pokok yang akan diteliti adalah
sebagai berikut:
1. Bagaimana pengukuran kinerja dalam pengelolaan PBB P2 di DJP dengan menggunakan
konsep BSC?
2. Bagaimana pengukuran kinerja dalam pengelolaan PBB P2 di Pemerintah Daerah pasca
pengalihan PBB P2 dengan menggunakan BSC?
Dalam penelitian ini, penulis melakukan pembatasan ruang lingkup penelitian pada
strategi pengelolaan PBB, yang meliputi sasaran strategis, peta strategi, dan indikator kinerja
Dinas Pendapatan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (DPPKAD) Kabupaten/Kota terkait
pengelolaan PBB P2. Berdasarakan benckmark dan teori-teori yang relevan, penulis akan
memberi usulan mengenai sasaran strategis, peta strategi, dan indikator kinerja yang relevan
diterapkan pada unit organisasi pengelola PBB

2. TINJAUAN PUSTAKA
A. Landasan Teori
a. Prinsip pemungutan pajak
Prinsip yang harus diperhatikan dalam pengelolaan pajak menurut Adam Smith dalam
bukunya, “An Inquiry Into The Nature and Cause of the Wealth of Nations” adalah (Abdalla,
2010):
a. Equality, pemungutan pajak harus berdasarkan undang-undang, dimana pajak dipungut sesuai
dengan penghasilan yang dimiliki atau melihat kemampuan membayar (ability to pay) wajib
pajak. Prinsip ini diartikan dengan subjek pajak dengan penghasilan rendah dipotong pajak

3
dengan tarif tertentu yang tidak membebankannya, sedangkan subjek pajak dengan tarif tinggi
dipotong dengan tarif tertentu sesuai dengan ketentuan yang diatur perundangundangan.
b. Certainty, pajak yang harus dibayar seseorang harus jelas dan pasti, tidak dapat ditawar-tawar
lagi, dengan menjelaskan mekanisme pemungutan pada peraturan-peraturan yang dapat
diterima oleh subjek pajak.
c. Convenience, dalam memungut pajak, pemerintah hendaknya memperhatikan saat yang paling
tepat kapan harus memungut pajak.
d. Effesiency, biaya pemungutan pajak hendaknya dapat diminimalisir, sehingga fungsi
budgetair pajak dapat tercapai dengan optimal.
Sedangkan prinsip pemungutan pajak menurut Seligman (Abdalla, 2010) adalah:
a. Prinsip fiskal.
Prinsip fiskal ini berhubungan dengan adequancy (kecukupan) dan elasticity (keluwesan),
maksudnya bahwa pemungutan pajak harus menjamin terpenuhinya kebutuhan pengeluaran
negara dan harus pula cukup elastis dalam menghadapi berbagai tantangan, perubahan serta
perkembangan ekonomi.
b. Prinsip administratif.
Prinsip ini mencakup prinsip certainty, convenience, dan prinsip ekonomis. Prinsip certainty
dari Seligman ini dimaksudkan bahwa ketentuan dalam undang-undang perpajakan harus
jelas, dan tidak menimbulkan penafsiran yang berbeda. Ketidakjelasan dalam undang-undang
oleh Seligman dikatakan sebagai undang-undang yang buruk. Sedangkan prinsip convenience
berhubungan dengan pernyataan bagaimana atau kapan pajak itu harus dibayar dan dalam
kondisi yang bagaimana pajak itu dibayar.
c. Prinsip ekonomis.
Prinsip ini dikembangkan menjadi dua, innocuity dan efficiency. Prinsip innocuity adalah
proses pemungutan pajak hendaknya tidak menimbulkan hal-hal yang destruktif, yakni beban
pajak yang dipikul oleh wajib pajak jangan sampai penghalangi perekonomian negara,
menghambat produksi atau mencegah inflasi. Sedangkan prinsip efficiency dimaksudkan agar
sistem perpajakan suatu negara secara praktis dapat dengan mudah dilaksanakan, sehingga
penerimaan yang diharapkan dari pajak dapat tercapai.
d. Prinsip etika meliputi dua hal, yakni uniformity dan universality. Uniformity
(kesamaan/keseragaman) atau equality of taxation (persamaan dalam perpajakan),
dimaksudkan bukanlah suatu keadilan yang mutlak, melainkan suatu keadilan yang relatif
(relative proportional equity).

b. Tujuan pengalihan PBB P2


Menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah, PBB Sektor Perdesaan dan Sektor Perkotaan (P2) dialihkan menjadi pajak
kabupaten/kota. Sedangkan PBB untuk Sektor Perkebunan, Kehutanan dan Pertambangan masih
dikelola oleh Pemerintah Pusat dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan.
Beberapa tujuan utama Undang-UndangNomor 28 Tahun 2009 tentangPajak Daerah dan
Retribusi Daerah adalah (1) memperbaiki kewenangan pemungutan, (2) penguatan local taxing
power; (3) meningkatkan efektivitas pengawasan, dan (4) memperbaiki system pengelolaan.
Tujuan pengalihan pengelolaan PBB Sektor P2 menjadi pajak daerah sesuai dengan
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 adalah sebagai berikut:
1) meningkatkan akuntabilitas penyelenggaraan otonomi daerah;
2) memberikan peluang baru kepada daerah untuk mengenakan pungutan baru (menambah jenis
pajak daerah dan retribusi daerah);
3) memberikan kewenangan yang lebih besar dalam perpajakan dan retribusi dengan
memperluas basis pajak daerah;
4) memberikan kewenangan kepada daerah dalam penetapan tarif pajak daerah, dan
5) menyerahkan fungsi pajak sebagai instrumen penganggaran dan pengaturan pada daerah.

