Anda di halaman 1dari 7

Tugas Mengkritisi Akuntansi Pemerintah Pusat

Kelompok 1

Dosen Pengampu :

Tri Hesti Utaminingtyas

Disusun Oleh :

INDRI JULIYANTI 1704521013

MUHAMMAD FARHAN RAMADHAN 1704521001

RANIA AZ ZAHRA 1704521007

RIO CHALIDAN 1704521019

D4 Akuntansi Sektor Publik

Fakultas Ekonomi

Universitas Negeri Jakarta

2022
Proses Penyusunan Anggaran

Proses penyusunan RAPBN hingga menjadi APBN Lebih lanjut, dikutip dari laman resmi
Kementerian Keuangan (Kemenkeu), tahap penyusunan APBN adalah sebagai berikut:

Tahap 1: Perencanaan dan penetapan RAPBN yang disusun oleh kementerian/lembaga yang
menghasilkan rencana kerja pemerintah yang mengacu pada asumsi dasar ekonomi makro.

Tahap 2: Pembahasan dan penetapan APBN yang dilakukan pemerintah dan DPR dengan
pertimbangan masukan DPD.

Tahap 3: Pelaksanaan dan pengawasan APBN.

Tahap 4: Pertanggungjawaban pelaksanaan APBN yang disampaikan oleh presiden selambat-


lambatnya 6 bulan setelah anggaran berakhir.

Dalam penyusunan APBN sampai dengan tahun Anggaran 1999/2000, digunakan model T-
Account. Secara konseptual struktur APBN tersebut mengikuti struktur anggaran yang ada dalam
The Government Finance Statistic (GFS) dan The System of Nation Account (SNA) yang
dikembangkan oleh PBB. Struktur APBN disusun menurut T-account dimana di sisi kiri
merupakan penerimaan dan sisi kanan merupakan pengeluaran. Dalam model T-Account, jumlah
A dan B selalu sama dengan C+D, sedangkan dalan realisasi APBN, total penerimaan dan total
pengeluaran dari tahun ke tahun kurang lebih sama. Namun dalam kenyataannya selalu terjadi
defisit anggaran yang umumnya dibiayai oleh penerimaan pembangunan yang berupa hibah dan
utang luar negeri. Sebaliknya berdasarkan GFS dan SNA yang dikatakan surplus atau deficit
secara keseluruhan adalah selisih antara seluruh penerimaan diluar pinjaman dengan total
pengeluaran. Bila selisihnya positif maka terjadi surplus anggaran sebaliknya negatif maka
terjadi defisit anggaran.

Perbedaan penyusunan Anggaran Tahun 2020 dan 2021 pada Kanwil DJBC Jawa Timur II

1. Alokasi penyusunan anggaran tahun 2020 dan 2021

Dalam penyusunan anggaran di perlukan alokasi untuk bisa menyusun anggaran pada suatu
instansi. Alokasi yang dibutuhkan dalam penyusunan anggaran pada Kanwil DJBC Jawa Timur
II pada tahun 2020 sebesar Rp. 10,967,003,000, ini merupakan angka yang tinggi dalam
menyusun anggaran. Sedangkan di tahun 2021 alokasi yang dibutuhkan sebesar,
Rp.9,114,852,000. Jadi setiap tahun dalam menyusun anggaran aloksi yang dibutuhkan tidak
sama dan semua alokasi yang dibutuhkan itu bersifat positif dalam menyusun anggaran. Dengan
alokasi yang ada setiap program kegiatan/outpun/input memiliki perhitungan jumlah biaya
anggaran yang berbeda juga setiap tahun dan setiap subkomp program kegiatan juga berbeda.

2. Pemeriksaan kepabeanan dan cukai tahun 2020 dan 2021


Untuk melaksanakan pemeriksaan kepabeanan dan cukai pada Kanwil DJBC Jawa Timur II
dibutuhkan anggaran biaya pada tahun 2020 sebesar Rp.48,000,000. Sedangkan anggaran biaya
yang dibutuhkan pada tahun 2021 sebesar Rp.78,776,000. Jadi untuk pemeriksaan kepabeanan
dan cukai biaya anggaran yang dibutuhkan setiap tahunnya berbeda dan anggaran nya bisa lebih
tinggi atau lebih rendah setiap tahunnya tergantung biaya yang dibutuhkan.

