Kelas : 4-43
No. Absen : 02
NPM : 1302181089
BPJS Kesehatan memaparkan bahwa rata-rata iuran orang perbulan adalah senilai Rp
34.095 sedangkan Biaya per Orang Per Bulan yaitu sebesar Rp 40.210. Pengeluaran manfaat ini
mencakup pelayanan promotif, preventif, kuratif, rehabilitatif, dan meliputi seluruh penyakit
kronis. Ketidaksesuaian antara penerimaan dan pengeluaran ini menyebabkan deficit finansial
BPJS yang tidak kunjung selesai. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, pemerintah telah
menyuntikkan dana pada tahun 2018 dengan total jumlah Rp 10.256 M namun tetap tidak
mampu menyelesaikan masalah deficit tersebut. Melihat persoalan ini, menteri keuangan
memerintahkan DJA selaku KPA DJKN meminta BPJS Kesehatan menyetor dana cadangan
yang belum disetor ke RKUN dan memerintahkan DJA berkoordinasi membuat skema kebijakan
menyelesaikan masalah deficit Dana Jaminan Sosial Kesehatan.
b) Seberapa amankah posisi utang pemerintah Indonesia?
Sesuai amanat Undang-Undang No. 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara batas rasio
utang yang aman adalah kurang dari 60% dari PDB. Pada tahun 2018, PDB Indonesia sebesar
Rp13.798,91 triliun. Hal ini menunjukkan bahwa rasio utang pemerintah sebesar 35,64% dari
PDB dan masih berada jauh di bawah batas tidak aman. Tidak hanya itu, kewajiban jangka
panjang ini terbagi menjadi dua, yaitu kewajiban jangka panjang dalam negeri dan kewajiban
jangka panjang luar negeri. Berdasarkan Neraca LKPP tahun 2018, kewajiban jangka panjang
luar negeri hanya berkisar 17% dari jumlah kewajiban jangka panjang. Artinya, utang jangka
panjang pemerintah sebagian besarnya didominasi oleh sekuritas, Surat Utang Pemerintah
kepada Bank Indonesia, SBSN, SBN, utang subsidi, dan utang dana pensiun, dengan kata lain,
kepada rakyat Indonesia itu sendiri. Dengan begitu, jelaslah bahwa Indonesia masih memiliki
rasio utang jangka panjang yang aman.
2. Kebijakan penetapan Harga Jual Eceran (HJE) Jenis BBM Tertentu (JBT) minyak solar
dan Jenis BBM Khusus Penugasan (JBKP) tahun 2015-2018 yang berbeda dengan HJE
formula yang menyebabkan kekurangan dan kelebihan pendapatan Badan Usaha.
Terdapat kelebihan pendapatan Badan Usaha sebesar Rp 6T dna kekurangan
pendapatan badan usaha sebesar Rp 82T dan pemerintah telah berkomitmen untuk
mengganti kekurangan atas penyaluran JBT tahun 2017 dan 2018 kepada PT Pertamina
(Persero) dan PT AKR masing-masing sebesar Rp50T dan Rp 259T. hal ini juga sudah
dicatat sebagai Utang Pada Pihak Ketiga di dalam LKBUN dan LKPP tahun 2018.
Namun, penetapan kebijakan penyelesaian permasalahan ini baru dilaksanakan setelah
adanya pemeriksaan BPK, yaitu setelah tahun anggaran berjalan berakhir, sehingga
pengakuan dan pencatatan pada laporan keuaangan tidak sesuai dengan transaksi selisih
HJE tersebut. Tidak hanya itu, pemerintah dan badan usaha juga tidak mencantumkan
selisih HJE dalam Laporan Keuangannya sebelum pemeriksaan BPK.
4. Jelaskan penyebab KPK dan KPU mengalami penurunan opini dari WTP
menjadi WDP!