4
c. Perencanaan Strategis
Menurut Lembaga Administrasi Negara (2013), perencanaan strategis merupakan suatu
proses yang berorientasi pada hasil yang ingin dicapai selama kurun waktu 1 (satu) sampai
dengan 5 (lima) tahun secara sistematis dan berkesinambungan dengan memperhitungkan potensi,
peluang, dan kendala yang ada atau yang mungkin timbul. Proses ini menghasilkan suatu rencana
strategis instansi pemerintah, yang setidaknya memuat visi, misi, tujuan, sasaran, strategi,
kebijakan, dan program serta ukuran keberhasilan dan kegagalan dalam pelaksanaannya.
Dalam konteks pendaerahan PBB P2, penyusunan strategi menjadi peroses penting yang
akan menentukan program yang akan dilaksanakan dalam mencapai sasaran-sasaran yang
ditetapkan.

d. Konsep Balanced Scorecard


Menurut Mulyadi (2001), balanced scorecard terdiri dari dua kata: (1) kartu skor
(scorecard) dan (2) berimbang (balance). Berimbang berarti adanya keseimbangan antara kinerja
keuangan dan nonkeuangan, kinerja jangka pendek dan jangka panjang, kinerja yang bersifat
intern dan kinerja yang bersifat ekstern serta dapat menilai kinerja yang telah tercatat dan kinerja
yang diharapkan. Kartu skor (scorecard) adalah kartu yang digunakan untuk merencanakan skor
yang hendak diwujudkan oleh suatu organisasi. Keseimbangan balanced scorecard dapat dilihat
pada gambar berikut.
Gambar 1. Keseimbangan aspek yang diukur dalam balanced scorecard

Sumber: Mulyadi (2001)


Pada gambar 1 terdapat dua garis keseimbangan yaitu garis vertikal dan garis horisontal.
Garis vertikal mengukur keseimbangan antara perspektif yang berfokus ke dalam (internal focus)
dan perspektif yang berfokus ke luar (external focus). Garis horisontal mengukur keseimbangan
antara perspektif yang berfokus ke proses (process centric) dan persektif yang berfokus ke orang
(people centric).
Pada awal perkembangannya, BSC hanya ditujukan untuk memperbaiki system
pengukuran kinerja eksekutif. Sebelum tahun 1990an eksekutif hanya diukur kinerja mereka dari
perspektif keuangan, sehingga terdapat kecenderungan eksekutif mengabaikan kinerja non
keuangan seperti kepuasan pelanggan, produktifitas, dan kefektifan proses yang digunakan untuk
menghasilkan produk dan jasa, dan pemberdayaan dan komitmen karyawan dalam menghasilkan
produk dan jasa bagi kepuasan pelanggan.
BSC menerjemahkan visi dan strategi perusahaan kedalam tujuan konkrit terorganisasi
disepanjang jalur 4 perspektif yang berbeda: finansial, pelanggan, proses internal, dan
pembelajaran dan pertumbuhan. Prinsip dasar BSC adalah memfokuskan pada pelanggan, proses
internal, dan pembelajaran dan pertumbuhan sekarang, perusahaan akan mengamankan posisi
finansial masa depannya. Mengenali keseimbangan antara pengukuran jangka pendek dan
menengah ini penting bagi perusahaan yang ingin cenderung menginginkan kesuksesan finansial
jangka pendek yang seringkali juga diinginkan oleh para pemegang saham.

5
Balanced scorecard mempunyai keunggulan (Mulyadi, 2001) yaitu komprehensif,
koheren, seimbang dan terukur. Keunggulan pertama, balanced scorecard bersifat komprehensfif.
Balanced scorecard menekankan pengukuran kinerja yang menyeluruh, tidak hanya berdasarkan
perspektif keuangan saja melainkan juga perspektif nonkeuangan seperti perspektif pelanggan,
proses bisnis internal, serta pembelajaran dan pembelajaran. Balanced scorecard mengarahkan
organisasi ke dalam sarana-sarana stratejik dalam ketiga perspektif menjadi penyebab utama
dihasilkannya kinerja keuangan.
Keunggulan kedua yaitu koheren atau berhubungan. Balanced scorecard dapat
menghasilkan dua macam kekoherenan, yaitu kekoherenan antara visi dan misi organisasi dengan
program dan rencana jangka pendek serta kekoherenan antara berbagai sarana strategis yang
dirumuskan dalam tahap perencanaan stratejik.
Keunggulan ketiga, balance scorecard mempertimbangkan keseimbangan.
Keseimbangan sasaran stratejik yang dihasilkan oleh sistem perencanaan stratejik penting untuk
menghasilkan kinerja keuangan jangka panjang.
Keunggulan keempat yaitu terukur. Balanced scorecard mengukur sasaran-sasaran
strategis yang sulit untuk diukur. Keterukuran sasaran strategis yang dihasilkan oleh sistem
pernecanaan stratejik menunjukkan ketercapaian berbagai sasaran strategis yang dihasilkan oleh
sistem tertentu.
Menurut Yuwono, dkk (2006), dalam membangun balanced scorecard, langkah-langkah
yang harus dilakukan adalah sebagai berikut:
a. Membangun konsensus atas pentingnya perubahan manajemen,
b. Pembentukan tim proyek balanced scorecard,
c. Mendefinisikan industri, menjelaskan perkembangannya dan peran perusahaan,
d. Menentukan unit bisnus strategi (strategy bussiness unit/SBU),
e. Mengevaluasi sistem pengukuran yang ada,
f. Merumuskan visi dan konsensus atas tujuan-tujuan strategis perusahaan,
g. Merumuskan berbagai perspektif,
h. Merinci visi pada tiap-tiap perspektif dan merumuskan sasaran-sasaran strategis,
i. Mengidentifikasi faktor-faktor penting bagi kesuksesan,
j. Mengembangkan tolak ukur, identifikasi penyebab dan dampak, dan membuat keseimbangan,
k. Mengembangkan top level scorecard,
l. Merinci scorecard dan tolak ukur oleh unit organisasi,
m. Merumuskan sasaran,
n. Mengembangkan rencana tindakan/kegiatan,
o. Implementasi scorecard.

