Anda di halaman 1dari 5

Optimalisasi Pengelolaan PNBP sebagai Penopang Pembiayaan APBN

Miranti Fauziah Agma


( 1610842015 )
Administrasi Publik Universitas Andalas
mirantifauziahagma@gmail.com

Hingga saat ini, pemerintah masih tak henti-hentinya melakukan langkah-langkah


trobosan dalam berbagai sektor demi terwujudnya tujuan negara. Langkah-langkah trobosan
tersebut salah satunya dilakukan oleh pemerintah dalam bidang fiskal guna menciptakan
APBN yang lebih sehat, berkualitas, dan membangun ruang fiskal yang cukup untuk
Percepatan Pertumbuhan Ekonomi yang Berkelanjutan dan Berkeadilan.

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara ( APBN ) merupakan wujud dari


pengelolaan keuangan negara yang merupakan instrumen bagi Pemerintah untuk mengatur
pengeluaran dan penerimaan negara dalam rangka membiayai pelaksanaan kegiatan
pemerintahan dan pembangunan, mencapai pertumbuhan ekonomi, meningkatkan pendapatan
nasional, mencapai stabilitas perekonomian, dan menentukan arah serta prioritas
pembangunan secara umum.

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara ( APBN ) ini ditetapkan setiap tahun dan
dilaksanakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Penetapan APBN dilakukan
setelah dilakukan pembahasan antara Presiden dan DPR terhadap usulan RAPBN dari
Presiden dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah ( DPD ).

Salah satu unsur APBN adalah anggaran pendapatan negara dan hibah, yang diperoleh
dari penerimaan perpajakan, penerimaan negara bukan pajak dan penerimaan Hibah dari
dalam negeri dan luar negeri.

Penerimaan Negara Bukan Pajak ( PNBP ) merupakan lingkup keuangan negara yang
dikelola dan dipertanggungjawabkan sehingga Badan Pemeriksa Keuangan ( BPK ) sebagai
lembaga audit yang bebas dan mandiri turut melakukan pemeriksaan atas komponen yang
mempengaruhi pendapatan negara dan merupakan penerimaan negara sesuai dengan undang-
undang. Laporan hasil pemeriksaan BPK kemudian diserahkan kepada Dewan Perwakilan
Rakyat ( DPR ), Dewan Perwakilan Daerah ( DPD ) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (
DPRD ).

Berdasarkan Undang-Undang No. 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan


Pajak, PNBP dikelompokkan dalam tujuh sumber penerimaan yaitu: (1) Penerimaan negara
yang bersumber dari pengelolaan dana pemerintah; (2) Penerimaan pemanfaatan sumber daya
alam; (3) Penerimaan dari hasil-hasil pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan; (4)
Penerimaan dari kegiatan pelayanan yang dilaksanakan pemerintah; (5) Penerimaan
berdasarkan putusan pengadilan dan yang berasal dari pengenaan denda administrasi; (6)
Penerimaan berupa hibah yang merupakan hak pemerintah; dan (7) Penerimaan lainnya yang
diatur dalam undang-undang tersendiri.

Dalam struktur APBN, PNBP dikelompokkan ke dalam empat mata anggaran


penerimaan, yaitu: (1) Penerimaan Sumber Daya Alam ( SDA ); (2) Penerimaan bagian
pemerintah atas laba Badan Usaha Milik Negara ( BUMN ); (3) PNBP lainnya; dan (4)
Pendapatan Badan Layanan Umum ( BLU ).

Faktor-faktor utama yang mempengaruhi PNBP lainnya antara lain: (a) Jenis dan tarif
atas kegiatan pelayanan kementerian atau lembaga yang ditetapkan melalui peraturan
pemerintah; (b) Jumlah / volume objek pengenaan PNBP; (c) Kualitas pelayanan yang
diberikan dan administrasi pengelolaan PNBP; dan (d) Upaya optimalisasi melalui
peningkatan pengelolaan dan akuntabilitas pelaporan keuangan.