3. Operasional dan Pemeliharaan Kantor tahun 2020 dan 2021

Setiap kantor memilki operasional dan pemeliharaannya masing-masing dan setaip operasional
dan pemeliharaan membutuhkan biaya anggaran, setiap tahun biaya anggaran yang dikeluarkan
untuk biaya operasional dan biaya pemeliharaan berbeda seprti di tahun 2020 Kanwil DJBC
Jawa Timur II mengeluarkan biaya anggaran untuk biaya operasional dan pemeliharaan sebesar,
Rp. 4,227,267,000. Sedangkan untuk biaya operasional dan pemeliharaan di tahun 2021 sebesar,
Rp. 2,110,859,000. Jadi biaya operasional dan pemeliharaan kantor setiap tahun biaya anggaran
yang di keluarkan tidak sama atau berbeda.

KASUS DI AKUNTANSI PEMERINTAHAN PUSAT

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) telah merilis hasil pemeriksaan laporan keuangan pemerintah
pusat dalam Laporan Hasil Pemeriksaan Atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LHP LKPP)
2020. Ketua BPK Agung Firman Sampurna mengatakan, meski memberikan opini Wajar Tanpa
Pengecualian (WTP), lembaganya menemukan sejumlah temuan masalah yang bisa berujung
pada kerugian negara. “Permasalahan itu terdiri dari 28 persen kelemahan sistem, 29 persen
ketidakpatuhan, dan 43 persen ketidakhematan, ketidakefisienan, hingga ketidakefektifan,” jelas
Agung dikutip dari Kompas TV, Minggu (27/6/2021). Pada masalah akibat ketidakpatuhan, BPK
melaporkan ada 2.026 permasalahan dengan nilai kerugian mencapai Rp 12,64 triliun.

Rinciannya terdiri dari 729 masalah yang menyebabkan kerugian senilai Rp 1,24 triliun, 151
masalah dengan potensi kerugian senilai Rp 1,89 triliun, dan 293 masalah karena kurang
penerimaan senilai Rp 9,51 triliun. “Selain itu, terdapat 853 permasalahan ketidakpatuhan yang
mengakibatkan penyimpangan administrasi. Kemudian BPK juga menemukan 2.988
permasalahan ketidakhematan, ketidakefisienan, dan ketidakefektifan yang nilainya mencapai Rp
3,98 triliun,” ungkap Agung.
Terdiri dari 175 permasalahan ketidakhematan sebesar Rp654,34 miliar, 13 permasalahan
ketidakefisienan sebesar Rp 1,50 miliar, dan 2.800 permasalahan ketidakefektifan sebesar Rp
3,33 triliun. Atas permasalahan yang ditemukan, BPK memberikan 13.363 rekomendasi.
“Terhadap rekomendasi BPK tersebut, beberapa pejabat entitas telah menindaklanjuti antara lain
dengan menyerahkan aset atau menyetor ke kas negara/daerah/perusahaan sebesar Rp 156,49
miliar atau 1,2 persen dari nilai permasalahan ketidakpatuhan yang berdampak finansial sebesar
Rp12,64 triliun,” jelas Agung. Masalah pengelolaan dana PEN Sementara itu dikutip dari
Kontan, BPK juga menyebutkan ada permasalahan dalam pelaksanaan program penanganan
Covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional (PC-PEN) dan program di luar PC PEN. Khusus
program yang tidak terkait PC-PEN, BPK setidaknya menemukan 6 permasalahan. Pertama,
pelaporan beberapa transaksi pajak belum lengkap menyajikan hak negara minimal sebesar Rp
21,57 triliun dan 8,26 juta dollar AS serta kewajiban negara minimal sebesar Rp 16,59 triliun
sesuai basis akuntansi akrual. Serta saldo piutang daluwarsa belum diyakini kewajarannya
sebesar Rp 1,75 triliun.

Kedua, penganggaran, pelaksanaan, dan pertanggungjawaban belanja di luar program PC-PEN


pada 80 K/L minimal sebesar Rp 15,58 triliun belum sepenuhnya sesuai dengan ketentuan.
Ketiga, realisasi pembiayaan dan pemindahbukuan dari rekening BUN berupa dana abadi
penelitian, kebudayaan, dan perguruan tinggi sebesar Rp 8,99 triliun dititipkan pada Rekening
Badan Layanan Umum Lembaga Pengelola Dana Pendidikan karena pengaturan terkait
pengelolaan dana tersebut belum ditetapkan. Kempat, penatausahaan piutang pajak pada
Direktorat Jenderal Pajak belum memadai. Kelima, terdapat ketidakjelasan atas status tagihan
penggantian dana talangan pendanaan pengadaan tanah proyek strategis nasional (PSN) oleh
badan usaha yang tidak lolos verifikasi berdasarkan laporan hasil verifikasi (LHV) BPKP.