B. Kerangka Pemikiran Teoritis


Pengelolaan PBB P2 merupakan bagian dari pengelolaan pajak daerah yang harus
mengacu pada prinsip-prinsip pemungutan pajak dan diharapkan dapat mencapai sasaran/tujuan
didaerahkannya PBB P2. Untuk mencapai hal itu, dibutuhkan perencanaan dan strategi yang tapat
dalam mengelola PBB P2 yang tertuang dalam perencanaan strategis yang baik. Hal penting
dalam pencapaiana perencanaan strategis adalah bagaimana keterkaitan antar sasaran strategis,
ukuran keberhasilan yang diwujudkan dalam indikator kinerja, dan penentuan inisiatif strategis
yang mendorong pencapaian kinerja yang diharapkan. Pengukuran kinerja dengan menggunakan
balanced scorecard dapat menjawab keutuhan tersebut.
Balance Scorecard memantau pencapaian kinerja dan tujuan organisasi tidak hanya dari
perspektif finansial, melainkan juga dari perspektif pelanggan (dalam hal ini Wajib Pajak),
penyempurnaan proses internal, serta pembelajaran dan inovasi (pertumbuhan). Dalam
pengelolaan PBB P2, perspektif keuangan diwujudkan dalam bentuk target penerimaan PBB P2.
Sedangkan dari perspektif pelanggan, dalam hal ini Wajib Pajak, pengukuran dengan BSC
dicerminkan dalam banyaknya Wajib Pajak yang terdaftar dan tingkat kepuasan Wajib Pajak

6
terhadap pelayanan yang diberikan oleh instansi, baik itu DJP maupun Pemda. Perspektif
selanjutnya yaitu proses bisnis internal, yang dalam hal ini diwujudkan dengan pengukuran
kinerja atas pelaksanaan strategi pengelolaan PBB P2 dari sejak aspek legislasi hingga
penanganan sengketa pajak. Perspektif terakhir yaitu pembelajaran dan inovasi yang digambarkan
oleh tindakan-tindakan yang dilakukan oleh instansi dalam rangka mengoptimalkan ketiga
perspektif sebelumnya sehingga diharapkan dapat mencapai kinerja yang maksimal.

3. METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang bertujuan mengembangkan konsep
pengukuran kinerja dengan pendekatan balanced scorecard bagi Pemerintah Kabupaten/Kota
khususnya unit pengelola PBB P2.
Jenis data dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh
melalui wawancara langsung dengan pihak yang terkait, dalam hal ini pejabat instansi DJP dan
Pemerintah Daerah. Data Sekunder diperoleh dengan cara observasi dan meminta salinan
dokumen-dokumen yang berhubungan dengan pengelolan PBB P2. Setelah terkumpul, data
tersebut akan diverifikasi benar atau tidaknya. Kemudian langkah selanjutnya dilakukan proses
validasi yang merupakan kegiatan yang dilakukan untuk memverifikasi data yang telah di-entry
untuk mengoreksi kesalahan yang dilakukan.
Teknik pengumpulan data dilakukan melalui studi literatur (buku-buku, jurnal, majalah,
peraturan perundang-undangan dan lain-lain) untuk menghimpun sebanyak mungkin ilmu
pengetahuan yang berhubungan dengan pokok permasalahaan yang diteliti.
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisis data
kualitatif, focus groupdiscussion (FGD) dengan pihak terkait untuk dapat mengembangkan model
pengukuran kinerja berbasis balanced scorecard.

4. TEMUAN DAN PEMBAHASAN


Bagian ini menyajikan hasil penelitian. Hasil penelitian dapat dilengkapi dengan tabel, grafik
(gambar), dan/atau bagan. Bagian pembahasan memaparkan hasil pengolahan data,
menginterpretasikan penemuan secara logis, mengaitkan dengan sumber rujukan yang relevan.
[Times New Roman, 11, normal].

A. Penerapan balanced scorecard dalam pengelolaan PBB di DJP


Dalam menyusun rencana strategis, hal yang tidak bisa diabaikan adalah proses bisnis yang
akan dijalankan. Proses bisnis akan menjadi driver bagi penyusunan peta strategi dan menjadi
acuan penyusunan organisasi yang akan mendukung pelaksanaan pekerjaan. Proses bisnis akan
menjelaskan alur pelaksanaan pekerjaan sekaligus menjelaskan sejauh mana lingkup pekerjaan.
Dalam pengelolaan PBB, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mempunyai berbagai beberapa
acuan dalam pelaksanaan tugas. Dalam Surat Direktur Jenderal Pajak Nomor S - 519/Pj/2008
Tentang Penegasan Pengelolaan PBB dan BPHTB pada KPP Pratama disebutkan bahwa secara
umum siklus pengelolaan PBB meliputi pendataan, penelitian, penetapan, penerimaan, dan
penagihan. Disamping siklus tersebut, hal yang tidak bisa dilepaskan adalah aspek pelayanan.
Dalam lampiran SE tersebut juga disebutkan adanya aspek pelayanan. Pelayanan PBB antara lain
meliputi :
a. Pendaftaran OP baru
b. Mutasi objek dan subjek PBB
c. Pembetulan keputusan/ketetapan PBB
d. Keberatan atas SPPT atau SKP PBB
e. Pengurangan pajak terutang dan sanksi administrasi

7
f. Penentuan kembali tanggal jatuh tempo
g. Pelayanan TPT PBB Keliling (pekan panutan, pojok pajak)

DJP menyederhanakan proses bisnis pengelolaan yang tercermin dalam peta strateginya
meliputi;

Kerjasama
Humas dan Penegakan
Pelayanan Pengawasan Antar
Sosialisasi Hukum
Lembaga

Proses bisnis tersebut berlaku untuk pengelolaan seluruh pajak yang menjadi tanggung jawab
DJP. Dalam konteks pengelolaan PBB, pendataan dan penilaian merupakan bagian dari
pengawasan, penagihan menjadi bagian dari penegakan hukum.
Proses bisnis itu pula yang tergambar dalam Peta strategi Direktorat Jenderal Pajak yaitu
sebegai berikut;

Dalam pelaksanaannya, operasionalisasi pengelolaan PBB dilaksanakan di tingkat KPP


Pratama. Pengukuran kinerjanya melekat pada penanggungjawab masing-masing, misalnya,
pelayanan masuk dalam Indikator Kinerja Seksi Pelayanan. Berikut Indikator Kinerja Utama
yang digunakan DJP dalam pengelolaan PBB di tingkat KPP Pratama;

Sasaran Strategis Indikator Kinerja Utama

Optimalisasi pelaksanaan Persentase realisasi terhadap rencana penambahan WP OP


ekstensifikasi melalui kegiatan ekstensifikasi

Persentase penambahan PKP hasil himbauan


Persentase luas bumi yang telah SISMIOP terhadap luas

8
bumi dalam basis data
Persentase objek pajak yang telah SISMIOP terhadap
jumlah objek pajak dalam basis data
Assessment Sales Ratio Bumi
Assessment Sales Ratio Bangunan
Persentase kepatuhan WP OP baru
Persentase realisasi penerimaan dari WP OP hasil
ekstensifikasi
Persentase penambahan luas bumi yang telah dikenakan
PBB
Persentase peta blok yang telah didigitasi