Dalam pengelolaan PNBP pada awalnya masih menyisakan sejumlah masalah. Mulai
dari belum optimalnya integrasi unit yang berwenang, integrasi administrasi, simplifikasi dan
tertib jenis pungutan, serta monev. Contohnya saja seperti penerimaan PNBP yang bersumber
dari pertambangan umum masih jauh dari harapan dan besarnya kerugian negara dari sektor
kehutanan dan perkebunan secara nasional, masih ada pungutan yang tidak memiliki dasar
hukum yang kuat, PNBP yang terlambat atau tidak disetor ke kas negara, maupun
penggunaan langsung PNBP yang dilakukan di luar mekanisme APBN. Regulasi tentang
PNBP yaitu Undang-Undang No 20 Tahun 1997 yang telah berlaku selama 21 tahun sudah
tidak dapat membantu permasalahan yang ada di dalam pengelolaan PNBP karena kurang
sesuainya regulasi tersebut terhadap kondisi yang dihadapi saat ini.

Namun tahun 2018 nampaknya membawa angin segar dalam pengelolaan PNBP.
Presiden Joko Widodo sudah mengeluarkan Inpres Nomor 4 Tahun 2018 tentang
Peningkatan Pengawasan Penerimaan Pajak Atas Belanja Pemerintah dan PNBP. Melalui
inpres itu pula presiden merintahkan pengawasan atas pelaksanaan kewajiban perpajakan
bendahara dalam belanja pemerintah dan pengelolaan PNBP bisa ditingkatkan.

Pemerintah akhirnya melakukan trobosan demi menyelesaikan permasalahan ini yaitu


dengan disahkannya Rancangan Undang-Undang PNBP menjadi Undang-Undang No. 9
Tahun 2018 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak yang merupakan penyempurnaan dari
Undang-Undang No 20 Tahun 1997. Dalam Undang-Undang No. 9 Tahun 2018 ini telah
dimuat solusi-solusi terhadap masalah yang ditemukan dalam pengelolaan PNBP selama ini
khususnya perbaikan tata kelola PNBP untuk meningkatkan pelayanan Pemerintah yang
bersih, profesional, transparan, dan akuntabel, serta mengoptimalkan penerimaan negara yang
berasal dari PNBP sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Beberapa penyempurnaan pokok dalam RUU PNBP ini meliputi lima hal yaitu (i)
pengelompokkan objek; (ii) pengaturan tarif; (iii) tata kelola; (iv) pengawasan; dan (v) hak
Wajib Bayar.

Pertama, objek PNBP dikelompokkan dalam enam klaster, yaitu pemanfaatan sumber
daya alam, pelayanan, pengelolaan kekayaan negara dipisahkan ( KND ), pengelolaan barang
milik negara, pengelolaan dana, dan hak negara lainnya. Pengklasteran ini digunakan sebagai
pedoman untuk menetapkan jenis dan tarif PNBP guna mengoptimalkan penerimaan negara
yang berasal dari PNBP dengan tetap memperhatikan karakteristik masing-masing objek
PNBP, prinsip keadilan, dan menjaga kualitas layanan pada masyarakat.

Kedua, pengaturan tarif PNBP mempertimbangkan dampak pengenaan tarif terhadap


masyarakat, dunia usaha, pelestarian alam dan lingkungan, sosial budaya, serta aspek
keadilan, termasuk penguatan landasan hukum dalam rangka pemberian kebijakan pengenaan
tarif sampai dengan Rp 0,00 ( nol Rupiah ) atau 0 persen ( nol persen ) untuk kondisi tertentu.
Kebijakan tersebut antara lain ditujukan untuk masyarakat tidak mampu, pelajar atau
mahasiswa, penyelenggaraan kegiatan sosial, usaha mikro, kecil, dan menengah, kegiatan
keagamaan. kegiatan kenegaraan, dan keadaan di luar kemampuan Wajib Bayar atau kondisi
kahar.

Di samping itu, penetapan jenis dan tarif PNBP memungkinkan dilakukan dengan
Peraturan Menteri Keuangan, khususnya untuk tarif atas layanan PNBP yang bersifat
dinamis, dalam rangka menjaga kualitas pelayanan dan untuk percepatan penyesuaian
terhadap nilai wajar dan harga pasar.