Keenam, pemerintah belum menetapkan pedoman perhitungan kewajiban jangka panjang atas
program pensiun. “Atas permasalahan-permasalahan tersebut, BPK memberikan rekomendasi
kepada pemerintah untuk perbaikan pengelolaan dan pertanggungjawaban APBN tahun
mendatang, untuk ditindaklanjuti,” ujar Agung saat rapat paripurna DPR, Selasa (22/6). Selain
itu, temuan BPK terkait program PC PEN antara lain, mekanisme pelaporan kebijakan keuangan
negara untuk menangani dampak pandemi Covid-19 pada laporan keuangan pemerintah pusat
(LKPP) belum disusun. Lalu, realisasi insentif dan fasilitas perpajakan dalam rangka PC-PEN
tahun 2020 minimal sebesar Rp 1,69 triliun tidak sesuai ketentuan.

“Pengendalian dalam pelaksanaan belanja Program PC-PEN sebesar Rp 9 triliun pada 10


kementerian/lembaga tidak memadai,” ungkap Agung. Kemudian, penyaluran belanja subsidi
bunga kredit usaha rakyat (KUR) dan non KUR serta belanja lain-lain kartu prakerja dalam
rangka PC-PEN belum memperhatikan kesiapan pelaksanaan program. Sehingga terdapat sisa
dana kegiatan/program yang masih belum disalurkan sebesar Rp 6,77 triliun. Realisasi
pengeluaran pembiayaan tahun 2020 sebesar Rp 28,75 triliun dalam rangka PC-PEN tidak
dilakukan secara bertahap sesuai dengan kesiapan dan jadwal kebutuhan penerima akhir
investasi. “Pemerintah belum selesai mengidentifikasi pengembalian belanja/pembiayaan PC-
PEN tahun 2020 di tahun 2021 sebagai sisa dana SBN PC-PEN tahun 2020 dan kegiatan PC-
PEN tahun 2020 yang dilanjutkan di tahun 2021,” tutur Agung