Penilaian individu objek pajak Persentase realisasi penilaian individual objek pajak

Persentase realisasi penilaian semi individual


Peningkatan kualitas pelayanan Rata-rata persentase janji layanan unggulan

Persentase realisasi pelayanan pendaftaran objek PBB baru


dengan penelitian kantor tepat waktu
Persentase realisasi pelayanan mutasi sebagian objek dan
subjek PBB tepat waktu
Optimalisasi pemanfaatan data Persentase jumlah data/alat keterangan yang tidak ber-
NPWP yang ditindaklanjuti
Penataan organisasi yang andal Persentase penyampaian laporan tepat waktu

Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa indikator kinerja yang digunakan Seksi Ekstensifikasi
di KPP Pratama sudah lebih spesifik dan terukur karena memiliki satuan pengukuran yang jelas
untuk menunjukkan tingkat keberhasilan program atau sasaran. Selain itu, jumlah indikatornya
pun lebih fleksibel.

B. Penerapan balanced scorecard dalam pengelolaan PBB P2 di Pemda.


Dalam penelitian ini, penerapan balanced scorecard dalam penilaian kinerja pengeola PBB
P2, dilakukan dengan melakukan benchmark terhadap penerapan balanced scorecard di DJP.
Dengan melakukan penyesuaian untuk memenuhi kebutuhan pengelolaan di tingkat Pemerintah
Kabupaten/Kota, berikut peta strategi yang kami rekomendasikan;

9
Peta strategi memudahkan organisasi untuk mengkomunikasikan keseluruhan strateginya
kepada seluruh anggota organisasi dalam rangka pemahaman demi suksesnya pencapaian tujuan
organisasi. Unit organisasi yang menyusun peta strategi adalah unit organisasi yang
mendefinisikan visi dan misinya dengan jelas serta memiliki proses manajemen yang lengkap
(input/sumber daya, proses internal, dan output/outcome). Peta strategi menggambarkan
hubungan antar-sasaran strategis. Dalam peta strategi, setiap pegawai unit organisasi pengelola
PBB dapat mengetahui dampak tercapai atau tidaknya suatu sasaran strategis terhadap sasaran
strategis yang lain. Terkait peta strategi dapat dijelaskan sebagai berikut;
a. Perspektif pemangku kepentingan.
Balanced Scorecard dibangun dari studi pengukuran kinerja di Sektor bisnis, sehingga
perspektif yang pertama ini disebut dengan financial perspective. Perspektif ini digunakan oleh
shareholder (pemegang saham) dalam rangka melakukan penilaian organisasi. Dengan kata lain,
agar dinilai berhasil oleh pemegang saham, organisasi harus memenuhi harapan pemegang
saham.
Organisasi yang ditunjuk untuk mengelola PBB Sektor P2 di Unit Pengelola PBB P2 di
Pemerintah Daerah umumnya dengan pendekatan membentuk organisasi sendiri setingkat eselon
III, dan ada jugayang dilekatkan dalam organisasi yang sudah ada.. Organisasi ini bertanggung
jawab penuh dalam hal pelayanan masyarakat di bidang PBB dan pemenuhan target penerimaan
PBB. Para pemangku kepentingan dalam hal ini adalah Bupati, Dewan Perwakilan Rakyat, dan
masyarakat. Penerimaan PBB yang optimal merupakan muara dari seluruh kegiatan yang
dilakukan oleh unit pengelola PBB..
Pengelola PBB sebelum dialihkan ke pemerintah daerah, Direktorat Jenderal Pajak
memiliki sasaran strategis kedua pada perspektif pemangku kepentingan. Sasaran strategis kedua
adalah “kepercayaan masyarakat yang tinggi”. Sasaran strategis tersebut layak untuk diadopsi
menjadi sasaran strategis unit pengelola PBB Unit Pengelola PBB P2. Hal ini karena dalam
pemungutan pajak, persepsi masyarakat terhadap organisasi pemungut pajak cukup berpengaruh.
Persepsi organisasi pemungut pajak yang buruk membuat wajib pajak cenderung malas