1) KPK mendapatkan opini WDP dari BPK disebabkan karena BPK tidak memperoleh
bukti pemeriksaan yang cukup untuk persediaan barang rampasan instansi ini. Dalam
persediaan yang dilaporkan dalam laporan keuangan instansi tersebut, masih terdapat
barang rampasan yang telah memiliki kekuatan hokum tetap menjadi hak Negara
terkait tindak pidana korupsi yang selanjutnya akan dinilai pada harga wajar untuk
dilelang atau dihibahkan. Namun, KPK masih belum memiliki mekanisme formal
dalam pengelolaan barang rampasan. Tidak hanya itu, BPK menemukan bahwa
25,15% dari persediaan yang dilaporkan tidak dapat diuji dan tidak dilengkapi dengan
dokumen sumber, 2,32% barang dihapus tanpa dilengkapi dokumen sumber, dan
masih terdapat 260 barang rampasan yang belum diketahui nilainya dan tidak tercatat
dalam laporan keuangan.
2) KPU mendapat opini WDP dari BPK disebabkan oleh adanya kelemahan
pengendalian mekanisme pengelolaan kas di Bendahara Pengeluaran yaitu
penggunaan uang oleh bendahara pengeluaran pada KPU Kabupaten Klaten senilai
Rp550,31 juta yang tidak dapat diyakini kewajarannya. Tidak ada pengawasan
pelaksanaan belanja dan pengendalian atas penyelesaian pertanggungjawaban belanja
SPM LS bendahara, bendahara juga tidak melakukan verifikasi bukti
pertanggungjawaban belanja barang SPM LS dan tidak memiliki rekapitulasi nilai
sisa uang belanja barang yang harus disetor ke kas Negara, seperti belanja perjadin
dll. Karena tidak dapat diketahui nilainya, maka tidak dapat diyakini kewajarannya.
5. Jelaskan mengapa Bakamla terus-menerus mendapat opini TMP sejak
2016-2018!
Penyebab Bakamla mendapatkan opini TMP pada tahun 2018 yaitu diantaranya:
a. Penyajian persediaan yang tidak berdasarkan inventarisasi fisik (stock opname) akhir
tahun
b. Penyajian saldo belanja dibayar dimuka dan KDP yang sebagian berasal dari realisasi tiga
pekerjaan pada Tahun 2016 dimana transaksi keuangan dan perjanjian kontraknya telah
dihentikan oleh KPK yaitu pengadaan satellite monitoring, long-range camera dan
backbone coastal surveillance system. Pada tahun 2017, hasil pengadaan satellite
monitoring tidak dapat dirinci sesuai jenis barang harganya. Oleh karena saldo belanja
dibayar dimuka yang tidak terealisasi dari 2016 sampai tahun 2018, ketidakpastian
dampak proses hokum oleh KPK dan Aparat Penegak Hukum lainnya yang masih
berlangsung serta KDP yang tidak dapat dirinci sesuai jenis barang dan harganya, BPK
tidak dapat memeriksa kewajaran nilai saldo Belanja Dibayar Dimuka dan KDP instansi
tersebut.
c. Dari total asset tetap yang disajikan dalam laporan keuangan, sebanyak 4,29% mesin dan
peralatannya berasal dari alih status asset Menkopolhukam dimana tidak jelas
keberadaannya serta tidak dilengkapi dengan dokumen yang memadai.
d. Adanya belanja barang yang tidak dilaksanakan sesuai ketentuan, seperti kegiatan operasi
bakamla, pengadaan pakaian dinas, pembayaran belanja barang pada lima kegiatan tahun
2018, pengadaan layanan Broadband dan informasi, dll.
Permasalahan ini mengakibatkan saldo piutang uang pengganti tidak tidak bernilai
sebenarnya dan adanya potensi kehilangan PNBP. Oleh karena itu, kejaksaan agung
menindaklanjuti dengan
b. Nota kesepahaman (MoU) Jaksa Agung dengan Ketua MA terkait akses sistem informasi
penelusuran perkara untuk mengetahui status putusan belum dilakukan;
c. Nota kesepahaman (MoU) Jaksa Agung dengan Menteri Hukum dan HAM terkait akses
Sistem Database Pemasyarakatan (SDP) untuk mengetahui pelaksanaan hukuman pokok dan
subsidair dari terpidana yang harus membayar uang pengganti belum dilakukan; dan