Ketiga, penyempurnaan tata kelola PNBP antara lain pengaturan kewajiban Instansi
Pengelola PNBP untuk melakukan verifikasi dan pengelolaan piutang, serta pemanfaatan
teknologi dalam rangka pengelolaan PNBP untuk peningkatan layanan dan efisiensi.
Keempat, penguatan fungsi pengawasan dilaksanakan dengan melibatkan aparat
pengawas intern pemerintah, sehingga dapat meminimalkan pelanggaran atas keterlambatan
atau tidak disetomya PNBP ke Kas Negara oleh Wajib Bayar, Instansi Pengelola PNBP, dan
Mitra Instansi Pengelola serta penggunaan langsung di luar mekanisme APBN oleh Instansi
Pengelola PNBP.

Kelima, penyempurnaan ketentuan yang terkait dengan hak Wajib Bayar antara lain
pemberian keringanan berupa penundaan, pengangsuran, pengurangan, dan pembebasan
dengan memperhatikan kondisi di luar kemampuan Wajib Bayar atau kondisi kahar, kesulitan
likuiditas, dan kebijakan Pemerintah.

Selanjutnya, pelaksanaan RUU PNBP yang baru ini akan diikuti dengan
penyederhanaan dan pengurangan jenis dan tarif PNBP, khususnya yang berkaitan dengan
layanan dasar, tanpa mengurangi tanggung jawab Pemerintah untuk tetap menyediakan
layanan dasar secara berkualitas dan berkeadilan berdasarkan peraturan perundangundangan.

Pengesahan RUU PNBP ini tidak semata-mata untuk mengoptimalkan penerimaan


negara, namun juga diperlukan dalam rangka mewujudkan perbaikan kesejahteraan rakyat,
meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang berkualitas, memperbaiki distribusi pendapatan,
serta menjaga kelestarian lingkungan hidup untuk kesinambungan antar generasi.

Seolah tak butuh waktu lama sejak disahkannya Undang-Undang No. 9 Tahun 2018
tentang PNBP. Kementerian Keuangan mencatat penerimaan negara bukan pajak ( PNBP )
per Agustus tahun ini mencapai Rp 240,3 triliun setara 87,2% dari target dalam Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara ( APBN ) sebesar Rp 275,4 triliun. Realisasi ini naik 24,3%.
Realisasi PNBP ini didorong kenaikan harga Indonesia Crude Price ( ICP ). Hal ini membuat
pendapatan sumber daya alam ( SDA ) naik menjadi Rp 107,4 triliun setara 103,6% dari
target APBN yang mencapai Rp 103,7 triliun.

Secara rinci, pendapatan SDA tersebut terbagi menjadi SDA migas sebesar Rp 83,8
triliun setara 104,3% terhadap target APBN sebanyak Rp 80,3 triliun. Perolehan ini
menunjukkan pertumbuhan 53,8%. Sementara itu, pendapatan dari kekayaan negara yang
dipisahkan tercatat Rp 39,8 triliun sekitar 89% dari target APBN. Untuk PNBP lain sejumlah
Rp 62,8 triliun setara 75% dari target, sedangkan pendapatan badan layanan umum ( BLU )
Rp 30,3 triliun atau 70% dari target.
Hal ini tentu merupakan sebuah trobosan yang sangat baik dari pemerintah. Sudah
seharusnya PNBP dijadikan pilar utama penopang APBN mengingat Indonesia merupakan
negara dengan Sumber Daya Alam yang sangat melimpah sehingga pemerintah sangat
diharapkan mampu mengoptimalkan penerimaan PNBP dari sektor SDA. Selain itu PNBP
juga merupakan sumber pendanaan strategis dalam kesinambungan fiskal.

Tak terlepas dari ‘keberhasilan’ dari trobosan ini, pemerintah diharapkan untuk tetap
hati-hati dalam mengelola PNBP agar kondisi Indonesia semakin membaik ke depannya.

Anda mungkin juga menyukai