10
berhubungan dengan petugas pajak. Dampak paling buruk yang dapat timbul adalah masyarakat
enggan untuk membayar pajak. Jadi, sasaran strategis kedua dalam perspektif pemangku
kepentingan yang diusulkan adalah “kepercayaan masyarakat yang tinggi”.
Secara ringkas dapat disimpulkan, Sasaran Strategis pada Perspektif Pemangku Kepentingan
meliputi dua hal yaitu penerimaan PBB yang optimal dan kepercayaan masyarakat yang tinggi.
b. Perspektif pelanggan.
Perspektif pelanggan dalam hal ini wajib pajak yang terdaftar pada basis data Sistem
Manajemen Informasi Objek Pajak (SIMSIOP). Sasaran strategis dalam perspektif pelanggan ini
harus mengacu pada apa yang diinginkan oleh pelanggan. Direktorat Jenderal Pajak mempunyai
dua sasaran strategis pada perspektif pelanggan. Sasaran strategis pertama adalah “tingkat
kepuasan wajib pajak yang tinggi atas pelayanan perpajakan”. Sasaran strategis berikutnya yaitu
tingkat kepatuhan wajib pajak yang tinggi”.
Sasaran strategis “tingkat kepuasan wajib pajak yang tinggi atas pelayanan perpajakan”
dapat diadopsi menjadi sasaran strategis unit organisasi pengelola PBB pada perspektif
pelanggan. Sasaran strategis yang diusulkan adalah “tingkat kepuasan wajib pajak yang tinggi
atas pelayanan PBB”. Tingkat kepuasan ini sangat penting. Mengutip sebuah ungkapan populer di
dunia pemasaran, “customer is a king” (pelanggan adalah raja). Organisasi baik yang bertujuan
mencari laba atau yang tidak mecari laba harus sangat memperhatikan kebutuhan pelanggan.
Di unit organisasi pengelola PBB, posisi wajib pajak sangat penting. Merekalah
pembayar PBB. Tanpa kontribusi wajib pajak, sangat mustahil unit organisasi pengelola PBB
mendapatkan penerimaan PBB. Jika wajib pajak puas dengan pelayanan diberikan, harapannya
adalah mereka patuh membayar PBB dan melaporkan kondisi tanah dan atau bangunannya jika
tidak sesuai dengan Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT). Wajib pajak yang tanah dan
bangunannya belum terdaftar akan secara sukarela mendaftarkan diri. Dampak langsungnya,
penerimaan PBB meningkat. Dengan penerimaan PBB yang meningkat, otomatis sasaran
strategis dalam perspektif pemangku kepentingan yaitu “penerimaan PBB yang optimal” tercapai.
Pada perspektif pelanggan, Direktorat Jenderal Pajak menetapkan sasaran strategis yang
kedua yaitu “tingkat kepatuhan wajib pajak yang tinggi”. Sistem pemungutan Pajak Pengahasilan
dan Pajak Pertambahan Nilai yang dikelola oleh Direktorat Jenderal Pajak yaitu self assessment.
Sistem tersebut memberikan wewenang pada wajib pajak untuk menghitung, memperhitungkan,
membayar dan melaporkan pajak yang terutang. Dalam konteks PBB dianut sistem official
assessment, yaitu kantor pajak menetapkan besarnya pajak yang terutang. Meskipun demikian,
sistem self assessment juga terkandung dalam pemungutan PBB ini. Wajib pajak diberikan
wewenang untuk mengisi keadaan tanah dan atau bangunannya dalam Surat Pemberitahuan
Objek Pajak (SPOP).
Tingkat kepatuhan wajib pajak di bidang PBB layak dijadikan sasaran strategis.
Kesadaran wajib pajak untuk melaporkan perubahan kondisi tanah dan atau bangunan sangat
menunjang peningkatan penerimaan PBB. Sasaran strategis “tingkat kepatuhan wajib pajak yang
tinggi” dapat diadopsi menjadi sasaran strategis unit organisasi pengelola PBB pada perspektif
pelanggan. Wajib pajak turut menentukan besarnya PBB terutang yaitu melalui data yang diisikan
pada SPOP.
c. Perspektif proses bisnis internal.
Perspektif proses bisnis internal adalah serangkaian aktivitas yang ada dalam organisasi
untuk menciptakan produk/jasa dalam rangka memenuhi harapan pelanggan. Pada umumnya,
perspektif ini menunjukkan rangkaian proses dalam suatu unit organisasi untuk menciptakan nilai
bagi para pemangku kepentingan dan pelanggan (value chain/rantai nilai).
Sasaran strategis pada perspektif proses bisnis internal ini terbagi dalam tiga proses yaitu:
(1) perumusan kebijakan, (2) peningkatan kualitas pelayanan dan (3) penggalian potensi.
1) Perumusan kebijakan.

11
Perumusan kebijakan merupakan hal penting dalam pengelolaan PBB. Dalam proses
bisnis pengelolaan PBB, segala payung hukum harus jelas. Ketiadaan payung hukum akan
membuat pemungutan PBB cacat hukum. Oleh karena PBB merupakan jenis pajak baru yang
dipungut, Pemerintah Unit Pengelola PBB P2 harus membuat peraturan perundang-undangannya.
Mulai dari peraturan daerah tentang PBB, sampai dengan petunjuk teknis operasionalnya.
Langkah awal yang paling mudah dalam pembuatan peraturan perundang-undangan ini
adalah dengan mengadopsi peraturan-peraturan terkait dengan PBB ketika masih dikelola oleh
Pemerintah Pusat dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak. Peraturan yang diadopsi tersebut
disesuaikan dengan kondisi struktur organisasi. Direktorat Jenderal Pajak bahkan memiliki
kewajiban untuk mengkompilasi dan menyerahkan peraturan pelaksanaan PBB Sektor P2
sebagaimana diatur dalam Peraturan Bersama Menteri Keuangan dan Menteri Dalam Negeri
/ /
Nomor . Jadi, unit organisasi pengelola PBB sudah cukup memiliki pedoman
peraturan pelaksanaan PBB dari Direktorat Jenderal Pajak. Unit organisasi pengelola PBB tinggal
melakukan penyesuaian-penyesuaian.
Dalam pasal 3 ayat (1) Peraturan Bersama Menteri Keuangan dan Menteri Dalam Negeri
/ /
Nomor diatur bahwa dalam rangka pengalihan kewenangan pemungutan PBB
Sektor P2, Direktorat Jenderal Pajak bertugas dan bertanggung jawab mengkompilasi:
a) peraturan pelaksanaan PBB Sektor P2 sebadai bahan acuan Pemerintah Daerah
dalam menyusun Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah;
b) standard operating procedure (SOP) terkait PBB Sektor P2 sebagai bahan acuan
Pemerintah Daerah dalam menyusun SOP;
c) struktur, tugas, dan fungsi organisasi Direktorat Jenderal Pajak terkait pemungutan
PBB Sektor P2 sebagai bahan acuan Pemerintah Daerah untuk merumuskan struktur
organisasi dan tata kerja pemungutan PBB Sektor P2;
d) data piutang PBB Sektor P2 beserta data pendukungnya
e) Surat Keputusan Menteri Keuangan mengenai penetapan Nilai Jual Objek Pajak
Tidak Kena Pajak (NJOPTKP) yang berlaku dalam kurun waktu 10 (sepuluh) tahun
sebelum Tahun Pengalihan;
f) salinan Peta Desa/Kelurahan, Peta Blok, dan Peta Zona Nilai Tanah dalam bentuk
softcopy;
g) hasil penggandaan basis data PBB Sektor P2 sebelum Tahun Pengalihan; dan
h) hasil penggandaan sistem aplikasi terkait PBB Sektor P2 beserta source code-nya;

Pasal 7 ayat (1) Peraturan Bersama Menteri Keuangan dan Menteri Dalam Negeri Nomor
/ /
menyebutkan bahwa dalam rangka menerima pengalihan kewenangan pemungutan
PBB Sektor P2, Pemerintah Daerah bertugas dan bertanggung jawab menyiapkan:
1) sarana dan prasarana;
2) struktur organisasi dan tata kerja;
3) sumber daya manusia;
4) Peraturan Daerah, Peraturan Kepala Daerah, dan SOP;
5) kerjasama dengan pihak terkait, antara lain, Kantor Pelayanan Pajak, perbankan, kantor
pertanahan, dan Notaris/Pejabat Pembuat Akta Tanah; dan pembukaan rekening penerimaan
PBB-P2 pada bank yang sehat.
Dalam pasal 7 ayat (5) peraturan yang sama disebutkan bahwa:
“Peraturan Daerah tentang PBB-P2 dan Peraturan Kepala Daerah sebagai penjabaran dan
dasar pelaksanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d disusun dengan
mempertimbangkan ketentuan peraturan pelaksanaan pemungutan PBB-P2 yang selama
ini berlaku di Direktorat Jenderal Pajak serta disesuaikan dengan kebutuhan riil dan
kondisi objektif sesuai kewenangan sebagai daerah otonom.”