PROSES PENYELESAIAN ATAS KASUS YANG ADA

- Proses penyelesaian adanya kelemahan sistem: Membuat perubahan-perubahan baru


dalam sistem pemerintahan Indonesia. Hal itu diperuntukan dalam memperbaiki sistem
presidensial yang lama. Perubahan baru tersebut, antara lain adanya pemberian kekuasaan
yang lebih besar kepada parlemen untuk melakukan pengawasan dan fungsi anggaran.
- Proses penyelesaian ketidakpatuhan: BPK harus mendorong pemerintah untuk selalu
memperbaiki transparansi dan akuntabilitas pengelolaan dan tanggung jawab keuangan
negara/daerah, dengan cara membangun sinergi antara BPK dengan berbagai lembaga
negara, aparat pengawasan intern pemerintah, serta para auditee. Dengan harapan BPK
mendapatkan hasil pemeriksaan yang telah disampaikan kepada Pemerintah mendapat
tanggapan positif untuk perbaikan pengelolaan keuangan negara. BPK juga berharap
Lembaga Perwakilan dapat menindaklanjuti hasil pemeriksaan BPK sesuai dengan
kewenangannya.
- Proses penyelesaian ketidakefektifan: BPK melakukan audit investigatif secara tepat.
- Proses penyelesaian ketidakefektivan dan keefisienan:
1. Budaya Pelayanan Prima
Peningkatan kualitas dan keprofesionalan aparatur pemerintah adalah salah satu cara
dalam menciptakan pelayanan publik yang baik kepada stakeholder. Sebab dewasa
ini, keluhan-keluhan dari para stakeholder yang menilai pelayanan publik yang
diberikan kepada mereka terkendala akibat masih belum tingginya sikap atau perilaku
sumber daya aparatur yang langsung berhadapan dengan stakeholder. Oleh karena itu
diperlukan adanya aparatur yang profesional dengan sikap atau budaya melayani
dengan setulus hati sehingga diharapkan tidak ada lagi keluhan-keluhan
dari stakeholder atas pelayanan yang diberikan. Satu hal lagi yang perlu dicermati
dalam upaya peningkatan pelayanan publik melalui peningkatan kualitas sumber daya
aparatur dan keprofesionalan pegawai terkait masalah attitude atau perilaku. Yaitu,
diperlukan sikap mental yang baik dari setiap aparatur pemerintah yang langsung
berhadapan dengan stakeholder dalam pemberian layanan. Sikap baik ini tentunya
bukanlah seperti yang terjadi selama ini, dimana stakeholder dibuat susah dengan
adanya pungutan-pungutan liar yang dilakukan oleh pegawai yang melayani. Hal ini
perlu diperhatikan, sebab seprofesional apapun aparatur penyelenggara pelayanan
publik bila memiliki sikap yang bobrok dan integritas yang rendah hanya akan
menimbulkan ketidakpuasan lain dari stakeholder. Dengan demikian peningkatan
sumber daya manusia dan profesionalitas pegawai menjadi suatu aspek yang patut
diperhatikan dalam upaya peningkatan pelayanan publik. Kondisi birokrat yang
memiliki kompetensi, kecakapan, ketrampilan, perilaku yang patuh pada hukum dan
peraturan yang berlaku, serta penempatan posisi yang sesuai dengan bidangnya,
tentunya akan memberikan dampak yang positif kepada terciptanya pelayanan publik
yang andal. 
2. Standar Pelayanan Publik
Langkah selanjutnya sebagai salah satu cara peningkatan pelayanan publik yaitu
dengan menciptakan kebijakan-kebijakan yang mendukung terselenggaranya
peningkatan kualitas pelayanan kepada publik. Diharapkan dengan penerbitan
kebijakan mengenai peningkatan pelayanan publik itu akan semakin mendorong
terciptanya kualitas pelayanan yang efektif, efisien dan akuntabel. Salah satu tujuan
dari pembuatan kebijakan itu untuk mengubah image dan citra pelayanan publik
selama ini yang cenderung berbelit-belit, boros dan memakan waktu yang lama.
Sehingga, dengan adanya standar yang baku diharapkan pada akhirnya
nanti stakeholder akan semakin terpuaskan dengan setiap layanan yang diberikan oleh
pemerintah. Di samping itu adalah dengan membuat kebijakan standar pelayanan
minimal. Standar pelayanan minimal merupakan sebuah kebijakan publik yang
mengatur jenis dan mutu pelayanan dasar yang berhak diperoleh
setiap stakeholder  secara minimal. Untuk Standar Pelayanan Minimal pada kantor
vertikal Ditjen Perbendaharaan berdasarkan keputusan Direktorat Jenderal
Perbendaharaan No.KEP-222/PB/2012 meliputi jenis layanan, lingkup kegiatan,
pemangku kepentingan, dan indikator SPM (sebagai tolok ukur). Selain untuk
mempercepat proses pelaksanaan pelayanan publik bagi stakeholder, kebijakan
pemerintah dengan menerbitkan standar pelayanan minimal juga bertujuan
memberikan jenis pelayanan beserta transparansi dan akuntabilitasnya
kepada stakeholder. Sehingga dengan kebijakan itu, akan menghindari perilaku-
perilaku menyimpang yang selama ini dilakukan oleh aparatur pemerintah dalam
memberikan layanan. 
3. Peningkatan Fasilitas Penunjang
Selain memperhatikan kedua aspek diatas, salah satu sisi lain yang patut diperhatikan
oleh pemerintah dalam upaya peningkatan pelayanan publik adalah dengan
meningkatkan penyediaan fasilitas yang menunjang kualitas pelayanan publik
tersebut. Sebab, tanpa didukung tersedianya fasilitas yang lengkap maka akan
menghambat proses penyelenggaraan pelayanan publik kepada stakeholder. Seiring
dengan perkembangan teknologi yang semakin canggih, maka sudah sepatutnya
pemerintah menerapkan kemajuan teknologi itu untuk menunjang penyelenggaraan
pelayanan publik dengan membuat inovasi-inovasi yang bermanfaat bagi stakeholder.
Ketersediaan fasilitas berupa sarana dan prasarana disadari atau tidak akan semakin
mempercepat sekaligus meningkatkan penyelenggaraan pelayanan publik. Dan untuk
mewujudkannya maka tentunya diperlukan alokasi dana untuk penyediaan sarana dan
prasarana tersebut. Dengan begitu, maka segala kendala yang menghalangi
penyelenggaraan pelayanan publik kepada stakeholder akan dapat teratasi. 
4. Penilaian Kepuasan Terhadap Layanan
Pelayanan yang sudah diberikan kepada stakeholder tidak akan dapat kita ketahui
tanpa adanya penilaian. Penilaian menggambarkan sejauh mana pelayanan yang
sudah kita berikan selama ini. Penilaian tersebut dapat berbentuk kuesioner maupun
survey kepuasan. Dari hasil survey maupun kuesioner inilah nanti yang menentukan
apakah pelayanan yang kita berikan sudah baik, cukup, ataukah masih perlu
diperbaiki lagi. 
Langkah tersebut sudah tepat. Karena dengan melakukan penilaian kepuasan dapat
menggambarkan sudah sejauh mana pelayanan yang kita berikan selama ini sudah cukup baik,
atau masih perlu diperbaiki lagi. Dengan hal ini, meningkatkan pelayanan minimal dapat
transparansi dan akuntabilitasnya kepada stakeholder.

Anda mungkin juga menyukai