12
Dengan mempertimbangkan pada aturan-aturan tersebut, maka unit organisasi pengelola
PBB harus dapat mengidentifkasi peraturan perundang-undangan yang harus dimiliki oleh daerah.
Peraturan perundang-undangan tersebut akan diadopsi menjadi Peraturan Daerah, Peraturan
Kepala Daerah, dan Standard Operating Procedures (SOP).
Berdasar uraian di atas, maka sasaran strategis yang diusulkan dalam proses perumusan
kebijakan yaitu “tersedianya peraturan pendukung pemungutan PBB”. Dengan tersedianya
peraturan pendukung ini, maka unit organisasi akan dapat melakukan pemungutan PBB dengan
tidak cacat hukum sehingga tidak terbuka kemungkinan untuk digugat oleh wajib pajak karena
ketiadaan peraturan pelaksanaan.
Sasaran strategis kedua yang relevan adalah “persentase standard operating procedures
yang telah disusun”. Unit organisasi pengelola PBB harus mempunyai standard operating
procedures. SOP akan digunakan sebagai pedoman seluruh pegawai dalam melakukan proses
bisnis pelayanan PBB. SOP juga dijadikan pedoman oleh wajib pajak. Dengan membaca SOP,
wajib pajak akan mengetahui standar pelayanan PBB yang diajukan.
Standar pelayanan ini meliputi berkas yang harus dilampirkan, proses yang dilakukan
unit organisasi pengelola PBB, jangka waktu penyelesaian permohonan, dokumen keluaran yang
dihasilkan, dan biaya yang harus dikeluarkan oleh wajib pajak.
2) Proses pelayanan
Setelah unit mempunyai payung hukum dan segala aturan pelaksanaan pemungutan PBB,
unit organisasi pengelola PBB dapat melakukan pelayanan kepada wajib pajak. Unit organisasi
pengelola PBB dapat mengadopsi apa yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak yaitu
memberikan janji layanan unggulan. Unit organisasi pengelola PBB dapat menampilkan standar
jangka waktu untuk pelayanan tertentu, misalnya pendaftaran objek pajak baru dan mutasi subjek
dan objek pajak.
Sasaran strategis yang diusulkan dalam proses pelayanan ini adalah “peningkatan kualitas
pelayanan”. Sasaran strategis ini berkorelasi langsung dalam mendukung sasaran strategis pada
perspektif pelanggan yaitu “tingkat kepuasan wajib pajak yang tinggi atas pelayanan PBB”. Jika
kualitas pelayanan ditingkatkan, hampir dapat dipastikan tingkat kepuasan wajib pajak akan
meningkat.
3) Proses penggalian potensi
Proses penggalian potensi merupakan proses ketiga dalam perspektif proses bisnis
internal. Unit organisasi pengelola PBB harus mampu mencari terobosan-terobosan untuk dapat
meningkatkan penerimaan PBB.
Secara garis besar penggalian potensi dapat dilakukan dengan tiga cara, yaitu
ekstensifikasi, intensifikasi, dan penagihan. Dalam konteks ektensifikasi, unit organisasi
pengelola PBB harus mampu menambah jumlah wajib pajak maupun objek pajak. Kondisi
idealnya adalah semua tanah dan bangunan di Unit Pengelola PBB P2 terdaftar sebagai objek
pajak.
Kegiatan utama yang dilakukan oleh unit organisasi pengelola PBB dalam rangka
ekstensifikasi yaitu pembentukan basis data SIMIOP. Kegiatan ini merupakan “pintu masuk”
penetapan PBB. Menurut Lampiran A Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-
533/PJ/2000 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pendaftaran, Pendataan dan Penilaian Objek dan
Subjek Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dalam Rangka Pembentukan dan atau Pemeliharaan
Basis Data Sistem Manajemen Informasi Objek Pajak (SISMIOP), pembentukan basis data
SISMIOP adalah:
“Suatu rangkaian kegiatan untuk membentuk suatu basis data yang sesuai dengan
ketentuan SISMIOP (pendaftaran, pendataan dan penilaian, serta pengolahan data objek
dan subjek Pajak Bumi dan Bangunan) dengan bantuan komputer pada suatu wilayah
tertentu, yang dilakukan oleh kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan atau pihak lain
yang ditentukan oleh Direktorat Jenderal Pajak”.

13
Sasaran strategis yang diusulkan dalam proses ini adalah “optimalisasi pembentukan
basis data SISMIOP”. Pembentukan basis data SISMIOP pada prinsipnya adalah melakukan
kegiatan pendaftaran objek pajak pada wilayah yang belum memiliki basis data SISMIOP.
Dalam konteks intensifikasi, unit organisai pengelola PBB harus mampu meningkatkan
kualitas data. Kondisi idealnya adalah data yang ada di basis data harus sesuai dengan kondisi
sebenarnya di lapangan. Salah satu kegiatan utama yang dilakukan oleh unit organisasi pengelola
PBB dalam rangka intensifikasi adalah pemeliharaan basis data SISMIOP.
Menurut lampiran A Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-533/PJ/2000,
pemeliharaan basis data SISMIOP adalah:
“Kegiatan memperbaharui atau menyesuaikan basis data yang telah terbentuk
sebelumnya melalui kegiatan verifikasi/penelitian yang dilakukan oleh Kantor Pelayanan
Pajak Bumi dan Bangunan sesuai dengan Pasal 21 Undang-Undang Nomor 12 Tahun
1985 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 dan/atau
laporan dari wajib pajak yang bersangkutan dalam rangka akurasi data”.
Sasaran strategis yang diusulkan sehubungan dengan intensifikasi adalah “optimalisasi
pemeliharaan basis data SISMIOP”. Pemeliharaan basis data SISMIOP adalah kegiatan pendataan
objek pajak yang dilakukan pada wilayah yang telah memiliki struktur basis data SISMIOP.
Secara sederhana, kegiatan ini bertujuan untuk memutakhirkan data pada basis data SISMIOP
sehingga sesuai dengan data yang ada di lapangan.
Kegiatan pemeliharaan basis data SISMIOP juga meliputi kegiatan analisis Zona Nilai
Tanah (ZNT) atau Nilai Indikasi Rata (NIR). Analisis ZNT/NIR digunakan untuk menyesuaikan
Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) bumi mendekati harga pasar. Konsidi idealnya adalah NJOP bumi
di suatu wilayah sama degnan harga pasar tanah di wilayah tersebut.
Dalam konteks penagihan, unit organisasi pengelola PBB harus mampu membuat wajib
pajak membayar jumlah PBB yang seharusnya terutang. Unit organisasi harus mampu melakukan
mekanisme penagihan PBB sehingga piutang PBB dapat ditekan seminimal mungkin.
Pelaksanaan penagihan PBB merupakan salah satu wujud penerapan prinsip pemungutan
pajak yang dikemukakan oleh Adam Smith yaitu equality. Sebagaimana telah diungkapkan dalam
bab II, prinsip equality artinya pemungutan pajak harus berdasar undang-undang, dimana pajak
dipungut sesuai dengan penghasilan yang dimiliki atau kemampuan membayar (ability to pay)
wajib pajak.
Dalam pemungutan PBB, prinsip equality dapat diartikan bahwa semua masyarakat yang
mempunyai tanah dan atau bangunan wajib membayar PBB sesuai dengan kondisi tanah dan atau
bangunannya. Besarnya PBB adalah sebagaimana tercantum dalam Surat Pemberitahuan Pajak
Terutang (SPPT). Semua wajib pajak harus membayar PBB sesuai dengan SPPT. Dalam
praktiknya, ada saja wajib pajak yang tidak mau membayar PBB. Hal itulah yang menyebabkan
munculnya tunggakan PBB, yang dalam ini disebut piutang PBB. Akan terjadi ketidakadilan
ketika masyarakat berpenghasilan rendah tertib membayar PBB, tetapi masyarakat
berpenghasilan tinggi tidak mau membayar. Dengan pelaksanaan penagihan, unit organisasi
pengelola PBB dapat meminimalkan ketidakadilan ini. Sasaran strategis yang dapat diusulkan
pada konteks penagihan adalah “optimalisasi pelaksanaan penagihan”.
d. Perspektif pembelajaran dan pertumbuhan
Perspektif pembelajaran dan pertumbuhan merupakan perspektif yang menggambarkan
kemampuan organisasi untuk melakukan perbaikan dan perubahan dengan memanfaatkan sumber
daya internal organisasi. Kesinambungan suatu organisasi dalam jangka panjang sangat
bergantung pada perspektif ini.
Sasaran strategis yang dapat diusulkan dalam elemen employee capabilities adalah
“pembentukan sumber daya manusia yang kompeten dan berintegritas”. Pencapaian sasaran
strategis ini akan sangat mendukung tercapainya beberapa sasaran strategis dalam perspektif

14
proses bisnis internal. Pegawai yang berkompeten akan mampu melakukan kegiatan-kegiatan
pembentukan dan pemeliharaan basis data SISMIOP dengan optimal. Pegawai yang berintegritas
tinggi akan mampu mengatasi “godaan-godaan” dari oknum wajib pajak, sehingga kualitas data
akan tetap terjamin.
Sistem informasi yang handal mutlak sangat dibutuhkan untuk pengelolaan PBB. Sasaran
strategis yang dapat diusulkan dalam perspektif learning and growth berikutnya adalah
“pengembangan teknologi informasi komunikasi (TIK) yang handal”. TIK yang tidak handal
akan sangat mengganggu kinerja unit organisasi pengelolaan PBB dalam pemungutan PBB.
Struktur organisasi harus dibentuk sesuai dengan kebutuhan. Struktur organisasi dengan
pembagian wewenang yang baik akan membuat iklim kerja yang kondusif, tidak saling tabrak
dan tumpang tindih kewenangan. Sasaran strategis diusulkan yaitu “pembentukan organisasi
sesuai dengan kebutuhan”.
Menurut Direktorat Jenderal Pajak, selain ketiga elemen di atas, masih ada satu elemen
lagi dalam perspektif pembelajaran dan pertumbuhan yaitu elemen anggaran. Dalam peta strategi
DJP, sasaran strategis untuk elemen anggaran pada perspektif pembelajaran dan pertumbuhan
adalah “pengelolaan anggaran yang optimal dan efisien”. Menurut penulis, sasaran strategis itu
relevan untuk diterapkan pada unit organisasi pengelola PBB. Sehingga sasaran strategis keempat
pada perspektif pembelajaran dan pertumbuhan adalah “pengelolaan anggaran yang optimal dan
efisien”.
Setelah penentuan sasaran strategis dan peta strategi, unit organisasi pengelola PBB harus
mempunyai indikator kinerja. Indikator ini sangat penting untuk mengukur keberhasilan
organisasi dalam pencapaian sasaran strategis. Indikator kinerja yang relevan untuk masing-
masing sasaran strategis adalah sebagaimana kami tulis dalam lampiran 1.

5. KESIMPULAN
Strategi pengelolaan PBB yang meliputi sasaran strategis, peta strategi, dan indikator kinerja
diusulkan berdasarkan konsep balanced scorecard. Konsep ini dipilih karena dianggap sebagai
best practice manajemen strategi dan pengelolaan kinerja. Berdasarkan benchmark dan teori-teori
yang relevan, maka sasaran strategis, peta strategi dan indikator kinerja yang disarankan untuk
unit organisasi pengelola PBB adalah sebagai berikut:
1. Sasaran strategis disusun berdasarkan empat perspektif, yaitu perspektif pemangku
kepentingan, perspektif pelanggan, perspektif proses bisnis internal, dan perspektif
pembelajaran dan pertumbuhan. Pada perspektif pemangku kepentingan, sasaran strategis
yang diusulkan adalah (1) penerimaan PBB yang optimal dan (2) kepercayaan masyarakat
yang tinggi. Pada perspektif pelanggan, sasaran strategis yang diusulkan adalah (1) tingkat
kepuasan wajib pajak yang tinggi atas pelayanan PBB dan (2) tingkat kepatuhan wajib pajak
yang tinggi. Pada perspektif proses bisnis internal, sasaran strategis yang diusulkan adalah
(1) tersedianya peraturan pendukung pemungutan PBB, (2) peningkatan kualitas pelayanan,
(3) optimalisasi pembentukan basis data SISMIOP, (4) optimalisasi pemeliharaan basis data
SISMIOP, dan (5) optimalisasi pelaksanaan penagihan. Sasaran strategis yang diusulkan
pada perspektif pembelajaran dan pertumbuhan adalah (1) pembentukan organisasi sesuai
dengan kebutuhan, (2) pengembangan teknologi informasi komunikasi yang handal, (3)
pembentukan sumber daya manusia yang kompeten dan berintegritas, dan (4) pengelolaan
anggaran yang optimal dan efisien.
2. Peta strategi dibuat untuk memetakan hubungan sebab akibat antar-sasaran strategis dan
menggambarkan keseluruhan perjalanan strategi organisasi. Peta strategi yang diusulkan
adalah sebagaimana dalam lampiran III penelitian ini.
3. Indikator kinerja disusun untuk mengukur keberhasilan organisasi dalam pencapaian sasaran
strategis. Indikator kinerja yang diusulkan untuk masing-masing sasaran strategis unit
organisasi pengelola PBB adalah sebagai berikut:

15
1) Indikator kinerja untuk sasaran strategis penerimaan PBB yang optimal adalah (a)
persentase realisasi penerimaan PBB dan (b) persentase pertumbuhan realisasi
penerimaan PBB.
2) Indikator kinerja untuk sasaran strategis kepercayaan masyarakat yang tinggi adalah
indkes yang dikeluarkan oleh lembaga survey yang independen
3) Indikator kinerja untuk sasaran strategis tingkat kepuasan wajib pajak yang tinggi
atas pelayanan PBB adalah (a) persentase jumlah wajib pajak yang mengeluh dan (b)
indeks kepuasan atas pelayanan PBB
4) Indikator kinerja untuk sasaran strategis tingkat kepatuhan wajib pajak yang tinggi
adalah (a) jumlah pengajuan permohonan objek pajak baru dan (b) jumlah pengajuan
permohonan pemutakhiran data subjek/objek pajak.
5) Indikator kinerja untuk sasaran strategis tersedianya peraturan pendukung
pemungutan PBB adalah (a) persentase jumlah usulan rancangan peraturan
pendukung pemungutan PBB yang telah disampaikan dan (b) persentase standard
operating procedure yang telah disusun.
6) Indikator kinerja untuk sasaran strategis peningkatan kualitas layanan adalah
persentase janji layanan terpenuhi.
7) Indikator kinerja untuk sasaran strategis optimalisasi pembentukan babis data
SISMIOP adalah (a) persentase luas bumi yang telah berstruktur SISMIOP terhadap
luas bumi dalam basis data, (b) persentase jumlah desa yang telah berstruktur
SISMIOP terhadap jumlah desa, dan (c) persentase objek pajak yang telah SISMIOP
terhadap jumlah objek pajak dalam basis data.
8) Indikator kinerja untuk sasaran strategis optimalisasi pemeliharaan basis data
SISMIOP adalah (a) Assessment Sales Ratio bumi dan (b) Assessment Sales Ratio
bangunan.
9) Indikator kinerja untuk sasaran strategis optimalisasi pelaksanaan penagihan adalah
persentase realisasi penagihan aktif.
10) Indikator kinerja untuk sasaran strategis pembentukan organisasi sesuai dengan
kebutuhan adalah persentase usulan struktur organisasi dan tata laksana telah
disampaikan.
11) Indikator kinerja untuk sasaran strategis pengembangan teknologi informasi
komunikasi yang handal adalah jumlah keluhan aplikasi SISMIOP.
12) Indikator kinerja untuk sasaran strategis pembentukan sumber daya manusia yang
berkompeten dan berintegritas adalah rata-rata jumlah jam pelatihan per pegawai.
13) Indikator kinerja untuk sasaran strategis pengelolaan anggaran yang optimal dan
efisien adalah persentase penyerapan Daftar Pelaksanaan Anggaran (DPA) non-
belanja pegawai.

6. DAFTAR PUSTAKA
Abdalla, Taufiq Umar. 2010. Analisis Kesiapan Administrasi Pemungutan Pajak Bumi dan
Bangunan Berdasarkan Undang-Undang No 28 Tahun 2009 (Studi Kasus Dinas
Pelayanan Pajak DKI Jakarta. Skripsi. Depok: Universitas Indonesia.
David, Fred R. 2006. Manajemen Strategis: Konsep. Jakarta: PT. Indeks Kelompok
Gramedia.
Hiroyudha, Niko. 2007.Analisis Kemungkinan Penggunaan Balanced Scorecard sebagai
Metode dalam Pengukuran Kinerja pada Kantor pelayanan Pajak Bumi dan

16
Bangunan Jakarta Selatan Satu. Skripsi. Tangerang: Sekolah Tinggi Akuntansi
Negara
Kaplan, Robert S. dan David P. Norton. 1996. The Balanced Scorecard:
TranslatingStrategy into Action. Massachusetts: Harvard Business School Press.
Kaplan, Robert S. dan David P. Norton. 2000.The Strategy Focused Organization: How
Balanced Scorecard Companies Thrive in the New Business Environment.
Massachusetts: Harvard Business School Press.
Mulyadi.2001. Balanced Scorecard: Alat Manajemen Kontemporer Untuk Pelipat Ganda
Kinerja Keuangan Perusahaan. Jakarta: Salemba Empat.
Mulyadi.2007. Sistem Terpadu Pengelolaan Kinerja Personel Berbasis Balanced
Scorecard.Yogyakarta: Unit penerbit dan percetakan.
Niven, Pail R. 2003. Balanced Scorecard Step by Step for Government an Noonprofit
Agencies. New Jersey: John Wiley and Sons.
Saputra, Baih Tunggal. 2004. Analisis Kinerja Dinas Pertanian Kabupaten Bogor dengan
Konsep Kartu Nilai Berimbang (Balanced Scorecard). Skripsi. Bogor: Institut
Pertanian Bogor.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1985 Tentang Pajak Bumi dan
Bangunan.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1994 Tentang Perubahan Atas


Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1985 Tentang Pajak Bumi
dan Bangunan.

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 1999 Tentang Perimbangan


Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah.

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan


Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah.

17

Anda mungkin juga menyukai